Langsung ke konten utama

SERULING GADIN

  SERULING GADING  1 2 3 4 5 6 7 8 9 6 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 JILID 1    Puncak Argadumilah menjulang tinggi diselimuti awan putih bergerombol seperti sekelompok domba berbulu putih bergerak perlahan, berarak ke arah selatan. Sinar matahari pagi mulai menerangi permukaan Gunung Lawu yang tanahnya subur dan hijau penuh pohon dan tumbuhan. Kinar matahari pagi yang lembut dan hangat itu masih belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang amat dingin bagi manusia itu. Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah. Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu.    Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan Argadalem dikabarkan sebagai tempat-temp

SERULING GADIN

 



SERULING GADING 

1
3
5
6
7
8
9
6
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25









JILID 1



   Puncak Argadumilah menjulang tinggi diselimuti awan putih bergerombol seperti sekelompok domba berbulu putih bergerak perlahan, berarak ke arah selatan. Sinar matahari pagi mulai menerangi permukaan Gunung Lawu yang tanahnya subur dan hijau penuh pohon dan tumbuhan. Kinar matahari pagi yang lembut dan hangat itu masih belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang amat dingin bagi manusia itu. Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah. Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu.

   Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan Argadalem dikabarkan sebagai tempat-tempat yang angker. Akan tetapi pada pagi hari itu, seorang laki-laki tua tampak sedang membasuh muka, lengan dan kakinya ditepi sebuah kolam yang dibentuk oleh sumber air. Sungguh menakjubkan memang betapa di puncak gunung yang begitu tinggi dapat keluar sumber airnya. Kekuasaan Yang Mahakuasa terjadi di mana-mana. Kolam itu dikenal dengan sebutan Sendang Drajat yang terletak tidak begitu jauh dari puncak Argadalem.

   Orang akan merasa heran dan kagum kalau melihat kakek itu membasuh muka dengan air sendang itu. Hawa udara demikian dingin dan tajam menusuk dan menembus pakaian yang tebal sekalipun. Namun kakek itu membasuh muka, lengan dan kakinya dengan wajah berseri gembira dan kelihatan menikmati air yang nyaris membeku oleh hawa yang amat dingin.

   Kakek itu sudah tua. Usianya tentu sudah ada tujuhpuluh tahun. Rambutnya yang sepanjang pundak dibiarkan terurai di atas kedua pundak dan punggungnya. Kumis dan jenggotnya, seperti juga rambutnya, sudah putih semua seperti benang perak, agak mengkilat tertimpa sinar matahari pagi. Bahkan sepasang alisnya yang tebal itu sudah putih semua, akan tetapi kulit mukanya masih segar, belum keriput seperti muka orang muda dan sepasang matanya bersinar lembut namun tajam dan penuh wibawa yang amat kuat. Hidungnya mancung dan mulut yang sebagian tertutup kumis itu tampak tersenyum selalu, senyum penuh kesabaran dan pengertian. Tubuhnya tinggi kurus namun kakek itu bertulang besar dan tubuh yang tua itu masih tegap dan ketika dia bangkit berdiri dari jongkoknya, dia tampak kokoh. Pakaiannya sederhana sekali. Hanya terdiri dari kain putih bersih yang dilibat-libatkan di tubuhnya dari leher sampai ke lutut. Kini dia menggunakan sehelai kain putih untuk mengeringkan muka, leher, kedua lengan dan kaki yang tadi dibasuhnya.

   Setelah selesai, dia memeras air yang membasahi kain itu dan mengikatkan kembali kain putih itu sebagai ikat pinggangnya. Diambilnya sebatang benda putih sepanjang setengah meter dari atas batu besar dan benda itu diselipkan kembali ke ikat pinggangnya.

   Dia berdiri menghadapi sendang dengan bibir tersenyum dan pandang mata lembut seolah memberi ucapan terima kasih kepada sendang yang telah memberi kesegaran kepadanya. Kemudian dia menoleh ke kanan kiri dan melihat sinar matahari sepenuhnya menimpa sebuah batu besar, dia lalu menggerakkan kedua kakinya melangkah perlahan menghampiri batu besar.

   Dia membungkuk dan meniup-niup permukaan batu untuk membersihkannya dari tanah, kemudian dia duduk di atas batu, membiarkan matahari memandikannya dengan sinarnya yang gemilang.

   Dia menghela napas panjang menandakan kelegaan hati. Kebahagiaan sejati yang langka dirasakan orang memenuhi seluruh dirinya lahir batin. Dia melayangkan pandang matanya ke tanah, ke sendang, ke langit dan ke matahari. Dalam batinnya dia menghaturkan terima kasih dan syukur akan kemurahan Yang Maha Murah, yang telah menciptakan tanah, air, udara dan sinar matahari yang memberi kehidupan. Dihisapnya hawa udara dalam-dalam memenuhi paru-parunya menembus ke bawah pusar. Alangkah bahagia dan nikmatnya hidup!

   Kakek itu memejamkan kedua matanya dan menarik kedua kakinya untuk duduk bersila. Kemudian tangan kanannya mengambil benda putih yang terselip di pinggangnya. Benda itu ternyata adalah sebatang suling yang warnanya putih kekuningan. Sebatang suling terbuat daripada gading gajah. Dengan gerakan lembut dan santai sambil memejamkan kedua matanya, kedua tangannya memegang suling, mendekatkannya ke mulutnya lalu ditiupnya suling itu. Jari-jari kedua tangannya bermain-main. di atas lubang-lubang suling dan terdengarlah lengkingan suara suling yang merdu. Suaranya mengalun dan mengayun perasaan, naik turun dengan lembutnya dan terdengar aneh.

   Tidak seperti tembang yang. biasa dilagukan dengan suling bambu oleh para penabuh gamelan. Suara suling itu mendayu-dayu, kadang terdengar seperti hembusan angin bermain di puncak pohon-pohon cemara, kadang seperti gemercik air anak sungai bermain dengan batu-batu, kadang terdengar seperti sorak-sorai dan tawa riang, kadang seperti tangis sedih. Aneh akan tetapi indah! Kakek itu memejamkan mata, tubuhnya bergoyang-goyang perlahan ke kanan kiri dan semangatnya seperti melayang-layang di antara nada-nada suara suling.

   Kalau orang mendengarkan suara itu dengan hati akal pikiran yang bekerja, menilai dan mencoba untuk mengerti, tentu suara suling itu akan terdengar aneh. Akan tetapi kalau didengarkan tanpa ikutnya hati akal pikiran, maka akan terasa bahwa suara suling itu sudah sewajarnya dan menjadi satu dengan alam sekitarnya, seolah suara itu memang sudah seharusnya dan sepatutnya terdengar di tempat itu. Seperti suara, kicau burung, desah angin, gemercik air, kokok ayam dan suara alamiah yang lain.

   Semua suara itu adalah puja-puji yang memuliakan nama Yang Maha Pencipta. Bahkan tubuh kakek yang bergoyang-goyang perlahan ke kanan kiri itu merupakan doa yang tanpa suara dan yang tak kunjung henti. Lima ekor burung sejenis jalak terbang melayang-layang, berputaran di atas sendang.

   Kemudian mereka melayang turun dan hinggap di atas tanah dekat kakek itu. Mereka tampak jinak dan diam seakan ikut mendengarkan dan menikmati suara suling itu. Suara suling itu berhenti dengan lembut makin lama makin lirih dan akhirnya kakek itu menghentikan tiupannya. Akan tetapi, suaranya seperti masih bergema di angkasa. Kakek itu menyelipkan sulingnya di ikat pinggang, lalu dia turun darn atas batu. Lima ekor burung jalak itu terbang tinggi dan kakek itu mengikuti mereka dengan pandang matanya sambil tersenyum. Sejenak dia merasa seolah dia ikut terbang di antara lima ekor burung jalak itu.

   Setelah lima ekor burung itu menghilang di balik pohon-pohon, kakek itu lalu memutar tubuhnya dan melangkah perlahan-lahan menuju ke puncak Argadumilah. Matahari naik semakin tinggi dan awan yang tadi berarak sudah meninggalkan puncak. Langit tampak biru bersih dan sinar matahari mulai terasa hangat di kulit, sungguhpun bayang-bayang pohon masih panjang.

   Kakek tua renta itu adalah seorang pertapa yang sudah puluhan tahun meninggalkan dunia ramai. Dia merantau dari puncak yang satu ke puncak yang lain, dari tepi laut di ujung barat Laut Kidul sampai ke ujung timur. Dia suka menyendiri di tempat-tempat sunyi dan merasa bersatu dengan alam. Kalau dia tanpa disengaja bertemu dengan penduduk dusun dan ditanyai namanya, dia mengaku bernama Resi Tejo Wening dan kalau ditanya di mana tempat tinggalnya dia selalu menjawab bahwa tempat tinggalnya adalah di mana kedua kakinya menginjak. Kalau ditanya rumahnya, dia selalu menjawab bahwa rumahnya berlantai bumi, berdinding pohon-pohon dan beratap langit.

   Resi Tejo Wening berjalan santai mendaki puncak Argadumilah dan setelah tiba di puncak, pada sebuah tanah datar di puncak itu dia melihat beberapa orang sedang berdiri berhadapan dan terdengar mereka bertengkar. Resi Tejo Wening lalu duduk di atas batu yang terpisah sekitar dua puluh meter dari orang-orang itu. Dia memandang ke arah mereka namun tidak mengenal mereka dan belasan meter dari situ dia melihat sedikitnya limapuluh orang yang berpakaian serba hitam bergerombol dengan senjata pedang atau golok siap di tangan dan sikap mereka seperti sedang menanti perintah.

   Adapun yang sedang bertengkar itu adalah seorang laki-laki tinggi kurus yang berhadapan dengan tiga orang laki-laki lain. Laki-laki tinggi kurus itu berusia sekitar enampuluh tiga tahun. Pakaiannya juga serba hitam dengan kain pengikat kepala berwarna hitam pula, wajahnya gagah berwibawa dan kumisnya yang melintang itu tebal dan sudah berwarna dua. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang. Lima puluh orang lebih itu berdiri di belakangnya dan agaknya mempunyai hubungan dengan orang tinggi kurus berkumis melintang itu!

   "Ki Bargowo, engkau terkenal sebagai seorang pendekar, ketua perkumpulan Welut Ireng yang menjadi penghuni dan kawula Kadipaten Madiun. Akan tetapi sikapmu seperti seekor bunglon yang suka berubah warnanya. Engkau membela Mataram, berarti engkau mengkhianati daerahmu sendiri,"

   Kata seorang di antara tiga orang yang berhadapan dengan Ki Bargowo.

   Orang ini adalah seorang kakek yang usianya sudah enampuluh tahun lebih bertubuh tinggi besar dan tampak kokoh kuat. Dari pakaian dan terutama kain ikat kepalanya mudah diketahui bahwa dia adalah seorang bersuku bangsa Madura. Alisnya tebal dan seperti rambut, kumis dan jenggotnya, masih hitam dan kaku. Sepasang matanya bundar lebar, terbelalak dengan pandang mata penuh semangat dan tantangan. Kumis dan cambang bauknya lebat menutupi setengah mukanya bagian bawah. Otot-otot menggelembung melingkari kedua lengan dan kakinya.

   Sebelum Ki Bargowo menjawab, orang kedua berseru, suaranya jauh berbeda dengan suara orang pertama yang dalam dan parau. Suara orang kedua ini kecil meninggi seperti suara perempuan.

   "Ki Bargowo, tidak tahukah engkau atau pura-pura tidak tahu betapa angkara murkanya Sultan Agung? Dia selalu mengganggu daerah pesisir utara, bahkan baru saja dia mengerahkan pasukan dan menaklukkan hampir seluruh daerah Jawa Timur. Kalau engkau membela Mataram, apa sih yang kaudapatkan? Tidak urung engkau menjadi orang jajahan, daerahmu ditindas dan kekayaan daerahmu diangkut semua ke Mataram!"

   Orang kedua ini bertubuh sedang. Kulitnya hitam sekali seperti arang. Pakaiannya agak mewah seperti seorang bangsawan. Usianya juga sudah enampuluh tahun lebih. Kedua pergelangan lengannya dihias akar bahar yang berwarna sama hitam dengan kulitnya. Kumis, jenggot dan rambutnya sudah berwarna dua. Kedua matanya agak sipit, hidungnya besar, bibirnya lebar dan tebal.

   Baru saja orang kedua berhenti bicara, orang ketiga menyambung, suaranya lembut dan penuh daya pikat dan membujuk, ramah dan halus menyenangkan pendengarnya.

   "Ki Bargowo, engkau adalah seorang ketua dari perkumpulan Welut Ireng yang terkenal sebagai pendekar. Tentu ucapan kedua orang kawanku tadi dapat menyadarkanmu. Karena itu, marilah engkau pimpin anak buahmu bergabung dengan kami membantu Kadipaten Surabaya yang agaknya akan menjadi sasaran Mataram berikutnya. Jangan khawatir, bantuanmu tentu akan mendapatkan imbalan yang pantas dari Kanjeng Adipati di Surabaya. Marilah, orang gagah, bergabunglah dengan kami."

   Orang ketiga ini berusia enampuluh tahun, tubuhnya kecil kurus. Kepalanya yang kecil itu botak. Sedikit rambut yang tumbuh di bagian kanan kiri dan belakang kepalanya agak keriting dan masih hitam. Mukanya halus tanpa kumis maupun jenggot. Matanya yang kecil itu memiliki pandangan yang tajam sekali, penuh wibawa. Hidungnya pesek dan mulutnya juga kecil. Orang ini melihat tubuhnya seperti seorang kakek yang lemah saja. Namun sepasang matanya yang bergerak-gerak cepat dan sinarnya tajam menusuk itu membuat orang tidak tahan berlama-lama menentang pandang matanya.

   Ki Bargowo adalah seorang pendekar yang gagah perkasa. Sebagai ketua perkumpulan Welut Ireng dia memimpin anak buahnya yang berjumlah kurang lebih enampuluh orang agar selalu bersepak terjang sebagai pendekar pembela kebenaran dan keadilan. Juga dia terkenal sebagai seorang yang selalu membela Mataram, bahkan ketika pasukan Mataram melakukan penyerbuan ke Jawa Timur untuk menaklukkan para adipati yang tidak mau tunduk kepada Mataram, diapun memimpin anak buahnya untuk membantu.

   Pada waktu itu dia memimpin anak buahnya menjelajahi Pegunungan Lawu untuk mencari tempat tinggal yang baru karena dia bermaksud untuk membuka perkampungan sebagai pusat perkumpulannya. Akan tetapi ketika dia dan anak buahnya berhasil mendaki sampai ke puncak Argadumilah, dia bertemu dengan tiga orang kakek ini yang tiba-tiba saja menyerangnya dengan kata-kata dan membujuknya untuk bekerjasama membantu Surabaya yang hendak memberontak terhadap Mataram.

   Dia mendengar ucapan tiga orang itu dengan sikap tenang. Setelah mereka bertiga berhenti bicara, barulah dia menjawab, suaranya tenang namun tegas.

   "Sebelum saya menjawab ucapan andika bertiga, karena andika bertiga sudah mengenal dan mengetahui nama saya, saya ingin tahu lebih dulu, siapakah gerangan ki sanak bertiga ini?"

   "Ha-ha-ha, engkau belum mengenal kami? Tidak heran. Engkau ini seperti katak dalam tempurung, tidak pernah meninggalkan daerah Madiun sehingga tidak tahu luasnya dunia tingginya langit,"

   Kata kakek pertama yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa.

   "Engkau tidak tahu siapa aku? Tanyalah kepada setiap orang di Madura, laki-laki atau perempuan, dari kanak-kanak sampai kakek-kakek, mereka semua mengenal siapa Harya Baka Wulung, ha-ha-ha!"

   Diam-diam Ki Bargowo terkejut. Biarpun belum pernah bertemu, dia sudah lama mendengar akan nama besar Ki Harya Baka Wulung yang merupakan gegedug (jagoan) yang terkenal sakti dan digdaya dari Pulau Madura! Akan tetapi sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, dia tidak memperlihatkan rasa kagetnya dan sikapnya tenang dan biasa saja.

   "Engkau tentu belum mengenalku karena aku datang jauh dari ujung timur Nusa Jawa. Di sana aku merupakan orang yang paling terkenal, paling ditakuti dan disegani oleh seluruh rakyat. Akulah Wiku Menak Koncar, orang kepercayaan Adipati Blambangan!"

   Kata orang kedua yang berkulit hitam dan tampaknya bersikap kasar namun yang suaranya seperti suara seorang perempuan.

   Kembali Ki Bargowo terkejut. Nama Wiku Menak Koncar juga sudah amat kondang (terkenal), bahkan kalau dia tidak keliru, Wiku Menak Koncar ini masih ada hubungan saudara seperguruan dengan mendiang Resi Wisangkolo yang terkenal sebagai salah seorang jagoan yang membantu Kadipaten Wirosobo yang memberontak terhadap Mataram. Kalau Wiku Menak Koncar ini memiliki kesaktian seperti mendiang Resi Wisangkolo, dia merupakan seorang lawan yang teramat tangguh. Aka tetapi tetap saja Ki Bargowo tidak memperlihatkan perasaan khawatirnya dan wajahnya tetap tenang saja.

   Kini orang ketiga yang sikap dan kata-katanya lemah lembut itu berkata.

   "Ki Bargowo, kalau engkau belum mengenal dua orang sahabatku ini apalagi aku yang datang dari ujung barat Nusa Jawa. Aku tidak sehebat dua orang sahabatku ini dan sama sekali tidak terkenal. Namaku Kyai Sidhi Kawasa berasal dari Banten dan pernah menjadi senopati Kerajaan Banten ketika masih muda puluhan tahun yang lalu.

   Ki Bargowo memang belum pernah mendengar akan nama ini, akan tetapi melihat sinar mata yang mencorong serta sikap yang lembut itu dia dapat menduga bahwa orang ini tentu memiliki kesaktian yang tidak kalah dibandingkan dua orang yang lain.

   "Kiranya andika bertiga adalah orang orang yang terkenal dari Madura, Blambangan dan Banten. Andika bertiga mengajak saya untuk bergabung membantu Kadipaten Surabaya untuk menentang Mataram, dengan berbagai alasan seperti yang andika bertiga kemukakan tadi. Sekarang perkenankan saya menjawab semua tuduhan andika terhadap Mataram itu. Agaknya andika bersikap memusuhi Mataram. Akan tetapi tuduhan andika bertiga itu keliru, para sahabatku yang baik. Lupakah andika bahwa sejak pemerintahan Sang Panembahoin Senopati Ing Alogo Saidin Panotogomo (1586 - 1601) Madiun dan semua kadipaten di Jawa Timur telah menjadi bagian dari Mataram. Karena itu, kalau saya membela Mataram, hal itu sudah sewajarnya karena saya adalah kawula Mataram. Tentu saja saya tidak mau membantu pemberontak. Adapun tuduhan bahwa Kanjeng Gusti Sultan Agung di Mataram angkara murka, hal itupun tidak benar. Beliau menyerang para adipati yang memberontak dan usaha beliau ini sama sekali bukan karena angkara murka atau hendak meluaskan kekuasaan, sama sekali bukan. Beliau menghendaki agar semua kadipaten, semua daerah dapat bersatu dan tidak terpecah-belah. Karena hanya dengan bersatu-padu kita menjadi kuat untuk menghadapi bahaya yang mengancam kita, yaitu kekuasaan Belanda yang kini menduduki Jayakarta. Kalau kita tidak bersatu-padu, bagaimana kita akan mampu mencegah Belanda memperluas wilayah kekuasaannya? Itulah sebabnya maka sekarang saya terpaksa tidak dapat menerima ajakan andika bertiga untuk bergabung dan membantu Kadipaten Surabaya yang hendak menentang Mataram. Bagaimanapun juga, saya dengan semua anggauta Welut Ireng tetap setia kepada Mataram."

   "Babo-babo, Ki Bargowo! Kami mengajakmu dengan baik-baik untuk menyadari kesalahanmu dan mengulurkan tangan mengajak bekerja sama agar engkau dapat menebus dosadosamu, akan tetapi engkau bahkan berani mengatakan kami sebagai pemberontak! Kami berjuang mempertahankan daerah kami dari cengkeraman Mataram dan engkau berani menentang kami Apakah nyawamu sudah ada cadangannya sehingga engkau tidak takut mampus?"

   "Sesukamulah, Ki Harya Baka Wulung. Akan tetapi sekali lagi kutegaskan, kami semua tetap setia dan membela Mataram dan kalau andika bertiga tidak segera meninggalkan puncak ini, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan untuk mengusir andika!"

   Kata Ki Bargowo yang menjadi marah. Dia memberi isyarat dengan tangan kirinya dan limapuluh orang lebih anak buahnya itu bergerak maju dan berhenti di belakangnya dalam keadaan siap bertempur.

   "Heh-heh-heh!"

   Ki Harya Baka Wulung terkekeh sehingga perutnya yang besar itu terguncang-guncang.

   "Engkau dan anak buahmu hendak mengusir kami? Dengan cara bagaimana engkau dapat mengusir kami?"

   "Dengan cara ini!"

   Ki Bargowo mengacungkan tinju kanannya.

   "Hendak memukulku? Heh-heh, maju dan pukullah, Ki Bargowo. Hendak kulihat apakah tanganmu yang lunak itu mampu merobohkan aku!"

   Ki Bargowo merasa ditertawakan dan ditantang. Dia adalah seorang gagah, seorang pendekar bahkan ketua Perkumpulan orang-orang gagah. Tak pernah dia mundur menghadapi tantangan siapapun juga. Maka mendengar tantangan Ki Harya Baka Wulung, dia mengerahkan tenaga pada kedua tangannya lalu membentak nyaring.

   "Sambutlah pukulanku ini!"

   Tangan kanannya menyambar, memukul dengan jari tangan terbuka ke arah dada lawan yang bidang itu. Pukulan ini kuat sekali dan dengan pukulan semacam itu, Ki Bargowo akan mampu membikin pecah sebongkah batu gunung atau menumbangkan sebatang pohon kelapa. Akan tetapi, Ki Harya Baka Wulung tampaknya tidak menangkis ataupun mengelak menghadapi pukulan dahsyat itu, melainkan bahkan membusungkan dadanya untuk menerima pukulan lawan.

   "Wuuuuttt bukkk....!!"

   Ki Bargowo terkejut sekali ketika merasa betapa tangannya seolah bertemu dengan benda kenyal dan kuat seperti karet, membuat tangannya yang memukul mental.

   "Heh-heh-heh-heh, ringan dan lunak sekali tanganmu, Ki Bargowo, seperti tangan tukang pijat, heh-heh-heh!"

   Ki Harya Baka Wulung menertawakan dan mengejek. Ki Bargowo menjadi penasaran bukan main. Dia sudah sering bertanding lawan tangguh, akan tetapi aji pukulannya itu mampu aji kekebalan lawan. Baru sekarang pukulannya itu terpental ketika bertemu dengan Ki Harya Baka Wulung.

   Dia lalu memusatkan seluruh daya ciptanya, mengerahkan tenaga sakti sepenuhnya ke arah kedua tangannya, lalu berseru.

   "Sambutlah pukulan ini!"

   Kini kedua tangannya menyambar dengan jari-jari terbuka, meluncur dari kanan kiri menampar ke arah kedua pelipis kepala lawan.

   "Wuuuuutttt plakk!"

   Kedua tangannya itu tertahan dan ternyata telah dipegang pada pergelangan tangannya oleh sepasang tangan Ki Harya Baka Wulung yang besar. Kedua pergelangan tangannya rasanya seperti dijepit alat penjepit dari baja. Demikian kuatnya jari-jari yang panjang dan besar itu mencengkeram pergelangan kedua tangannya. Seakan-akan remuk rasa tulang lengannya. Ki Bargowo lalu mengerahkan aji Welut Ireng yang menjadi andalannya, bahkan aji itu dipergunakan untuk menjadi nama perkumpulannya karena semua anak buahnya mempelajari aji itu. Tubuhnya menggeliat, kedua lengannya bergerak dan kedua lengannya itu bagaikan telah berobah menjadi belutbelut yang licin sekali tubuhnya sehingga terlepas dari cengkeraman kedua tangan Ki Harya Baka Wulung! Ki Bargowo melompat ke belakang.

   "Ehh??"

   Ki Harya Baka Wulung terbelalak, akan tetapi lalu terkekeh.

   "Heh-heh heh, itukah aji Welut Ireng? Bagus! Akan tetapi sekali lagi engkau terpegang oleh tanganku akan kuremas hancur dan hendak kulihat apakah engkau mempunyai cadangan nyawa!"

   Ki Bargowo tahu benar bahwa lawannya adalah seorang yang sakti mandraguna dan dia tidak akan mampu menandinginya kalau hanya bertangan kosong. Oleh karena itu dia melangkah tiga kali ke belakang dan mencabut pedangnya.

   "Harya Baka Wulung, aku siap membela Mataram dengan taruhan nyawaku!"

   Kata Ki Bargowo sambil memasang kuda-kuda, pedang di tangan kanan diangkat tinggi di atas kepala sedangkan tangan kirinya menyilang di depan dada.

   "Heh-heh-heh, bagus sekali! Akupun siap membela Madura dan menentang Mataram dengan taruhan nyawaku!"

   Kata Ki Harya Baka Wulung dengan sikap menantang.

   "Pusaka telah siap di tanganku! Keluarkanlah senjatamu agar kita dapat mengadu nyawa!"

   Kata Ki Bargowo. Sebagai seorang pendekar yang berwatak gagah dia tidak mau menyerang lawan yang belum memegang senjata.

   "Heh-heh-heh, Ki Bargowo. Biarpun engkau memiliki enam buah tangan yang semua memegang senjata, aku tidak takut menghadapimu dengan tangan kosong. Maju dan bersiaplah untuk mati di tanganku!"

   Mendengar ucapan ini, makin yakinlah hati Ki Bargowo bahwa lawannya memang tangguh sekali. Hanya orang yang sakti sekali dan sudah penuh kepercayaan akan kesaktiannya itu yang akan berani menghadapi lawan bersenjata hanya dengan tangan kosong. Karena ditantang, Ki Bargowo tidak merasa sungkan lagi. Dia menggerakkan pedangnya di atas kepala lalu berseru nyaring.

   "Sambut serangan pedangku!"

   Pedang itu menyambar ke arah leher Ki Harya Baka Wulung dengan cepat sekali sehingga tampak sinar pedang menyambar seperti kilat. Namun sambil tersenyum datuk dari Madura ini menggeser kakinya dan mengelak dengan mudah. Baka Wulung tidak membual ketika dia mengatakan bahwa seluruh rakyat Madura mengenal namanya. Dia bahkan merupakan orang kepercayaan Panembahan Lemah Duwur adipati di Aros Baya ketika dia masih muda. Kadipaten Aros Baya adalah sebuah kadipaten yang kuat di Madura barat. Dia seorang ahli ilmu silat dan ilmu sihir dan disegani, juga seorang yang amat setia terhadap Kadipaten Aros Baya pada khususnya dan Pulau Madura pada umumnya.

   Melihat serangan pertamanya dapat dielakkan dengan mudah oleh lawannya, Ki Bargowo menyusulkan serangan kedua. Kini pedangnya meluncur dan menusuk ke arah dada Baka Wulung.

   "Heeeiiiiitt!"

   Ki Harya Baka Wulung kembali mengelak dengan miringkan tubuhnya ke kanan. Ketika pedang lawannya meluncur di samping kiri tubuhnya, tangan kirinya mencengkeram ke depan, ke arah lengan kanan Ki Bargowo. Ketua Welut Ireng inipun bukan seorang lemah. Dia tahu bahwa sekali ini apabila lengannya dapat dicengkeram tangan yang amat kuat itu, tentu akan remuk dan patah-patah tulang lengannya. Maka diapun cepat menarik pedangnya dan memutar pedang itu sehingga kini keadaannya berbalik. Pedangnya yang mengancam tangan kiri lawan!

   "Tranggg....!"

   Ki Bargowo terkejut dan melangkah mundur. Ternyata pedangnya yang bertemu dengan tangan kiri itu terpental, seolah tangan itu terbuat dari baja yang amat keras dan kuat!

   Tiba-tiba terdengar suara tawa meninggi seperti tawa perempuan.

   "Hi-hi-hik, Ki Harya Baka Wulung, kenapa engkau masih bermain-main?"

   Yang tertawa dan menegur ini adalah Wiku Menak Koncar.

   "Ki Harya Baka Wulung, cepat bereskan dia dan jangan membuang banyak waktu!"

   Kata pula Kyai Sidhi Kawasa dengan suaranya yang lembut.

   Mendengar ini, Ki Harya Baka Wulung terkekeh.

   "Heh-heh-heh, engkau mendengar kata kawan-kawanku, Ki Bargowo? .Sekarang matilah engkau!"

   Setelah berkata demikian, dia menekuk kedua lututnya hampir berjongkok dan kedua tangannya didorongkan ke arah dan mulutnya berseru dengan suara yang seolah keluar dari dalam perutnya.

   "Aji Cantuka Sakti""

   Kok-kok-kokkk!"

   Berbarengan dengan bunyi kok-kok tadi, dari kedua telapak tangan itu menyambar angin pukulan yang amat dahsyat sehingga tanah dan pasir ikut beterbangan seperti dilanda angin lesus! Ki Bargowo maklum bahwa dia diserang oleh pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sakti yang amat kuat. Dia tahu bahwa dia tidak mampu mengelak, maka diapun mengerahkan tenaga saktinya untuk menyambut pukulan itu dengan mendorongkan kedua tangannya ke depan setelah melepaskan pedangnya yang jatuh ke atas tanah.

   "Wuuuuttt blarrrr...!"

   Hebat sekali pertemuan antara dua tenaga sakti itu Dan akibatnya, tubuh Ki Bargowo terlempar ke belakang seperti daun kering tertiup angin dan jatuh terbanting dengan kerasnya di depan para anak buahnya. Para anak buah Welut Ireng cepat menghampiri dan berusaha membantu ketua mereka untuk bangkit. Akan tetapi mereka melihat bahwa Ki Bargowo telah tewas dan darah segar mengalir keluar dari mulutnya!

   Melihat ketua mereka tewas, para anggauta Welut Ireng yang setia itu terkejut sekali dan mereka menjadi marah. Serentak mereka maju menyerang tiga orang., itu sambil berteriak marah. Melihat limapuluh orang lebih itu menyerbu dengan golok atau pedang di tangan, tiga orang datuk itu lalu tertawa. Suara tawa mereka berbeda nadanya.

   "Heh-heh-heh-heh !!"

   Ki Harya Baka Wulung tertawa.

   "Hi-hi-hi-hik....!"

   Tawa Wiku Menak Koncar terdengar seperti tawa seorang wanita.

   "Ha-ha-ha-ha !"

   Kyai Sidhi Kawasa juga tertawa, suara tawanya merdu dan halus. Akan tetapi dalam suara tawa tiga orang itu, terkandung getaran yang amat hebat. Gelombang getaran ini menerjang dan menyerang limapuluh lebih anak buah Welut Ireng dan mereka terhuyung-huyung. Ada yang mendekap dada karena merasa jantung mereka tergoncang hebat. Ada yang menutupi kedua telinga karena merasa telinga mereka seperti ditusuk-tusuk jarum. Bahkan ada yang sudah bergulingan di atas tanah sambil merintih-rintih. Mereka saling bertabrakan dan senjata golok atau pedang yang tadi mereka pegang terlepas dari tangan.

   Tiga orang datuk itu tertawa dan tertawa terus dan puluhan orang itu menjadi semakin tersiksa. Daya serang yang terkandung dalam suara tawa mereka itu iungguh dahsyat dan mengerikan.

   Tiba-tiba terdengar lengkingan suara suling yang amat merdu. Suaranya melengking-lengking, merdu dan mengalun, bergema di seluruh penjuru. Anehnya, kalau lengking itu merendah, seolah mempunyai daya yang amat kuat yang menyeret tiga suara tawa itu dan kalau lengking itu meninggi seolah mempunyai daya yang amat kuat yang menarik tiga suara itu ke atas sehingga hilang daya serangnya. Begitu suara suling itu melengking-lengking, puluhan orang itupun terbebas dari serangan suara yang dahsyat itu. Mereka dapat bernapas lega, rasa nyeri pada telinga dan jantung mereka lenyap. Mereka mulai memunguti senjata mereka akan tetapi tidak berani sembarangan bergerak, hanya menonton "pertandingan"

   Yang amat aneh itu. Pertandingan antara tiga suara tawa dan lengking suara suling! Dan kini mereka melihat bahwa suara suling itu keluar dari sebatang suling putih kekuningan yang ditiup oleh seorang kakek tua renta yan duduk di atas sebuah batu besar.

   Tiga orang datuk itu terkejut bukan main. Ada daya kekuatan lembut yang bagaikan dinding yang kuat keluar dari suara suling itu, membendung dan menghalang sehingga daya serang suara tawa mereka membalik! Mereka menjadi penasaran dan berusaha untuk memperkuat, suara tawa mereka untuk menembus dinding itu. Akan tetapi makin kuat mereka tertawa, semakin kuat pula daya serang mereka sendiri yang membalik dan gelombang suara itu menghantam mereka sendiri.

   Akhirnya ketiga orang datuk itu terhuyung dan menghentikan suara tawa mereka karena kalau mereka lanjutkan, mereka akan terserang daya kekuatan suara tawa mereka sendiri yang akan berakibat gawat bagi keselamatan mereka. Begitu tiga gelombang suara tawa itu berhenti, suara suling juga semakin lirih akhirnya lenyap, hanya meninggalkan gaung yang seolah bergema di empat penjuru.

   Resi Tejo Wening menyelipkan lagi seruling gading di ikat pinggangnya, kemudian perlahan-lahan turun dari atas batu besar. Sementara itu, tiga orang datuk dengan marah melangkah dan menghampiri Resi Tejo Wening yang sudah turun dari atas batu dan berdiri tegak dengan sikap tenang dan mulut tersenyum, sepasang matanya memandang kepada tiga orang itu dengan sinar yang lembut dan penuh pengertian. Semua anggauta Welut Ireng yang masih belum kehilangan rasa kaget dan ngeri, berdiri berkelompok dan hanya menonton tanpa mengeluarkan suara dengan hati tegang.

   "Semoga Sang Hyang Widhi mengampuni kita semua"

   Kata Resi Tejo W-ening kepada tiga orang datuk yang kini sudah berdiri di depannya dengan wajah mengandung penasaran.

   "Tiga orang ki sanak yang bijaksana, kurasa kalian bertiga sudah membuang waktu berpuluh tahun mempelajari berbagai ilmu adalah dengan niat untuk dipergunakan guna menolong sesamamanusia, bukan untuk mencelakai manusia. Akan tetapi apa yang kulihat sekarang sungguh berlawanan. Andika bertiga telah membunuh seorang pendekar, bahkan nyaris membunuh puluhan orang anak buahnya. Mengapa begini, ki sanak?"

   "Orang lancang, sebelum kita bicara, katakanlah dulu siapa engkau!"

   Kata Ki Harya Baka Wulung yang memiliki watak keras dan terbuka sehingga mendatangkan kesan kasar.

   Resi Tejo Wening memandang datuk dari Madura ini sambil mengelus jenggot putihnya dan mulutnya tersenyum.

   "Aku sudah mendengar tadi bahwa andika adalah Ki Harya Baka Wulung dari Madura yang terkenal sebagai seorang satria yang gagah perkasa. Perkenalkan, aku biasa disebut orang Resi Tejo Wening, nama yang sama sekali tidak terkenal, maka andika bertiga tentu tidak mengenal aku."

   "Resi Tejo Wening, katakan di mana tempat tinggalmu agar aku dapat mengetahui dari aliran mana andika berasal,"

   Kata Wiku Menak Koncar dengan suaranya yang tinggi dan lantang.

   "Andika adalah Sang Wiku Menak Koncar dari Blambangan yang amat terkenal itu. Andika bertanya di mana tempat tinggalku? Di mana kedua kakiku berdiri, di situlah tempat tinggalku. Rumahku berlantai tanah berdinding pohon dan beratap langit."

   "Resi Tejo Wening, aku melihat bahwa andika adalah seorang yang bijaksana. Andika masih bertanya mengapa kami menewaskan Ki Bargowo dan menyerang puluhan orang anak buah perkumpulan Welut Ireng. Mengapa andika masih berpura-pura tidak mengerti? Perbuatan kami itu bukan tindak kejahatan yang sewenang-wenang melainkan hanya sebuah akibat belaka dan andika tentu tahu bahwa semua akibat tentu ada sebabnya. Dan sebabnya terletak pada sikap Ki Bargowo dan anak buahnya sendiri!"

   Kata Kyai Sidhi Kawas dengan lembut namun penuh semangat sehingga kedua matanya mencorong menatap, wajah Resi Tejo Wening.

   "Jagad Dewa Bathara! Semoga Sang, Hyang Widhi mengampuni kita semua! Andika adalah Kyai Sidhi Kawasa dari Banten. Sikap dan tutur sapa andika sesuai dengan nama besar andika sebagai mantan senopati Kerajaan Banten. Ucapanmu memang benar, ki sanak. Akan tetapi lupakah andika bahwa akibat yang mengandung kekerasan itu dapat menjadi sebab dari akibat lanjutannya pula? Mengapa seorang bijaksana seperti andika membiarkan diri terlibat dalam ikatan rantai karma? Kalau andika bertiga dan para anggauta Welut Ireng terlibat dalam perang dan masing-masing berjuang demi tanah air masing-masing, hal itu sudah sewajarnya. Akan tetapi kalian tidak sedang berperang dan andika bertiga hendak membunuh puluhan orang yang tidak berdosa. Kalau aku berdiam diri berarti aku juga ikut membantu kalian membantai puluhan orang itu."

   "Resi Tejo Wening!"

   Ki Harya Baka Wulung membentak marah.

   "Kami bertiga adalah satriasatria sejati yang membela kerajaan dan kadipaten kami masing-masing! Kami siap untuk mengorbankan nyawa demi membela daerah kami masingmasing! Mataram telah menyerang dan menundukkan banyak kadipaten di Jawa Timur, dan kami merasa terancam. Karena itu kami menentang Mataram. Ki Bargowo dan anak buahnya membela Mataram dan tidak mau kami ajak bekerja sama, karena itu kami hendak membasmi mereka yang kami anggap sebagai musuh. Apakah andika hendak menyalahkan kami?"

   "Aku tahu bahwa kalian semua berjuang untuk membela kadipaten masing-masing. Pihak kalian maupun pihak Mataram tentu memiliki alasan-alasan masing-masing yang kuat untuk membenarkan perjuangan masing-masing pula. Aku tidak akan mencampuri pertikaian antara sesama bangsa itu. Akan tetapi di atas segalanya masih terdapat kekuasaan Tuhan dan betapapun pandainya manusia, tidak mungki dia akan mengubah keputusan yang telah digariskan Hyang Widhi."

   

   

   "Resi Tejo Wening,"

   Kata Kyai Sid Kawasa.

   "kamipun percaya akan kekuasaa Tuhan. Akan tetapi kita juga sudah diberi kewajiban untuk berikhtiar! Tuhan tidak akan menolong manusia yang tidak mau menolong dirinya sendiri. Sungguhpun keputusan terakhir berada dalam tangan Tuhan, namun berikhtiar sekuat tenaga merupakan kewajiban bagi kita. Perjuangan membela daerah dan kadipaten atau kerajaan kami masing-masing merupakan kewajiban bagi kami dan akan kami perjuangkan dengan taruhan nyawa!"

   Resi Tejo Wening mengangguk-angguk.

   "Bagus, andika bertiga memang satria-satria gagah perkasa. Akan tetapi jangan dilupakan bahwa baik buruk usaha itu tergantung sepenuhnya kepada caranya, bukan pada tujuannya. Caranyalah yang menjadi sebab dan tujuan hanyalah akibat. Cara yang baik akan menghasilkan akibat yang baik pula seperti pohon yang baik tentu menghasilkan buah yang baik."

   "Omong kosong!"

   Bentak Wiku Menak Koncar dengan suara tinggi.

   "Kami mementingkan tujuan dan tujuan kami adalah baik!"

   "Sayang sungguh sayang! Andika menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan? Kalau begitu kalian pasti akan memetik buah daripada pohon yang benihnya andika tanam sendiri."

   "Sudahlah, Resi Tejo Wening. Kalau andika tidak membela Mataram, kami tidak akan memusuhi andika. Pergilah dan jangan campuri urusan kami dengan orangr-orang Welut Ireng,"

   Kata Ki Harya Baka Wulung.

   Resi Tejo Wening menggeleng kepalarrya.

   "Aku tidak akan mencampuri permusuhan dan pertikaian antara saudara sebangsa. Akan tetapi akupun tidak dapat berpeluk tangan saja kalau andika bertiga hendak membunuh semua orang yang tidak bersalah ini."

   "Andika hendak melawan kami?"

   Tanya Wiku Menak Koncar.

   "Aku tidak hendak melawan siapa-siapa. Aku hanya ingin melindungi orang-orang ini dari ancaman maut."

   "Resi Tejo Wening!"

   Kata Kyai Sidh Kawasa.

   "Kalau engkau melindungi orang orang yang menjadi musuh kami, berarti andika juga menjadi musuh kami. Terpaksa kami akan mengenyahkan andika dengan kekerasan kalau andika tidak mau membiarkan kami membasmi musuh-musuh kami."

   "Terserah kepada andika sekalian,"

   Kata Resi Tejo Wening dengan tenang.

   Tiga orang datuk itu saling pandang dan mereka bertiga lalu berdiri dengan kepala menunduk, kedua lengan bersilang di depan dada lalu mengerahkan kekuatan batin mereka. Ketiganya selain merupakan ahli-ahli silat yang digdaya, juga memiliki kelebihan menggunakan ilmu sihir untuk menyerang lawan.

   Dari tubuh Ki Harya Baka Wulung mengepul asap hitam yang makin lama semakin tebal dan perlahan-lahan asap hitam itu bergerak ke arah Resi Tejo Wening Pada saat itu juga, dari tubuh Wiku Menak Koncar bertiup angin yang makin lama semakin kencang dan berpusing seperti angin ribut. Sementara itu, dari tubuh Kyai Sidhi Kawasa muncul api berkobar yang juga menuju ke arah Resi Tejo Wening!

   "Daya Kukus Langking"..!"

   Bentak Ki Harya Baka Wulung dan asap hitam tebal itu kini nenyerbu ke arah Resi Tejo Wening.

   "Daya Bayu Bajra".!"

   Wiku Menak Koncar juga membentak dan angin ribut itu juga menyambar ke arah sang resi.

   "Daya Analabani"..!"

   Kyai Sidhi Kawasa berseru dan api berkobar itu menyerang pula ke arah sang resi. Tubuh Sang Resi Tejo Wening tidak tampak lagi karena sudah tertutup asap hitam. Angin ribut dan api juga menyerangnya.

   Tiba-tiba terdengar bunyi seruling melengking-lengking, makin lama semakin nyaring dan asap hitam, angin ribut dan kobaran api itu seperti terdorong tenaga yang amat kuat sehingga membalik dan menyerang tiga orang itu sendiri! Tiga orang datuk itu mengerahkan seluruh tenaga batin mereka untuk memperkuat daya serangan mereka, namun tetap saja asap, angin dan api itu membalik sehingga terpaksa mereka menghentikan ilmu sihir mereka kalau tidak ingin menjadi korban daya ciptaan mereka sendiri. Mereka bertiga menurunkan kedua tangan dan asap, angin dan api itu pun lenyap.

   Para anak buah Welut Ireng terbelalak dan bengong menyaksikan adu kekuatan yang aneh itu. Karena Resi Tejo Wening melindungi mereka, tentu saja mereka berpihak kepada kakek tua renta ini. Tadi ketika ada asap hitam, angin ribut dar kobaran api menyerang sang resi, mereka semua menjadi gelisah dan khawatir sekali. Mereka maklum bahwa kalau sang resi kalah, tentu nyawa mereka terancam maut di tangan tiga orang sakti itu. Akan tetapi ternyata, dengan suara sulingnya, Resi Tejo Wening dapat mengalahkan ilmu sihir ketiga orang penyerangnya. Setelah tiga orang itu menghentikan serangan mereka, sang resi juga menghentikan tiupan sulingnya dan menyelipkan kembali seruling itu di ikat pinggangnya.

   Melihat betapa ilmu sihir mereka, seperti juga suara tawa mereka tadi, dikalahkan dengan mudah oleh sang resi, tiga orang datuk itu menjadi penasaran dan marah sekali. Mereka saling pandang dan mereka telah bersepakat untuk mempergunakan aji pukulan sakti mereka, pukulan yang mengandung tenaga sakti yang amat kuat. Kalau resi yang tua renta itu mampu mengalahkan ilmu sihir mereka, belum tentu tubuh tua yang tampak ringkih itu akan mampu bertahan terhadap aji pamungkas mereka yang dilakukan berbareng!

   Ki Harya Baka Wulung melakukan gerakan seperti tadi ketika dia merobohkan Ki Bargowo. Dia menekuk kedua kaki sampai hampir berjongkok, kedua tangan mendorong ke depan dan berteriak nyaring.

   "Aji Cantuka Sakti!"

   Wiku Menak Koncar juga mengerahkan aji pamungkasnya. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, punggungnya membungkuk dalam seperti seekor lembut hendak menanduk lalu mendorongkan kedua tangan sambil berteriak lantang.

   "Aji Nandaka Kroda!"

   Pada saat yang bersamaan, Kyai Sidhi Kawasa juga mengerahkan aji pamungkasnya. Dia menekuk lutut kanannya dan menarik kaki kiri ke belakang lalu kedua tangannya didorongkan ke depan sambil berteriak pula.

   "Aji Hastanala!"

   Serangan tiga orang datuk itu dilakukan dengan berbareng. Memang mereka sengaja melakukan serangan secara berbareng dan serangan itu bukan main dahsyatnya. Baru Aji Cantuka Sakti (Katak Sakti) itu saja tadi telah menewaskan Ki Bargowo yang digdaya. Aji Nandaka Kroda (Banteng Marah) itupun tidak kalah hebatnya. Hantamannya dapat menghancurkan sebongkah batu besar dan menumbangkan sebatang pohon jati sebesar orang. Aji Hastanala (Tangan Api) lebih hebat lagi. Apa saja yang dilanda aji ini akan tumbang dan hangus seperti disambar petir!

   Kini ketiga aji yang amat dahsyat itu menyambar secara berbareng ke arah tubuh kakek tua yang tampak ringkih itu! Anehnya, Resi Tejo Wening tidak melawan sama sekali! Kakek ini bahkan merangkap tangannya depan dada seperti menyembah.

   Puluhan orang anak buah Welut Ireng memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat. Mereka semua dapat menduga akan kedahsyatan serangan tiga orang itu. Tiga orang anak buah Welut Ireng yang memegang tombak tidak dapat menahan kekhawatiran mereka. Dengan nekat mereka lalu melompat dan menyerang tiga orang itu dengan tusukan tombak mereka.

   "Aauugghhh !"

   Tiga orang itu terpental dan terbanting roboh, hanya sempat mengeluarkan teriakan itu karena mereka bertiga telah tewas dan dari mulut mereka mengalir darah segar!

   Mereka tidak tahu bahwa tubuh tiga orang datuk pada saat itu sedang mengeluarkan hawa yang mengandung tenaga sakti yang amat hebat sehingga sebelum tombak mereka menyentuh tubuh tiga orang datuk itu, ada hawa dahsyat membuat mereka terpental dan tewas seketika. Kini hawa pukulan sakti tiga orang datuk itu sudah menghantam ke arah Resi 'I'ejo Wening.

   Akan tetapi apa yang terjadi? Tenaga sakti tiga orang itu seperti menghantam udara kosong, seolah tenggelam ke dalam air samudera. Tiga orang itu merasa penasaran dan kini merek menerjang maju, hendak menyerang langsung dengan tangan mereka. Akan tetapi ketika tangan mereka. menyambar ke arah dada dan kepala Resi Tejo Wening, mereka bertiga seolah terdorong oleh hawa yang teramat kuat sehingga ketiganya mundur dan terhuyung-huyung. Bertemu dengan hawa itu, tenaga pukulan merek membalik.Mereka bertiga saling pandang dengan muka berubah pucat. Kini baru mereka bertiga yakin bahwa mereka berhadap; dengan orang yang sakti mandraguna, yang tanpa pengerahan tenaga sakti sudah terlindung oleh kekuatan yang maha dahsyat.

   Melihat Resi Tejo Wening masih merangkap kedua tangan depan dada seperti sembah, tiga orang itupun menyembah dengan kedua tangan dirangkap depan dada dan Ki Harya Baka Wulung mewakili teman temannya berkata dengan suara rendah.

   "Resi Tejo Wening, sekali ini ka mengaku kalah. Akan tetapi kami tidak akan berhenti berjuang sebelum kerajaan Mataram yang murka itu dapat dihancurkan."

   "Kalau Hyang Widhi Wasa tidak menghendaki, kekuasaan apapun tidak mungkin dapat menghancurkan Mataram. Aku tidak akan mencampuri pertikaian antara saudara sendiri, akan tetapi aku akan selalu berupaya untuk membantu kehendak Hyang Widhi, berusaha menjadi alat yang baik dari Hyang Widhi."

   "Babo-babo, kita sama lihat saja nanti siapa yang benar di antara kita,"

   Kata Wiku Menak Koncar. Setelah berkata demikian, Wiku Menak Koncar dan dua orang temannya membalikkan tubuh dan melangkah pergi menuruni puncak Argadumilah. Entah siapa yang mendahului, limapuluh lebih anggauta Welut Ireng itu lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap Resi Tejo Wening dan memberi hormat dengan sembah.

   "Bapa Resi, paduka telah menyelamatkan nyawa kami. Terima kasih kami ucapkan atas budi pertolongan paduka,"

   Kata seorang di antara mereka yang mewakili semua temannya.

   "Sudahlah, jangan berterima kasih kepadaku. Kalau hendak berterima kasih bersyukur dan berterima kasihlah kepad Sang Hyang Widhi karena hanya Dia yang kuasa menyelamatkan semua orang. Sekarang lebih baik kalian mengurus jenasa Ki Bargowo dan teman-teman kalian yang tewas. Setelah itu, susunlah kembali perkumpulan kalian dan kalian pilih sendiri siapa yang patut menggantikan mendiang Ki Bargowo dan menjadi ketua baru."

   Setelah berkata demikian, Resi Tejo Wening mengangkat tangan kanannya seperti hendak memberi doa restu, kemudia dia melangkah pergi dengan santai. Para anak buah perkumpulan Welut Ireng itu, lalu mengangkat jenasah Ki Bargowo dan tiga orang kawan yang baru saja menyerang tiga datuk itu dan tewas juga ada lima orang kawan lain yang telah tewas lebih dulu ketika tiga orang datuk itu menyerang mereka dengan gelombang suara tawa. Mereka menggotong mayat-mayat itu turun dari puncak Argadumilah untuk dicarikan tempat yang baik di lereng bawah dan mengubur mayat-mayat itu.

   Desa Pakis merupakan sebuah desa yang cukup besar. Penduduknya banyak dan mereka semua hidup sebagai petani di lereng Gunung Lauw sebelah timur laut yang tanahnya subur. Desa Pakis dikepalai seorang Demang maka daerah Pakis disebut Kademangan Pakis. Demang itu Bernama Demang Wiroboyo, seorang lakilaki bertubuh tinggi besar, kumisnya sekepal sebelah sehingga tampak gagah dan inenyeramkan. Usia Wiroboyo sekitar empatpuluh tahun. Dia sebenarnya merupakan seorang kepala dusun yang baik dan bijaksana, tidak menindas rakyatnya, bahkan selalu berusaha untuk menyejahterakan kehidupan rakyat dusun Kademangan Pakis.

   Dia disegani dan dihormati semua orang di daerah Kademangan Pakis. Akan tetapi, di manakah terdapat anusia yang tanpa cacad? Demikian pula Ki Wiroboyo, di samping kelebihannya, juga terdapat kekurangannya. Kekurangannya itu adalah bahwa dia seorang laki-laki mata keranjangi Di dalam rumah besar kademangannya, dia sudah mempunyai tiga orang isteri. Aka tetapi, matanya masih saja menjadi liar kalau dia melihat wanita cantik. Hanya satu hal yang merupakan pantangan bagi Ki Wiroboyo. Betapapun cantiknya seorang wanita sampai membuat dia tergila-gila dia tidak akan mengganggunya kalau wanita itu sudah mempunyai suami.

   Dia tidak mau mengganggu isteri orang. Yang diburu hanyalah wanita yang masih gadis atau janda. Akan tetapi, kalau nafsu berahi sudah memenuhi kepalanya dalam mengejar seorang gadis atau janda, dia akan berupaya sekuat tenaga untuk mendapatkan wanita itu. Tentu saja pertama-tama dengan cara memikat. Harta dan kekuasaannya menjadi umpan ditambah janji-janji muluk. Dan kalau sudah tergila-gila, timbullah kejahatannya. Untuk mendapatkan seorang gadis atau janda yang membuatnya tergila-gila, dia tidak segan menggunakan kekerasan, mengandalkan kedudukannya sebagai orang yang paling berkuasa di Kademangan Pakis.

   Karena tabiat Demang Wiroboyo ini, banyak orang tua yang memiliki anak gadis yang tergolong cantik, mengungsikan anak gadis mereka ke dusun lain atau terpaksa sekeluarga pindah tempat. Lain lagi ulah sebagian besar para janda. Mereka ini bahkan bersaing dan berlomba untuk dapat menarik hati sang demang. Menjadi kekasih demang berarti datangnya uang dan kehormatan!

   Di ujung Kademangan Pakis, dekat pintu gerbang dusun itu terdapat sebuah rumah pondok sederhana, namun dikelilingi taman yang terawat baik sehingga keadaan di situ menyenangkan. Itu adalah rurnah dari seorang duda bernama Ronggo Bangak. Telah sepuluh tahun dia tinggal di Pakis dan hidup sebagai ahli pembuat patung dari kayu yang diukir indah. Penduduk dusun Pakis tidak mengenal riwayatnya, hanya mengetahui bahwa Ronggo Bangak adalah seorang yang masih berdarah bangsawan dan pendatang dari pesisir utara, dekat daerah Demak. Dia hidup seorang diri di pondoknya, akan tetapi sejak lima tahun yang lalu dia mempunyai seorang murid yang hampir setiap malam datang berkunjung.

   Muridnya itu seorang pemuda yang kini telah berusia delapanbelas dan bekerja sebagai pemelihara kuda. Nama pemuda itu adalah Parmadi, seorang remaja putera yang sudah yatim-piatu sejak dia berusia sepuluh tahun. Karena dia kematian kedua orang tuanya dan tidak mempunyai keluarga lagi, Demang Wiroboyo menerimanya sebagai seorang pekerja di rumahnya. Mula-mula sebagai kacung dan pembantu serabutan. Kemudian dia diangkat menjadi tukang mengurus kuda milik Ki Demang yang berjumlah tujuh ekor.

   Sejak dia berusia tigabelas tahun, Parmadi mulai tertarik dengan pekerjaan Ronggo Bangak dan seringkali datang berkunjung. Akhirnya dia diterima sebagai murid dan setelah semua kuda diberi makan dan dimasukkan kandang, Parmadi lalu pergi ke rumah Ronggo Bangak. Dari lelaki seniman ini dia mempelajari banyak hal. Belajar membaca dan menulis, mengukir dan membuat patung, meniup seruling dan tata-krama. Lima tahun sudah dia berguru kepada Ronggo Bangak yang disebutnya paman, hubungan di antara mereka akrab sekali.

   Pada suatu malam ketika Parmadi datang ke pondok Ronggo Bangak, laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun itu berkata kepadanya.

   "Parmadi, telah kurang lebih lima tahun engkau mempelajari sastra dan seni ukir di sini. Ternyata engkau berbakat dan rajin sekali sehingga aku senang sekali mengajarimu. Kini engkau memiliki modal kepandaian yang lumayan. Engkau pandai membaca dengan lancar, tulisanmu cukup indah dan engkaupun sudah pandai mengukir dan membuat patung. Aku ikut merasa bangga dan senang sekali, Parmadi."

   Ronggo Bangak menatap wajah Parmadi dan diam-diam dia mengagumi remaja itu. Parmadi, sungguhpun hanya seorang dusun pegunungan, namun memiliki wajah yang tampan dan ganteng, pantas menjadi pemuda bangsawan sekalipun. Pakaiannya sebagai abdi yang sederhana itu tidak menyembunyikan ketampanannya. Wajahnya tampan dan gagah, pandang matanya lembut, hidungnya mancung dan wajahnya selalu cerah dengan bibir yang membayangkan senyum. Perawakannya sedang namun tegap karena dia sudah biasa bekerja keras sejak kecil di rumah Ki Demang.

   Parmadi memandang wajah Ronggo Bangak dengan sinar mata mengandung rasa terima kasih. Wajah orang setengah tua itu tampak bersih dan tampan, sepasasang matanya memiliki bulu mata yang panjang, lentik, ciri khas kaum bangsawan, tubuhnya jangkung agak kurus dan gerak-geriknya lembut.

   "Berkat bimbingan paman maka saya dapat mempelajari semua itu. Saya amat berterima kasih kepada paman."

   "Ah, sudah berulang kali kukataka engkau tidak perlu berterima kasih kepadaku, Parmadi. Berterima kasihlah kepada dirimu sendiri, kepada semangat dan ketekunanmu sendiri. Apa artinya bimbing: seorang guru kalau si murid tidak tekun belajar? Seorang guru hanya memberi petunjuk dan kemajuan si murid tergantung kepada murid itu sendiri. Aku hanya ingin mengingatkan kepadamu, Parmadi. Namamu mirip nama Permadi, yaitu nama kecil dari Janoko atau Harjuno ksatria panengah Pandowo. Tirulah sifat dan sepak terjangnya, Parmadi. Dia rendah hati, lemah lembut, dan bersusila. Akan tetapi untuk membela kebenaran dan keadilan, dia berjuang tanpa pamrih dan berani berkorban namun tidak kejam. Hormat dan tidak menjilat kepada atasan atau yang lebih tua, membimbing dan tidak menekan kepada bawahan atau yang lebih muda."

   "Semua nasihat paman masih saya ingat semua dengan baik dan mudah-mudahan saya akan mampu melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari."

   "Sekarang aku ingin memberi tahu kepadamu bahwa besok pagi-pagi aku hendak pergi meninggalkan Kademangan Pakis dan mungkin selama sepekan lebih aku baru pulang."

   "Ah, paman hendak pergi ke manakah, kalau saya boleh bertanya?"

   'Aku akan pergi ke Demak untuk menjemput anakku."

   "Wah, paman mempunyai anak? Belum pernah paman ceritakan kepada saya. Berapakah usianya, paman? Laki-laki atau perempuan?"

   Tanya Parmadi dengan nada gembira.

   "Dahulu aku tinggal di pesisir utara bersama isteriku dan seorang anak perempuan kami. Akan tetapi sepuluh tahun yang lalu isteriku meninggal"."

   Wajah K Ronggo Bangak tampak muram.

   "Maafkan saya, paman, kalau pertanyaan saya mengingatkan paman akan hal-hal yang menyedihkan."

   Mendengar ucapan Parmadi, wajah Ronggo Bangak menjadi terang kembali "Tidak mengapalah, Parmadi. Bukan salahmu, melainkan karena kelemahanku sendiri. Karena isteriku meninggal dunia, maka aku lalu menitipkan anak perempuan kam itu kepada neneknya dan aku lalu berpindah ke sini. Ketika kutinggalkan kepada neneknya, Muryani berusia enam tahun. Sekarang ia tentu telah menjadi seorang gadis remaja berusia enambelas tahun. Aku mendapat kabar bahwa ibuku yaitu neneknya, menderita sakit, karena itu aku harus pergi ke sana dan mungkin Muryani akan kuajak pindah ke sini."

   "Kalau begitu, selamat jalan, paman. Saya akan berkunjung ke sini setiap sore selepas kerja dan akan saya bersihkan halaman depan."

   "Baik, dan terima kasih, Parmadi. Ini ada sebuah kitab Bhagawad Gita agar engkau baca dan renungkan isinya. Engkau akan memperoleh banyak pengertian tentang kehidupan dari kitab ini, Parmadi."

   Ronggo Bangak menyerahkan sebuah kitab yang sudah tua kepada pemuda itu.

 

JILID 2



   "Terima kasih, paman."

   Pada keesokan harinya, Ronggo Bangak meninggalkan dusun Pakis di lereng Lawu itu dan melakukan perjalanan ke utara. Parmadi memenuhi janjinya. Setiap petang selepas kerja dia tentu datang ke rumah gurunya itu dan membersihkan halaman dari daun-daun pohon yang rontok. Dia membersihkan taman, menyirami dan merawat tanaman bunga, mencabuti rumput-rumput liar.

Akan tetapi Ronggo Bangak yang dia tunggu-tunggu itu tak kunjung pulang. Sampai hampir sebulan Parmadi setiap hari datang membersihkan taman dan halaman dan pada suatu petang, ketika Parmadi sedang menyirami bunga, Ronggo Bangak datang bersama seorang gadis remaja.

   "Paman sudah pulang?"

   Seru Parma yang menyambut mereka dengan giran "Paman baik-baik saja dan tidak ada halangan dalam perjalanan, bukan?"

   "Parmadi, engkau masih datang setiap petang di sini? Ah, engkau tentu menunggu-nunggu kembaliku. Sampai hampir sebulan aku baru pulang. Kenalkan ini anakku Muryani. Nini, ini adalah Parmadi seperti yang pernah kuceritakan padamu. Sebut dia kakang."

   Cuaca petang itu sudah remang-remang Pemuda dan gadis itu saling pandang dan saling membungkuk.

   "Kakang Parmadi...."

   Terdengar lirih dari mulut gadis itu.

   "Adi Muryani"."

   Kata pula Parmadi dengan sopan.

   "Mari kita masuk dan bicara di dalam kata Ronggo Bangak sambil membuka pintu rumah. Mereka masuk dan Ronggo Bangak mengajak anaknya membawa buntan masuk ke dalam sebuah kamar yang memang sudah dia sediakan untuk kamar anaknya. Kemudian dia keluar dan duduk berhadapan dengan Parmadi, terhalang meja.

   "Engkau tentu tidak sabar menunggu kembaliku, Parmadi. Sampai hampir sebulan aku

   terpaksa belum dapat pulang."

   "Saya merasa khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu yang menghalangi paman untuk pulang,"

   Kata Parmadi.

   "Tidak salah. Memang terjadi sesuatu yang memaksa aku menunda kepulanganku. Ibuku, nenek Muryani, telah meninggal dunia."

   "Ah, saya ikut berbela sungkawa, paman."

   "Kematian ibuku wajar, Parmadi. Beliau sudah tua dan sakit-sakitan. Karena aku harus mengurus dulu kematiannya, maka baru hari ini aku dapat pulang. Tentu saja Muryani ikut bersamaku karena di sana yang ada hanya neneknya itulah."

   Ronggo Bangak menyalakan beberapa buah lampu gantung dalam pondok itu. Tak, lama kemudian Muryani keluar dari dalam kamarnya. Ia sudah mandi dan berganti pakaian. Kesusilaan membuat Parmadi tidak berani memandang langsung dan dia hanya menunduk. Akan tetapi keinginan tahu membuat dia melirik dan akhirnya tanpa disadarinya dia mengangkat muka.

   Kebetulan Muryani juga memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu pandang. Di bawah sinar lampu gantung, mereka kini dapat saling pandang dan melihat jelas wajah masing-masing, tidak seperti tadi ketika bertemu pertama kali mereka terhalang oleh cuaca yang remang-remang. Parmadi terpesona. Belum pernah dia melihat yang seindah itu! Yang secantik manis itu! Betapa jelitanya gadis remaja Itu! Rambutnya hitam agak berikal dan panjang sampai ke punggung, dibiarkan terurai karena habis keramas dan masih basah. Sinom (anak rambut) yang halus melingkar-lingkar menghiasai bagian atas dahinya. Wajahnya agak bulat dengan dagu runcing.

   Sepasang alisnya tampak hitam di atas dasar dahinya yang putih mulus. Kemudian sepasang matanya seperti bintang kejora, lebar dengan ujung meruncing dan agak berjungat, manik matanya jernih sekali, putihnya metah dan hitamnya pekat bersinar-sinar dan jeli. Keindahan mata itu semakin manis karena dihias bulu mati yang panjang tebal dan lentik sehingga pelupuk mata itu seakan dilingkari garis hitam. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya! Entah mana yang lebih indah mempesona antara matanya dan mulutnya! Seperti juga matanya, mulut itu mengandung gairah yang memiliki daya tarik luar biasa. Lengkung bibirnya begitu jelas seperti gendewa terpentang. Sepasang bibir itu merah basah bukan karena pemerah bibi melainkan karena sehat, bibir bawah yang lembut penuh itu seperti mencebil akan tetapi tidak mengejek melainkan menggairahkan dan menggemaskan.

   Kalau sepasang bibir itu agak terbuka maka tampak deretan gigi seperti mutiara berbaris, putih mengkilap. Pipinya putih mulus dan halus agak ke belakang di depan telinga kult pipi itu kemerahan seperti buah tomat Lehernya panjang dan tegak, bagian belakang di belakang daun telinga terhias anak rambut melingkar-lingkar lembut. Tubuh yang bagaikan bunga mulai mekar itu sudah membayangkan bahwa beberapa tahun lagi tubuh itu akan amat indah dengan lekuk-lengkung sempurna. Pinggangnya ramping perutnya datar, dada dan pinggulnya padat. Parmadi melongo, matanya tak pernah berkedip, mulutnya ternganga.

   "Duduklah, nini!"

   Kata Ronggo Bangak.

   Mendengar suara ini, Parmadi merasa seolah diseret kembali ke dunia sadar dan dia tersipu dan dengan gugup dia bangkit dan menyodorkan sebuah bangku kepada gadis itu.

   "Ah, ya".. duduklah, Muryani."

   Mereka duduk berhadapan, terhalang meja. Akan tetapi setelah kini sadar sepenuhnya, tidak dicengkeram pesona oleh keayuan Muryani, Parmadi teringat akan sesuatu dan dia mengerutkan alisnya, hatinya dicekam kekhawatiran.

   Ronggo Bangak yang sudah lima tahun menjadi guru Parmadi, sudah mengenal perasaan yang terbayang di wajah pemuda itu.

   "Parmadi, engkau merisaukan sesuatu. Ada apakah?"

   Parmadi tidak merasa terkejut ketika gurunya membaca isi hatinya. Dia tidak pernah dapat menyembunyikan sesuatu dari pandang mata gurunya yang tajam waspada. Dan diapun biasa berterus terang tidak menyimpan rahasia hatinya kepada Ronggo Bangak.

   "Maafkan kalau saya lancang bicara, Paman. Akan tetapi, paman telah mengajak adik Muryani pulang ke sini. Apakah hal ini tidak menimbulkan bahaya?"

   "Menimbulkan bahaya? Bahaya apakah yang kaumaksudkan, kakang Parmadi?"

   Tanya Muryani sambil menatap wajah pemuqa itu dengan matanya yang jeli itu terbelalak. Parmadi juga memandangnya dan ia tidak tahan untuk menentang pandang mata yang amat tajam itu dan menundukkan pandang matanya. Akan tetapi pertanyaan gadis itu membuat dia gugup dan salah tingkah. Dia menganggap bahwa hal itu terlalu kotor untuk dibicarakan dengan seorang dara seperti Muryani.

   "Anu.... eh, di sini ada Ki Demang Wiroboyo.... dia.... dia itu orang jahat...."

   "Hmm, apa yang kau maksudkan, kakang Parmadi? Bicaralah yang jelas, aku tidak mengerti ke arah mana tujuan kata-katamu. Apa hubungannya demang yang jahat dengan kehadiranku di dusun ini?"

   Ki Ronggo Bangak sudah paham apa yang dikhawatirkan Parmadi dan dia tahu pula bahwa pemuda itu merasa rikuh untuk menceritakan bahaya yang dapat mengancam Muryani. Maka dia lalu berkata.

   "Nini, aku mengerti apa yang dimaksudkan Parmadi."

   "Nah, kalau begitu tolong jelaskan, Ayah. Apa yang dimaksudkan dengan bahaya itu?"

   Tanya Muryani sambil memandang kepada ayahnya.

   "Yang menjadi kepala Kademangan Pakis ini adalah Ki Demang Wiroboyo. Sebetulnya harus diakui bahwa dia seorang demang yang bijaksana dan baik terhadap para penduduk pedusunan. Akan tetapi dia mempunyai satu kelemahan atau cacad yaitu wataknya mata keranjang, tidak memembiarkan bathuk klimis (dahi mulus) lewat begitu saja. Dia seorang laki-laki yang haus wanita cantik. Setiap kali melihat seorang gadis atau janda cantik, pasti akan diganggunya sehingga para gadis cantik di dusun ini banyak yang diungsikan oleh orang tua mereka, pindah ke dusun lain. Nah, Parmadi agaknya khawatir kalau engkau akan diganggu oleh Ki Demang W iroboyo."

   Mendengar keterangan ini, tiba-tiba Muryani meloncat dari atas kursinya, berdiri tegak dan mengepal kedua tangannya menjadi tinju kecil. Matanya bersinar tajam dan keras, wajahnya berubah kemerahan, sepasang alis yang hitam melengkung indah itu berkerut, mulutnya yang menggairahkan itu kini ditarik membayangkan kemarahan.

   "Jahanam keparat busuk!"

   Ia mendesis marah.

   "Kalau dia berani mengganggu aku, akan kuhancurkan kepalanya!"

   Ia mengumangkan tinju kanannya ke atas. Melihat ini, hampir Parmadi tidak dapat menahan tawanya. Dara jelita itu sama sekali tidak tampak menakutkan kalau marah-marah seperti itu dan mengancam hendak mempergunakan kekerasan, melainkan tampak lucu sekali.

   "Hushh, nini, jangan bersikap seperti itu. Tidak pantas seorang gadis bersikap seperti itu. Engkau bukan Srikandi atau Larasati,"

   Ronggo Bangak menegur puterinya. Yang dia sebut Srikandi dan Larasati adalah dua orang dari isteri-isteri Harjuno yang merupakan wanita-wanita gagah perkasa dan digdaya.

   "Paman Ronggo benar, adi Muryani. K Demang Wiroboyo adalah seorang yang kuat, tidak ada seorang pun di kademangan ini yang berani menentangnya dan dia mempunyai puluhan anak buah. Kita tidak akan mampu berbuat apapun untuk menentangnya."

   Muryani menjadi semakin marah. Ia membanting-banting kaki kanannya dan berkata,

   "Kenapa ayah dan kakang Parmadi menjadi laki-laki bersikap begini lemah dan penakut? Aku tidak takut menentang siapapun kalau dia jahat dan sewenang-wenang. Sampai di manakah kedigdayaan demang itu? Kalian lihat...!"

   Gadis itu lalu melompat keluar dari rumah. Gerakannya melompat tangkas sekali seperti seekor kijang. Ketika Ronggo Bangak dan Parmadi hendak mengejarnya, ia sudah tumpak masuk kembali dan ia telah membawa sebongkah batu gunung sebesar perut kerbau! Dua orang laki-laki itu terbelalak. Bagaimana gadis itu mampu mengangkat batu sebesar itu dengan tangan kiri saja dan membawa batu itu masuk seolah-olah batu itu sebuah benda ringan saja?

   Ketika Muryani meletakkan batu besar itu ke atas lantai, seluruh bangunan pondok kayu itu tergetar, menandakan bahwa batu itu berat sekali.

   "Ayah dan kakang Parmadi, lihatlah batu ini dan katakan, apakah kiranya kepala demang hidung belang itu lebih kuat dan lebih keras daripada batu ini?"

   Setelah berkata demikian, dara jelita itu mengambil sikap, kedua kakinya dipentang dan berdiri kokoh, kemudian ia meniup tangan kanannya, lalu tangan kanan itu diangkat ke atas kepalanya, lalu diayun ke bawah menghantam batu itu dengan jari-jari terbuka.

   "Haiiiitttt blarrrr....!"

   Batu sebesar perut kerbau itu hancur berantakan seperti tertimpa martil yang besar dan berat sekali. Dua orang laki-laki itu melindung muka mereka dengan kedua tangan agar jangan terkena sambaran pecahan batu Kemudian mereka menurunkan kedua tangan dan memandang kepada Muryani, dengan mata terbelalak dan mulut ternganga!

   "Nini Muryani "..kau". kau...."

   Kata Ronggo Bangak sambil memandang wajah puterinya. Muryani merangkul pundak ayahnya dengan sikap manja. Lenyap sudah kini kegarangan yang tadi membayang pada pandang mata dan tarikan mulutnya dan ia berubah menjadi seorang dara cantik jelita yang manja terhadap ayahnya.

   "Ayah, ketika ayah berada di Demak menjemputku, aku sudah mengatakan bahwa aku telah mempelajari aji kanuragan sejak kecil. Bahkan aku menjadi murid utama dari Bapa Guru Ki Ageng Branjan ketua dari perguruan Bromo Dadali di puncak Gunung Muria. Akan tetapi agaknya ayah tidak begitu memperhatikan atau mungkin tidak percaya kepadaku. Nah, sekarang aku membuktikan kemampuanku dan kuharap ayah dan kakang Parmadi tidak takut lagi kepada Ki Demang Wiroboyo itu. Kalau dia berani kurang ajar, aku akan menghajarnya!"

   "Bukan main! Nini, kukira tadinya engkau hanya sekedar mempelajari pencak silat untuk olah raga saja, tidak tahunya engkau telah memiliki kedigdayaan. Akan tetapi, kuharap engkau tidak akan mempergunakan itu dan membuat onar di dusun ini, nini. Kalau aku berani membawamu pulang ke sini, tentu sudah kuperhitungkan watak demang itu dan aku sanggup menghadapinya dengan kelembutan, bukan kekerasan. Ketahuilah bahwa jelek-jelek aku di kademangan ini dihormati orang, bahkan Ki Demang Wiroboyo juga menaruh rasa hormat kepadaku. Aku adalah seorang sastrawan dan seniman yang tidak pernah menggunakan kekerasan akan tetapi semua orang menghargai dan menghormatiku. Kalau Ki Demang Wiroboyo berani mengganggumu, aku dapat menasihatinya dan menyadarkannya."

   "Paman Ronggo berkata benar, Muryani. Ada ajaran yang mengatakan: Surodhiro jayaningrat lebur dening pangastuti (Keberanian, kegagahan dan kejayaan dunia hancur oleh kerendahan hati)."

   "Begitukah? Aku mendapatkan ajaran lain, kakang Parmadi. Guruku, Bapa Guru Ki Ageng Branjang mengatakan bahwa kita harus bersikap seperti domba terhadap orang yang baik akan tetapi bersikap seperti harimau terhadap orang yang jahat. Membalas kebaikan dengan kelembutan akan tetapi menghadapi kejahatan dengan keadilan yang tentu saja harus didukung oleh kekuatan!"

   "Nini, sungguh aku tidak mengerti. Bagaimana aku yang sejak muda selalu menghargai keindahan dan kelembutan, mengutamakan pembangunan menjauhi pengrusakan, sekarang mempunyai anak yang hidupnya berlandaskan kekerasan?"

   "Maafkan aku, ayah. Akan tetapi aku tidak hidup berlandaskan kekerasan, melainkan keadilan. Guruku menggemblengku untuk selalu membela kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang. Kita lihat saja perkembangannya nanti mengenai Ki Demang Wiroboyo, siapa yang lebih benar di antara pendapat kita."

   Ucap Muryani.

   Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi selagi Parmadi memberi makan tujuh ekor kuda dalam kandang yang besar itu, muncullah Muryani. Gadis ini bertanya kepada penjaga gedung kademangan di mana udanya Parmadi dan setelah diberi tahu bahwa Parmadi berada di kandang kuda, ia langsung memasuki bagian belakang gedung itu. Kandang kuda itu berada di sudut kebun belakang, terpisah agak jauh dari gedung.

   "Kakang Parmadi!"

   Muryani memanggil ketika melihat pemuda itu sedang sibuk member makan kuda. Parmadi menoleh dan dia terkejut melihat munculnya Muryani di tempat itu. Betapa beraninya gadis itu! Gadis jelita seperti ia sengaja datang ke kademangan seperti seekor domba mendekati guha harimau! Akan tetapi dia segera teringat bahwa Muryani sama sekali bukan domba melainkan seekor harimau betina! Betapa pun juga, Parmadi merasa khawatir juga. Gadis itu seperti mencari perkara, mencari penyakit. Akan lebih tenteram rasa hatinya kalau gadis itu tidak pernah bertemu dengan Ki Demang Wiroboyo.

   "Muryani! Andika kenapa datang tempat ini?"

   Mendengar nada pertanyaan pemuda itu dan melihat alisnya berkerut, Muryani bertanya.

   "Kakang, apakah engkau tidak senang melihat aku datang mengunjungi dan melihat pekerjaanmu?"

   Ditanya begitu, Parmadi menjadi bingung.

   "Tentu.... tentu...! Aku senang sekali, Muryani. Akan tetapi...."

   "Kalau sudah senang ya sudah, jangan pakai akan tetapi segala. Wah, kuda-kuda ini bagus-bagus! Guruku juga mempunyai tiga ekor kuda sebagus ini dan aku sering menunggang kuda. Kami para murid Bromo Dadali sering berlumba menunggang kuda dan engkau tahu siapa pemenangnya? Aku selalu menjadi juaranya, kakang!"

   "Ah, benarkah, Muryani?"

   Kata Parmadi sambil memandang ke kanan kiri karena hatinya khawatir kalau-kalau Ki Demang Wiroboyo muncul di situ.

   "Agaknya engkau masih belum percaya kepadaku. Kaukira hanya laki-laki saja yang pandai menunggang kuda? Lihat ini!"

   Gadis itu mengambil pelana kuda yang tergantung di luar istal, memasangnya di tas punggung kuda dengan terampil meunjukkan bahwa ia sudah terbiasa dengan pekerjaan itu. Setelah mengikatkan pelana dengan baik, ia lalu berkata kepada Parmadi.

   "Aku ingin mencoba sebentar kuda ini, kakang. Kebun di sini cukup luas!"

   Tanpa menanti jawaban Parmadi yang seperti orang tertegun, dara itu lalu melompat ke atas punggung kuda. Gerakan ini pun dilakukan dengan gesit sekali, tubuhnya seringan seekor dadali (burung walet). Memang, ilmu meringankan tubuh merupakan ilmu andalan dari perguruan Bromo Dadali. Kuda yang dipilih Muryani itu adalah kuda terbaik milik Ki Demang Wiroboyo, warnanya hitam pekat dan diberi nama Nogo Langking (Naga Hitam). Begitu merasa punggungnya ditunggangi orang, Nogo Langking mengangkat kedua kaki depannya ke atas, meringkik seperti setan. Parmadi khawatir kalau-kalau gadis itu akan terlempar dari punggung kuda. Akan tetapi Muryani malah tertawa dan menyepak perut kuda.

   Kuda itu melompat ke depan lalu membalap denga cepat sekali, dikendalikan oleh sepasang tangan yang mahir. Parmadi memandang kagum. Jangankan dia atau lain pembantu Ki Demang, bahkan Ki Demang sendiri yang terkenal tangkas berkuda, tidak akan mampu mengendalikan Nogo Langking yang terkenal liar itu seperti yang dilakukan Muryani. Dia mengikuti larinya kuda dengan pandang matanya dan hanya menggeleng kepala dan menghela napas panjang melihat betapa kuda itu dibalapkan terus keluar dari kebun menuju keluar halaman gedung. Apa yang dia khawatirkan, tak lama kemudian terjadi. Ki Demang datang berkunjung ke istal.

   Parmadi dengan jantung berdebar tegang pura-pura tidak tahu dan sibuk menambahkan makanan kuda. Ki Demang menjenguk ke setiap kandang kemudian melihat kandang yang kosong di sebelah kiri.

   "Parmadi!"

   Dia menegur.

   Parmadi menoleh dan bersikap seperti orang terkejut.

   "Ah, kiranya Paman Demang. Selamat pagi, Paman."

   Dia memberi salam sambil membungkuk.

   "Parmadi, di mana Nogo Langking?"

   Tanya Ki Demang dengan suara membentak.

   "No.... Nogo Langking....? Dia.... dia tadi makan rumput...."

   Kata Parmadi dengan gagap.

   "Jangan bohong engkau! Aku tadi mendengar ringkiknya dan derap kakinya! Karena itulah aku datang menjenguk ke sini. Siapa yang menunggangi Nogo Langking?"

   Parmadi memberi hormat dengan membungkuk.

   "Maafkan saya, paman Demang. Sesungguhnya yang menunggangi adalah putera paman Ronggo Bangak. Sebetulnya sudah saya cegah, akan tetapi dia hanya ingin merasakan menunggang Nogo Langking yang amat dikaguminya."

   Ki Demang Wiroboyo memandang heran.

   "Putera Ki Ronggo Bangak? Kapan dia mempunyai putera? Aku tidak pernah melihat dia beristeri atau berputera,"

   "Benar, paman. Isteri paman Ronggo sudah meninggal dunia dan ketika dia pindah ke sini, puteranya dia titipkan kepada ibunya. Sekarang ibunya, meninggal dunia dan dia mengajak puteranya tinggal bersamanya di sini."

   Parmadi merasa lega melihat bahwa demang itu tidak tampak marah.

   "Sekali lagi harap paman suka memaafkan saya."

   "Sudahlah, biar saja kalau putera Ronggo Bangak yang menunggangi Nogo Langking. Aku percaya bahwa putera Ronggo tentu baik dan sopan seperti bapaknya."

   Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki kuda. Parmadi dan Ki Demang memutar tubuh memandang. Nogo Langkin datang berlari cepat sekali ditunggang Muryani. Gadis itu dengan tegak duduk atas punggung kuda dan dengan cekatan dia menarik kendali dan menghentikan larinya kuda di depan Parmadi dan Ki Demang Debu mengepul tinggi dan Muryani tersenyum manis sekali sambil menahan kendali. Nogo Langking mengangkat kedua ka depan ke atas dan ia meringkik.

   "Nogo Langking ini hebat, kakang Parmadi. Tubuhnya kuat dan larinya cepat. Aku suka sekali!"

   Ia lalu melompat dengan gerakan yang ringan sekali dari atas punggung kuda. Parmadi cepat-cepat menuntun kuda itu dan memasukkannya ke istalnya Jantungnya berdebar keras dan penuh ketegangan.

   Ki Demang Wiroboyo tercengang dan memandang kepada dara itu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Matanya bersinar-sinar dan dia terpesona. Belum pernah selama hidupnya dia melihat seorang gadis yang begini cantik jelita, ayu dan kewes luwes. Cantik jelita dan gagah perkasa ketika menunggang si Nogo Lang king, seperti Woro Srikandi!

   "Inikah.... anak Ki Ronggo Bangak? Puterinya.... ?"

   Tanyanya kepada Parmadi yan masih sibuk melepaskan pelana dari punggung Nogo Langking.

   "Benar, aku adalah Muryani, puteri Ki Ronggo Bangak. Engkau siapakah, paman?"

   Tanya Muryani dengan suaranya yang merdu dan lantang. Sikapnya ramah akan tetapi juga lincah, sama sekali tidak malu-malu atau takut-takut seperti sikap para gadis yang pernah dilihat Ki Demang Wiroboyo.

   Hati Ki Demang menjadi kagum dan luga girang sekali. Seketika dia telah tergila-gila kepada gadis itu. Dia mengelus kumisnya yang sekepal sebelah dan tersenyum, merasa dirinya seperti Sang Gatutkaca. Dia bergaya, menggerak-gerakkan alisnya yang tebal dan menjilat bibirnya dulu

   sebelum menjawab dengan senyum ramah.

   "Jeng Muryani puteri Ki Ronggo Baiigak? Perkenalkan, aku adalah Ki Wiroboyo, Demang Pakis. Akulah pemilik kuda Nogo Langking itu."

   Muryani memandang pria itu dengan penuh perhatian. Jadi orang inikah yang dianggap berbahaya oleh Parmadi? Ia tersenyum lalu berkata kepada Ki Wiroboyo.

   "Kiranya paman yang menjadi demang di dukuh, ini? Aku sudah mendengar dari ayah dan dari kakang Parmadi bahwa paman adalah seorang demang yang baik hati dan bijaksana!"

   Ki Wiroboyo menyeringai, hidungnya kembang kempis karena bangga. Lalu dia tertawa.

   "Haha-ha, diajeng Muryani. Jangan sebut aku paman, sebut saja kakangmas. Kakangmas Wiroboyo begitu. Aku sendiri sudah menganggap ayahmu sebagai paman. Paman Ronggo Bangak. Heh-hehheh!"

   Muryani memperlebar senyumnya.

   "Kakangmas? Baiklah, kakangmas Wiroboyo, Andika seorang demang yang bijaksana dan baik. Akan tetapi aku mendengar berita di dukuh ini bahwa andika seorang yang mata keranjang, gila perempuan. Ah, aku tidak percaya itu!"

   Parmadi terbelalak. Betapa beraninya gadis itu! Dia menjadi khawatir sekali. Akan tetapi dia hanya mendengarkan, tidak berani mencampuri, menyibukkan diri dengan mengurus makanan Nogo Langking seolah-olah tidak memperhatikan mereka.

   "Gila perempuan? Ha-ha-ha-ha! Diajeng Muryani, ketahuilah bahwa setiap orang laki-laki yang jantan dan gagah di seluruh jagad ini menyukai empat hal dan aku juga begitu. Pertama curigo (keris), kedua wanito (wanita), ketiga turonggo (kuda), dan keempat kukilo (burung). Biarpun sekarang aku sudah mempunyai tiga orang isteri, beberapa buah pusaka keris dan tombak yang ampuh, tujuh ekor kuda yang baik di antaranya Nogo Langking, dan belasan ekor burung perkutut yang suaranya kung, tetap saja aku akan selalu tertarik kalau melihat keris ampuh, wanita cantik, kuda yang kuat dan burung yang suaranya merdu. Itu menunjukkan sifat kejantanan seorang pria!"

   Biarpun hatinya merasa mendongkol mendengar ucapan itu, namun Muryani tidak ingin berdebat. Laki-laki di manapun sama saja, pikirnya. Yang diutamakan hanya kesenangan dirinya. Wanita dianggap sejajar dengan keris, kuda dan burung, sebagai suatu hiburan yang menyenangkan. Akan tetapi keadaannya memang pada waktu itu demikian dan pendapat Ki Demang Wiroboyo itu akan dibenarkan oleh semua laki-laki! Iapun mengalihkan percakapan.

   "Kakangmas Wiroboyo, kudamu Nogo Langking ini hebat sekali."

   "Andika suka, diajeng Muryani?"

   Muryani memandang ke arah kuda h tam yang sedang makan itu dan menganguk.

   "Aku suka sekali."

   "Bagus! Kalau begitu, bawalah dia pulang. Kuberikan Nogo Langking kepadamu sebagai hadiah perkenalan kita ini!"

   Parmadi terkejut mendengar ini dan tahulah dia bahwa seperti yang dia khawatirkan, Ki Demang sudah menyatakan bahwa dia jatuh cinta kepada Muryani sehingga begitu saja dia menghadiahkan kuda kesayangannya kepada gadis itu! Ketika dia melihat gadis itu memandangnya Parmadi cepat menggeleng kepala memberi isyarat agar gadis itu jangan menerima pemberian itu.

   Muryani tersenyum memandang kepada Ki Wiroboyo sehingga demang ini merasa betapa jantungnya berdebar-debar. Perawan ini kagum dan suka kepadaku, pikirnya girang. Pantas menjadi isteriku! Dia kehilangan dua orang isteri mudanya kalau digantikan oleh gadis ini.

   


   
"Kakangmas Wiroboyo, beginikah caramu memikat seorang gadis? Dengan pemberian yang berharga?"

   Kata Muryani dengan senyum mengejek.

   "Ha-ha-ha! Kalau aku jatuh cinta kepada seorang wanita, apapun permintaannya akan kupenuhi. Semua harta bendaku pun akan kuserahkan kalau ia kehendaki! Bawalah si Nogo Langking, diajeng Muryani dan kalau andika masih membutuhkan sesuatu, katakan kepadaku dan aku yang akan memenuhi kebutuhanmu!"

   Muryani menegakkan lehernya dan membusungkan dadanya, sepasang matanya mencorong dan suaranya terdengar lantang "Hei, Ki Wiroboyo, bukalah mata dan telingamu, pandang dan dengarkan baik-baik. Seluruh harta bendamu, bahkan sekalian nyawamu kaukorbankan, masih belum cukup untuk memikat dan menundukkan hatiku. Terima kasih atas kebaikanmu!"

   Setelah berkata demikian, Muryani memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan tempat itu, terus keluar dari pekarangan dan menuju pulang.

   Ki Wiroboyo berdiri bengong, tercengang melihat sikap dan mendengar ucapan gadis itu., Hampir dia tidak dapat percaya akan apa yang dilihat dan didengarnya. Gadis itu demikian cantik jelitanya demikian gagah perkasanya ketika menungganggi Nogo Langking, kemudian demikian keras dan beraninya ketika bicara kepadanya. Selama hidupnya belum pernah di bertemu dengan perawan yang begitu cantik, begitu gagah, dan begitu beraninya!

   Setelah dapat menenangkan hatinya kembali, Ki Wiroboyo menghela napa panjang dan memutar tubuh menghadag Parmadi.

   "Perawan yang hebat sekali. Parmadi, gadis puteri Ki Ronggo Bangak itu hebat bukan main. Aku harus mendapatkannya. Ia harus segera menjadi istriku. Parmadi, engkau yang menjadi murid Ki Ronggo Bangak, tentu banyak mengetahui tentang Muryani. Ia tentu belum mempunyai pasangan, bukan?"

   Parmadi menggeleng kepalanya.

   "Saya tidak tahu, paman."

   "Sudah berapa lama ia tinggal bersama Ki Ronggo Bangak?"

   "Sudah kurang lebih satu bulan,"

   "Heran, mengapa baru sekarang aku melihatnya? Parmadi, engkau harus membantuku agar Muryani dapat menjadi isteriku."

   Parmadi menatap wajah demang itu.

   "Bagaimana saya dapat membantu paman?'

   "Engkau murid Ki Ronggo. Tentu engkau dekat dengan anak perempuannya. Bantulah aku membujuk gadis itu agar ia mau menjadi isteriku."

   "Saya tidak berani, paman. Muryani dan paman Ronggo akan marah kepadaku dan menganggap saya lancang. Kenapa paman tidak langsung saja bertanya kepada wereka?"

   Ki Wiroboyo mengelus kumisnya dan mengangguk-angguk.

   "Hemm, engkau benar. Ya, aku harus datang sendiri dan melamarnya kepada Ki Ronggo Bangak! Bagaimana pun juga, Muryani harus menjadi isteriku."

   Ki Demang meninggalkan tempat itu dan Parmadi termenung dengan hati diliputi penuh kekhawatiran. Terjadilah atau yang dia takuti semenjak pertama kali bertemu dengan Muryani.

   "Selamat pagi, paman Ronggo Bangak!"

   Ki Wiroboyo memberi salam dengan sikap hormat.

   Ki Ronggo Bangak mengangkat muka dan terheran melihat bahwa yang memberi salam pagi itu adalah Ki Demang Wiroboyo. Anehnya, Ki Demang itu menyebutnya "paman".

   "Ah, kiranya anakmas Demang Wiroboyo."

   Dia menjawab dan menyesuaikan sebutan demang itu maka diapun menyebut "anakmas".

   "Tumben anakmas datang berkunjung. Silakan masuk!"

   Ki Demang Wirosobo memasuki ruangan pondok kayu itu dan dipersilakan duduk oleh Ki Ronggo Bangak.

   "Maafkan kalau saya mengganggu kesibukan paman,"

   Kata Ki Demang Wiroboyo sambil melihat ukiran patung yang belum jadi, yang agaknya tadi sedang dikerjakan oleh tuan rumah.

   "Ah, tidak sama sekali, anakmas. Nah, sekarang katakan apakah yang dapat saya lakukan untuk anakmas, maka sepagi ini nakmas telah datang berkunjung."

   Ucapan Ronggo Bangak ini hanya untuk basa-basi saja. Padahal dia sudah dapat menduga apa maksud kunjungan demang itu karena ia sudah mendengar dari Muryani tentang pertemuan puterinya dengan Ki Demang.

   "Saya datang untuk beranjang-sana, Pamain. Sudah lama saya tidak bertemu dengan Paman dan kabarnya Paman baru saja pulang dari kepergian Paman ke pesisir utara selama sebulan lebih."

   "Benar, anakmas. Saya pergi mengunjungi ibu saya dan tinggal di sana satu bulan lebih karena ibu saya meninggal dunia baru beberapa hari ini saya pulang."

   "Ah, saya ikut berbela sungkawa paman."

   "Terima kasih, anakmas. Ibu saya sudah tua sekali dan berpenyakitan. Kematian bahkan membebaskannya dari penderitaan penyakit usia tua."

   Pada saat itu, dari dalam muncul Muryani membawa baki berisi poci teh panas dan jagung rebus yang masih mengepul pula. Ketika ia bertemu pandang, dengan Ki Demang Wiroboyo, gadis itu tersenyum manis dan sambil menaruh hidangan di atas meja, ia berkata, suaranya lembut,

   "Silakan minum dan makan hidangan kami seadanya, Paman Demang."

   Alis Ki Wiroboyo berkerut mendengar gadis itu menyebutnya "Paman Demang". Dia ingin disebut kakangmas, bukan paman!

   "Ah, diajeng Muryani, harap jangan repot-repot!"

   Katanya, menekankan suaranya ketika menyebut "diajeng". Akan tetapi Muryani sengaja berpura-pura tidak merasakan hal ini.

   "Tidak repot, Paman. Hidangan ini sudah ada dan menjadi sarapan kami. Silakan. Saya masih mempunyai kesibukan belakang."

   Gadis itu lalu meninggalkan ruangan itu menuju ke belakang. Bagaikan tersedot besi sembrani mata Ki Wiroboyo mengikuti dan seperti hendak menelan sepasang buah pinggul yang bergerak lembut itu.

   Melihat demang itu masih saja memandang ke arah dalam biarpun bayangan Muryani tidak tampak lagi, Ronggo Bangak berkata.

   "Silakan, anakmas Demang, mencicipi jagung rebusnya. Masih muda dan baru dipetik, masih panas pula. Silakan."

   "Oh ".. ya, terima kasih, paman."

   Keduanya mengambil jagung rebus yang sudah dikupas dan makan jagung muda yang manis dan hangat itu.

   "Saya pernah bertemu dengan diajeng Muryani.... eh, puteri Paman. Sungguh saya tidak pernah menyangka Paman yang selama ini saya kira hidup seorang diri dan tidak mempunyai keluarga, tahu-tahu mempunyai seorang anak perempuan yang sudah gadis dan.... jelita itu."

   "Ah, Muryani hanya seorang gadis dusun yang bodoh,"

   Ronggo Bangak merendah walaupun di dalam hatinya timbul juga kebanggaan mendengar puterinya dipuji orang.

   "Tidak, paman. Ia cantik jelita seperti bidadari dan juga pandai menunggang kuda. Melihat diajeng Muryani, timbul kekhawatiran di dalam hatiku kalau-kalau ia akan mendapatkan jodoh seorang pria petani dusun yang bodoh dan hidupnya melarat. Itu akan merupakan hal yang sang patut disayangkan dan saya tidak rela melihat ia menjadi isteri petani dan hidup melarat."

   "Maksud anakmas Demang bagaimana? Ronggo Bangak bertanya walaupun dalam hatinya dia sudah dapat menduga ke arah mana percakapan itu tertuju. Ki Demang Wiroboyo menghabiskan sisa jagungnya dan menaruh jagung di atas meja, kemudian mengguyur jagung yang masih tertinggal di dalam mulut dan kerongkongannya dengan air memasuki perutnya. Baru kemudian dia menjawab,

   "Maksud saya". eh, Paman. Semenjak bertemu dengan diajeng Muryani, saya merasa sangat saying dan cocok dengannya. Sayang sekali kalau sampai ia dijodohkan dengan laki-laki petani dusun. Ia". ia pantas untuk menjadi". pendamping eh, maksud saya, menjadi isteri saya."

   Ronggo Bangak tidak merasa kaget atau heran, dia mengangguk-angguk dan sikapnya tenang saja.

   "Oo, jadi maksud anakmas Demang ini hendak meminang anak saya Muryani! Begitukah?"

   "Benar dan tidak salah, paman. Saya ingin diajeng Muryani menjadi isteri saya, menjadi Nyi Demang. Saya ingin ia dihormati semua orang, ingin mengangkat derajatnya dan membahagiakan hidupnya, hidup mulia, dihormati dan serba kecukupan!"

   "Hemm, akan tetapi, maafkan saya, anakmas. Bukankah anakmas sudah mempunyai seorang isteri dan dua orang isteri muda? Apakah masih juga kurang wanita yang melayani anakmas?"

   "Ah, itu soal mudah, paman. Saya berniat untuk menceraikan dua orang isteri muda saya dan

   memulangkannya ke rumah orang tua mereka. Apalagi mereka belum mempunyai anak."

   "Dan kelak anakmas juga akan menceraikan dan memulangkan Muryani kepada saya kalau anakmas mendapatkan seorang isteri baru yang lebih muda dan lenih cantik?"

   "Ooo".. tidaaak ""

   Tentu saja tidaaaak...! Saya akan menaikkan derajat diajeng Muryani, bahkan kelak kalau mempunyai anak, ia akan saya jadikan isteri pertama! Saya akan membangun sebuah gedung untuk paman, dan memberi beberapa petak sawah ladang untuk paman kehidupan paman dan diajeng Muryani akan menjadi mulia, terhormat dan terjamin! Tentu paman menyetujui maksud saya yang amat baik ini, bukan?"

   "Nanti dulu, anakmas Demang. Yang dipinang bukanlah saya, yang akan menjalani pernikahan bukan saya pula. Hal ini keputusannya berada dalam tangan orang yang berkepentingan, dalam hal ini anakku Muryani. Terserah kepadanya apakah ia dapat menerima pinanganmu ataukah tidak. Saya akan menanyakan pendapatnya dan keputusannya sekarang juga."

   Tanpa menanti jawaban Ki Demang yang tertegun mendengar ucapannya, Ki Ronggo Bangak sudah menoleh ke arah dalam dan berseru memanggil anaknya.

   "Nini Muryani! Ke sinilah sebentar!"

   Terdengar jawaban gadis itu dari bagian belakang pondok itu dan tak lama kemudian Muryani muncul di ambang pintu memasuki ruangan itu, disambut pandang mata kelaparan dari Ki Demang.

   "Duduklah, nini. Aku hendak membicarakan hal penting denganmu."

   Muryani duduk di sebelah ayahnya, berhadapan dengan Ki Demang Wiroboyo terhalang meja.

   "Ada apakah, ayah?"

   Tanyanya lirih.

   Ki Wiroboyo memandang gadis yang menoleh kepada ayahnya itu dengan hati berdebar tegang. Gadis itu sedemikian dekat dengannya. Sekali menjulurkan tangan saja dia sudah akan dapat menyentuhnya. Dia dapat mencium keharuman bunga melati yang sedap. Beberapa kuntum melati terselip di antara sanggul rambut yang hitam agak berombak itu. Betapa manisnya!

   "Begini, Muryani,"

   Kata Ki Ronggo Bangak dengan sikapnya yang tenang.

   "Kunjungan anakmas Demang ini adalah untuk meminang dirimu menjadi isteri mudanya. Aku tidak dapat memberi keputusan karena hal ini terserah kepadamu yang akan menjalani. Karena itu, aku memanggilmu ke sini agar engkau sendiri yang memberi jawaban dan keputusan kepada anakmas Wiroboyo."

   Muryani mengembangkan senyum tipis dan ia menoleh kepada Ki Wiroboyo yang juga memandang kepadanya. Ki Wiroboyo cepat berkata.

   "Diajeng Muryani, engkau akan kujadikan isteri mudaku yang tunggal karena dua orang isteri mudaku akai kuceraikan dan kupulangkan kepada orang tua mereka. Jangan khawatir, biarpun engkau menjadi isteri mudaku akan tetapi engkau yang akan berkuasa di rumahku. Engkau akan hidup mulia, terhormat, dan serba kecukupan. Juga ayahmu akan kubangunkan sebuah gedung."

   "Ki Demang Wiroboyo,"

   Kata Muryani dan suaranya terdengar lembut namun berwibawa.

   "Aku telah berjanji kepada diriku sendiri bahwa pria yang akan menjad suamiku harus memenuhi tiga syarat. Satu saja di antara tiga syarat itu tidak dapat dipenuhi, aku tidak sudi menjadi isterinya; Kalau andika dapat memenuhi tiga buah syaratku itu, barulah aku bersedia untu menjadi isterimu."

   "Katakan apa tiga syaratmu itu, diajeng Muryani. Jangankan baru tiga, biar ada sepuluh buah syarat tentu akan kupenuhi semua. Engkau hendak minta apapun, asalkan jangan minta matahari bulan dan bintang, tentu akan kupenuhi!"

   Kata Ki Demang dengan girang. Apa sih permintaan seorang gadis dusun? Pasti dia akan mampu memenuhinya!

   Gadis itu tersenyum dan Ki Demang Wirosobo merasa tenggelam dalam senyuman itu.

   "Aku tidak minta harta benda, tidak minta kedudukan. Syarat-syaratku adalah, yang pertama, calon suamiku harus dapat mengalahkan aku dalam menunggang kuda, dan dalam kanuragan bertanding kedigdayaan, kedua syarat ini harus dilakukan di depan umum yang menjadi saksinya. Adapun syarat ketiga baru akan kuberitahukan kalau dia mampu memenuhi kedua syarat pertama dan kedua itu!"

   Ki Wiroboyo tercengang keheranan mendengar dua buah syarat yang aneh itu, akan tetapi mulutnya menyeringai lebar pertanda bahwa dia. merasa girang sekali. Dia adalah seorang ahli menunggang kuda terpandai di seluruh Kademangan Pakis. Sepandai-pandainya Muryani menunggang kuda, seorang gadis mana bisa dibandingkan dengan dia? Dan adu kanuragan, bertanding kedigdayaan? Hampir saja dia tidak dapat menahan geli hatinya dan tertawa. Dia adalah seorang yang dapat dikatakan otot kawat balung wesi, nora tedas tapa paluning pande sisaning gurindo (berotot kawat bertulang besi, tidak mempan senjata tajam buatan pandai besi). Bagaimana seorang gadis remaja yang berkulit halus mulus dan tipis seperti itu, akan mampu menandingi kedigdayaannya? Terkena sentilan telunjuknya saja akan terpelanting!

   "Baik, aku terima kedua syarat iti Dan apa syaratnya yang ketiga?"

   Kata Wiroboyo.

   "Syarat ketiga baru akan kukatakan kalau andika dapat memenangkan dua buah syarat itu dan karena aku tidak memiliki kuda, maka untuk perlombaan menunggang dan membalapkan kuda, aku meminjam si Nogo Langking,"

   Kata Muryani. Ki Wiroboyo tidak merasa khawatir Nogo Langking memang kudanya yang terbaik akan tetapi dia memiliki kuda lain yang larinya juga hampir sama cepatnya dengan Nogo Langking. Dan perlombaan balap kuda bukan hanya tergantung dari kudanya namun juga banyak ditentukan oleh kemahiran penunggangnya.

   "Baik, engkau boleh menunggangi Nogo Langking, diajeng Muryani. Akan tetapi agar adil aku ingin bertanya lebih dulu. Karena syaratmu ada tiga dan yang dua dipertandingkan, bagaimana kalau hasilnya sama kuat, yaitu menang satu kali dan kalah satu kali?"

   "Kalau begitu, syarat ketiga yang menentukan."

   "Jadi berarti, siapa yang menang dua kali berarti keluar sebagai pemenang dan boleh menjadi

   suamimu?"

   "Begitulah,"

   Kata Muryani sambil tersenyum. Ki Ronggo Bangak yang mendengarkan percakapan itu bersikap tenang saja karena dia sudah maklum akan kernampuan puterinya. Hal ini memang sudah dibicarakan Muryani kepadanya. Puterinya itu mempunyai rencana lain, bukan sekedar menolak pinangan, melainkan juga hendak memberi hajaran kepada Ki Wiroboyo agar sifat buruk Ki Demang yang sebetulnya adalah kepala dusun yang baik dan bijaksana itu dapat disembuhkan atau dihilangkan.

   "Bagus, kapan pertandingan itu akan dilakukan?"

   Tanya Ki Wiroboyo.

   "Secepatnya, besok pagi juga boleh. Sekarang harap andika membuat persiapannya. Beritahukan kepada penduduk agar besok pagi menonton dua pertandingan itu. Lomba menunggang kuda dilakukan dengan mengitari dusun Pakis satu kali, mulai dari pintu gerbang sebelah selatan. Adapun pertandingan kanuragan diadakan di lapangan depan kademangan agar disaksikan oleh penduduk."

   "Baik, akan kupersiapkan segalanya. Aku nanti akan menyuruh Parmadi mengantarkan Nogo Langking ke sini dan besok pagi kita bertemu di pintu gapura selatan. Sekarang aku akan pulang dulu mempersiapkan segalanya. Permisi, paman Ronggo Bangak."

   "Silakan, anakmas Demang. Dan maafkan kalau anakku mengajukan syarat-syarat itu."

   "Ah, tidak mengapa, paman. Memang sudah sepantasnya seorang gadis cantik jelita seperti diajeng Muryani memasang tinggi harga dirinya. Permisi, paman."

   Setelah Ki Wiroboyo pergi, Ki Ronggo Bangak berkata kepada puterinya.

   "Nini, engkau bermain dengan api. Biarpun aku belum melihat sendiri, namun aku sudah mendengar bahwa Ki Wiroboyo adalah seorang penunggang kuda yang mar dan juga seorang yang digdaya. Engkau malah menantangnya untuk berlomba menggang kuda dan bertanding kedigdayaan. Bagaimana seandainya engkau kalah dalam dua pertandingan itu?"

   "Tidak mungkin, ayah. Andaikata aku kalah bertanding kedigdayaan, akan tetapi sudah pasti aku menang berlomba menungng kuda. Aku sudah biasa berlomba balap kuda di Muria dan aku tahu benar bahwa si Nogo Langking itu merupakan kuda terbaik dari tujuh ekor kuda yang dimiliki Ki Demang. Kalau dia menunggang kuda lain, pasti dia kalah."

   "Akan tetapi kalau begitu berarti malam satu-satu, satu-satu, bagaimana kalau syarat ketiga dimenangkan olehnya?"

   Muryani tertawa dan menutupi mulutnya dengan punggung tangan kiri.

   "Syarat ketiga lni tidak mungkin dimenangkan oleh siapapun juga kecuali kalau aku menghendaki dia menang."

   "Ehh? Apa sih syaratmu yang ketiga itu?"

   "Syaratnya adalah bahwa pria yang akan menjadi suamiku haruslah orang ya kucinta! Dan aku sama sekali tidak mecintai Ki Wiroboyo!"

   Ki Ronggo Bangak membelalakkan kdua matanya, kemudian dia tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, engkau nakal, nini! Itu bukan syarat, tapi engkau mengakalinya!"

   Muryani juga tertawa.

   "Kemenangan bukan hanya dapat dicapai oleh okol (kkerasan) melainkan juga oleh akal, bukankah begitu, ayah?"

   Ki Ronggo Bangak mengangguk-angguk "Kuharap saja rencana usahamu untuk melenyapkan sifat buruk Ki Demang itu akan berhasil baik, nini. Memang sayang sekali seorang pemimpin yang begitu baik memiliki cacad seperti itu, suka menggunakan kekerasan memaksa seorang wanita untuk menjadi isteri mudanya."

   Tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda. Ki Ronggo Bangak melanjutkan pekerjaannya mengukir patung.

   "Kau lihat, Nini, itu mungkin Parmadi datang mengantarkan kuda."

   Muryani berlari keluar dan benar saja, armadi sudah turun dan menuntun kuda berbulu hitam itu. Muryani menghampiri dan merangkul leher kuda itu.

   "Nogo Langking, engkau harus membantuku sekarang....!"

   Bisiknya dekat telinga kuda itu.

   "Muryani, aku disuruh Ki Demang megantarkan Nogo Langking kepadaku,"

   Kata Parmadi sambil menyerahkan kendali kuda itu kepada Muryani yang menerimaya.

   "Terima kasih, kakang Parmadi."

   "Muryani, benarkah apa yang kudengar dari Ki Demang? Engkau menantangnya bertanding balap kuda dan adu kanuragan sebagai syarat perjodohanmu?"

   "Benar, kakang. Besok pagi dilakukannya pertandingan itu."

   "Wah, celaka sekali! Bagaimana kalau engkau kalah? Benar-benar celaka kalau begitu!"

   Kata Parmadi khawatir.

   "Eh? Siapa yang akan celaka, kakang?"

   "Aku""

   😗

   

   Eh, engkau tentu saja! Engkau akan kalah dan engkau akan menjadi istri mudanya!"

   "Kalau begitu kenapa? Aku yang menjalani kenapa engkau yang repot seperti kebakaran jenggot?"

   Parmadi otomatis meraba dagunya yang tanpa jenggot selembarpun.

   "Engkau puteri paman Ronggo Bangak. Aku tidask rela kalau engkau menjadi isteri muda Demang. Dia seorang yang mata keranjang, tiada henti-hentinya mengejar wanita."

   "Jangan khawatir, kakang. Dia tidak akan mampu mengalahkan aku. Bukankah engkau sudah melihat sendiri kemampuanku?"

   "Mungkin engkau akan menang dalam pertandingan kanuragan, akan tetapi engkau akan kalah dalam lomba balap kuda. Dia seorang yang pandai sekali menunggang kuda, Muryani.

   "

   "Aku lebih pandai daripada dia, kakang. Kau lihat sendiri saja besok pagi."

   "Akan tetapi, kenapa kaulakukan semua ini? Tanpa mengajukan syarat inipun, engkau bisa menolak pinangannya. Mengapa mesti bertanding dan ribut-ribut disaksikan semua penduduk?"

   "Aku mempunyai rencana, kakang. Mehurut ayah, Ki Demang Wiroboyo adalah seorang pamong yang baik dan bijaksana, akan tetapi dia mempunyai sebuah cacad."

   "Benar, dia memang baik, akan tetapi sayang dia suka memaksa gadis atau janda untuk menjadi selirnya."

   "Nah, itulah sebabnya maka aku sengaja mengajukan syarat ini kepadanya. Aku ingin membuat dia menyadari cacadnya itu dan bertaubat."

   Parmadi menghela napas panjang.

   "Maksudmu baik, akan tetapi sungguh berbahaya. Sudah delapan tahun aku bekerja pada Ki Demang dan aku sudah tahu benar akan wataknya. Kalau dia berniat mendapatkan seorang wanita, dia akan menggunakan segala cara, kalau perlu dengan kekerasan. Dan dia mempunyai pembantu belasan orang yang juga menjadi pasukannya untuk menundukkanmu, bagaimana?"

   "Kalau begitu, aku akan hajar mereka semua sampai mereka jera dan tidak berani lagi memaksakan kehendak mereka kepada orang lain."

   Pada saat itu Ki Ronggo Bangak keluar.

   "Eh, engkau, Parmadi?"

   Tegurnya.

   "Benar, paman. Saya diutus Ki Demang untuk mengiringkan kuda Nogo Langking ini kepada adi Muryani,"

   Jawab Parmadi. Muryani menuntun kuda itu ke pekarangan di belakang rumah dan menambatkannya di sana.

   "Mari masuk dan duduk dulu, Parmadi."

   "Terima kasih, paman. Saya harus segera kembali karena masih banyak pekerjaan yang harus saya lakukan. Saya juga harus membantu Ki Demang yang sibuk mengatur persiapan untuk pertandingan besok pagi."

   "Kalau begitu pulanglah, jangan sampai ditunggu-tunggu Ki Demang."

   "Baik, paman. Permisi."

   Parmadi meninggalkan rumah gurunya dan bergegas pulang ke kademangan.

   Berita tentang akan diadakannya pertandingan balap kuda dan adu kanuragan antara Ki Demang dan Muryani sebagai syarat perjodohan sudah tersiar di seluruh kademangan. Pada keesokan harinya, pagi-pagi banyak orang sudah berdatangan ke pintu gapura dusun Pakis sebelah selatan dari mana balap kuda akan dimulai. Laki-laki perempuan, tua muda bahkan kanak-kanak memenuhi tempat itu. Mereka ingin sekali menyaksikan pertandingan yang belum pernah mereka saksikan itu. Betapa anehnya! Bayangkan, Ki Demang yang terkenal pandai menunggang kuda dan digdaya kini hendak berlomba menunggang kuda dan mengadu kedigdayaan melawan seorang gadis remaja!

   Ki Ronggo Bangak berada di antara orang banyak itu dan dia segera bertemu sngan Parmadi. Tidak seperti Parmadi yang tampak gelisah, Ki Ronggo tenang-tenang saja. Hal ini adalah karena dia merasa yakin bahwa puterinya tidak akan kalah karena adanya syarat ketiga itu. Ketika terdengar derap kaki kuda, sema orang menengok dan mereka melihat Ki Demang menunggang seekor kuda berwarna coklat dengan kaki "pancal panggung", yaitu keempat ujung kakinya berwarna putih. Seekor tkuda yang kuat dan baik pula walaupun tidak sebaik si Naga Langking. Ki Demang tampak gagah. Pakaiannya baru dan wajahnya berseri seolah dia sudah merasa yakin akan kemenangannya. Setelah tiba di pintu gapura, dia memandang ke sekeliling dan melambaikan tangan kepada penduduk yang membungkuk sebagai penghormatan kepadanya. Matanya mencari-cari Muryani yang belum datang.

   Tiba-tiba terdengar derap kaki kud Semua orang menoleh dan mereka bergumam kagum ketika melihat Muryani datang membalapkan kudanya. Gadis itu kelihatan ayu dan perkasa seperti Woro Srikandi! Ki Demang juga kagum dan senang. Alangkah akan bahagia dan bangganya mempunyai seorang isteri seperti Muryan Masih muda, cantik jelita dan gagah perkasa!

   

JILID 3


   Debu mengepul ketika Muryani menghentikan kudanya di depan kuda Ki Demang. Ia tersenyum kepada laki-laki itu dan bertanya.

   "Apakah andika sudah siap, Paman Demang Wiroboyo?"

   Suaranya lantang sehingga terdengar oleh semua orang.

   Ki Demang Wiroboyo mengerutkan aisnya dan menegur lirih.

   "Diajeng Muryai, jangan memanggil aku paman!"

   Muryani tidak perduli seolah tidak mendengar teguran itu dan berkata lagi.

   "Apakah andika sudah siap? Kalau sudah, mari kita segera mulai dengan perlombaan ini."

   "Baik, aku sudah siap."

   Lalu Ki Demang Wiroboyo memandang ke sekeliling dan berkata nyaring sehingga terdengar oleh semua orang.

   "Saudara-saudara sekalian! Kalian menjadi saksi dari perlombaan ini. Aku dan diajeng Muryani akan berlomba balap kuda. Berangkat dari sini memutari Kademangan Pakis dan berakhir di sini lagi. Siapa yang datang di sini terlebih dulu setelah mengelilingi dusun satu kali putaran, dia yang menang. Kalian yang menjadi saksi siapa yang akan keluar sebagai pemenang nanti. Kalian bersedia menjadi saksi?"

   Serempak para penduduk dusun itu menjawab dengan suara gembira.

   "Bersedia.... !!"

   "'Diajeng Muryani, kita berjajar di sini dan bersiap-siap. Parmadi, ke sinilah engkau. Engkau yang kutugaskan untuk menghitung sampai tiga. Pada seruan angka tiga, kita mulai perlombaan ini, diajeng."

   "Baik, Paman Demang!"

   Kata Parmadi, dan dia segera mendekati kedua orang yang sudah duduk di atas punggung kuda masing-masing dalam keadaan siap. Kuda mereka berdiri berjajar dan mereka memegang kendali dengan tangan kiri. Ki Demang Wiroboyo memegang sebuah cambuk kuda, akan tetapi Muryani tidak memegang apa-apa. Melihat ini, Parmadi berkata lirih, hanya terdengar oleh Muryani dan Ki Demang Wiroboyo.

   "Adi Muryani, mestinya engkau membawa sehelai pecut untuk memberi semangat kepada Nogo Langking."

   Muryani tersenyum dan menggeleng ke palanya.

   "Tidak perlu, kakang Parmadi Sejak pertama belajar menunggang kuda sampai sekarang, aku belum pernah mempergunakan pecut."

   "Parmadi, jangan samakan diajeng Muryani dengan engkau! Ia seorang puteri sejati, mana ia tega mencambuki kudanya?"

   Kata Ki Wiroboyo, akan tetapi dalam hatinya merasa girang karena dia semakin yakin akan kemenangannya. Dengan pecutpun gadis itu tidak akan mampu menandingipya, apalagi tanpa pecut?

   "Harap Paman Demang dan adi Muryani siap. Saya akan mulai menghitung: Satuuu". dua"".tiga!!"

   Dua orang itu membedal kuda mereka. seperti biasa, sebagai tanda tinggal landas, Nogo Langking mengangkat kedua kaki depannya ke atas, meringkik dengan nyaring sekali, kemudian melompat jauh ke depan dan meluncur seperti kilat cepatnya mengejar kuda pancal panggung yang sudah dikebut lebih dulu oleh Ki Wiroboyo. Para penduduk dusun bertepuk tangan dan bersorak dengan gembira. Mereka menanti munculnya dua orang pembalap itu dari sisi lain pintu gerbang itu dan memberi jalan yang longgar. Agaknya penyakit taruhan sudah pula melanda Kademangan Pakis karena di antara mereka banyak yang mulai bertaruh!

   Ki Wiroboyo terkejut juga melihat betapa Nogo Langking melesat dengan kecepatan kilat. Dia lalu mempergunakan pecutnya untuk mencambuki kuda yang tungganginya. Kuda itu kesakitan dan melompat sekuat tenaga, berlari secepat keempat kakinya mampu bergerak. Ki Wiroboyo tertawa ketika kudanya melewati Nogo Langking yang ditunggangi Muryani. Gadis itu mengerutkan alisnya lalu membungkuk hampir menelungkup di atas punggung kuda sehingga mulutnya mendekati telinga Nogo Langking.

   "Nogo Langking, engkau tidak ingin mengecewakan aku, bukan? Larilah, Nogo Langking. Lari dan kejarlah kuda di depan itu!"

   Ia menggunakan kedua kakinya menendang-nendang perut kuda dengan tumitnya sambil berbisik-bisik memberi semangat Nogo Langking dengan suara yang merayu.

   Terjadilah keanehan. Nogo Langking seolah mengerti akan rayuan penunggannya, atau mengerti isyarat melalui tendangan tumit kaki yang halus itu. Dia melompat dan berlari cepat sekali sehinga akhirnya dapat mengejar kuda yang ditunggangi Ki Wiroboyo, bahkan mendahuluinya!

   Melihat ini, Ki Wiroboyo semakin kuat mencambuki kudanya sehingga terdengar bunyi berdetak-detak. Kudanya mencoba untuk berlari lebih cepat lagi. Napas kuda itu memburu dan dari hidungnya keluar uap, dari mulutnya keluar buih. Ketika dua ekor kuda itu muncul, para penonton bersorak memberi semangat jago masing-masing. Akan tetapi, Nogo Langking tiba di pintu gapura beberapa detik lebih cepat daripada kuda pancal panggung yang ditungganggi Ki Wiroboyo dan begitu demang ini menghentikan kudanya, kuda yang kehabisan tenaga dan napas itu terguling roboh. Ki Wiroboyo dengan tangkasnya melompat turun sehingga dia tidak ikut terbanting jatuh. Muryani sendiri turun dari atas punggung kuda Nogo Langking dan mengelus-elus leher kuda itu.

   Sambil tersenyum menoleh kepada Ki Wiroboyo dan berka "Bagaimana, Paman Demang, apakah engkau kini mengakui kemenanganku berlomba balap kuda?"

   Wajah Ki Demang Wiroboyo berubah merah Kumisnya yang tebal bergoyang-goyang, matanya terbelalak.

   "Hemm, baiklah, dalam lomba ini aku mengaku kalah, diajeng Muryani. Akan teipi kita masih ada sebuah pertandingan in sebuah syarat lagi, bukan? Mari kita laksanakan pertandingan kedua, yaitu adu kanuragan dan sesuai perjanjian, kita lakukan di alun-alun depan kademangan."

   Ucapan itu dilakukan dengan suara lantang sehingga terdengar oleh semua orang.

   "Baik, paman. Mari kita pergi ke lapangan rumput di depan kademangan."

   Muryani menyerahkan kuda Nogo Langking pada Parmadi. Pemuda ini juga menuntun kuda pancal panggung yang sudah mampu berdiri lagi. Muryani dan Ki Demang Wiroboyo berjalan beriringan memasuki pintu gapura ini langsung menuju ke kademangan. Semua orang berbondong-bondong mengikuti mereka berdua.

   Di lapangan rumput depan kademangan itu telah dipersiapkan sebuah panggung dari papan yang cukup kokoh kuat oleh KI Wiroboyo. Memang sengaja dia membuat panggung itu agar semua penduduk dusun akan dapat melihat dengan jelas ketika dia bertanding dengan Muryani nanti. Dia yakin benar, tidak ragu seperti ketika dia berlomba menunggang kuda tadi, bahwa dia pasti akan dapat mengalahkan Muryani. Setelah tiba di bawah panggung, dia lalu menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya melayang ke atas panggung yung tingginya kurang lebih satu setengah meter itu.

   Loncatan yang dilakukan dengan gaya yang cukup indah dan tangkas ini memancing tepuk tangan pujian dari penonton. Ki Demang Wiroboyo berdiri di atal papan panggung, tangan kirinya bertolak pinggang, tangan kanan memelintir kumisnya yang seperti kumis Sang Gatutkaca itu, matanya mengerling ke sekelilingnya, mulutnya tersenyum bangga karena sambutan tepuk tangan para penduduk dusunnya dan dia sudah merasa setengah menang dalam pertandingan kanuragan yang akan diadakan ini. Memang gagah pria berusia empatpuluh tahun ini. Tubuhnya yang tinggi besar dan kokoh kuat itu mengenakan pakaian yang indah. Sebatang keris tersedia di pinggang belakang.

   Biarpun mereka sendiri sudah menyaksikan betapa ampuh pukulan tangan halus Muryani yang mampu memporakporandakan bongkah batu besar, namun di dalam hati mereka, Ki Ronggo Bangak dan Parmadi merasa tegang dan khawatir juga menyaksikan kegagahan Ki Demang Wiroboyo. Bagi Ki Ronggo Bangak, kekhawatirannya hanya tertuju kepada keselamatan puterinya dalam adu kanuragan saja karena dia yakin bahwa puterinya tidak akan menjadi isteri Ki Demang dengan adanya syarat tiga yang belum disampaikan kepada lamaran itu. Akan tetapi Parmadi yang belum mengetahuinya, merasa khawatir kali kalau-kalau gadis itu akan kalah sehingga terpaksa harus menjadi isteri Ki Demang Wiroboyo.

"Diajeng Muryani, hayo naiklah ke atas panggung. Kenapa andika masih belum naik? Kalau merasa takut, sudahlah kita tidak perlu bertanding, aku khawatir kalau-kalau kulitmu yang halus mulus itu akan lecet. Anggap saja aku menang dalam pertandingan kanuragan ini!"

   Kata Ki Demang Wiroboyo kepada Muryani yang masih berada di bawah panggung.

   Muryani tersenyum dan ia lalu mendaki anak tangga untuk naik ke atas panggung tidak meloncat seperti yang dilakukan penantangnya itu. Biarpun gadis itu hanya naik melangkahi anak tangga namun penonton yang tadi sudah dibuat kagum akan kemenangannya berlomba menunggang kuda, menyambutnya dengan tepuk tangan Apalagi mereka yang bertaruh di pihaknya. Akan tetapi taruhan kali ini tidak seimbang. Para penonton yang bertaruh hanya memberi nilai setengahnya kepada gadis itu. Sebagian besar dari para penduduk dusun Pakis, tentu saja sudah mengenal siapa Ki Demang Wiroboyo dan tahu akan kedigdayaannya. Mana mungkin seorang gadis muda jelita seperti Muryani walaupun pandai dan tangkas menunggang kuda, akan mampu menandingi kedigdayaan demang itu? Yang bertaruh memegang Muryani nekat karena mengharapkan kemlenangan sehingga mendapatkan bayaran ganda kalau gadis itu menang, sedangkan kalau kalah hanya membayar setengah jumlah itu. Mereka inilah yang menyambut naiknya Muryani ke panggung dengan gegap-gempita, seperti hendak memberi dorongan semangat kepada gadis yang dijagokannya.

   Mereka kini sudah berdiri saling berhadapan. Muryani menatap tajam wajah deiang itu lalu berkata lantang dengan maksud agar terdengar oleh semua orang yang berada di sekeliling panggung dan yang kini diam untuk mendengarkan apa yang diucapkan oleh dua orang jagoan mereka.

   "Ki Demang Wiroboyo!"

   Sengaja Muryani tidak menyebut kakangmas atau paman.

   "Aku mendengar bahwa andika sebagai demang bersikap adil dan bijaksana terhadap penduduk Pakis. Hal itu baik sekali dan aku merasa kagum dan berterima kasih kepadamu. Akan tetapi, andika mengandalan kekayaan dan kekuasaan untuk memperoleh setiap orang wanita yang kausukai dengan paksa. Hal inilah yang amat tidak baik dan karena watak andika inilah sekarang aku berdiri di sini untuk melawanmu, bertanding. Sekarang dengarlah baik-baik, biar disaksikan oleh semua penduduk Pakis ini, Kalau dalam pertandingan ini aku kalah olehmu, kemudian syaratku ketiga juga dapat andika penuhi, maka aku akan bersedia untuk menjadi selirmu. Akan tetapi kalau andika kalah dalam pertandingan ini, berarti andika sudah dua kali kalah dan andika harus mengubah watakmu yang mata keranjang dan suka memaksa wanita menjadi selirmu."

   "Diajeng Muryani, bagaimana andika dapat melarang seorang pria, apalagi pria itu seorang demang seperti aku, untuk mempunyai selir, berapa banyakpun yang dia kehendaki?"

   Bantah Ki Demang Wiroboyo penasaran. Para pria penduduk Pakis yang mendengar ucapan ini juga merasa betapa anehnya sikap gadis itu. Pada jaman itu, setiap orang pejabat, dari lurah ke atas, sudah pasti mempunyai selir.

   "Ki Demang Wiroboyo, siapa yang melarang andika mempunyai selir? Biar andika mempunyai seratus orang selirpun, aku tidak akan ambil pusing! Yang kutentang hanyalah caramu memaksa para wanita untuk menjadi selirmu, dengan mengandalkan kekayaan dan kedudukanmu!

   Kalau ada wanita yang mau kaujadikan selir, silakan. Akan tetapi kalau andika mempergunakan paksaan, terpaksa aku akan menentangmu mati-matian!"

   Mendengar ucapan gadis itu, para penduduk mengangguk-angguk setuju. Tak seorang pun di antara mereka setuju kalau anggauta keluarganya dipaksa oleh demang itu. Kecuali, tentu saja, mereka yang memang merasa senang kalau ada anggauta keluarganya menjadi selir Ki Demang Wiroboyo. Mendengar ucapan Muryani itu, wajah Vi Demang Wiroboyo menjadi merah.

   Kehormatannya tersinggung. Akan tetapi karena dia sudah tergila-gila kepada Muryani, dia tidak menjadi marah, hanya tersenyum.

   "Diajeng Muryani, aku berjanji bahwa kalau andika sudah menjadi selirku, Aku tidak akan mencari selir lain lagi! Nah, bagaimana kalau pertandingan ini ditiadakan saja dan andika menjadi selirku secara suka rela?"

   "Enak saja! Andika sudah kalah satu kali, dan pasti akan kalah dalam pertandingan kanuragan ini dan tidak dapat pula memenuhi syarat ketiga. Hayo, mulai dan seranglah, kalau memang andika seorang laki-laki yang gagah!"

   Panas juga rasa hati Ki Demang Wiroboyo mendengar tantangan ini. Tantangan yang bernada meremehkannya itu diucapkan Muryani di depan hampir semua penduduk Pakis yang saat itu berkumpul di situ. Dengan gaya yang gagah dia menggulung lengan bajunya yang panjang sampai ke atas siku, kemudian sambil tersenyun dia melangkah maju mendekati gadis itu dan berkata.

   "Nah, andika mulailah lebih dulu, diajeng. Aku sudah siap menerima pukulanmu. Nih dadaku, andika boleh memukul sesuka hatimu. Aku tidak akar membalas, aku tidak sampai hati untuk memukulmu. Tidak tega melihat kulitmu lecet!"

   Dan dengan gaya menantang dia membuka kancing bajunya sehingga kulit dadanya yang bidang itu tampak. Dada itu memang tampak kokoh kuat dengan otot-otot yang menonjol.

   Muryani mengerutkan alisnya. Ia menjadi marah karena merasa dipandang ringan dan diejek. Tentu saja ia tidak mau menerima tantangan seperti itu.

   "Ki Demang Wiroboyo, kalau aku menyerang dan andika tidak melawan, itu bukan pertandingan adu kanuragan namanya! Kalau aku menang, hanya akan menjadi buah tertawaan orang! Aku tidak sudi menang karena andika mengalah, apalagi aku tidak ingin membunuhmu."

   "Ha-ha-ha-ha! Membunuhku dengan pukulanmu? Aha, jangan khawatir, diajeng! Aku tidak akan mati, bahkan lecet sedikit pun tidak. Ketahuilah bahwa aku menguasai aji kekebalan yang membuat kulit dadaku tidak akan terluka oleh bacokan senjata tajam. Apalagi hanya pukulan tangan, lebih-lebih tanganmu, diajeng. Tentu akan nyaman sekali terasa oleh dadaku, seperti dipijati saja, ha-ha-ha!"

   Ki Demang Wiroboyo tertawa dan banyak penonton ikut tertawa karena mereka percaya benar akan ucapan itu. Pernah Ki Demang Wiroboyo itu, untuk menaklukkan hati para penduduk, memamerkan kekebalannya dengan menyuruh pembantunya membacokbacokkan golok kepada badan bagian atas yang bertelanjang. Apalagi terluka, tergorespun tidak dada dan punggung itu!

   Muryani menjadi semakin panas hatinya. Akan tetapi ia menahan diri. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin membunuh orang itu, juga tidak ingin memperoleh kemenangan tanpa dilawan.

   "Hemm, begitukah? Kalau begitu, aku ingin menguji sampai di mana hebatnya aji kekebalanmu. Kerahkan aji itu sekuatnya dan coba sambutlah pijatanku yang nyaman ini, Ki Demang! Nah, bersiaplah. Satu, dua, tiga ""

   Hyat!"

   Muryani sengaja memberi waktu kepada demang itu untuk mengerahkan aji kekebalannya. Ki Demang Wiroboyo sudah mengerahkan aji itu dan menahan napas untuk menyambut jari-jari tangan mungil yang menotok ke arah dadanya itu. Dadanya mengembang di menjadi sekeras besi. Jari-jari tangan Muryani menotok perlahan saja, namun diam-diam Muryani mengerahkan Aji Bromo Latu (Pijar Api Bromo), suatu aji tenaga sakti dari perguruan silat Bromo Dadali.

   Para penonton sudah siap untuk menerwakan apa yang dilakukan gadis itu. Dada yang kebal dari Demang Wiroboyo itu hanya disentuh seperti itu oleh jari tangan yang mungil itu? Menggelikan! Paling-paling hanya akan terasa geli seperti digelik! Akan tetapi mulut-mulut yang sudah siap untuk tertawa itu terbuka bersamaan dengan mata yang terbelalak. Mereka melihat Ki Demang Wiroboyo itu menyeringai seperti menahan sakit dan tubuhnya terhuyung ke belakang, tangan kiri menekan bagian dada yang tadi tersentuh jari-jari tangan mungil itu! Apa yang terjadi? Apakah Ki Demang Wiroboyo itu sengaja melucu, pura-pura kesakitan? Tak seorangpun mengetahui apa yang dirasakan pria itu. Akan tetapi, Ki Demang Wiroboyo sama sekali tidak berpura-pura. Dia merasa dadanya itu seperti ditusuk besi membara, panasnya menyusup ke dalam daging dadaya. Nyeri dan panas bukan kepalang! Tentu saja dia terkejut setengah mati dan diam-diam dia merasa heran akan tetapi juga mulai maklum bahwa gadis ayu merak ati yang berada di depannya ini sesungguhnya memiliki aji kesaktian yang sama kali tidak boleh dipandang ringan!

   Dalam keheranan dan kekagumannya, dia menjadi semakin tergila-gila. Inilah wanita yang patut menjadi sisihannya. Bukan saja ayu manis merak ati, akan tetapi juga digdaya, tentu akan makin memperkuat kedudukannya dan mengangkat namanya! Dia menahan rasa nyeri yang mulai menghilang itu dan memaksa diri tersenyum.

   "Wah, ternyata andika benar-benar seorang gadis perkasa seperti Srikandi yang digdaya! Kalau begitu, aku tidak akan khawatir lagi untuk bertanding denganmu. Atau kita bermain-main sejenak, diajeng Muryani!"

   "Maju dan mulailah, Ki Demang Wiroboyo!"

   Tantang Muryani dan iapun sudah memasang kuda-kuda dengan gerakan Dadali Anglayang (Burung Walet Melayang). Pasangan kuda-kuda itu dilakukan dengan berdiri di atas jari-jari kakinya, berjingkat dengan kedua kaki rapat, tubuh agak membungkuk dan kedua lengan dikembangkan ke kanan kiri seperti sepasang sayap tampak manis, lucu dan juga gagah. Mulailah para penonton bertepuk tangan karena ucapan Ki Demang Wiroboyo tak membuat mereka dapat menduga bahwa pria itu tidak main-main dan gadis itu benar-benar seorang yang tangguh dan digdaya.

   Ketika tadi Muryani menggunakan jari-jari tangannya untuk menotok dada lawan nya, Parmadi juga mengerutkan alisnya. Kenapa serangan gadis itu hanya menyentuh dada lawan, seperti main-main saja? Akan tetapi melihat Ki Demang Wiroboyo meringis seperti kesakitan dan terhuyung ke belakang, hatinya mulai lega. Dia tahu bahwa gadis itu memiliki kesaktian dan kini dia memandang penuh perhatian, mengharapkan gadis itu akan memenangkan pertandingan itu.

   Maka, melihat banyak orang menyambut pembukaan gerakan silat gadis itu, dia menjadi gembira dan ikut bertepuk tangan. Sentuhan lembut pada pundaknya memuat Parmadi menengok dan melihat bahwa yang menyentuh pundaknya adalah Ki Ronggo Bangak yang mengerutkan alis, dia menghentikan tepukan tangannya. Agaknya gurunya tidak bergembira melihat ulah Muryani di atas panggung arena pertandingan itu.

   "Kenapa, paman?"

   Tanyanya kepada gurunya itu. Parmadi menyebut paman kepada gurunya itu, sesuai dengan kehendak Ronggo Bangak sendiri yang tidak bersedia disebut Bapa Guru.

   Ronggo Bangak menghela napas pandang dan menjawab lirih.

   "Aku khawatir kalau Muryani lupa diri, menewaskan Ki Demang Wiroboyo atau membuat dia terluka parah."

   Parmadi memandang kepada gurunya dan bibirnya mengembangkan senyum. Kalau orang lain mendengarkan ucapan guruya itu, dia tentu akan merasa heran sekali. Ronggo Bangak tidak mengkhawatirkan puterinya terbunuh atau terluka, sebaliknya malah khawatir kalau anak itu menewaskan atau mencederai lawan! Dia mengenal baik siapa gurunya dan bagaimana watak

   gurunya. Seorang yang suka akan keindahan, penuh kedamaian, tidak ingin merusak, tidak menyukai kekerasan dan selalu berbaik hati kepada siapa saja!

   "Harap paman tenangkan hati. Saya percaya bahwa adi Muryani bukan hanya telah mempelajari aji kanuragan akan tetapi juga telah memiliki watak yang gagah dan adil, lagi bijaksana."

   "Mudah-mudahan begitulah, Parmadi."

   Keduanya memperhatikan ke atas panggung. Melihat gadis yang menggairahkan hatinya itu telah membuat pasangan pembukaan yang indah, Ki Demang Wiroboyo tidak mau kalah gaya. Dia berdiri dengan kedua kaki menyilang, lutut ditekuk, kepala ditundukkan akan tetapi kedua mata mengerling ke depan, kedua tangan mem. bentuk cakar harimau, tangan kanan dia angkat ke depan muka dan tangan kiri menempel di perut, mulutnya tersenyum.

   "Diajeng Muryani, hati-hatilah dan sambut seranganku ini. Haaiiiiittt""!!"

   Tiba-tiba dengan gerakan yang tangkas, kaki kanannya melangkah ke depan, tangan kanannya menyambar dengan cengkeraman ke arah muka Muryani sedangkan tangan kiri mencengkeram ke arah dada gadis iu! Tentu saja Ki Demang Wiroboyo sudah siap untuk mengubah cengkeraman itu menjadi belaian kalau berhasil tangannya nenyentuh muka dan dada!

   "Hyaaaatt"..!"

   Terdengar seruan nyaing keluar dari mulut gadis itu dan tubuhnya menggeliat Seruling Gading mundur, kedua tangan ligerakkan masuk menampar kedua tangan awan itu.

   "Plak! Plak!"

   Tangkisan itu membuat edua tangan Ki Demang Wiroboyo terasa tergetar dan dia mundur dua langkah degan kaget sambil memasang kuda-kuda lagi, berdiri tegak dengan kedua lengan menyilang di depan dada. Muryani sudah kembali memasang kuda-kuda seperti pembukaannya tadi.

   Kembali penonton bertepuk tangan kaena pertandingan segebrakan ini menunjukkan bahwa Muryani memang bukan wanita lemah dan ia tampak gagah sekali. Pertemuan dua pasang lengan tadi saja sudah membuat Ki Demang Wiroboyo makin tahu bahwa gadis itu memang memiliki tenaga yang kuat. Keduanya maklum bahwa mereka harus berhati-hati dan berusaha sekuat kemampuan mereka kalau ingin keluar sebagai pemenang.

   "Eiiitt....!"

   Kini Muryani balas menyerang. Gerakannya cepat bukan main, bagaikan seekor burung walet tubuhnya menerjang ke depan, tangan kirinya menampar dengan jari terbuka ke arah pelip kanan lawan. Sambaran tangan yang kecil mungil itu mendatangkan angin yang terasa benar oleh Ki Demang Wiroboyo mak diapun cepat menarik tubuh atas ke belakang sambil mengangkat lengan kanan ke atas untuk menangkis. Akan tetapi pada detik berikutnya, Muryani menyusulkan tendangan. Kaki kanan dengan betis mamadi bunting dan berkulit putih mulus tertutup celana hitam sebatas lutut itu mencuat menuju sasarannya, yaitu perut lawan!

   "Ehh....!"

   Ki Demang Wiroboyo terkejut dan cepat tangan kirinya bergerak ke bawah untuk menangkis, karena mengelak tidak akan dapat menghindarkan dirinya dari dari tendangan itu.

   "Dukk...!"

   Lengan itu bertemu kaki dan akibatnya, tubuh Ki Demang Wiroboyo terhuyung ke belakang. Diam-diam pria ini terkejut dan penasaran sekali. Dia tahu bahwa lawannya benar-benar tangguh. Maka, dia segera mengerahkan tenaganya dan menubruk ke depan, menggerakkan kedua tangan untuk menyerang dari kanan kiri dengan gerakan menggunting ke arah kedua pundak gadis itu. Kalau tadi dia menyerang hanya untuk meraba dan mengelus muka dan dada, kini serangannya benar-benar dimaksudkan untuk mengalahkan lawan. Pukulannya itu cepat dan kuat, tidak lagi ditahannya karena dia maklum bahwa kalau dia tidak bersungguh-sungguh, besar kemungkinan dia yang akan roboh dan kalah.

   Menghadapi serangan itu, Muryani bersikap tenang dan gerakan tubuhnya yang amat cepat itu membuat ia dengan mudah mengelak dengan mudah. Ia melompat belakang dan ketika serangan kedua tangan lawan itu luput dan lewat, iapun nerjang maju dan membalas dengan serangan tangan kanan, menghantam dengan telapak tangan ke arah lambung lawan. Demang Wiroboyo kembali menangkis dan kedua orang itu kini saling serang dengan serunya. Pertandingan berjalan semakin sengit, saling pukul, saling tendang dan membuat para penonton menjadi tegang.

   Melihat kenyataan betapa Muryani benar-benar dapat melakukan perlawanan dengan baik, kini pasar taruhan menjadi ramai. Nilai Muryani naik pesat dan banyak penonton yang menjagoinya dengan taruhan tinggi! Parmadi menonton dengan hati tegang dan penuh kekhawatiran karena dari cara Ki Demang Wiroboyo memukul dan menendang, dia dapat menduga bahwa pria itu menyerang dengan sungguh-sungguh. Biarpun Parmadi biasa bekerja keras dan memiliki tubuh yang kuat, namun dia tidak pernah mempelajari ilmu silat. Seperti juga para penonton yang berada di situ, dia merasa heran dan kagum bukan main melihat sepak terjang Muryani. Gadis remaja itu, baru enambelas tahun usianya, belum dewasa benar, mampu menandingi dalam adu kanuragan seorang jagoan yang sudah matang dan terkenal digdaya seperti Ki Demang Wiroboyo? Hal ini tentu saja merupakan keajaiban bagi mereka. Adapun bagi Ki Demang Wiroboyo sendiri, kalau tadinya dia merasa heran, terkejut dan kagum sehingga hatinya semakin terpikat oleh gadis itu, kini dia merasa penasaran bukan main, juga khawatir. Dia merasa betapa beratnya melawan gadis itu dan yang membuat dia penasaran setengah mati adalah kalau mengingat bahwa lawannya itu hanya seorang gadis remaja. Padahal, sudah banyak jagoan kawakan yang kalah beradu tebalnya kulit kerasnya tulang olehnya. Bahkan dia pernah mengobrak-abrik gerombolan maling dan kecu (perampok) yang dipimpin Darto Gento di hutan Cemoro Sewu sehingga karena jasanya itu dia diangkat menjadi Demang Pakis. Masa sekarang dia harus kalah oleh seorang gadis remaja?

   Kekhawatiran Ki Demang Wiroboyo menjadi kenyataan. Saking cepatnya gerakan tangan Muryani, dia tidak sempat mengelak atau menangkis lagi ketika tangan kanan Muryani menyambar.

   "Plakk!"

   Tangan yang miring itu mengenai leher kiri Ki Demang Wiroboyo. Biarpun hanya sebuah tangan mungil yang menghantam lehernya, namun Ki Demang Wiroboyo mengaduh dan merasa seolah kepalanya disambar petir. Pandang matanya berkunang dan dia terhuyung ke belakang. Muryani menyusulkan tendangan kaki kiri ke arah perut lawan.

   "Bukk.... !"

   Tak dapat dihindarkan lagi tubuh Ki Demang Wiroboyo terlempar ke belakang dan.... terjatuh ke bawah panggung! Luapan kegembiraan membuat para penduduk itu bertepuk tangan menyambut kemenangan gadis itu sehingga mereka lupa bahwa yang kalah itu adalah demang dusun mereka yang biasanya mereka hormati karena demang itu, bagaimanapun juga, adalah seorang penguasa yang adil dan baik. Akan tetapi, beberapa belas orang laki-laki yang biasa membantu Ki Demang Wiroboyo, segera menolong majikan mereka. Ternyata Ki Demang Wiroboyo tida terluka parah, hanya lehernya terasa nyeri dan kaku dan perutnya terasa mulas Sebetulnya dia masih beruntung karena Muryani sengaja membatasi tenaganya ketika menampar dan menendang tadi sehingga nyawanya tidak direnggut maut.

   Dari atas panggung Muryani menghadap ke arah Ki Demang Wiroboyo yang sudah bangkit berdiri di bawah panggung di mana dia tadi terjatuh.

   "Ki Demang Wiroboyo, seperti kukatakan tadi, kalau andika kalah andika harus memenuhi permintaanku. Andika sudah kalah dalam lomba balap kuda, kalah pula dalam pertandingan adu kanuragan, disaksikan oleh semua penduduk, andika kalah dua kali. Karena itu, sudah sepatutnya andika mengaku kalah dan mulai saat ini kuminta agar andika tidak lagi mengulang perbuatan yang sudah-sudah, yaitu memaksa wanita untuk menjadi selirmu. Kala andika tidak memegang janji, berarti andika seorang laki-laki yang tidak jantan dan aku pasti akan turun tangan menentang dan memberi hajaran yang sekeras-kerasnya. Mudah-mudahan kekalahan ini menjadi suatu pelajaran yang baik yang akan menyadarkanmu dari kesalahan."

   Ki Demang Wiroboyo hanya mengangguk-angguk dan semua orang yang mendengarkan ucapan gadis itu makin terheran dan terkagum-kagum. Gadis remaja itu tidak hanya sakti mandraguna, namun juga bijak dan dapat memberi wejangan seperti seorang tua saja! Muryani menuruni anak tangga panggung itu, menghampiri ayahnya dan menggandeng tangan ayahnya.

   "Mari kita pulang, ayah."

   Akan tetapi Ki Ronggo Bangak mengajak puterinya menghampiri Ki Demang Wiroboyo. Setelah berhadapan, Ki Ronggo Bangak lalu berkata dengan ramah.

   "Anakmas Demang Wiroboyo, kalau anak saya Muryani dianggap bersalah, saya yang meinintakan maaf atas semua sikap dan kelakuannya terhadap anakmas tadi."

   Ki Demang Wiroboyo yang masih tertegun menghadapi kenyataan pahit bahwa dia kalah oleh Muryani, memandang kepada Ki Ronggo Bangak, lalu kepada Muryani yang tersenyum, dan menggeleng kepala, menghela napas dan berkata.

   "Tidak ada yang bersalah, paman, tidak ada yang perlu dimaafkan "

   Ki Ronggo Bangak merasa lega dan berkata.

   "Terima kasih, anakmas Demang Wiroboyo."

   Dia membungkuk memberi hormat lalu menggandeng tangan puterinya dan pergi dari situ, diikuti pandang mata para penduduk yang merasa kagum sekali kepada Muryani. .

   Semenjak hari itu, kehidupan di dusun Pakis berjalan seperti biasa. Ki Demang Wiroboyo bersikap biasa, mengurus dusun dengan kepimpinannya, sehingga penduduk segera melupakan peristiwa dengan Muryani itu. Karena Ki Demang Wiroboyo dia dan tenang-tenang saja, maka mereka mengira bahwa urusan itu telah selesai dan api itu telah padam. Yang jelas, demang itu kini kehilangan kegarangann terhadap wanita, tidak lagi mengejar-ngejar wanita. Agaknya memang sudah bertaubat dan mentaati nasihat gadis remaja, Muryani.

   Akan tetapi benarkah api itu sudah padam seperti dugaan semua penduduk dusun Pakis? Ataukah api itu masih membara dan ngureng (membara di bagian dalam) seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu dalam menyala dan berkobar kembali?

   Pagi yang cerah dan indah. Sinar matahari pagi yang masih lembut menggugah pohon-pohon cemara dari tidur lelap, menyulap butir-butir embun di ujung-ujung rumput dan daun menjadi mutiara-mutiara yang berkilauan. Mutiara-mutiara di ujung daun-daun cemara itu berjatuhan ketika ranting pohon itu bergerak karena dihinggapi kaki-kaki burung yang beterbangan dengan riang gembira, berkicau ria sebelum menunaikan tugas hariannya, yaitu pergi mencari makan.

   Lereng-lereng Gunung Lawu di luar dusun Pakis itu sunyi sekali. Orang-orang yang bepergian ke pasar yang berada di dusun lain, melalui jalan raya, tidak melalui lereng-lereng itu.

   Akan tetapi, seorang pemuda berjalan seorang diri. Tangan kanannya memegang sebuah sabit dan pundak kirinya memikul dua buah keranjang kosong. Pakaiannya sederhana sekali. Baju tanpa leher berlengan pendek dan celana sebatas lutut. Semua berwarna hitam. Kepalanya dibelit kain ikat kepala dan kedua kakinya telajang. Pemuda itu adalah Parmadi. Seperti biasa, setelah pagi-pagi sekali tadi dia membersihkan istal kuda di belakang gedung tempat tinggal Ki Demang Wiroboyo, berangkatlah dia membawa pikulan keranjang rumput dan sebuah arit menuju ke lapangan rumput yang berada agak jauh di luar dusun Pakis, di sebuah puncak bukit.

   Di sana tumbuh rumput yang segar dan subur, yang tak pernah habis walau dibabatnya setiap hari. Agaknya pagi dibabat sore tumbuh kembali dan sore dibabat pagi tumbuh kembali. Bukit itu lumayan jauhnya dari dusun Pakis, sejauh perjalanan selama setengah jam. Akan tetapi tiada bosannya Parmadi berjalan melalui lereng-lereng itu setiap pagi karena pemandangan di situ amat indahnya, apalagi di waktu matahari baru muncul. Hawanya sejuk segar dan tentu amat dingin bagi orang yang tidak biasa berada di situ, namun bagi Parmadi yang sudah terbiasa, terasa sejuk segar menyehatkan. Akan tetapi pagi itu agaknya Parmadi tidak dapat menikmati keindahan dan kesejukan yang biasa dialaminya. Bahkan dia seperti tidak mengacuhkan atau tidak meraskan itu semua.

   Dia tenggelam dalam lamunannya sendiri. Kedua kakinya bergerak melangkah otomatis ke arah yang menjadi tujuannya tanpa dia perhatikan lagi. Mula-mula dia membayangkan Muryani dan Ki Ronggo Bangak. Gadis yang luar biasa, selain cantik jelita, pandai, juga ternyata gagah perkasa. Hidup berbahagia di samping ayah tercinta. Dan dia? Dia seorang pemuda, seorang laki-laki, akan tetapi tidak segagah gadis remaja itu. Dia hanya seorang tukang mengurus kuda, tukang menyabit rumput, kedudukan yang paling rendah. Diapun seorang laki-laki yang lemah, seperti bumi dengan langit dibandingkan Muryani. Dan dia juga tidak seberuntung Muryani. Dia sudah tidak beribubapa, sudah yatim-piatu. Maka terkenanglah dia akan keadaan dirinya.

   Dia membayangkan kembali keadaan dirinya. Dahulu, sebagai seorang anak dia hidup berbahagia bersama ayah ibunya di dusun Pancot, di sebuah di antara lereng-lereng Gunung Lawu. Seingatnya, ayahnya adalah seorang petani yang hidup sederhana namun mereka cukup berbahagia. Walaupun mereka hidup miskin dan sederhana, namun mereka tidak pernah kelaparan dan kehidupan di lereng gunung itu tenteram dan penuh kedamaian. Dia masih ingat, ayahnya pernah bercerita bahwa ayah dan ibunya berasal dari Pasuruan, membawanya pindah ke lereng Lawu ketika dia masih kecil. Ayahnya tidak banyak bercerita tentang kehidupan ketika masih tinggal di Pasuruan. Dan malapetaka itu menimpa keluarga mereka ketika dia berusia sepuluh tahun. Ayahnya ketika itu berusia enampuluh tahun, akan tetapi ibunya masih muda, ketika itu berusia kurang lebih tigapuluh tahun. Ayahnya pernah memberi pelajaran dasar-dasar ilmu pencak silat kepadanya. Dia juga ingat bahwa agaknya ayahnya itu bersahabat dengan Ki Demang Wiroboyo dan dia melihat Ki Demang Wiroboyo itu sering berkunjung ke rumah mereka. Ki Demang itu seingatnya amat baik dan ramah kepada mereka, terutama kepada ibunya.

   Dan pada malam hari itu terjadilah bencana yang mengubah seluruh jalan hidupnya. Dia hanya mendengar suara ribut-ribut dalam kamar orang tuanya. Dia tidur dalam kamarnya sendiri. Suara seperti terjadi perkelahian dan beradunya senjata tajam berkerontangan. Dia tidak berani keluar kamar. Kemudian terdengar suara mengerang kesakitan, kemudian sunyi. Setelah agak lama, baru dia berani keluar kamarnya. Kamar orang tuanya gelap, maka dia membawa lampu dari kamarnya dan menuju ke kamar orang tuanya. Dan pintunya terbuka. Dia melangkah masuk dan". ayah ibunya sudah menggeletak di lantai kamar itu. Dia menjerit dan menubruk ibunya. Ibunya sudah tewas. Dia menghampiri ayahnya. Ayahnya juga tewas setelah berkata lirih.

   ""..membela Mataram sampai mati "

   Parmadi menghentikan langkahnya, menurunkan pikulannya dan duduk di atas batu. Renungannya terlalu mengasyikkan sehingga dia berhenti berjalan dan melanjutkan lamunan dan kenangannya sambil duduk di atas batu itu.

   Dia tidak mengetahui siapa yang membunuh ayah ibunya dan mengapa mereka dibunuh. Tidak ada tanda-tanda yang akan dapat membuka rahasia itu. Jenazah ayah-ibunya dikubur. Ki Demang Wiroboyo yang menjadi sahabat ayahnya juga datang melayat. Kemudian, karena dia tidak mempunyai sanak-kadang lain, Ki Demang Wiroboyo mengajaknya ke Pakis dan bekerja kepadanya, sebagai kacung kemudian sebagai perawat kuda sampai sekarang.

   Parmadi merasa prihatin sekali. Merasa hidupnya tiada berguna. Ucapan terakhir ayahnya selalu berdengung di telinganya.

   "Membela Mataram sampai mati!"

   Apakah maksudnya itu? Apakah ayahnya telah membela Mataram sampai terbunuh orang? Ataukah ayahnya memesan kepadanya agar dia membela Mataram mati-matian? Akan tetapi, kalau dia diharuskan membela Mataram, apa yang dapat dia lakukan? Dia hanya seorang perawat kuda, penyabit rumput. Dia bodoh, lemah, miskin. Apanya yang dapat dia andalkan untuk membela Mataram? Kalau saja dia memiliki kepandaian seperti halnya Muryani, tentu dia akan dapat melaksanakan pesan terakhir ayahnya itu! Sekarang, kebiasaannya hanyalah seni memahat, membaca menulis, bertembang dan meniup suling. Apa gunanya itu untuk dapat membela Mataram? Diapun belum pernah melihat Mataram. Apa yang dia ketahui tentang Mataram hanya dari cerita ayahnya. Mataram adalah kerajaan besar yang menguasai seluruh Nusantara. Menurut ayahnya, yang menjadi raja Mataram adalah seorang raja yang sakti mandraguna dan berbudi bawa laksana, berjuluk Sang Panembahan Agung Senopati Ing Alogo Ngabdurrachman atau juga disebut Sang Prabu Pandito Cokrokusumo, bahkan ada juga sebutan untuknya, yaitu Sayidin Panotogomo Kalifatullah! Ketika dia mengeluh kepada ayahnya bahwa nama itu terlalu panjang dan susah untuk diingat, ayahnya tertawa dan mengatakan bahwa pada umumnya Raja Mataram yang gelarnya amat panjang itu disebut Sultan Agung.

   Dia harus mengabdi kepada Sultan Agung dan membela Mataram? Hanya lamunan. Takkan mungkin terjadi. Tidak ada apapun padanya yang dapat diandalkan. Dia hanya penyabit rumput makanan kuda. Parmadi menghela napas panjang, teringat akan kewajibannya. Dia lalu bangkit berdiri, mengambil aritnya, memikul keranjangnya dan melanjutkan langkah kakinya menuju ke bukit penuh rumput yang sudah dicapai hampir sampai di puncaknya.

   Hatinya gundah, kecewa kepada diri sendiri. Perasaan ini menimbulkan kemarahan kepada diri sendiri yang dianggapnya tiada berguna. Untuk melampiaskan kemarahannya, ia menyabit rumput penuh semangat. Seolah rumput-rumput itu yang menjadi musuh besarnya! Sebentar saja dia sudah memenuhi dua keranjangnya dengan rumput hijau segar dan gemuk. Dia tadi bekerja keras sepenuh tenaga sehingga muka dan lehernya basah oleh keringat.

   Diusapnya keringat dari mukanya dengan bajunya. Setelah dia berhenti menyabit dan berdiri di padang rumput puncak bukit itu, baru terasa olehnya betapa tiupan angin amat menyejukkan. Tiba-tiba pendengarannya menangkap suara yang terbawa angin. Suara yang tidak asing baginya. Suara suling. Jelas itu suara suling. Dia mengenal benar suara tiupan suling. Akan tetapi, lagu yang dimainkan suling itu aneh sekali, luar biasa. Tidak ada di antara tembang-tembang vang dikenalnya seperti itu. Bukan tembang Dandang-gulo, bukan pula tembang Pangkur, atau Kinanti. Juga bukan Asmorodono, Megatruh, Sinom, Pucung atau tembang lain yang dikenalnya. Suara suling itu mendayu-dayu mengeluarkan tembang yang aneh, mengandung berbagai macam perasaan, terkadang seperti merintih seperti Megatruh, terkadang indah menghanyutkan seperti Asmorodono. Belum pernah dia mendengar suling ditiup orang seperti itu. Mengandung getaran yang mengisap kalbu, membuat Parmadi kadang merasa terharu, kadang merasa seperti dibawa melayang-layang. Dia tertarik sekali dan timbul keinginan kuat untuk bertemu dengan orang yang dapat memainkan suling sehebat itu.

   Sambil memikul dua keranjang rumput dia menuruni puncak bukit padang rumput menuju ke timur, ke arah dari mana datangnya suara suling itu. Ternyata suara itu datang dari jarak yang jauh juga. Dia sudah menuruni bukit dan mendaki sebuah bukit lain. Agak meremang bulu tengkuk Parmadi walaupun waktu itu masih pagi. Dia tahu bahwa tempat itu disebut daerah Penggik dan Tamansari yang terkenal daerah angker. Hanya penduduk daerah Lawu yang sudah biasa dan hapal benar aka keadaan daerah itu yang berani memasuki daerah ini sampai ke daerah Pringgondan karena menurut dongeng rakyat, orang sering kali kalap (tersesat) di daerah itu dan tidak bisa mendapatkan jalan keluar. Banyak orang yang sudah menjadi korban mati kedinginan dan kelaparan, juga ketakutan, mayat mereka ditemukan di daerah itu.

   Akan tetapi Parmadi sudah mengenal daerah itu, maka dia mendaki bukit yang rimbun itu dengan tenang walaupun hatinya agak berdebar karena suara suling itu amat aneh, apalagi terdengar keluar dari daerah yang dikeramatkan oleh penduduk pedusunan di daerah Pegunungan Lawu itu. Setelah melalui hutan lebat, akhirnya dia tiba di sebuah tempat terbuka dan di tengahtengah tempat yang ditumbuhi banyak rumput hutan itu terdapat sebuah batu besar. Dia berhenti, melangkah dan memandang ke arah batu itu seperti orang terpesona. Setelah ditemukan orang yang memainkan suling seperti itu di tengah hutan yang terkenal angker itu, timbul keraguan dalam hatinya. Manusiakah orang yang duduk di atas batu besar sambil ineniup suling itu?

   Anehnya, setelah dia berada dekat, dalam jarak belasan meter, dia mendengar suara suling itu mendayu-dayu seperti tadi, tidaklah nyaring sekali. Akan tetapi bagaimana dapat dia dengar dari puncak bukit lain yang jaraknya cukup jauh? Dia berdiri mematung, masih memikul keranjangnya dan memegang sabitnya, seperti terpesona.

   Kakek itu tidak mirip manusia biasa. Manusiakah dia, ataukah sebangsa siluman makhluk halus? Kalau manusia, usianya tentu sedikitnya tujuhpuluh tahun. Rambut, alis, jenggot dan kumisnya sudah putih semua, putih mengkilap seperti benang sutera perak. Rambut putih itu panjangnya sepundak. Wajah tua itu masih tampak sgar. Matanya bersinar lembut, namun tajam penuh wibawa dan penuh pengertian Pakaian yang menutupi tubuhnya yang sedang agak kurus itupun sederhana sekali. Hanya merupakan kain putih yang membelit tubuhnya, diikat dengan ikat pinggang putih pula. Suling yang ditiupnya merupakan sebatang seruling putih kuning yang panjangnya kurang lebih setengah meter. Seruling itu mengkilap tertimpa sinar matahari yang mulai naik agak tinggi.

   Perlahan-lahan suara suling itu berubah lirih dan akhirnya berhenti sama sekal namun Parmadi seolah-olah masih mendengar gemanya berdengung di telinganya. Kakek itu kini memandang kepadanya mulut yang tersembunyi di antara kumis dan jenggot putih itu tersenyum, sepasang mata tua yang bersinar lembut itu berseri. Senyum dan pandang mata kakek itu seolah memiliki daya kekuatan mengundang Parmadi sehingga pemuda ini seperti bukan kehendaknya sendiri, menggerakkan kakinya, perlahan melangkah maju menghampiri. Setelah berada di depan batu besar yang diduduki kakek itu, Parmadi berhenti dan memandang kakek itu dengan jantung berdebar tegang. Dia mendapat pendidikan cukup dari Ki Ronggo Bangak, maka dia menurunkan pikulan keranjang rumputnya, melepaskan sabitnya, lalu membungkuk sebagai penghormatan dan bertanya dengan sikap hormat,

   "Maafkan pertanyaan saya, eyang. Apakah eyang ini seorang manusia ataukah bukan?"

   Kakek itu mengangkat muka ke atas dan diapun tertawa. Suara tawanya halus dan wajar.

   "Haha-ha, orang muda yang lucu. Dengan dasar bagaimanakah andika bertanya apakah aku manusia atau bukan?"

   "Maafkan saya, eyang. Keraguan saya bahwa eyang seorang manusia adalah keadaan eyang yang amat aneh. Pertama, tiupan suling tadi. Selain suaranya dapat mencapai jauh sekali, juga tembang yang eyang mainkan dengan suling tadi terdengar aneh namun luar biasa indahnya. Selain itu, kakek yang sudah begini tua bagaimana dapat mendaki sampai ke sini dan berada seorang diri di hutan yang terkenal angker ini?"

   Kakek itu turun dari atas batu. Batu itu cukup tinggi, setinggi pundak Parmadi. Akan tetapi kakek itu melompat turun dengan ringan sekali, seringan daun kering sehingga ketika kedua kakinya hinggap di atas tanah, tidak mengeluarkan suara. Jubahnya berkibar ujungnya ketika dia melompat turun. Ketika dia berdiri di depan Parmadi, pemuda itu mendapat kenyataan bahwa kakek tua renta itu berdirinya masih tegak dan ternyata bentuk tubuhnya cukup tinggi dan kurus.

   "Orang muda, aku tidak menjadi heran akan keraguanmu. Akan tetapi yang mengherankan aku adalah sikap dan kata-katamu. Sebelum aku menjawab pertanyaanmu tadi, maukah andika lebih dulu menjawab pertanyaanku?"

   "Tentu saja, eyang. Silakan bertanya dan saya akan menjawab sejujurnya dan sekuat kemampuan saya."

   "Andika membawa sabit dan memikul dua keranjang rumput. Pakaianmu juga menunjukkan bahwa andika seorang pemuda dusun. Apakah andika penduduk dusun di Pegunungan Lawu ini?"

   "Benar sekali, eyang. Saya penduduk dusun Pakis dan bekerja sebagai perawat kuda Ki Demang dari Pakis."

   "Siapa namamu, kulup?"

   "Nama saya Parmadi, eyang."

   "Jagad Dewa Bathara....! Seorang pemuda desa yang miskin sederhana, penyabit rumput perawat kuda, namanya Parmadi dan tindak-tanduknya (pembawaaniya) penuh susila seperti Raden Permadi!"

   Kata kakek itu.

   Wajah Parmadi berubah merah mendeIgar pujian itu dan dia cepat ingin mengalihkan perhatian dan percakapan tentang dirinya.

   "Maaf, eyang. Eyang belum menjawab pertanyaan saya tadi."

   "Engkau bertanya bagaimana seorang tua renta seperti aku dapat berada di hutan gunung yang angker ini? Ketahuilah bahwa selama ini aku memang selalu berada di hutan-hutan dan gunung-gunung. Tempat tinggalku adalah di mana kedua kakiku berpijak. Rumahku berlantai tanah berdinding pohon beratap langit. Maka tidak aneh sama sekali kalau hari ini aku berada di hutan gunung ini, Parmadi. Aku manusia biasa seperti juga andika, penuh kekurangan dan mungkin hanya sedikit kelebihan. Aku bukan makhluk halus, bukan kama wurung, bukan iblis atau siluman juga bukan dewa."

   "Akan tetapi tembang dalam suara suling eyang tadi...."

   Kakek itu tersenyum dan kalau dia tersenyum wajahnya tampak semakin segar.

   "Heh-heh, kalau tiupan sulingku dikendalikan oleh akal pikiranku, tentu yang andika dengar adalah tembang yang dikenal umum. Akan tetapi tiupan suling tadi keluar dari bimbingan jiwaku yang hanya akan dapat dikenal oleh jiwa, bukan oleh akal pikiran."

   Parmadi tertegun, tidak mengerti. Akan tetapi dia merasa tidak sopan kalau harus minta penjelasan. Dari jawaban tadi dia berkesimpulan bahwa kakek ini seorang kelana yang amat aneh dan penuh rahasia. Dapat tiba di tempat itu dan pakaiannya masih putih bersih seperti tidak pernah menyentuh tanah dan tumbuh-tumbuhan. Dia mulai menduga bahwa kakek itu tentu seorang yang. memiliki kepandaan tinggi, seorang yang sakti mandraguna dan arif bijaksana.

   "Eyang telah mengetahui nama saya. Bolehkah saya mengetahui nama eyang yang mulia?"

   Tanya Parmadi hati-hati agar tidak berkesan tidak sopan.

   "Tentu saja boleh, kulup. Orang-orang menyebut aku Ki Tejo Wening."

   Kakek itu lalu duduk di atas sebuah batu yang tidak berapa besar.

   "Duduklah, Parmadi, aku ingin bercakap-cakap denganmu. Kedatanganmu ke sini terpanggil oleh suara sulingku dapat kuanggap bahwa engkau berjodoh denganku. Nah, ceritakanlah keadaanmu. Siapakah nama ayahmu?"

   Parmadi juga duduk di atas batu berhadapan dengan kakek itu.

   "Ayah saya bernama Brojoketi, eyang."

   "Brojoketi? Dari mana ayahmu berasal dan di mana dia sekarang?"

   "Ayah berasal dari Pasuruan dan dia telah meninggal dunia di dusun Pancot, tidak jauh dari dusun Pakis. Ketika saya berusia sepuluh tahun saya tinggal di dusun Pancot bersama ayah ibu saya. Akan tetapi pada suatu malam ayah dan ibu saya tewas dalam kamar mereka, dibunuh orang, eyang."

   "Ahh, semoga Hyang Widhi mengampuni kita semua!"

   
😗

   
Seru kakek itu.

   "Siapa pembunuh itu dan mengapa ayah ibu dibunuh?"

   Parmadi menggeleng kepalanya.

   "Saya tidak tahu, eyang. Yang saya ingat hanya ketika saya memasuki kamar ayah ibu, ibu telah tewas dan ayah juga tewas setelah meninggalkan kata-kata begini, 'membela Mataram sampai mati'."

   "Hemm, ayahmu yang bernama Brojokerti itu tentulah seorang yang setia kepada Kerajaan Mataram. Setelah engkau di tinggal mati kedua orang tuamu, lalu bagaimana?"

   "Saya dibawa oleh Ki Demang Wiroboyo ke rumahnya di dusun Pakis dan diberi pekerjaan. Sampai sekarang saya menjadi perawat tujuh ekor kuda milik Ki Demang Wiroboyo, eyang."

   "Dan dia yang mengajarimu tentang tata-krama (tata susila)?"

   "Bukan, eyang. Selama lima tahun ini saya diberi pelajaran tentang sastra, seni, budi pekerti dan tata susila oleh paman Ronggo Bangak yang tinggal di Pakis. Paman Ronggo Bangak berasal dari Demak, eyang. Eyang, pesan ayah dalam ucapan terakhir itu saya anggap sebagai pesan untuk saya agar saya membela Mataram. Akan tetapi, saya seorang pemuda lemah seperti ini, yang hanya mengerti sedikit tentang sastra dan seni, bagaimana mungkin saya dapat membela Mataram seperti dipesan mendiang ayah saya? Karena itu, eyang, saya mohon, sudilah eyang menerima saya sebagai murid eyang!"

   Setelah berkata demikian, Parmadi lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada kakek itu. Nalurinya mendorongnya untuk berguru kepada kakek aneh ini.

   "Parmadi, apakah engkau mengira bahwa untuk berbakti kepada nusa bangsa itu hanya diperlukan jasmani yang kuat dan kanuragan? Siapa saja dapat berbakti kepada nusa dan bangsa yang sama nilainya dengan memanfaatkan segala kemampuan yang dimilikinya. Semua orang dapat berjuang untuk Mataram, dalam bidang dan dengan cara masing-masing. Perjuangan bukan berarti hanya bertempur melawan musuh negara. Mendidik rakyat, memajukan kebudayaan termasuk kesusastraan dan kesenian, juga merupakan perjuangan yang tak kalah besar nilainya."

   "Akan tetapi, eyang. Saya mendengar dari penuturan paman Ronggo Bangak bahwa Mataram masih menghadapi berbagai ancaman. Banyak kadipaten memberontak terhadap Mataram. Padahal Mataram ingin menyatukan semua kadipaten untuk menghadapi musuh yang amat berbahaya, yaitu kaum kumpeni Belanda. Karena itu, saya pikir Mataram membutuhkan banyak orang yang memiliki kedigdayaan untuk menghadapi semua tantangan itu dan saya ingin sekali menyumbangkan tenaga saya untuk rnemenuhi pesan terakhir mendiang ayah saya, eyang,"

   "Jadi engkau bertekad untuk menjadi rnuridku, Parmadi?"

   "Benar, eyang. Saya bersumpah untuk rnentaati segala petunjuk dan perintah eyang, dan saya ingin ikut eyang ke manapun eyang pergi, melayani eyang, mengabdikan diri kepada eyang."

   "Hemm, agaknya memang Sang Hyang Widhi sudah menghendaki demikian. Akan tetapi aku hanya dapat mengajarkan cara meniup dan memainkan seruling kepadamu, Parmadi."

   "Apa saja yang eyang ajarkan, akan saya pelajari dengan taat dan tekun,"

   Kata Parmadi dengan girang seolah dia sudah melihat terbukanya sebuah pintu lebar yang akan membawa dia ke dalam kehidupan baru.

   "Saya akan mengikuti eyang ke manapun eyang mengajak saya pergi."

   "Untuk sementara ini, aku akan tinggal di tempat ini, Parmadi. Karena itu, engkau tetaplah bekerja seperti biasa. Setiap hari, kalau ada kesempatan, engkau datanglah ke sini untuk belajar meniup seruling. Kelak, kalau tiba waktunya aku meninggalkan tempat ini, engkau boleh ikut bersamaku."

   Biarpun hanya dijanjikan akan diberi pelajaran meniup seruling, kepandaian yang sudah dimilikinya karena diapun mahir sekali memainkan suling, namun hati Parmadi sudah sedemikian gembiranya sehingga berulang kali dia menyembah dan mengucapkan terima kasih.

   "Sekarang, kalau engkau masih ada waktu, bantulah aku menebang beberapa pohon bamboo untuk kubuat sebuah gubuk tempat berteduh kalau hujan turun."

   "Akan tetapi di sini tidak ada pohon bambu, eyang. Yang ada hanya pohon-pohon kayu."

   "Baiklah, gubuk kayu juga tidak apa bahkan lebih kokoh."

   Parmadi dengan gembira lalu menggunakan sabitnya untuk menebang beberapa batang pohon kayu. Dia membantu kakek itu membangun sebuah gubuk sederhana sekedar untuk tempat berteduh kalau hujan turun.

   Setelah selesai, haripun sudah menjebing sore dan Parmadi berpamit lalu bergegas pulang ke dusun Pakis. Untung baginya, Ki Demang Wiroboyo sedang pergi keluar dusun sehingga dia tidak mendapat teguran atas keterlambatannya. Segera dia werawat kuda-kuda dalam istal kademangan itu.

   Demikianlah, sejak hari itu, Parmadi setiap hari menggunakan kesempatan untuk menghadap gurunya di hutan Penggik. Di sana, sambil duduk di atas batu, Parmadi benar-benar menerima pelajaran meniup dan memainkan seruling! Mula-mula, dia sendiri membawa sebatang suling bambu. Ki Tejo Wening minta dia mainkan tembang-tembang Jawa. Parmadi memainkan hampir semua tembang dengan baik. Ki Tejo Wening mengangguk-angguk setelah muridnya menyelesaikan tiupan sulingnya.

   "Semua itu bagus sekali, Parmadi. Akan tetapi, semua tembang yang kaumainkan dengan suling itu dituntun oleh akal pikiran. Aku akan mengajarkan engkau, atau lebih tepat menunjukkan engkau tiupan suling yang tidak dikendalikan oleh akal pikiran, melainkan oleh jiwa."

   "Akan tetapi, bagaimana caranya itu eyang?"

   "Caranya? Tidak ada caranya. Akan tetapi sang aku yang menguasaimu haruslah menyingkir lebih dulu. Sang aku ya mengaku-aku itu sesungguhnya bukan engkau yang sejati. Aku yang ingin ini ingin itu, ingin yang serba enak dan menyenangkan, hanyalah akal pikiran, badan dan nafsu berkumpul menjadi satu. Kalau semua nafsu tersingkir, kalau aku tidak lagi, maka jiwa akan bangkit, akan tersentuh kekuasaan Hyang Widhi seperti pada mula-mula kehidupan sebelum kekuasaan diambil alih oleh nafsu hati akal pikiran. Nah, tiupan suling yang digerakkan oleh jiwa yang bangkit itulah yang harus kaurasakan, Parmadi."

   Parmadi yang sudah banyak membaca kitab-kitab Weda, pemberian Ki Ronggo Bangak, dapat menangkap maksud ucapan gurunya. Dia tahu akan cara orang bersamadhi, mengosongkan pikiran, mengheningkan cipta, berkonsentrasi dan sebagainya.

   "Apakah yang eyang maksudkan itu dengan cara bersamadhi?"

   Kakek itu menggeleng kepalanya.

   "Bukan, kulup. Bukan samadhi. Bersamadhi memang baik untuk menenangkan pikiran. Akan tetapi bersamadhi tidak meniadakan aku, karena masih ada aku yang bersamadhi dan ada aku yang ingin mencapai sesuatu dengan cara bersamadhi itu."

   "Kalau bukan bersamadhi, apakah eyang maksudkan bersembahyang?"

   "Juga bukan. Bersembahyang masih menujukan batin kepada Sesuatu dan ada permohonan dari si aku kepada Sesuatu itu. Bukan, kulup, bukan samadhi dan bukan pula sembahyang."

   "Lalu apa dan bagaimana, eyang?"

   "Anggap saja sebagai penyerahan. Menyerah kepada Hyang Widhi, berhentinya semua hati akal pikiran, seolah-olah mati di depan kekuasaan Hyang Widhi, penyerahan yang selengkapnya, lahir
   


JILID 4


   batin, penyerahan dengan ikhlas dan tawakal, sepenuh iman, tanpa pamrih karena kalau ada pamrih berarti si aku masih bekerja. Kalau sudah begitu, jiwa akan terbebas dari cengkeraman nafsu badani dan akan bangkit dan bertemu dengan kekuasaan Hyang Widhi, dan memegang kendali sepenuhnya atas raga."

   Demikianlah, Parmadi digembleng oleh Ki Tejo Wening, dituntun untuk menyerahkan jiwa raga kepada Sang Hyang Widi sehingga kekuasaan Sang Hyang Widhi mulai bekerja dalam dirinya, membimbing dan memberi kehidupan baru kepada jiwa raganya. Mulailah Parmadi dapat merasakan apa artinya meniup seruling tanpa dikendalikan oleh hati akal pikirannya. Mula-mula yang keluar dari tiupan sulingnya hanya satu nada saja. Akan tetapi lambat-laun gerak jiwanya menuntun raga menjadi lebih mantap, lebih teratur sehingga dari tiupan serulingnya terdengar lengking yang mulai berirama dan beraneka nada menjalin tembang yang aneh. Dia sendiri menyadari dan mendengar tiupan sulingnya yang terjadi di luar kehendak hati atau pikirannya, tanpa dia tahu apa artinya itu.

   Setelah lewat berbulan-bulan, gurunnya memberi penjelasan kepadanya.

   "Angger Parmadi. Ketahuilah bahwa tiupan seruling bambumu itu dilakukan karena bimbingan jiwa yang mulai hidup dan dalam getaran suara sulingmu itu mengandung kekuatan yang amat dahsyat. Yang jelas saja, semua daya rendah, roh-roh jahat akan runtuh dan melarikan diri mendengar suara tiupan sulingmu yang mengandung getaran yang amat kuat bagi mereka."

   Mendengar ini, Parmadi merasa terharu dan berterima kasih dan dia berlatih semakin tekun di bawah petunjuk Ki Tejo Wening.

   Semenjak Ki Tejo Wening tinggal di lereng Lawu itu, daerah Penggik dan Tamansari semakin angker bagi seluruh penduduk di daerah pegunungan itu. Dari daerah itu seringkali terdengar suara melengking-lengking, seperti seruling. Akan tetapi suaranya aneh sekali dan tembang yang dimainkan asing bagi semua orang. Karena itu muncul desas-desus bahwa suara itu tentulah para jin dan mahluk halus yang sedang menabuh gamelan! Tiada seorang pun berani memasuki daerah itu.

   Biarpun telah berguru kepada Ki Tejo Wening, walaupun hanya berguru meniup suling, namun Parmadi merahasiakan hal itu. Dia maklum bahwa kakek itu tidak ingin kehadirannya diketahui orang banyak, maka diapun tidak pernah bercerita kepada siapapun juga. Bahkan Muryani juga tidak tahu akan rahasia ini. Sementara itu, sikap Ki Demang Wiroboyo selama hampir setengah tahun ini baik-baik saja. Dia bertugas seperti biasa, mengatur kehidupan rakyat dusun Pakis dan selama itu belum pernah dia mengganggu seorangpun wanita. Agaknya dia sudah bertaubat dan sikapnya terhadap Ki Ronggo Bangak dan Muryani, kalau dia bertemu dengan mereka, juga baik dan ramah seperti biasa. Akan tetapi, tanpa diketahui bahkan tidak disangka oleh siapa pun juga, diam-diam api penasaran dan dendam itu masih membara di dalam hati Ki Demang Wiroboyo.

   Dia adalah seorang laki-laki yang dikuasai nafsu birahinya. Biasanya, wanita yang dipilihnya, tak perduli janda atau perawan, pasti akan dapat dimilikinya, baik dengan jalan halus maupun kasar. Untuk urusan lain dia dapat bersikap adil, bahkan mengalah. Akan tetapi untuk urusan yang satu ini, karena sudah terbiasa sejak muda bahwa setiap wanita yang ditaksirnya tentu akan didapatkannya, maka ketika dia bertemu Muryani dan tergila-gila kepada gadis itu, dia bertemu batunya. Bukan saja dia gagal memilikinya, bahkan dia dibuat malu di depan penduduk Pakis. Dikalahkan dalam lomba balap kuda dan adu kanuragan. Dia merasa dipermalukan dan dia akan tetap penasaran sebelum mendapatkan gadis itu yang harus bertekuk lutut kepadanya dan rnenjadi miliknya!

   Demikianlah, diam-diam dia mengutus seorang pembantunya untuk pergi ke Ponorogo dan mengundang Surobajul, seorang warok yang terkenal karena keberanian dan kesaktiannya. Warok Surobajul ini adalah seorang yang mau melakukan apa saja asal diberi imbalan uang banyak. Ki Demang Wiroboyo mengenal watak sahabatnya ini, maka ketika mengundangnya, tidak lupa dia mengirimi hadiah yang berharga. Warok Surobajul tertawa bergelak dengan pongahnya ketika mendengar dari utusan Ki Demang Wiroboyo bahwa dia dimintai pertolongan untuk menundukkan seorang wanita! Biarpun utusan itu menceritakan betapa digdaya gadis remaja yang telah mengalahkan Ki Demang Wiroboyo itu, Surobajul tidak menjadi gentar.

   Apa lagi hadiah besar menantinya di dusun Pakis. Melawan seorang jagoanpun dia tidak akan mundur kalau di sana ada imbalan yang besar dan dia tahu bahwa Ki Demang Wiroboyo adalah seorang kaya dan tahu pula akan kelemahan sahabatnya itu yang tidak akan sayang mengeluarkan harta bendanya untuk mendapatkan seorang wanita yang digandrunginya. Pada suatu hari muncullah warok Surobajul di rumah Ki Demang Wiroboyo, disambut dengan gembira oleh kepala dusun itu. Untuk menyenangkan hati sahabatnya dia menjamu sahabatnya itu dengan hidangan mewah. Disembelihnya seekor kambing dan beberapa ekor ayam untuk menjamu tamu yang hanya seorang itu. Malam itu mereka berdua berpesta-pora sekenyangnya dan sepuasnya.

   Setelah selesai berpesta makan, keduanya duduk bercakap-cakap di ruangan tertutup sebelah dalam gedung Ki Demang Wiroboyo. Mereka duduk berhadapan dan Ki Demang Wiroboyo memandang sahabat yang menjadi tamunya itu dengan mata bersinar gembira dan penuh harapan. Rupa Surobajul menjanjikan keberhasilan niatnya karena wajah dan perawakan warok ini memang mendatangkan kesan seorang yang kokoh kuat dan menyeramkan lawannya. Anggauta tubuh Surobajul ini serba besar, seperti raksasa. Tubuhnya tinggi besar dengan otot melingkar-lingkar seperti tambang di seluruh tubuhnya. Kaki dan tangannya panjang dan besar. Kepalanya juga besar, dengan muka yang kulitnya kemerahan dengan bercak-bercak hitam.

   Rambut, kumis dan jenggotnya yang pendek seperti kawat hitam, kaku dan keras. Alisnya tebal melindungi seoasang mata yang melotot lebar, sepasang mata yang tampaknya selalu marah dan bersinar keras dan kejam. Hidungnya juga besar dan mbengol bulat, mulutnya menyeringai dan tampak giginya yang besar-besar dan tidak rapi. Usia raksasa berkulit hitam ini sekitar empatpuluh lima tahun, Pakaiannya serba hitam dan dia berkalung sarung. Celananya terikat kolor (tali ikat pinggang) berwarna kuning sebesar ibu jari kaki dan panjangnya hampir menyentuh tanah. Kolor inilah yang menjadi senjatanya yang amat ampuh. Seperti kebanyakan para warok, kolor ini merupakan senjata pusaka bertuah yang sudah diisi tenaga sakti dengan bertapa.

   Ki Demang Wiroboyo memandang kepada sahabatnya sambil tersenyum dan dia berkata.

   "Sungguh aku merasa gembira sekali bahwa andika mau datang berkunjung memenuhi undanganku, kakang Surobajul!"

   Surobajul tertawa dan ruangan itu setelah tergetar oleh suara tawanya yang ngakak (terbahak) dan parau.

   "Ha-ha-ha. Seorang sahabat baik mengundang, kenapa aku tidak akan datang, adi Wiroboyo? Bukankah kita ini sahabat karib dan di antara kita berlaku ucapan: Berat sama dipikul ringan sama dijinjing, susah sama tanggung, senang sama dinikmati?"

   "Andika benar sekali, kakang Surobajul. Jangan khawatir, kalau andika dapat membantuku dalam urusan ini sehingga berhasil bagi kemenanganku, aku tidak akan pelit untuk membagi sebagian hartaku kepada andika."

   "Ha-ha-ha, aku percaya dan tahu bahwa Ki Demang Wiroboyo adalah seorang yang tahu menghargai bantuan orang lain. Nah, katakanlah, kesukaran apa yang sedang andika hadapi dan bantuan apa yang andika harapkan dariku?"

   "Apakah utusanku belum menceritakan kepadamu, kakang Surobajul?"

   "Hanya sedikit dan tidak jelas. Harap andika jelaskan duduk perkaranya. Siapakah itu perawan remaja bernama Muryani? Betapa anehnya kalau seorang gadis dusun menolak untuk andika ambil sebagai selir. Orang macam apa sih perawan itu?"

Dengan jelas Ki Demang Wiroboyo lalu bercerita tentang Muryani yang membuatnya tergila-gila namun yang menolak pinangannya, bahkan mengajukan syarat semacam sayembara di mana dia dua kali dikalahkan oleh gadis itu, dalam lomba balap kuda dan pertandingan adu kanuragan.

   "Aku merasa dipermalukan sekali, kakang Surobajul. Aku merasa terhina dikalahkan olehnya di depan para warga dusun ini. Aku minta andika membalaskan kekalahanku ini dan juga menawan gadis itu untukku, agar ia dapat kumiliki."

   "Hemm, benar-benar andika kalah olehnya? Ketika aku mendengar cerita utusanmu itu, aku sukar untuk dapat percaya. Macam apa sih gadis itu dan berapa usianya?"

   "Gadis itu cantik manis merak ati pendeknya ia seperti seorang dewi dari kahyangan, akan tetapi memiliki kedigdayaan seperti Srikandi. Usianya sekitar enambelas tahun, kakang Surobajul."

   "Apa? Mustahil! Andika kalah melawan seorang perawan kencur berusia enambelas tahun? Jangan bergurau, adi Wiroboyo."

   "Aku tidak bergurau, kakang. Gadis itu benar-benar digdaya sekali. Kiranya hanya andika yang akan mampu mengalahkannya maka aku jauh-jauh mengundang andika untuk membantuku."

   "Hemm, apakah ayahnya yang sakti?"

   "Tidak, ayahnya bernama Ki Ronggo Bangak, seorang seniman dan pemahat. Akan tetapi tadinya puterinya itu tinggal di daerah Demak dan baru beberapa bulan ini tinggal dengan ayahnya di sini."

   "Hemm, baiklah, adi Wiroboyo. Akan tetapi terus terang saja, aku merasa malu kalau ketahuan orang bahwa aku datang untuk bertanding melawan seorang perawan remaja berusia enambelas tahun! Kalau para warok di Ponorogo mendengar akan hal ini, aku pasti akan menjadi bahan ejekan dan cemooh mereka!"

   "Jangan khawatir, kakang. Balas dendam ini harus dilakukan dengan siasat karena akupun tidak menghendaki orang-orang mengetahui bahwa untuk mendapatkan Muryani aku mempergunakan tenaga hantuanmu. Sebaiknya diatur begini...."

   Ki Demang Wiroboyo bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Surobajul dan berbisik-bisik dekat telinganya. Surobajul mendengarkan dan mengangguk-angguk sambil inenyeringai.

   Dua orang itu sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi Parmadi mendengarkan percakapan mereka dari luar jendela ruangan itu yang tertutup. Semenjak raksasa hitam itu datang bertamu di kademangan dan melihat sikap dan gerak-gerik tuan rumah dan tamunya, Parmadi sudah merasa curiga dan waspada. Setelah dua orang itu selesai berpesta makan minum lalu memasuki ruangan yang tertutup, Parmadi menyelinap dan mendengarkan percakapan mereka melalui jendela. Karena dia menjadi seorang pembantu sudah lama di kademangan dan sudah dipercaya, maka tak seorang pun mencurigai gerak-geriknya sehingga dia dapat mendengarkan percakapan kedua orang itu dengan leluasa. Sayang sekali ketika Ki Demang Wiroboyo menceritakan rencana siasatnya kepada Surobajul, dia berbisik-bisik dekat telinga raksasa itu sehingga Parmadi sama sekali tidak dapat mendengarnya. Akan tetapi apa yang telah didengarnya tadi sudah cukup! Dan jelas, raksasa itu akan membantu Ki Demang Wiroboyo untuk membalaskan kekalahannya dari Muryani dan untuk menawan Muryani agar dapat dimiliki Ki Demang! Karena merasa cukup dan khawatir kalau-kalau pengintaiannya ketahuan, Parmadi lalu menyelinap pergi dan malam itu juga dia bergegas pergi berkunjung ke rumah Ki Ronggo Bangak.

   Ketika Parmadi mengetuk daun pintu rumah sederhana namun indah karena bangunan itu dan pintu-pintunya dihias ukir-ukiran, yang membuka daun pintu adalah Muryani sendiri. Gadis itu tampak heran memandang wajah pemuda itu yang kelihatan serius.

   "Eh, kakang Parmadi. Tidak sari-sarinya datang begini malam! Silakan masuk, kang!"

   "Terima kasih, adi Muryani. Di mana paman Ronggo?"

   "Ayah ada di dalam. Ada apakah, kakang? Engkau kelihatan mempunyai urusan yang penting sekali."

   "Memang penting sekali, Muryani. Ki Demang Wiroboyo mendatangkan seorang jagoan warok, namanya Surobajul. Tadi mereka bicara empat mata dan karena curiga aku mendengarkan. Ternyata Surotbajul itu diundang untuk membantu Ki Demang Wiroboyo untuk membalaskan kekalahannya darimu dahulu itu dan....dan.... untuk menawanmu agar Ki Demang dapat memilikimu."

   "Jahanam keparat!!"

   Muryani mengepal kedua tinjunya dan membanting-banting kakinya.

   "Akan kudatangi malam ini juga dan kuhajar mereka!"

   Mendengar ribut-ribut itu, Ki Ronggo Bangak keluar dari dalam.

   "Ada apakah ribut-ribut ini? Ah, kiranya Parmadi yang datang. Ada apakah ini, Parmadi?"

   Sebelum Parmadi menjawab, Muryani mendahului dengan gemas.

   "Coba ayah pikir! Si jahanam Demang Wiroboyo itu mengundang seorang jagoan warok untuk membalas dendam kepadaku dan untuk menawanku! Gila tidak itu? Ayah, aku akan pergi ke sana dan menghajar mereka malam ini juga!"

   "Sabar dulu, Muryani. Benarkah ini, Parmadi?"

   "Benar, paman. Saya mendengar sendiri pembicaraan mereka."

   "Sudah, aku mau pergi, ayah!"

   Kata Muryani yang cepat lari memasuki kamarnya dan keluar lagi sambil membawa sebatang patrem (keris kecil) bersarung yang diselipkan di pinggangnya.

   "Muryani, jangan terburu nafsu. Tenang dulu, nini!"

   Seru ayahnya.

   "Tidak, ayah. Sebelum mereka turun tangan, lebih baik kalau aku yang turun tangan lebih dulu!"

   "Adi Muryani, harap tenang dulu. Pikirkan dengan matang. Kalau engkau datang menyerbu ke sana, apa alasanmu. Engkau hanya mendengar dari aku, akan tetapi sama sekali tidak ada buktinya. Apa buktinya bahwa mereka akan menyerang dan menawanmu?"

   "Akan tetapi, bukankah engkau mendengar sendiri pembicaraan mereka, kakang."

   "Benar, akan tetapi itu bukan merupakan bukti. Mereka bisa saja menyangkal dan bahkan berbalik menuduh aku berbohong dan hendak melempar fitnah."

   Mendengar pendapat Parmadi ini, Muryani tertegun. Ia dapat melihat kebenaran pendapat itu. Ia menoleh kepada ayahnya dan bertanya lirih.

   "Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang?"

   "Apa yang dikatakan Parmadi tadi memang benar sekali, Muryani. Mereka mengancammu, akan tetapi karena ancaman itu hanya didengar Parmadi seorang dan tidak ada saksi lain, tentu saja hal itu kurang kuat. Ancaman mereka itu merupakan rencana rahasia yang belum terbukti. Sekarang sebaiknya kalau kita menjaga diri, siap menghadapi ancaman itu. Engkau bersiap dengan kedigdayaanmu, dan aku akan nenghadapi mereka dengan nasihat. Kurasa omonganku masih cukup berwibawa terhadap Ki Demang Wiroboyo."

   Muryani mengangguk-angguk.

   "Baiklah, ayah. Aku akan siap siaga, dan kalau demang keparat itu berani datang di sini dan tidak menurut nasihat ayah, aku akan menghadapinya dengan patremku!"

   "Kami minta bantuanmu, Parmadi. engkau amat-amatilah gerak-gerik Ki Denang Wiroboyo dan kalau dia hendak melanjutkan niat jahatnya menyerbu ke sini, harap engkau suka memberi tahu kepada kami agar kami dapat menjaga diri,"

   Kata Ki Ronggo Bangak kepada pemuda itu.

   Parmadi mengangguk dan dia mohon diri lalu meninggalkan rumah itu. Aka tetapi hatinya yang diliputi kekhawatiran membuat dia mengambil langkah lain. Dia tidak langsung kembali ke rumah Ki De mang Wiroboyo, melainkan mendatangi rumah orang-orang muda penduduk Pakis yang menjadi teman-temannya. Kepada mereka dia menceritakan tentang Ki Demang Wiroboyo yang hendak membalas dendam dan menawan Muryani untuk dipaksa menjadi isterinya dengan bantuan seorang warok dari Ponorogo bernama Surobajul. Para pemuda itu marah mendengar ini dan mereka juga merasa penasaran. Sejak lama para pemuda ini sudah merasa tidak senang karena Ki Demang Wiroboyo merampas banyak gadis yang tadinya menjadi calon isteri mereka.

   Mereka tidak berani bertindak karena maklum akan kedigdayaan demang itu. Akan tetapi semenjak demang mata keranjang itu dikalahkan Muryani, hati mereka menjadi tabah dan mereka melihat dengan girang bahwa tampaknya Ki Demang Wiroboyo mengubah tabiatnya yang buruk. Sekarang mendengar bahwa Muryani hendak diganggu, mereka serentak menyatakan hendak membela Muryani! Parmadi lalu minta kepada mereka untuk diam-diam mengamati rumah Muryani dan membelanya kalau Ki Demang Wiroboyo benar-benar melaksanakan niatnya yang jahat. Para pemuda itu menyanggupi, bahkan berita itu meluas sehingga sebagian besar para pria di dusun itu ikut siap siaga membantu Muryani dan mengeroyok para pengganggunya.

   Setelah merasa puas dengan apa yang dia lakukan, Parmadi kembali ke kamarrrya di dekat istal kuda. Akan tetapi, dia selalu waspada, terutama di malam hari karena dia menduga bahwa Ki Demang Wiroboyo dan Surobajul yang tidak ingin dilihat orang ketika mengganggu Muryani, tentu akan melaksanakan niat jahat mereka pada malam hari.

   Malam itu tidak terjadi sesuatu. Parmadi melihat bahwa Ki Demang Wiroboyo tidak meninggalkan rumah, demikian pula Surobajul malam itu berdiam saja di dalam kamarnya. Akan tetapi pada keesokan harinya, duabelas orang kaki tangan Ki Demang keluar dusun. Diam-diam Parmadi memikul keranjang rumputnya dan membayangi mereka. Dia melihat mereka itu menuju ke sebuah hutan di sebelah timur dusun dan mereka membangun sebuah pondok kayu di tempat yang sunyi itu. Setelah melihat ini, Parmadi kembali ke Pakis. Hari itu dia tidak pergi ke hutan Penggik untuk menemui Ki Tejo Wening. Dia harus cepat kembali agar dapat mengamat-amati kedua orang itu, Ki Demang Wiroboyo dan Surobajul.

   Setelah merawat kuda-kudanya dan merasa yakin bahwa siang hari itu dua orang itu pasti tidak akan berani mengganggu Muryani, Parmadi tidur. Dia harus dapat tidur di siang hari karena malamnya dia harus bergadang untuk mengamati mereka. Dia sudah tahu bahwa Ki Demang membangun pondok di hutan itu dan di dapat menduga bahwa kalau Muryani dapat ditawan, agaknya tentu akan dibawa ke pondok itu! Membayangkan hal ini, di mengepal tinju dengan hati panas. Akan tetapi hatinya agak terhibur kalau mengi ngat bahwa selain Muryani sudah tahu akan adanya bahaya dan sudah siap siaga, juga banyak pria di dusun ini siap pula untuk membantu gadis itu.

   Pada sore hari itu dia berhasil menyelinap keluar dan menghubungi para pemuda. Dengan girang dia mendapat keterangnn bahwa hampir semua laki-laki Pakis siap membantu Muryani. Dia lalu mengatur dengan mereka bahwa kalau Ki Demang Wiroboyo dan kaki tangannya melaksanakan niatnya dan menyerbu ke rumah Muryani, dia akan memberi tanda kentongan titir (bertalutalu).

   Malam hari itu Parmadi sudah bersiap-siap. Dia menyediakan sebuah kentongan bambu dan dia mengintai ke arah ruangan dalam di mana terdapat kamar Ki Demang Wiroboyo dan kamar Surobajul. Karena dua kamar itu terpisah maka dia merasa lebih penting untuk mengamati kamar Ki Demang Wiroboyo. Akan tetapi, sama sekali tidak tampak demang itu keluar rumah. Juga tidak ada gerakan dalam kamar Surobajul. Sampai jauh lewat tengah malam, agaknya kedua orang itu tidak meninggalkan rumah. Berarti bukan malam ini mereka melaksanakan rencana mereka pikir Parmadi. Akan tetapi dia tetap mlakukan pengintaian, walaupun sambil melenggut karena kantuk. Menjelang fajar, hawa amat dinginnya. Pada saat seperti itu, sedang pulas-pulasnya orang tidur. Suasana di dusun Pakis sunyi senyap. Hanya suara serangga dan kutu-kutu malam saja yang terdengar. Bulan sepotong tampak mengambang di angkasa, mendatangkan cahaya remangremang dan mengubah pohon-pohon menjadi bayangan raksasa-raksasa hitam yang menyeramkan.

   Parmadi yang melenggut, tiba-tiba membuka matanya dan sadar sepenuhnya. Memang dia tidak meninggalkan kewasdaannya dan sedikit suara saja cukup untuk membangunkannya. Dia melihat Ki Demang Wiroboyo keluar dari dalam kamarnya, mengenakan pakaian indah seperti orang hendak pergi ke pesta. Ki Demang Wiroboyo keluar dari rumahnya, tidak tahu bahwa Parmadi membayanginya. Pemuda itu membayangi sambil membawa kentongan bambunya. Akan tetapi ketika mengikuti kepergian Ki Demang Wiroboyo, dia merasa heran karena pria itu tidak pergi ke arah tempat tinggal Muryani, melainkan keluar dari dusun. Ketika melihat bahwa orang yang dibayanginya itu pergi menuju ke hutan di mana dibangun sebuah pondok, Parmadi menghentikan langkahnya. Dia teringat akan Surobajul. Kenapa tidak keluar bersama Ki Demang Wiroboyo? Timbul kekhawatirannya. Jangan-jangan Surobajul yang hendak menyerang dan menawan Muryani!

   Membayangkan hal ini, cepat-cepat dia kembali ke kademangan dan dengan berindap-indap dia berhasil mengintai ke dalam kamar yang ditempati Surobajul. Dan betapa kaget rasa hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa kamar itu telah kosong. Surobajul tidak berada dalam kamarnya! Hal ini hanya ada satu kemungkinan. Jagoan itu tentu telah pergi untuk melaksanakan tugas menawan Muryani! Dan agaknya Ki Demang Wiroboyo tidak ikut menyerbu ke rumah Muryani, melainkan menunggu calon korbannya di pondok dalam hutan itu! Ah, betapa bodohnya tadi. Membayangi Ki Demang Wiroboyo dan tidak memperhatikan Surobajul.

   Parmadi berlari secepatnya meninggalkan kademangan menuju ke rumah Muryani. Jalan pikiran dan dugaannya tadi memang benar, namun agak terlambat. Sesungguhnya, Surobajul sudah tadi, sebelum Ki Demang Wiroboyo keluar dari rumahnya, menyelinap keluar dari kamarnya melalui jendela samping.

   HAL ini dia lakukan dengan perhitungun agar jangan ada orang dalam rumah kademangan yang melihat dia keluar pada waktu lewat tengah malam seperti itu. Karena ini, Parmadi tidak melihat jagoan itu meninggalkarn kamar. Setelah tiba di luar rumah, Surobajul disambut limabelas orang kaki tangan Ki Demang yang memang sudah menanti di luar rumah. Tanpa mengeluarkan suara, enambelas orang itu lalu berpencar dan menuju ke rumah Muryani. Di luar rumah itu mereka berkumpul kembali dan kini mereka masing-masing mengeluarkan sehelai kain hitam dan mengikatkan kain hitam itu menutupi muka dari hidung ke bawah. Karena kepala mereka diikat kain kepala, maka yang tampak hanya mata mereka, Setelah itu, Surobajul memberi isyarat agar mereka semua menyiapkan senjata. Sepuluh orang mengeluarkan senjata tongkat panjang dan lima orang mengeluarkan jala yang biasa dipergunakan untuk menjala ikan.

   "Hati-hati, jangan sampai ia terluka parah apalagi tewas. Kepung rapat dan tangkap hiduphidup,"

   Pesannya lirih. Itulah siasat yang sudah direncanakannya bersama Ki Demang Wiroboyo, untuk dapat menangkap hidup-hidup gadis remaja yang digdaya itu. Setelah semua siap, Surobajul memimpin kaki tangan itu menghampiri rumah Ki Ronggo Bangak.

   Tiba-tiba tampak dua orang muda meloncat dan menghadang enambelas orang yang memasuki pekarangan rumah Muryani itu. Mereka adalah dua orang pemuda dusun Pakis yang bertugas menjaga dan mengamati rumah itu seperti yang sudahdiatur oleh Parmadi.

   "Heii! Siapa kalian dan mau apa memasuki pekarangan orang?"

   Bentak dua orang pemuda itu. Seorang di antara mereka membawa sebuah kentongan bambu. Temannya, yang memegang sebatang sabit, melangkah maju untuk melihat lebih jelas Siapa gerangan orang-orang yang memakai penutup muka itu. Akan tetapi Surobajul yang melihat gelagat kurang baik, sudah cepat melompat ke depan. Tangan kanannya menggerakkan kolornya yang panjang. Sinar kuning menyambar ke arah dada pemuda dusun itu.

   "Suuuttt bukkk!!"

   Pemuda itu terjengkang dan terpental, roboh dan tewas seketika tanpa sempat mengeluarkan teriakan. Melihat ini, pemuda yang kedua terkejut sekali. Cepat dia memukul kentongannya.

   "Tung-tung.... ?"

   Baru dua kali kentongan. itu berbunyi, tubuhnya sudah disambar sinar kuning kolor itu dan diapun roboh dan tewas seperti temannya. Keadaan meniadi sunyi kembali setelah terdengar bunyi kentongan yang hanya dua kali itu.

   Akan tetapi suara gaduh yang hanya sedikit dan sebentar itu sudah cukup untuk didengar oleh Muryani yang memang telah berjaga-jaga. Ia mendengar suara kentongan dua kali itu dan suara gaduh di luar rumah. Ki Ronggo Bangak juga mendengarnya. Muryani cepat mengikatkan ujung kainnya di pinggang dan dengan trengginas ia melompat keluar, senjata patrem terselip pinggangnya.

   "Nini, ada apakah?"

   Ayahnya mengejar dan bertanya.

   "Tinggallah di dalam saja, ayah. Ada orang jahat di luar!"

   Kata Muryani dan iapun bergegas membuka pintu depan dan berlari keluar.

   Di dalam keremangan cuaca menjelang fajar itu ia melihat belasan orang di dalam pekarangan rumahnya dan ada dua orang pemuda dusun menggeletak di atas tanah.

   "Bangsat-bangsat hina! Mau apa kalian memasuki pekarangan rumah kami?"

   Muryani membentak dan melompat ke depan, sedikitpun tidak merasa gentar. Akan tetapi, seperti telah diatur sebelumnya, sepuluh orang yang memegang tongkat panjang bergerak maju mengepungnya dan serentak menyerangnya dengan pukulan dan tusukan tongkat. Melihat para penyerangnya memakai kain penutup muka dan mengeroyoknya, Muryani menjadi marah bukan main dan ia lalu mengamuk! Sebagai murid perguruan Bromo Dadali yang dibanggakan gadis ini memiliki gerakan yang amat cepatnya seperti gerakan burung dadali (walet). Kecepatan gerakan dan keringanan tubuh inilah yang merupakan keistimewaan ilmu pencak silat dari perguruan Bromo Dadali dan membuat para murid utamanya merupakan orang-orang yang tangguh.

   Muryani yang telah menjadi ahli dan menguasai benar ilmu silat Bromo Dadali, bergerak cepat sekali. Karena marah ia sudah mencabut patremnya dan mengamuk. Biarpun dikeroyok sepuluh orang laki-laki yang bersenjata tongkat panjang, Muryani dapat ber-kelebatan di antara tongkat-tongkat. itu dan tak pernah tubuhnya terkena serangan tongkat. Namun, agak sulit pula baginya untuk dapat menanamkan patremnya yang kecil di tubuh para pengeroyok karena mereka semua bersenjata tongkat panjang yang membuat ia sukar untuk mendekat. Akan tetapi, kedua kakinya mencuat dan menyambar-nyambar dengan tendangan-tendangan langsung, menyamping, atau memutar.

   "Heiiiittt dukk! Plakk!"

   Dua orang pengeroyok terpelanting disambar kaki Muryani. Mereka dapat bangkit kembali akan tetapi yang seorang perutnya mulas dan yang seorang lagi kepalanya puyeng, Dara remaja perkasa itu terus mengamuk. Ketika ada tongkat menusuk ke arah dadanya, ia miringkan tubuh, menangkap tongkat dengan tangan kiri, memutar dan menyentakkan dengan kejutan sehingga pemegang tongkat itu terpelanting.

   "Hyaaatt tokk! Bresss....

   "

   Pemegang tongkat itu kena dihantam tongkatnya sendiri sehingga roboh terjengkang, kemudian tongkat itu dilontarkan Muryani mengenai dua orang pengeroyok lain yang berpelantingan. Dengan kepala benjol-benjol mereka bangkit kembali.

   Sepak terjang gadis perkasa itu membuat sepuluh orang pengeroyok yang bersenjata tongkat menjadi kewalahan, terdesak dan juga agak jerih. Surobajul memberi isyarat dan kini lima orang yang memegang jala ikut maju. Mereka menebar jala-jala mereka ke arah tubuh Muryani. Gadis itu terkejut bukan main, mencoba untuk mengelak, akan tetapi karena yang menyambar adalah lima helai jala dari segala jurusan, ia tidak dapat menghindarkan diri lagi dan sehelai jala menyelimutinya. Ia meronta dan menggunakan patremnya untuk merobek jala, akan teta empat jala lain menimpa dan membungkusnya. Muryani meronta-ronta seperti seekor ikan terperangkap jala. Akan, tetapi ada saat itu, Surobajul melompat dekat dan meringkusnya. Warok ini kuat sekali dan begitu diringkus, Muryani tidak mampu meronta lagi. Patremnya dirampas dan dengan tubuh masih terbungkus jala iapun dibelenggu.

   Pada saat itu, Ki Ronggo Bangak menghampiri dan berkata dengan suaranya yang lembut namun berwibawa.

   "Hei, kalian ini tentu orang-orangnya Ki Demang Wiroboo! Tidak sadarkah kalian bahwa kalian telah melakukan kejahatan? Bebaskanlah puteriku atau kalian akan menderita hukuman Gusti Allah dan hukuman kerajaan!"

   Akan tetapi, sambil memanggul tubuh Muryani yang sudah tak berdaya itu, Surobajul melompat dekat dan sekali kakinya diayun, tubuh Ki Ronggo Bangak tertendang roboh. Pada saat itulah Parmadi yang berlari-lari tiba di situ. Melihat di pekarangan rumah Muryani terdapat banyak orang yang mengenakan kain penutup muka, dia pun cepat memukul kentongannya dengan gencar. Bertalu-talu dia memukul kentongannya sehingga membangunkan dan mengegerkan orang sedusun. Mendengar kentongan ini, Surobajul lalu melarikan di sambil memanggul tubuh Muryani. Melihat ini, Parmadi cepat melempar kentongannya dan berlari mengejar. Seperti yang diduganya, Surobajul membawa lari Muryani menuju hutan di luar dusun itu. Parmadi terus mengejarnya. Warok jagoan itu beri lari cepat sekali sehingga terengah-engah Parmadi mengejarnya dan dia tertinggal jauh.

   Sementara itu, fajar mulai menyingsing sehingga walaupun cuaca masih remang-remang, tidak segelap tadi. Matahari yang masih bersembunyi di balik puncak, mulai mengirim sinar terangnya. Parmadi mengejar terus dan setelah dia tiba di depan pondok baru, dia melihat Surobajul, kini tanpa penutup muka, sudah duduk di atas lincak (bangku bambu) di depan pondok. Muryani tidak tampak lagi dan pintu pondok itu tertutup.

   Parmadi tidak perduli. Dia berlari hendak menuju pintu pondok sambil berteriak-teriak.

   "Paman Demang ! Paman Demang...!"

   Surobajul yang pernah melihat Parmadi sebagai perawat kuda, mengira bahwa pemuda itu merupakan pembantu Ki Demang. Dia menghadang dan bertanya.

   "Ada keperluan apakah engkau dengan Ki Demang Wiroboyo?"

   "Ada perlu penting sekali! Paman Deinang, harap keluar sebentar!"

   Parmadi hendak menghampiri pintu akan tetapi Surobajul menghadang dan melarangnya.

   "Engkau tunggu saja di sini, tidak boleh masuk!"

   Daun pintu pondok itu terbuka dan Ki Demang Wiroboyo muncul. Dia tadi sedang duduk di tepi bale-bale (dipan) di mana Muryani menggeletak telentang masih terbungkus jala. Dia mengamati perawan yang membuatnya tergila-gila itu dengan hati senang sekali.

   "Akhirnya engkau terjatuh juga ke tanganku, Muryani manis.....

   "

   Katanya dan dia sudah mulai berusaha hendak melepaskan jaring atau jala yang moenyelimuti gadis yang kedua tangannya sudah diikat itu ketika dia mendengar seruan Parmadi. Karena diapun mengira bahwa Parmadi tentu datang membawa kabar penting baginya, maka terpaksa dia menunda niat mesumnya kepada Muryani dan dia membuka daun pintu dan melangkah keluar.

   "Engkau, Parmadi? Ada apakah engkau datang ke sini?"

   Tanyanya.

   Muryani mendengar ini dan tahu bahwa Parmadi berada di luar pondok, gadis itu berteriak.

   "Kakang Parmadi, tolong....!!"

   Parmadi menatap wajah Ki Demang Wiroboyo dengan tajam. Selama kurang lebih delapan tahun dia memandang orang ini sebagai pengganti orang tuanya dan penghalangnya, sebagai majikannya yang harus selalu dia taati. Kalau dia mau jujur, dia harus mengakui bahwa Ki Demang Wiroboyo bersikap baik kepadanya sehingga kehidupannya terjamin, tidak kekurangan sandang pangan. Akan tetapi baru sekarang dia melihat orang itu sebagai melihat seorang penjahat yang harus ditentangnya. Dengan berdiri tegak dan sikap berani Parmadi berkata dengan lantang,

   "Paman Wiroboyo, sadarlah akan perbuatan paman yang sesat ini! Bebaskan dan jangan ganggu Muryani, paman. Paman adalah seorang demang yang seharusnya melindungi warga dusunnya, bukan mengganggunya. Paman, saya mohon kepada paman, bebaskanlah adi Muryani dan jangan ganggu ia!"

   Ki Demang hampir tidak percaya apa yang didengarnya. Dia memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak dan mukanya berubah merah. Sepasang kumisnya yang sekepal sebelah itu bergerak-gerak dan kedua tangan mengepal tinju. Kemudian tangan kanannya bertolak pinggang dan telunjuk tangan kirinya menuding ke arah muka Parmadi.

   "Bocah keparat tidak mengenal budi. Lupakah engkau bahwa selama bertahun-tahun aku memeliharamu? Inikah balasanmu? Apakah engkau ingin mampus seperti ayah ibumu?"

   "Paman, saya hanya ingin mencegah dan memperingatkan agar paman tidak melakukan kejahatan. Paman adalah seorang yang baik, sayang kalau paman melakukan kesesatan ini....

   "

   "Kakang Surobajul, bunuh bocah tak tahu diri ini!"

   Bentak Ki Demang Wiroboyo dengan marah sekali. Warok ini sudah biasa membunuh orang dengan darah dingin dan dengan mudah. Apalagi harus membunuh seorang pemuda dusun yang tampaknya demikian lemah. Dia menyeringai, melangkah maju menghampiri Parxnadi sambil memutar-mutar kolornya.

   "Bocah tak tahu diuntung, mampuslah kau!"

   Bentaknya dan begitu tangannya bergerak, kolornya menyambar, berubah menjadi sinar kuning yang menghantam ke arah kepala Parmadi. Parmadi hanya dapat memandang dan tertegun, tidak tahu harus berbuat apa. Maklum bahwa nyawanya terancam bahaya maut, dia teringat akan pelajaran yang diterimanya dari Ki Tejo Wening tentang penyerahan dirinya kepada kekuasaan Hyang Widhi. Maka diapun mepaskan semua pikiran, perasaan dan kemauan, membiarkan dirinya hanyut dan tenggelam dalam kepasrahan.

   Kolor kuning itu menyambar dahsyat.

   "Wuuuutttt""..blarrr"...!!"

   Terdengar suara keras dan kolor itu seperti menghantam rlinding baja, terpental bahkan membuat Surobajul terbawa oleh tenaga pukulan yang membalik sehingga dia terhuyung!

   "Semoga Sang Hyang Widhi mengampuni kita semua !"

   Terdengar suara tenang dan lirih penuh kedamaian. Parmadi merasa girang sekali mendengar suara gurunya itu dan dia segera menoleh ke belakang. Benar saja. Kakek itu berdiri di belakangnya, kakek berambut putih berpakaian putih berselimut embun pagi tipis. Tahulah Parmadi sekarang mengapa pukulan warok ke arah kepalanya tadi tidak berhasil, membalik bahkan membuat pemukulnya terhuyung. Tentu gurunya yang telah melindunginya.

   Surobajul terkejut, heran, penasaran dan marah sekali ketika pukulan kolornya tadi membalik, bahkan membuat dia terhuyung. Dia tidak tahu apa yang terjadi dan diapun tidak memperdulikan kemunculan kakek itu. Dengan marah dia menerjang maju dan memukulkan lagi kolornya ke arah dada Parmadi yang masih menoleh memandang gurunya.

   "Alangkah kejamnya....!"

   Ki Tejo Wening berkata dan dia mendorongkan tangan kirinya ke arah Surobajul yang menyerang Parmadi. Tiba-tiba ada tenaga dahsyat yang menyambut serangan Surobajul sehingga untuk kedua kalinya jagoan itu terdorong ke belakang, pukulan kolornya membalik dan dia terhuyung-huyung. Sekarang tahulah dia bahwa kakek itu yang telah membantu Parmadi. Kemarahannya segera beralih kepada kakek itu.

   "Babo-babo, keparat! Siapa berani menentang Warok Surobajul dan mencampurl urusanku?Heh, kakek tua bangka. Siapakah engkau?"

   Kata Surobajul sambil menghampiri kakek itu. Ki Demang Wiroboyo juga menghampiri ketika melihat bahwa kakek itu akan menjadi penghalangnya.

   "Siapa aku tidak penting. Yang terpenling, kalian berdua harus ingat bahwa apa yang kalian lakukan ini merupakan perbuatan yang jahat. Sang Hyang Widhi melihatnya dan pasti tidak merestui kejahatan kalian dan akan menghalanginya. Karena itu, kalian berdua sadarlah dan hentikan perbuatan jahat ini."

   "Kakang Surobajul, cepat kita bereskan dua orang pengganggu ini!"

   Kata Ki Demang Wiroboyo dengan tak sabar dan diapun sudah mencabut kerisnya. Karena mereka berdua menduga bahwa kakek itu yang agaknya memiliki kesaktian, maka mereka berdua menyerang kakek itu dengan cepat. Kolor kuning di tangan Surobajul menyambar kepala dan keris di tangan Ki Demang Wiroboyo menghunjam ke arah ulu hati kakek itu. Ki Tejo Wening hanya berdiri tersenyum dan kedua matanya setengah terpejam. Parmadi mellhat dengan mata terbelalak dan hatinya penuh ketegangan dan kekhawatiran. Dua buah senjata ampuh itu menyambar dahsyat. agaknya dalam detik yang sama, kepala itu akan pecah dihantam kolor dan ulu hati itu akan menjadi sarung keris. Hampir Parmadi tidak dapat menahan kengerian hatinya. Akan tetapi terjadilah hal yang tidak disangka-sangkanya yang membuat hatinya ingin bersorak karena lega, girang dan kagum. Dua senjata yang sudah hampir menyentuh tubuh kakek itu, tiba-tiba seperti terpental, seolah-olah tubuh kakek itu terbungkus oleh dinding baja yang tidak tampak! Dua orang itu terkejut, terheran dam tentu saja penasaran sekali. Mereka mengulangSeruling ulang serangan mereka. Kolor kuning di tangan Surobajul menyambar-nyambar dan memukulmukul dengan kuat. Keris di tangan Ki Demang Wiroboyo juga menyorang dengarn tusukan bertubi-tubi. Namun semua itu sia-sia belaka. Semua serangan itu terpental dan membalik, bahkan mereka sampai terengah-engah kehabisan tenaga karena mereka telah mengerahkan seluruh tenaga sakti untuk menembus perisai yang tidak tampak itu. Bahkan pada serangan terakhir yang dilakukan sepenul tenaga, mereka berdua terpental dan terhuyung sampai beberapa langkah kebelakang.

   "Semoga Sang Hyang Widhi mengampuni kita semua!"

   Ki Tejo Wening berkata lirih. Akan tetapi kedua orang itu agaknya masih belum menerima kalah begitu saja. Mereka berdua mengerahkan tenaga sakti lalu keduanya menyerang dengan dorong: kedua tangan, melakukan pukulan jarak jauh ke arah Ki Tejo Wening. Kakek itu tersenyum dan tangan kirinya dijulurkan ke depan dengan telapak tangan terbuka menghadap ke muka.

   "Wuuusss.... desss....!"

   Dua orang itu terpental dan terbanting jatuh sampai bergulingan. Mereka bangkit dengan muka pucat, kini baru mereka yakin bahwa kakek tua renta itu adalah seorang yang sakti mandraguna. Selagi keduanya bingung tak tahu harus berbuat apa karena tentu saja Ki Demang Wiroboyo tidak rela meningalkan Muryani, calon korban yang sudah. terjatuh ke dalam tangannya itu, tiba-tiba terdengar suara banyak orang datang dari jauh. Mendengar suara gaduh ini, Ki Demang Wiroboyo dan Surobajul segera lari meninggalkan tempat itu. Parmadi tidak membuang waktu lagi, cepat dia lari mernasuki pondok. Melihat Muryani rebah telentang terbungkus beberapa helai jala dan dalam keadaan terikat, Parmadi segera menolong dan melepaskan jala dan ikatan itu. Muryani segera melompat dari atas dipan.

   "Kakang Parmadi, di mana jahanam-jahanam itu tadi?"

   "Mereka melarikan diri!"

   Kata Parmadi. Mendengar ini, Muryani, sudah meloncat dan berlari keluar cepat sekali melakukan pengejaran. Parmadi jugs keluar dari pondok, mencari-cari. gurunya, akan tetapi Ki Tejo Wening sudah tidak berada di situ lagi. Parmadi lalu melakukan pengejaran keluar dari hutan itu.

   Sementara itu, para pria dusun Pakis, ketika mendengar bunyi kentongan titir (bertalu-talu) yang dipukul Parmadi tadi, keluar dari rumah masing-masing. Mereka membawa senjata apa saja yang mereka milik. Ada yang membawa sabit, parang, tombak, palu, linggis, atau cangkul. Mereka berjumlah kurang lebih limapuluh orang dan berbondong-bondong mereka lari kerumah Ki Ronggo Bangak. Di pekarangan rumah itu mereka menemukan dua orang pemuda dusun menggeletak tewas dan Ki Ronggo Bangak yang juga menderita nyeri pada dadanya terkena tendangan Surobajul akan tetapi dia masih hidup dan tidak terlalu parah keadaannya.

   
😗

   
Melihat banyak orang, Ki Ronggo Bangak berkata.

   "Muryani".. dibawa mereka".., kalian tolonglah ia...."

   Mendengar ini, puluhan orang itu yang sudah diberi tahu oleh Parmadi tentang pondok di hutan luar dusun, segera melakukan pengejaran keluar dusun menuju ke. hutan itu. Ketika mereka sedang berbondong-bondong memasuki hutan, mereka melihat dua orang berlari-lari dari depan. Mereka segera mengenal dua orang itu sebagai Ki Demang Wiroboyo dengan seorang raksasa hitam. Bangkitlah kemarahan para pria dusun Pakis itu karena sudah tahu bahwa Ki Demang Wiroboyo dan jagoannya merencanakan menculik Muryani. Maka begitu melihat dua orang itu mereka berteriak-teriak gemuruh.

   Ki Demang Wiroboyo terkejut bukan main melihat warga dusunnya kini dengan wajah beringas menyerbu untuk mengeroyok dia dan Surobajul.

   "Heii! Apa kalian telah buta atau gila? Ini adalah aku, Ki Demang Wiroboyo, kepala dusun kalian!"

   Teriaknya. Akan tetapi teriakan-teriakan yang menjawabnya sungguh amat mengejutkan hatinya.

   "Demang angkara murka!"

   "Demang lalim!"

   "Demang mata keranjang!"

   "Perusak pagar ayu!"

   "Bunuh! Bunuh!"

   Limapuluh lebih orang itu mendesak maju, mengepung dan menghujankan senjata mereka ke arah dua orang itu! Tentu saja Ki Demang Wiroboyo membela diri. Juga Surobajul mengamuk. Hanya bedanya, kalau Surobajul mengamuk untuk membunuh para pengeroyok, Ki Demang Wiroboyo hanya merobohkan pengeroyok untuk membela diri, tidak bermaksud membunuh. Dia tahu bahwa kalau dia membunuh warga dusunnya, maka mereka akan menjadi lebih sakit hati dan marah lagi.

   Amukan Surobajul amat menggiriskan, Kolornya diputar menjadi sinar kuning yang bergulung-gulung dan rnengeluarkan bunyi meledak-ledak! Sinar kuning itu menangkis hujan senjata yang ditujukan kei padanya, bahkan dia sudah memukul roboh enam orang pengeroyok yang tewas dengan kepala pecah. Hal ini membuat para pengeroyok menjadi semakin ganas. Pada saat itu, tampak bayangan berkelebat dan Muryani telah tiba di tempat itu.

   "Jahanam busuk! Manusia iblis keparat!"

   Gadis itu minta sebatang golok dari seorang penduduk dan iapun terjun ke dalam pertempuran. Melihat betapa ganasnya Surobajul, iapun segera menerjang raksasa hitam yang tadi menawannya itu dengan penuh semangat.

   Mendengar golok berdesing nyaring, Surobajul terkejut dan cepat menggerakkan kolor untuk menangkis.

   "Wuuuttt.... desss....!"

   Golok dan kolor itu sama-sama terpental, akan tetapi Muryani merasa betapa telapak tangannya yang memegang gagang golok menjadi panas. Hal itu membuat ia mengetahui bahwa lawannya itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat, lebih kuat daripada tenaganya pendiri. Seorang lawan yang tangguh! Akan tetapi, ia tidak merasa gentar, apalagi karena ia dibantu oleh sedikitnya duapuluh orang pria dusun Pakis yang menyerang raksasa hitam itu dengan nekat dan marah karena melihat roboh dan tewasnya beberapa orang rekan mereka.

   Sementara itu, Ki Demang Wiroboyo juga repot sekali menghadapi pengeroyokan duapuluh orang lebih. Apalagi karena dia tidak ingin membunuh, maka dia hanya menggunakan kedua tangan dan kakinya saja untuk membela diri. Tubuhnya sudah menderita banyak luka. Walaupun bukan luka berbahaya namun cukup membuat dia terasa nyeri dan tenaganya semakin lemah. Keadaannya gawat sekali karena para pengeroyoknya yang sudah marah itu seperti sekumpulan harimau yang ingin merobek-robek tubuhnya!

   Pada saat yang amat gawat bagi K! Demang Wiroboyo dan agaknya saat kematiannya hanya tinggal beberapa saat lagi, tiba-tiba Parmadi yang tadi melakukan pengejaran tiba di situ. Melihat keadaan Ki Demang yang sudah mandi darah dan didesak oleh para penduduk, dia lalu menyeruak masuk dan merangkul Ki Demang W iroboyo.

   "Sudah cukup, teman-teman! Dia sudah cukup terhukum! Ingat akan semua kebaikan yang pernah dia lakukan untuk kita. Dan lihat, dia melawan kalian tanpa mempergunakan kerisnya! Hentikan penyerangan, aku akan mengantarnya pulang!"

   Karena dihalangi oleh Parmadi dan agaknya disadardarkan oleh ucapan Parmadi tadi, kini para pengeroyok itu membalik dan membantu kawan-kawan dan Muryani yang sedang mengeroyok Surobajul! Mereka tidak lagi memperhatikan Parmadi yang memapah Ki Demang Wiroboyo, tersaruk-saruk pulang ke Pakis.

   Surobajul memang kebal. Senjata-senjata yang mengenai tubuhnya hanya mendatangkan goresan saja, paling-paling merobek sedikit kulitnya. Akan tetapi, dia tahu bahwa golok di tangan Muryani akan rnembahayakan dia, akan dapat merobek pertahanan kekebalannya. Karena itu, dia lebih mencurahkan perhatiannya untuk meriyambut serangan-serangan Muryani, tidak mengacuhkan hujan senjata dari para pengeroyok yang lain. Baju dan celananya sudah compang-camping, robek oleh bacokan senjata tajam. Akan tetapi Muryani adalah murid utama dari sebuah perguruan besar. Ia sudah mempelajari tentang orang-orang yang memiliki kekebalan. Ia tahu bahwa seorang yang kebal selalu memiliki titik kelemahan. Sejak tadi ia memperhatikan dan akhirnya ia melihat bahwa raksasa hitam itu selalu melindungi tubuh bagian pusarnya. Kalau ada senjata yang meluncur ke arah pusar, tangan kirinya selalu menangkisnya, sedangkan kalau mengarah bagian lain diterima dengan kekebalannya.

   "Kawan-kawan, serang bagian pusarnya!"

   Muryani berteriak lantang.

   Para pengeroyok itu tentu saja menuruti ucapan Muryani dan Surobajul terkejut bukan main. Rahasianya ketahuan dan kini dirinya berada dalam bahaya besar. Memang bagian pusarnya itulah yang tidak kebal. Padahal kini hampir semua senjata menyerang ke arah pusarnya sehingga dia repot sekali, memutar kolornya untuk melindungi bagian perut bawah.

   "Kawan-kawan, serang matanya. Mata dan pusarnya!"

   Kembali Muryani berseru. Dara perkasa ini tahu benar bahwa mata merupakan bagian yang tidak dapat terlindung kekebalan, maka ia menyuruh para pengeroyok menyerang bagian itu, kembali para pengeroyok menurut dan sekarang, dua bagian tubuh Surobajul itu yang,menjadi sasaran penyerangan.

   "Mati aku....!"

   Surobajul mengeluh dan dia menjadi repot sekali. Dia harus melindungi dua bagian yang berjauhan, yang satu di bawah yang satu di atas. Dan senjata para pengeroyok yang jumlahnya sekitar limapuluh orang itu datang bagaikan hujan!

   Akhirnya, sebuah ujung linggis menusuk mata kirinya. Surobajul menjerit kesakitan dan menjadi limbung. Senjata-senjata lain kini menghantam pusarnya bagaikan hujan. Dia mengeluarkan teriakan parau seperti binatang buas terluka dan tubuh yang tinggi besar itu akhirnya roboh! Penduduk yang sudah marah seperti kesetanan itu menghujankan senjata mereka kepada tubuh raksasa yang sudah sekarat itu sehingga Warok Surobajul tewas dengan tubuh menjadi onggokan daging.

   "Cukup, jahanam itu sudah mati. Mari kita mencari dan menghajar Demang Wiroboyo yang jahat itu!"

   Terdengar suara Muryani melengking nyaring. Seruan ini disambut sorak-sorai dan puluhan, orang itu lalu berbondong-bondong meninggalkan hutan itu untuk kembali ke dusun Pakis. Beberapa orang tinggal untuk mengurus jenazah sanak keluarganya yang tewas ketika mengeroyok Surobajul tadi.

   Bahkan ketika mereka memasuki dusun, jumlah mereka bertambah karena sekarang semua penduduk Pakis, laki perempuan, ikut pula dengan rombongan itu menuju ke rumah Ki Demang Wiroboyo! Pada saat itu, semua panguneg-ineg, semua rasa sakit hati dan dendam, semua rasa penasaran, berkobar dan semua orang agaknya hendak menuntut agar Ki Demang Wiroboyo dihukum. Bahkan mereka yang tidak pernah dirugikan Ki Demang, bahkan pernah ditolong, pada saat itu terbawa dan terseret perasaan orang banyak dan ikut-ikutan mendaulat sang demang!

   Rombongan itu memasuki pekarangan gedung kademangan. Muryani berjalan paling depan karena ia memang dianggapgap oleh semua penduduk sebagai pimpinan yang boleh diandalkan. Bersama belasan rang pemuda yang merasa diri sebagai jagoan dan pahlawan, gadis itu melangkah ke arah pendopo kademangan. Akan tetapi, belasan orang pimpinan termasuk Muryani itu berhenti di bawah anak tangga ketika melihat dua orang berdiri di atas anak tangga menghadapi mereka. Dua orang itu bukan lain adalah Ki Ronggo Bangak dan Parmadi. Melihat ayahnya, Muryani memandang heran. Semua orang juga berdiam diri melihat pria yang mereka segani dan hormat itu. Ki Ronggo Bangak memang dihormat semua orang karena peramah, berbudi luhur, suka menolong, menjadi sumber nasihat dan terutama sekali setelah pria ini memperkenalkan puterinya yang disanjung semua orang itu. Akan tetapi, di antara mereka terdapat beberapa orang pemuda yang pacar atau tunangannya dulu direbut Ki Demang Wiroboyo. Saking besarnya kobaran dendam di hati mereka, mereka serentak berteriak.

   "Bunuh Wiroboyo perusak pager ayu,"

   Teriakan ini seperti menyulut semua orang dan merekapun bersorak menyetujui. Ada pula teriakan-teriakan yang mengancam Parmadi.

   "Seret dan hajar Parmadi! Dia melindungi Wiroboyol!"

   "Parmadi itu antek Wiroboyo. Hukum pula dia!"

   Suara-suara yang mengancam Parmadi ini keluar dari mulut beberapa orang pemuda yang merasa iri dan cemburu melihat betapa dekat dan akrabnya hubungan Parmadi dengan Muryani. Mereka menggunakan kesempatan itu untuk melampiaskan kecemburuan mereka. Dengan tenang Parmadi mengangkat .dua tangan ke atas untuk menenangkan orang-orang itu.

   "Para paman dan bibi, kakak dan adik, para saudaraku sewarga dusun Pakis! Dengarlah dulu kata-kataku dan jangan menuruti hati yang panas!"

   Dia berkata dan aneh sekali, suara pemuda itu seolah mengandung wibawa kuat sehingga semua orang diam mendengarkan.

   Setelah semua orang diam, Parmadi bercara lagi, suaranya tenang namun cukup lantang.

   "Saya tadi memang mencegah kalian membunuh Ki Demang Wiroboyo dan saya yang mengantarnya pulang ke sini. Akan tetapi hal itu saya lakukan bukan mata-mata untuk melindung dia, melainkan untuk mencegah kalian melakukan kekejaman yang sama jahatnya. Saya ingatkan kalian. Ki Demang Wiroboyo telah banyak melakukan kebaikan terhadap saya Akan tetapi apakah terhadap kalian juga tidak demikian? Bukankah selama ini dia menjadi seorang demang yang jujur, adil dan baik terhadap warga dusun Pakis? Memang dia bersalah. Salah besar sekali terdorong nafsu-nafsunya sehingga dia menculik adi Muryani. Akan tetapi dia tidak melakukan pembunuhan, bahkan ketika kalian keroyok, dia membela diri dengan kaki tangannya saja, tidak menggunakan kerisnya. Surobajul itulah yang melakukan pembunuhan-pembunuhan. Karena itu, apakah Ki Demang Wiroboyo yang sudah kalian keroyok sehingga menderita banyak luka dan telah dipermalukan di depan semua orang itu berarti tidak telah mendapatkan hukuman yang cukup?"

   Hening sejenak setelah Parmadi bicara. Akan tetapi kemudian terdengar teriakan beberapa orang pemuda yang membenci Ki Demang Wiroboyo.

   "Tidak! Tidak cukup! Dia harus dibunuh!"

   Dan kembali banyak mulut menyambut teriakan ini sehingga suasana menjadi gegap-gempita.

   Kini Ki Ronggo Bangak mengangkat kedua tangan ke atas dan berseru.

   "Andika semua tenanglah!"

   Kembali semua orang terdiam karena mereka memang segan terhadap pria yang lembut ini.

   Setelah semua orang diam, Muryani bertanya kepada ayahnya dengan nada suara mengandung penasaran.

   "Ayah, mengapa ayah berada di sini?"

   Tentu saja ia merasa penasaran. la baru saja diculik Ki Demang Wiroboyo dan nyaris diperkosa, bahkan ia tadi juga melihat ayahnya roboh ditendang Surobajul. Akan tetapi sekarang ayahnya malah berada di rumah demang itu dan berdiri di samping Parmadi, agaknya hendak membela Ki Demang Wiroboyo!

   Semua orang diam ingin mendengarkan percakapan antar ayah dan anak itu. Ki Ronggo Bangak menatap tajam wajah puterinya dan diapun menjawab dengan tegas.

   "Muryani, akupun dapat memulangkan pertanyaan itu kepadamu, kepada andika sekalian semua. Mengapa kalian datang ke sini? Hendak membunuh Ki Demang Wiroboyo?"

   Dengan tegas pula karena penasaran Muryani menjawab.

   "Benar sekali, ayah."

   Banyak orang bersorak mendengar jawaban ini.

   "Benar! Bunuh si keparat!"

   Ki Ronggo Bangak mengangkat lagi kedua tangannya dan semua orang terdiam.

   "Harap kalian diam dengan tenang dan mendengarkan percakapan kami kalau kalian sudah menganggap Muryani sebagai wakil kalian!"

   Semua orang diam, tidak ada yang berani menentang pandang mata Ki Ronggo Bangak ketika pria ini melayangkan pandang matanya, menyapu mereka.

   "Nah, Muryani. Sekarang jawablah. Kalian datang hendak membunuh Ki Demang. Mengapa?"

   "Ah, ayah. Mengapa ayah bertanya lagi? Dia baru saja bersama Surobajul dan kaki tangannya telah menyerbu rumah kita, mereka telah menangkap aku dan nyaris aku celaka di tangannya! Dia hendak menodaiku, ayah, dan itu lebih hebat daripada membunuh! Dia pantas dihukum mati!"

   "Nini Muryani, dan kalian semua warga dusun Pakis. Dengarkan baik-baik. Ki Demang Wiroboyo memang bersalah, akan tetapi dia tidak membunuh siapa-siapa. Dia nyaris menodai, anakku ini, akan tetapi hal tu belum dia lakukan! Bandingkanlah dengan perbuatan kalian kalau sekarang kalian membunuhnya! Siapakah di antara dia dan kalian yang lebih jahat dan lebih kejam?"

   Semua orang

  

JILID 5


   terdiam.

   "Akan tetapi, ayah. Apakah kejahatan Wiroboyo itu harus didiamkan saja?"

   Kembali banyak suara mendukung tuntutan Muryani.

   "Memang tidak sepatutnya didiamkan. Akan tetapi harus melalui hukum yang benar. Bukan dengan cara menghakimi sendiri lalu mempergunakan banyak orang untuk mengeroyok dan membunuhnya! Aku sudah mendengar bahwa Surobajul juga sudah kalian bunuh. Sungguh perbuatan itu sama dengan perbuatan orang-orang biadab yang tidak mengenal peraturan dan hukum! Aku menyesal sekali. Coba saja bayangkan. Kalau cara menjadi hakim sendiri ini dibenarkan, bagaimana kalau kemudian ternyata bahwa yang kalian hakimi dan bunuh itu tidak bersalah? Orang bersalah memang sudah sepantasnya mendapat hukuman. Akan tetapi melalui saluran yang benar. Diselidiki dan diteliti dulu kesalahannya, mana saksi dan buktinya. Kalau ternyata menurut bukti dan saksi dia itu bersalah, barulah dijatuhi hukuman. Hukuman itupun menurut besar kecilnya kesalahan, menurut peraturan dan sepantasnya, bukan secara hantam kromo dibunuh beramai-ramai begitu saja!"

   Muryani mulai dapat terbuka pikirannya dan ia diam saja, dalam hatinya tidak dapat membantah kebenaran yang terkandung dalam ucapan ayahnya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan seseorang di antara para penduduk dusun Pakis itu.

   "Ki Ronggo! Di sini berlaku ucapan 'Deso mowo coro, negoro mowo toto' (Desa memakai cara/adat, kota raja memakai peraturan/hukum). Bukankah demikian Ki Ronggo"

   Ki Ronggo Bangak tersenyum dan memandang ke arah pembicara itu. Seorang pria yang sudah setengah tua, warga lama dusun Pakis.

   "Ucapan itu benar, akan tetapi tata cara adat sekalipun harus memakai peraturan, bukan ngawur dan hantam kromo. Hukuman atas diri seseorang harus disesuaikan dengan besar kecilnya kesalahan, juga dipertimbangkan jasa-jasanya. Untuk itu perlu dimusyawarahkan antara para wakil warga yang terpandang. Sekarang mari kita memilih beberapa orang wakil yang terpandang dan terpercaya untuk memusyawarahkan keputusan hukuman terhadap Ki Demang Wiroboyo!"

   Seketika itu semua orang melakukan pilihan. Empat orang tua, termasuk yang bicara tentang hukum dan adat tadi, juga Muryani, diangkat sebagai wakil-wakil semua warga dusun.

   "Aku mengusulkan agar Parmadi diperkenankan mewakili pihak Ki Demang Wiroboyo sekeluarga karena tertuduh berhak untuk diwakili seorang yang dekat dengannya. Dan kami rasa Parmadi merupakan orang dekat dan dia cukup adil dan bijaksana."

   Setelah semua orang setuju, empat orang tua, Muryani, Parmadi, dan Ki Ronggo Bangak sendiri lalu memasuki pendopo dan mereka bertujuh lalu bermusyawarah. Setelah berunding, mereka memutuskan bahwa hukuman yang paling adil dan baik bagi semua pihak adalah bahwa Ki Demang Wiroboyo harus pergi dari dusun Pakis karena kalau dia masih tetap tinggal di Pakis, tentu akan menimbulkan banyak pertentangan. Karena yang bersalah hanyalah dia pribadi, maka pengusiran itu hanya untuk dia, sedangkan keluarganya boleh tinggal di Pakis kalau mereka menghendaki. Semua sawah ladangnya harus ditinggalkan dan menjadi milik warga dusun Pakis, hasilnya dimasukkan lumbung desa untuk keperluan semua warga. Setelah keputusan musyawarah ini diumumkan, seluruh penghuni dusun Pakis menyatakan persetujuan mereka dengan suara bulat dan gembira. Bahkan dengan suara penuh harapan mereka semua memilih dan mengangkat Ki Ronggo Bangak sebagai pengganti demang.

   Ki Ronggo Bangak menyambut dengan tenang saja usul warga dusun itu, kemudian berkata.

   "Tidak mungkin aku menjadi demang menggantikan Ki Wiroboyo karena hal itu menyalahi peraturan, bahkan oleh Kerajaan Mataram kita dapat dianggap scbagai pemberontak. Biarlah sementara ini aku akan memimpin kalian mengatur duqun Pakis ini sambil menanti keputusan dari atas setelah aku membuat laporan tentang peristiwa mengenai Ki Wiroboyo."

   Demikianlah, mulai hari itu Ki Ronggo Bangak dianggap sebagai pemimpin atau kepala Kademangan Pakis. Adapun Ki Woroboyo, setelah sembuh dari luka-lukanya lalu memboyong keluarganya meninggalkan dusun Pakis tanpa pamit dan tidak ada orang mengetahui ke mana dia dan keluaganya pergi.

   Resi Tejo Wening duduk di atas bangku kayu di depan gubuknya dan dia mengangkat muka memandang Parmadi yang datang menghampirinya. Pemuda itu memanggul sebuah buntalan di pundaknya. Hari masih pagi sekali. Halimun mulai membuyat diusir sinar matahari pagi. Burung-burung berkicau riang, berloncatan dari dahan ke dahan, menggoyang ranting dan daun-daun merontokkan air embun yang tadinya bergantungan di ujung-ujung dedaunan.

   Begitu tiba di depan Resi Tejo Wening, Parmadi menaruh buntalan yang tadi dipanggulnya ke atas tanah dan dia berlutut menyembah dengan hormat.

   "Parmadi, sepagi ini engkau sudah datang dan membawa buntalan. Apakah isi buntalan itu?"

   Kakek itu lalu menepuk bangku panjang yang didudukinya.

   "Bangkit dan duduklah di sebelahku sini, Parmadi. Tanah ini basah oleh embun, mengotorkan celana dan kakimu. Duduklah, akan lebih enak kita bicara."

   Parmadi menurut dan duduk di sebelah kakek itu.

   "Eyang, pertama-tama saya hendak menghaturkan terima kasih atas pertolongan eyang sehingga saya terlepas dari ancaman maut."

   "Eh? Kapan aku menolongmu terlepas dari ancaman, kulup?"

   Parmadi menatap wajah kakek itu. Kenapa kakek itu berpura-pura lagi, pikirnya. Sudah jelas bahwa dia terancam maut ketika Surobajul memukulkan senjata kolornya yang ampuh itu ke arah kepalanya, akan tetapi senjata itu membalik dan tidak menyentuh kepalanya. Siapa lagi kalau bukan Resi Tejo Wening yang menolongnya?

   "Eyang, ketika dalam hutan itu Warok Surobajul menyerang saya dengan kolornya yang ampuh, eyang telah menyelamatkan saya dan menangkis serangan itu,"

   Dia menjelaskan untuk mengingatkan kakek itu.

   Resi Tejo Wening tersenyum.

   "Heh-heh, aku sama sekali tidak menangkis pukulan itu, Parmadi."

   "Akan tetapi, eyang! Pukulan kolor itu membalik dan tidak mengenai kepala saya! Siapa lagi kalau bukan eyang yang menolong saya?"

   Kakek itu menggeleng kepalanya dan menatap wajah pemuda itu dengan senyum penuh pengertian.

   "Bukan, bukan aku yang menyelamatkanmu, kulup. Coba ingat, apa yang kaulakukan ketika engkau melihat dirimu diserang dengan kolor ampuh itu oleh orang itu?"

   Parmadi mengingat-ingat.

   "Saya merasa tidak berdaya dan tahu bahwa saya diancam bahaya maut, maka saya hanya pasrah, menyerah kepada kekuasaan Sang Hyang Widhi seperti yang biasa saya latih bersama eyang."

   "Nah, itulah yang menyelamatkanmu, Parmadi. Penyerahanmu yang ikhlas itu menggerakkan kekuasaan ilahi untuk bekerja dan kalau kekuasaan itu melindungi dirimu, tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang akan dapat mengganggu selembar rambutmu."

   Parmadi terbelalak. Kemudian sertamerta dia menyembah kakek itu.

   "Aduh, eyang. Terima kasih atas petunjuk eyang selama ini."

   "Jangan berterima kasih kepadaku. Kaiau hendak berterima kasih, berterima kasihlah kepada Sang Hyang Widhi, karena hanya Dia yang menjadi gurumu, menjadi pembimbingmu, menjadi pelindungmu. Akan tetapi, jangan hendaknya rasa syukur dan terima kasihmu itu hanya berhenti sampai di dalam mulut dan hati akal pikiran saja. Bersyukur dan berterima kasih seperti itu hanya merupakan pemanis bibir belaka, kosong dan bahkan palsu adanya. Kita harus selalu bersyukur dan berterima kasih kepada Hyang Widhi atas segala berkah, perlindungan, dan bimbingan-Nya, akan tetapi apakah yang menjadi bukti dari rasa terima kasih itu? Inilah yang dilupakan orangsehingga hampir setiap saat manusia hanya mengucap syukur dan terima kasih yang hampa belaka."

   "Eyang, saya menjadi bingung. Lalu apakah yang harus kita lakukan untuk membuktikan bahwa kita bersyukur dan berterima kasih kepada-Nya?"

   "Bukti rasa terima kasih manusia terhadap Hyang Widhi adalah ketaatan, Parmadi. Manusia wajib taat kepada segala perintah-Nya yang tercantum dalam kitab-kitab suci, dalam weda-weda. Taat dalam arti kata melaksanakan segala perintah-Nya dalam tindakan kita sehari-hari. Menjadikan diri sendiri menjadi alat-Nya yang baik, mangayu hayuning bhuwana (mengusahakan keselamatan jagad), dengan cara selalu bertindak membela keadilan dan kebenaran, melindungi yang lemah tertindas, menentang yang jahat sewenang-wenang, berwatak ksatria sejati, dan membela nusa bangsa."

   "Kalau begitu benar sekali pesan terakhir mendiang ayah saya, eyang, yaitu bahwa saya harus membela Mataram sampai mati."

   "Itu hanya merupakan satu di antara kewajiban-kewajibanmu sebagai manusia utama."

   "Dan apalagi yang harus saya panjatkan dalam doa saya kepada Yang Mahakuasa selain bersyukur dan berterima kasih, eyang?"

"Di dalam doa kepada Hyang Widhi, yang terpenting adalah ucapan rasa syukur dan terima kasih yang dibuktikan dengan ketaatan. yang dilaksanakan dalam tindakan, kemudian kalau ada permohonan dalam doa, hanya ada dua permohonan yang patut kita persembahkan kepada Hyang Widhi."

   "Permohonan apakah itu, eyang?"

   "Pertama adalah permohonan ampun kepada-Nya atas segala kesalahan dan dosa kita. Seperti juga rasa syukur dan terima kasih, permohonan ampun ini harus kita panjatkan setiap saat, tiada henti-hentinya. Dan seperti rasa terima kasih tadi, permohonan ampun inipun harus bukan omong kosong belaka. Permohonan ampun itu kosong dan palsu selama kita tidak membuktikannya dengan perbuatan nyata, yaitu dengan bertobat, berarti tidak melakukan kesalahan yang kita mintakan ampun itu. Apa artinya mohon ampun untuk suatu kesalahan hari ini, besok kita ulangi lagi kesalahan itu, untuk dimintakan ampun lusa, dan demikian selanjutnya hari ini minta ampun, besok mengulang, hari ini minta ampun lagi, besok mengulang lagi? Hyang Widhi adalah Maha Pengampun, akan tetapi hanya dapat mengampuni orang yang minta ampun dengan benar-benar bertobat dan tidak mengulangi kesalahannya."

   Parmadi mengangguk-angguk.

   "Saya mengerti dan bertekad untuk bertindak seperti yang eyang wejangkan. Kemudian, apakah permohonan yang kedua dalam doa kita kepada Yang Mahakuasa, eyang?"

   "Yang kedua adalah mohon bimbingan, Manusia adalah mahluk yang lemah terhadap godaan nafsu. Tanpa adanya bimbingan kekuasaan Hyang Widhi, kita tidak akan kuat dan mampu menanggulangi kekuasaan gelap. Tanpa adanya kekuasaan Hyang Widhi yang bekerja dalam diri kita, kita ini tiada lain hanya seonggok darah, daging yang penuh kotoran dan noda. Sesungguhnya, hanya bimbingan kekuasaan Yang Maha Kasih sajalah yang akan membuat kita mampu menjadi seorang manusia yang taat akan segala kehendak-Nya, seorang manusia yang benar-benar bertobat dan dalam tindakannya sehari-hari selalu tertuju kepada keluhuran asma-Nya (Nama-Nya). Dan permohonan bimbingan ini hanya akan dapat terlaksana kalau Hyang Widhi menghendaki, dan itulah sebabnya kita harus MENYERAH, dengan ikhlas dan tawakal, sepenuh iman. Mengertikah engkau, Parmadi?"

   "Saya akan berusaha untuk mengerti, eyang."

   "Nah, baiklah. Sekarang ceritakan apa yang terjadi di Kademangan Pakis."

   "Eyang tentu sudah mengetahui bahwa adi Muryani diculik oleh Ki Demang Wiroboyo dan kaki tangannya, dibantu oleh Surobajul. Bahkan eyang sendiri yang telah menghindarkan Muryani dari bahaya dan eyang sendiri yang teiah mengusir kedua orang jahat itu. Mereka melarikan diri dan bertemu dengan warga Kademangan Pakis yang marah. Puluhan orang warga Pakis lalu mengeroyok mereka, membantu adi Muryani yang mengamuk. Karena mengingat akan kebaikankebaikan dan jasa Ki Demang Wiroboyo terhadap warga Pakis, saya lalu mencegah mereka membunuhnya dan membawanya pulang. Surobajul tewas dikeroyok banyak orang. Kemudian, hasil musyawarah yang diadakan warga Pakis, diambil keputusan bahwa Ki Demang Wiroboyo harus pergi meninggalkan dusun Pakis. Kini Ki Wiroboyo sekeluarga telah pergi dan untuk sementara dusun Pakis dipimpin oleh paman Ronggo Bangak."

   "Hemm, baik sekali kalau begitu. Lalu kenapa engkau sepagi ini datang membawa buntalan itu?"

   "Eyang, karena Ki Wiroboyo telah pergi saya kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan. Karena itu saya mengambil keputusan untuk meninggalkan Pakis dan mulai saat ini saya hendak mengabdi kepada eyang dan mengikuti eyang ke manapun eyang pergi. Saya mohon eyang sudi mengajarkan ilmu-ilmu kepada saya untuk bekal dalam kehidupan ini agar seperti eyang katakan tadi, saya dapat menjadi alat Yang Mahakuasa, menjadi alat yang berguna dan baik. Buntalan ini adalah milik saya, pakaian dan sisa uang pemberian Ki Wiroboyo selama ini."

   Resi Tejo Wening tersenyum dan mengangguk-angguk.

   "Kebetulan sekali, Parmadi, karena memang aku sudah bermaksud untuk mengajakmu pergi dari sini. Sudah tiba saatnya aku meninggalkan tempat ini. Besok pagi-pagi adalah hari yang paling tepat bagi kita untuk berangkat meninggalkan tempat ini."

   Parmadi merasa girang sekali.

   "Kalau begitu, perkenankan saya untuk pergi sebentar ke Pakis untuk berpamit kepada paman Ronggo Bangak, adi Muryani dan pen duduk dusun Pakis, eyang."

   "Heh-heh, jadi engkau belum pamit kepada mereka?"

   "Saya hendak mendapat kepastian dulu dari eyang. Setelah ada kepastian eyang dapat menerima saya mengabdi, baru saya akan pamit. Akan tetapi sebelum saya pergi ke sana, apakah ada sesuatu yang dapat saya lakukan untuk eyang di sini? Membuatkan sarapan pagi untuk eyang? Atau mencucikan pakaian atau yang lain?"

   Resi Tejo Wening tersenyum dan meng geleng kepalanya yang tertutup rambut putih.

   "Tidak ada yang harus kaukerjakan sekarang di sini, Parmadi. Pergilah ke dusun Pakis. Memang sepatutnya kalau engkau pamit dari mereka."

   Dengan hati yang ringan dan gembira Parmadi meninggalkan hutan Penggik dan berlari menuju dusun Pakis. Akan tetapi setelah tiba di luar dusun itu, dia membayangkan perpisahannya dari dusun itu, dari para penduduknya dan terutama sekali dari Ki Ronggo Bangak dan lebih lagi dari Muryani! Dan hatinya tiba-tiba terasa berat. Awan kelabu menyelubungi hatinya. Sudah delapan tahun dia hidup di Pakis dan mereka semua begitu baik, terutama Ki Ronggo Bangak dan lebih lagi Muryani! Dia akan merasa kehilangan, terutama kehilangan Muryani yang sudah menempati sudut tertentu dalam hatinya. Dengan langkah berat dan muka tidak cerah lagi Parmadi lalu pergi menuju rumah Ki Ronggo Bangak. Biarpun Ki Ronggo Bangak telah diangkat oleh semua warga Pakis menjadi ketua atau lurah mereka, namun dia tidak mau menempati bekas gedung Ki Wiroboyo. Dia tetap bertempat tinggal di rumahnya sendiri dan rumah besar bekas kademangan itu hanya dipergunakan kalau sewaktu-waktu warga dusun mengadakan rapat pertemuan untuk memperbincangkan sesuatu.

   Muryani menyambut kedatangannya dengan wajah gembira.

   "Kebetulan sekali engkau datang, kakang Parmadi. Tadi aku sudah mencarimu ke mana-mana, akan tetapi tidak ada seorang pun mengetahui ke mana engkau pergi. Engkau meninggalkan rumah besar itu tanpa pamit kepada siapapun juga."

   "Engkau mencariku, Mur?"

   Tanya Parmadi yang sekarang sudah amat akrab dengan gadis itu sehingga kalau menyebut namanya disingkat begitu saja. Mereka seperti kakak dan adik saja.

   "Ada urusan apakah?"

   "Duduklah dulu, nanti kita bicara,"

   Kata gadis itu. Mereka lalu duduk, saling berhadapan.

   "Di mana paman Ronggo?"

   "Ayah sedang menyelesaikan sebuah ukiran patung."

   Parmadi yang sudah mengenal gurunya maklum bahwa kalau dia sedang memahat atau mengukir patung, Ki Ronggo Bangak amat asyik dan tidak mau diganggu siapapun, maka diapun tidak bertanya lagi tentang gurunya.

   "Nah, katakan, ada urusan apakah engkau mencari aku, Mur?"

   Muryani menatap wajah pemuda itu dengan pandang mata penuh selidik untuk sesaat. Kemudian ia berkata.

   "Kakang Parmadi, selama ini aku masih belum sempat bertanya kepadamu tentang pertolonganmu kepadaku pagi hari itu ketika engkau melepaskan aku dari libatan jarring dan ikatan. Bagaimana engkau bisa melakukan pertolongan itu? Bukankah di sana ada Ki Wiroboyo dan warok raksasa? Apa sebetulnya yang terjadi? Dari dalam aku mendengar engkau berteriak menegur Ki Wiroboyo agar membebaskan aku dan aku mendengar mereka mengancammu, akan tetapi kenapa tiba-tiba engkau dapat masuk menolongku? Kenapa mereka melarikan diri?"

   Parmadi tidak ingin bercerita tentang Resi Tejo Wening. Gurunya itu tidak ingin dikenal orang lain, apalagi diketahui bahwa kakek itu yang menghalau dua orang penjahat itu dengan kesaktiannya. Maka diapun menjawab tanpa harus berbohong.

   "Sebelum mereka dapat mencelakai aku, mereka berdua agaknya mendengar sorak-sorai warga Pakis yang memang sudah siap dan marah. Mereka melarikan diri, akan tetapi di tengah hutan bertemu dengan warga Pakis yang segera mengeroyok mereka."

   Muryani agaknya percaya akan keterangan ini.

   "Kang Parmadi, aku amat berterima kasih kepadamu. Engkau yang telah menolongku dari malapetaka besar. Sungguh engkau gagah berani, kakang. Engkau seorang diri berani menegur dan menentang Ki Wiroboyo yang dibantu warok raksasa itu. Engkau berani menempuh bahaya maut untuk menolongku!"

   Pandang mata gadis itu menatap wajah Parmadi, penuh terima kasih.

   Wajah Parmadi menjadi agak kemerahan. Dia sama sekali tidak merasa telah menolong gadis itu. Bahkan nyawanya sendiri mungkin sudah melayang kalau saja Tuhan Yang Mahakuasa tidak menolongnya melalui kesaktian gurunya.

   "Adi Muryani, jangan berterima kasih kepadaku. Aku hanya melakukan kewajibanku. Kita wajib berterima kasih kepada Yang Mahakuasa karena sesungguhnya Dialah yang telah menolong kita."

   Muryani tertawa, tawanya bebas karena ia sudah tidak merasa canggung atau rikuh lagi terhadap Parmadi yang dianggapnya sebagai kakaknya sendiri. Tawanya merdu dan mulutnya terbuka sehingga tampak deretan giginya yang putih dan rapi, ujung lidahnya yang merah dan rongga mulutnya yang lebih mnerah lagi. Ketika mulutnya tertawa, matanya juga ikut tertawa dan bersinar-sinar.

   "Hi-hi-hik, kalau engkau bicara seperti itu, engkau mirip dengan ayah. Engkau seperti kakek-kakek yang memberi wejangan saja!"

   Parmadi juga tersenyum, agak canggung karena pada saat itu, hatinya tidak gembira melainkan agak bersedih dan teringat akan perpisahannya dari orang-orang yang dekat dengan hatinya.

   "Mur, sebenarnya kedatanganku ini...."

   "Untuk bertemu ayah, bukan? Sudah kukatakan, ayah sedang sibuk, tidak mau diganggu. Bicara dengan aku juga tidak apa-apa, bukan? Atau, engkau tidak suka bercakap-cakap denganku? Wajahmu tampak tidak bergembira!"

   "Bukan begitu, adi Muryani. Kedatanganku ini". aku. hendak pamit dari engkau dan ayahmu...."

   Muryani terbelalak.

   "Pamit? Engkau hendak ke mana?"

   "Aku hendak pergi meninggalkan Pakis."

   "Meninggalkan Pakis? Ke mana?"

   Parmadi menggeleng kepala.

   "Aku sendiri belum tahu. Berkelana.... pokoknya meninggalkan dusun ini...."

   Muryani bangkit berdiri, matanya masih terbelalak.

   "Meninggalkan aku? Meninggalkan kami?"

   "Benar. Aku akan meninggalkan kalian semua. Aku akan pergi sekarang juga."

   "Tidak! Tidak... ahh, ayaaahhh !"

   Muryani berlari memasuki rumahnya dan langsung memasuki ruangan di mana ayahnya asyik bekerja. Biasanya iapun tidak mau mengganggu ayahnya kalau sedang bekerja, akan tetapi sekali ini ia tidak perduli dan mendorong daun pintu memasuki ruangan itu.

   Ki Ronggo Bangak menunda pekerjaannya dan memandang kepada puterinya yang masuk tanpa dipanggil dan sikapnya seperti orang bingung.

   "Eh, ada apa lagi ini, Muryani?"

   Tanyanya.

   "Wah, celaka, ayah.... celaka....!"

   Kata gadis itu.

   Biarpun Ki Ronggo Bangak seorang yang tenang, namun melihat sikap puterinya, dia menduga tentu telah terjadi sesuatu yang hebat maka gadis itu bersikap seperti itu. Apakah Ki Wiroboyo muncul lagi dan membuat keributan? Dia bangkit berdiri dan menatap wajah puterinya.

   "Katakanlah dengan jelas. Apa yang terjadi?"

   "Kakang Parmadi, ayah...."

   "Parmadi? Ada apa dengan dia?"

   "Dia.... dia hendak meninggalkan dusun ini.... meninggalkan kita! Ayah harus mencegah dan menahannya, ayah!"

   Ki Ronggo Bangak menghela napas lega.

   "Ahhh, kiranya begitu. Kenapa kau bilang celaka dan kebingungan seperti kebakaran rumah? Di mana Parmadi sekarang?"

   "Di ruangan depan, ayah. Tahanlah dia, ayah, jangan biarkan dia pergi berkelana!"

   Ki Ronggo Bangak tersenyum, mencatat sikap puterinya ini dalam hatinya. Sikap seperti ini jelas mengandung arti yang dalam, pikirnya. Agaknya dalam hati gadis remajanya ini sudah mulai tersulut api cinta! Akan tetapi di dalam hatinya, dia sama sekali tidak keberatan, bahkan senang sekali seandainya puterinya itu dapat berjodoh dengan Parmadi. Dia mengenal benar pemuda itu, tahu bahwa dia seorang pemuda yang berbudi baik dan bijaksana. Sambil menahan senyumnya dia melangkah keluar, lengannya dipegang oleh Muryani. Parmadi segera bangkit berdiri ketika melihat Ki Ronggo Bangak muncul bersama Muryani. Dia sendiri tadi terkejut melihat sikap Muryani ketika dia menceritakan niatnya untuk meninggalkan Pakis.

   Gadis itu tampak demikian kaget dan berlari memanggil ayatinya. Dan sekarang, dia melihat betapa sepasang mata yang indah itu basah! Jantungnya berdebar. Tidak salahkah dia? Benarkah begitu sayangnya gadis itu kepadanya seperti juga perasaan rasaan sayangnya yang mendalam terhadap gadis itu?

   "Paman"."

   Dia menyapa dengan sikap hormat.

   "Parmadi, apa yang kudengar dari Mur yani tadi? Engkau hendak pergi meninggalkan Pakis. Benarkah itu?"

   "Benar sekali, paman."

   "Akan tetapi mengapa? Duduklah dan katakan alasanmu dengan jelas."

   Ki Ronggo Bangak duduk. Muryani duduk di sebelahnya dan Parmadi juga duduk berhadapan dengan mereka.

   "Paman, sejak kecil saya ikut Ki Wiroboyo. Sekarang dia telah pergi. Saya kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan. Karena itu saya mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan Pakis."

   "Akan tetapi engkau boleh tinggal di sini, kakang! Betul tidak, ayah? Engkau boleh tinggal di sini dan tentang pekerjaan, bukankah engkau dapat membantu pekerjaan ayah membuat patung dan perabotan rumah?"

   Kembali Ki Ronggo Bangak mencatat ucapan puterinya itu dan dia semakin yakin bahwa telah tumbuh cinta kasih dalam hati puterinya terhadap pemuda yang menjadi muridnya itu.

   "Ucapan Muryani itu benar, Parmadi. Tentu saja engkau boleh tinggal bersama kami dan tentang pekerjaan, engkau sudah pandai memahat dan mengukir, engkau dapat membantu membuat patung, arca, darn perabot rumah."

   "Terima kasih, paman dan adi Muryani. Tawaran paman berdua berharga sekali. Akan tetapi hal ini sudah saya pertimbangkan dengan matang dan saya sudah mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan Pakis dan merantau, berkelana."

   "Hemm, agaknya keputusanmu sudah bulat. Kalau boleh kami mengetahui, apa yang menjadi dasar keputusanmu ini, Parmadi? Apa yang kau cari dalam perantauanmu itu?"

   Ki Ronggo Bangak bertanya dan Parmadi melihat betapa sepasang mata yang tadi basah kini meruntuhkan dua titik air mata yang segera diusap oleh jari-jari tangan yang mungil itu. Muryani menangis! Dan kenyataan inilah yang membuat dia terpukul. Akan tetapi dia menguatkan hatinya dan menjawab,

   "Paman, yang menjadi dasar keputusan saya adalah keinginan saya untuk meluaskan pengetahuan dan mencari pengalaman untuk bekal niat saya memenuhi pesan terakhir ayah saya seperti yang saya ceritakan kepada paman dulu."

   Ki Ronggo Bangak mengangguk-angguk.

   "Hemm, pesan agar engkau mengabdikan diri kepada Kanjeng Sultan Agung di Mataram itu?"

   "Benar, paman. Kalau saya terus-menerus berada di dusun ini, saya merasa seperti seekor katak dalam tempurung, tidak melihat keadaan dunia luar dan apa yang dapat saya andalkan untuk memenuhi pesan mendiang ayah saya itu?"

   Ki Ronggo Bangak kembali mengangguk-angguk. Dalam hatinya dia tidak dapat menyalahkan pemuda itu, bahkan membenarkan niatnya yang amat baik.

   "Hemm, aku dapat melihat kebenaran alasanmu itu, Parmadi. Akan tetapi, ke manakah engkau hendak pergi merantau setelah meninggalkan dusun ini?"

   "Entahlah. Bagaimana nanti saja, paman. Saya percaya bahwa Yang Mahakuasa tentu akan memberi petunjuk dan membimbing saya."

   "Bagus kalau engkau selalu mohon petunjuk dan bimbingan Yang Mahakuasa. Dengan cara demikian aku yakin engkau tidak akan menyeleweng dari jalan yang benar. Muryani, niat kakangmu ini baik sekali. Kita tidak dapat menahan atau mencegahnya."

   Mendengar ini, habislah harapan Muryani dan kini ia menangis tanpa disembunyikan lagi. Ia menangis sesenggukan, air matanya bercucuran dan ia sibuk menggunakan ujung kain bajunya untuk mengusap mata dan hidungnya.

   Melihat ini, Parmadi merasa terharu sekali. Inilah yang memberatkan hatinya. Meninggalkan Muryani! Dia merasa gadis itu seperti adiknya sendiri. Atau bahkan lebih dari itu. Dia tidak tahan untuk berdiam di situ lebih lama menghadapi Muryani yang menangis. Dia bangkit perlahan dari bangkunya.

   "Paman Ronggo. Saya menghaturkan banyak terima kasih atas segala kebaikan yang sudah paman limpahkan kepada saya selama ini. Sekarang saya mohon diri karena saya harus berangkat sekarang. Saya masih akan berkunjung kepada para saudara lain untuk pamit. Selamat tinggal, paman Ronggo Bangak dan adi Muryani, saya mohon diri."

   Ronggo Bangak bangkit berdiri.

   "Selamat jalan, Parmadi, dan baik-baiklah menjaga dirimu sendiri, semoga engkau berhasil. Muryani, ini kakangmu pamit!"

   Katanya kepada Muryani. Akan tetapi gadis itu tetap duduk sambil menangis sesenggukan, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Ki Ronggo hanya menghela napas dan Parmadi juga tidak dapat berbuat apa-apa. Setelah memandang sejenak kepada Nltilryani, Parmadi lalu mengangguk dengan hormat kepada Ki Ronggo Bangak, lalu keluar dari rumah itu.

   Parmadi berkunjung dari rumah ke rumah untuk berpamit dari para warga Pakis. Semua orang mengucapkan selamat jalan kepada pemuda yang mereka kenal dengan baik itu. Bahkan para pemuda yang tadinya merasa cemburu kepada Parmadi, bersikap ramah dan diam-diam merasa girang dengan kepergian pemuda itu meninggalkan Muryani. Setelah berpamit dari semua orang, Parmadi segera meninggalkan dusun Pakis.

   Matahari sudah naik agak tinggi dan pagi menjelang siang itu cerah sekali. Kecerahan cerahan suasana itu mempengaruhi hati Parmadi, membuat perasaannya yang tadi tertindih kesedihan karena perpisahan itu menjadi agak ringan. Dia membayangkan betapa dia akan hidup bersama gurunya, yang kini diyakini adalah seorang kakek yang sakti mandraguna. Juga dia merasa girang sekali bahwa tanpa disadarinya, dia telah memiliki pelindung gaib yang disebut Kekuasaan Ilahi oleh gurunya, yang bekerja tanpa disadarinya, seperti kekuasaan yang mendetakkan jantungnya, kekuasaan yang menumbuhkan semua anggauta tubuhtrya, rambut dan kukunya. Kekuasaan itu maha kuat dan tidak ada kekuatan lain di dunia ini yang mampu mengalahkannya!

   Tiba-tiba dia menahan langkahnya. Dia sudah tiba di luar dusun Pakis dan di depan sana, di atas sebuah batu, dia melihat Muryani duduk dan memandangnya. Parmadi cepat maju menghampirinya dan dia melihat bahwa dara itu sudah tidak menangis lagi, akan tetapi sepasang matanya agak kemerahan dan kedua pipinya masih ada bekas air mata.

   "Adi Muryani....! Engkau di sini...?"

   Muryani melompat turun dari atas batu dan berdiri berhadapan dengan pemuda itu.

   "Kakang Parmadi, kau.... kau benar benar hendak pergi...?"

   Kata gadis itu lirih, seperti berbisik.

   Parmadi menelan ludah dan mengangguk.

   "Benar, Mur. Aku". aku harus pergi Aku ingin seperti engkau, memiliki kepandaian agar berguna bagi nusa dan bangsa."

   Muryani menggigit bibirnya, agaknya menahan tangisnya.

   "Kau.... kau tidak akan kembali lagi ke sini....?"

   "Tentu saja aku akan kembali kelak kalau sudah berhasil."

   "Berapa lama....?"

   "Entahlah. Mudah-mudahan tidak terlalu lama."

   ""..kakang, engkau.... engkau tidak akan melupakan aku...?"

   Bibir itu sudah gemetar menahan tangis.

   "Ah, mana bisa aku melupakan engkau, adi Muryani? Sampai mati aku tidak akan melupakan engkau!"

   "Kakang Parmadi...!!"

   Entah siapa yang lebih dulu bergerak, namun tahu-tahu Parmadi sudah merangkul dan mendekap dara itu dan Muryani menangis terisak-isak di atas dada Parmadi. Parmadi merasa terharu dan dia benar-benar merasakan betapa besar kasih sayangnya kepada gadis ini. Dia menggunakan lengan kiri untuk merangkul pundak dan tangan kanannya meng usap rambut yang hitam dan halus itu. Dia membiarkan gadis itu menangis beberapa lamanya sampai baju di dadanya menjadi basah oleh air mata. Akhirnya tangis itu mereda juga. Agaknya himpitan kedukaan pada dada Muryani menjadi ringan setelah perasaan itu dilarutkan melalui air matanya. Dia lalu menarik tubuhnya dari rangkulan Parmadi dan merenggangkan diri. Mukanya basah, akan tetapi ia tidak menangis lagi. Bahkan ia berusaha untuk tersenyum. Senyum yang mengembang di bibirnya dengan mata yang masih merah dan muka yang basah itu bahkan menimbulkan pemandangan yang amat mengharukan hati Parmadi.

   "Adi Muryani,"

   Katanya dengan suara menggetar.

   "maafkan aku kalau aku membuatmu bersedih..."

   Muryani menggunakan ujung baju untuk mengusap air matanya yang membasahi mukanya. Ia tidak menangis lagi. Ia tersenyum.

   "Tidak, kakang. Engkau tidak bersalah. Aku mengerti mengapa engkau harus pergi merantau. Ayah tadi telah menyadarkan aku. Memang aku yang gembeng, cengeng! Aku yang minta maaf padamu karena tadi ketika engkau berpamit, aku diam saja. Karena itu aku mencegatmu di sini. Aku ingin mengucapkan selamat jalan, kakang."

   Gadis itu lalu mengambil patrem bersarung dari ikat pinggangnya dan berkata.

   "Patremku ini tadinya dirampas Ki Wiroboyo dan sudah kuambil kembali dari dalam kamar di rumahnya. Hanya ini milikku yang selama bertahuntahun kusayang dan selalu berdekatan denganku, kupakai latihan pencak silat dan menjadi kawan yang melindungiku. Sekarang aku serahkan padamu. Aku berikan patremku ini padamu, kakang."

   "Untuk apa, adi Muryani? Aku tidak memerlukan senjata...."

   
😗

   
"Bukan untuk senjata, melainkan untuk mengingatkanmu akan diriku, agar engkau tidak lupa kepadaku."

   "Ahh.... Muryani....!"

   Parmadi terharu dan menerima patrem itu.

   "Akan kusimpan patremmu ini, seperti kusimpan bayanganmu dalam hatiku."

   "Benarkah, kakang? Ah, lega hatiku sekarang. Jangan pergi dulu, biar aku yang lebih dulu meninggalkanmu pulang ke rumah. Kalau engkau yang meninggalkan aku, aku takut takkan dapat menahan tangisku lagi."

   Gadis itu memegang kedua tangan Parmadi. Dua pasang tangan itu saling genggam dan Parmadi dapat merasakan getaran lembut dari dua telapak tangan yang lunak lembut itu.

   "Selamat jalan, kakang. Selamat berpisah dan jagalah dirimu baik-baik. Aku akan selalu menantimu, kakang. Aku pulang dulu sekarang!"

   Gadis itu melepaskan kedua tangan yang memegangi tangan pemuda itu lalu berlari meninggalkan Parmadi menuju ke dusun Pakis.

   Parmadi berdiri mengikuti bayangan gadis yang berlari itu. Tiga kali Muryani menoleh sampai kemudian bayangannya lenyap di antara pohon-pohon. Parmadi menarik napas panjang. Dengan punggung tangannya dia menghapus dua titik air mata yang tergenang di pelupuk matanya. Kemudian setelah merasa yakin bahwa gadis itu telah pergi jauh, dia membalik dan berlari memasuki hutan menuju ke hutan Penggik. Resi Tejo Wening menyambut kedatangan Parmadi dengan senyum. Ketika pemuda itu

   memberi hormat sembah kepadanya, kakek yang duduk di dalam gubuk itu, mengambil sebatang suling yang tadinya ditaruh di atas sebuah meja kayu yang kasar dan menyerahkannya kepada Parmadi.

   "Terimalah seruling gading ini, Parmadi. Mulai sekarang, benda ini menjadi milikmu. Agaknya memang sudah ditakdirkan bahwa aku dalam usia tua ini harus mewariskan ilmu-ilmu yang pernah kupelajari kepadamu. Engkau memang berbakat untuk menguasai ilmu kanuragan dan engkau berjodoh denganku. Akan tetapi ingatlah bahwa seruling gading ini, juga ilmu-ilmu kanuragan, semua itu merupakan alat yang mati. Mereka itu dihidupkan oleh manusia dan tergantung kepada si manusia yang mempergunakan alat itu, apakah alat itu akan dipergunakan untuk kejahatan ataukah untuk kebaikan. Alat itu sendiri tidak ada yang jahat ataupun yang baik. Sebatang parang yang tajam menyeramkan akan menjadi alat yang baik dan bermanfaat sekali kalau dipergunakan manusia untuk menebang pohon, membelah kayu atau untuk pekerjaan lain. Sebaliknya, sebilah pisau dapur yang kecil yang tampaknya tidak berbahaya akan menjadi alat yang jahat sekali kalau dipergunakan manusia untuk menusuk dada orang lain. Bahkan benda yang namanya api itu menjadi benda berguna kalau dipakai untuk rnemasak atau menyalakan lampu, akan tetapiberubah menjadi benda jahat merusak kalau dipakai untuk membakar rumah orang lain. Seruling gading ini juga demikian. Dapat menjadi alat gamelan yang indah, dapat pula menjadi senjata pelindung diri yang ampuh, akan tetapi juga tentu saja dapat menjadi alat yang amat jahat kalau dipergunakan untuk membunuh orang. Mengertikah engkau?"

   Parmadi menerima suling itu dengan takjub. Selama ini, belum pernah dia memegangnya walaupun seringkali dia melihatnya. Suling itu merupakan pusaka gurunya. Sebatang suling sepanjang lengannya yang amat indah, terbuat dari gading yang berwarna putih kuning mengkilap.

   "Saya mengerti, eyang, dan saya berjanji akan mempergunakan pusaka ini sebagai alat yang baik dan berguna bagi nusa dan bangsa, untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan untuk menentang kejahatan."

   "Bagus! Akan tetapi ada satu hal yang perlu engkau ketahui benar tentang sikap menentang kejahatan itu. Kejahatan dan kebaikan adalah sebuah pendapat sebagai hasil dari pandangan seseorang, karena itu sangat bergantung kepada si pemandang. Biasanya, hal yang mendatangkan keuntungan lahir ataupun batin dianggap baik oleh si pemandang, sebaliknya hal yang mendatangkan kerugian lahir ataupun batin dianggap jahat atau buruk."

   "Kalau begitu, baik dan buruk itu tidak ada, eyang?"

   "Begitulah, seperti alat tadi, baik atau buruk tergantung dari si pemakai. Adapun yang dinamakan kebaikan atau kejahatan juga tergantung dari pendapat si pemandang. Akan tetapi, kulup, ada ukuran tentang baik dan buruk yang telah diterima oleh umum, yaitu oleh manusia yang beradab dan yang telah mengenal peraturan hukum. Ukuran itu ialah, perbuatan yang merugikan orang lain, adalah jahat dan perbuatan yang menguntungkan orang lain adalah baik. Yang sifatnya merusak adalah iahat dan yang sifatnya membangun dan memelihara adalah baik. Ukuran ini dapat kaupergunakan untuk menilai baik buruknya perbuatan seseorang. Parmadi mengangguk-angguk, mencatat pelajaran penting ini dalam sanubarinya.

   "Saya akan selalu ingat akan nasihat eyang ini,"

   Katanya.

   "Sekarang tentang menentang kejahatan seperti yang kaukatakan tadi, Parmadi. Seperti pernah kukatakan kepadamu, dua hal harus kaulakukan sepanjang hidupmu, kalau mungkin saat demi saat, yaitu INGAT dan WASPADA. Ingatlah selalu kepada Tuhan Yang Maha Kasih seolah sembahyang datan kendat (berdoa tiada hentinyal, kemudian waspadalah setiap saat akan ulah pikiran dan perbuatanmu Dalam menentang kejahatan, berhati-hatilah, jangan membiarkan si-aku dalam dirimu berkuasa. Si-aku adalah nafsu akal pikiran yang selalu mendorong kita untuk bertindak dengan pamrih mementingkan diri sendiri, demi kesenangan dan keuntungan diri sendiri. Dan engkau sudah berlatih dan merasakan bahwa bilamana si-aku dalam diri ini berkuasa, maka Kekuasuan Hyang Widhi tidak akan menuntun jiwa yang sudah tertutup oleh hawa nafsu. Kalau nafsu akal pikiran menguasai diri, maka akan dapat timbul amarah dan dendam. Kalau engkau hendak menentang kejahatan karena amarah dan dendam, maka tindakanmu dituntun oleh kebencian terhadap orang yang melakukan kejahatan itu, berarti bukan menentang kejahatannya, melainkan orangnya! Padahal yang harus ditentang adalah perbuatan jahat itu agar tidak terjadi, dan kalau engkau berhasil menyadarkan orangnya sehingga dia tidak jadi melakukan perbuatan jahat, atau dia dapat bertaubat dari kesalahannya, ini berarti bahwa engkau berhasil menentang kejahatan. Mengertikah engkau, Parmadi?"

   "Saya berusaha untuk mengerti, eyang."

   "Memang pelajaran tentang kehidupan ini sukar, kulup, akan tetapi penting. Kalau engkau ingin menjadi seorang manusia seutuhnya. Sekarang kita sudahi dahulu dan cobalah sekarang kautiup seruling gading itu dan biarkan jiwamu yang menuntunnya."

   Agak berdebar rasa jantung Parmadi. Alangkah seringnya dia mempunyai keinginan untuk mencoba meniup dan memainkan suling itu, dan sekarang seruling gading itu bukan hanya dapat dia mainkan, bahkan telah menjadi miliknya! Akan tetapi dia segera dapat menghilangkan ketegangan ini, dan menyerah dengan seluruh pribadinya lahir batin kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Begitu dia menyerah seperti yang biasa dia latih bersama eyang gurunya, getaran gaib menggerakkan, kedua tangannya dan dia membawa suling itu ke bibirnya dan terdengarlah suara melengking-lengking dengan aneh dan juga indahnya. Parmadi merasakan ini semua, telinganya mendengar matanya melihat, panca indranya masih bekerja, pikirannya masih sadar, akan tetapi tiupan suling itu, tidak dikendalikan oleh hati akal pikirannya. Hati akal pikirannya hanya sadar sebagai penonton dan pendengar belaka. Segala macam daya rendah nafsu terbelenggu, tidak berdaya pada saat itu.

   Resi Tejo Wening duduk bersila di atas bale-bale, kedua matanya terpejam dan dia seperti orang yang sedang bersamadhi, tubuhnya bergoyang-goyang perlahan sesuai dengan irama tiupan suling yang dilakukan Parmadi.

   Setelah tiupan suling itu terhenti dengan sendirinya, Resi Tejo Wening mengangguk-angguk sambil tersenyum.

   "Baik sekali, Parmadi. Tahukah engkau, Kekuasaan Ilahi sepenuhnya terkandung dalam getaran suara sulingmu tadi sehingga cukup kuat untuk mengusir roh kegelapan. Berlatihlah terus , dengan tekun dan sabar, kulup. Pohon yang ditanam dalam jiwamu telah mulai tumbuh dan kelak tentu akan menghasilkan buahnya."

   Pada keesokan harinya, setelah matahari muncul dari balik puncak Lawu, Resi Tejo Wening dan Parmadi meninggalkan gubuk di hutan Penggik itu. Parmadi tidak bertanya ke mana gurunya pergi, hanya mengikuti dari belakang dan ternyata gurunya melangkah mendaki ke atas menuju puncak Argadumilah! Diam-diam Parmadi merasa heran. Ternyata kakek itu tidak meninggalkan Gunung Lawu, melainkan rnalah menuju ke puncak! Akan tetapi dia tetap tidak bertanya dan mengikutinya dari belakang. Dia hanya kagum sekali melihat dari belakang betapa kakek itu melangkah dengan tenang dan tegap, tak pernah ragu dan tidak pernah berhenti mengaso. Padahal perjalanan itu terus mendaki tebing yang curam dan tidak mudah dilalui. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa gurunya bukan orang biasa. Bahkan dia sendiri yang bertubuh kuat dan masih muda, merasa lelah sekali.

   Jauh lewat tengah hari, menjelang sore, baru mereka tiba di puncak Argadumilah, di mana kurang lebih setengah tahun yang lalu Resi Tejo Wening bertemu dengan tiga orang datuk, yaitu Harya Baka Wulung tokoh Madura, Wiku Menak Koncar tokoh Blambangan, dan Kyai Sidhi Kawasa tokoh Banten. Dia mencegah mereka bertiga yang hendak membunuh puluhan orang anggauta perkumpulan pendekar Welut Ireng dan berhasil menghalau tiga orang datuk itu pergi meninggalkan puncak Argadumilah.

   "Mulai hari ini, puncak ini menjad tempat tinggal kita, Parmadi. Tempat ini baik sekali untuk mengheningkan dan memurnikan batin dan baik sekali bagimu untuk berlatih ilmu kanuragan yang akan kuajarkan padamu. Akan tetapi ada sesuatu yang harus dibersihkan lebih dulu agar tidak mengganggu kita. Lihat di sana itu."

   Kakek, itu menunjuk ke kiri.

   Parmadi melihat sebatang pohon randu alas berdiri tegak seperti raksasa. Pohon itu sudah tua sekali. Cabang-cabangnya seperti lengan-lengan panjang, ranting-ranting seperti jari-jarinya dan daun-daunnya seperti bulu yang lebat. Parmadi merasa bulu tengkuknya meremang. Dia hidup di dusun pegunungan di mana para pendudukya masih sangat dipengaruhi oleh tahyul dan seringkali dia mendengar cerita tentang siluman dan setan yang menjadi penghuni pohon-pohon besar dan tua seperti itu. Setiap ada halangan atau orang sakit, terutama kanak-kanak, tentu dihubungkan dengan pengaruh roh gelap atau yang disebut yang "mbaurekso" (menguasai) atau "danyang"

   Yang marah karena merasa terganggu. Dalam benak Parmadi yang sudah terisi penuh dengan cerita semacam itu, melihat pohon randu alas tua besar itu tentu saja otomatis dia lalu membayangkan bahwa pohon setua dan sebesar itu pasti ada yang "menjaganya". Karena itu, biarpun hari masih terang, dia merasa ngeri juga.

   "Eyang maksudkan.... randu alas itu?"

   Tanyanya sambil menatap pohon itu dengan alis berkerut.

   Kakek itu mengangguk.

   "Parmadi, pohon itu dihuni oleh roh penasaran. Kalau dia tidak diminta pergi dari sini, dia akan merupakan pengganggu kita. Oleh karena itu, sebaiknya engkau mempergunakan seruling gading untuk memaksa dia menjauhkan diri dari sini agar kita dapat hidup dengan tenang dan tenteram di puncak ini."

   Melihat Parmadi meragu dan tampak jerih, kakek itu tersenyum dan berkata.

   "Ragu-ragu bertindak berarti kelemahan. Hayolah kita mendekat."

   Kakek itu melangkah dan Parmadi terpaksa juga melangkah maju. Setelah tiba di bawah pohon besar itu, Resi Tejo Wening memberi isyarat kepada Parmadi sambil menunjuk ke arah Seruling Gading yang terselip d pinggang pemuda itu. Parmadi menenangkan hatinya yang tadi terguncang. Karena sudah agak matang dalam latihan, begitu pikirannya tidak berulah dan dia menyerah, hatinya menjadi tenang kembali. Tangan kanannya mencabut Seruling Gading dan setelah dia tenggelam ke dalam penyerahan total, kedua tangannya membawa suling ke bibirnya dan di lain saat terdengarlah lengking suling itu, nadanya naik turun dengan indahnya namun juga aneh, bukan merupakan tembang tertentu yang dikenal umum pada waktu itu. Mula-mula lengking suara suling itu merendah dan semakin merendah, kemudian meninggi, terus meninggi sampai menjadi lengkingan yang nadanya tinggi dan kecil sekali. Lengkingan itu makin tinggi sampai akhirnya hampir tidak terdengar oleh telinga, namun terasa getarannya yang hebat. Pohon randu alas itu mulai bergoyang-goyang seperti tertiup angin besar! Parmadi melihat ini dan mendengar suara daundaunnya berkerosakan. Jantungnya berdebar tegang dan tiba-tiba suara sulingnya menjadi kacau, getaran itu mengurang dan suara lengkingannya mulai terdengar lagi. Dia merasakan hal ini, maklum bahwa pikirannya bekerja sehingga menimbulkan rasa ngeri dan takut. Dia tenggelam lagi dalam penyerahan dan suara sulingnya kembali meninggi dan getarannya semakin kuat. Pohon itu kini terguncang keras seperti tertiup angin topan.

   Tiba-tiba saja terdengar suara keras! "Braakkkkk".!!"

   Dan pohon besar tua itupun tumbang! Pohon raksasa itu tumbang menuju ke arah Parmadi! Betapapun tenangnya, tentu saja Parmadi terkejut sekali dan hati akal pikirannya segera bekerja. Dia menjadi pucat dan takut, ngeri karena tidak melihat jalan untuk menghindar dari timpaan pohon raksasa yang tumbang itu!

   "Tenanglah!"

   Terdengar kata-kata di belakangnya dan tiba-tiba saja tubuhnya terangkat dan seperti diterbangkan dari tempat itu menjauhi pohon.

   "Brakkkkk ".. bressss....!"

   Suara gemuruh terdengar ketika pohon itu jatuh berdentum di atas tanah. Parmadi melihat dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dia telah berdiri di atas tanah, agak jauh dari pohon itu dan Resi Tejo Wening berdiri di sampingnya.

   Dengan muka pucat dan tubuh gemetar Parmadi menunjuk ke arah pohon yang tumbang itu.

   "Eyang..., apakah.... dia....dia...."

   "Dia sudah pergi, Parmadi. Tentu mencari tempat yang lebih cocok baginya. Dia tidak kuat menahan getaran suara Seruling Gading yang kautiup tadi. Dia sengaja merobohkan pohon untuk menunjukkan kemarahannya. Akan tetapi dia tidak berani bertahan dan melarikan diri. Tempat ini sekarang sudah bersih dari pengaruh kegelapan."

   "Ah, berbahaya sekali! Untung eyang dapat menyelamatkan saya dengan cepat, Apakah eyang tadi membawa saya terbang?"

   Parmadi memandang gurunya dengan kagum.

   "Mana ada manusia dapat terbang? Manusia ditakdirkan hidup tanpa sayap, tidak dapat terbang seperti burung dan mahluk bersayap lainnya. Aku hanya membawamu melompat, dan engkaupun akan dapat menguasai ilmu itu asal engkau berlatih dengan tekun."

   Kakek itu menghampir pohon yang tumbang dan tertawa.

   "Kita harus bersyukur. Roh penasaran itu dalam amukannya bahkan membantu kita menumbangkan pohon besar ini. Kita memerlukan batangnya untuk membangun sebuah gubuk di sini."

   Mereka lalu membangun sebuah gubuk sederhana namun cukup kokoh dan sejak hari itu Parmadi tinggal bersama Resi Tejo Wening di puncak Argadumilah. Latihan penyerahannya diperdalam sehingga Kekuasaan Hyang Widhi dapat manunggal dengan jiwanya setiap saat, membimbingnya dalam kehidupan ini. Di samping itu, Resi Tejo Wening juga mengajarkan dua macam gerakan ilmu bela diri. Pertama adalah gerakan silat tangan kosong yang disebut Aji Sunya Hasta (Ilmu Tangan Kosong) dan gerakan silat menggunakan seruling gading yang disebut Aji Sunyatmaka (Berjiwa Bebas). Gerakan kedua macam ilmu silat ini sederhana sekali tampaknya. Aji Sunya Hasta digerakkan dengan kedua tangan terbuka dan tampaknya seperti orang menari, akan tetapi dari kedua tapak tangan itu menyambar hawa yang dahsyat sehingga kalau Parmadi berlatih, tumbuh-tumbuhan di sekitarnya bergoyang-goyang seperti diterpa angin besar.

   Demikian pula Aji Sunyatmaka yang dimainkan dengan seruling gading itu, tampaknya seperti menari-nari akan tetapi kalau gerakan itu sampai kepada puncaknya, akan menjadi cepat dan suling itu hilang bentuknya berubah menjadi sinar kuning bergulung-gulung. Bukan saja sinar itu membawa tenaga yang dahsyat, akan tetapi juga dari gulungan sina kuning itu keluar suara melengking-lengking seolah suling itu ditiup dan dimainkan. Hebatnya, setelah Parmadi melatih diri dengan tekun, secara otomatis tubuhnya menjadi ringan dan dia dapat bergerak cepat dan dapat melompat seperti terbang saja. Selain itu juga dia setiap saat dapat mendatangkan tenaga yang amat kuat setiap kali dia butuhkan.

   Siapakah sebenarnya Resi Tejo Wening itu? Untuk mengenal riwayat kakek tua renta yang sakti mandraguna ini, mari kita pergi ke daerah Banten dan menengok keadaan sekitar tigapuluh tahun yang lalu. Ketika itu, di Gunung Sanggabuwana terdapat seorang pertapa berusia kurang lebih empatpuluh tahun. Pria yang gentur tapa ini adalah Ki Tejo Wening. Sejak muda dia memang gemar bertapa dan memperdalam soal-soal kerohanian dan aji kedigdayaan. Karena tidak suka mencampuri urusan keduniaan, maka dia tidak pernah menikah dan hidup sebagai seorang pertapa yang selalu mengasingkan diri dari keramaian orang banyak. Akan tetapi, setiap kali melihat orang menderita, dia selalu mengulurkan tangan menolong, walaupun hal itu lebih banyak dia lakukan secara sembunyi dan diam-diam. Ada kalanya dia mengobati orang sakit, mengusir wabah yang mengamuk di dusun-dusun. Ada kalanya dia melindungi orang-orang lemah dari tindasan orang-orang yang menjadi hamba nafsu. Banyak sudah orang-orang sesat dia tundukkan dengan kesaktiannya dan disadarkan dengan kebijaksanaannya. Setelah ada orang mengenal namanya, maka orang memberinya julukan Resi Tejo Wening.

   Pada suatu hari, perasaan hatinya mendorongnya untuk berkunjung ke rumah adik seperguruannya yang bernama Ki Tejo Budi yang berusia tigapuluh tahun dan tinggal di dusun Cihara yang berada di pantai Laut Kidul. Resi Tejo Wening memiliki dua orang adik seperguruan. Yang seorang lagi bernama Ki Tejo Langit. Berusia tigapuluh lima tahun. Mereka bertiga merupakan murid-murid Kyai Sapujagad, seorang pertapa di pegunungan karang tepi Laut Kidul.

   Selama bertahun-tahun, setelah tamat belajar, tiga orang kakak beradik seperguruan ini terkenal sebagai pendekar-pendekar Banten yang gagah perkasa dan menjadi penegak kebenaran dan keadilan. Akan tetapi ketika dalam usia duapuluh lima tahun Ki Tejo BUdi, yang termuda di antara mereka, bertemu dengan seorang gadis dusun yang cantik manis bernama Lasmini lalu menikah dengan gadis itu, ketiga orang kakak beradik seperguruan itu berpisah dan mengambil jalan masing-masing. Murid pertama, Ki Tejo Wening, lalu berkelana dan hidup mengasingkan diri sebagai pertapa di gunung-gunung. Murid kedua, Ki Tejo Langit, masih dikenal sebagai seorang pendekar yang terkenal di seluruh Banten. Adapun murid ketiga, Ki Tejo Budi, tinggal di dusun Cihara di pantai Laut Kidul bersama isteririya. Lima tahun telah lewat sejak mereka berpisah dan pada hari itu, Ki atau Resi Tejo Wening merasakan dorongan keinginannya untuk berkunjung ke dusun Cihara, menengok Ki Tejo Budi, adik seperguruannya yang sejak dulu amat disayangnya itu.

   Demikianlah, pada suatu hari Ki Tejo Wening yang berusia empatpuluh tahun itu menuruni Gunung Sanggabuwana lalu menggunakan jalan air Kali Cimadur yang bersumber dari gunung itu. Dia berperahu ke hilir. Perjalanan dengan perahu ini amat menyenangkan karena pemandangan amat indahnya dan juga tidak melelahkan seperti kalau melakukan perjalanan darat dan berjalan kaki.

   
   


JILID 6


   Beberapa hari kemudian dia tiba di muara di tepi laut. Dia mendarat dan melanjutkan perjalanannya ke barat, menuju dusun Cihara. Karena perjalanan menuju dusun itu melalui jalan liar yang amat sukar, maka mungkin pada besok pagi dia baru akan tiba di dusun Cihara.

   Sementara itu, mari kita menengok keadaan keluarga Ki Tejo Budi di dusun Cihara. Dusun itu cukup ramai, merupakan dusun nelayan. Penduduknya mencari nafkah dengan jalan mencari ikan di lautan dan juga menggarap tanah agak jauh dari pantai. Ki Tejo Budi hidup bersama isterinya tercinta, Lasmini dan anak mereka yang diberi nama Sudrajat dan pada waktu itu sudah berusia empat tahun. Kehidupan mereka cukup berbahagia, tidak kekurangan sandang-pangan karena Ki Tejo Budi memiliki sebidang tanah dan memiliki pula perahu dan alat penangkap ikan di lautan.

   Pada waktu itu, Ki Tejo Budi kedatangan seorang tamu yang membuat dia merasa gembira bukan main karena tamunya itu adalah Ki Tejo Langit, kakak seperguruannya yang kedua. Sudah lima tahu mereka berpisah dan setelah kini Ki Tejo Langit datang berkunjung, mereka berdua setiap hari bercakap-cakap dengan gembira. Pada hari ketiga selama kunjungannya di rumah adik seperguruannya itu, Ki Tejo Langit duduk bercakap-cakap dengan Ki Tejo Budi di ruangan depan.

   Ki Tejo Budi berwajah tampan dan bertubuh tinggi kurus, berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun. Adapun Ki Tejo Langit berusia sekitar empatpuluh tahun, wajahnya ganteng dan perawakannya tinggi besar, membuat dia tampak gagah sekali dan pantas menjadi seorang pendekar yang disegani. Selagi mereka bercakap-cakap dan Ki Tejo langit menceritakan pengalamannya selama dia malang-melintang di daerah Banten sebagai seorang pendekar, masuklah seorang wanita berusia sekitar tigapuluh tahun.

   Ayu manis merak ati, dengan tubuh yang sedang mekar, tampak menggairahkan dengan lekuk-lengkung yang sempurna. Seorang anak laki-laki berusia empat tahun mengikuti di belakangnya. Wanita itu adalah Lasmini, isteri Ki Tejo Budi dan anak itu Sudrajat, anak mereka. Lasmini memasuki ruangan membawa minuman dan makanan kecil.

   "Wah, kunjunganku ini hanya merepotkan nimas Lasmini saja!"

   Kata Ki Teja Langit sambil tertawa dan menatap wajah adik ipar yang ayu itu. Dan dia lalu membungkuk dan mengangkat Sudrajat, dipangkunya. Anak itu menurut saja karena dia. pun sudah terbiasa dengan hadirnya pria yang dia panggil pak-de (uwa) itu.

   "Ah, kakang Tejo Langit, kami tidak repot apa-apa, kok. Sekedar minuman air teh dan makanan kecil. Silakan, kakang,"

   Jawab Lasmini sambil tersenyum manis.

   "Wah, baru saja makan malam, sudah disuguhi lagi makanan. Terima kasih, nimas. Mari silakan duduk. Aku sedang menceritakan pengalamanku kepada adi Tejo Budi. Engkaupun boleh mendengarkan. Sudrajat juga agar kelak dia menjadi seorang pendekar besar pula, seperti pak denya. Ha-ha-ha!"

   Lasmini memandang kepada suaminya dan dengan senang hati dan gembira Ki Tejo Budi memberi isyarat dengan anggukan kepala. Lasmini lalu duduk di sebelah suaminya, berhadapan dengan Ki Tejo Langit. Pendekar ini lalu bercerita tentang pengalaman-pengalamannya yang hebat, menolong orang, menentang penjahat, perkelahiannya menundukkan orang-orang sesat. Lasmini memandang dengan kagum. Pria ini sungguh gagah perkasa dan pandai mencari penghasilan besar sehingga pakaiannya serba mewah, memakai cincin dan gelang emas, bahkan kemarin menawarkan banyak uang kepada Ki .Tejo Budi apabila adik seperguruan itu membutuhkan.

   "Akan tetapi, kakang Tejo Langit,"

   Lasmini berkata setelah pendekar itu berhenti bercerita.

   "Kenapa sampai sekarang andika belum juga berkeluarga? Padahal, usia andika tentu lebih tua sedikit dibandingkan suamiku yang sudah mempunyai anak berusia empat tahun. Sudah sepatutnya kalau andika menikah dan saya yakin tentu banyak perawan-perawan yang cantik jelita yang akan senang sekali menjadi sterimu."

   "Ha-ha, akupun sudah mengusulkan hal itu!"

   Kata Ki Tejo Budi.

   "Agaknya kakang Tejo Langit hendak mengikuti jejak kakang Tejo Wening, tidak akan berdekatan dengan wanita untuk selamanya."

   "Ah, sama sekali tidak, adi Tejo Budi!"

   Ki Tejo Langit membantah.

   "Aku tidak ingin menjadi seperti kakang Tejo Wening yang tidak mau berdekatan dengan wanita! Aku suka dan kagum kepada wanita, akan tetapi sampai sekarang aku belum bertemu dengan seorang wanita yang memenuhi selera hatiku. Engkau sungguh beruntung sekali, adi Tejo Budi, memperoleh seorang isteri yang cocok, cantik jelita, dan bijaksana."

   Berkata demikian, Ki Tejo Langit memandang wajah adik iparnya. Lasmini menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan, akan tetapi bibirnya tersenyum. Wanita mana yang tidak akan mekar hatinya mendengar dirinya dipuji-puji, apalagi pemujinya itu seorang pria yang gagah perkasa? Setelah berhenti bercakap-cakap, mereka memasuki kamar masing-masing. Ki Tejo Budi masuk kamarnya bersama anak isterinya sedangkan Ki Tejo Langit memasuki sebuah kamar di bagian belakang yang disediakan untuknya. Tak lama kemudian rumah itu sepi dan gelap, hanya sebuah lampu minyak yang tergantung di ruangan tengah saja yang dinyalakan.

   Malam itu hawanya dingin sekali. Bulan tigaperempat mengambang di angkasa, cahayanya, menembus kegelapan malam sehingga cuaca menjadi remang-remang. Lasmini menggigil. Ia sudah berselimut, namun masih menggigil. Ia menoleh pada suami dan anaknya. Mereka sudah tidur pulas. Ia sendiri tidak dapat tidur dan merasa gelisah. Bukan hanya hawa dingin yang membuatnya menggigil, melainkan bayangan wajah yang gagah dengan sepasang mata yang bersinar-sinar itu. Wajah Ki Tejo Langit. Tadi ketika hendak berpisah, Ki Tejo Langit menatap wajahnya. Sepasang matanya bersinar-sinar, bibirnya tersenyum. Pandang mata dan senyum itu! Jelas baginya mengandung sesuatu, mengandung rayuan, mengandung kekaguman, mengandung sanjungan dan ajakan! Dan hatinya ini".mengapa begini terguncang?

   Mengapa ada daya tarik yang luar biasa sekali menyeret hatinya, membuatnya rindu kepada pria itu, mendatangkan keinginan kuat dalam hatinya untuk bertemu? Apa artinya semua ini? Ia menoleh dan memandang wajah suaminya dalam keremangan kamar itu. Kesadarannya membisikkan bahwa perasaan hatinya itu tidak benar! Akan tetapi rangsangan itu begitu mendesaknya. Ia harus melawannya. Tidak! Tidak boleh ini, teriak hatinya. Akan tetapi, daya tarik itu terlampau kuat. Ia merasa telah dikuasai oleh kekuatan yang tak mungkin dilawannya. Seperti dalam mimpi, ia turun perlahan-lahan dari atas pembaringan. Dengan hati-hati ia melangkah ke pintu, membuka daun pintu dengar hati-hati, keluar dari kamar dan menutupkan daun pintunya kembali. Lalu, dengan jantung berdebar keras karena kesadarannya berusaha melawan gairah yang berkobar itu, ia melangkah perlahan ke arah belakang!

   Ki Tejo Langit telah berdiri di depan kamarnya. Mereka berdiri berhadapan, saling pandang. Lasmini berusaha memperkuat perlawanannya dan hendak kembali ke kamarnya, akan tetapi ketika lengan yang kokoh kuat itu merangkul pundaknya dengan sentuhan lembut sekali, tubuh Lasmini menggeliat dan terkulai lemas dalam rangkulan. Ia pun pasrah saja ketika dituntun ke dalam kamar, memandang bagaikan kehilangan semangat ketika Ki Tejo Langit rnenutup daun pintu dan memalangnya dari dalam.

   Kemudian semua itupun terjadi. Lasmini merasa bagaikan mimpi. Bahu itu demikian kokoh kuat, sentuhan jari tangan itu demikian lembut, belaian itu demikian mesra dan penuh kasih sayang. Ia menggelinjang, terbuai dan membiarkan dirinya hanyut, memejamkan mata dan merasa seperti melayang-layang.

   Menjelang fajar Ki Tejo Budi terbangun dari tidurnya. Dia tidak melihat Lasrnini. Disangkanya Lasmini tentu bangun pagi-pagi sekali untuk menyediakan sarapan pagi untuk dia dan tamunya. Lasrnini memang rajin sekali. Isteri yang amat baik dan setia. Dia turun dari pembaringan, melangkah ke pintu yang tidak terpalang lagi, membukanya dan melangkah keluar, menuju ke belakang, maksudnya hendak pergi ke bilik mandi yang berada di dekat dapur. Ketika melewati kamar Ki Tejo Langit, dia tersentak dan menghentikan langkahnya, matanya terbelalak dan dia mendekat pintu, memiringkan kepala mendekatkan telinganya pada daun pintu. Dia mendengar isak tangis lirih, isak suara wanita, dan diselingi suara pria yang nadanya menghibur.

   Sepasang alis itu berkerut, sepasang mata mencorong dan gigi dikatupkan kuat-kuat, kedua tangan mengepal. Akan tetapi Ki Tejo Budi sadar kembali dan dia menarik napas panjang berulang kali sehingga hatinya menjadi tenang kembali. Diangkatnya tangannya lalu diketuknya daun pintu itu. Suara isak dan suara pria menghibur itu terhenti tiba-tiba setelah terdengar ketukan.

   "Tok-tok-tok! Kakang Tejo Langit, dengan siapakah andika berada dalam kamar? Lasmini, engkaukah itu? Kalian bukalah pintu ini, aku tidak ingin merusaknya!"

   Daun pintu terbuka dan Lasmini keluar berlari dengan pakaian kusut dan rambul terurai sambil menutupi muka dengan kedua tangan dan sesenggukan perlahan. Ki Tejo Budi melihat kakak seperguruannya telah berdiri di belakang daun pintu yang terbuka, sikapnya menantang.

   "Semua telah terjadi, adi Tejo Budi. Tak perlu ada maaf dan penyesalan. Aku berani bertanggung jawab atas perbuatanku!"

   Kata Ki Tejo langit.

   "Baik, kakang Tejo Langit. Kita hadapi persoalan sebagai laki-laki jantan. Setelah matahari terbit, temuilah aku di pantai pasir putih di Karang Kemukus. Andika sudah kubawa ke sana kemarin. Di sana sepi orang, kita dapat bicara!"

   Setelah berkata demikian Ki Tejo Budi memutar tubuhnya hendak meninggalkan kakak seperguruannya.

   "Adi Tejo Budi. Sudah kukatakan, aku yang bertanggung jawab. Jangan ganggu Lasmini!"

   Kata Ki Tejo Langit.

   Tanpa menoleh Ki Tejo Budi menjawab.

   "Aku bukan laki-laki pengganggu wanita!"

   Dia lalu menuju ke ruangan dalam hendak kembali ke kamarnya. Akan tetapi dia melihat Lasmini duduk di ruangan dalam, menangis tanpa suara di atas sebuah bangku.

   Ki Tejo Budi mengambil tempat duduk di depan isterinya. Kembali dia menghela napas panjang tiga kali untuk menenangkan hatinya yang bergolak.

   "Sudah, tidak ada gunanya menangis lagi dan jawablah pertanyaanku dengan sejujurnya. Apakah dia memperkosamu?"

   Lasmini masih menutupi mukanya dengan kedua tangan dan mendengar pertanyaan itu, ia

   menggeleng kepala.

   "Kalau dia tidak memperkosamu, bagaimana engkau bisa berada di dalam kamarnya? Apakah kalian siang tadi sudah saling berjanji untuk bertemu di dalam kamarnya?"

   Kembali Lasmini menggeleng kepala dan terisak lirih.

   "Kalau begitu, bagaimana engkau bisa berada di sana? Jawablah sejujurnya, Lasmini, demi untuk menyelesaikan urusan ini dan..... demi anakmu, anak kita Sudrajat yang tak berdosa. Ceritakanlah!"

   Lasmini menurunkan tangannya. Wajahnya pucat, matanya membengkak merah oleh tangis dan ia berusaha sekuatnya untuk menghentikan isaknya lalu menjawab lirih.

   "Aku tidak tahu.... semua seperti dalam mimpi.... tahu-tahu aku meninggalkan kamar dan menuju ke kamarnya. Dan dia".. dia mengajakku masuk.... dan aku". aku seperti kehilangan akal". aku tidak berdaya untuk menolak.... semua seperti dalam mimpi...."

   Ia menangis lagi, lirih.

   Ki Tejo Budi mengerutkan alisnya.

   "Apakah engkau""

   Mencintanya....?"

   Lasmini menggeleng kepala akan tetapi mulutnya berkata.

   ".... aku tidak tahu".. aku".. tidak tahu". ah, kakang, aku telah bersalah besar padamu. Bunuhlah saja aku, kakang."

   "Hemm, engkau hendak melarikan diri dalam kematian, hendak melepaskan tanggung jawab? Engkau hendak membiarkan anakmu hidup merana tanpa ibu? Engkau akan menambah dosa dengan dosa yang lebih besar lagi?"

   Lasmini menangis lagi.

   "Tidak...! Tidak ....! Ah, anakku".!"

   Ia bangkit dan lari memasuki kamarnya, membanting diri di atas pembaringan dan merangkul, mendekap Sudrajat sambil menahan tangis. K Tejo Budi menghampiri kamar, melongok ke dalam, melihat keadaan Lasmini dan diapun menggeleng-geleng kepala sambil menghela napas panjang.

Sampai lama Ki Tejo Budi duduk bersila di atas bale bambu yang berada di ruangan tengah. Setelah cuaca mulai terang dia turun dari bale-bale menuju ke bilik mandi. Ketika melewati kamar Ki Tejo Langit, kamar itu telah kosong. Ki Tejo Langit telah pergi. Ki Tejo Budi sama sekali tidak khawatir kalau kakak seperguruannya itu melarikan diri. Dia mengenal siapa kakak seperguruannya itu dan dia merasa yakin bahwa kakak sepergurutnnya itu pasti akan menemui dia di pasir putih Karang Kemukus itu. Dia membersihkan diri, berganti pakaian lalu berangkat meninggalkan rumah. Dia tidak membawa senjata apapun. Gurunya, guru mereka bertiga memang mengajarkan ilmu bela diri tanpa senjata, hanya menggunakan anggauta badan, dan kalau perlu, segala macam benda bisa saja menjadi senjata yang ampuh bagi mereka. Dengan hati mantap dan langkah tegap Ki Tejo Budi meninggalkan dusun Cihara menuju ke seatan, ke tepi Laut Kidul. Kemudian, setelah tiba di pantai, dia menyusuri tee laut menuju ke timur, ke Karang Kemuk di mana terdapat pantai berpasir puti yang indah dan tempat ini tak pernah dikunjungi nelayan karena ombak di pantai ini terlalu besar sehingga tidak mungkin berperahu dan mencari ikan di daerah itu.

   Matahari telah muncul dari balik buku karang di timur dan sinar matahari pagi yang lembut membuat air laut menyilangkan karena air memantulkan cahaya matahari. Ketika Ki Tejo Budi sudah tiba situ dia melihat Ki Tejo Langit sudah duduk di atas sebuah batu karang. Ketika melihat adik seperguruannya datang, dia pun bangkit dan menyambut dan kini keduanya berdiri berhadapan di atas pantai pasir putih. Tidak ada orang lain di situ. Hanya gelombang laut yang bergulung-gulung menjadi saksi pertemuan yang menegangkan ini.

   "Nah, adi Tejo Budi. Sekarang kita sudah saling berhadapan, jantan sama jantan. Seperti kukatakan tadi, aku siap untuk mempertanggungjawabkan perbuatanku semalam!"

   Kata Ki Tejo Langit.

   "Kakang Tejo Langit. Apa isi pertanggungan jawabmu itu?"

   Tanya Ki Tejo Budi, suaranya tenang saja tidak mengandung kemarahan. Biarpun marah dan penasaran namun dia dapat menyimpannya dalam hari dan tidak tampak pada muka dan sikapnya.

   "Terserah kepadamu, adi Tejo Budi. Apapun yang kaukehendaki, aku siap. Kalau Engkau hendak melepas Lasmini, aku akan menjadikan ia isteriku dan Sudrajat menjadi anakku. Aku akan membawa mereka pergi dari Cihara. Akan tetapi kalau engkau menghendaki lain, membuat perhitungan dengan mengadu nyawa, akupun siap. Terserah apa yang kaukehendaki sekarang. halus boleh, kasarpun tidak akan kuhindari!"

   "Engkau hendak menjadikan Lasmini sebagai isterimu? Hemm, apa engkau yakin bahwa ia akan mau menjadi isterimu?"

   "Aku yakin ia pasti mau karena yang terjadi semalam membuktikan bahwa kami saling mencinta."

   "Saling mencinta?"

   Ki Tejo Budi mendengus.

   "Engkau licik dan curang, kakang Tejo Langit. Engkau semalam telah mempergunakan aji pelet pengasihan sehingga Lasmini tidak berdaya. Apa kaukira aku tidak tahu?"

   "Tidak kusangkal! Memang aku menggunakan Aji Pengasihan Sambung Sih! Dan engkaupun mengenal aji itu karena kita pernah sama-sama mempelajarinya! Engkau tahu benar bahwa aji itu tidak akan mempan terhadap seorang wanita kalau wanit itu tidak mempunyai perasaan suka atau tidak tertarik kepada kita! Aji itu hanya sebagai penyambung kasih yang terpendam, membuka rasa kasih itu sehingga wanita itu berani menuruti dorongan kasihnya. Nah, kalau aku berhasil dengan Aji Pengasihan Sambung Sih terhadap Lasmini berarti bahwa diam-diam Lasmini mencintaku!"

   "Hemm, aku yakin ia tidak akan sudi menuruti kehendakmu yang mesum dan kotor itu kalau engkau tidak mempergunakan aji pengasihan itu. Kakang Tejo Langit! Engkau telah menodai isteriku, berarti engkau telah menghinaku, menginjak-injak kehormatanku. Sudah tentu saja aku tidak dapat tinggal diam saja!"

   ''Hemm, begitukah? Lalu apa kehendakmu sekarang?"

   "Kita selesaikan secara jantan. Engkau atau aku yang akan menggeletak tanpa nyawa di pesisir ini!"

   Kata Ki Tejo Budi.

   Mendengar ini, Ki Tejo Langit segera cancut tali wondo, mengikatkan ujung sarungnya, menggulung lengan bajunya, bersiap-siap untuk bertanding.

   "Babo-babo, adi Tejo Budi! Kalau itu yang kaukehendaki, silakan! Kita sama-sama murid Kyai Sapujagad, mari kita lihat siapa di antara kita yang lebih banyak menyerap ilmu dari guru kita. Silakan mulai!"

   Kedua orang pendekar itu lalu siap untuk saling serang. Mereka membuat gerakan pembukaan yang sama, keduanya menekuk kaki dan tangan dengan sikap seperti seekor kera atau monyet besar sedang berlaga. Ternyata keduanya telah siap untuk bergerak dengan ilmu silat Wanara Sakti (Kera Sakti) yang merupakan ilmu pencak aliran gurunya. Tiba-tiba Ki Tejo Budi mengeluarkan pekik yang dahsyat. Akan tetapi Ki Tejo Langit mengeluarkan pekik yang sama. Dua suara gemuruh itu menjadi satu dan menggetarkan pesisir itu.

   Itulah Aji Guruh Bumi, aji kedigdayaan dahsyat yang terkandung dalam pekik itu. Teriakan ini saja sudah merupakan serangan dahsyat dan lawan yang kurang kuat, akan dapat digetarkan jantungnya sehingga roboh hanya oleh teriakan ini saja! Keduanya terhuyung ke belakang beberapa langkah ketika saling menerima serangan getaran suara itu. Ternyata kekuatan tenaga sakti mereka yang terkandung dalam pekik dahsyat itu berimbang.

   Melihat bahwa dengan Aji Guruh Bumi dia tidak dapat mengalahkan kakak seperguruannya, Ki Tejo Budi lalu menyerang dengan pukulan dan tendangan dalam ilmu silat Wanara Sakti. Ki Tejo Langit menyambut dengan ilmu silat yang sama sehingga terjadilah perkelahian yang seru. Akan tetapi karena keduanya sudah menguasai ilmu silat yang sama itu dengan hampir sempurna, maka dengan jurus apapun mereka diserang, masing-masing dapat menghindar dengan baik. Keduanya mengerahkan tenaga dan kecepatan gerakan sehingga bentuk tubuh kedua orang itu lenyap. Yang tampak hanya dua bayangan saja yang saling desak, saling serang dan saling belit.

   Akan tetapi, bagi mereka perkelahian itu seperti latihan saja karena keduanya sudah hafal benar akan gerakan lawan.

   "Hyaaattt....!"

   Ki Tejo Langit menyerang dengan dahsyat. Kedua tangannya menyambar dari atas ke arah kedua pelipis lawan. Namun Ki Tejo Budi sudah siap.

   "Haiiittt !"

   Diapun berseru dan menggerakkan kedua tangan sambil mengerahkan tenaga sakti untuk menangkis.

   "Dessss....!"

   Dua pasang lengan untuk kesekian kalinya beradu, akan tetapi pertemuan sekali ini amat kuatnya sehingga keduanya terdorong mundur dan keduanya agak meringis karena merasa betapa kedua lengan mereka nyeri sekali. Seluruh lengan mereka, dari jari sampai ke siku, sudah gosong-gosong karena seringnya beradu. Perkelahian itu berjalan seimbang dan seru sekali. Saling terjang, saling tampar, saling jotos dan saling cengkeram, diseling mencuatnya kaki yang saling tendang. Akan tetapi semua serangan kedua pihak dapat dihindarkan lawan. Hampir dua jam mereka sudah bertanding. Tubuh mereka sudah basah oleh keringat, napas mereka mulai terengah-engah, akan tetapi belum terlihat siapa yang akan keluar sebagai pemenang.

   Keduanya sudah marah dan penasaran sekali. Kedua orang kakak beradik itu masih mempunyai sebuah aji pamungkas. Nama ilmu ini adalah Aji Margo Pati (Jalan Maut), sebuah aji pukulan jarak jauh yang amat dahsyat. Siapapun yang menjadi lawan, kalau dia tidak memiliki tenaga sakti yang jauh lebih kuat daripada si penyerang, tentu akan tewas dihantam Aji Margo Pati ini! Akan tetapi aji ini pun amat berbahaya bagi si penyerang sendiri. Kalau lawan yang diserang memiliki tenaga yang lebih besar, maka tenaga pukulannya akan membalik dan besar sekali kemungkirannya si penyerang akan tewas sendiri!

   Mereka berdua memiliki kekuatan tenaga sakti yang berimbang. Kalau mereka mengeluarkan aji pamungkas itu, besar bahayanya keduanya akan tewas sampyuh! Akan tetapi agaknya kedua orang itu sudah nekat dalam nafsu mereka untuk saling bunuh. Setelah kedua lengan mereka kembali beradu yang mengakibatkan mereka terhuyung mundur sehingga mereka kini berdiri berhadapan dalam jarak empat meter, keduanya lalu membuat gerakan menyembah, lalu mengembangkan kedua lengan ke atas, diturunkan perlahan dalam bentuk sembah lagi, kemudian kedua tangan turun ke depan pusar dengan jari tangan terbuka. Inilah gerakan pembukaan dari Aji Margo Pati yang agaknya akan mereka pergunakan untuk saling menyerang! Kemudian dengan gerakan lambat, kedua tangan yang terbuka itu dari depan pusar mendorong ke depan dan dari mulut dua orang itu terlontar teriakan nyaring.

   "Aji Margo Pati.... !!"

   "Jagad Dewa Bathara....!"

   Pada saat itu berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Ki Tejo Wening yang berpakaian serba putih itu sudah berdiri di antara kedua orang yang mengadu Aji Margo Pati itu! Ki Tejo Wening mengembangkan kedua lengannya, yang kiri menyambut pukulan Kk Tejo Budi, yang kanan menyambut pukulan. Ki Tejo Langit, kedua telapak tangannya terbuka.

   "Blarrrrr....!"

   Hebat sekali pertemuan tenaga sakti yang disambut oleh Ki Tejo Wening itu. Ki Tejo Budi dan Ki Tejo Langit merasa tenaga pukulan mereka seperti bertemu dengan air dan melihat bahwa kakak seperguruan pertama mereka yang berdiri di antara mereka dan menyambut kedua pukulan, mereka cepat melompat ke samping dan memandang dengan mata terbelalak. Dua orang itu terhindar dari malapetaka karena tenaga sakti Margo Pati mereka bertemu dengan tenaga sakti lunak yang dikuasai Tejo Wening sehingga seolah tenaga pukulan mereka tenggelam, Akan tetapi mereka melihat kakak seperguruan pertama mereka berdiri limbung dan akan roboh.

   Cepat kedua orang itu melompat dan merangkul tubuh Ki Tejo Wening. Mereka berdua membantu Ki Tejo Wening untuk duduk bersila di atas pusir. Tanpa diminta Ka Tejo Budi duduk bersila menghadap Ki Tejo Wening dan Ki Tejo Langit duduk bersila di belakang kakak seperguruannya itu. Kedua orang ini lalu menempelkan telapak tangan mereka ke dada dan punggung Ki Tejo Wening dan keduanya mengerahkan tenaga sakti, disalurkan ke tubuh kakak seperguruan itu untuk membantunya memulihkan keadaan dalam tubuh yang tadi terguncang hebat. Hlawa yang hangat mengalir lewat telapak tangan kedua orang itu, memasuki tubuh Ki Tejo Wening. Perlahan-lahan, pernapasannya yang tadinya sesak menjadi lega, wajahnya yang pucat menjadi kemerahan lagi.

   "Sudah cukup,"

   Katanya dan kedua orang adik seperguruannya itu melepaskan tempelan tangan mereka dari dada dan punggung. Mereka bertiga duduk bersila di atas pasir putih, berhadapan dan saling pandang. Ki Tejo Wening, biarpun hanya kakak seperguruan, namun memiliki tingkat kepandaian yang paling tinggi dan wataknya yang bijaksana mendatangkan wibawa yang kuat dan kedua adik seperguruannya itu menganggapnya sebagai pengganti guru mereka dan keduanya merasa segan dan hormat sekali kepadanya. Kini mereka berdua duduk sambil menundukkan muka, maklum bahwa mereka tentu akan mendapat teguran dari kakak seperguruan mereka itu.

   "Adi Tejo Langit dan Tejo Budi, roh-roh sesat apakah yang memasuki batin kalian sehingga kalian berkelahi dan berusaha keras untuk saling membunuh? Lupakah kalian bahwa kalian adalah kakak beradik seperguruan yang seharusnya saling membela dan melindungi, bukan saling bunuh?"

   Kedua orang itu saling pandang, lalu menunduk kembali. Tejo Budi menghela napas panjang lalu berkata.

   "Kakang Tejo Weriing, kalau aku menceritakan persoalan antara kakang Tejo Langit dan aku, bukan berarti bahwa aku akan mengadu dan tumbak-cucukan (suka mengadukan keburukan orang lain)."

   "Tidak, adi Tejo Budi, asal yang kauceritakan itu yang sebenarnya. Ataukah engkau yang akan bercerita lebih dulu, adi Tejo Langit?"

   Tanya Ki Tejo Wening sambil memandang kepada adik seperguruannya itu.

   Ki Tejo Langit tetap menundukkan mukanya dan berkata.

   "Biarlah adi Tejo Budi yang bercerita lebih dulu."

   "Nah, adi Tejo Budi. Sekarang berceritalah dengan sejujurnya agar aku dapat mempertimbangkan urusan di antara kalian, jangan ragu karena bukankah kita bertiga adalah saudarasaudara sendiri?"

   Ki Tejo Budi menghela napas panjang lalu berkata.

   "Begini, kakang Tejo Wening. Tiga hari yang lalu kakang Tejo Langit datang berkunjung dan menjadi tamu kami sekeluarga. Aku, isteriku Lasmini dan anak kami Sudrajat menerimanya dengan hati dan tangan terbuka. Dia kami beri sebuah kamar untuk tidur selama dia menjadi tamu kami. Akan tetapi malam tadi"."

   Ki Tejo Budi meragu, merasa sukar untuk melanjutkan ceritanya yang amat menyinggung kehormatannya itu.

   "Tadi malam ada apa, adi Tejo Budi?"

   "Malam tadi.... kakang Tejo Langit mempergunakan pelet aji pengasihan, mengguna-gunai Lasmini dan menjinai isteriku itu dalam kamarnya....

   "

   Ki Tejo Wening mengerutkan alisnya dan menoleh kepada Ki Tejo Langit.

   "Adi Tejo Langit! Benarkah apa yang diceritakan oleh adi Tejo Budi itu?"

   Ki Tejo Langit mengangkat mukanya dan memandang kepada kakak seperguruannya dengan tabah.

   "Hanya benar sebagian kakang."

   "Benar sebagian bagaimana? Hayo ceritakan apa yang sebenarnya terjadi!"

   "Begini, kakang Tejo Wening. Memang benar aku menjadi tamu adi Tejo Budi, dan tinggal di rumahnya selama tiga hari. Selama itu aku melihat betapa pandang mata Lasmini, isterinya, yang ditujukan kepadaku mengandung bunga api asmara. Terus terang saja, aku sendiri baru sekali ini jatuh hati kepada seorang wanita. Aku mencinta Lasmini. Karena itu aku malam tadi menggunakan Aji Pengasihan Sambung Sih, untuk menguji benar tidaknya sangkaanku terhadap Lasmini itu. Kalau dia tidak mencintaku, tentu ajiku itu tidak akan mempan. Engkau juga tahu akan hal itu, kakang. Nah, aku dan Lasmini memang melakukan hubungan, akan tetapi atas dasar saling mencinta. Aku mengakui hal ini terus terang kepada adi Tejo Budi. Kalau dia mau melepaskan Lasmini, aku akan mengambilnya sebagai isteriku dan Sudrajat akan kujadikan anakku. Akan tetapi adi Tejo Budi memilih mengadu nyawa denganku seperti yang kau lihat tadi."

   Ki Tejo Wening menoleh kepada Ki Tejo Budi.

   "Adi Tejo Budi, benarkah yang diceritakan adi Tejo Langit tadi?"

   "Benar, kakang. Akan tetapi aku merasa harga diriku diinjak-injak dan kehormatanku dihina oleh kakang Tejo Langit. Oleh karena itu aku menantangnya untuk menyelesaikan urusan ini dengan mengadu nyawa."

   Ki Tejo Wening menarik napas panjang dan memandang kepada kedua orang adik seperguruannya itu bergantian. Kemudian dia berkata, suaranya lembut namun berwibawa.

   "Adikku berdua, sekarang dengarlah baik-baik. Adi Tejo Langit, engkau telah merusak pagar ayu. Engkau bersalah karena engkau tidak mampu menguasai nafsumu sendiri sehingga engkau tega mengganggu adik iparmu sendiri!"

   Ki Tejo Langit menunduk dan berkata lirih.

   "Aku telah khilaf, kakang."

   "Betapapun juga, hal itu telah terjadf Adi Tejo Budi, bagaimanapun, kesalahan itu bukan dilakukan oleh adi Tejo Langit sendiri. Isterimu Lasmini itu juga bersalah. Kesetiaannya kepadamu goyah karena dia tertarik kepada pria lain. Seandainya tidak goyah, tentu dia tidak akan mempan dipengaruhi Aji Pengasihan Sambung Sih. Dan engkau sendiri telah bersikap terburu nafsu, mengajak adi Tejo Langit untu bersabung nyawa."

   "Aku terlalu menuruti perasaan marah kakang."

   Ki Tejo Budi mengaku.

   "Adi Tejo Budi, andaikata engkau menang dalam adu nyawa dan adi Tejo Langit tewas, apakah hal itu akan dapat mendamaikan. hatimu? Apakah hubunganmu dengan Lasmini akan dapat pulih kembali seperti sebelumnya? Ingat, perjodohan hanya akan terlaksana dengan baik kalau kedua pihak menghendakinya, kalau kedua pihak mempunyai rasa cinta satu sama lain. Isterimu sudah tertarik kepada adi Tejo Langit, berarti cintanya kepadamu sudah mulai luntur. Engkau tidak akan dapat memaksanya untuk mencintaimu. Yang tertinggal hanya ketidakcocokan dengannya dan penyesalan bahwa engkau telah membunuh adi Tejo Langit."

   "Sekarang aku baru menyadari hal itu, kakang."

   "Dan engkau, adi Tejo Langit. Bayangkan, kalau engkau berhasil membunuh adikmu Tejo Budi, apa kaukira akan dapat hidup berbahagia dengan Lasmini? Mungkin ia berbalik membencimu, dan anaknyapun akan membencimu karena engkau membunuh ayahnya. Dan akhirnya engkau akan hidup menderita dan merasa menyesal bahwa engkau telah membunuh adik seperguruanmu dan merampas isterinya. Karena kalau engkau membunuhnya, berarti engkau telah menggunakan kekerasan untuk merampas isteri orang lain dengan membunuh suaminya. Apakah engkau yang mengaku seorang pendekar, akan melakukan perbuatan sekeji dan sejahat itu?"

   "Maafkan aku, kakang Tejo Wening. Sekarang aku menyadari kesalahanku dan aku akan menurut apa yang akan kauputuskan."

   "Bukan aku yang memutuskan. Aku hanya menjadi juru pemisah, pendamai dan penengah. Yang berhak memutuskan adalah adi Tejo Budi, karena dalam hal in dialah yang merasa disakiti hatinya. Nah adi Tejo Budi, sekarang bagaimana pendapat dan keputusanmu menghadapi urusan ini?"

   Sampai lama Ki Tejo Budi diam saja kedua matanya terpejam, lalu dia bergumam lirih.

   ""..ikatan.... ikatan kedaginan""ikatan duniawi, semua itu hanya membawa duka nestapa...."

   Ki Tejo Wening mengangguk-angguk.

   "Syukurlah kalau engkau akhirnya dapat merasakan akan hal itu, adi Tejo Budi. Mudah-mudahan engkau akan dapat mengambil keputusan yang bijaksana."

   Ki Tejo Budi membuka kedua matanya menoleh kepada Ki Tejo Langit dan bertanya, suaranya tenang.

   "Kakang Tejo Langit, maukah engkau berjanji dengan sunguh hati bahwa engkau akan mengambil Lasmini menjadi isterimu dan kelak tidak akan menyia-nyiakannya?"

   "Aku berjanji akan memperisteri Lasmini dan tidak akan menyia-nyiakannya!"

   Kata Ki Tejo Langit dengan suara lantang dan mantap.

   "Dan bagaimana dengan puteramu, adi Tejo Budi?"

   Tanya Ki Tejo Wening.

   "Mengenai Sudrajat, karena dia anak kami berdua, maka aku akan membicarakan dengan ibunya,"

   Jawab Ki Tejo Budi.

   "Bagus! Memang demikianlah sebaiknya. Nah, kurasa urusan di antara kalian telah dapat diselesaikan dengan baik, dan kuharap kalian tidak saling mendendam. Marilah kita ke rumahmu, adi Tejo Budi, untuk menyelesaikan urusan ini sampai tuntas."

   Tiga orang kakak beradik seperguruan itu lalu berjalan menuju dusun Cihara. Ketika mereka memasuki rumah, mereka mendapatkan Lasmini duduk di. atas bale-bale di ruangan dalam sambil memangku dan merangkul Sudrajat yang berusia empat tahun. Wanita ini tampak pucat, pakaiannya kusut, rambutnya terurai. Ketika melihat suaminya masuk bersama dua orang kakak seperguruan suaminya, ia memandang seperti seekor kelinci bertemu harimau dan ia merangkul puteranya lebih ketat lagi, seolah khawatir kalau-kalau orang akan mengambil anaknya.

   Dengan isyarat tangannya Ki Tejo Budi mempersilakan dua orang kakak seperguruannya duduk dan mereka bertiga duduk di atas bangku dalam ruangan itu. K Tejo Budi memandang kepada Lasmin yang tampak ketakutan. Diam-diam dalam hatinya dia merasa iba kepada wanita itu. Bagaimana dia dapat menyalahkan kalau isterinya tertarik kepada seorang pria segagah Ki Tejo Langit? Semua wanita tentu akan tertarik dan kagum. Dan dia yakin bahwa isterinya, betapapun kagumnya tidak akan melakukan penyelewengan kalau saja tidak terdorong oleh pengaruh Aji Pengasihan Sambung Sih.

   "Lasmini,"

   Katanya lirih penuh kesabaran.

   "Kami telah membicarakan tentang peristiwa semalam dan kami mengambil keputusan yang dirasa baik bagi semua pihak. Mulai hari ini, engkau akan hidup bersama kakang Tejo Langit dan menjadi isterinya."

   Mendengar ucapan suaminya itu, Lasmini yang matanya masih terbelalak ketakutan memandang kepada suaminya, lalu kepada Ki Tejo Langit dan ia tidak mengeluarkan sepatah katapun karena ia tidak tahu harus bicara apa. Rasa menyesal dan malu membuat ia seolah merasa ingin amblas ke dalam bumi agar jangan bertemu dengan siapapun.

   "Lasmini, aku sudah rela sepenuhnya dan semoga engkau akan hidup berbahagia bersama kakang Tejo Langit. Biarlah aku yang akan merawat dan mendidik Sudrajat,"

   Kata pula Ki Tejo Budi, sambil memandang kepada bocah itu yang mendengarkan percakapan mereka dengan muka tidak mengerti apa yang terjadi dan apa yang sedang dibicarakan.

   Mendengar ucapan itu, tiba-tiba Lasmini mendekap anaknya semakin erat, matanya terbelalak memandang kepada Ki TeJo Budi dan ia berkata.

   "Tidak...! Tidak...! Kalau anakku hendak diambil dariku, bunuh dulu aku!"

   Ki Tejo Budi tertegun dan dia menoleh kepada Ki Tejo Wening, seolah minta pendapatnya.

   "Semoga Hyang Widhi Wasa mengampuni kita semua....!"

   Ki Tejo Wening berucap lirih.

   "Seorang bijaksana mendahulukan kepentingan orang lain dan menahan keinginan hati sendiri."

   Ki Tejo Budi mengangguk perlahan, lalu menoleh kepada Ki Tejo Langit dan berkata,

   "Kakang Tejo Langit, maukah engkau berjanji sekali lagi bahwa engkau akan merawat dan mendidik Sudrajat seperti kepada anakmu sendiri?"

   Wajah Ki Tejo Langit berseri dan dia segera bangkit dari bangku, menghampiri Lasmini dan dengan lembut dia mengambil anak itu dari pangkuan wanita itu mengangkatnya ke atas lalu memondongnya.

   "Sudrajat, engkau akan kudidik agar kelak menjadi seorang pendekar!"

   Anak itu yang tadinya agak ketakutan didekap ketat ibunya, kini tertawa karena tadi diangkat

   tinggi, lalu berkata.

   "Aku suka menjadi pendekar!"

   Ki Tejo Langit tertawa lalu berkata kepada Ki Tejo Budi.

   "Adi Tejo Budi, aku berjanji akan mendidik Ajat seperti anakku sendiri. Biarlah kakang Tejo Wening yang menjadi saksinya!"

   Ki Tejo Budi lalu bangkit berdiri dati menarik napas panjang.

   "Semuanya sudah beres sekarang. Bebas sudah Tejo Budi dari semua ikatan. Kakang Tejo Langit, mulai hari ini Lasmini menjadi isterimu, Ajat menjadi puteramu, dan rumah ini seisinya menjadi milikmu. Semoga Gusti Yang Maha Suci memberkahi engkau sekeluarga!"

   Terkejut dan heran juga hati Ki Tejo Langit mendengar ini.

   "Eh, adi Tejo Budi! Lalu engkau hendak pergi ke mana?"

   Ki Tejo Budi tersenyum, senyum tenang, tidak membayangkan kedukaan karena hatinya memang sudah rela melepaskan itu semua. Dia menoleh kepada Ki Tejo Wening.

   "Kakang Tejo Wening, maukah engkau membawaku dan membuka mataku untuk melihat kenyataan dalam segala kepalsuan yang terdapat dalam dunia ini?"

   Ki Tejo Wening bangkit berdiri.

   "Marilah, adi Tejo Budi, marilah kita memasuki Alam, belajar dari Alam, bersatu dengan Alam dan mempelajari hakekat kehidupan ini."

   Dua orang kakak beradik seperguruan itu lalu meninggalkan ruangan itu, terus keluar dari rumah, berjalan seenaknya d dengan tenang sekali. Setelah berjalan puluhan langkah, terdengar isak tangis di belakang mereka diselingi suara memelas.

   "AMPUNI aku"...Ahh".. hu-hu-huu.... ampuni aku"".!"

   Mendengar ini, Ki Tejo Budi menahan langkahnya, memutar tubuhnya dan dia melihat Lasmini berlutut di luar pintu rumah, menangis dan menyembah-nyembah ke arahnya. Ki Tejo Langit yang memondong Sudrajat berdiri menghibur wanita itu. Ki Tejo Budi mengangkat kedua tangannya seperti memberi berkah, seperti menyatakan ketulusan hatinya bahwa dia sudah sejak tadi memaafkan bekas isterinya, rela kehilangan mereka semua, isterinya, anaknya, rumah dan tegal sawahnya. Kemudian dia memutar tubuhnya dan melangkah cepat untuk menyusul Ki Tejo Wening yang sudah berjalan terus. Ki Tejo Langit dan Lasmini mengikuti bayangan dua orang itu sampai lenyap di sebuah tikungan. Kemudian Ki Tejo Langit mengangkat Lasmini bangun dan memapahnya masuk ke dalam rumah.

   Semenjak saat itu, selama bertahun-tahun Ki Tejo Budi memperdalam ilmu-ilmunya di bawah bimbingan kakak seperguruannya itu. Bukan hanya ilmu kanuragan bahkan lebih dari itu, ilmu-ilmu tentang kehidupan, terutama sekali tentang kejiwaan yang disebut Aji Tirta Bantala, mengalir seperti tirta (air) dan pasrah menyeret seperti bantala (bumi), bersatu dengan kekuasaan Sumber segala sumber, sangkan paraning dumadi, mengawali yang terawal dan mengakhiri yang terakhir, bahkan berada di luar jangkauan pengaruh awal dan akhir. Menyerah dan pasrah kepada kekuasaan Yang Tak Terbayangkan, Yang Tak Tergambarkan, Tak Terukur, melampaui Kekekalan dan Keabadian.

   Ki Tejo Wening sendiri makin jelas melihat bahwa sumber segala kesengsaraan dunia adalah nafsu-nafsu daya rendah yang menguasai badan dan hati akal pikiran, menciptakan si-aku. Si-aku ini mengikatkan diri dengan segala kenikmatan dan kesenangan kedagingan dan duniawi sehingga nenjadi semakin besar. Makin besar kesenangan yang dikejar si-aku, semakin besar pula kedukaan yang dideritanya. Karena menyadari akan semua ini, setelah selama beberapa tahun membimbing Ki Tejo Budi, akhirnya kedua orang kakak beradik seperguruan ini mengambil jalan sendiri-sendiri dan hidup sebagai pengembara yang berkelana.

   Duapuluh lima tahun sejak peristiwa itu, dalam usianya yang ke tujuhpuluh tahun, Ki Tejo Wening yang berkelana sampai di puncak Argadumilah di Gunung Lawu, bertemu dengan tokoh-tokoh yang menentang Mataram seperti yang diceritakan di bagian pertama kisah ini. Kemudian dia bertemu pemuda yang berjodoh menjadi muridnya dan bersama Parmadi, pemuda itu, kemudian menetap di puncak Argadumilah di mana dia menggembleng Parmadi dengan ilmu-ilmu yang dikuasainya. Demikianlah sedikit riwayat kakek sakti mandraguna Ki Tejo Wening yang kini menjadi guru Parmadi dan bersama pemuda itu tinggal di puncak Argadumilah di Gunung Lawu.

   Waktu atau kala itu digambarkan sebagai Sang Bathara Kala, dewa berujud raksasa besar sekali mengerikan dalam kisah pewayangan. Dan sesungguhnyalah, seperti dewa raksasa Sang Bethoro Kolo, sang waktu melahap segala apa yang berada di dunia ini. Segala sesuatu akhirnya lenyap dicaplok sang waktu. Yang tadinya kecil tak berdaya tumbuh menjadi besar kuat bersama waktu. Kemudian yang besar kuat ini berubah kembali menjadi tua ringkih tak berdaya. Yang terakhir Sang Waktu akan mencaploknya sama sekali sehingga lenyap.

   Segala macam kesenangan akan lenyap ditelan waktu, demikian pula tiada duka cita yang tanpa akhir, karena akhirnya akan habis pula dicaplok waktu. Anehnya, kalau diperhatikan, waktu merayap seperti siput tua, akan tetapi sekali kita lengah, sang waktu akan menyambar secepat kilat sehingga waktu bertahun-tahun tampak baru beberapa hari saja!

   
😗

   
Demikian pula dengan keadaan di puncak Argadumilah di mana guru dan murid itu hidup. Tanpa terasa lima tahun telah lewat sejak mereka tiba di puncak itu. Parmadi telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia duapuluh tiga tahun. Tubuhnya tinggi tegap. Wajahnya tampan gagah namun gerak-geriknya lemah lembut. Bibirnya selalu tersenyum ramah dan sabar penuh pengertian. Sepasang matanya bersinar lembut namun terkadang mencorong penuh wibawa. Ki Tejo Wening atau Resi Tejo Wening masih tampak seperti lima tahun yang lalu. Tidak tampak lebih tua atau lemah walaupun usianya kini sudah tujuhpuluh lima tahun. Pada suatu pagi, Resi Tejo Wening tampak duduk bersila di atas bale-bale yang berada di luar pondoknya. Parmadi duduk bersila di atas tanah beralaskan sepotong papan.

   "Parmadi, aku memanggilmu untuk memberi tahu bahwa hari ini tiba saatnya kita harus saling berpisah dan engkau harus turun gunung untuk mulai berdarma bakti kepada manusia dan dunia pada umumnya kepada bangsa dan nusa pada khususnya memanfaatkan segala macam ilmu yang telah kaupelajari selama lima tahun di sini. Engkau tentu masih ingat akan semua wejangan yang pernah kuberikan kepadamu tahu bahwa segala macam ilmu dan kepandaian itu tiada gunanya tanpa dipraktekkan dalam tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Apa artinya segala pengetahuan tentang kebaikan kalau kebaikan itu sendiri tidak mewarnai tindak-tandukmu? Semua itu telah kauketahui dan engkau masih ingat semuanya, bukan?"

   "Saya masih ingat, eyang dan semoga saya tidak akan pernah melupakan semua ajaran dan wejangan yang selama ini eyang berikan kepada saya."

   "Ada satu hal yang aku ingin engkau selalu ingat dan menyadari kenyataan bahwa dalam kehidupan di dunia ini, perbuatan manusia itu hanya dapat disebut baik atau buruk menurut penilaian orang, dan penilaian ini selalu didasari keadaan hati dan kepentingan si penilai. Karena itu tidak ada kebaikan atau keburukan mutlak. Dalam kebaikan terdapat keburukan dan dalam keburukan terdapat kebaikan."

   Parmadi mengangguk-angguk.

   "Lalu, apakah kebaikan mutlak itu, eyang."

   "Yang mutlak baik dan sempurna hanyalah Gusti Yang Maha Baik dan Maha Sempurna. Akan tetapi ada suatu kebenaran hakiki, yaitu Kasih! Apa bila ada Kasih hidup di dalam hati sanubarimu, Kasih sejati, Kasih murni, Kasih yang merupakan karunia Tuhan, maka apapun yang kauperbuat, pasti benar dan baik adanya! Tuhan Maha Kasih, maka apabila ada Kasih bernyala dalam hatimu, Kuasa Tuhan akan selalu membimbingmu. Karena itu, berdoalah selalu supaya Tuhan memberi kemampuan kepadamu untuk membuka pintu hatimu, agar sinar kasih-Nya yang suci dapat masuk dan manunggal dengan jiwamu."

   Parmadi menyembah.

   "Akan saya teringat pesan eyang."

   "Nah, sekarang engkau berangkatlah, Parmadi. Pergilah berkelana dan jangan melupakan tugas yang dipesankan oleh mendiang ayahmu. Ayahmu itu tentu seorang yang setia kepada Mataram, maka sebaga puteranya, engkau berkewajiban untuk melanjutkan pengabdiannya kepada Kerajaan Mataram itu. Pergilah engkau ke Mataram dan belalah nusa dan bangsamu. Akan tetapi ingat, pengabdianmu harus tulus ikhlas bukan dengan pamrih meraih kedudukan tinggi dan kemuliaan bagi dirimu sendiri. Kalau demikian halnya, maka pengabdianmu itu palsu, dinodai oleh kepentingan diri pribadi yang hanya mempergunakan pengabdian dan pengorbanan sebagai kedok dan sarana untuk mendapatkan keinginan pribadi."

   "Akan tetapi, eyang. Maafkan pertanyaan saya. Eyang sendiri hendak pergi ke manakah?"

   Resi Tejo Wening tersenyum.

   "Aku sudah tua dan ringkih tubuhku, hendak pergi ke mana lagi?"

   Parmadi memandang penuh harapan.

   "Kalau saya mempunyai kesempatan dan merasa kangen kepada eyang, bolehkah saya datang menghadap eyang di sini? Eyang tentu masih berada di sini, bukan?"

   "Aku tidak tahu apakah aku berada di sini atau di mana. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu yang akan menentukannya. Akan tetapi tentu saja engkau boleh datang ke puncak ini sewaktu-waktu dan kalau memang ada jodoh tentu saja kita dapat saling berjumpa."

   Biarpun ucapan gurunya itu kurang meyakinkan, namun membuat hati Parmadi lega. Dia lalu berkemas, tidak lupa membawa Seruling Gading, pusaka pemberian gurunya itu, diselipkan di ikat pinggangnya, dan membawa sedikit pakaian yang dipunyainya dalam buntalan. Setelah itu kembali dia berlutut menyembah kepada gurunya dan berpamit.

   "Ya, berangkatlah dan selalu ingat dan waspadalah seperti yang sudah kauketahui. O Ya, aku pernah menceritakan tentang kedua adik seperguruanku, Ki Tejo Langit dan Ki Tejo Budi kepadamu. Kalau engkau kebetulan bertemu dengan mereka, sampaikanlah salamku."

   "Baiklah, eyang dan selamat tinggal, eyang, harap eyang menjaga diri baik-baik."

   "Pergilah,"

   Kata kakek itu singkat.

   Parmadi lalu menuruni puncak Argadumilah, tidak ragu atau menengok lagi. Gemblengan batin dari gurunya sudah matang tumbuh dalam hatinya sehingga dia tidak merasa kehilangan karena memang dia tidak terikat. Dia menyadari sepenuhnya bahwa segala apapun yang dekat dengannya, bahkan yang dipunyainya, pada hakekatnya bukanlah MILIKnya. Bahkan tubuhnya sendiripun bukan miliknya, hanya dipinjamkan kepadanya agar dia dapat hidup sebagai manusia di dunia ini. Segala apapun di alam mayapada ini, yang tampak dan yang tidak tampak, adalah milik Tuhan Yang Maha Kuasa!

   Biarpun dia tahu bahwa dia hanya seorang manusia biasa, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, segala kelemahan dan kekuatannya, disertai nafsu-nafsunya namun keyakinan bahwa dia tidak memilik apa-apa dan bahwa segala sesuatu adalah milik Tuhan Yang Maha Kasih, membuat hatinya ringan dari tekanan dan bebas dari ikatan.

   Setelah menuruni puncak Lawu, tentu saja pertama-tama Parmadi menujukan langkahnya ke dusun Pakis. Selama lima tahun dia meninggalkan dusun ini dan selama lima tahun belajar ilmu dari Resi Tejo Wening, seringkali dia terkenang kepada dusun ini. Tidak, kalau dia mau jujur harus diakui bahwa yang membuat dia terkenang adalah diri Muryani! Dia merasa rindu kepada gadis yang sudah dikenalnya Pertama kurang lebih setengah tahun itu, bahkan sudah akrab dengannya, sudah seperti kakak dan adik sendiri saja. Dan kalau dia mengenangkan saat perpisahan di luar dusun itu, ada getaran aneh dalam hatinya dan dia merasa bahwa hubungan di antara mereka bahkan lebih akrab dari pada sekedar kakak dan adik!

   Pertama dia rindu kepada Muryani, dan kedua diapun ingin sekali bertemu dengan Ki Ronggo Bangak. setelah berpisah lama, seringkali dia baru menyadari betapa besar budi dan jasa orang tua itu kepadanya. Ki Ronggo Bangak itulah gurunya yang pertama, orang yang pertama kali membuka pikirannya, memberikan pengetahuannya melalui bacaannya itulah yang membuat dia bukan seperti pemuda dusun kebanyakan. Dia pandai membaca menulis, pandai bertembang dan menari, pandai meniup suling dan mengerti akan tata susila.

   Setelah tiba di luar pintu gerbang dusun Pakis, dia berhenti melangkah da memandang ke arah dusun itu, di mana dia dulu hidup sejak berusia sepuluh tahun sampai delapanbelas tahun. Tadipun ketika dia melewati padang rumput di mana dia biasa menyabit rumput, semua kenangan terbayang. Kini dia memandang dusun itu dan melihat bahwa dusun itu sama seka tidak berubah! Pohon cemara di kanan kiri, pintu dusun, cemara pecut yang kecil tinggi dan runcing seperti pecut itu, masih tetap di sana dan tidak berubah. Sepasang pohon cemara itu agaknya sudah terlalu tua untuk tumbuh semakin tinggi sehingga tampak masih sama seperti lima tahun yang lalu.

   Hari telah siang dan dia melihat kesibukan di dusun itu masih seperti dulu. Ketika memasuki dusun lewat pintu gapura dusun itu dia melihat para penduduk yang bertemu dengan dia memandang kepadanya, akan tetapi agaknya tidak ada yang mengenalnya. Dia sendiri mengenal beperapa orang di antara mereka. Akan tetapi karena mereka itu seperti pangling kepadanya, diapun diam saja dan langsung dia menuju ke rumah Muryani. Rumah itupun masih seperti dulu. Pekarangannya yang bersih terhias tumbuh-tumbuhan kembang yang indah. Kembang mawar merah kesukaan Muryani masih tumbuh dan banyak kembangnya menghias pohon kembang itu. Pintu dan dinding kayu berhias ukir-ukiran indah itu masih sama dan terpelihara baik-baik. Berdebar Jantung di dada Parmadi membayangkan pertemuannya dengan Muryani dan ayah gadis itu. Akan tetapi yang tampak di situ hanya seorang pria setengah tua yang sama sekali bukan Ki Ronggo Bangak, melainkan seorang yang tidak dikenalnya. Pria ini bertelanjang dada dan sedang mencangkul di taman pekarangan itu, membersihkan rumput-rumput liar. Dadanya yang kerempeng itu basah oleh keringat.

   Parmadi cepat menghampiri dan pria itu menghentikan pekerjaannya ketika melihat ada seorang pemuda memasuki pekarangan. Dia memandang kepada Parmadi dengan heran.

   "Maaf, paman kalau aku mengganggu Aku hendak bertemu dengan paman Ronggo Bangak dan adi Muryani. Apakah mereka berada di rumah?"

   Orang itu memandangnya dengan mata heran dan bodoh, lalu menggeleng kepalanya.

   "Aku tidak mengenal mereka."

   Tentu saja Parmadi terkejut dan heran mendengar ucapan itu.

   "Kalau begitu, rumah siapakah ini? Siapa penghuninya?"

   Kembali laki-laki itu menggeleng kepala "Tidak ada penghuninya. Rumah ini kosong dan saya bertugas untuk menjaga dan merawat rumah ini."

   "Siapa yang menugaskanmu, paman?"

   Tanya Parmadi semakin heran sambil mengamati wajah orang itu. Sebuah wajah yang sama sekali tidak dikenalnya, berarti orang ini belum ada di dusun Pakis ketika dia pergi.

   "Yang menugaskan tentu saja pemilik rumah ini!"

   Jawab orang itu dan nada suaranya membayangkan kejengkelan.

   "Lho! Pemilik rumah ini kan paman Ronggo Bangak dan adi Muryani? Engkau tentu mengenal mereka, paman!"

   "Bukan! Dan aku tidak mengenal mereka. Baru setahun aku datang dan belum mengenal mereka."

   "Ah, begitukah? Dan tolong jawab, siapa nama pemilik rumah ini dan di mana dia tinggal?"

   "Pemiliknya adalah Ki Demang Pakis dan kalau engkau ingin bertanya tentang rumah ini, tanyalah kepadanya karena aku tidak tahu apa-apa!"

   Setelah berkata demikian, orang itu melanjutkan pekerjaanya mencangkul dan tidak mengacuhkan lagi kepada Parmadi. Parmadi tertegun. Dia memandang ke arah pintu rumah, seolah mengharapkan pintu itu terbuka dan Muryani atau ayahnya muncul. Dia merasa seperti dalam mimpi. Apa yang telah terjadi dengan mereka? Dan siapa Ki Demang Pakis itu? Tiba-tiba dia tersentak kaget ketika pikirannya membayangkan, jangan-jangan Ki Demang Wiroboyo telah kembali dan menggunakan kekerasan untuk memegang jabatannya kembali! Teringat akan kemungkinan ini, dia segera berkata kepada penjaga itu.

   "Terima kasih, paman!"

   Setelah berkata demikian, dia cepat meninggalkan karangan itu dan bergegas pergi ke rumah gedung yang dulu menjadi tempat tinggal Ki Demang Wiroboyo!

   Gedung itupun masih kelihatan luas. Di pekarangan yang amat dikenalnya itu tidak tampak orang. Parmadi segera memasuki pekarangan dan setelah tiba di depan pendopo, dia melihat dua orang pemuda duduk di atas bangku penjagaan. Agaknya dua orang pemuda itu yang yang bertugas jaga. Dia segera mengenal wajah mereka. Dua orang pemuda dusun yang dulu amat dikenalnya.

   "Manto dan Dikun! Kalian menjaga sini? Siapakah yang sekarang menjadi demang?"

   Dua orang pemuda itu memandang heran, mengamati wajah Parmadi. Agaknya selama lima tahun ini wajah Parmadi telah banyak berubah. Mungkin pada sinar, matanya yang mencorong itulah yang membuat dua orang itu pangling. Akan tetapi kemudian pemuda yang bernama Dikun berteriak,

   "Parmadi....! Engkaukah ini?"

   "Parmadi? Ah, benar, dia Parmadi!"

   Kata pemuda yang kedua.

   Mereka menjabat tangan dan menepuk-epuk pundak Parmadi dengan gembira.

   "Ke mana saja engkau selama ini?"

   Mereka menghujaninya dengan pertanyaan. Akan tetapi Parmadi menggeleng kepala dan berkata,

   "Aku berkelana, akan tetapi hal itu tidak penting. Yang penting, sekarang kalian ceritakan apa yang terjadi di dusun kita ini, ke mana perginya Ki Ronggo Bangak dan Muryani, dan siapa pula yang sekarang menjadi demang di sini?"

   "Akulah yang menjadi demang di sini, orang muda!"

   Tiba-tiba terdengar suara orang menjawab. Parmadi cepat menoleh dan melihat seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun, tubuhnya tinggi bespar dan mukanya merah, keluar dari pendopo kademangan.

   "Siapakah andika, orang muda, dan apa maksudmu datang berkunjung ke sini?"

   Manto dan Dikun memberi hormat dan Dikun berkata.

   "Paman Demang, inilah yang bernama Parmadi, yang dulu menjadi perawat kuda milik Ki Demang Wiroboyo."

   Laki-laki tinggi besar itu


JILID 7


   memandang penuh perhatian.

   "Ah, kiranya andika ini yang bernama Parmadi? Parmadi, mari masuklah, agaknya banyak hal yang ingin kau ketahui. Mari kita bicara di dalam."

   Parmadi melihat laki-laki tinggi besar itu sikapnya kasar namun pandang matanya membayangkan kejujuran dan senyum mulutnya wajar dan ramah. Juga pembawaannya seperti seorang yang "berisi", yaitu orang yang berilmu. Ketika memandang kepada dua orang pemuda itu, dia melihat mereka tersenyum dan mengangguk-angguk seperti hendak mengisyaratkan bahwa baik sekali kalau dia menuruti permintaan demang baru itu. Maka diapun lalu melangkah memasuki pendopo. Orang tinggi besar itu mengajaknya duduk di ruangan sebelah kiri yang biasanya dahulu juga menjadi ruangan di mana demang menerima tamunya. Mereka lalu duduk berhadapan di kursi - kursi yang dulu juga.

   Setelah duduk berhadapan, demang itu berkata.

   "Aku sudah mendengar bahwa andika dulu menjadi pembantu Ki Wiroboyo juga bahwa andika adalah murid Ki Ronggo Bangak. Tentu andika mengenal baik puteri Ki Ronggo Bangak yang bernama Muryani itu, bukan?"

   "Benar sekali apa yang paman katakan itu. Akan tetapi, apakah yang telah terjadi didusun ini selama lima tahun ini. Dan ketika saya mengunjungi rumah paman Ronggo, rumah itu kosong. Ke mana perginya Ki Ronggo Bangak dan Muryani?"

   Orang itu menghela napas panjang.

   "Agaknya andika sama sekali belum mendengar tentang apa yang terjadi di dusun ini, Parmadi. Ki Ronggo Bangak telah meninggal dunia, tewas terbunuh "

   Parmadi terbelalak mendengar ini.

   "Terbunuh ? Dan adi Muryani....?"

   "Sabarlah, Parmadi. Sebaiknya kuceritakan dari permulaan agar engkau mengetahui dengan jelas apa yang terjadi di dusun ini."

   Orang tinggi besar itu lalu bercerita. Ketika laporan tentang dusun Pakis itu sampai di Mataram, Sultan Agung menyerahkan tugas kepada Tumenggung Wiroguno, seorang senopati Mataram, untuk menenteramkan dan membereskan keadaan di kademangan itu. Tumenggung Wiroguno datang ke dusun itu dan mendengar laporan Ki Ronggo Bangak tentang Ki Demang Wiroboyo yang diusir oleh penduduk dusun karena perbuatannya yang dianggap menyimpang dari kebenaran. Tumenggung Wiroguno lalu mengangkat Ki Warutomo sebagai demang baru di Pakis. Ki Warutomo yang tinggi besar berusia limapuluh tahun itu tadinya adalah seorang perwira dalam pasukan Mataram, seorang yang terkenal gagah berani jujur dan setia kepada Mataram.

   Adapun Ki Ronggo Bangak diangkat sebagai penasihat Ki Demang Warutomo. Berkat pimpinan yang tegas dan adil dari Ki Demang Warutomo, keadaan di dusun Pakis menjadi tenteram kembali. Ki Demang Warutomo memboyong keluarganya yang terdiri dari dua orang isteri dan tiga orang anak yang masih kecil-kecil ke dusun Pakis. Hubungannya dengan Ki Ronggo Bangak baik sekali, demikian pula dengan akrab dengan Muryani, apalagi setelah mengetahui bahwa Muryani adalah seorang gadis yang memiliki kedigdayaan. Ki Demang Warutomo menghormati gadis itu setelah dia mengetahui bahwa Muryani adalah seorang murid perguruan Bromo Dadali yang terkenal itu.

   Akan tetapi pada suatu malam, kurang lebih setahun setelah dia menjadi demang di Pakis, terjadilah peristiwa yang menggegerkan Kademangan Pakis. Malam itu hujan turun dengan derasnya, kilat menyambar-nyambar. Hujan turun hampir sepanjang malarn. Para penghuni dusun Pakis tidak ada yang ke luar rumah. Para perondapun hanya berkumpul dalam gardu, Ki Demang Warutomo sendiri hanya tinggal di rumah, tidak menyangka sama sekali akan terjadi peristiwa yang menggegerkan dusun yang dipimpinnya.

   Pada keesokan harinya, barulah orang tahu akan peristiwa itu. Seorang wanita tetangga yang biasa membantu Muryani dalam pekerjaan mencuci pakaian dan membersihkan halaman dan dalam rumah, ketika memasuki rumah itu, mendapatkan pintu belakang rumah sudah terbuka dan ketika ia masuk ke dalam ia menemukan Ki Ronggo Bangak dan Muryani sudah menggeletak di atas lantai ruangan dalam.

   "Begitulah, Parmadi,"

   Kata Ki Demang Warutomo.

   "Setelah mendengar laporan itu dan aku datang ke sana memeriksa, ternyata Ki Ronggo Bangak telah tewas dan nini Muryani menderita luka dalam yang cukup parah."

   "Mereka terluka senjata, paman Warutomo?"

   "Tidak, mereka terluka oleh pukulan tangan kosong yang ampuh. Setelah diusahakan pengobatannya, akhirnya nini Muryani sembuh sebulan kemudian. Menurut ceritanya, malam itu ia mendengar suara keras di bagian belakang rumah. Ketika ia dan ayahnya keluar dari kamar, di ruangan dalam itu telah terdapat seorang yang bertubuh tinggi kurus. Karena ruangan itu gelap maka Muryani tidak dapat melihat wajah orang itu dengan jelas. Orang tinggi kurus itu. Langsung menyerang Ki Ronggo Bangak dan ternyata dia seorang yang sakti mandraguna. Sekali pukul saja pada dada Ki Ronggo Bangak membuat ayah Muryani itu roboh dan tak bergerak lagi. Muryani menjadi marah dan ia menyerang orang tinggi kurus itu. Mereka berkelahi dalam ruangan yang gelap. Menurut cerita Muryani, gadis itu sebetulnya mampu menandingi lawannya. Akan tetapi karena ruangan itu gelap dan lawan itu memilik pukulan jarak jauh yang ampuh, akhirnya Muryani terkena pukulannya dan roboh pingsan. Demikianlah menurut cerita Muryani."

   "Kalau begitu, penyerang itu tidak diketahui siapa orangnya, paman?"

   Tanya Parmadi.

   "Begitulah, Parmadi. Agaknya penyerang itu mengira bahwa Muryani juga tewas oleh pukulannya. Dia menghilang tanpa meninggalkan jejak. Melihat bahwa tidak ada sesuatu yang hilang dari rumah itu, maka jelas bahwa orang tinggi kurus itu tidak bermaksud mencuri atau merampok. Mungkin ada unsur balas dendam atau permusuhan dengan keluarga Ki Ronggo Bangak, kata Ki Warutomo.

   "Kami telah melakukan penyelidikan, akan tetapi karena orang itu tidak meninggalkan jejak atau tanda apapun, sukar bagi kami untuk dapat menduga siapa penyerang itu."

   Parmadi teringat akan Ki Wiroboyo. Kalau ada yang mendendam kepada Ki Ronggo Bangak, tentu dialah orangnya! Akan tetapi, tentu bukan dia penyerang itu. Ki Wiroboyo bertubuh tinggi besar, tidak tinggi kurus. Selain itu, tidak mungkin Ki Wiroboyo mampu mengalahkan Muryani yang digdaya. Tentu orang lain, akan tetapi Parmadi tetap curiga dan menduga bahwa penyerangan yang mengakibatkan kematian Ki Ronggo Bangak itu tentu ada hubungannya dengan dendam Ki Wiroboyo. Akan tetapi dia tidak berkata apapun kepada Ki Demang Warutomo tentang dugaannya itu.

   "Paman, di mana adanya adi Muryani sekarang?"

   "Setelah sembuh, ia berpamit pergi tanpa memberi tahu ke mana. Bahkan ketika kami bertanya, ia tetap tidak mau mengatakan ke mana ia akan pergi. Ia hanya menitipkan rumahnya kepada kami dan sampai sekarang kami menyuruh orang menjaga rumah itu dan merawatnya baik-baik."

   "Saya ikut berterima kasih kepada paman atas kebaikan hati paman terhadap mendiang paman Ronggo Bangak. Sudah berapa lamakah Muryani pergi meninggalkan dusun Pakis ini, paman? Dan apakah selama ini ia tidak pernah pulang atau mengirim berita?"

   "Sudah kurang lebih tiga setengah tahun gadis itu pergi dan selama ini kami tidak pernah mendengar kabar tentang ia, juga ia tidak pernah pulang."

   Di dalam hatinya, Parmadi mengambil keputusan untuk mencari Muryani dalam perantauannya. Kasihan sekali adi Muryani pikirnya. Sudah tidak mempunyai ibu, dan tinggal ayah dan mondok pada neneknya, neneknya itu sakit dan mati sehingga ikut dengan ayahnya tinggal di dusun Pakis. Akan tetapi belum lama tinggal di Pakis ayahnya dibunuh orang dan sekarang gadis itu berada di dunia seorang diri, sebatangkara tiada sanak tiada kadang. Sama seperti dirinya! Akan tetapi dia seorang laki-laki, sedangkan Muryani seorang gadis yang cantik jelita, tentu akan menemui banyak gangguan. Ia membayangkan wajah gadis itu dan teringat bahwa kini usia Muryani ini tentu sudah duapuluh satu tahun. Ketika mereka berpisah, ketika dia ikut gurunya dan meninggalkan Pakis, Muryani berusia enambelas tahun. Kini, lima tahun telah lewat. Gadis itu tentu sudah menjadi seorang gadis dewasa berusia duapuluh satu tahun.

   "Hei, Parmadi, engkau melamun, sejak tadi diam saja,"

   Ki Demang Warutomo menegurnya sambil tersenyum lebar.

   Parmadi terkejut dan sadar. Dia memandang orang tua gagah itu dan berkata.

   "Saya termenung mengingat akan malapetaka yang menimpa keluarga paman Ronggo Bangak. Mengapa orang sebaik itu dapat tertimpa malapetaka?"

   Kata pemuda itu perlahan seperti bertanya kepada diri sendiri.

   "Wah, siapa yang mampu menjawab pertanyaan itu, Parmadi? Setiap manusia boleh berbuat sekuat kemampuan mereka dengan hati akal pikiran dan kekuatan badan mereka, namun keputusan hasil terakhir berada di tangan Gusti Allah. Karena itu, kurasa pertanyaanmu itu hanya dapat dijawab oleh Dia yang menentukan keputusan terakhir itu."

   Parmadi menghela napas panjang.

   "Paman benar. Sekarang ijinkan saya mohon diri, paman. Saya hendak melanjutkan perjalanan saya."

   "Selamat jalan, orang muda. Dan seandainya andika dapat bertemu dengan Muryani, sampaikan pesan kami kepadanya bahwa kami di Pakis mengharapkan dan menanti-nanti kembalinya ke sini."

   "Baik, paman."

   Parmadi memberi hormat lalu meninggalkan kademangan itu dan melanjutkan perjalanannya. Sebelum meninggalkan daerah Gunung Lawu, ingin dia sekali lagi mengunjungi dusun Pancot tempat tinggal mendiang ayah ibu kandungnya, di mana dia dibesarkan. Dia tidak ingat sejak kapan dia tinggal di rumah ayah ibunya di Pancot.

   Menurut cerita ibunya, mereka datang dari Kadipaten Pasuruan dan pindah tinggal di dusun itu sejak dia berusia dua tahun. Dia tinggal di dusun itu sampai berusia sepuluh tahun, yaitu ketika pada suatu malam ayah bundanya dibunuh orang tanpa ada yang mengetahui siapa yang membunuhnya. Dan sejak itu Demang Wiroboyo yang menjadi sahabat mendiang ayahnya, menaruh iba kepadanya dan membawanya ke Pakis, memberinya pekerjaan dan menampungnya di Kademangan Pakis.

   Biarpun Parmadi hanya melewatkan masa kanak-kanaknya di dusun Pancot, namun ketika ia mengenangnya sambil berjalan menuju ke dusun itu, ada suatu perasaan haru menyelinap dalam hatinya, teringat akan kedua orang tuanya.

   Berbeda dengan keadaan Pakis yang baginya masih same saja keadaannya sejak ditinggalkan selama lima tahun, ketika dia memasuki dusun Pancot, dia merasa asing. Dia sudah banyak lupa tentang Pancot. Pasti tidak ada seorangpun penduduk dusun itu yang mengenalnya atau dikenalnya. Dia meninggalkan dusun itu selagi berusia sepuluh tahun dan sekarang dia sudah berusia duapuluh tiga tahun! Akan dia masih ingat bahwa Ki Demang Wiroboyo menyerahkan peninggalan ayahnya yang tidak banyak itu, hanya sebuah rumah tua dan tanah sebau, kepada seorang tetangga miskin yang namanya, seingatnya dipanggil Pak Jambi. Tentu orang itu telah tua sekarang akan tetapi Parmadi yakin bahwa dia akan dapat mengenal orang yang satu ini. Pak Jambi itu mempunyai sebuah ciri yang jarang dimiliki orang lain. Mata kirinya rusak, hanya tampak putihnya saja dan mata kiri itu kabarnya tidak dapat melihat. Dia masih ingat bahwa karena matanya yang sebelum rusak dan buta itu, Pak Jambi mendapat sebutan Jambi Pece.

   Jantung dalam dada Parmadi berdebar juga ketika dia melangkahkan kaki memasuki dusun itu. Pancot merupakan dusun yang tidak terlalu besar, tidak sebesar dan seramai Pakis. Akan tetapi dusun itu terkenal memiliki sesuatu yang khas, yang tidak dimiliki dusun-dusun di seluruh daerah Gunung Lawu, yaitu banyaknya perawan ayu yang dilahirkan di dusun Pancot!

   Kebanyakan perawan Pancot berkulit kuning bersih, wajahnya ayu manis sehingga banyak pemuda dari dusun lain ingin memiliki isteri dari Pancot. Menurut dongeng dari mulut ke mulut, menek moyang yang tinggal di dusun itu dahulu keturunan priayi, masih bangsawan istana Mataram. Dan pula dongeng mengatakan bahwa nenek moyang Pancot dahulu ada yang menikah dengan dewi kahyangan sehingga keturunannya, terutama yang wanita, ayu manis. Biarpun ketika memasuki dusun itu dia merasa seperti masuk ke sebuah dusun asing, namun samar-samar Parmadi masih ingat akan letak rumah orang tuanya di mana dia tinggal tigabelas tahun yang lalu. Dia masih ingat betapa di pekarangan rumah yang sederhana dan tua itu berdiri megah sebatang pohon beringin yang ditanam ayahnya ketika ayahnya datang dan tinggal di dusun ini. Beringin itu sudah besar ketika dia meninggalkan Pancot dan sekarang tentu sudah lebih besar lagi. Dia mempercepat langkahnya, diam-diam heran dan kagum melihat beberapa gadis yang berpapasan dengannya. Mereka semua tampak putih dan manis, tidak seperti perawan-perawan dusun Pakis. Melihat mereka Parmadi otomatis teringat kepada Muryani.

   Ketika dia tiba di sebuah jalan tikungan, jantungnya berdebar. Dari situ dia sudah dapat melihat pohon beringin yang besar sekali itu. Besar dan lebar, bentuknya seperti sebuah payung. Dia mempercepat langkahnya. Setelah tiba di luar pekarangan rumah tua yang masih sama tuanya seperti dulu walaupun agaknya bilik bambu itu sudah diganti, dia tercengang melihat betapa pohon beringin besar di depan pekarangan rumah itu dikelilingi pagar kayu! Tanah di bawah pohon, di sebelah dalam lingkaran pagar itu, tampak terawat dan bersih sekali. Dan di bagian depan terdapat pintu pagar. Makin besar keheranannya ketika ia melihat tumpukan bekas pembakaran kemenyan dan kembang berada di bawah pohon. Pohon ini dikeramatkan orang, disembah orang! Dia segera dapat mengetahuinya karena dia tahu akan kebiasaan orang-orang di sekitar daerah Gunung Lawu yang masih suka memuja-muja pohon-pohon besar yang dikeramatkan. Pohon beringin tanaman ayahnya itu, kini dikeramatkan orang!

Selagi dia berdiri mengamati semua itu dengan perasaan heran, dari pekarangan itu dating seorang laki-laki tua menghampirinya. Sekali pandang saja tahulah Parmadi bahwa kakek ini tentu Pak Jambi Pece. Mata kirinya yang terbuka lebar itu tampak putihnya saja dan mata kanannya yang normal memandangnya dengan penuh selidik.

   "Ki-sanak, kulihat andika seperti bukan orang sini. Tentu andika seorang dari dusun lain yang datang untuk mohon berkah dari Kyai Brojo, bukan?"

   Parmadi menahan seruan heran yang hampir terlontar dari mulutnya. Kyai Brojo?

   Demikiankah orang menyebut pohon beringin yang dikeramatkan ini? Jadi "penghuni"

   Pohon keramat ini adalah Kyai Brojo? Padahal, mendiang ayahnya bernama Brojoketi! "Paman, jadi Beringin Keramat ini dihuni oleh Kyai Brojo?"

   Parmadi bertanya sambil menahan gejolak hatinya. Roh ayah kandungnya dianggap roh penasaran yang kini menghuni di pohon beringin yang dulu ditanam ayahnya!

   "Benar sekali, ki-sanak. Kyai Brojo adalah seorang tokoh besar di jaman Mojopahit, sakti mandraguna dan arif bijaksana, pula dermawan sehingga kini beliau masih suka menolong siapa saja yang mohon berkah di sini."

   Hemm, orang ini berani benar berbohong, pikir Parmadi.

   "Paman, kalau begitu paman adalah juru kunci (penjaga tempat keramat) di sini?"

   "Benar, saya adalah Ki Jambi Pece juru kunci tempat keramat ini. Semua orang mengenal saya!"

   "Kalau begitu, paman. Saya ingin sekali bercakap-cakap dengan paman. Banyak yang ingin saya tanyakan, paman."

   Jambi Pece yang mengharapkan hadiah besar itu bersikap ramah.

   "Kalau begitu silakan masuk ke rumah saya, ki-sanak kita bicara di dalam, lebih leluasa."

   Parmadi mengikuti orang itu memasuk pekarangan menuju ke rumah yang masih dikenalnya itu. Bambu penyalur air dari sumber di atas itu masih mengucurkan air jernih seperti biasa, ditampung di jamban air yang dulu juga di sebelah kiri rumah.

   Mereka memasuki rumah dan Parmadi mempersilakan duduk di atas bangku di ruangan depan. Mereka duduk berhadapan. Setelah berada di ruangan tertutup, Parmadi segera bicara tanpa berpura-pura lagi.

   "Paman Jambi, aku akan berterus terang saja. Aku tahu bahwa rumah ini adalah milik Ki Brojoketi dan isterinya. Mereka terbunuh pada suatu malam tanpa ada yang mengetahui siapa pembunuh mereka. Kemudian Ki Demang Wiroboyo meyerahkan rumah dan pekarangan ini kepadamu. Bagaimana sekarang tempat ini dijadikan tempat keramat yang dihuni oleh kyai Brojo? Engkau telah menipu orang banyak."

   Mendengar ucapan pemuda itu, sikap Pak Jambi berobah sama sekali. Kalau tadinya dia bersikap ramah, kini tiba-tiba dia melompat berdiri dan wajahnya berubah ganas. Matanya yang tinggal sebelah itu memandang marah dan tiba-tiba dia sudah menyerang Parmadi dengan kedua tangan yang mencengkeram seperti seekor harimau menerkam kambing.

   Sepasang tangan itu membentuk cakar dan yang kanan mencengkeram ke arah muka, yang kiri ke arah dada Parmadi! Mulutnya menggeram dan dia benar-benar seperti telah berobah menjadi harimau. Parmadi maklum bahwa orang ini memiliki Aji Sardu (Ilmu Harimau) yang membuat dia seperti kemasukan roh harimau yang ganas. Dia menyambut serangan itu dengan gerakan tangan kanan dari kiri ke kanan menangkis.

   "Bresss......... !"

   Tubuh Pak Jambi terpelanting dan terhuyung, akan tetapi dia tidak roboh karena Parmadi tidak mempergunakan tenaga yang terlalu besar. Dia tidak ingin melukai orang itu.

   "Jahanam, engkau tentu orangnya keparat Wiroboyo untuk membunuhku!"

   Kakek itu berseru. Mendengar seruan ini Parmadi merasa heran dan ketika kakek itu menyerang lagi, dia menggerakkan tangannya dengan cepat dan sekali jari-jari tangannya menepuk dada, kakek itu terkulai lemas. Seperti dilolosi seluruh urat di tubuhnya membuatnya terkulai dan tak mampu menggerakkan tubuhnya lagi. Ia mengaduh dan merintih.

   "Paman Jambi, aku bukan orangnya Ki Wiroboyo. Andika ingat putera Ki Brojoketi, anak berusia sepuluh tahun yang kemudian dibawa pergi Ki Wiroboyo? Akulah anak itu!"

   "Ahhh.... ahhh... aku... salah sangka...!"kakek itu mengeluh. Mendengar ini, Parmadi lalu mempergunakan tenaga saktinya, menepuk kedua pundak orang itu dan Pak Jambi pulih kembali kesehatannya. Dia merasa takluk kepada pemuda itu dan memandang dengan takut.

   "Jangan takut, paman Jambi. Duduklah kembali dan mari kita bicara dengan baik-baik. Tadinya aku hanya datang untuk menjenguk bekas rumah tempat tinggal ayah bundaku. Sama sekali tidak menyangka tempat ini akan dijadikan tempat keramat dan nama ayahku diabadikan sebagai Kyai Brojo. Akan tetapi, paman. Bukankah paman dahulu menerima peninggalan orang tuaku ini dari Ki Wiroboyo? Akan tetapi kenapa tadi paman mengira aku orangnya Wiroboyo yang datang untuk membunuhmu? Kenapa Ki Wiroboyo memusuhimu dan ingin membunuhrnu?"

   Pak Jambi tampak bingung dan ketakutan.

   "Jangan takut, paman. Paman menyimpan sesuatu yang rahasia. Tentu ada hubungannya dengan orang tuaku dan Ki Wiroboyo. Hayo katakan, paman, cerita terus terang kepadaku. Aku tidak akan mengganggu paman kalau paman berterus terang, akan tetapi kalau paman tidak mau berterus terang, aku dapat memaksa paman mengaku!"

   Pak Jambi menghela napas panjang.

   "Anak-mas Parmadi, andika datang untuk minta kembali rumah dan pekarangan dariku?"

   "Hemm, tidak, paman. Paman adalah tetangga ayah sejak dulu, tentu ayah mengenal baik paman dan paman tahu yang sesungguhnya terjadi. Aku kira paman tahu pula tentang pembunuhan terhadap ayah bundaku itu. Benarkah, paman? Ceritakan! Aku tidak akan mengambil kembali rumah dan pekarangan, aku hanya singgah sebentar."

   "Tadinya aku takut bicara karena Ki Wiroboyo adalah Demang Pakis, berkuasa dan dia dapat bertindak kejam kalau ditentang. Akan tetapi setelah aku mendengar bahwa dia diusir dari Pakis dan kedudukannya digantikan orang lain, aku berani menceritakan apa yang kuketahui kepadamu, anak-mas. Hanya kadang aku khawatir dia akan mengirim orang untuk membunuhku agar aku tidak bicara tentang peristiwa itu."

   "Peristiwa terbunuhnya ayah ibuku, paman? Ceritakanlah kepadaku."

   "Baiklah, akan kuceritakan apa yang kuketahui, anak-mas. Orang tuamu merupakan pendatang baru di sini. Ayah ibumu dan andika yang ketika itu berusia sekitar dua tahun menjadi penghuni baru dusun Pancot ini. Karena aku menjadi tetangga terdekat, maka hubunganku dengan keluargamu juga paling akrab dan kami yang sama-sama miskin ini suka saling bantu. Orang tuamu hidup dengan aman tenteram di sini sampai bertahun-tahun, sampai engkau berusia sepuluh tahun. Selama itu tidak pernah terjadi hal-hal yang buruk."

   "Yang ingin saya ketahui, apa yang paman tahu tentang pembunuhan yang terjadi pada malam hari itu?"

   Tanya Parmadi.

   Kakek itu menggeleng kepalanya.

   "Sungguh, anak-mas, sayapun tidak tahu. Semua itu begitu rahasia, begitu aneh. Tidak ada seorangpun mengetahui apa yang terjadi malam itu. Tahu-tahu pada pagi hari itu kami menemukan Ki Brojoketi dan isterinya sudah tewas dalam kamar mereka dan andika menangis dan menjerit-jerit di kamar itu. Sepatutnya andika yang lebih mengetahui, anak-mas. Bukankah hanya andika seorang yang berada di kamar itu bersama mereka?"

   Parmadi menghela napas panjang da dia menggeleng kepalanya.

   "Seingatku, akupun tidak tahu apa-apa paman. Pagi-pagi ketika aku bangun dari tidur di kamar sebelah, aku melihat pintu kamar orang tuaku terbuka dan ketika akan melongok ke dalam, aku melihat mereka telah menggeletak mandi darah maka aku menjerit-jerit dan orang-orang berdatangan."

   Pak Jambi mengangguk-angguk.

   "Ya, kami lalu mengurus jenazah orang tuamu. Kebetulan ada Ki Demang Wiroboyo dalang melayat dan dialah yang membiayai semua penguburan. Kemudian dia membawa andika ke Pakis dan rumah ini diserahkan kepada saya."

   Parmadi mengingat-ingat. Dia teringat bahwa Ki Wiroboyo memang sering dating berkunjung ke rumah orang tuanya sehingra terjalin persahabatan antara ayahnya dan Ki Wiroboyo.

   "Nah, sekarang ceritakan apa yang kau ketahui seperti yang kaukatakan tadi. Rahasia apa yang kauketahui, paman? Tadinya engkau takut kepada Ki Wiroboyo untuk bercerita, akan tetapi sekarang tidak lagi, bukan? Nah, ceritakan kepadaku sejujurnya."

   Pak Jambi menghela napas seolah mengumpulkan keberanian untuk bercerita.

   "Begini, anak-mas. Tentu anak-mas juga sudah mengetahui bahwa Ki Wiroboyo adalah seorang laki-laki yang mata keranjang dan selalu mengejar wanita cantik. Di Pancot ini terdapat banyak perawan cantik dan Ki Wiroboyo selalu berusaha untuk membujuk mereka dengan harta benda atau mengandalkan kedudukannya. Akan tetapi dia tidak berani menggunakan kekerasan dan tidak banyak perawan dusun ini yang bisa dia dapatkan. Dia berkenalan dan menjadi sahabat ayahmu, bahkan seringkali menginap di rumah ini."

   "Aku tahu akan hal itu, paman. Lalu bagaimana?"

   "Anak-mas, pada waktu itu, mendiang ibumu masih muda, paling banyak baru duapuluh delapan tahun usianya dan ibumu itu terkenal sebagai wanita yang amat cantik. Dan kita tahu bahwa Ki Wiroboyo itu seorang laki-laki mata keranjang... dan...."

   "Dan bagaimana, paman? Jangan ragu-ragu, ceritakanlah sejujurnya."

   "Pada beberapa hari sebelum terjadi pembunuhan itu, Ki Wiroboyo bertamu dan menginap di rumah ini dan pada suatu siang ketika ayahmu sedang sibuk di ladang dan saya kebetulan baru keluar dari rumah, saya melihat di belakang rumah ini ibumu dipeluk dari belakang oleh Ki Wiroboyo, Jelas tampak bahwa Ki Wiroboyo berniat kotor terhadap ibumu. Ibumu marah dan menampar muka Ki Wiroboyo, lalu berlari memasuki rumah. Pada saat itu Ki Wiroboyo menoleh dan melihat saya. Sayapun cepat-cepat pergi dan pura-pura tidak tahu."

   Parmadi mengerutkan alisnya, hatinya terasa panas akan tetapi dia menenggelamkan perasaan itu.

   "Lalu bagaimana, paman?"

   "Nah, setelah beberapa hari kemudian terjadi pembunuhan aneh itu terhadap ayah ibumu, tentu saja saya merasa curiga kepada Ki Wiroboyo. Akan tetapi karena tidak ada bukti, sayapun tidak dapat berkata apa-apa. Sikapnya yang kurang ajar terhadap ibumu itu belum merupakan bukti bahwa dia yang melakukan pembunuhan itu. Akan tetapi setelah aku melihat dan mendengar apa yang dia lakukan kepadaku, aku yakin bahwa dia pasti tersangkut dengan pembunuhan itu. Hanya saja, selama itu aku tidak berani membuka mulut, takut akan ancamannya."

   "Paman melihat dan mendengar apa? Apa yang dia lakukan kepada paman?"

   Tanya Parmadi, penuh perhatian.

   "Ketika Ki Wiroboyo datang melayat, mengatur dan membiayai semua keperluan pemakaman, dia sempat menemui saya seorang diri. Dia mengancam agar aku tidak bercerita kepada siapapun tentang apa yang saya lihat siang hari di belakang rumah Ki Brojoketi itu. Bahkan dia lalu menyerahkan rumah dan pekarangan ini kepadaku. Saya merasa bahwa penyerahan rumah dan pekarangan ini merupakan hadiah untuk menutup mulutku. Sejak itu, hati saya merasa yakin bahwa dia pasti tahu benar tentang

   pembunuhan itu, akan tetapi baru sekarang saya berani membuka rahasia itu. Ketika tadi anak-mas datang, saya kira anak-mas suruhan Ki Wiroboyo untuk membunuhku, maka saya hendak melawan."

   Parmadi mengangguk-angguk. Keterangan itu penting sekali dan bukan mustahil kalau Ki Wiroboyo berdiri di belakang pembunuhan terhadap orang tuanya itu. Mungkin Ki Wiroboyo mendendam karena keinginan kotornya ditolak ibu. Atau mungkin malam itu dia hendak memaksa ibunya. Ibunya lalu menolak dan melawan sehingga dibunuh, dan mungkin saja ayahnya yang mengetahui juga dibunuhnya. Atau dapat juga Ki Wiroboyo memang menyuruh kaki tangannya untuk membunuh ayah ibunya karena mendendam.

   "Paman Jambi, tahukah paman di mana adanya Ki Wiroboyo sekarang?"

   Pak Jambi menggeleng kepala.

   "Saya tidak tahu, anak-mas dan saya kira tidak ada orang di Pancot yang mengetahuinya karena sejak dia diusir dari Pakis, dia tidak pernah muncul kembali, juga tidak pernah ada kabar tentang dia."

   "Ada satu hal lagi yang ingin saya tanyakan kepadamu, paman, sebelum aku meninggalkan dusun ini."

   "Silakan bertanya, anak-mas. Saya akan senang kalau dapat membantu anak-mas."

   "Paman mengenal baik mendiang ayah saya. Tahukah paman, siapakah sesungguhnya ayah saya itu? Maksudku, apakah pekerjaannya sebelum dia pindah ke sini dan menjadi seorang petani?"

   "Kami memang bersahabat baik, anak-mas, dan saya sendiripun selalu menduga bahwa mendiang Ki Brojoketi pasti bukan orang dusun biasa. Gerak-geriknya, sikapnya dan cara dia bicara, apalagi mendiang ibumu, jelas menunjukkan bahwa mereka adalah priyayi. Karena itu pula agaknya Ki Wiroboyo dapat akrab dengan ayahmu. Akan tetapi ayahmu tidak pernah mau menceritakan keadaannya ketika tinggal di Kadipaten Pasuruan, bahkan seolah dia enggan bicara tentang Kadipaten Pasuruan. Menurut dugaanku, ayah dan ibumu tentu bukan orang sembarangan dan mempunyai rahasia di Pasuruan. Mungkin di kadipaten itu anak-mas akan bisa mendapatkan keterangan tentang mereka."

   Parmadi mengangguk.

   "Terima kasih atas semua keteranganmu, paman Jambi. Sekarang aku pamit, hendak melanjutkan perjalananku."

   "Eh". bagaimana dengan rumah dan pekarangan ini, anak-mas?"

   "Biarlah sekarang sebagai ahli waris orang tuaku, aku memberikan rumah dan pekarangan ini kepadamu, paman. Pakailah dan rawatlah dengan baik-baik. Akan tetapi aku minta agar mulai sekarang paman tidak menggunakan nama mendiang ayahku untuk mengeramatkan pohon beringin itu. Aku tidak suka mendengarnya!"

   "Baik, baik, anak-mas. Sebetulnya hanya karena rumah dan pohon ini dahulu milik Ki Brojoketi, dan mengingat bahwa Ki Brojoketi tewas terbunuh, maka untuk menghormatinya pohon ini disebut Kyai Brojo. Akan tetapi kalau anak-mas melarangnya, biarlah mulai sekarang kami akan menyebutnya Kyai Pancot saja."

   "Terserah paman asal jangan menggunakan nama ayah. Nah, selamat tinggal, paman."

   Parmadi bangkit dari bangku yang didudukinya.

   "Nanti dulu, anak-mas. Tunggu sebentar."

   Orang tua itu memasuki biliknya dan ketika dia keluar, dia menyerahkan sebuah henda kecil kepada Parmadi.

   "Cincin ini dulu milik ibumu, anak-mas. Pada suatu hari, ketika orang tuamu membutuhkan uang untuk biaya membangun rumah ini, ibumu menyerahkan cincin ini kepadaku dengan permintaan agar aku menjualnya. Kebetulan pada waktu itu saya mempunyai simpanan uang yang sudah lama saya kumpulkan, maka cincin ini saya beli sendiri. Sekarang, rumah dan pekarangan ini andika berikan kepada saya, maka sudah sepatutnya kalau cincin ibumu ini kukembalikan kepadamu, anak-mas Parmadi."

   Parmadi menerima cincin itu dan mengamatinya. Sebuah cincin yang indah sekali. Dari emas murni bermata mirah dan bawah mirah berbentuk hati ini ada ukiran indah huruf GA. Tentu saja dia merasa girang sekali. Sebuah cincin peninggalan ibunya! Tentu saja benda seperti ini merupakan benda pusaka baginya. Hatinya terharu ketika dia menggenggam cinci itu.

   "Terima kasih, paman Jambi, terima kasih banyak! O ya, paman, tahukah paman apa artinya huruf GA pada cincin ini?"

   Kakek itu menggeleng kepalanya.

   "Saya tidak tahu dan karena saya buta huruf saya juga tidak menanyakan kepada ibumu, tidak menyangka bahwa ukiran itu merupakan huruf."

   "Barangkali paman mengetahui nama kecil ibu saya?"

   "Kalau tidak salah, mendiang ayahmu menyebutnya diajeng Mirah."

   "Mirah....? Mirah ............ ?"

   Parmadi mengulang dalam bisikan haru.

   "Sekali lagi terima kasih. Paman seorang yang jujur. Selamat tinggal."

   "Selamat jalan, den-mas."

   Parmadi meninggalkan rumah itu dan langsung dia menuju ke tanah kuburan yang berada di luar dusun. Tak lama kemudian dia sudah menemukan dua buah nisan kuburan yang berjajar itu. Dia masih ingat letak makam ayah bundanya. Kedua makam ini selalu merupakan bayangan terakhir baginya, seringkali muncul dalam mimpinya. Dia lalu berlutut dan mengelus dua buah batu nisan sederhana itu, membersihkan lumut yang menempel di situ. Kemudian dia membersihkan kedua makam itu, mencabuti semua rumput dan alang-alang. Setelah bersih, dia lalu duduk bersila di depan makam, menjernihkan pikirannya dan menenangkan hatinya. Setelah merasa hening, dia menujukan seluruh cipta rasa dan karsa dalam batinnya untuk mendoakan semoga Gusti Allah Yang Maha Kasih mengampuni semua dosa ayah bundanya dan memberi tempat yang layak kepada roh mereka. Setelah kurang lebih sejam lamanya duduk tenggelam dalam doa di depan makam ayah ibunya, Parmadi lalu bangkit berdiri di depan makam, sejenak memandangi kedua makam itu lalu perlahan-lahan dia meninggalkan tanah kuburan itu. Sambil berjalan dia mengamati cincin peninggalan ibunya.

   Ternyata lingkaran cincin itu tidak utuh lagi, melainkan sudah patah bagian belakangnya. Agaknya Pak Jambi sengaja membikin putus lingkaran cincin itu sehingga cincin yang lingkarannya kecil itu kini dapat dipakai jari yang lebih besar karena dapat direnggangkan. Parmadi mencium cincin itu lalu memakainya pada jari manis tangan kirinya. Andaikata lingkaran itu belum dibikin putus, tentu tidak dapat dimasuki jari manisnya, bahkan kelingkingnyapun belum tentu dapat masuk. Demikian kecil lingkaran itu. Dia membayang kan betapa kecil mungilnya jari manis ibunya.

   Setelah Sultan Agung berhasil menundukkan seluruh daerah Jawa Timur bagian selatan, kecuali Blambangan, mulailah Mataram mengadakan persiapan untuk menundukkan Surabaya yang masih belum mau mengakui kekuasaan Sultan Agung. Akan tetapi melihat Kadipaten Tuban masih menjadi penghalang karena Adipati Tuban masih condong berpihak kepada Surabaya, Sultan Agung mengirim pasukannya untuk menaklukkan Tuban lebih dulu. Juga nampak tandatanda bahwa pihak Kumpeni Belanda yang amat dibenci Sultan Agung itu menghalanghalangi niat Mataram menyerbu Surabaya. Hal ini terbukti dengan udanya kapal-kapal perang Belanda yang besar dan dilengkapi meriam-meriam besar, tidak memungkinkan penyerangan melalui laut sehingga sukar untuk mengepung Surabaya.

   Memang pada waktu itu, gubernur Kumpeni Belanda yang bernama Jan Pieterszoon Coen merasa khawatir bahwa Mataram akan menguasai Nusa Jawa dan hal ini tentu saja akan merupakan halangan besar bagi Kumpeni Belanda untuk memperluas kekuasaannya dan memperlebar sayapnya untuk dapat menguasai semua perdagangan mengeduk hasil bumi yang kaya raya dari Nusa Jawa. Karena itu Gubernur Jenderal Coen menyebar kaki tangannya untuk membujuk orang-orang cerdik pandai dan sakti untuk membantu Kumpeni Belanda, menjadi mata-mata dengan imbalan hadiah harta benda. Juga dia selalu menggunakan siasat untuk mengadu domba dan membangkitkan semangat daerah-daerah untuk memberontak kepada Mataram. Diam-diam Kumpeni Belanda membantu dan menyokong mereka yang mau memberontak terhadap Mataram. Akan tetapi hal ini dilakukan dengan rahasia agar tidak ketahuan karena Kumpeni Belanda juga menjaga agar tidak mengadakan permusuhan terbuka dengan Mataram yang kuat.

   Demikianlah, melihat Kadipaten Tuban menjadi penghalang, Sultan Agung mengirim pasukan menyerbu Tuban. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Kadipaten Tuban jatuh dan takluk kepada Mataram. Setelah Tuban jatuh, mulailah Mataram mengerahkan pasukan untuk melakukan penyerangan ke Surabaya.

   Akan tetapi ternyata Surabaya tidak mudah ditundukkan. Dengan bantuan dari Madura, juga secara diam-diam dibantu Kumpeni Belanda yang sengaja memasang kapal-kapalnya di sekitar pantai Gresik sehingga menutup kemungkinan penyerbun Mataram melalui laut, Surabaya mempertahankan diri sehingga berulang kali serbuan pasukan Mataram dapat digagalkan. Selama tiga tahun, dari tahun 1620 sampai tahun 1623, berulang kali serangan dilakukan Mataram dan Surabaya tetap dapat mempertahankan diri. Mataram hanya berhasil menduduki daerah-daerah di luar Surabaya yang menjadi daerah kekuasaan Surabaya, di antaranya Kadipaten Sukadana.

   Demikianlah keadaan pada waktu itu. Surabaya masih belum dapat ditaklukkan dan melihat betapa Surabaya diperkuat oleh Madura, maka Sultan Agung mengubah siasatnya. Mataram hendak menyerang dan menaklukkan Madura lebih dulu karena kalau Madura sudah ditaklukkan, berarti Surabaya dapat dikepung dan akan lebih mudah dikalahkan. Sementara itu, di Kadipaten Arisbaya terjadi sedikit kekacauan setelah Adipati Arisbaya yang berjuluk Panembahan Tengah atau Pangeran Tengah wafat (1620). Pangeran Tengah ini mempunyai seorang putera yang bernama Raden Prasena yang pada saat ayahnya meninggal dunia masih merupakan seorang pemuda remaja berusia limabelas tahun.

   Menurut ketentuan adat, semestinya dia yang menggantikan kedudukan adipati di Arisbaya menggantikan ayahnya yang wafat. Akan tetapi kedudukan ini didaulat oleh Pangeran Mas, yaitu adik mendiang Pangeran Tengah. Tanpa menimbulkan banyak heboh karena Pangeran Mas memiliki kekuasaan, dia menggantikan kedudukan kakaknya dengan alasan bahwa Raden Prasena masih terlampau muda untuk menjadi adipati yang harus memimpin Kadipaten Arisbaya. Betapapun juga, cara yang diambil Pangeran Mas ini diam-diam menimbulkan rasa tidak puas dan dianggap bertentangan dengan hukum.

   Namun, kedudukan Pangeran Mas yang setelah menjadi Adipati Arisbaya berjuluk Pangeran Adipati Ngabehi Arisbaya amat kuat, terutama sekali karena dia didukung seorang datuk besar yang disegani dan ditakuti di Madura, yaitu Ki Harya Baka Wulung! Datuk sakti mandraguna inilah yang membuat semua pihak yang tidak setuju, tidak berani banyak cakap lagi. Ki Harya Baka Wulung diangkat menjadi penasihat di Kadipaten Arisbaya. Ki Harya Baka Wulung inilah yang membujuk Adipati Arisbaya untuk memhantu Surabaya ketika berulang kali diserang oleh Mataram. Bahkan Ki Harya Baka Wulung ini telah mengadakan persekutuan dengan Wiku Menak Koncar datuk Kadipaten Blambangan dan Kyai Sidhi Kawasa tokoh sakti mandraguna dari Kerajaan Banten.

   Tiga orang datuk besar yang digdaya dan sakti mandraguna ini bekerja sama dengan satu tujuan, yaitu menentang Kerajaan Mataram. Mereka bertiga bahkan melakukan perjalanan ke daerah Mataram, diam-diam membujuk orang-orang yang memiliki kedigdayaan dan yang memiliki perkumpulan kuat untuk membantu Surabaya menentang Mataram! Dalam rangka kegiatan itulah mereka bertiga berada puncak Gunung Lawu dan membunuh Ki Bargowo yang tidak mau membantu Surabaya. Memang, mereka bertiga itu bertekad untuk membunuh tokoh-tokoh yang setia kepada Mataram.

   Dalam peristiwa itulah mereka bertiga bertemu dengan Resi Tejo Wening dan dalam adu kesaktian terpaksa mereka mengakui keunggulan sang resi seperti diceritakan di bagian depan kisah ini. Setelah gagal menandingi Resi Tejo Wening, tiga orang datuk itu lalu saling berpisah, kembali ke daerah masing-masing. Ki Harya Baka Wulung kembali ke Kadipaten Arisbaya dan dia segera turun tangan membantu Pangeran Mas yang merebut kedudukan adipati dari tangan keponakannya, yaitu Raden Prasena. Selanjutnya Ki Harya Baka Wulung diangkat menjadi penasihat oleh adipati yang baru dan Raden Prasena oleh pamannya diharuskan meninggalkan istana kadipaten dan tinggal di Sampang agar mendapatkan pendidikan dari seorang pamannya yang lain, yaitu Pangeran Sante Merta.

   Demikianlah, Ki Harya Baka Wulung menjadi seorang yang berkuasa besar, bahkan banyak kebijaksanaan yang diambil Adipati Ngabehi Arisbaya diatur olehnya. Juga Ki Harya Baka Wulung segera menempatkan putera tunggalnya, Dibyasakti, seorang pemuda berusia duapuluh lima tahun, menjadi senopati muda di Arisbaya! Ki Harya Baka Wulung mendapatkan sebuah rumah gedung megah dan dia hidup berdua saja dengan puteranya itu. Isterinya, ibu Dibyasakti, sudah lama meninggal dunia, bahkan pemuda itu tidak pernah melihat wajah ibunya yang meninggal dunia ketika melahirkan dia. Karena itu, Ki Harya Baka Wulung amat sayang kepada puteranya ini. Hampir seluruh aji kesaktiannya diajarkan kepada Dibyasakti sehingga pemuda itu menjadi seorang pemuda yang sakti mandraguna dan amat dibanggakan ayahnya.

   Setelah Ki Harya Baka Wulung menjadi penasihat Kadipaten Arisbaya dan mengangkat puteranya menjadi senopati, dia menasihatkan Adipati Pangeran Mas untuk mengadakan hubungan dengan para bupati dan adipati lain di seluruh Madura untuk bersiap-siap menghadapi Mataram. Untuk menjadi utusan adipati, ditunjuk Dibyasakati sendiri untuk mengunjungi para adipati terutama Adipati Pamekasan yang memiliki pasukan yang besar dan kuat. Maka pada suatu pagi, berangkatlah Dibyasakti meninggalkan Arisbaya. Biarpun dia seorang senopati, namun dia tidak membawa pengiring atau pengawal yang dianggapnya hanya akan merepotkan saja.

   Seorang diripun dia mampu menjaga diri. Setelah membawa surat-surat dari Sang Adipati Arisbaya, dia lalu menunggang seekor kuda pilihan, yaitu kuda Arab, pemberian hadiah dari Kumpeni Belanda. Memang pihak Kumpeni banyak memberi hadiah, terutama kuda-kuda yang didatangkan dari Arab, kuda yang besar dan kuat untuk menyenangkan hati para adipati sehingga mereka dapat membeli hasil bumi kadipaten itu, tentu saja yang mendatangkan keuntungan besar sekali untuk mereka. Kuda yang ditunggangi Dibyasakti adalah seekor kuda Arab yang merupakan seekor di antara lima ekor kuda Arab yang dihadiahkan Kumpeni kepada Kadipaten Arisbaya.

   Gagah sekali pemuda itu, sesuai dengan kuda tinggi besar yang ditungganginya. Dibyasakti memang seorang pemuda yang tampak gagah perkasa. Usianya sekitar duapuluh lima tahun. Tubuhnya tinggi besar dengan kulit coklat mengkilat. Rabutnya hitam tebal agak keriting dibungkus kain pengikat kepala yang dilibatkan di kepalanya dengan bentuk yang gagah, khas Madura. Wajahnya kemerahan, alis tebal sepasang matanya lebar dan tajam seperti mata burung elang, hidungnya besar dan sebaris kumis tumbuh subur seperti kumis Sang Gatotkaca. Mulutnya membayangkan kekerasan hatinya dengan dagu berlekuk.

   Sepasang lengan yang memegang kendali kuda itu tampak kokoh kuat, dengan otot melingkar-lingkar. Seorang pemuda yang tampak gagah perkasa. Sebatang keris panjang bergagang kayu cendana bertabur intan dengan warangka terukir indah terselip di pinggangnya, menambah kegagahannya. Kuda yang ditungganginya berlari congklang ketika dia meninggalkan Kadipaten Arisbaya dan semua orang yang berpapasan dengan dia memandang kagum dan juga takut karena semua orang mengenal pemuda yang gagah perkasa namun terkenal ringan tangan, keras hati, galak dan sombong ini.

   Ki Harya Baka Wulung tidak mempunyai banyak murid. Akan tetapi para muridnya itu, yang sudah mengeluarkan banyak harta benda untuk dapat membujuk Ki Harya Baka Wulung mengajarkan ilmu-ilmunya kepada mereka, hanya menerima satu dua macam ilmu saja. Bahkan Raden Prasena sendiri, putera adipati yang telah wafat, juga menjadi muridnya. Akan tetapi Raden Prasena inipun tidak sepenuhnya menerima ilmu-ilmu Ki Harya Baka Wulung yang mewariskan seluruh ilmunya kepada puteranya, yaitu Dibyasakti yang setelah menjadi senopati menggunakan sebutan Raden di depan namanya!

   Para adipati yang dikunjung Raden Dibyasakti menyambutnya dengan hormat setelah mereka mengetahui bahwa pemuda gagah perkasa itu adalah senopati muda Arisbaya dan menjadi utusan Sang Adipat. Mereka menanggapi surat dari Adipati Arisbaya dengan baik, dan menyatakan bersedia untuk bekerja sama menghadapi ancaman dari Mataram. Juga mereka menyatakan setuju dengan ajakan Adipati Arisbaya untuk membantu Surabaya kalau Mataram menyerang lagi karena bagi mereka, Surabaya merupakan benteng pertama yang melindungi mereka dari ancaman Mataram.

   Pada suatu pagi, Raden Dibyasakti tiba di luar Kadipaten Pamekasan. Dia menjalankan kudanya perlahan dari arah barat menuju timur. Ketika melihat debu mengepul di depan, dia menghentikan kudariya dan mengamati penuh perhatian. Kiranya yang membuat debu mengepul itu adalah serombongan orang berkuda, terdiri dari belasan orang berpakaian sebagai prajurit, mengawal sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda datang dari arah timur menuju ke barat.

   Setelah berhadapan, perwira komandan regu berkuda itu membentak kepada Raden Dibyasakti.

   "Heii, ki-sanak yang menunggang kuda di depan! Cepat andika turun dari kuda dan minggir agar kami dapat lewat dengan leluasa!"

   DIBYASAKTI adalah seorang pemuda yang berwatak angkuh. Dia merasa dirinya besar. Dia putera seorang tokoh sakti mandraguna yang berkedudukan tinggi di Kadipaten Arisbaya. Dia sendiri juga seorang yang memiliki kedigdayaan dan kedudukannya sebagai senopati membuat dia tidak rela mendapat perlakuan kasar. Andaikata perwira itu minta secara halus, mungkin dia akan minggirkan kudanya, mengalah karena merasa bahwa dia seoranng pendatang. Akan tetapi dia tidak suka mengalah menghadapi sikap kasar seperti itu yang sama sekali tidak menghargainya. Dia merasa direndahkan, bahkan dihina!

   "Kalianlah yang harus minggir dan biarkan aku lewat dulu!"

   Dia balas membentak sepasang matanya yang lebar dan tajam itu memandang galak.

   "Eh, keparat! Berani engkau bersikap kurang ajar kepada kami? Bukalah mata dan telingamu! Kami sedang mengawal Gusti Tumenggung Surobayu! Hayo cepat turun dan berlutut menyembah!"

   Bentak lagi komandan regu itu.

   Kemarahan Dibyasakti semakin memuncak.

   "Aku tidak sudi menyembah orang yang bukan menjadi sesembahanku, tak perduli siapapun adanya dia!"

   "Babo-babo, keparat! Kamu menantang, ya? Orang macam engkau ini harus dihajar!"

   Perwira itu memajukan kudanya dan dia mengangkat cambuk kudanya menyerang dengan ayunan cambuk ke arah Dibyasakti.

   "Tarrr....!"

   Cambuk melecut dan meluncur ke arah kepala Dibyasakti. Akan tetapi dengan tenang pemuda tinggi besar ini menyambut dengan tangan kirinya yan bergerak cepat menangkap ujung cambuk lalu dengan sentakan yang amat kuat dia menarik. Perwira itu terkejut, tak mampu mempertahankan diri dan diapun terguling dari atas kudanya! Perwira itu sesungguhya bukan seorang yang lemah. Dia seorang yang digdaya sehingga dapat terpilih menjadi perwira. Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan seorang pemuda yang sakti mandraguna. Sentakan tadi mengandung tenaga dalam yang teramat kuat dan datangnya begitu tiba-tiba sehingga perwira itu tidak sempat mempertahankan diri dan terguling jatuh.

   Limabelas orang anak buahnya melihat ini segera berlompatan dari atas kuda mereka dan mereka mencabut golok dari pinggang mereka. Dibyasakti juga melompat turun dari atas punggung kudanya dan dia menyambut mereka dengan senyum mengejek di bibir. Dia memandang limabelas orang perajurit dan juga perwira yang tadi jatuh dan kini sudah bangkit kembali ikut mengepungnya. Golok mereka berkilauan tertimpa sinar matahari pagi.

   "Orang muda, cepatlah menyerah sebelum kami terpaksa mencincang tubuhmu!"

   Bentak perwira tadi. Bentakan ini cukup membuat kemarahan di hati Dibyasakti agak menurun. Bagaimanapun juga, perwira itu tidak bersikap sewenang-wenang mengandalkan pengeroyokan banyak orang dan sebelum mengeroyok memberi kesempatan kepadanya untuk menyerahkan diri. Untung bagi seregu prajurit itu karena sikap perwira itu membebaskan mereka dari bahaya maut. Karena kemarahannya mereda, Dibyasakti tidak berniat untuk membunuh mereka.

   "Aku tidak bersalah, mengapa harus menyerah? Kalau kalian hendak mengenal siapa aku, maju dan keroyoklah. Ditambah seratus orang lagi aku tidak akan mundur!"

   Mendengar jawaban yang congkak ini sang perwira memberi aba-aba nyaring.

   "Serbu....!!"

   Dan enambelas orang itu lalu menerjang maju. Akan tetapi mereka di sambut tamparan-tamparan dan tendangan yang cepat sekali datangnya dan dahsyat sehingga mereka kocar-kacir dan tubuh mereka berpelantingan. Perwira itu sendiri hanya dapat bertahan selama lima jurus saja. Akhirnya ketika dia membacokkan goloknya, golok yang tajam itu ditangkap begitu saja oleh tangan kiri Dibyasakti dan sekali renggut, golok itu terlepas dapi tangan pemegangnya dan sebuah tendangan mengenai perut sang perwira yang terlempar dan terbanting keras.

   Tiba-tiba seorang laki-laki berusia limapuluh tahun turun dan keluar dari kereta itu. Dia seorang laki-laki tinggi kurus, berpakaian seperti seorang bangsawan.

   "Tahan perkelahian dan semua prajurit mundurlah!"

   Seru orang itu. Mendengar ini, para prajurit yang sudah panik dan kocar-kacir itu lalu mundur ke dekat kereta, membiarkan laki-laki itu menghadapi Dibyasakti. Dibyasakti sudah siap menghadapi lawan baru. Dia tahu bahwa orang ini tentu berbeda dengan para perajurit, tentu seorang yang memiliki kedigdayaan kalau diingat bahwa pangkatnya adalah seorang tumenggung. Tentu saja dia tidak ingin bermusuhan dengan ponggawa Pamekasan

   
😗

   
yang hendak dikunjunginya, maka ia menghadapi laki-laki yang tadi disebut namanya sebagai Tumenggung Surobayu oleh perwira itu dengan sikap tenang.

   Tumenggung Surobayu mengamati pemuda gagah perkasa di depannya dengan penuh perhatian. Diam-diam dia kagum melihat pemuda yang gagah itu, apalagi dia sudah melihat sepak terjangnya yang dahsyat ketika pemuda itu dengan tangan kosong menghadapi pengeroyokan enam belas orang perajurit dan membuat mereka yang memegang golok itu kocar-kacir.

   "Orang muda, siapakah andika dan mengapa andika menghadang perjalananku?"

   "Nama saya Raden Dibyasakti dan saya sama sekali tidak menghadang perjalanan andika."

   "Hemm, akan tetapi aku melihat andika tadi berkelahi melawan para perajurit yang mengawal perjalananku!"

   "Mereka itulah yang bersikap kasar dan sama sekali tidak menghormati saya, bahkan mereka pula yang lebih dulu menyerang saya. Saya hanya membela diri."

   Tumenggung Surobayu mengangguk-angguk.

   "Hemm, begitukah? Kalau benar demikian, maafkanlah para pengawalku. Agaknya andika bukan kawula Pamekasan, maka tidak mengenalku. Aku adalah Tumenggung Surobayu, panglima Pamekasan. Dari manakah andika datang dan ada keperluan apa andika hendak menuju ke Pamekasan?"

   "Ah, kiranya paman Tumenggung Surobayu adalah panglima Pamekasan? Maafkan, paman, karena saya tidak mengetahui sebelumnya. Perkenalkan, saya Raden Dibyasakti adalah senopati muda dari Kadipaten Arisbaya dan saya memang hendak menghadap Sang Adipati Pamekasan untuk menyampaikan pesan Sang Adipati Arisbaya. Saya adalah utusan Kadipaten Arisbaya, paman."

   Tumenggung Surobayu terkejut dan meinandang pemuda itu dengan mata terbelalak.

   "Anakmas adalah seorang senopati muda dari Kadipaten Arisbaya? Ah! Tidak aneh kalau andika demikian digdaya. Sekali lagi maafkan para pengawal saya, anak-mas Dibyasakti."

   "Saya juga minta maaf, paman tumenggung."

   "Anakmas hendak menghadap Sang Adipati Pamekasan? Kalau begitu, biarlah saya menunda kepergian saya dan mari saya antarkan andika menghadap beliau."

   "Terima kasih, paman."

   Mereka berdua lalu memasuki kereta dan kuda milik Dibyasakti dituntun seoran perajurit atas perintah Tumenggung Surobayu. Mereka memasuki Kadipaten Pamekasan dan langsung Ki Tumenggung Surobayu mengantar tamunya menghadap Sang Adipati Pamekasan. Kereta itu berhenti di depan pintu gerbang istana kadipaten. Tumenggung Surobayu mengajak Dibyasakti memasuki gapura berjalan kaki. Para penjaga di depan istana kadipaten itu menyambut dengan hormat atasan mereka itu dan memberi tahu bahwa pada saat itu, sang adipati sedang berada di bagian belakang istana sedang berada di istal kuda bersama puterinya.

   Sebagai seorang pembantu dekat yang dipercaya, mendengar ini Tumenggung Surobayu mengajak tamunya langsung saja menyusul ke istal yang berada di belakang istana kadipaten. Mereka tiba di bagian tempat memelihara kuda-kuda milik kadipaten. Tempat itu cukup luas, dengan bangunan istal-istal yang bersih dan di situ terdapat pula sebuah lapangan rumput yang luas di mana biasanya sang adipati bersama keluarganya menunggang kuda. Ketika mereka berdua tiba di situ, Tumenggung Surobayu dan Dibyasakti terkejut melihat seekor kuda tampan yang besar sedang marah. Di punggung kuda hitam itu duduk seorang gadis cantik yang tampak ketakutan dan berusaha mempertahankan diri agar jangan sampai terlempar dari atas punggung kuda yang sedang marah itu. Kuda itu meringik-ringkik, mengangkat kedua kaki depan ke atas dan mengguncang-guncangkan badannya seolah berusaha melempar penunggangnya dari atas punggungnya. Seorang laki-laki setengah tua yang melihat pakaiannya mudah dikenal sebagai Adipati Pamekasan, bersama dua orang perawat kuda, berusaha menenangkan kuda yang mengamuk itu. Akan tetapi usaha ini sia-sia belaka, bahkan dua orang perawat kuda itu sudah terpelanting terkena sepakan kaki kuda yang mengamuk itu.

   Sang Adipati Pamekasan tampak panik Ketika dia melihat munculnya Tumenggung Surobayu, dia berseru.

   "Adi Tumenggung cepat tolong puteriku....!"

   Tumenggung Surobayu cepat berlar menghampiri dan menangkap kendali kuda dekat mulut binatang yang marah itu. Akan tetapi kuda itu malah menyerangnya dan berusaha menggigit lengannya. Tumenggung Surobayu terpaksa melepaskan kendali dan kuda itu sudah menyerang dengan kedua kaki depan yang diangkatnya tinggi-tinggi. Kuat sekali kedua kaki itu menghantam ke arah Tumenggung Surobayu. Panglima Pamekasan ini menangkis dengan kedua tangannya.

   "Bresss....!"

   Dia terpelanting roboh dan, kuda yang marah itu sudah mengangkat kedua kaki depannya lagi, siap untuk menginjak tubuh sang tumenggung. Keadaannyaa amat gawat dan gadis yang masih dapat bertahan di atas punggung kuda itu menjerit ngeri melihat kuda itu hendak menginjak tubuh sang tumenggung.

   Pada saat itu, Dibyasakti cepat melompat ke depan. Bayangannya berkelebat dan dia sudah menangkap kedua kaki depan kuda itu, mengerahkan tenaga dan kuda itu tidak mampu bergerak lagi! Selamatlah Ki Tumenggung yang cepat menggulingkan tubuhnya dan bangkit berdiri. Kuda yang tidak

 
   


JILID 8


   mampu menggerakkan dua kakinya yang ditangkap Dibyasakti itu kini meloncat-loncat dengan kaki belakangnya. Gerakannya demikian liar dan cepat sehingga gadis yang mati-matian mempertahankan diri di atas punggung kuda itu, tidak kuat bertahan lagi dan iapun terlempar ke atas dari punggung kuda ketika binatang itu meloncat-loncat dengan dua kaki belakangnya! Melihat ini, Dibyasakti melepaskan kedua kaki depan kuda dan mendorongnya.

   Kuda itu terlempar ke belakang dan terbanting jatuh. Sementara itu, tubuh gadis itu melayang ke

   bawah dan iapun menjerit ketakutan. Dibyasakti cepat menjulurkan kedua lengannya dan tubuh gadis cantik jelita itu mendarat dengan empuk di atas kedua lengan Dibyasakti yang kokoh kuat! Kedua lengan itu dengan tepat menyangga belakang pinggul dan belakang punggung gadis itu sehingga gadis itu berada dalam pondongan Dibyasakti. Tubuh gadis itu terasa lunak dan hangat dalam dekapannya, ketika gadis itu mengangkat muka memandang, muka mereka begitu berdekat Dibyasakti terpesona!

   Dia adalah seorang pemuda yang sudah banyak bergaul dengan wanita cantik, bahkan dia terkenal sebagai seorang pemburu wanita dan di Arisbaya banyak wanita tergila-gila kepadanya. Akan tetapi sekali ini dia benar-benar terpesona! Dia seperti seorang laki-laki yang belum pernah melihat wanita cantik. Dan memang bagi Dibyasakti, dia merasa belum pernah melihat seorang perawan secantik menarik gadis dalam pondongannya itu. Mata itu! Hidung itu! Bibir itu! Dia seperti merasa dalam mimpi memondong seorang dewi dari kahyangan. Tanpa terasa dia memeluk lebih erat dan menekan tubuh itu ke dadanya! Hidungnya seperti mencium harum sejuta melati keluar dari tubuh gadis itu. Dia sampai lupa bahwa terlalu lama dia membiarkan tubuh yang harum, lembut dan lentur itu dalam pondongannya.

   "Lepaskan aku....!"

   Gadis itu berkata, kaki tangannya bergerak-gerak hendak melepaskan diri.

   Barulah Dibyasakti teringat. Dia melepaskan tubuh itu dengan gerakan lembut dan hati-hati seolah menurunkan seorang bayi dari pondongannya. Begitu diturunkan dari pondongan, gadis itu lalu berlari ke dalam rangkulan ayahnya.

   "Syukur kepada Gusti Allah engkau selamat, nini!"

   Kata Adipati Pamekasan sambil merangkul puterinya.

   Tumenggung Surobayu segera berkata.

   "Wah, sungguh beruntung andika dapat Menyelamatkan sang puteri, anakmas! Kakangmas Adipati, orang muda ini adalah utusan dari Sang Adipati Arisbaya yang mohon menghadap paduka, maka saya bawa dia menyusul ke sini."

   Dengan lengan kiri masih merangkul puterinya, adipati itu memandang Dibyasakti, lalu berkata.

   "Utusan Sang Adipati Arisbaya? Siapa namamu, orang muda yang gagah? Dan apa kedudukanmu di Arisbaya?"

   Dibyasakti memberi hormat dengan sembah.

   "Saya bernama Raden Dibyasakti dan menjadi senopati muda di Arisbaya gusti."

   "Senopati muda Arisbaya? Ah, pantas engkau begitu tangkas. Engkau telah menyelamatkan puteriku. nini Sriyatun, Dibyasakti, untuk itu kami berterima kasih sekali kepadamu dan tentu kami akan memberi hadiah kepadamu. Akan tetapi kulihat engkau tangkas dan sakti mandraguna, dapat menaklukkan Si Gagak Cemeng denga mudah, padahal kuda ini amat kuat dan tadi sedang mengamuk dan liar. Tentu engkau memiliki seorang guru yang sakti!"

   "Saya menerima gemblengan dari ayah saya sendiri, gusti."

   "Ah, begitukah? Dan siapa ayahmu yang sakti mandraguna itu?"

   "Ayah saya menjadi penasihat di Kadipaten Arisbaya, nama ayah saya Ki Harya Baka Wulung."

   "Jagad Dewa Bathara....!"

   Adipati Pamekasan itu berseru dan wajahnya tampak gembira.

   "Kiranya putera Kakang Harya Baka Wulung sendiri? Ha-ha-ha, kalau begitu engkau masih keponakanku sendiri, Dibyasakti. Kakang Harya itu seperti kakakku sendiri. Jangan sebut aku gusti, panggil paman saja! Sriyatun, sapa kang-masmu ini, dia ini seperti keponakanku sendiri!"

   Dengan sikap malu-malu dan rikuh gadis itu membungkuk ke arah Dibyasakti dan mulutnya yang berbibir merah basah clan mungil itu berkata lirih.

   "Kakangmas Dibyasakti.... !"

   "Diajeng Sriyatun, aku girang andika tidak cidera tadi."

   "Berkat pertolonganmu, kakangmas...."

   "Ha-ha-ha, Dibyasakti. Engkau keponakanku sendiri dan utusan adimas Adipati Pangeran Mas di Arisbaya. Mari kita masuk dan bicara di dalam. Adimas Tumenggung, atur supaya penjinak kuda dapat menjinakkan Si Gagak Cemeng. Kuda itu belum jinak benar. Tadi ketika Sriyatun berkeras hendak mencoba menungganginya, dia menjadi binal dan mengamuk."

   "Sendika, Kakangmas Adipati!"

   Kata Tumenggung Surobayu sambil menyembah.

   "Mari, anak-mas Dibya!"

   Sang Adipa mengajak tamunya sambil menggandeng tangan puterinya, menuju ke istana kadipaten melalui pintu belakang, terus menuju ke ruangan tengah di mana dia mempersilakan pemuda itu duduk berhadapan dengan dia, sedangkan Sriyatun sudah mengundurkan diri masuk ke ruangan keputren. Setelah menyerahkan surat dari Adipati Arisbaya, Dibyasakti disambut dengan ramah oleh Adipati Pamekasan. Sang Adipati menyatakan persetujuannya denga penuh semangat.

   "Memang kita harus menyatukan kekuatan untuk melawan Mataram!"

   Kata nya.

   "Sampaikan kepada adimas Adipati Arisbaya bahwa kami sudah siap dan harap jangan khawatir. Kalau pasukan Mataram berani mendarat di pesisir kita, aku sendiri yang akan memimpin pasukan untuk melawan mereka!"

   Setelah berbincang-bincang kemudian disambut dengan perjamuan selamat datang, Dibyasakti mohon diri berpamit dari tuan rumah.

   "Ah, kenapa tergesa-gesa, anak-mas? Engkau bukan hanya utusan adimas Adipati Arisbaya, melainkan engkau adalah keponakanku sendiri. Anggaplah engkau berkunjung ke rumah pamanmu sendiri dan engkau harus tinggal bermalam di sini selama dua tiga hari. Aku masih kangen dan banyak yang ingin kubicarakan denganmu, anak-mas!"

   Adipati Pamekasan membujuk Dibyasakti dan akhirnya pemuda ini menerima juga tawaran Adipati Pamekasan untuk bermalam di situ selama dua malam. Ssesungguhnya, kalau Dibyasakti menerima tawaran itu adalah karena dia ingin sekali bertemu lagi dengan Sriyatun! Dia merasa rindu karena semenjak pertemuan pertama yang amat mengesankan hatinya itu, Sriyatun tidak pernah lagi menampakkan dirinya.

   Bahkan sampai lewat malam pertama di kadipaten, dia belum juga dapat bertemu perawan itu. Dia merasa penasaran sekali, akan tetapi untuk bertanya tentang gadis itu kepada Sang Adipati, tentu saja dia merasa rikuh. Pada malam kedua, malam terakhir dia tinggal di Kadipaten Pamekasan, dia tidak tahan lagi.

   Malam itu dia harus dapat bertemu atau setidaknya melihat Sriyatun untuk mengobati rasa rindunya. Malam ini terang bulan. Langit bersih dan cerah. Malam sejuk yang indah sekali. Sinar bulan mendatangkan suasana yang romantis. Tentu saja Dibyasakti tidak betah berada dalam kamarnya. Tanpa diketahui orang malam itu dia keluar dari kamarnya dan memasuki taman bunga yang letaknya di belakang kadipaten, di sebelah kiri tempat pemeliharaan kuda. Taman itu luas sekali, penuh dengan beraneka bunga. Bunga mawar beraneka warna, dan banyak bunga melati dan menur yang menyebarkan keharuman yang khas. Ada pula pohon bunga arum-dalu, kenanga, dan kantil yang membuat taman sari itu semerbak harum.

   Ketika memasuki taman yang bermandikan cahaya bulan purnama itu, Dibyasakti merasa seperti tenggelam ke dalam lautan bunga yang harum memabokkan. Semangatnya seperti melayang-layang dan terbayanglah semua kemesraan dengan wanita-wanita cantik yang pernah dialaminya. Wajah-wajah cantik itu seperti meleyang-layang di depan matanya, kemudian semua wajah wanita cantik itu menghilang dan yang tinggal hanya sebuah wajah. Wajah Sriyatun! Dan rasa rindunya semakin menekan.

   Aku harus menemuinya, pikirnya berbisik. Kalau perlu, aku akan menyusup ke dalarn keputren, seperti maling! Tidak akan sukar baginya. Dia harus menemuinya malam ini juga. Sekedar pamit, sekedar untuk menatap wajah itu sekali lagi! Dia harus!

   Tiba-tiba dia mendengar suara orang. Cepat sekali tubuhnya sudah menyelinap ke balik serumpun bambu kuning yang tumbuh di situ dan mengintai. Dua sosok bayangan orang berjalan perlahan menuju ke situ. Ketika dua bayangan itu lewat dekat, jantungnya berdegup dan dia memusatkan kekuatan pandang matanya untuk dapat melihat lebih jelas lagi. Di bawah sinar bulan yang lembut, dia melihat Sriyatun sebagai satu di antara dua bayangan itu. Dan perawan yang dirindukannya itu tampak demikian cantik jelita, ayu manis merak ati. Tubuhnya seperti terbungkus cahaya bulan, seolah memancarkan kehangatan yang terasa olehnya. Ketika dia memperhatikan bayangan kedua, alisnya berkerut. Orang kedua itu adalah seorang muda yang bertubuh sedang, pakaian rapi dan wajahnya membuat dia merasa hatinya panas oleh cemburu karena wajah itu tampan sekali! Mereka melangkah perlahan melewatinya, dekat sekali sehingga dia dapat mendengar jejak langkah merek mendengar berkereseknya kain yang dipakai Sriyatun.

   Setelah mereka lewat, Dibyasakti cepat bergerak, menyusup-nyusup dan membayangi kedua orang muda itu. Hatinya yang sudah panas itu menjadi semakin penasaran lagi ketika kini dia melihat pemuda itu memegang tangan kiri Sriyatun dan menggandengnya dengan sikap mesra. Dia mendengar sendiri degup jantungnya sehingga dia khawatir kalau-kalau degup jantungnya itu akan terdengar oleh dua orang yang dibayanginya.

   Di tengah taman itu terdapat sebuah pondok bambu mungil tanpa dinding, han lantai dari papan, tiang dan atap saja. situ terdapat bangku-bangku panjang d biasanya keluarga sang adipati sering duduk di pondok ini, terutama kalau siang hari panas. Dua orang muda yang bergandengan tangan itu menuju ke pondok ini dan mereka duduk di atas bangku panjang, berdampingan. Mereka bercakap-cakap sambil duduk berdempetan dan kini lengan kanan pemuda itu merangkul pundak Sriyatun dengan amat mesra. Karena mereka bicara lirih sekali, terpaksa Dibyasakti harus bergerak mendekati dan bersembunyi di balik pohon kecil kemuning yang tumbuh di dekat pondok. Kini dia dapat mendengar suara mereka dengan jelas.

   "". ah, benarkah kata-katamu itu, diajeng?"

   Kata pemuda itu.

   "Kakang-mas Karyadi, pernahkah aku berbohong kepadamu? Aku merasa yakin bahwa dia itu bukan orang baik-baik. Ketika dia menyelamatkan aku dan memondongku, aku dapat merasakan sentuhannya dan sinar matanya""huh, mengerikan, kakangmas....!"

   Pemuda bernama Karyadi itu tertawa.

   "Ha-ha-ha, kukira engkau hanya salah sangka saja, diajeng. Dia itu bukan orang biasa. Dia utusan Sang Adipati Arisbaya, dan itu seorang senopati muda! Dia sudah menyelamatkan dirimu, diajeng. Bagaimana engkau malah mencurigai dan tidak percaya kepadanya? Bukankah Kanjeng Paman Adipati sendiri menerimanya dengan ramah dan menganggap dia keponakan sendiri karena dia putera Ki Harya Baka Wulung yang amat terkenal karena sakti mandraguna itu? Di seluruh Madura, siapa yang tidak mengenal Ki Baka Wulung?"

   Gadis itu mencibir.

   "Terkenal kesesatannya maksudmu, kakang-mas?"

   "Ssstt....! Kenapa engkau bilang begitu diajeng?"

   Karyadi menyentuh bibir yang mungil dan merah basah itu seolah hendak mencegah gadis itu bicara yang bukan-bukan.

   "Aku mendengar dari cerita ibuku sendiri, kakang-mas! Menurut cerita ibuku, Harya Baka Wulung itu dahulu di waktu mudanya, ketika berkunjung ke sini, sudah berani mencoba untuk menggoda ibuku. Karena itulah maka ibuku berpesan kepadaku agar jangan dekat-dekat dengan puteranya itu."

   "Sudahlah, diajeng. Jangan khawatir dan jangan takut. Ada aku di sini, aku calon suamimu yang akan selalu melindungimu. Kalau ada aku di sampingmu, siapa yang akan berani mengganggumu?"

   Setelah berkata demikian, pemuda itu merangkul dan memeluk kekasihnya. SriAun menghela napas manja dan lega, enyandarkan kepalanya di dada tunanginya itu. Dibyasakti yang sejak tadi mengintai dan mendengarkan percakapan itu, tentu saja menjadi marah bukan main. Gadis itu berani mencela nama ayahnya, berarti penghinaan! Dia memang terpesona dan tergila-gila kepada Sriyatun, akan tetapi kini kegandrungannya itu bercampur dendam kemarahan. Apalagi mendengar bahwa pemuda itu adalah calon suami gadis yang digandrunginya itu, habislah harapannya ituk dapat mempersunting Sriyatun. Otaknya yang licik itu diputar dan tiba-tiba ia sudah mengambil sebuah keputusan yang hanya dapat dipikirkan seorang yang dah kemasukan iblis.

   "Maling hina! Berani mati engkau mengganggu sang puteri!"

   Tiba-tiba Dibyasak melompat dan membentak.

   Sepasang muda-mudi yang sedang bermesraan itu terkejut bukan main. Raden Karyadi, pemuda itu, adalah putera Tumenggung Surobayu dan sebagai putera tumenggung, tentu saja dia bukan seoral pemuda lemah dan mahir olah keperwiraan. Melihat ada orang melompat dan membentak, diapun cepat melepaskan rangkulannya dari pundak Sriyatun lalu melompat dan berdiri melindungi kekasihnya.

   Akan tetapi Dibyasakti tidak memberi kesempatan kepadanya untuk bicara karena dia sudah menerjang dengan serangan pukulan tangan kanan yang dahsyat. Karyadi melihat pukulan itu cepat menangkis sambil miringkan tubuhnya.

   "Wuuttt... dukkk...!!"

   Ternyata kekuatan Karyadi belum mampu mengimbangi tenaga Dibyasakti yang dahsyat. Pertemuan kedua lengan itu membuat tubuh Karyadi terpelanting sampai keluar dari dalam pondok!

   Melihat kejadian ini, Sriyatun terkeiut bukan main. Tadinya ia terbelalak memandang orang yang datang itu, akan tetapi ketika ia mengenal bahwa orang itu adalah Dibyasakti yang menjadi tamu ayahnya, dan melihat Dibyasakti membuat tunangannya terpelanting keluar pondok, ia menjerit.

   "Kakang-mas Dibyasakti! Dia bukan maling, bukan penjahat. Dia itu kakang-mas Karyadi, tunanganku, calon suamiku!"

   Akan tetapi Dibyasakti seolah tidak mendengar ucapan ini, atau memang dia tidak mau mendengarkan. Dia sudah melompat keluar dari pondok dan menyerang lagi ke arah Karyadi. Karyadi sudah siap siaga. Melihat Dibyasakti tetap menyerangnya walaupun Sriyatun telah memperkenalkan dirinya, dia tahu bahwa orang ini memang sengaja berniat jahat. Maka diapun mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk menghindar dari serangan yang kedua itu.

   Dia tidak berani menangkis, maklum bahwa tenaganya kalah kuat. Elakannya yang cepat membuat

   pukulan Dibyasakti tadi luput dan Karyadi berseru nyaring.

   "Ki-sanak, Ki-sanak, tahan dulu....!!"

   Akan tetapi Dibyasakti yang sudah mengambil keputusan bulat untuk membinasakan pemuda yang menjadi kekasih Sriyatun itu, menggosok kedua telapak tangannya. Tampak asap hitam mengepul dan dia mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Karyadi sambil membentak.

   "Aji Kukus Langking.... !"

   Aji pukulan sakti ini dahsyat bukan main. Asap hitam yang menyambar itu selain membawa hawa pukulan maut, juga kalau mengenai kulit lawan, asap itu dapat membakar seperti api! Karyadi terkejut dan cepat dia membuang diri ke atas tanah dan berguling menghindar sampai jauh. Ketika dia bangkit berdiri, dia sudah mencabut kerisnya. Pemuda ini mengambil keputusan untuk melawan mati-matian, bukan untuk menyelamatkan dirinya, melainkan terutama sekali untuk membela dan melindungi kekasihnya, Sriyatun. Kalau saja di situ tidak ada Sriyatun, dia tentu sudah melarikan diri karena dia maklum sepenuhnya bahwa dia tidak akan mampu menandingi lawan yang sakti mandraguna ini. Akan tetapi dia harus membela dan melindungi kekasihnya dengan taruhan nyawa. Maka, dia mencabut kerisnya dan masih berusaha untuk mengingatkan pemuda yang gagah seperti Gatotkaca itu.

"Ki-sanak, andika tentu Senopati Dibyasakti! Aku adalah Karyadi, putera Tumenggung Surobayu, bukan penjahat dan bukan musuh!"

   Akan tetapi Dibyasakti tidak perduli. Dia melompat ke depan dan dalam posisi setengah berjongkok dia siap menyerang. Melihat ini, Karyadi menjadi marah dan diapun maju dan menusukkan kerisnya. Pada saat itu, Dibyasakti membentak.

   "Aji Cantuka Sakti!"

   Dan kedua tangannya mendorong ke depan, dari perutnya terdengar bunyi kok-kok nyaring. Aji ini merupakan aji pamungkas andalan Ki Harya Baka Wulung yang telah diturunkan kepada puteranya itu. Dahsyat bukan main aji pukulan ini. Serangkum tenaga sakti yang menggiriskan menyambar dan menghantam Kariadi yang menusukkan kerisnya. Diterpa hawa pukulan ini, tubuh pemuda itu melayang seperti daun kering dihembus angin dan dia terbanting roboh dan tidak mampu bergerak lagi!

   Sriyatun berlari menghampiri kekasihnya lalu berlutut di dekat tubuh yang teentang itu.

   "Kakangmas Karyadi....! Kakangmas".!"

   Ia mengguncang-guncang tubuh pemuda itu dan matanya terbelalak memandang darah yang mengucur keluar dari mulut Karyad Akan tetapi yang dipanggil dan diguncang tidak bergerak dan tidak menjawab.

   "Kakangmas Karyadi.... kau""kau... mengapa, kakangmas?"

   "Dia sudah mati!"

   Tiba-tiba Dibyasak yang sudah berdiri di dekatnya berkata.

   "Mati....?? Kau.... kau.... membunuhnya.... oohhh....!"

   Sriyatun terkulai lemah dan roboh pingsan. Melihat gadis itu rebah miring dan kain yang dipakainya tersingkap ketika tadi berlari lalu menjatuhkan diri sehingga tampak sebagian pahanya, nafsu berahi yang memang sejak tadi menguasai hati akal pikiran Dibyasakti menjadi berkobar. Dia membungkuk dan memondong tubuh Sriyatun, lalu tanpa sangsi dan ragu, tanpa rasa takut atau rikuh, dia melangkah pergi membawa tubuh Sriyatun dalam pondok.

   Sesungguhnyalah bahwa segala macam gairah nafsu merupakan anugerah yang tak ternilai besarnya dari Tuhan Yang Maha Kasih. Gairah nafsu ini yang mendatangkan kenikmatan mata memandang sehingga nampak bentuk-bentuk dan warna-warna yang indah, membuat telinga menikmati pendengaran suara yang merdu, hidung menikmati penciuman yang sedap dan harum, mulut menikmati makanan yang lezat dan sebagainya. Termasuk nafsu berahi. Nafsu ini dianugerahkan kepada setiap makhluk hidup, terutama manusia dan gairah nafsu inilah yang membuat manusia dapat berkembang biak. Segala macam gairah nafsu merupakan anugerah yang mutlak diperlukan dalam kehidupan, merupakan peserta, merupakan abdi bagi manusia untuk mempertahankan hidup ini dan menikmati anugerah Tuhan. Akan tetapi, gairah nafsu dapat menjadi abdi yang baik selama kita mendekatkan rohani kita, batin kita, hati akal pikiran kita, dengan Tuhan sehingga Kekuasaan Tuhan akan selalu membimbing kita dan menguatkan batin kita sehingga kita akan mampu menjadi majikan dari nafsu-nafsu kita sendiri, mengendalikan gairah nafsu kita sendiri. Celakalah kita kalau kita lengah, jauh dari bimbingan Kekuasaan Tuhan, karena nafsu-nafsu itu akan selalu berusaha untuk menaklukkan kita. Kalau abdi-abdi nafsu itu telah berubah menjadi majikan kita, dan sebaliknya kita diperhamba olehnya, kita akan diseret ke dalam perbuatan-perbuatan sesat.

   Gairah nafsu berahi yang pada dasarnya merupakan anugerah terbesar dan mempunyai fungsi yang suci itu kalau sudah menjadi majikan dan memperhamba kita akan menyeret kita untuk melakukan perbuatan yang kotor dan jahat. Lahirlah perbuatan seperti perkosaan, perjinaan, pelacuran, dan sebagainya.

   Demikian pula halnya dengan Dibysakti yang sejak kecil terdidik secara salah oleh Ki Harya Baka Wulung. Sejak kecil dia menjadi hamba nafsu-nafsunya, selalu mengejar kesenangan. Dalam peristiwa malam itu, dia sudah menjadi hamba nafsunya. Bukan saja dia telah membunuh Karyadi yang tidak berdosa, hanya karena dia menganggap Karyadi merupakan penghalang untuk mendapatkan Sriyatun, akan tetapi dia melakukan perbuatan yang lebih keji lagi, yaitu dia menggagahi Sriyatun, memperkosa gadis yang sedang pingsan itu! Sungguh perbuatan biadab seorang manusia yang sudah dikuasai sepenuhnya oleh iblis. Semua pertimbangannya sebagai manusia telah hilang, yang ada hanyalah nafsu kebinatangan semata-mata.

   Setelah gairah nafsu tersalurkan, saat mana nafsu sudah tidak lagi menguasai hati akal pikiran karena sudah terpuaskan, barulah kesadaran kemanusiaannya kembali dan mengingatkan, membuat si pelaku menyadari akan perbuatannya. Demikian pula dengan Dibyasakti. Setelah kekejian yang dilakukannya selesai, barulah dia termenung, memikirkan akibat daripada semua perbuatannya itu! Dan muncullah penyesalan dalam hatinya. Dia maklum bahwa perbuatannya ini akan mendatangkan akibat yang hebat. Seluruh Kadipaten Pamekasan akan geger dan akibat perbuatannya ini, bukan saja dia akan dimusuhi seluruh kadipaten, bahkan bukan tidak mungkin Kadipaten Pamekasan akan menganggap Kadipaten Arisbaya sebagai musuh karena dia adalah senopati muda Arisbaya. Pada saat dia termenung itu tiba-tiba Sriyatun yang masih rebah telentang di atas bangku, bergerak, merintih dan ia bangkit duduk. Agaknya ia baru menyadari akan keadaannya. Ia terbelalak kemudian menjerit-jerit.

   Dalam keadaan bingung dan takut kalau jeritan itu akan menarik perhatian orang, Dibyasakti menggerakkan tangan kirinya dan sekali jari-jari tangannya menampar tengkuk Sriyatun, gadis itu terkulai roboh dan tewas seketika.

   Dibyasakti yang tadi sudah memutar otak mencari jalan keluar terbaik, cepat melompat keluar pondok. Dia mengangkat mayat Karyadi dan membawanya ke dalam pondok lalu merebahkannya di atas lantai pondok, dekat bangku di mana mayat Sriyatun menggeletak. Setelah itu dia berlari ke bagian pemeliharaan kuda dan melakukan pengintaian. Ketika dia melihat dua orang perawat kuda

   yang pernah dilihatnya tempo hari, dia cepat menghampiri mereka.

   "Kalian cepat bantu aku. Ada pencuri masuk ke dalam taman!"

   Katanya. Dua orang perawat kuda itu memandang dengan kaget. Mereka segera mengenal pemuda gagah perkasa ini.

   "Ah, andika, Raden? Di mana malingnya?"

   Tanya mereka.

   "Cepat ambil senjata kalian dan mari bantu aku menangkapnya!"

   Kata Dibyasakti. Dua orang itu menjadi berani untuk membantu karena mereka maklum bahwa pemuda yang menjadi tamu ini adalah seorang yang digdaya. Mereka cepat mengambil parang dan siap siaga dengan sikap gagah.

   "Mari, ikut aku!"

   Kata Dibyasakti dan mereka bertiga lalu berlari memasuki taman yang memang berdekatan dengan bagian pemeliharaan kuda itu. Setelah tampak pondok itu dari situ, Dibyasakti memberi isyarat agar mereka berhenti.

   "Kulihat tadi malingnya bersembunyi di pondok itu. Mari kita ke sana, hati-hati, perlahan saja jangan membuat gaduh."

   Mereka bertiga melangkah berindap-indap menghampiri pondok. Setelah tiba luar pondok, Dibyasakti yang sengaja berjalan di belakang, mengayun kedua tangannya. Dengan pengerahan tenaga sakti dia memukul ke arah kepala mereka dan dua orang perawat kuda itu roboh dan tewas tanpa sempat mengeluarkan suara lagi. Dengan sikap tenang, seolah membunuh empat orang itu baginya merupakan perbuatan biasa saja, Dibyasakti lalu mengambil dua buah parang yang terlepas dari tangan mereka, lalu memasuki pondo Kemudian, dengan mata tak berkedip sedikitpun dia menusukkan parang ke dada mayat Karyadi. Parang itu menancap situ sampai ke gagangnya.

   Kemudian dia menggunakan parang yang sebuah lagi untuk membacok punggung mayat Sriyatun yang rebah miring dan membiarkan parang itu menancap di punggung wanita itu. Setelah mengamati ke kanan kiri dan merasa yakin bahwa tidak ada orang lain yang melihat perbuatannya, Dibyasakti lari arah istana kadipaten. Di bagian belakang gedung itu dia melihat sebuah kentongan tergantung. Kentongan ini biasanya dipukul para peronda yang meronda mengelilingi gedung.

   Cepat dia mengambil pemukul dan memukuli kentongan itu dengan suara titir, yaitu dipukul bertalu-talu tiada hentinya. Tentu saja suara ini menimbulkan kegemparan. Para penjaga berlari menghampiti, bertanya-tanya. Akan tetapi Dibyasakti memukul terus kentongan itu dan baru berhenti setelah Adipati Pamekasan sendiri muncul.

   "Anak-mas Dibyasakti! Apa yang terjadi? Kenapa andika memukuli kentongan seperti ini?"

   "Aduh, paman Adipati, celaka, paman. Ada rajapati (pembunuhan) besar!"

   "Rajapati? Apa yang andika maksudkan? Rajapati? Di mana? Siapa?"

   Sang adipati Pamekasan

   bertanya, bingung.

   "Mari, silakan ikut dengan saya, paman!"

   Kata Dibyasakti dan dia lalu melangkah memasuki taman. Adipati itu mengikutinya dan di belakang mereka, para pengawal kadipaten berbondong-bondong mengikuti dengan rasa ingin tahu sekali.

   Setelah tiba di depan pondok, Sang adipati melihat mayat dua orang perawat kuda menggeletak di atas tanah.

   "Eh, kenapa mereka berada di sini dan siapa yang membunuh mereka?"

   "Saya yang membunuh mereka, paman."

   "Andika yang membunuh mereka, anak-mas Dibyasakti? Kenapa?"

   "Karena mereka berdua telah melakukan kejahatan yang amat besar, mereka telah melakukan pembunuhan. Silakan memeriksa ke dalam pondok, paman."

   Adipati Pamekasan cepat memasuki pondok. Cuaca kini terang sekali karena banyak perajurit pengawal yang membawa obor ketika mereka memasuki taman itu. Sang Adipati masuk dan dia terbelalak ketika melihat puterinya menggeletak miring di atas bangku panjang, sebatang parang masih menancap di punggungnya. Dan dia lebih terkejut lagi melihat mayat Karyadi menggeletak telentang di dekat bangku, di atas lantai dan dada pemuda ini pun ditembusi sebatang parang yang masih menancap di situ.

   "Nini Sriyatun".. ! Ahhh, apakah yang telah terjadi? Mengapa begini....?"

   Dia menubruk puterinya.

   "Nini""kenapa begini......? Siapa yang membunuhmu? Siapa...?"

   Sejenak lamanya Sang Adipati memeluk mayat puterinya dan menangis. Akan tetapi dia dapat menenangkan hatinya. Dia bangkit berdiri dan memutar tubuhnya menghadapi Dibyasakti yang masih berdiri di situ.

   "Anak-mas Dibyasakti, apa yang telah terjadi di sini? Kenapa anakku dibunuh?"

   "Begini, paman. Tadi saya tidak dapat tidur dan melihat dari jendela bahwa malam indah sekali, bulan bersinar gemilang, saya tertarik dan keluar dari kamar menikmati keindahan taman di malam terang bulan. Ketika tiba di dekat pondok, saya mendengar jeritan dan suara gaduh. Saya cepat berlari ke sini dan melihat dua orang tadi berloncatan keluar pondok. Karena saya menaruh curiga, saya tegur mereka. Akan tetapi kedua orang itu bahkan menyerang saya. Melihat serangan mereka terhadap diri saya itu nekat dan bermakud membunuh, maka saya lalu merobohkan mereka dengan pukulan dan mereka tewas. Saya lalu cepat masuk ke pondok ini dan menemukan diajeng Sriyatun dan pemuda ini telah menggeletak dan telah tewas. Saya menjadi terkejut sekali dan dalam kebingungan saya, ketika saya melihat kentongan itu, saya lalu memukul kentongan bertalu-talu. Demikianlah, paman. Saya merasa yakin bahwa yang membunuh puteri paman dan pemuda ini adalah dua orang itu. Silakan paman memeriksa dua buah parang itu. Milik siapa kedua buah senjata tajam itu."

   Sang adipati memberi isyarat kepada kepala pengawal untuk bantu memerik kedua buah parang itu. Kepala pengawal mengangguk-angguk.

   "Benar, gusti. Ini adalah parang-parang yang biasa mereka pakai di tempat pekerjaan mereka."

   "Jahanam keparat!"

   Sang Adipati marah sekali.

   "Gantung mayat kedua jahanam itu di alunalun agar semua orang melihat mereka!"

   Suasana berkabung meliputi seluruh kadipaten. Tumenggung Surobayu juga terkejut dan berduka sekali atas kematian puteranya. Puteranya, Raden Karyadi memang dipertunangkan dengan Sriyatun. Kedua orang muda itu saling mencinta, juga orang tua kedua pihak sudah merestui, mereka tinggal menanti perayaan pernikahan saja. Sungguh tidak disangka dua sejoli yang tampak berbahagia itu mengalami kematian yang demikian menyedihkan.

   Dibyasakti harus berkali-kali mengulang ceritanya. Akan tetapi hal ini dia lakukan dengan tenang dan semua orang percaya akan ceritanya. Siapa yang akan meragukan ceritanya? Dia adalah seorang senopati muda, utusan Adipati Arisbaya, bahkan putera Ki Harya Baka Wulung yang terkenal! Dan pula, bukti-buktinya sudah jelas bahwa pembunuh dua orang sejoli itu tidalah dua orang perawat kuda kadipaten. Buktinya amat kuat. Parang yang dipergunakan membunuh sepasang kekasih itu adalah parang mereka, dan mereka berdua kedapatan berada di taman, hal yang tidak semestinya. Ditambah pula kesaksian Dibyasakti, siapa yang akan meragukan kebenaran cerita pemuda dari Arisbaya tu?

   Memang ada yang merasa heran dan penasaran di dalam hatinya. Orang itu adalah Tumenggung Surobayu. Dalam kedukaannya kehilangan puteranya, tumenggung ini merasa heran dan penasaran bagaimana puteranya sedemikian mudahnya dibunuh oleh dua orang perawat kuda!

   Padahal puteranya itu memiliki kedigdayaan dan tidak sembarang orang akan mampu mengalahkan dan membunuhnya. Keheranan dan rasa penasaran ini dia katakan kepada Dibyasakti. Akan tetapi pemuda yang cerdik ini dengan tenangnya berkata.

   "Paman Tumenggung, saya tidak merasa heran. Ketika dua orang itu menyerang saya, saya mendapat kenyataan bahwa mereka berdua memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Mereka cukup tangguh sehingga hanya dengan aji pamungkas saya saja akhirnya saya dapat merobohkan mereka"

   "Akan tetapi, anak-mas, mereka itu hanya perawat kuda yang sudah bertahun-tahun bekerja di

   sini dan tidak pernah mereka memperlihatkan bahwa mereka itu orang-orang digdaya,"

   Bantah

   Tumenggung Surobayu penasaran.

   "Ah, paman. Siapa tahu kalau mereka itu menyimpan rahasia? Kita tahu bahwa Mataram memusuhi kita. Saya curiga bahwa mereka berdua itu adalah orang-orang yang sengaja diselundupkan oleh Mataram untuk bekerja di kadipaten ini, sebagai telik sandi (mata-mata)."

   Ki Tumenggung mengangguk-angguk, agaknya dapat menerima pendapat ini.

   "Akan tetapi andaikata benar dugaan andika itu, andaikata mereka itu memang telik sandi dari Mataram yang diselundupkan ke sini, mengapa mereka membunuh puteraku dan Sriyatun? Apa alasannya?"

   Dibyasakti mengerutkan alisnya.

   "Alasannya jelas, paman. Tentu untuk mendatangkan suasana kacau di Kadipaten Pamekasan. Yang dibunuh justeru putera paman dan puteri paman Adipati, berarti memberi pukulan kepada dua orang terpenting di Pamekasan dengan maksud agar mendatangkan kelemahan. Selain itu"."

   "Selain itu apa, anak-mas? Alasan apalagi yang membuat mereka melakukan pembunuhan itu?"

   "Anu, paman. Diajeng Sriyatun adalah seorang wanita yang amat cantik. Bukan mustahil kalau dua orang jahanam itu tertarik, mereka berniat keji, hendak menganggu diajeng Sriyatun. Mungkin karena ketahuan putera paman, mereka lalu melakukan pembunuhan untuk menghilangkan jejak."

   Akhirnya Tumenggung Surobayu dapat menerima pendapat ini dan dia menumpahkan semua rasa penasaran dan dendamnya kepada Mataram. Keterangan Dibyasakti membuat dia yakin bahwa dua orang pembunuh itu tentu orang-orang Mataram!

   "Awas kalian orang-orang Mataram! Kalau terjadi perang, aku akan membalas dendam dan membunuh sebanyak mungkin orang Mataram!"

   Dia mengancam dengan tangan dikepal.

   Dibyasakti tidak lama tinggal di Pamekasan. Setelah ikut melayat dia lalu berpamit dan kembali ke Arisbaya, membawa jawaban para adipati di seluruh Madura untuk Adipati Arisbaya bahwa mereka semua telah siap. untuk bekerja sama dalam menghadapi ancaman dari Kerajaan Mataram.

   Di dekat Pacitan terdapat sebuah perguan pencak silat Jatikusumo. Perkumpulan ini mempunyai murid-murid atau anggauta yang tidak kurang dari seratus orang jumlahnya dan mereka tinggal di sebuah perkampungan. Karena perkampungan ini merupakan perkampungan yang khusus menjadi tempat tinggal mereka, maka dikenal sebagai dusun Jatikusuman yang letaknya di pantai Laut Kidul. Perguruan Jatikusumo adalah sebuah guruan silat yang sudah tidak asing lagi. Namanya bukan hanya dikenal di daerah Pacitan dan Kadipaten Madiun, bahkan terkenal sampai ke Mataram. Bahkan, yang patut dicatat, Sang Puteri Wandansari, putri Sultan Agung Mataram, merupakan murid andalan perguruan Jatikusumo. Perguruan ini sudah berusia lebih dari setengah abad dan banyak melahirkan pendekar-pendekar yang juga menjadi pahlawan yang membela Mataram. Sejak dahulu, para pendekar Jatikusumo selalu membela Mataram dengan setia.

   Pada waktu itu, yang menjadi ketua Jatikusumo adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, yang dulu merupakan murid andalan perguruan ini. Setelah Bhagawan Sindusakti, ketua Jatikusumo meninggal dunia kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, yang menggantikannya menjadi ketua adalah Ki Cangak Awu, ketuanya yang sekarang. Ki Cangak Awu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan berwatak jujur kasar seperti Harya Werkudara tokoh Pandawa dalam cerita wayang Mahabharata. Dia terkenal digdaya dengan senjatanya berupa tongkat. Wajahnya tidak sangat tampan, namun gagah dengan kumis dan jenggotnya yang membuat dia tampak jantan. Dia menjadi ketua Jatikusumo, dibantu isterinya.

   Isterinya ini juga seorang wanita yang gagah perkasa dan sakti bernama Pusposari. Orangnya hitam manis namun dalam hal kedigdayaan, ia tidak kalah jauh dibandingkan suaminya. Pusposari bukan murid Jatikusumo, akan tetapi ia juga menjadi anak angkat dari ketua perguruan Nogo Dento yang cukup terkenal. Perguruan Nogo Dento ini berpusat di daerah Ngawi, di Lembah Bengawan Solo. Pusposari yang berusia kurang lebih tigapuluh tahun itu, setelah menikah dengan Ki Cangak Awu selama hampir sepuluh tahun, belum juga dikurniai anak.

   Ketika Mataram melakukan serangan ke Tuban dan menundukkan Tuban, memang perguruan Jatikusumo tidak dimintai bantuan karena untuk menyerang Tuban tidak dibutuhkan bantuan banyak tenaga. Akan tetapi ketika Mataram berusaha meiyerang Surabaya, Ki Cangak Awu dan Pusposari sendiri pergi ke Mataram untuk membantu. Akan tetapi selama tiga tahun, semua usaha Mataram untuk menundukkan Surabaya mengalami kegagalan. Setelah Sultan Agung menghentikan usahanya menundukkan Surabaya dan mengalihkan perhatiannya kepada Madura, Ki Cangak Awu dan isterinya kembali ke Jatikusuman. Di perkampungan ini mereka melatih para murid dan mempersiapkan diri kalau sewaktu-waktu tenaga mereka dibutuhkan oleh Mataram.

   Kita kembali kepada peristiwa aneh yang terjadi kurang lebih lima tahun yang lalu, yaitu sebelum Mataram menyerang Surabaya, atau setelah Mataram berhasil menundukkan sebagian besar kadipaten d Jawa Timur.

   Pada waktu itu, mendengar betapa Mataram semakin memperkuat wilayahnya dan menundukkan para kadipaten di Jawa Timur, pihak Kumpeni Belanda merasa khawatir. Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen memerintahkan para perwira bawahannya untuk memperluas pula jaringan mata-mata mereka. Orang-orang yang dipercaya dan memiliki kesaktian dan kesetiaan kepada Kumpeni disebar di tempat-tempat penting untuk mengobarkan semangat anti Mataram.

   Di antara para telik sandi (mata-mata) itu terdapatlah seorang pemuda yang luar biasa. Dia seorang pemuda yang tampan sekali, berusia sekitar duapuluh satu tahun. Pemuda ini bertubuh tinggi tegap, tidak terlalu besar namun dadanya bidang. Gerak-geriknya lembut sesuai dengan wajahnya yang tampan. Rambutnya keriting berombak, manik matanya tidak hitam benar agak kecoklatan, mata yang tajam dan bentuknya indah dan lebar. Hidungnya mancung dan bentuk bibirnya juga manis. Kebanyakan wanita tidak akan mudah melupakan wajah ini karena memiliki daya tarik yang kuat sekali bagi wanita. Senyumnya memikat dan giginya putih berderet rapi. Ditambah kegantengannya dengan hiasan kumis tipis yang tumbuh rapi di bawah hidungnya. Ketampanannya memang agak berbau asing, terutama matanya yang agak coklat, hidungnya yang amat mancung dengan rambutnya yang berombak itu. Bukan ketampanan khas Jawa.

   Memang sesungguhnya pemuda ini bukan seorang Jawa aseli, melainkan seorang yang biasa disebut Indo. Ibunya memang seorang wanita Jawa, akan tetapi ayahnya seorang kulit putih totok berbangsa Portugis. Ketika itu bangsa Portugis sudah datang ke Nusa Jawa sebelum Kumpeni Belanda datang. Orang-orang Portugis itu datang sebagai pedagang. Akan tetapi kebanyakan dari mereka adalah pria-pria petualang yang kasar dan tidak pandai mengambil hati penduduk aseli sehingga banyak mendapat tentangan, tidak seperti Kumpeni Belanda yang pandai bersiasat mengambil hati rakyat. Bahkan ada orang-orang Portugis yang mempergunakan kekerasan menculik gadis-gadis yang cantik untuk diperisteri.

   Di antara mereka, terdapat seorang pemimpin atau jagoan orang Portugis bernama Henrik. Henrik inipun berhasil mempersunting seorang gadis pesisir utara yang cantik bernama Marsinah. Akan tetapi setelah Marsinah melahirkan seorang anak laki-laki, karena melihat anak itu tidak bule seperti dirinya, lebih mirip seorang bocah pribumi, Henrik lalu meninggalkan Marsinah dan anaknya begitu saja! Marsinah yang menjanda merawat anaknya ya diberi nama Satyabrata (setia akan janji) untuk mengingatkan dirinya bahwa ia setia akan janjinya, tidak seperti ayah anak itu yang ingkar janji dan meninggalkannya.

   Sebagai seorang anak laki-laki yang hanya dididik seorang ibu yang memanjakannya dan karena kurang terawasi sehingga dia berbaur dengan lingkungan yang tidak sehat, maka Satyabrata berangkat besar sebagai seorang anak yang manja dan nakal. Akan tetapi ketampanannya dan mata yang kecoklatan, hidung yang mancung itu membuat ketampanannya berbau orang barat, ketika dia berusia empatbelas tahun seorang pemimpin bangsa Belanda, orang Kumpeni, tertarik dan suka kepadanya. Belanda ini bernama Van Huisen dan dengan perkenan Marsinah, Van Huisen lalu rnengambil Satyabrata sebagai anak angkat. Mulai saat itu berobahlah kehidupan Satyabrata. Dia mendapatkan pakaian indah, juga menerima pendidikan dan ternyata dia cerdas sehingga memperoleh banyak kemajuan. Dia pandai bahasa Belanda, pandai membaca menulis, bahkan dia berbakat sekali mempelajari ilmu kanuragan. Dia mempelajari cara bertinju dan berkelahi orang kulit putih, bahkan mempelajari cara mempergunakan senjata api. Di samping itu, Satyabrata juga belajar ilmu pencak silat dari para guru yang banyak terdapat di daerah pesisir, tepatnya di daerah Cirebon di mana ibunya tinggal. Bahkan dia pernah menjadi murid perguruan Dadali Sakti yang berada di Galuh.

   Karena dimanjakan ayah angkatnya yaitu Van Huisen, dan hidup berkecukupan Satyabrata tumbuh menjadi seorang pemuda yang congkak. Akan tetapi harus diakui bahwa dia pandai menyimpan kecongkakannya, pandai membawa diri dengan sikapnya yang lembut. Ketampanan dan sikapnya yang lembut ini menjatuhkan hati banyak wanita dan Satyabrata menyambut wanita yang cantik dengan penuh gairah. Maka terkenallah pemuda ini sebagai seorang perayu yang menjatuhkan hati banyak wanita, bahkan dia tidak segan untuk merusak pagar-ayu, merayu wanitawanita yang sudah bersuami. Kelakuannya ini membuat dia banyak dimusuhi orang dan beberapa kali dia dikeroyok. Akan tetapi karena dia memiliki kedigdayaan dan selalu dilindungi Van Huisen, dia selalu dapat meloloskan diri.

   Tibalah saatnya Van Huisen mempergunakan dan memanfaatkan pemuda yang diangkat sebagai anak itu ketika Kumpeni Helanda membutuhkan banyak tenaga cakap untuk menjadi mata-mata. Satyabrata diangkat menjadi mata-mata dan dia ditugaskan untuk memata-matai perguruan Jatikusumo yang dianggap sebagai musuh Kumpeni. Tugasnya adalah memata-matai, melihat keadaan dan kekuatan Jatikusumo, kemudian berusaha agar perguruan itu dapat berbalik menentang Mataram dan suka bekerja sama dengan Kumpeni Belanda. Kalau usaha ini tidak berhasil, akan diusahakan mengacau dan memporak-porandakan Jatikusumo.

   Setelah menjelaskan tentang tugas penting dan berat yang harus dijalankan, Willem Van Huisen memberi nasihat kepada anak angkatnya dalam sebuah kamar di gedungnya.

   "Jan,"

   Opsir Kumpeni ini memang telah memberi nama baru kepada Satyabrata, yaitu Jan Van Huisen sebagai anak angkatnya.

   "engkau ingatlah selalu bahwa biarpun engkau seorang pemuda Jawa, akan tetapi engkau berdarah orang kulit putih, orang Eropa. Juga engkau harus ingat bahwa engkau telah kuangkat menjadi anakku, dan aku yang telah memberimu pendidikan dan segala macam kepandaian. Karena itu, sudah sepatutnya kalau engkau setia kepada Kumpeni Belanda. Ingat, bangsa Belanda ingin mendatangkan kemakmuran kepada rakyat Nusa Jawa, mendidik rakyat yang bodoh agar menjadi pintar Engkau sendiri sudah merasakan betapa engkau yang tadinya bodoh kini menjadi pintar setelah kami didik. Karena ingin melindungi rakyat, maka kami menentang Mataram yang murka dan yang menaklukkan dan menindas semua kadipaten. Engkau mengerti, bukan?"

   "Saya mengerti, vader (ayah)."

   Kata Jan Van Huisen atau Satyabrata sambil menganggukangguk.

   "Nah, kalau sudah mengerti benar, berangkatlah dan bawalah ini sebagai bekal."

   Dia menyerahkan sekantung uang emas dan juga sebuah pistol. Satyabrata menerima barang-barang itu.

   "Kalau tidak terpaksa sekali untuk melindungi diri dari ancaman bahaya yang tak dapat kauhindarkan, jangan pergunakan pistol itu. Dan kalau uang ini habis dan engkau kekurangan, engkau tahu kepada siapa dapat memintanya. Asal engkau perlihatkan uang dinar gambar sepasang singa itu, engkau pasti akan diterima dan dibantu oleh semua telik sandi yang telah kami sebar di mana-mana. Engkau sudah tahu siapa yang dapat kauhubungi di Pacitan dan Madiun."

   "Baik, vader. Saya berangkat sekarang,"

   Kata Satyabrata sambil bangkit dari kursinya. Willem Van Huisen menjabat tangannya dan pemuda itu lalu keluar dari ruangan itu. Dia memasuki kamarnya, menyimpan kantung uang emas dan pistol dalam buntalan pakaiannya. Karena dia akan melakukan perjalanan sebagai seorang pemuda Jawa biasa, maka dia membawa pakaian yang dibuntal sarung.

   Di ruangan depan seorang gadis Belanda menghadangnya. Gadis ini berusia sekitar tujuhbelas tahun, cantik jelita dengan rambut keemasan dan bermata biru.

   "Heii, Jan! Aku dengar engkau akan pergi, betulkah? Engkau akan pergi ke mana, Jan?"

   Gadis itu dengan akrabnya menggandeng tangan Satyabrata dan ditariknya pemuda itu, dibawanya duduk berhadapan dengannya di kursi yang berada di ruangan depan itu.

   "Elsye, aku akan pergi, melakukan tugas yang diberikan oleh ayah kita,"

   Kat: Satyabrata sambil mengamati wajah gadis cantik itu. Dia selalu terangsang gairahnya kalau berhadapan dengan Elsye yang demikian cantik manis dan manja, juga sikapnya yang demikian terbuka dan bebas berani merangkul dan menciumnya tanpa rikuh. Akan tetapi dia tahu diri, dia tidak berani melangkah terlalu jauh terhadap gadis yang menganggapnya seperti kakak ini. Dia dapat celaka kalau berani menodai gadis yang dimaksudkan untuk menjadi adik angkatnya ini dan membatasi sekedar menikmati pelukan dan ciuman saja.

   "Tapi, ke mana engkau akan pergi melakukan tugas, Jan?"

   Elsye bertanya manja sambil mengguncang-guncang tangan Satyabrata.

   Satyabrata adalah seorang pemuda yang sudah mendapat pendidikan sebagai mata-mata dan dia memang cerdik. Dia tahu bahwa dalam melaksanakan tugasnya ini, dia harus merahasiakannya dari siapapun, karena tugas ini adalah tugas rahasia. Membuka rahasia ini, terhadap Elsye sekalipun, merupakan bahaya besar.

   "Aku sendiri belum tahu ke mana aku harus pergi, Elsye."

   "Akan tetapi, berapa lama engkau akan pergi meninggalkan aku, Jan?"

   "Mudah-mudahan tidak terlalu lama, Elsye. Setelah selesai tugasku, aku tentu segera pulang."

   Elsye bangkit berdiri dan merangkul leher pemuda itu.

   "Jan, aku akan sangat kehilangan kau!"

   Satyabrata merasa senang sekali kalau dirangkul gadis manis itu. Jantungnya berdebar.

   "Akupun akan sangat rindu padamu, Elsye. Nah, sekarang selamat tinggal. Ayah kita akan marah kalau aku berlama-lama menunda kepergianku."

   Satyabrata menciumnya. Akan tetapi tidak seperti biasa kalau dia mencium gadis ini tentu mencium kedua pipinya, sekali ini dia mencium bibirnya. Hal ini dilakukan seolah tidak sengaja. Akan tetapi betapa kaget, heran dan juga senang hatinya ketika merasa betapa gadis itu membalas ciumannya dengan hangat dan penuh kemesraan! Sampai beberapa lama mereka berciuman dan ketika akhirnya mereka saling merenggangkan muka, keduanya bermerah muka. Akan tetapi mata mereka bersinar-sinar aneh seolah mereka telah menemukan sesuatu yang membahagiakan.

   "Jan, selamat jalan dan jangan lupakan aku, Jan!"

   Satyabrata keluar dari gedung diantar Elsye sampai keluar serambi depan. Dia, melanjutkan perjalanan setelah menoleh beberapa kali dan saling melambaikan tangan dengan Elsye. Di luar gedung telah menanti seorang pelayan yang sudah mempersiapkan seekor kuda yang besar. Dia melompat ke atas punggung kuda kemudian melarikan kuda itu keluar dari halaman. Berbekal banyak uang dan kepandaian yang cukup tangguh, akhirnya pada suatu hari Satyabrata muncul di perguruan Jatikusumo. Dia berhenti di depan gapura perkampungan Jatikusuman sebagai seorang pemuda dusun yang berpakaian sederhana, membawa buntalan sarung butut berisi pakaian. Tentu saja dia telah menitipkan kuda dan uang emasnya kepada kaki tangan Kumpeni yang berada di Pacitan, sedangkan pistolnya dia simpan di sebelah dalam bajunya, terikat kuat-kuat pada badannya.

   Perguruan Jatikusumo kini merupakan sebuah perkumpulan yang teratur dan anak buahnya dilatih seperti pasukan perajurit. Di pintu gapura perkampungan itu, siang malam dijaga oleh dua orang penjaga secara bergiliran. Melihat seorang pemuda yang tidak dikenal berdiri di depan pintu perkampungan, tentu saja dua orang penjaga itu menjadi curiga dan keduanya sudah keluar dari gardu penjagaan menghadapi Satyabrata.

   "Ki-sanak, engkau siapakah dan ada keperluan apa engkau berdiri di depan pintu perkampungan kami?"

   Tanya seorang di antara mereka.

   Satyabrata tersenyum dan seperti biasa, senyumnya yang manis dan ramah itu rnenghangatkan hati kedua orang murid Jatikusumo itu. Dia membungkuk dengan sopan dan menjawab.

   "Maafkan saya, akan tetapi apakah benar di sini perguruan Jatikusumo?"

   Dua orang murid Jatikusumo itu saling pandang dan mereka melirik ke arah papan yang tergantung di gapura itu. Papan itu tertulis dengan huruf besar dan jelas "Perguruan Jatikusumo"

   Dan orang ini masih bertanya. Ini membuktikan bahwa pendatang ini adalah seorang dusun bodoh yang buta huruf.

   "Benar sekali. Di sini perguruan Jatikusumo. Andika siapa dan ada keperluan apa?"

   "Nama saya Satya,"

   Satyabrata memperpendek namanya agar terdengar sederhana karena dia tahu bahwa nama lengkapnya terlalu gagah dan indah bagi seorang pemuda dusun.

   
😗

   
"Dan kedatangan saya ini ingin menghadap ketua atau guru perguruan Jatikusumo. Saya harap andika berdua sudi membantu saya untuk menghadapkan saya kepada guru andika."

   "Kami sudah tidak mempunyai guru di sini. Guru tua kami sudah meninggal dunia kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Kini hanya ada ketua atau pemimpin kami."

   "Kalau begitu, saya ingin menghadap pemimpin andika."

   "Nanti dulu, ki-sanak. Hanya kalau ada urusan penting orang boleh menghadap ketua kami. Kalau urusan kecil cukup diselesaikan oleh kami para murid atau anggauta. Karena itu, beritahukan dulu apa kepentinganmu agar kami pertimbangkan apakah engkau pantas menghadap ketua atau cukup berurusan dengan kami saja."

   "Saya kira saya harus menghadap ketua sendiri karena saya bermaksud untuk minta agar diterima menjadi seorang murid Jatikusumo,"

   Kata Satyabrata.

   "Ah, begitukah? Kalau begitu, tentu saja engkau harus menghadap pimpinan kami karena hanya ketua yang dapat memutuskan apakah engkau dapat diterima atau tidak. Mari, ikut aku, Satya,"

   Kata orang pertama. Ia lalu mengajak Satya memasuki perkampungan sedangkan orang kedua tetap berjaga di situ.

   Sambil berjalan di sisi penjaga tadi, Satyabrata memperhatikan keadaan perkampungan itu. Rumah-rumah yang sederhana namun cukup bagus berada di perkampungan itu. Juga terdapat wanita dan kanak-kanak yang semuanya berpakaian cukup pantas. Agaknya keadaan para murid atau anggauta Jatikusumo cukup baik, Dia teringat akan ibunya yang pada malam keberangkatannya itu dia pamiti.

   Ibunya tinggal di rumah kecil sederhana bersama seorang wanita tua yang membantu ibunya. Ketika dia berpamit dan mengatakan bahwa dia hendak pergi melaksanakan tugas yang diberikan oleh ayah angkatnya, tanpa memberitahukan apa tugas itu dan ke mana dia akan pergi, ibunya memberi nasihat kepadanya.

   "Anakku Satyabrata, ingatlah selalu bahwa biarpun ayahmu adalah seorang kulit putih, namun ibumu ini seorang wanita Jawa dan engkau dilahirkan pula di Nusa Jawa. Karena itu, engkau harus selalu membela nusa dan bangsa Jawa."

   Dia tidak menentang nasihat ibunya itu. Bukankah dia kini sedang bekerja untuk Kumpeni yang sedang berusaha untuk memakmurkan bangsanya menentang Mataram yang angkara murka? Ketika akhirnya dia dihadapkan kepada suami isteri yang menjadi pimpinan perguruan Jatikusumo, dia merasa tegang juga. Suami isteri yang berpakaian sederhana iu begitu gagah dan berwibawa. Sebelumya dia sudah mendapatkan banyak keterangan tentang pimpinan Jatikusumo.

   Dia tahu bahwa ketua Jatikusumo bernama Ki Cangak Awu dan isterinya bernama Nyi Pusposari. Dan sekarang kedua orang itu telah berhadapan dengan dia. Dia memandang mereka dan merasa kagum. Ki Cangak Awu yang berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun itu bertubuh tinggi besar, wajahnya penuh kejantanan, sepasang matanya bersinar tajam memandang penuh selidik. Di sampingnya duduk Pusposari yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun, hitam manis dan pandang matanya lembut.

   Penjaga itu membungkuk dan memberi hormat dengan sembah, lalu melapor.

   "Ki raka, inilah si Satya yang ingin menghadap."

   Ki Cangak Awu memberi isyarat kepada anggauta itu untuk mundur, kemudian kepada Satyabrata dia berkata, suaranya tenang dan besar seperti suara Sang Harya Sena.

   "Duduklah, orang muda!"

   "TERIMA KASIH, paman,"

   Kata Satyabrata sambil duduk bersila di atas lantal yang ditilami tikar pandan. Dia melirik dan melihat betapa wajah suami isteri itu tampak tenang dan biasa saja yang berarti bahwa sebutan paman darinya itu tidak menyinggung perasaan mereka. Sebutan yang dipergunakan murid Jatikusumo tadi, yang usianya sudah tiga puluh lebih, yaitu sebutan Ki-raka terhadap pemimpinnya menunjukkan bahwa ketua Jatikusumo ini memang seorang yang sederhana.

   "Menurut laporan penjaga, andika bernama Satya dan ingin menjadi murid Perguruan Jatikusumo. Dari manakah andika berasal?"

   Tanya Ki Cangak Awu.

   "Saya berasal dari Kabupaten Kendal, paman,"

   Kata Satyabrata, sengaja mengaku dari Kendal yang dia sudah pelajari logat bicaranya dan dia sudah mempelajari pula keadaan kabupaten itu.

   Cangak Awu mengangguk-angguk. Pada waktu itu, yang menjadi Bupati Kendal adalah Ki Baurekso yang juga menjadi seorang senopati Mataram yang setia.

   "Kenapa andika ingin menjadi murid Jatikusumno? Apa yang kauketahui tentang Jatikusumo?"

   "Saya hanya mengetahui bahwa Perguruan Jatikusumo dipimpin oleh paman Ki Cangak Awu dan bibi

  
   


JILID 9


   Pusposari yang sakti mandraguna dan bahwa Jatikusumo mengaajarkan ilmu-ilmu pencak silat dan aji kanuragan yang ampuh kepada para muridnya. Karena itu jauh-jauh saya datang ke sini untuk mohon diterima menjadi murid, paman,"

   Kata Satyabrata dengan suara lembut dan sikap hormat dan manis budi.

   Cangak Awu saling pandang dengan Pusposari. Mereka berdua tertarik oleh gaya bicara dan sikap pemuda itu.

   "Akan tetapi tidak mudah untuk menjadi murid dan anggauta keluarga besar Jatikusumo, Satya. Berat syarat-syaratnya!"

   Kata Pusposari sambil menatap wajah tampan itu dengan tajam penuh selidik.

   "Saya siap menerima semua syarat dan sanggup melaksanakannya, bibi."

   "Satya, pernahkah engkau mempelajari aji kedigdayaan?"

   Tiba-tiba Cangak Awu bertanya.

   "Belum, paman."

   Tiba-tiba Cangak Awu mendorongkan telapak tangan kirinya ke arah pemuda itu. Serangkum angin pukulan menyambar ke arah Satyabrata. Pemuda ini diam-diam terkejut, akan tetapi dia amat cerdik. Dia merasa yakin bahwa seorang ketua perguruan seperti Cangak Awu tidak mungkin akan mencelakai orang yang tidak diketahui kesalahannya, maka diapun menerima saja ketika diserang angin pukulan itu. Tubuhnya terjengkang dan bergulingan ke belakang. Akan tetapi dia tidak terluka dan dia tahu bahwa ketua itu sengaja mengujinya untuk melihat apakah benar dia tidak pernah mempelajari ilmu bela diri. Diapun pura-pura terkejut dan ketakutan.

   Setelah bangkit dan bersila di tempat dia menyembah.

   "Paman, mengapa paman melakukan itu? Apa kesalahan saya?"

   Tanyanya dengar wajah heran dan penasaran, juga takut-takut.

   Cangak Awu tertawa lalu menggapai.

   "Majulah dan duduk di tempatmu tadi, Satya. Aku hanya ingin melihat apakah benar engkau tidak pernah mempelajari ilmu kanuragan. Nah, sekarang tentang syarat-syarat itu. Kalau engkau sanggup melaksanakan syarat-syarat itu, engkau dapat kami terima menjadi murid Jatikusumo."

   Satyabrata memperlihatkan muka girang.

   "Apakah syarat-syarat itu, paman?"

   "Ada dua syarat utama yang harus dilaksanakan setiap murid Jatikusumo. Pertama, dia harus selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, Dan kedua, dia harus selalu membela Kerajaan Mataram. Kalau sebagai murid Jatikusumo kelak engkau melanggar dua syarat ini, engkau akan menerima hukuman mati oleh pimpinan Jatukusumo. Nah, sanggupkah engkau menerima dan melaksanakan dua syarat itu?"

   Dengan suara tegas Satyabrata menjawab.

   "Saya terima dan saya sanggup melaksanakan, kanjeng paman!"

   Demikianlah, Satyabrata diterima menjadi murid Jatikusumo. Dia diperbolehkan mengikuti latihan pencak silat dari perguruan itu, tentu saja sebagai permulah hanya mempelajari dan melatih dasar-dasar gerakan ilmu pencak silat Jatikusumo. Semua berjalan dengan baik dan lancar karena Satyabrata pandai membawa diri, rajin berlatih, juga rajin bekerja di sawah ladang seperti para murid lain.

   Di belakang perkampungan Jatikusumo terdapat perbukitan dan di lereng sebuah bukit terdapat sebuah sumur tua. Bukit kecil dan sumur tua ini merupakan daerah yang dianggap keramat bahkan menjadi larangan bagi para murid Jatikusumo untuk mengunjunginya. Karena tidak ada orang berani datang ke situ, maka daerah bukit kecil dengan sumur tuanya itu terkenal angker dan menakutkan. Bahkan ada desas-desus di antara para murid Jatikueumo bahwa ada rohroh penasaran liaran di perbukitan itu, berasal dari sumur tua dan roh-roh penasaran ini suka mengganggu orang.

   Satyabrata tertarik sekali mendengar tentang sumur tua di bukit belakang perkampungan itu. Setelah tinggal di perkampungan Jatikusumo selama tiga bulan, dia dapat akrab dengan para murid lain karena dia pandai mengambil hati dan pandal membawa diri. Semua orang, termasuk Cangak Awu dan Pusposari, menganggap dia seorang pemuda yang rajin, ramah dan menyenangkan.

   Mulailah Satyabrata memancing-mancing percakapan dengan murid-murid tertua, mengarahkan percakapan kepada gerakan yang dilakukan Mataram untuk menundukkan semua kadipaten dl Jawa Timur, termasuk Madiun dan Pacitan sendiri. Dia memancing dengan halus dan tidak kentara untuk melihat apakah para murid yang menjadi kawula Kadipaten Madiun dan Pacitan itu rela melihat daerah mereka kini dikuasai Mataram. Dengan percakapan yang nadanya miring ini perlahan-lahan Satyabrata berhasil mengusik hati para murid yang sebagian besar berasal dari daerah-daerah di Jawa Timur dan yang daerahnya sudah dikuasai Mataram. Ia berhasil menimbulkan kesan bahwa Mataram bersikap angkara murka dengan menaklukkan semua daerah kadipaten itu.

   Melihat keadaan bukit kecil dengan sumur tua yang dianggap angker itu demikian sepi tak pernah dijenguk manusia, Satyabrata segera memanfaatkannya. Diam-diam dia seringkali mendaki bukit itu dan melakukan penyelidikan. Sumur tua itu tak tampak dasarnya dan memang menyeramkan, seolah ada hawa yang aneh keluar dari lubang sumur. Satyabrata menganggap tempat ini baik sekali sebagai tempat persembunyian atau sebagai pusat pertemuan. Ia sudah mengambil uang emas dan pistolnya dan menyimpan benda-benda ini di sebuah guha kecil yang terdapat di dinding batu gunung dekat sumur kecil tua itu. Kalau kelak dia berhasil menghasut para murid Jatikusumo, tempat itu baik sekali untuk dipergunakan sebagai tempat mengadakan pertemuan, pikirnya.

   Karena tertarik, pada suatu siang ketika dia mengaso dari bekerja di ladang membantu seorang murid lain yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, bernama Sakimun. Ada peraturan di perguruan Jatikusumo bagi para murid untuk saling menyebut "raka"

   Kepada yang lebih tua dan "rayi"

   Kepada yang lebih muda. Bahkan Cangak Awu sendiri juga mempergunakan aturan itu karena dia tidak mau dianggap sebagai guru. Satyabrata mempergunakan kesempatan mengaso itu untuk bertanya kepada murid yang sudah lama menjadi anggauta keluarga besar Jatikusumo tentang sumur tua yang dikeramatkan itu. Mereka duduk di bawah pohon yang teduh, yang melindungi mereka dari sinar matahari yang panas menyengat.

   "Ki-raka Sakimun, sebetulnya ada apakah dengan sumur tua di bukit belakang itu. Kata beberapa orang raka, di sana pernah terjadi hal-hal yang hebat dan mengerikan. Akan tetapi merekapun tidak tahu dengan jelas apa yang terjadi karena hal itu sudah berlalu selama bertahuntahun. Andika yang lama menjadi murid Jatikusumo, tentu mengetahui. Sudikah andika menceritakannya kepadaku?"

   Sakimun menghela napas panjang.

   "Sebetulnya kisah itu merupakan rahasia Jatikusumo yang tidak pantas terdengar orang lain karena hal itu menjadi noda hitam bagi Jatikusumo. Akan tetapi karena andika kini telah menjadi anggauta keluarga besar Jatikusumo, baiklah akan kuceritakan secara singkat saja."

   "Ceritakanlah, Ki-raka, dan aku sebelumnya mengucapkan banyak terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku,"

   Kata Satyabrata.

   "Rayi Satya, berpuluh tahun yang lalu, yang menjadi ketua Jatikusumo adalah Eyang Buyut Guru Resi Limut Manik. Pengangkatannya itu menimbulkan rasa iri dalam hati saudara seperguruannya yang bernama Resi Ekomolo. Resi Ekomolo yang jahat ini memperkosa isteri Eyang Buyut Guru Resi Limut Manik sehingga wanita itu membunuh diri. Lalu terjadi perkelahian antara kedua orang tokoh besar dan datuk Jatikusumo itu. Akhirnya Resi Ekomolo dapat dikalahkan, kedua kakinya lumpuh dan dia dibuang ke dalam sumur tua itu."

   "Ah, dia dibuang hidup-hidup ke dalam sumur itu, Ki-raka?"

   "Ya, akan tetapi dia tidak mati. Aku masih ingat dulu, seringkali di waktu malam hari terdengar teriakan melolong-lolong dari sumur itu. Mendiang Bapa Guru Bhagawan Sindusakti selalu mengirim makanan, memasukkannya ke dalam sumur itu. Kemudian, sekitar sepuluh tahun lebih yang lalu, terjadi kegemparan ketika seorang murid Jatikusumo, yaitu adik seperguruan Kiraka Cangak Awu yang bernama Priyadi, tahu-tahu telah dapat mengeluarkan Resi Ekomolo dari dalam sumur dan Priyadi ini menjadi muridnya."

   "Wah, tentu dia menjadi sakti mandra guna, Ki-raka!"

   Seru Satyabrata tertari sekali.

   "Demikianlah, rayi Satya. Resi Ekomolo memang sakti mandraguna dan semua aji kesaktiannya dia turunkan kepada Priyadi itulah. Setelah Priyadi menjadi sakti madraguna, dia berkhianat, membantu Kadipaten Wirosobo dan menentang Mataram. Tentu saja para satria yang membela Mataram menentangnya dan terjadi pertempuran hebat. Akan tetapi akhirnya Priyadi dapat dikalahkan. Sementara itu, Priyadi telah melemparkan kembali gurunya, yaitu Resi Ekomolo ke dalam sumur tua. Dan ketika dia bertanding dengan para satria ia melarikan diri ke bukit di belakang itu. Kemudian, dia terkena pukulan dan terjatuh ke dalam sumur tua. Hanya terdengar jerit mengerikan bercampur suara tawa menyeramkan seperti iblis, lalu sunyi. Agaknya Priyadi yang pengkhianat dan Resi Ekomolo yang jahat itu mati dalam sumur tua dan roh mereka menjadi roh penasaran yang menghantui sumur itu."

   Satyabrata terkesan sekali dengan cerita yang hebat itu.

   "Akan tetapi, Ki-raka, kenapa tempat itu menjadi tempat terlarang untuk dikunjungi?"

   "Tempat itu menyimpan rahasia yang menodai nama besar Jatikusumo, maka sebaiknya disimpan dan dijauhi. Nah, mari kita lanjutkan pekerjaan kita!"

   Mereka bekerja kembali, akan tetapi cerita itu selalu terbayang dalam benak Satyabrata. Pada suatu siang, ketika dia mendapatkan kesempatan, dia mendaki bukit yang sunyi itu dan menjenguk ke dalam sumur. Gelap, tidak tampak apa-apa dari atas. Akan tetapi harus diakuinya bahwa ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang, seolah ada hawa yang menyeramkan keluar dari lubang sumur itu.

   Satyabrata adalah seorang pemuda pemberani dan pendidikan dari ayah angkatnya, Willem Van Huisen membuat dia tidak gentar menghadapi segala macam ketahyulan. Dia memang sudah mempunyai niat yang teguh untuk menyelidiki sumur tua yang mengandung cerita yang luar biasa dan menyeramkan itu. Karena itu, dia sudah mempersiapkan diri ketika siang hari itu dia mendaki bukit dan mendatangi sumur itu. Dia sudah mempersiapkan segulung tali, bahkan sudah mempersiapkan sebatang obor. Karena yakin bahwa di tempat larangan itu tidak akan ada orang datang, dia lalu mengikatkan ujung tali ke sebatang pohon waru yang tumbuh di dekat sumur, kemudian tanpa ragu dia merayap turun melalui tali yang dijulurkan ke dalam sumur. Kakinya menginjak dasar sumur yang kering namun keadaan di situ remang-remang karena hanya menerima sinar matahari yang menyorot ke dalam sumur.

   Dia meraba-raba dan mendapat kenyataan bahwa dasar sumur itu menembus ke sebuah terowongan yang cukup besar, lebarnya tidak kurang dari satu meter dan tinggi dua meter. Akan tetapi di depan sana remang-remang, maka dia lalu menyalakan obor yang dibawanya turun untuk menerangi terowongan. Kemudian dengan tabah dia memasuki terowongan. Dia tiba di sebuah ruangan setelah berjalan agak jauh, sebuah ruangan yang luas seperti sehuah kamar. Cahaya obor menerangi ruangan itu dan dia melihat pemandangan yang membuatnya bergidik karena amat menyeramkan.

   Di atas batu yang rata dan lebar itu terdapat dua kerangka manusia. Kerangka yang berada di atas menggunakan kedua tangan mencekik leher kerangka yang berada di bawah, dan kerangka yang berada di bawah itu memegang sebatang keris yang menusuk masuk di antara tulang iga kerangka yang berada di atas. Mudah saja membayangkan keadaan dua kerangka itu. Tentu kedua orang itu dulu saling membunuh. Yang satu mencekik yang lain dan orang yang dicekik itu menusukkan sebatang keris ke dada orang pertama. Agaknya dengan cara ini, keduanya tewas.

   Satyabrata teringat akan kisah yang diceritakan Sakimun kepadanya, tentang Resi Ekomolo dan Priyadi. Dia dapat menduga bahwa orang yang mencekik itu tentu Resi Ekomolo dan yang menusukkan keris itu tentu Priyadi. Keris itu mencorong ketika tertimpa sinar obor dan Satyabrata tertarik sekali. Dia mendekati dua kerangka itu dan menjulurkan tangan untuk mengambil keris itu. Dia. memegang gagang keris dan mencabut. Akan tetapi ternyata keris itu terjepit di antara tulang iga dan sukar dicabut. Satyabrata mengerahkan tenaganya dan menarik kuat-kuat. Keris dapat tercabut akan tetapi dua kerangka itu runtuh menimbulkan suara berkelotakan! Satysabrata melompat ke belakang agar jangan tertimpa reruntuhan tulang. Dia mengamat keris di tangan kanannya. Gagang keris itu berbentuk sebuah kepala naga dan mata keris itu menjadi lidahnya. Keris itu seperti lidah naga, tidak berlekuk namun pamornya mencorong dan mudah diduga bahwa keris itu merupakan sebatang keris pusaka yang ampuh!

   Dia menemukan warangka (sarung) keris itu di antara reruntuhan tulang, dan diambilnya warangka yang masih baik itu kemudian dimasukkan keris ke dalam warangka. Setelah itu, dengan obor di tangannya, dia memeriksa dinding ruangan itu. Ternyata di sana terdapat banyak coretan gambar berbentuk manusia dan ada pula tulisan huruf-huruf yang jelas. Dia merasa girang sekali. Ternyata tulisan dan gambar-gambar itu merupakan pelajaran ilmu pencak silat! Gambar-gambar itu merupakan gerakan-gerakan dari jurus-jurus ilmu silat Aji Margopati! Dan tulisan-tulisan ilu mengajarkan berbagai aji kesaktian yang hebat, yang disebut Aji Jerit Nogo dan Aji Tunggang Maruto. Membaca sepintas naja Satyabrata maklum bahwa Aji Jerit Nogo adalah sebuah aji yang mempergunakan tenaga sakti iewat suara untuk melumpuhkan lawan, sedangkan Aji Tunggang Maruto adaiah sebuah aji untuk meringankan tubuh dan berlari cepat.

   Akan tetapi tiga ilmu ini cukup rumit, perlu penelitian mendalam untuk mempelajarinya dan melatihnya, dan di sudut kiri terdapat tulisan yang mengajarkan cara bersamadhi untuk menghimpun

   tenaga sakti yang aneh, karena dilakukan dengan jungkir balik, kepale di bawah kaki di atas! Satyabrata tertarik sekali dan timbul keinginannya untuk mempelajari semua ilmu itu. Dia menduga bahwa ilmu itu tentu sengaja dibuat oleh Resi Ekomolo dahulu. Tiba-tiba obor di tangannya padam. Gelap sekali di situ. Karena minyak obor itu agaknya sudah habis dan tidak dapat dinyalakan lagi, Satyabrata duduk bersila di lantai dan berpikir, bagaimana caranya untuk dapat mempelajari semua ilmu itu. Sampai lama dia duduk melamun dan dia merasa betapa keadaan tidak segelap tadi. Kini menjadi remang-remang dan bahkan setelah matanya biasa dengan keremangan itu, dia dapat melihat gambar dan tulisan di dinding dengan baik, dan dapat membaca semua tulisan itu. Kiranya ruangan itu mendapat penerangan dari atas. Ada retak-retak memanjang di langit-langit batu itu dan sinar matahari dapat masuk melalui celah-celah retakan.

   Pada waktu siang, tempat ini tidaklah begitu gelap, pikirnya. Tentu saja kalau mata sudah terbiasa

   dengan keremangan itu. Pemuda yang cerdik itu lalu membuat rencana. Dia harus dapat mempelajari semua ilmu itu dengan sembunyi. Tidak akan ada orang mengetahui kalau dia masuk ke sumur ini. Akan tetapi kalau dia masuk dengan tali, terdapat kemungkinan ada orang melihat tali itu kalau kebetulan ada yang mendaki bukit, walaupun kemungkinan itu sedikit sekali. Dia harus dapat masuk dan keluar dari sumur itu tanpa tali. Untuk masuk ke sumur, tidak sukar. Dia dapat melompat turun karena dasarnya dari tanah, tidak mengandung air. Akan tetapi untuk naik tanpa tali itulah yang sukar. Dia lalu mendapat gagasan yang baik. Dia bangkit berdiri, menghunus keris yang ditemukan tadi dan ketika dia menusukkan keris pada dinding sumur, tepat di dasar sumur, senjata runcing itu dapat menembus tanah padas yang keras dengan amat mudahnya! Ternyata benar dugaannya. Keris itu merupakan senjata yang ampuh sekali. Timbul kegembiraannya dan mulailah dia menusuk dan mencokel dinding padas dari bawah ke atas dengan bergantungan pada tali yang diikatkan pada batang pohon di atas. Dia membuat semacam anak tangga pada dinding padas itu, untuk dipergunakan sebagai panjatan

   .

   Dengan adanya anak tangga itu, tanpa talipun dia akan dapat naik turun sumur. Satyabrata lalu merayap naik melalui lubang-lubang yang dibuatnya pada dinding padas. Dengan mengaitkan jari tangannya dan menginjakkan kakinya pada lubang-lubang itu, dia merayap naik bagaikan seekor kera. Tentu saja untuk merayap seperti itu membutuhkan kekuatan dan kecekatan dan ini dimiliki oleh Satyabrata yang sejak kecil sudah melatih diri dengan olah kanuragan. Setelah tiba di luar sumur, hatinya merasa lega karena tidak ada orang di bukit itu, seperti biasanya. Tiba-tiba dia teringat bahwa keris itu masih ada padanya, di dalam warangka dan terselip di ikat pinggangnya.

   Dia teringat bahwa keris itu akan mendatangkan kecurigaan orang yang melihatnya. Tentu akan timbul pertanyaan dari mana dia memperolehnya dan lebih berbahaya lagi kalau ada orang di Jatikusumo yang mengenal keris itu. Dia menduga bahwa keris itu tentulah milik orang yang namanya Priyadi, murid Jatikusumo yang berkhianat itu. Dugaannya ini memang tidak keliru. Keris itu adalah keris pusaka Kyai Ilat Nogo (Lidah Naga) yang dulu diberikan oeh Adipati Wirosobo kepada Priyadi sebagai hadiah karena pemuda itu membantu gerakan Wirosobo yang menentang Mataram.

   Mengingat akan bahayanya kalau orang melihat keris itu ada padanya, Satyabrata lalu melempar keris itu kembali ke dalam umur. Biarlah keris itu berada di dasar umur karena sewaktu-waktu dia dapat saja mengambilnya, pikirnya. Dia lalu menarik tali yang tergantung ke dalam sumur, menggulungnya dan menyingkirkannya dari itu.

Demikianlah, mulai hari itu, setiap mendapat kesempatan, Satyabrata tentu memasuki sumur tua itu. Bahkan dia juga membawa uang emasnya dan menyimpannya di dalam sumur tua. Hanya pistolnya yang masih disimpan dan disembunyikan di antara batu-batu bukit itu, dipersiapkan kalau-kalau dia membutuhkannya. Setiap kali memasuki sumur, dia mempelajari tulisan dan gambar-gambar itu. Karena tahu bahwa yang menjadi dasar dari semua aji kanuragan adalah tenaga sakti, tanpa dorongan tenaga sakti maka semua aji itu tidak ada gunanya, maka diapun pertam-tama mempelajari cara bersamadhi jungkir balik untuk menghimpun tenaga sakti. Dengan cara bersamadhi jungkir balik seperti itu dan mengatur pernapasan seperti yang diajarkan oleh tulisan di dinding, Satyabrata mulai dapat menghimpun tenaga sakti secara aneh sekali. Dia dapat membangkitkan tenaga dalam yang muncul dari bawa pusarnya. Kemudian dengan otak yang dialiri banyak darah itu pikirannya menjadi kuat dan dia dapat menggunakan pikirannya untuk menguasai tenaga dalam yang berputar-putar itu sehingga mampu mengalirkan tenaga dalam ini ke manapun kehendaki.

   Akan tetapi, tanpa disadarinya, jalan darah ke dalam otaknya yang berlebihan ini yang mengalir secara tidak wajar, juga mendatangkan akibat, sedikit demi sedikit rusak jaringan syarafnya dan mendatangkan kelainan pada pikirannya. Sering kali muncul bayangan-bayangan aneh dalam benaknya yang membuat dia kadang ingin sekali tertawa karena geli dan merasa lucu, dan ada kalanya membuat dia ingin sekali menangis karena sedih dan rasa duka. Bagaimanapun juga, hatinya merasa gembira sekali karena setelah berlatih beberapa bulan lamanya, dia merasa betapa tenaganya bertambah kuat sekali dan kini dia dapat memanjat atau merayap naik turun sumur itu dengan mudah sekali dan dengan kecepatan melebihi seekor kera. Setelah banyak murid Jatikusumo mulai terusik pikirannya oleh percakapan mereka dengan Satyabrata yang membangkit rasa setia kepada daerah mereka dan menganggap bahwa daerah mereka dikuasai dan "dijajah"

   Oleh Mataram, Satyabrata mulai dengan bujukannya tingkat kedua mulai memompakan anggapan dalam pikiran mereka bahwa Kumpeni Belanda bermaksud baik terhadap bangsa di Nusa Jawa.

   Mereka datang untuk memberi pendidikan, dan untuk mendatangkan kemakmuran dengan berdagang, membeli rempah-rempah dan hasil bumi! Dia mulai menceritakan tentang kehebatan dan kemajuan bangsa Belanda, tentang kehebatan bedil dan meriam mereka, tentang harta benda dan barang-barang indah mereka, tentang kapal-kapal mereka yang besar, kuat dan mewah.

   Pendeknya, dia melempar segala keburukan kepada Mataram dan segala pujian kebaikan kepada Kumpeni Belanda! Akan tetapi, di antara para pendengar itu, terdapat Sakimun yang merasa curiga. Bukan saja dia merasa aneh sekali mendengar nada bicara Satyabrata memburuk-burukkan Mataram dan memuji-muji Kumpeni Belanda, bahkan dia juga melihat sesuatu yang aneh pada sikap pemuda itu. Kadang dia melihat sinar mata pemuda tu mencorong dan mengerikan! Mulailah Sakimun merasa curiga dan mulai dia diam-diam memperhatikan murid baru itu. Dan kecurigaan serta keheranannya bertambah ketika dia melihat pemuda itu apabila sedang berada seorang diri, suka tertawa-tawa sendiri seperti orang yang miring otaknya! Pada suatu siang Sakimun melihat Satyabrata mendaki bukit larangan itu. Tentu saja dia merasa terkejut dan heran bukan main. Ki Cangak Awu sendiri mengeluarkan larangan keras bagi para murid untuk mendaki bukit itu dan selama ini tidak ada seorangpun murid berani melanggar larangan. Akan tetapi dia melihat murid baru yang mencurigakan itu mendaki bukit itu seorang diri! Sungguh amat mencurigakan sekali!

   Karena itu, bergegas dia pergi menghadap pemimpin perguruan Jatikusumo. Pada saat itu, Cangak Awu sedang berada di ruangan tengah bersama Pusposari. Kebetulan sekali mereka memang sedang rnembicarakan murid baru itu, Satya yang tampak sebagai murid yang menyenangkan. Pusposari melaporkan kepada suaminya bahwa Satya itu rajin sekali, tanpa diperintah suka membersihkan rumah dan pekarangan, membantu semua pekerja. Cangak Awu juga bercerita kepada isterinya betapa pemuda itu selain rajin membantu pekerjaan di sawah ladang, juga amat tekun berlatih dasar-dasar ilmu pencak silat Jatikusumo dan tampaknya memiliki bakat yang baik sekali di samping tenaga yang besar.

   "Dia kelak akan menjadi seorang murid yang tangguh dan dapat diandalkan,"

   Antara lain Cangak Awu memuji.

   Kedatangan Sakimun yang tiba-tiba menghadap mereka itu mengejutkan suami isteri pimpinan Jatikusumo itu. Apalagi mereka dapat melihat betapa wajah dan pandang mata Sakimun membayangkan kegelisahan.

   "Raka Sakimun, kepentingan apakah yang andika bawa maka siang hari begini andika menemui kami?"

   Tanya Ki Cangak Awu. Biarpun dia dan isterinya diangkat menjadi pimpinan, namun pendekar ini selalu bersikap ramah dan hormat kepada orang yang lebih tua dalam perguruan itu. Hal ini membuktikan bahwa para murid Jatikusumo bukan hanya mendapatkan pendidikan olah kanuragan, akan tetapi juga pendidikan tata susila yang baik.

   "Rayi Cangak Awu, ada kejadian yang amat aneh dan juga amat mencurigakan terjadi dalam perguruan kita, maka saya cepat datang menghadap untuk melaporkan kejadian itu."

   "Ada apakah, Ki-raka? Ceritakanlah!"

   Kata Cangak Awu pendek dan tegas, seperti yang telah menjadi wataknya.

   "Saya hendak melaporkan tentang rayi Satya, murid baru itu."

   "Raka Sakimun, ada apa dengan Satya? Bukankah dia seorang murid dan pembantu yang amat baik? Cepat ceritakan, ada apakah dengan dia?"

   Tanya Pusposari.

   "Akhir-akhir ini, dalam percakapannya dengan para murid lain, rayi Satya dalam kata-katanya bernada menyalahkan Mataram yang dikatakannya menjajah kadipaten-kadipaten daerah lain, bahkan bernada membujuk para murid agar membela daerah masing-masing dari penindasan Mataram."

   "Ah, benarkah itu, Raka Sakimun?"

   Teriak Cangak Awu kaget.

   "Benar, saya mendengarnya sendiri. Juga, selain mernburuk-burukkan Mataram, dia memujimuji Kumpeni Belanda yang dikatakannya datang membawa kemakmuran kepada rakyat dan membantu rakyat untuk menentang Sultan Agung yang dikatakannya angkara murka."

   "Jahanam keparat!"

   Ki Cangak Aw bangkit dari kursinya dan berdiri dengan marah sambil mengepal tangannya.

   "Tenang dan bersabarlah, rakanda!"

   Kata Pusposari yang juga bangkit dan menyentuh lengan suaminya.

   "Biarkan Raka Sakimun melanjutkan laporannya."

   "Apalagi yang perlu dilaporkan? Semua itu sudah cukup!"

   Kata Cangak Awu dengan kasar.

   "Masih ada, rayi. Ada yang lebih aneh lagi. Tadi saya melihat rayi Satya mendaki bukit larangan. Karena tidak berani mengikutinya mendaki bukit larangan, maka saya langsung menghadap rayi untuk memberi laporan."

   "Cukup! Mari kita pergi, diajeng! Kita harus mengurus bocah itu! Andika juga ikut, Raka Sakimun, untuk menjadi saksi!"

   "Akan tetapi, rayi. Saya... tidak berani mendaki bukit...."

   "Tidak apa. Sekali ini, bersama kami andika boleh mendaki bukit larangan itu. Mari kita cepat mengejarnya ke sana!"

   Kata Cangak Awu.

   Mereka bertiga lalu bergegas menuju ke bagian belakang perkampungan Jatikusuman dan mendaki bukit larangan. Beberapa orang anggauta Jatikusumo yang melihat ini, memandang dengan bengong, ai:an tetapi mereka tidak berani bertanya. Mereka hanya menduga bahwa pasti terjadi hal yang hebat di bukit keramat itu sehingga suami isteri pimpinan mereka bersama Sakimun mendaki bukit itu dan tampak tergesa-gesa.

   Dengan mengerahkan tenaga, tiga orang itu berlari cepat mendaki bukit dan tak lama kemudian mereka sudah berdiri dekat sumur tua, melongok ke dalam sumur. Akan tetapi keadaan di sumur itu biasa-biasa saja, masih sunyi dan ketika melo'ngok ke bawah sumur, masih gelap dan tidak tampak apa-apa. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Mereka bertiga mengamati keadaan sekeliling, akan tetapi sunyi saja.

   "Di rnana dia?"

   Tanya Cangak Awu.

   "Tidak ada orang di sini,"

   Kata Pusposari.

   "Akan tetapi saya melihat sendiri dia mendaki bukit ini tadi. Dia pasti berada di sini, mungkin lebih ke atas sana,"

   Kata Sakimun penasaran.

   "Mari kita cari ke puncak bukit,"

   Kata Cangak Awu. Mereka bertiga lalu berjalan cepat mendaki ke puncak.

   Ketika tiga orang itu pergi, Satyabrato merayap naik keluar dari sumur. Tadi dia sudah mendengar kedatangan mereka, bahkan mendengarkan ucapan tiga orang itu. Dia keluar dari sumur dan cepat bersembunyi di antara batu-batu tak jauh dart sumur dan untuk berjaga diri, dia mengambil pistolnya. Dia tidak berani turun bukit karena kalau hal itu dia lakukan mungkin saja akan tampak dari atas. Dari percakapan mereka bertiga tadi, dia hanya tahu bahwa Sakimun melihat dia mendaki bukit lalu melaporkan kepada suami isterl pimpinan itu yang kemudian mengejarnya. Mereka tentu belum mengetahui akan semua rahasianya. Kesalahannya hanya melanggar pantangan mendaki bukit itu. Satyabrata menunggu dengan jantung berdebar, pistolnya siap diselipkan di ikat pinggang, tertutup bajunya.

   Setelah tiba di puncak, tiga orang itu mengamati keadaan sekeliling. Ternyata tidak tampak bayangan seorangpun di seluruh permukaan bukit yang dikeramatkan itu.

   "Bagaimana ini, Raka Sakimun? Dia benar-benar tidak berada di bukit ini,"

   Tegur Ki Cangak Awu.

   "Tentu dia sudah turun lebih dulu. Sebaiknya kita sekarang menemuinya di dalam perkampungan dan kita desak die agar mengakui semua perbuatannya. Saya yang menjadi saksi, dan saya kira masih banyak murid Jatikusumo yang bersedia menjadi saksi,"

   Kata Sakimun penasaran juga.

   Mereka menuruni puncak dan ketika mereka tiba di dekat sumur tua, pendengaran Cangak Awu dan Pusposari yang tajam menangkap gerakan orang. Mereka memutar tubuh dengan cepat dan masih sempat melihat berkelebatnya bayangan orang di antara batu-batu tak jauh dari situ.

   "Siapa di sana?"

   Pusposari membentak nyaring. Akan tetapi tidak ada jawaban. Suami isteri itu saling pandang dan dengan pandang matanya, Cangak Awu memberi isyarat kepada isterinya untuk meneari dan menghampiri ke arah kumpulan batu-batu besar itu dari kiri sedangkan dia menghampiri dari kanan sehingga mereka membuat gerakan mengepung dari kanan kiri agar bayangan yang bersembunyi di balik batu-batu itu tidak dapat melarikan diri. Sakimun tetap berdiri di dekat sumur tua.

   Akan tetapi ketika suami isteri yang berpencar itu memutari kumpulan batu-batu besar, bagaikan seekor kera gesitnya, Satyabrata berloncatan ke atas batu-batu itu dan langsung menghampiri Sakimun yang berdiri di dekat sumur. Melihat pemuda itu, Sakimun cepat menegur.

   "Rayi Satya, engkau dicari pimpinan!"

   "Raka Sakimun, tentu andika yang membocorkan rahasiaku kepada para pimpinan!"

   Kata Satyabrata dan matanya mencorong aneh ketika dia memandang Sakimun.

   "Tentu saja!"

   Sakimun menjawab dengan berani karena dia memandang rendah kepada murid baru ini yang dianggapnya tidak akan mampu berbuat apa-apa terhadap dirinya.

   "Engkau telah bersikap seperti pemberontak, memburuk-burukkan Mataram dan memuji-muji Belanda. Engkau malah berani melanggar pantangan mendaki bukit larangan ini!"

   Tiba-tiba Satyabrata menyeringai, bukan tersenyum biasa, melainkan menyeringai aneh dan ketika tangan kanannya bergerak, dia sudah mencabut pistolnya dari ikat pinggangnya lalu menodongkannya ke arah dada Sakimun.

   "Heh-heh, Sakimun, kalau begitu berarti engkau sudah bosan hidup!"

   Sakimun terkejut. Dia belum pernah melihat pistol, akan tetapi sudah mendengar akan keampuhan senjata api itu. Maka, melihat dirinya ditodong, dia cepat menerjang dengan loncatan untuk mendahului dan menyerang pemuda itu.

   "Darrrr !!"

   Bunga api berpijar dari mulut pistol dan tubuh Sakimun tersentak ke belakang lalu roboh telentang dan tewas seketika!

   Satyabrata sering berlatih menembak, namun baru sekali ini dia merobohkan orang dengan tembakan pistolnya. Maka dia lalu menghampiri tubuh Sakimun yang menggeletak di dekat sumur. Dia berjongkok dan sambil menyeringai senang dia melihat dada yang tembus oleh peluru pistolnya

   itu.

   "Satya, murid durhaka! Engkau telah membunuh Raka Sakimun!"

   Terdengar bentakan nyaring di belakangnya. Satyabrata bangkit berdiri dan dengan tenang dia membalikkan tubuhnya dan berdiri berhadapan dengan Cangak Awu yang mengerutkan alisnya, mukanya kemerahan dan sepasang matanya berapi saking marahnya.

   "Ah, kiranya Raka Cangak Awu yang datang?"

   Satyabrata berkata dengan tenang sekali sambil menyeringai.

   "Keparat busuk! Engkau memburuk-burukkan Mataram dan memuji-muji Belanda. Kiranya engkau seorang telik-sandi (matamata) Belanda yang terkutuk! Dan engkau telah melanggar pantangan mendaki bukit ini, bahkan telah membunuh seorang murid Jatikusumo! Aku tidak dapat mengampunimu, keparat!"

   "Ki Cangak Awu!"

   Kata Satyabrata dengan senyum mengejek berkembang di bibirnya.

   "Sebaiknya engkau memimpin Jatikusumo untuk membebaskan daerah dari cengkeraman Mataram dan bekerja sama dengan Kumpeni Belanda menentang Mataram. Engkau akan mendapatkan imbalan harta benda yang besar dan kedudukan yang tinggi dan mulia. Atau engkau memilih mati di tanganku!"

   Satyabrata menodongkan pistolnya ke arah ketua Jatikusumo itu.

   Cangak Awu menjadi marah sekali dan dia sudah mengerahkan Aji Gelap Musti dalam kedua tangannya, lalu menerjang dengan mendorongkan kedua tangan ke arah pemuda itu. Akan tetapi dengan tenang Satyabrata sudah membidik dengan pistolnya. Pada saat dia menarik pelatuk pistolnya, sebutir batu sebesar kepalan tangan menyambar dan tepat mengenai tangannya yang memegang pistol.

   "Darrr.... !!"

   Karena batu yang menghantam tangannya, bidikan pistol itu bergoyang dan miring sehingga pelurunya menyimpang dari sasaran. Satyabrata terkejut sekali. Dia lupa akan kehadiran Pusposari yang datang dari arah kirinya. Wanita perkasa ini maklum akan bahaya maut yang mengancam suaminya, maka ia cepat memungut batu dan melontarkan batu itu ke arah tangan Satyabrata yang memegang pistol sehingga bidikan itu meleset dan suaminya lolos dari maut. Sementara itu, melihat Cangak Awu menyerangnya dengan pukulan kedua tangan yang didorongkan, yang membawa angin pukulan dahsyat, Satyabrata cepat mengerahkan tenaga yang dilatihnya di dalam sumur dan diapun menyambut dorongan kedua tangan lawan itu dengan kedua tangannya sendiri.

   "Wuuuttt dessss !!"

   Tubuh Satyabrata terlempar ke belakang, ke dekat sumur. Dia terkejut dan kecerdikannya membuat dia maklum bahwa walaupun pertemuan tenaga itu tidak membuat dia terluka parah, namun dia tahu bahwa dia tidak akan menang melawan ketua Jatikusumo ini, apalagi masih ada isterinya yang juga kabarnya amat digdaya. Dia tidak akan mampu melarikan diri. Karena itu, ketika tubuhnya terpental ke dekat sumur dia membuat seolah dirinya terguling dan terjatuh ke dalam sumur!

   Pusposari cepat menghampiri suaminya yang agak terhuyung ke belakang. Wajat Cangak Awu agak pucat dan napasnya agak terengah. Cepat ketua. Jatikusumo inl duduk bersila dan mengatur pernapasannya untuk memulihkan kesehatannya, agar isi dadanya tidak terluka oleh guncangan hebat tadi. Setelah merasa bahaya telah lewat, dia menghela napas panjang dan bangkit berdiri.

   "Bagaimana, kakang-mas?"

   Tanya Pusposari.

   Cangak Awu menggeleng kepala perlahan.

   "Tidak apa-apa, akan tetapi sungguh tidak pernah menyangka bahwa si Satya itu ternyata memiliki tenaga sakti yang cukup kuat. Syukur bahwa Aji Gelap Musti agaknya dapat merobohkannya."

   "Dia terpental dan terguling ke dalam sumur,"

   Kata Pusposari. Keduanya lalu menghampiri sumur dan menjenguk ke dalam. Gelap dan sunyi saja.

   "Kukira dia tentu tewas. Ketika memukul tadi, aku mengerahkan seluruh tenagaku. Dia terjerumus ke dalam sumur ini, tidak mungkin dapat bertahan hidup. Andaikata masih hidup sekalipun, dia tidak akan dapat keluar dari sumur dan akan mati kelaparan. Biarlah rohnya yang sesat itu menjadi roh penasaran bersama para pengkhianat yang lain,"

   Kata Cangak Awu. Dia melihat pistol yang tadi dipergunakan Satyabrata menggeletak di dekat sumur. Dia mengambil senjata api itu kemudian dengan pengerahan tenaga dia membanting benda itu ke dalam sumur. Kalau Satyabrata berada tepat di dasar sumur dan kepalanya terkena hantaman pistol dari atas itu, tentu akan pecah kepalanya!

   Cangak Awu lalu menghampiri tubuh Sakimun yang menggeletak dekat sumur. Setelah memeriksanya sejenak dan mendapat kenyataan bahwa orang itu telah tewas, Cangak Awu lalu memondong mayat itu dan mengajak isterinya meninggalkan bukit larangan itu. Para murid Jatikusumo menjadi gempar ketika melihat ketua mereka turun dari bukit larangan memondong Sakimun yang sudah menjadi mayat. Setelah jenazah itu dirawat, Cangak Awu mengumpulkan semua murid ke ruangan pendopo yang luas.

   "Para raka dan rayi sekalian!"

   Katanya dengan suara lantang berwibawa.

   "Kami sudah tahu bahwa di antara kalian ada yang sudah mendengar kata-kata yang diucapkan murid baru Satya yang pada dasarnya bernada menghasut, memburuk-burukkan Mataram dan di samping itu memuji-muji Kumpeni Belanda. Ucapan-ucapannya itu menunjukkan bahwa dia seorang pengkhianat dan ketahuilah kalian bahwa setelah kami menyelidikinya, ternyata Satya itu adalah seorang telik-sandi Kumpeni Belanda yang sengaja menyelundup ke sini dan menjadi murid perguruan kita!"

   Terdengar desah dari banyak mulut itu.

   "Diapun melanggar larangan, mengunjungi bukit larangan yang agaknya akan dijadikan tempat persembunyiannya. Setelah kami memergokinya di sana, dia tidak membantah bahwa dia telik-sandi Kumpenl Belanda, malah dia menggunakan senjata api pistol untuk membunuh Raka Sakimun!"

   Kembali terdengar desahan dan gumam penasaran. dan kemarahan di antara para murid Jatikusumo.

   "Diapun berniat membunuh kami dengan pistolnya. Beruntung bagi kami bahwa Gusti Allah masih melindungi kami sehingga kami berhasil merobohkannya dan dia terjerumus ke dalam sumur tua. Rohnya yang jahat tentu berkumpul dengan roh-roh jahat lainnya, membuat sumur tua itu menjadi semakin angker. Karena itu kami peringatkan sekali lagi, jangan ada murid Jatikusumo yang mendaki bukit larangan itu. Dan kalian tahu sekarang bahwa semua hasutan Satya itu adalah siasat busuk Kumpeni Belanda, maka kami harap kalian waspada dan jangan sampai dapat terbujuk omongan seperti yang diucapkan pengkhianat Satya itu. Ingat akan janji dan persyaratan Jatikusumo. Pertama, menjadi pendekar yang membela kebenaran dan keadilan menentang kejahatan dan kedua, setia membela Mataram!"

   Demikianlah peristiwa hebat yang terjadi kurang lebih empat lima tahun yang lalu di perkampungan Jatikusuman itu. Peristiwa itu sudah mulai dilupakan orang setelah lewat beberapa tahun itu. Peristiwa yang dilanjutkan larangan keras untuk mendaki bukit itu membuat tempat larangan itu semakin angker dan tiada seorangpun berani lancang mendaki bukit itu, apalagi mendekati sumur yang dianggap menjadi tempat tinggal roh-roh penasaran para pengkhianat yang jahat itu.

   Dan keadaan ini sungguh amat menguntungkan Satyabrata. Orang-orang Jatikusumo sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pemuda yang mereka kenal sebagai Satya itu sesungguhnya sama sekali

   belum tewas!

   Ketika pistolnya terlepas dari tangannya karena sambaran sebuah batu, Satyabrata yang melihat dirinya diserang pukulan sakti Cangak Awu, cepat mengerahkan tenaga saktinya untuk menyambut. Pada waktu itu dia telah berlatih menghimpun tenaga sakti dengan cara Samadhi jungkir balik dan secara aneh telah terhimpun tenaga dalam yang luar biasa dan dahsyat dalam dirinya. Maka, ketika dia mengerahkan . tenaga menyambut aji pukulan Gelap Musti dari perguruan Jatikusumo, dia mampu menahan pukulan lawan yang hanya membuat dia terpental dan dengan cerdik, dia lalu menggulingkan diri masuk ke dalam sumur tua. Dia sama sekali tidak tertuka dan setelah tiba di. dasar sumur dia mendengar ucapan Cangak Awu yahg bicara dengan isterinya. Ketika Cangak Awu membanting pistol ke dalam sumur, Satyabrata dapat melihat dari bawah dan dia cepat menyelinap ke dalam terowongan sehingga sambitan pistol itu tidak mengenai dirinya.

   Mulai hari itu, Satyabrata dengan tekun mempelajari semua ilmu yang tertulis dan terlukis di dinding bawah tanah. Kalau siang dan keadaan dalam ruangan bawah tanah itu cukup terang, dia berada di dalam sumur dan mempelajari serrdua ilmu itu. Kalau malam dia berada di luar sumur dan melewatkan malam di dalam guha di balik puncak. Dia merasa aman karena tidak pernah ada orang berani mendaki bukit itu. Untuk makannya setiap hari, dia mempergunakan ilmunya mendatangi telik-sandi Kumpeni Belanda di Pacitan tanpa diketahui orang dan membawa bekal makanan dari sana. Demikianlah, sampai bertahun-tahun dia mempelajari ilmu-ilmu itu sehingga Satyabrata menjadi seorang pemuda yang sakti mandraguna dan berbahaya sekali.

   Akan tetapi karena dia menjalani latihan menghimpun tenaga sakti secara sesat, ada akibat sampingan yang amat hebat pula. Pemuda itu kini menjadi seorang yang terkadang berwatak aneh seperti orang gila! Dan dia menyimpan dendam terhadap Perguruan Jatikusumo, terutama kepada Cangak Awu dan Pusposari yahg mengalahkannya. Niatnya yang pertama adalah membunuh kedua orang itu setelah dia selesai mempelajari semua ilmu itu, selain untuk melampiaskan dendamnya, juga untuk memenuhi tugasnya yang dibebankan kepadanya oleh ayah angkatnya, Willem Van Huisen!

   Kita kembali mengikuti perjalanan Parmadi. Baru pertama kali "turun gunung"

   Berpisah dari gurunya, pemuda itu sudah. mengalami guncangan batin yang berat berturut-turut. Pertama mendengar akan kematian ayah Muryani dan juga gurunya, Ki Ronggo Bangak, dan kepergian Muryani tanpa ada yang mengetahui ke mana, Kemudian, ketika berkunjung ke dusun Pancot, dia mendengar dari Pak Jambi Pece tentang kematian ayah dan ibu kandungnya dan mendengar bahwa Ki Wiroboyo pernah berbuat kurang ajar terhadap mendiang ibunya sehingga Ki Wiroboyo patut dicurigai tentang pembunuhan terhadap ayah ibunya itu.

   Dia menuruni lereng Gunung Lawu sebelah barat dan menggunakan ketangkasannya untuk berjalan cepat menuruni jurang-jurang yang dalam dan mendaki tebing-tebing yang curam. Karena perjalanan itu amat sukar, maka setelah matahari condong ke barat, dia masih belum tiba di kaki gunung, melainkan tiba di lereng agak ke bawah. Tibalah dia di sebuah dusun dan karena hari sudah mulai remang-remang, dia mengambil keputusan untuk melewatkan malam di dusun itu. Akan tetapi ketika dia mulai memasuki dusun, dia melihat keadaan yang amat aneh. Dusun itu hanya mempunyai sekitar tiga puluh rumah. Rumah-rumah sederhana kaum tani. Ketika tadi hendak memasuki dusun Parmadi melihat sebuah candi berdiri di atas sebuah bukit kecil yang berada di luar dusun, tidak jauh dari dusun itu.

   Bangunan candi yang cukup besar itu tampak angker dan menyeramkan. Akan tetapi Parmadi hanya melihatnya dari jauh dan dia langsung memasuki dusun. Begitu memasuki dusun, terasalah suasana yang aneh itu. Hari belum gelap benar, baru menjelang senja, akan tetapi keadaan dusun itu sunyi sekali. Terdengar berkokoknya ayam dan beberapa kali ada suara kambing mengembik. Akan tetapi tidak terdengar suara manusia, juga tidak tampak bayangan manusia. Rumah-rumah sederhana ini tidak ada yang terbuka pintu ataupun jendelanya, semua tertutup rapat. Anehnya, tidak tampak ada penerangan sedikitpun dari rumah-rumah itu.

   Akan tetapi, walaupun keadaan demikian sunyi dan tidak tampak adanya seorangpun manusia, Parmadi dapat merasakan bahwa ada banyak pasang mata mengintainya dari rumahrumah itu. Bahkan dia sempat melihat bayangan di balik dinding bambu rumah-rumah itu dan pendengarannya yang tajam dapat menangkap gerakan dari dalam rumah. Dalam rumah-rumah sederhana itu bukan tidak ada orangnyai. Akan tetapi mereka agaknya sengaja bersembunyi, dan tidak ada yang menyalakan penerangan. Agaknya semua orang ketakutan melihat dia datang!

   Tentu saja keadaan ini membuat Parmadi merasa penasaran dan heran sekali. Mengapa orangorang dusun itu ketakutan melihat dia datang? Mengapa mereka semua bersembunyi dan tidak ada yang berani menyalakan penerangan? Padahal selama hidupnya belum pernah dia datang ke dusun itu dan tidak mengenal seorangpun dari penduduk di situ.

   Parmadi berhenti di depan sebuah rumah yang dilihatnya paling besar di antara rumah-rumah di situ. Kalau rumah lain terbuat dari dinding anyaman bambu, rumah ini dindingnya dari papan kayu dan ukurannya juga lebih besar. Dia memasuki pekarangan dan berdiri di depan rumah itu.

   Dia merasa penasaran sekali. Andaikata penduduk dusun itu tidak mau menerimanya dan tidak mau memberinya tempat untuk menginap malam itu, dia tidak perduli. Dia dapat tidur di mana saja, di bawah pohon atau bahkan di tempat terbuka mana saja. Akan tetapi sikap mereka itu membuatnya heran dan penasaran. Mengapa mereka semua bersembunyi, seolah dia dianggap iblis yang menakutkan?

   Biarpun dalam rumah besar itupun gelap, namun Parmadi dapat mendengar gerakan-gerakan orang di dalamnya. Dia tahu bahwa di dalam rumah itu terdapat eukup banyak orang. Bahkan dia mendengar suara berbisik-bisik. Kemudian terdengar anak kecil menangis dan suara wanita berbisik-bisik menyuruhnya diam. Menghadapi semua ini, Parmadi tidak kuat menahan keinginan tahunya. Dia harus tahu apa yang terjadi sehingga orang-orang sedusun takut kepadanya! Dengan hati tetap dia menghampiri pintu depan dan mengetuknya perlahan.

   "Tok-tok-tok....!"

   Tidak terdengar jawaban dan ada beberapa orang bersuara "sstt"ssttt". ssttt....!"

   Member tanda agar semua orang diam.

   Hal ini tentu saja membuat Parmadi menjadi semakin penasaran. Dia mengetuk lagi daun pintu itu lebih kuat dan disambung dengan seruannya.

   "Tok-tok-tok! Saya tahu andika sekalian berada di dalam. Harap suka membuka pintu. Saya bukan orang jahat! Saya adalah seorang tamu dari luar dusun dan saya ingin bicara dengan andika sekalian!"

   Hening sekali setelah Parmadi mengeluarkan seruan ini. Lalu terdengar lagi suara berbisikbisik di dalam seolah ada beberapa orang yang sedang berunding. Tak lama kemudian terdengar suara yang besar parau, suara laki-laki dewasa dan suara itu agaknya digagah-gagahkan akan tetapi tetap saja mengandung getaran tanda ketakutan.

   "Kami mohon agar andika mencari korban di lain tempat saja. Kalau andika memaksa, kami akan nekat melakukan perlawanan. Harap andika pergi sekarang juga!"

   Tentu saja Parmadi menjadi bengong karena heran. Mencari korban? Apa yang mereka maksudkan? "Andika sekalian keluarlah. Mari kita bicara dengan baik-baik. Saya tidak mencari korban apapun juga!"

   Kembali hening sesaat. .Kemudian, tiba-tiba daun pintu dibuka dari dalam dan lima orang laki-laki yang membawa senjata, ada yang memegang tombak, ada yang membawa parang, berlompatan dari dalam dan tanpa berkata apa-apa lagi mereka menerjang dan menyerang Parmadi kalang-kabut! Tentu saja Parmadi merasa terkejut bukan main. Akan tetapi dia juga tidak ingin menjadi bulan-bulanan serangan mereka. Andaikata dia dapat melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan, dia tidak akan mampu mencegah pakaiannya rusak dan robek-robek oleh senjata-senjata itu.

   Sebatang tombak yang panjang lebih dulu meluncur ke arah perutnya. Parmadi miringkan tubuh. Ketika tombak itu meluncur di samping perutnya, cepat tangan kirinya menangkap tombak dan kaki kanannya menyambar ke arah si pemegang tombak dan diapun menarik tombak itu dengan sentakan. Tombak itu telah berpindah ke tangannya. Ketika dua batang parang, sebilah keris dan sebatang tombak menyambar, dia mempergunakan tombak yang dirampasnya itu, digerakkan dengan pengerahan tenaga menangkis.

   "Traeng-traagg-trang-trang""""

   Empat batang senjata para pengeroyok itu beterbangan terlepas dari tangan mereka. Parmadi lalu menggunakan kedua tangannya, menekuk-nekuk patah tombak itu seperti orang mematahkan sebatang lidi saja! Melihat ini, lima orang laki-laki itu menjadi pucat, mata mereka terbelalak dan kaki mereka menjadi lemas. Mereka jatuh bertekuk lutut dan menyembah-nyembah ketakutan.

   Seorang laki-laki berusia limapuluhan tahun yang berpakaian lebih rapi daripada yang lain, dengan suara gemetar dan tubuh menggigil menyembah dan berkata dengan hormat.

   "Pukulun, mohon paduka sudi mengampuni kami orang-orang dusun yang miskin dan papa. Hamba semua berjanji akan memuja paduka dan kasihanilah hamba, bebaskan anak-anak hamba agar jangan dijadikan korban....

   
😗

   
"

   Mengertilah Parmadi bahwa ada kekeliruan di sini. Dia disangka orang lain, atau bahkan dia disangka makhluk lain, bukan manusia! Hal ini terbukti dari sebutan orang tua itu kepadanya yang memanggilnya dengan sebutan "pukulun", sebutan yang biasanya diberikan kepada para dewa! Dia

   tersenyum.

   "Paman yang baik, dan saudara-saudara sekalian. Agaknya andika semua telah salah mengenal orang! Harap andika sekalian bangkit dan marilah kita bicara dengan baik. Saya sama sekali bukan orang yang berniat jahat. Kebetulan saja saya lewat di sini dan hanya membutuhkan tempat untuk melewatkan malam. Silakan andika sekalian bangkit berdiri."

   Orang setengah tua yang agaknya menjadi pemimpin di antara mereka itu mengangkat muka dan memandang wajah Parmadi, ragu-ragu.

   "Andika.... andika bukan utusan.... San Pukulun Syiwamurti....?"

   Parmadi tersenyum dan menggeleng kepalanya.

   "Saya manusia biasa, bukan utusan dewa manapun, paman. Bangkitlah dan mari kita bicara. Saya ingin sekali mengetahui apa yang terjadi di dusun ini dan mengapa pula andika sekalian bersikap begini aneh, menyerang seorang tamu yang baru datang seperti saya ini."

   Agaknya lima orang itu baru mau percaya. Didahului oleh orang setengah tua itu, mereka semua bangkit berdiri dan berani menatap wajah Parmadi.

   "Maafkan sikap kami tadi, ki-sanak. Kami tadi mengira andika datang hendak menjemput korban...."

   Kata orang tua yang bertubuh tinggi kurus itu.

   "Mari silakan masuk ke dalam rumah. Kita bicara di dalam saja."

   Parmadi mengikuti lima orang itu memasuki rumah dan dia melihat dalam keremangan rumah itu bahwa ada beberapa orang wanita dan kanak-kanak mengintai dari ruangan dan kamar lain. Dalam ruangan itu terdapat beberapa buah kursi kayu dan Parmadi dipersilakan duduk. Parmadi duduk berhadapan dengan lima orang itu.

   "Paman, mengapa paman tidak menyalakan lampu penerangan? Sungguh tidak enak duduk bercakap-cakap dalam cuaca gelap begini,"

   Kata Parmadi.

   "Menyalakan lampu? Ah, jangan.... kami.... kami takut...."

   Kata orang itu, juga yang lain mengeluarkan suara tidak setuju dan mereka semua ketakutan. Parmadi menjadi semakin penasaran. Orang-orang dusun ini semua merasa takut akan sesuatu yang mengerikan, pikirnya. Diapun tidak mendesak mereka untuk menyalakan lampu.

   "Paman, sebetulnya apakah yang terjadi di dusun ini? Kenapa semua rumah menutup pintu dan tidak menyalakan penerangan? Juga mengapa paman sekalian tampak ketakutan, bahkan tadi menyerang aku tanpa alasan? Apa artinya semua ini?"

   "Sebelum kami menjawab pertanyaanmu dan menerangkan segalanya kepadamu, kami ingin mengetahui lebih dulu siapa andika, ki-sanak, dan keperluan apakah yang membawa andika datang

   ke dusun Sukuh ini?"

   Parmadi hanya kebetulan lewat di dusun itu dan dia tidak ingin namanya dikenal, apalagi menghadapi peristiwa aneh yang agaknya harus dicampurinya. Dia harus membantu para penduduk yang ketakutan itu menghadapi sesuatu yang agaknya mengerikan. Dan untuk itu dia pikir tidak perlu memperkenalkan dirinya. Gurunya, Resi Tejo Wening, pernah berpesan kepadanya bahwa kalau dia turun tangan menolong orang, dia tidak perlu menonjolkan namanya, bahkan lebih baik kalau yang dia tolong itu tidak mengenal namanya!

   "Saya adalah seorang perantau, paman dan hanya kebetulan saja saya lewat di dusun ini dan kemalaman. Karena itu saya ingin melewatkan malam ini di sini, mohon kebaikan hati seorang di antara penduduk untuk memberi sekedar sehelai tikar untuk saya tidur. Nama saya? Sebut saja saya Seruling Gading, paman. Nah, sekarang harap paman suka menceritakan semua keanehan ini kepada saya. Siapa tahu saya akan dapat membantu andika sekalian untuk membikin terang semua kegelapan ini."

   "Sesungguhnya, anak-mas!"

   Kata orang setengah tua itu dan suaranya mengandung penuh harapan.

   "Setelah mengetahui bahwa andika bukan lawan melainkan kawan, dan melihat bahwa andika seorang yang sakti mandraguna, kami seluruh warga dusun Sukuh ini mengharapkan pertolongan andika. Ketahuilah bahwa dusun kami ini sedang menghadapi malapetaka yang besar sekali, agaknya kami menerima amarah para dewa sehingga kami dikutuk."

   "Tidak. ada dewa mengutuk manusia, paman. Kalau ada suatu akibat terjadi, pasti ada sebabnya dan kita berkewajiban untuk mencari tahu dan melenyapkan penyebabnya itu. Nah, ceritakanlah. Apa yang telah terjadi?"

   "Saya akan memperkenalkan diri lebih dulu, anak-mas Seruling Gading. Saya bernama Gitosani dan saya diangkat oleh penduduk di dusun Sukuh ini menjadi kepala dusun karena saya dianggap sebagai sesepuh yang sudah tinggal di sini sejak eyang buyut saya. Bahkan nenek moyang saye menjadi juru kunci dari Candi yang menjadi tempat pemujaan kami untuk, mohon berkah keselamatan, kesuburan, kesehatan, rejeki dan semua kebutuhan kami. Kemudian tiba-tiba dating malapetaka itu, malapetaka yang". mengerikan...."

   Lurah Gitosani menggigil dan semua orang yang berada di situ juga ketakutan seolah-olah hawa dalam ruangan itu tiba-tiba menjadi dingin sekali. Dari dalam kamar di sebelah kiri terdengar suara bayi menangis, akan tetapi agaknya mulut bayi itu segera dijejali puting susu ibunya karena ia terdiam dengan cepat.

   

JILID 10


   "Hemm, ceritakanlah saja, paman Gitosani dan jangan takut. Ada saya di sini yang akan menjaga keselamatan semua orang,"

   Kata Parmadi dan suaranya yang tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri terdengar amat menghibur bagi semua orang itu.

   "Terjadinya dimulai dengan datangnya dua orang di dusun ini, kurang lebih satu bulan yang lalu. Seorang kakek tinggi besar seperti raksasa menyeramkan yang mengaku bernama Koloyitmo bersama seorang anaknya perempuan bernama Nini Maya Dewi yang cantik seperti dewi kahyangan. Mereka berdua memasuki candi dan mendudukinya, tidak mau keluar dari candi. Kakek yang bernama Resi Koloyitmo itu mengaku bahwa dia titisan Sang Bathara Kolo dan dia bilang bahwa dia sengaja memilih Candi Sukuh untuk tempat tinggalnya sementara waktu. Kami berusaha mengusirnya, akan tetapi kakek dan anaknya itu sakti mandraguna. Belasan orang dari kami diterbangkan angin ketika hendak menyerangnya. Bahkan anak perempuan itu mengancam akan membunuh kami semua kalau kami berani mengganggu mereka."

   Parmadi mengerutkan alisnya.

   "Akan tetapi, agaknya kalau mereka tidak diganggu, mereka tidak akan berbuat apa-apa, bukan?"

   "Mula-mula mereka memang hanya minta dikirim sesajen sehari tiga kali, nasi dan laukpauknya, juga minuman untuk mereka. Akan tetapi tak lama kemudian, seminggu yang lalu, Resi Koloyitmo itu minta agar diberi korban seorang perawan."

   "Hemmm..., ini sudah keterlaluan!"

   Kata Parmadi mulai merasa tidak senang hatinya.

   "Lalu bagaimana?"

   "Tentu saja kami menolak permintaannya yang aneh itu. Akan tetapi, Resi Koloyitmo diam saja dan tidak marah oleh penolakan kami dan kami hanya berjaga-jaga dengan khawatir. Dan malam harinya, seorang anak perawan dusun kami lenyap! Ada seorang warga dusun yang kebetulan keluar dari rumahnya malam itu melihat betapa perawan itu berjalan setengah berlari menuju ke candi dan ketika ditegur tidak menjawab. Kami mengerahkan seluruh tenaga laki-laki di dusun ini dan pergi ke candi, menuntut kembalinya gadis itu. Akan tetapi Resi Koloyitmo mengatakan bahwa perawan itu sudah dipilih oleh Sang Bathara Kolo dan kami disuruh pulang. Kami nekat hendak menyerbu ke dalam candi mencari gadis itu. Akan tetapi kembali kami roboh berpelantingan oleh sihir ayah dan anak itu."

   "Hemm, begitukah? Dan mengapa andika sekalian tidak berani menyalakan penerangan dan bersembunyi dalam kegelapan?"

   "Dua malam yang lalu, kembali seorang perawan dusun ini menghilang dan menurut mereka yang sempat melihatnya, terjadinya lebih aneh lagi. Mereka, ada tiga orang saksi, melihat betapa gadis itu menunggang seekor macan loreng besar menuju ke candi itu! Nah, mulai malam itulah, kami semua tidak berani membuka pintu kalau sudah senja dan tidak berani menyalakan penerangan agar macan utusan dewa itu tidak dapat masuk rumah dan tidak dapat melihat sehingga tidak akan dapat menculik anak-anak gadis kami."

   Parmadi mengerutkan alis dan memejamkan mata. Keadaan ayah dan anak itu sungguh mencurigakan!

   "Akan tetapi malam ini bulan bersinar terang. Mungkin bulan purnama karena tadi malam bulan juga sudah penuh,"

   Kata Parmadi.

   "Tanpa adanya lampu peneranganpun, malam tidaklah begitu gelap."

   "Itulah yang kami khawatirkan. Tadi malam langit mendung sehingga bulan terhalang dan malam gelap. Akan tetapi malam ini....

   "

   "Jangan khawatir, paman. Saya akan melakukan penjagaan malam ini dan kalau iblis itu berani muncul, akan saya hadapi dan usir dia!"

   Kata Parmadi.

   "Bukan iblis, anak-mas, melainkan dewa....

   "

   "Dewa berkewajiban melindungi, bukan mengganggu manusia. Yang mengganggu manusia hanya iblis. Sekarang, mari kita serukan kepada semua rumah agar menyalakan penerangan agar lebih mudah bagi saya untuk melakukan perondaan dan dapat melihat jelas kalau terjadi sesuatu."

   "Akan tetapi...."

   Ki Gitosani berkata ragu dan takut.

   "Sudahlah, paman. Percaya dan serahkan kepada saya. Lebih baik sekarang kita memelopori semua penduduk dan menyalakan lampu di rumah ini agar mereka juga menjadi berani."

   Karena sikap Parmadi yang tegas dan tenang, akhirnya Ki Gitosani menyalakan lampu-lampu di rumah itu. Kemudian, ditemani Parmadi, lima orang laki-laki itu lalu berjalan dari rumah ke rumah, berseru kepada pemilik rumah untuk menyalakan lampu.

   "Saudara-saudara, nyalakan lampu-lampu di setiap rumah! Jangan takut! Ada anak-mas Seruling Gading yang akan melindungi kita!"

   Seru Ki Gitosani.

   "Seruling Gading?"

   Semua orang membisikkan nama ini, merasa heran dan ingin tahu siapa orangnya yang berani melindungi mereka dari ancaman "dewa"

   Yang mengerikan itu, yaitu Sang Bathara Kolo! Yang agak pemberani keluar dari pintu rumah untuk melihat orang bernama Seruling Gading itu, yang penakut mengintai dari balik pintu. Mereka menjadi ragu ketika melihat betapa yang dijagokan untuk melindungi mereka itu hanya seorang pemuda tampan yang sikapnya amat sederhana. Mulailah mereka merasa ngeri dan takut kalau-kalau dewa yang kini berada di candi itu akan makin marah dan mengamuk. Biarpun mereka sudah menyalakan lampu, akan tetapi setelah melihat Parmadi yang berjalan bersama Ki Lurah Gitosani dan empat orang laki-laki lain, mereka mulai menutupi daun-daun pintu lagi dan menanti dalam rumah dengan jantung berdebar tegang dan takut.

   Malam itu langit bersih. Ketika bulan purnama -muncul, cuaca menjadi terang. Terang-terang redup dan sejuk. Angin malam semilir lembut. Biasanya, pada malam bulan purnama seperti itu, anak-anak banyak yang bermain-main di luar, suara mereka menembang dolanan mendatangkan kesyahduan pada malam bulan purnama. Akan tetapi malam ini tidak ada yang keluar rumah. Jangankan anak-anak, orang tuapun tidak ada yang berani keluar pintu, bahkan semua pintu rumah ditutup rapat. Akan tetapi, yang agak pemberani mulai mengintai dari celah-celah pintu atau jendela untuk dapat melihat keadaan di luar. Suasana amat sunyi. Tidak ada suara manusia. Hanya suara angin lembut berdesah di antara daun-daun pohon yang bergoyang-goyang seperti hidup, mengiringi bunyi kutu-kutu walang atogo (serangga-serangga yang berbunyi di waktu malam). Bahkan Ki Gitosani sendiripun tinggal di dalam rumah dengan daun pintu tertutup karena demikianlah yang dikehendaki Parmadi. Untuk memudahkan penjagaannya, dia minta agar semua orang tinggal di rumah dengan pintu tertutup.

   Parmadi sendiri berada di luar. Tadi dia sudah dijamu makan malam oleh keluarga Ki Gitosani. Dia menitipkan buntalan pakaiannya kepada kepala dusun itu, kemudian dia keluar hanya berkalung sarung dan membawa seruling gading yang diselipkan di pinggangnya.

   DUSUN itu tidak besar. Rumah-rumah bordir di sepanjang jalan satu arah sehinga mudah bagi Parmadi untuk menjaganya. Andaikata terjadi sesuatu di ujung dusun itu, dapat terlihat dari ujung yang lain. Akan tetapi karena menurut cerita Ki Gitosani, ancaman bahaya datang dari arah candi, maka Parmadi yang tadinya berjalan-jalan di sepanjang jalan dusun itu, kini berhenti dan duduk bersila di atas sebuah batu besar yang berada di ujung dusun yang berhadapan dengan bukit kecil di mana candi itu berada. Dari situ tampak batu candi yang tampak seram di bawah sinar bulan purnama itu.

   Bagi para penduduk dusun Sukuh, malam itu tetasa amat menyeramkan. Mereka semua menduga dengan was-was bahwa sang dewa yang ditakuti itu tentu akan marah sekali melihat bahwa penduduk dilindungi seorang jagoan! Mereka membayangkan bahwa kalau sang jagoan itu sudah kalah, tentu sang dewa akan menimpakan kemarahannya kepada mereka! Karena itu, semua orang berada dalam keadaan tegang dan tak seorangpun dari mereka, kecuali anak-anak yang belum tahu urusan, tidak ada yang tidur walaupun waktu sudah menjelang tengah malam.

   "Kulik-kulik-kulik....!"

   Suara burung malam seolah berputaran di atas setiap atap rumah. Parmadi memandang ke atas da melihat beberapa ekor burung malam terbang lewat. Suara mereka memelas dan agaknya mereka melihat kehadirannya maka mereka memekik-mekik. Kemudian orang-orang dalam rumah mendengar suara kepak sayap dan suara itu mendatangkan perasaan takut. Parmadi yang berada di luar melihat bahwa itu adalah suara beberapa ekor kalong yang beterbangan mencari makan. Akan habislah buah-buahan yang sudah tua dan matang oleh binatang malam yang rakus ini.

   Ketika terdengar suara anjing membaung (meraung), berdiri bulu tengkuk banyak orang dalam rumah-rumah tertutup itu. Sudah menjadi kepercayaan umum di dusun itu bahwa kalau ada anjing membaung seperti itu, tandanya ada "makhluk halus"

   Lewat. Suasana menjadi semakin menyeramkan dan hati mereka menjadi semakin tegang. Mereka membayangkan betapa saat itu sang jagoan mereka sedang disergap dan dicabik-cabik para setan bekasakan. Besok pagi-pagi mereka akan menemukan tubuh pemuda itu membujur mati kehabisan darah yang disedot para iblis melalui leher yang terkoyak-koyak. Mengerikan!

   Akan tetapi Parmadi melihat anjing yang membaung itu. Binatang itu tidak melihat setan, melainkan berdongak memandang ke arah bulan purnama lalu mengeluarkan suara meraung panjang yang kerdengar amat menyedihkan itu. Seolah-olah anjing itu mengeluh akan keadaan dirinya sebagai seekor anjing! Benarkah anjing itu mengeluh dan menangis? Dia tidak tahu. Ah, kalau saja dia memiliki kepandaian seperti Sang Prabu Anglingdarma yang pernah dibacanya dalam sebuah kitab milik mendiang gurunya, Ki Ronggo Bangak, alangkah senangnya. Sang Prabu Anglingdarma itu dapat mengerti bahasa hewan! Kalau dia menguasai kepandaian itu, tentu dia mengerti apa artinya suara menyedihkan yang dikeluarkan anjing itu!

   Tiba-tiba Parmadi merasa betapa tengkuknya dingin dan bulu tengkuknya meremang. Ini merupakan tanda bahwa ada sesuatu yang tidak wajar. Ada kekuatan sihir lewat, pikirnya dan diapun mencurahkan perhatiannya ke arah rumah-rumah yang berjajar di sepanjang jalan dusun itu. Tiba-tiba di rumah kelima dari ujung dusun di mana Parmadi duduk terdengar kegaduhan. Parmadi melompat turun dari atas batu besar dan memandang ke arah rumah itu dengan penuh perhatian.

   Tiba-tiba daun pintu rumah terbuka dan sesosok bayangan berlari keluar dari pintu itu, Terdengar jeritan wanita dari dalam rumah yang pintunya terbuka itu, lalu disusul teriakan suara laki-laki.

   "Tinem".! Kembalilah, Nem".! Toloonggg....!"

   Akan tetapi tidak ada orang yang keluar dari pintu itu, bahkan daun pintunya ditutup kembali. Agaknya para penghuni rumah itu ketakutan dan hanya dapat menangis dan memanggil-manggil gadis yang berlari keluar.

   Parmadi melihat bahwa yang berlari keluar itu seorang gadis remaja yang rambutnya panjang awut-awutan terlepas dari gelungannya. Ia berlari keluar ke arahnya, angaknya hendak pergi ke candi itu dari mana dia merasakan adanya hawa dingin aneh. Agaknya hawa itulah yang memiliki daya tarik kuat dan yang kini membuat perawan dusun itu kehilangan kesadarannya dan seolah ditarik oleh kekuatan gaib untuk datang ke candi!

   Parmadi cepat mencabut seruling gading dari pinggangnya dan diapun sudah tenggelam ke dalam penyerahan, membiarkan seluruh jiwa raganya terbimbing oleh Kekuasaan Tertinggi dan terdengarlah lengkingan suara suling ketika di luar kehendak hati akal pikirannya suling itu telah ditiup dan dimainkan oleh bibir dan jarijari tangannya! Suara suling melengking-lengking dan mengandung getaran gaib yang amat kuat dan alami, terasa oleh alam sekitarnya di mana suara itu dapat ditangkap. Kuat dan wajar seperti desau angin seperti cahaya bulan, seperti suara kutu kutu walang atogo. Kini perawan dusun itu sudah tiba dekat, tinggal sejauh tigapuluh meter dari tempat Parmadi berdiri Dan tiba-tiba saja dara itu berhenti berlari seperti tersentak keget, seperti orang baru terbangun dari tidur, kembali ke alam sadar dari alam mimpi.

   "Ohhh.... !"

   Ia menutupkan kedua tangan depan mulut dan matanya terbelalak.

   "........ bapak""simbok !"

   Ia mengeluh dan sudah memutar tubuh hendak kembali ke rumah orang tuanya.

   Pada saat itu, terdengar suara mengaum dahsyat dan Parmadi melihat bayangan hitam sebesar gudel (anak kerbau), meluncur cepat dari arah belakangnya. Dia menghentikan tiupan sulingnya dan melihat betapa bayangan Itu bukan lain seekor harimau loreng yang besar sekali. Macan itu sudah tiba di depan gadis yang menahan jeritnya, lalu gadis itu terkulai, pingsan karena kaget dan takut. Harimau itu menggigit punggung baju gadis itu lalu membawanya pergi menuju ke arah candi!

   Akan tetapi Parmadi telah menghadangnya, seruling gading berada di tangan kanannya. Dia dapat menduga bahwa harimau loreng ini adalah makhluk seperti yang telah diceritakan Ki Gitosani kepadanya, yang dapat melarikan seorang perawan dusun yang duduk di atas punggungnya. Tentu gadis itu berada dalam keadaan tersihir. Sekarang, gadis ini yang sudah tidak terpengaruh sihir, pingsan ketakutan dan digondolnya seperti biasanya seekor harimau menggondol mangsanya. Parmadi dapat menduga bahwa mahluk ini tentulah mahluk jadi-jadian, bukan harimau aseli. Pernah dia mendengar dari gurunya, Resi Tejo Wening, bahwa di daerah Parahyangan dan daerah Banten banyak tokoh sesat yang menguasai ilmu sesat itu, yakni dapat mengubah dirinya menjadi satu hewan seperti harimau, celeng (babi hutan), srigala dan sebagainya.

   Karena itu, menduga bahwa mahluk yang dihadapinya adalah seorang manusia yang menggunakan ilmu sihir sesat mengubah dirinya menjadi seekor harimau, diapun membentak sambil mengerahkan

   kekuatan batinnya.

   "Manusia dursila! Bebaskan gadis itu atau terpaksa aku harus menghajarmu agar engkau sadar akan kejahatanmu!"

   Sepasang mata harimau itu mencorong dan agaknya dia marah sekali. Dia menggerakkan kepalanya dan melepaskan gigitannya sehingga tubuh perawan yang pingsan itu terlempar ke samping. Harimau itu mengaum dengan garang. Suara aumannya menggetarkan dusun itu dan semua penduduk yang bersembunyi dalam rumah menggigil ketakutan. Mereka merasa ngeri karena membayangkan betapa harimau yang kabarnya sebesar kerbau itu kini tentu sedang mencabik-cabik tubuh pemuda jagoan mereka. Sementara itu, ayah dan ibu perawan yang tadi melarikan diri keluar dari rumah hanya dapat bertangis-tangisan saja.

   Kini harimau itu menggereng dan gerengannya juga menggetarkan jantung. Parmadi bersikap tenang saja dan menentang pandang mata harimau itu. Dia bahkan menyelipkan seruling gading di ikat pinggangnya lagi karena bagaimanapun juga, dia tidak ingin membunuh atau melukai binatang jadi-jadian yang sesungguhnya adalah seorang manusia itu.

   Harimau itu merendahkan tubuhnya sampai perutnya menyentuh tanah, kemudian tiba-tiba dia melompat dan menerkam ke arah Parmadi dengan sepasang kaki depannya. Moncongnya siap menggigit, taringnya mengkilap terkena cahaya bulan purnama. Dengan gerakan kilat Parmadi rnengelak ke kanan dan ketika tubuh harimau itu meluncur ke sebelah kirinya, tangan kirinya dengan terbuka dan miring menghantam ke arah muka harimau itu.

   "Wuuttt".plakkk!"

   Walaupun tamparan tangan kiri itu tidak terlalu kuat, akan tetapi karena mengandung Aji Sunya Hasta, tubuh harimau itu terpelanting. Dia rnenggereng kesakitan lalu melompat ke kanan dan melarikan diri menuju ke arah bukit di mana berdiri candi itu. Parmadi lalu menghampiri gadis yang masih rebah miring di atas tanah itu. Dia meraba dan menekan tengkuk gadis itu beberapa kali. Gadis itu mengeluh lirih lalu membuka matanya. Ketika melihat seorang laki-laki berjongkok di dekatnya, ia terkejut bukan main. .

   "Jangan takut. Aku telah mengusir pergi harimau jadi-jadian tadi."

   Gadis itu tidak jadi menjerit karena ia tadipun ikut mengintai ketika Parmadi bersama Lurah Gitosani dan empat orang lain berkeliling ke rumah-rumah untuk menganjurkan semua rumah menyalakan lampu. Inilah jagoan yang dikabarkan hendak menolong dusun Sukuh!

   "Hayo kuantar engkau pulang,"

   Kata Parmadi. Gadis itu tidak menjawab, hanya mengangguk kemudian bangkit berdiri dan berjalan dikawal Parmadi.

   Peristiwa Parmadi dengan harimau itu ternyata disaksikan banyak pasang mata yang mengintai dari dalam rumah. Melihat, betapa Parmadi benar-benar dapat mengusir harimau dan menyelamatkan Satinem,gadis yang digondol macan itu, mereka berani membuka pintu dan keluar menyambut. Ayah dan ibu gadis itu keluar dan Satinem lari sambil menangis. Kemudian berangkulan dengan ibunya. Kini semua orang keluar. Dusun Sukuh menjadi ramai di malam terang bulan itu. Mereka tidak merasa takut lagi karena telah terbukti bahwa pemuda itu mampu mengusir harimau dan menyelamatkan Satinem.

   Ki Lurah Gitosani menghampiri Parmadi sambil tersenyum senang dan memandang penuh kagum.

   "Anak-mas Seruling Gading! Ternyata andika adalah seorang dewa penyelamat kami! Mari kita bicara dl rumah."

   Parmadi lalu diiringkan semua penduduk menuju ke rumah besar Ki Gitosani. Dia dipersilakan duduk dan semua prang merubungnya. Yang tidak kebagian bangku atau kursi duduk di atas lantai. Nuasana dalam rumah ki lurah menjadi riuh dan gembira. Akan tetapi ketika Ki Gitosani mulai bicara dengan Parmadi, semua orang diam mendengarkan. Semua mata memandang kepada pemuda itu.

   "Anak-mas Seruling Gading, tadi kami mendengar suara suling yang melengking-lengking amat anehnya dan menggetarkan hati kami. Apakah andika yang meniup suling itu, anak-mas?"

   Parmadi mengangguk.

   "Benar, paman. Saya meniup suling itu untuk melawan pengaruh sihir yang membuat gadis tadi kehilangan kesadarannya dan berlari keluar rumah."

   "Tapi makhluk apakah harimau besar tadi, den-mas?"

   Tanya seorang tetangga yang tadi kebetulan mengintai peristiwa yang terjadi tepat di depan rumahnya.

   "Harimau tadi menggigit dan menggondol Satinem. Huuhh, mengerikan sekali!"

   "Harimau tadi adalah mahluk jadi-jadian. Ketika gadis tadi tidak lagi dipengaruhi sihir dan sudah sadar, tiba-tiba ia melihat harimau besar dan roboh pingsan Harimau itu menggigit punggung bajunya dan hendak membawanya pergi. Saya menghadangnya dan berhasil mengusirnya,"

   Kata Parmadi singkat tanpa menonjolkan jasanya.

   "Jadi-jadian? Andika maksudkan, harimau itu adalah seorang manusia yang berlatih rupa?"

   Tanya Ki Gitosani.

   "Benar, paman. Dia adalah seorang manusia yang menguasai ilmu beralih rupa menjadi harimau."

   "Huh, menyeramkan sekali! Siapakah orangnya, anak-mas?"

   Parmadi menggeleng kepalanya.

   "Saya tidak tahu, paman. Dia keburu melarikan diri sebelum saya dapat mengetahui siapa orangnya."

   Pada saat itu, dua orang wanita tiba-tiba maju dan menjatuhkan diri bersimpuh di depan Parmadi sambil menangis dan mereka berkata dengan keluh kesah.

   "Den-mas, tolonglah anak saya".tolonglah, den-mas....

   "

   Melihat dua orang wanita setengah tua itu menangis sesenggukan di depannya, Parmadi bertanya lembut.

"Bibi berdua, apakah yang terjadi dengan anak andika?"

   Ki Gitosani yang mewakili dua orang anita itu segera berkata.

   "Anak-mas Seruling Gading. Tadi sudah saya ceritakan bahwa seminggu yang lalu, seorang perawan bernama Karmi menghilang dan wanita ini adalah ibunya. Kemudian, dua hari yang lalu ada perawan lain dilarikan harimau, yaitu Tiyah anak dari wanita kedua ini."

   Parmadi mengangguk-angguk.

   "Hemm begitukah? Baiklah, bibi berdua harap tenangkan hati. Besok pagi saya akan pergi ke candi itu dan kalau benar anak andika berdua di sana, saya pasti akan berusaha untuk membebaskan mereka. Kalau tidak berada di sana, saya akan menyelidikinya siapa yang menculik mereka dan akan berusaha untuk menyelamatkan mereka."

   "Sekarang saya persilakan andika untu beristirahat, anak-mas. Kami telah mempersiapkan sebuah kamar untuk andika, kata Ki Gitosani yang disambungnya kepada semua penduduk yang berkumpul di situ.

   "Saudara-saudara, sekarang harap pulang ke rumah masing-masing. Anak-mas Seruling Gading akan beristirahat dulu."

   Orang-orang itu lalu bubaran dan pulang ke rumah masing-masing. Kini mereka tidak begitu ketakutan lagi karena mulai percaya bahwa pemuda itu akan mampu melindunginya. Setelah semua orang pergi, Parmadi. berkata kepada Ki Gitosani.

   "Paman, tidak perlu saya diberi kamar di dalam rumah ini. Tadi saya melihat di pintu masuk dusun terdapat sebuah gubuk. Saya akan bermalam di sana saja."

   "Ah, mana pantas begitu, anak-mas? Andika adalah penolong kami, menjadi tamu kehormatan kami, bagaimana akan melewatkan malam di tempat itu? Gubuk itu dipakai sebagai gardu tempat para peronda. Tidak tertutup rapat. Bagaimana andika dapat beristirahat di tempat terbuka seperti itu?"

   Parmadi tersenyum.

   "Paman, orang yang menjadi musuh kita itu berbahaya. Saya khawatir dia tidak akan tinggal diam atas gangguan saya tadi. Kalau dia datang menyerang saya dan saya berada dalam rumah ini, hal itu akan membahayakan orang-orang lain yang berada di dalam rumah ini. Karena itulah saya memilih tinggal di gardu itu agar kalau dia melakukan penyerangan, saya dapat menghadapinya orang diri tanpa membahayakan orang lain."

   Mendengar ucapan ini, Ki Gitosani terkejut dan mengangguk-angguk.

   "Ah, kiranya begitu, anak-mas? Kalau begitu, terserah kepada andika. Akan tetapi harap andika berhati-hati. Resi Koloyitmo itu menyeramkan sekali."

   "Saya akan berhati-hati, paman. Sayj hanya titip buntalan pakaian ini, paman Dan besok pagi, kalau saya,pergi ke candi itu, agar jangan ada orang yang ikut ke sana. Biarkan saya sendiri yang menghadapi Resi Koloyitmo dan anaknya itu. Juga malam nanti, kalau tidak teramat penting, lebih

   baik kalian tidak keluar rumah. Jika terdengar suara apapun di luar biarkan saja."

   "Baik, anak-mas. Sekarang juga akan saya beritahukan kepada semua penduduk."

   Parmadi lalu keluar dari rumah kepala dusun itu dan dia pergi ke gardu dekat batu besar di mana dia tadi duduk bersila. Sementara itu, Ki Gitosani dibantu beberapa orang segera menyampaikan pesan pemuda penolong mereka itu kepada setiap rumah.

   Parmadi duduk bersila di atas papan dalam gardu itu. Papan beralaskan tikar itu cukup bersih dan tempat itu sebenarya cukup panjang dan lebar untuk merebahkan diri. Akan tetapi Parmadi tidak mau lengah. Dia maklum bahwa dia berhadapan dengan orang yang memiliki kesaktian dan ilmu sihir yang berbahaya. Maka dia selalu waspada dan dia duduk bersila melemaskan semua anggauta tubuhnya luar dalam, namun kewaspadaannya tak pernah meninggalkannya. Dia bersila dan memejamkan mata seperti orang tidur, namun perasaannya amat peka dan ada kejadian sedikit saja yang tidak wajar pasti akan diketahuinya.

   Tengah malam telah lama terlewat. Pada saat menjelang fajar itu merupakan saat yang paling nikmat bagi orang tidur malam, saat orang tidur sepulas-pulasnya. Di dalam candi, dua orang masih belum tidur. Mereka itu adalah seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar seperti raksasa. Rambutnya kasar dan panjang, dibiarkan terurai di atas kedua pundak dan punggungnya. Kumis dan jenggotnya merupakan brewok yang tebal. Sepasang matanya besar dan bulat, demikian pula hidung dan bibirnya Agaknya setiap anggauta tubuh orang ini serba tebal dan besar. Pakaiannya sederhana seperti pakaian seorang pertapa, akan tetapi dia memakai gelang tangan dan ikat pinggang terbuat dari emas! Inilah Resi Koloyitmo yang ditakuti penduduk Sukuh, yang dengan kekerasan telah menggunakan candi itu sebagai tempat tinggalnya untuk sementara.

   Di depan laki-laki raksasa itu duduk seorang wanita muda. Sinar lampu yang berada di atas meja di antara mereka menerangi wajah wanita itu dan orang akan terpesona kalau melihat wajah itu. Sinar lampu membuat wajah itu tampak kemerahan. Gadis ini berusia kurang lebih dua puluh tahun. Kulitnya yang putih kuning itu demikian halus lembut bagaikan gading gajah diukir indah. Tubuhnya ramping padat, bagaikan buah yang sedang ranum,atau bunga yang sedang mekar, dengan lekuk lengkung yang sempurna, indah menggairahkan. Sungguh, Sang Maha Pencipta amat bermurah hati terhadap gadis ini, diberinya bentuk tubuh dan wajah yang demikian indahnya.

   Rambutnya tebal, hitam mengkilap dan agak berombak, sanggulnya rendah menempel di tengkuk dan dihias tusuk sanggul dari emas permata, diselipi beberapa tangkai bunga melati. Sinom (anak rambut) berjuntai melingkar manja di dahi dan pelipisnya. Dahinya berkulit putih mulus dan halus bagaikan lilin diraut, agak nonong akan tetapi bahkan menambah daya tariknya. Sepasang telinganya kecil berbentuk indah. Sepasang alisnya hitam seperti dicelaki, padahal memang rambut alis itu hitam aseli, bentuknya kecil penjang melengkung seperti bentuk bulan muda, melindungi sepasang mata yang bentuknya indah, ujung kanan kiri agak miring ke atas membuat kerlingnya setajam pedang. Mata itu bening dan jeli, sinarnya tajam seolah dapat menembus dan menjenguk isi kepala lawan. Hidungnya kecil lancung, cupingnya yang tipis dapat bergerak lucu, dan mulutnya! Sungguh indah dan manis sekali sepasang bibir yang selalu merah membasah tanpa pemerah itu, penuh daya tarik dan menantang. Sepasang bibir itu demikian hidup, kadang sedikit terbuka sehingga tampak kilatan gigi putih rapi. Sepasang pipi itu selalu kemerahan dan dagunya meruncing menambah mahis. Lehernya agak panjang dan kulitnya demikian putih mulus dan tipis.

   Pendeknya, jarang terdapat seorang gadis yang sedemikian rupawan. Sukar mencari cacat celanya. Cantik jelita, ayu manis merak ati! Sungguh merupakan gambaran kebalikan dari laki-laki yang duduk di depannya. Kalau laki-laki itu mewakili, keburukan dan kakasaran, gadis itu mewakili keindahan dan kelembutan! Memang aneh, namun kenyataannya adalah bahwa laki-laki itu adalah ayah gadis jelita itu. Gadis berusia sekitar dua puluh tahun namun tampak baru enam belas tahun itu adalah Nini Maya Dewi, puteri Resi Koloyitmo!

   Ayah dan anak ini belum lama berada di candi Sukuh. Bahkan mereka baru saja memasuki daerah itu setelah mereka, atau lebih tepat, setelah Resi Koloyitmo terusir dari daerah Parahyangan. Di tanah Pasundan itu dia dikenal sebagai seorang tokoh besar atau datuk. Akan tetapi karena dia melakukan banyak perbuatan sesat, akhirnya dia dimusuhi, dianggap sebagai pengganggu ketenteraman umum dan dimusuhi oleh para pendekar pembela kebenaran dan keadilan. Bahkan banyak perguruan silat yang memusuhinya. Bukan hanya itu, bahkan pemerintah setempat juga menganggapnya sebagai seorang tokoh sesat yang membahayakan, maka dia dikejar-kejar dan dimusuhi. Terpaksa dia melarikan diri, tidak kuat menghadapi tentangan banyak orang dan dalam pelariannya memasuki daerah Mataram dia ditemani puterinya, yaitu Nini Maya Dewi.

   Gadis itu merupakan satu-satunya keluarga Resi Koloyitmo. Menjadi puterinya dan juga muridnya. Sejak kecil Maya Dewi digembleng ayahnya sendiri. Gadis ini tidak pernah mengenal ibunya yang menurut keterangan Resi Koloyitmo, ibunya itu telah meninggal dunia ketika ia masih kecil berusia satu tahun. Maya Dewi amat disayang ayahnya, disayang dan dimanja. Apapun permintaannya, selalu

   dipenuhi sang ayah. Biarpun gadis ini tidak memperlihatkan watak kasar seperti ayahnya, namun karena sejal kecil ia hidup bersama ayahnya dan melihat sepak terjang ayahnya dalam hidup ini aneh dan kadang jahat, maka tenti saja gadis itu terpengaruh dan iapun kadang berwatak aneh dan dapat bersikap keras.

   Ketika Resi Koloyitmo mengajak ia untuk sementara tinggal di Candi Sukuh dan ayahnya melakukan penculikan terhadap perawan-perawan dusun, iapun menganggap hal itu biasa saja. Maya Dewi tahu bahwa ayahnya menculik gadis-gadi dusun yang lugu itu untuk dua hal. Pertama sebagai pelampiasan nafsu hewan laki laki raksasa itu, dan kedua, dan ini yang terpenting, untuk menyempurnakan ilmu yang sedang dilatih ayahnya. Ilmu pukulan ini disebut Aji Rudira Wisa (Darah Beracun) dan untuk menyempurnakan ilmu pukulan dahsyat ini dibutuhkan darah perawan yang banyak untuk dihisap dan diteguk!

   Ketika malam itu Resi Koloyitmo memasuki candi dengan terhuyung dan pipinya yang sebelah kiri membengkak, Maya Dewi menyambut dengan seruan heran dan khawatir.

   "Ayah, apa yang telah terjadi? Ayah terhuyung dan muka ayah agak bengkak."

   Resi Koloyitmo menjatuhkan diri di atas sebuah kursi. Mereka duduk saling berhadapan terhalang meja.

   "Dua orang gadis tawanan itu?"

   Tanyanya sambil mengelus pipi kirinya.

   "Mereka masih berada di dalam dan aman, ayah,"

   Jawab Maya Dewi.

   "Akan tetapi, ada apakah ayah?"

   "Hemm, dusun itu didatangi seorang yang merupakan lawan tangguh. Dia mengagalkan aku. Hemm, aku harus membalas dendam. Maya, ambilkan dupa dan pedupaannya."

   Tanpa menjawab Maya Dewi masuk ke dalam dan tak larna kemudian ia keluar lagi membawa barang yang diminta ayahnya. Setelah menerima dupa dan pedupaanya, Resi Koloyitmo bangkit berdiri.

   "Maya, engkau tunggu di sini, jaga jangan sampai dua orang tawanan itu dilarikan orang. Hatihati, agaknya orang-orang dusun itu sudah berani hendak melawan kita. Aku pergi dulu untuk membuat perhitungan dengan pengganggu itu."

   Kakek itu lalu melompat keluar. Satu di antara keanehan watak Maya Dewi adalah sikapnya yang acuh. Biarpun ia tahu bahwa ayahnya telah bertemu lawan tangguh, namun ia seperti orang yang tidak perduli dan ia lalu menunggu, duduk bersila dan sama sekali tidak mengkhawatirkan keselamatan ayahnya.

   Resi Koloyitmo menuruni bukit, menyelinap di antara batu-batu dan pohon-pohon menuju ke dusun. Setelah tiba di luar dusun, dia berhenti dan bersembunyi di balik batu besar, mengintai. Dia melihat ketlka Parmadi memasuki gubuk gardu. Dia menyeringai. Pemuda yang dibencinya itu berada di dalam sebuah gardu, seorang diri sehingga memudahkannya turun tangan membuat perhitungan dan pembalasan!

   Parmadi yang duduk bersila di dalam gardu tidak tahu bahwa tak jauh dari situ Resi Koloyitmo sudah mengintai dan bersiap-siap untuk melakukan penyerangan terhadap dirinya. Namun, dia sudah menduga lebih dulu dan sejak tadi dia sudah siap dan waspada. Ketika tiba-tiba ada hawa yang dingin memasuki gardu dan hawa dingin ini mendatangkan rasa nyaman dan menimbulkan rasa kantuk yang sangat kuat, Parmadi segera menyadari bahwa perasaan mengantuk yang menyerangnya ini merupakan sesuatu yang tidak wajar. Dalam keadaan biasa dia tentu tidak curiga dan akan menyerah ke dalam dekapan rasa kantuk yang nikmat itu, membiarkan diri terbuai dalam tidur. Akan tetapi karena memang tadinya dia sudah menaruh curiga dan sudah waspada, maka begitu perasaan ini menyerangnya, tahulah dia bahwa dia telah diserang dengan aji penyirepan yang amat ampuh!

   Parmadi segera mengerahkan seluruh kekuatan batinnya, menyerah dan mohon kekuatan kepada Kekuasaan Gusti Allah kemudian menggosok-gosok kedua telapak tangannya satu sama lain sampai kedua telapak tangannya terasa hangat lalu menempelkan telapak tangan itu kepada kedua matanya. Rasa hangat itu menjalar ke dalam kedua matanya dan seketika mengusir rasa kantuk yang amat kuat itu. Kemudian dia menurunkan kedua tangannya dan duduk bersila dengan tenang, sama sekali tidak terpengaruh lagi oleh hawa dingin yang timbul karena aji penyirepan tu.

   Resi Koloyitmo menjadi penasaran sekali. Dia telah mengerahkan aji penyirepan Atma Pralaya, aji penyirepan yang amat ampuh dan berbahaya karena aji penyirepan ini kalau sudah mencapai puncak kekuatannya, tidak hanya dapat membuat lawan tertidur pulas, bahkan dapat membuat lawan tidur untuk tidak bangun kembali! Akan tetapi, sekali ini pengerahan ilmu sihir yang sesat ini bagaikan keris menusuk air saja!

   Resi Koloyitmo menjadi marah. Dia menghentikan pengerahan aji penyirepan itu dan mulai membakar dupa di pedupaan yang telah dibawanya sebagai persiapan. Asap putih mengepul. Bau harum yang khas tersebar dan suasana malam larut itu menjadi menyeramkan. Sebentar saja harum dupa yang aneh itu sampal ke dalam gardu dan tercium oleh Parmad Pemuda ini hanya tersenyum dan dengan tenang dia mencabut seruling gading dari pinggangnya dan mulailah dia meniup suling itu. Terdengar suara melengking-lengking merdu menyusup ke dalam kesunyian malam. Kemudian terdengarlah bunyi ledakan-ledakan di atas atap gardu, disusul suara bendabenda kecil berjatuhan menimpa atap. Serangan pertama berupa hujan benda-benda kecil terbuat dari besi yang berkarat itu gagal. Benda-benda yang ditujukan untuk menyerang tubuh Parmadi rontok begitu tiba di atas gardu, seolah bertemu dengan perisai atau payung besar yang terbentuk oleh suara suling.

   Tak jauh dari gardu, di balik sebuah batu besar, Resi Koloyitmo yang duduk bersila menghadapi pedupaan yang mengepulkan asap putih menjadi semakin penasaran. Mukanya berubah merah sekali. Ia menengadah, memandang bulan yang sudah turun ke barat. Serangannya yang kecil juga gagal. Suara suling yang melengking-lengking merdu itu bahkan terasa seperti hawa panas yang mulai membakar dirinya. Dia lalu berkemak-kemik membaca mantera, ditambahkannya dupa di atas api dan asap putih yang tebal sekali bergulung ke atas. Dia membaca mantera lagi dengan suara yang agak keras sambil mengangkat kedua tangan ke atas, ke arah asap yang bergulung-gulung. Terjadi hal yang aneh sekali. Asap putih bergulung-gulung itu mulai membentuk ujud-ujud yang mengerikan. Bentuk setengah manusia setengah hewan. Ada tujuh banyaknya dan perlahan-lahan ujud tujuh makhluk jadi-jadian ini melayang-layang ke arah gardu!

   Parmadi dapat merasakan datangnya ancaman serangan ketiga ini. Tiba-tiba dia merasa betapa hawa menjadi panas sekali seolah gardu itu terbakar. Dan dia melihat pula bentuk-bentuk makhluk menyeramkan yang agaknya berusaha untuk memasuki ruangan bawah atap itu dari semua jurus, hendak mendobrak perisai suara yang melindunginya, Parmadi maklum bahwa lawannya yang tangguh itu agaknya hendak mempergunakan kekuatan sihir yang berhawa panas untuk melawan pertahanannya yang diciptakan oleh suara seruling gading yang berhawa panas pula. Kalau dia bertahan dengan pertahanan itu, ada bahayanya serangan lawan ini akan berhasii. Oleh karena itu, dia segera mengubah suara tiupan sulingnya. Kini sulingnya mengeluarkan suara bernada rendah yang mendatangkan getaran kuat sekali. Seketika hawa sudah berubah menjadi dingin sekali, sedingin hawa di puncak Gunung Lawu.

   Bentuk-bentuk makhluk aneh dari asap putih itu tiba-tiba menjadi kacau dan mereka menjauhkan diri, kembali ke balik batu besar di mana Resi Koloyitmo mengerahkan seluruh tenaga untuk memperkuat makhluk-makhluk ciptaan ilmu sihirnya. Akan tetapi, tiba-tiba hawa dingin yang amat hebat menyerangnya dan dia terbelalak melihat asap putih itu kini membalik dan api di pedupaannya padam! Asa putih itupun buyar terbawa angin. Resi Koloyitmo merasa dingin sekali dan menggigil, lalu bangkit berdiri dan lari pontang-panting mendaki bukit menuju candi yang menjadi sarangnya.

   Api lampu penerangan di atas batu berbentuk meja itu bergoyang-goyang ketika Resi Koloyitmo memasuki candi. Dia bersedakap dan masih menggigil. Giginya berkeratakan seperti orang menderita sakit demam. Dia menjatuhkan diri duduk bersila di dekat Nini Maya Dewi.

   "Bagaimana, ayah?"

   Tanya gadis itu. Akan tetapi, yang ditanya tidak menjawab, hanya duduk bersila untuk menghimpun kekuatan melawan hawa dingin yang masih menyusup-nyusup di tulang-tulang tubuhnya.

   Melihat keadaan ayahnya, Maya Dewi cepat menjulurkan kedua tangannya yang kecil mungil, ditempelkan kedua telapak tangannya ke punggung ayahnya dan iapun mengerahkan tenaga saktinya

   untuk membantu ayahnya menolak hawa dingin yang menembus tulang itu. Bantuan gadis itu menolong sekali. Tak lama kemudian tubuh Resi Koloyitmo menjadi tenang kembali dan hawa dingin itu sudah meninggalkannya. Tubuhnya terasa hangat.

   "Cukup, Maya,"

   Katanya. Gadis itu melepaskan kedua telapak tangannya. Mereka duduk berhadapan.

   "Bagaimana, ayah?"

   Kembali Maya Dewi bertanya. Resi Koloyitmo menghela napas panjang dan wajahnya membayangkan kekecewaan.

   "Sungguh tak kusangka, di dusun sepi seperti ini aku bertemu dengan lawan, yang demikian kuatnya. Semua ilmu sihirku, juga aji penyirepan, sudah kukerahkan namun semua tidak berhasil. Dia kuat sekali."

   Maya Dewi mengerutkan alisnya yang indah.

   "Hemm, siapakah orang itu, ayah?"

   "Aku belum tahu siapa dia. Akan tetapi agaknya dia seorang pendatang dari luar dusun dan dia bahkan bermalam di dalam gardu di ujung dusun itu. Tampaknya seorang pemuda biasa saja, akan tetapi ternyata dia kuat sekali. Suara tiupan sulingnya mengandung kekuatan yang amat dahsyat, sukar kutandingi."

   "Akan kubereskan dia!"

   Kata gadis itu dan ia sudah bangkit berdiri dan hendak melangkah keluar.

   "Maya, hendak ke mana engkau?"

   Tegur ayahnya.

   "Ke mana lagi, ayah? Pergi membunuh orang itu!"

   Kata gadis itu sambil memegang ujung sabuknya yang tergantung panjang. Itulah Sabuk Cinde Kencana, sabuk yang terbuat dari benang emas dan merupakan senjatanya yang ampuh.

   "Jangan, Maya. Malam sudah hampir fajar, bulan sudah menghilang ke barat. Cuaca di luar gelap sekali. Orang itu berbahaya. Biar aku sendiri yang akan menghajarnya nanti kalau sudah pagi. Sekarang aku akan mengaso dulu, jangan lengah, Maya. Engkaulah yang harus berjaga sampai pagi."

   Setelah berkata demikian, Resi KoloItmo memasuki sebuah ruangan di sudut, ternyata di situ terdapat sebuah pembaringan besar dari kayu dan di atas pembaringan itu duduk dua orang gadis manis. Seorang dari mereka tampak pucat dan kedua orang gadis itu seperti orang yang kehilangan semangat, duduk seperti patung. Mereka adalah dua orang gadis dusun yang diculik Resi Koloyitmo dan mereka memang berada dalam keadaan tidak sadar, di bawah pengaruh sihir.

   Ketika Resi Koloyitmo rebah di atas pembaringan dan merangkul kedua orang gadis itu di kanan kirinya, mereka sama sekali tidak memperlihatkan tanggapan apapun, seperti dua buah boneka saja.

   Puncak Gunung Lawu yang menjulanj tinggi masih menyembunyikan matahari di balik punggungnya, akan tetapi sinar matahari sudah menerangi seluruh permukaan bukit-bukit. Parmadi masih duduk bersila. Mendengar suara banyak orang, dia membuka matanya dan memandang dengan heran melihat banyak sekali orang keluar dari dalam dusun. Dia segera keluar dari gardu menghadang mereka. Kiranya mereka adalah penduduk dusun Sukuh, tua muda lakilaki perempuan, bahkan kanak-kanak dan ada wanita yang menggendong bayinya. Agaknya seluruh penduduk yang jumlahnya seratus orang lebih, kini keluar semua dipimpin oleh Ki Gitosani! Dan mereka itu juga yang perempuan, membawa segala macam alat untuk dijadikan senjata. Ada yang membawa arit, pacul, parang, pisau dapur, bahkan ada yang membawa alu dan pada wajah mereka terbayang kenekatan orang-orang yang hendak berperang!

   "Paman Gitosani, andika sekalian ini hendak pergi ke manakah?"

   Tanya Parmadi walaupun dia sudah dapat menduga bahwa orang-orang ini agaknya sudah tidak dapat menahan kesabaran mereka dan dengan nekat mereka hendak menyerang Resi Koloyitmo yang dianggap pembawa mapetaka bagi penduduk dusun itu.

   "Anak-mas Seruling Gading, pagi ini kami semua bertekad untuk menyerbu dan menolong dua orang perawan yang diculik dan mengusir manusia durjana itu dari dalam candi. Kami bertekad untuk melawan sampai orang terakhir!"

   Kata Ki Gitosani dengan sikap gagah dan semua memberi dukungan dengan suara bulat seperti sekumpulan lebah yang marah.

   Parmadi tersenyum dan mengangguk.

   "Paman Gitosani, sikap andika sekalian ini memang tepat sekali. Kalau andika sekalian sedusun bersatu-padu dan bertekad dengan hati bulat menentang kejahatan saya kira tidak akan ada orang jahat yang akan berani berlagak. Akan tetapi kenapa baru sekarang andika sekalian bergerak?"

   "Semangat kami timbul setelah melihat andika berani menentang iblis itu, anak- mas Seruling Gading. Sikap andika yang gagah perkasa itu menyulut dan membakar semangat kami. Kami tidak akan mundur dan siap untuk membela kehormatan dan keselamatan kami sampai mati!"

   Kembali suara gemuruh mendukung ucapan Ki Gitosani itu.

   Parmadi mengangguk-angguk.

   "Bagus, Beginilah seyogianya semangat bangsa kita yang gagah berani. Bersatu-padu, bergotong-royong untuk mengembangkan dan membangun yang baik, dan untuk meruhtuhkan dan melenyapkan yang buruk demi kesejahteraan kehidupan bangsa. Mari kita ke candi. Akan tetapi, tidak perlu kita mengorbankan nyawa dengan sia-sia. Karena itu, saya mengharap agar andika sekalian berdiri di belakang saya dan hanya menjadi saksi saja. Kalau saya sudah cukup mampu menanggulangi mereka, saya harap andika sekalian jangan bertindak apa-apa. Kalau saya kalah baru terserah kepada andika sekalian. Hal ini perlu andika perhatikan dan taati mengingat bahwa pihak lawan memiliki aji kesaktian dan agar jangan ada korban jatuh di pihak kita."

   "Kami akan mentaati pesan anak-mas Seruling Gading!"

   Kata Ki Gitosani lantang dan semua orang menyetujui. Semangat mereka memang sudah terbakar dan mereka menjadi nekat, namun harus diakui bahwa mereka merasa ngeri mengingat akan kesaktian lawan.

   Sementara itu, Maya Dewi berseru dari luar ruangan tempat tidur ayahnya.

   "Ayah! Ayah, bangunlah! Cepat!!"

   Resi Koloyitmo terbangun dan setelah membereskan pakaiannya, dia berlari keluar dan tidak lupa membawa sebatang senjata nenggala, (semacam penggada runcing) yang berwarna hitam legam. Teriakan puterinya mengandung kekagetan, hal yang hampir tidak pernah terjadi karena puterinya adalah seorang gadis yang tak pernah mengenal takut. Dari teriakan itu dia tahu bahwa tentu terjadi sesuatu yang mengancam mereka.'

   "Ada apakah, Maya?"

   Tanyanya.

   "Mari keluar dan lihatlah sendiri, ayah!"

   Kata Maya Dewi yang cepat berlari keluar dari kompleks candi, diikuti oleh Resi Koloyitmo. Dari depan candi yang merupakan puncak bukit, mereka dapat melihat seratus orang lebih yang mendaki bukit itu.

   Sejenak ayah dan anak ini diam saja hanya memandang dan setelah rombongrr itu semakin dekat dan suara mereka yang gemuruh mulai terdengar, mereka dapat melihat wajah mereka yang berjalan di depan rombongan. Resi Koloyitmo mengenal Ki Gitosani dan pemuda yang dilihatnya semalam. Biarpun dia hanya melihat samar-samar semalam, namun dia telah dapat menduga bahwa tentu pemuda yang kini memimpin rombongan orang dusun itulah orangnya.

   "Babo-babo, keparat! Pemuda itu memimpin seluruh penduduk dusun untuk menyerbu ke sini!"

   Kata Resi Koloyit sambil mengacungkan senjata nenggala di tangannya.

   "Ayah, pemuda yang berjalan di depan itukah yang semalam telah mengalahkan semua ilmu sihirmu?"

   Maya Dewi memandang penuh perhatian. Ia kini dapat melihat Parmadi dengan cukup jelas. Seorang pemuda yang berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, wajahnya yang tampan itu dhiasi senyum dan tampak cerah, lenggangnya lentur seenaknya seperti langkah seekor harimau!

   "Benar, dialah keparat itu!"

   "Ayah, bagaimana kita akan dapat melawan orang sebanyak itu? Tidak mungkin kita harus membunuh seratus lebih penduduk dusun berikut semua anak-anak itu!"

   Kata Maya Dewi ragu. Ia sama sekali tidak takut, akan tetapi kalau harus memunuh orang sebanyak itu, di antaranya banyak terdapat wanita lemah dan anak-anak, ia merasa tidak enak sekali. Watak gadis ini memang sudah terbentuk keras sejak kecil, dan ia akan dapat membunuh orang yang memang dianggap sebagai musuhnya. Akan tetapi membunuhi seratus lebih orang dusun yang sama sekali tidak bersalah dan bukan musuhnya? Ia merasa tidak sanggup melakukannya.

   "Hemm, aku akan menantang keparat itu untuk bertanding satu lawan satu dan aku harus dapat membunuhnya! Kalau para penduduk dusun itu maju mengeroyok aku masih dapat dengan mudah meloloskan diri. Karena itu, sebaiknya engkau jangan ikut campur. Kau berangkatlah dulu. Kita berpisah di sini. Pergilah engkau ke Madura, temuilah Ki Harya Baka Wulung yang pernah menghubungi kita di Kadipaten Arisbaya. Aku akan segera menyusul ke sana."

   "Tidak perlukah aku membantumu?"

   "Tidak usah. Sudah kukatakan aku dapat meloloskan diri kalau terpaksa. Pergilah dan cepat! Kerja sama kita dengan Ki Harya Baka Wulung lebih penting daripada urusan kecil seperti ini!"

   Resi Koloyitmo membentak anaknya. Maya Dewi tidak membantah lagi dan iapun segera pergi meninggalkan candi melalui lereng bukit di belakang candi.

   Resi Koloyitmo memang pernah dihubungi Ki Harya Baka Wulung. Ketika Harya Baka Wulung mendengar bahwa datuk dari Parahyangan itu menjadi buronan, dia sengaja mencari dan menjumpainya dan membujuknya agar suka membantu dia untuk melawan Mataram dan membela Madura dan Surabaya. Pendeknya membela daerah mana saja yang bermusuhan dengan Mataram. Reso Koloyitmo segera menyetujui karena selain dia sedang menjadi buron di Parahyangan dan dia mengharapkan imbalan jasa dari kerja sama itu, juga yang terutama sekali karena dia juga mempunyai dendam terhadap Mataram. Kakaknya yang bernama Klabangkolo yang dahulu menjadi pertapa di Gunung Ijen pernah memusuhi Mataram dan Klabangkolo tewas dalam pertempuran melawan para satria dan senopati Mataram. Kini tentu saja dia suka membantu Harya Baka Wulung untuk memusuhi Mataram dan sekalian membalaskan dendamnya atas kematian Klabangkolo, kakaknya.

   Setelah Maya Dewi meninggalkan candi, Resi Koloyitmo keluar dari halaman candi di mana terdapat tanah lapang. Kakek seperti raksasa ini berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan memegang senjata nenggalanya. Dia menanti rombongan orang itu dengan mata mencorong dan mulutnya menyeringai, mengejek. Sama sekali dia tidak tampak gentar menghadapi orang demikian banyaknya.

   Setelah berhadapan dengan Rest Koloyitmo dalam jarak sekitar sepuluh meter Parmadi berhenti melangkah dan dia memberi isyarat kepada Ki Gitosani untuk mundur. Lurah itu mengerti akan isyarat dan diapun menggerakkan tangan ke atas menyuruh penduduk dusun agak mundur memberi kesempatan kepada pemuda penolong mereka itu untuk menghadapi Resi Koloyitmo. Para penduduk segera bergerak agak ke belakang. Mereka memang sudah merasa agak tegang dan seram melihat kakek yang seperti raksasa itu, apalagi melihat kakek itu memegang sebuah senjata yang tampak besar dan berat.

   Parmadi menatap wajah kakek itu. Ketika melihat betapa pipi sebelah kiri laki-laki itu agak membengkak, yakinlah bahwa orang ini yang semalam mengubah diri menjadi seekor harimau. Rest Koloyitmo juga memandang dengan tajam. Pandang mata kedua orang ini bertemu dan Parmadi merasa betapa sepasang mata besar yang mencorong itu menyerangnya dengan daya yang kuat untuk menundukan batinnya. Akan tetapi dia memandang dengan tenangnya dan serangan itu sama lekali tidak mempengaruhinya.

   Resi Koloyitmo maklum bahwa tidak ada gunanya bagi dia untuk bertanding ilmu sihir. Semalam semua ilmu sihirnya telah dia kerahkan namun tidak ada hasilnya sama sekali. Dia melihat pemuda itu tidak memegang senjata, akan tetapi ada sebuah suling berwarna putih kekuningan terselip di ikat pinggangnya. Dia teringat akan suara suling yang melengking-lengking semalam, suara yang mengandung getaran amat kuat dan yang telah menolak dan membuyarkan semua serangan sihirnya.

   "Heh, orang muda! Siapakah engkau ini; berani datang mengganggu di tempat pertapaanku?"

   Bentaknya sambil menudingkan nenggalanya ke arah muka Parmadi.

   "Resi Koloyitmo, tidak penting siapa aku. Aku mewakili warga dusun ini untuk minta agar andika suka membebaskan dua orang gadis yang andika culik dan kuharap andika suka menyadari akan kesalahanmu lalu bertaubat dan kembali ke jalan yang benar. Sungguh patut disayangkan kalau seorang pertapa seperti andika yang sudah puluhan tahun bersusah payah mempelajari ilmu kini mempergunakan ilmu itu untuk perbuatan yang kotor, berarti andika mengotori dan menodai ilmu-ilmu itu."

   "Babo-babo! Orang muda yang sombong. Engkau berlagak menjadi seorang satria, seorang pendekar yang gagah berani, akal tetapi sebetulnya engkau hanyalah seorang bocah pengecut yang mengandalkanseratus orang lebih untuk mengeroyok aku!"

   Dengan nenggalanya dia menuding ke arah warga dusun yang berdiri agak jauh di belakang Parmadi.

   Parmadi tersenyum.

   "Andika salah sangka, Resi Koloyitmo. Aku tidak mengerahkan warga dusun ini. Mereka memang marah dan sakit hati kepada andika yang telah menculik dua orang gadis dusun da andika dengan kekerasan menguasai candi yang menjadi tempat pemujaan bagi warga dusun. Aku tidak ingin mengeroyok, bahkan mencegah mereka melakukan pengeroyokan karena aku yakin andika akan suka menyadari kesalahan dan mau menyerahkan kembali dua orang gadis itu kemudian meninggalkan candi dan dusun ini dengan baik-baik."

   "Babo-babo, keparat! Orang muda, engkau berani menentang aku? Aku adalah penjelmaan Sang Bathara Kolo dan aku berkuasa sepenuhnya atas segala yang berada di dunia ini!"

   "Maaf, sang resi. Andika bukan Sang Bathara Kolo. Sang Bathara Kolo (sang waktu) hanya memangsa sesuatu atau seorang kalau memang sudah tiba saatnya bagi sesuatu atau seseorang itu untuk binasa. Akan tetapi andika mempergunakan kekerasan memaksakan kehendak andika yang timbul dari dorongan nafsu daya rendah yang menguasai hati akal pikiran andika! Sadar dan bertaubatlah sebelum terlambat."

   Tiba-tiba terdengar seruan di antara para warga dusun Sukuh itu.

   "Den-mas Seruling Gading, hantam saja iblis tu itu!"

   Setelah terdengar seruan ini dari tengah-tengah mereka, semua orangpun berani bersuara sehingga suasana menjadi gaduh. Parmadi memutar tubuh dan mengangkat tangan

   memberi isyarat agar mereka tenang.

   "Hemm, kiranya engkau bernama Seruling Gading?"

   Tanya Resi Koloyitmo.

   "Orang menyebutku demikian,"

   Kata Parmadi tenang.

   "Seruling Gading, kalau memang engkau gagah perkasa, aku tantang engkau untuk bertanding satu lawan satu, tidak menggunakan pengeroyokan. Beranikah engkau?"

   "Resi Koloyitmo, aku bukan seorang yang suka mencari permusuhan dengan sipapun juga. Akan tetapi kalau andika tidak mau membebaskan dua orang gadis dusun yang kau culik dan tidak mau meninggalkan candi ini, terpaksa aku harus membela warga dusun dan melawanmu!"

   "Babo-babo, majulah, Seruling Gadis. Bersiaplah engkau untuk mati di ujung nenggalaku!"

   
😗

   
"Mati hidupku berada dalam tangan Gusti Allah karena aku telah menyerahkan seluruh jiwa ragaku kepada Gusti Allah. Andika tidak akan mampu memaksakan kehendakmu, Resi Koloyitmo!"

   "Sombong! Sambutlah nenggalaku ini! Hyaaaaaattt". !"

   Kakek itu menerjang dengan amat dahsyatnya, nenggalanya meluncur seperti kilat menyambar ke arah kepala Parmadi. Pemuda ini maklum akan bahaya maut karena dari sambaran angin serangan itu saja dia tahu betapa dahsyat dan kuatnya serangan itu. Akan tetapi Parmadi adalah seorang pemuda yang mendapat gemblengan dari seorang yang sakti mandraguna seperti Resi Tejo Wening.

   Dia harus menyerap inti dan dasar semua aji kanuragan sehingga gerakannya adalah gerakan otomatis, tidak dikendalikan pikiran melainkan setiap anggauta tubuhnya hidup sendri-sendiri terbimbing jiwa yang luhur, jiwa yang sudah memasuki taraf "manunggaling kawulo gusti". Kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa telah sepenuhnya membimbing jiwa yang menggerakkan semua anggauta tubuh itu. Gerakannya otomatis dan tidak disengaja lagi, seolah sepenuhnya dituntun naluri. Ketika nenggla itu dengan cepatnya menyambar ke arah kepala, Parmadi mencondongkan tubuh atas ke kiri sehingga sambaran nenggala itu luput. Pemuda itu mundur selangkah dan ketika tangan kanannya, bergerak, seruling gading sudah berada di tangannya Sinar matahari pagi menimpa suling itu sehingga tampak berkilauan.

   Melihat serangan pertamanya dapat dielakkan lawan dengan amat mudahnya. Rest Koloyitmo menjadi penasaran dan semakin marah. Dia mengeluarkan suara mengaum yang menggetarkan. Inilah Aji Singanada dan pengaruh auman seperti ini dimiliki semua singa yang mampu melumpuhkan calon mangsanya hanya dengan pekik atau auman seperti itu. Rest Koloyitmo tidak hanya mengeluarkan Aji Singanada, melainkan dia menyusul dengan serangan nenggalanya, kini menusuk ke arah dada Parmadi.

   

JILID 11


   "Ambrol dadamu!"

   Bentaknya.

   Parmadi menggerakkan seruling gadingnya. Dia sudah bergerak dalam Aji Sunyatmaka dan sulingnya hilang bentuknya menjadi segulungan sinar kuning gading yang terang, dan dari dalam gulungan sinar itu terdengar suara melengking-lengking seolah suing itu ditiup dan dimainkan orang.

   "Trang-tranggg.... !"

   Dua kali nenggala bertemu seruling gading dan tampak bunga api berpijar menyilaukan mata. Resi Koloyitmo terkejut bukan main karena ketika dua kali senjatanya beradu dengan suling, dia merasa seolah tenaganya tenggelam dan tersedot, bertemu tenaga yang lembut namun yang membuat tenaganya sendiri seperti hilang dan kosong. Nenggalanya terpental ketika bertemu suling dan tangannya yang memegang nenggala tergetar hebat seperti kesemutan. Dia adalah seorang sakti mandraguna yang sudah memiliki banyak pengalaman bertanding.

   Namun harus dia akul bahwa belum pernah bertemu dengan lawan yang memiliki tenaga sakti seperti itu, tenaga yang menyerap dan menyedot, lembut namun menyembunyikan kekuatan dahsyat! Pest Koloyitmo menjadi penasaran se-kali. Dia tidak percaya bahwa seorang lawan yang masih begitu muda, patut menjadi anaknya, akan mampu mengalahkannya. Maka dia menggereng lagi dan nenggalanya kini bergerak dengan cepat bagaikan singa mengamuk. Dia menggunakan ilmu silat Singarodra dan serangan-serangannya memang buas. Bukan saja nenggalanya yang menyambar-nyambar ganas, akan tetapi juga tangan kirinya membentuk cakar singa dan menyelingi sambaran nenggala dengan cakaran dan cengkeraman yang mendatangkan angin demikian kuatnya. Serangan nenggala dan cakaran tangan kiri ini masih diseling lagi dengan tendangan kedua kakinya yang besar dan panjang. Kedua kaki itu mencuat dan menyambar dengan tendangan susul-menyusul yang amat berbahaya bagi lawan.

   Namun, dengan tenang namun ringan dan cepat sekali Parmadi menghadapi serangan yang mati-matian dan dahsyat itu. Dia menggerakkan kedua kakinya, membuat langkah-langkah indah seperti orang menari, kedua kakinya berpindah-pindah kanan kiri, maju mundur dan anehnya, semua serangan yang bagaikan hujan lebatnya itu tak pernah dapat menyentuh tubuhnya.

   Terkadang, dengan suling gadingnya dia menangkis sambaran nenggala dan dengan tangan kirinya dia menangkis cengeraman atau tendangan lawan. Hebatnya, biarpun tangkisan tangan kirinya itu dilakukan perlahan saja, akan tetapi begitu bertemu dengan lengan lawan, Resi Koloyitmo merasa seolah tangannya bertemu dengan benda yang amat keras dan kuat, benda yang mengandung getaran demikian kuatnya sehingga dia merasa seluruh lengannya tergetar.

   Karena merasa penasaran Resi Koloyitmo mengeluarkan aji kesaktiannya yang amat dahsyat yang merupakan aji pamungkasnya. Dia berkemak-kemik dan mengumpulkan seluruh tenaga sakti ke dalam tangan kiri. Tangan kirinya mengepulkan asap yang mengeluarkan asap putih yang mengandung ganda amis. Inilah tenaga yang biarpun melalui antara lain menghisap darah perawan-perawan muda yang diculiknya. Tenaga yang mengandung ilmu hitam, berbahaya dan dahsyat. Dia mendorongkan tangan kiri itu ke arah Parmadi sambil berteriak melengking.

   "Hyaaaaattt....!!"

   Sejak tadi, ketika Resi Koloyitmo berkemak-kemik, Parmadi sudah merasakan sesuatu yang tidak wajar. Maka, diapun cepat menyelipkan sulingnya di ikat pinggang dan pada saat Resi Koloyitmo mendorong tangan kirinya ke arah dadanya diapun cepat menyambut dengan dorongan tangan kanannya yang terbuka, dengan Aji Sunya Hasta. Aji Sunya Hasta ini mengandung kekuatan alami yang amat dahsyat, Sunya berarti hampa, kosong atau sirna. Seperti sifatnya hawa, tampak kosong namun berisi, berisi namun kosong. Kalau hawa yang tampaknya tidak ada itu memenuhi sebuah benda kosong dan tertutup rapat, maka benda itu memiliki kekuatan yang amat hebat dan tidak ada kekuatan lain mampu melawannya.

   "Wuuuuttt.... dessss.... ! Dua buah telapak tangan bertemu udara dan para penduduk dusun Sukuh yang berada di pekarangan candi itu terkejut sekali karena mereka merasa seolah bumi yang mereka pijak tergetar hebat, padahal jarak antara mereka dan dua orang yang sedang mengadu kesaktian itu cukup jauh, tidak kurang dari dua puluh meternya. Akibat pertemuan dua telapak tangan yang mengandung tenaga sakti itu, tubuh Resi Koloyitmo terhuyung ke belakang dan dia mengusap mulut dengan tangan kirinya. Tangan itu berlepotan darah! Dia sudah terluka di bagian dalam tubuhya. Hal ini membuat dia menjadi semakin arah dan bagaikan seekor binatang buas terluka dia menubruk ke

   depan sambil menghantamkan senjata nenggalanya. Sinar berkelebat menyambar ke arah Parmadi. pemuda ini dengan tenang namun cepat dan kuat sekali sudah mencabut seruling gading dan menangkis.

   "Tranggg !!!"

   Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kembali tubuh Resi Koloyitmo terhuyung bahkan kini sampai jatuh terguling. Akan tetapi dia cepat menlompat berdiri dan berkelebat lari ke arah belakang candi. Gerakannya cepat sekali dan sebentar saja dia sudah lari turun dari bukit di sebelah belakang.

   Melihat raksasa rambut panjang itu kalah dan melarikan diri, para penduduk dusun Sukuh bersorak dan dengan dipimpin Parmadi yang didampingi Lurah Gitosai mereka menyerbu ke gapura candi yang sempit. Mereka berlarian mendaki tangga dan akhirnya dalam sebuah ruangan mereka menemukan dua orang gadis dusun yang kini sudah terbebas daripada pengaruh sihir dan setelah mereka menyadari keadaan mereka, kedua orang gadis itu menangis tersedu-sedu. Karmi dan Tiyah, dua orang perawan dusun itu, telah menjadi korban kebiadaban Resi Koloyitmo. Mereka telah dipengaruhi sihir dan dinodai. Karmi lebih payah lagi keadaannya karena darahnya telah banyak dihisap oleh raksasa berwatak iblis itu untuk memperkuat latihan mendalami Aji Hastagraha, yaitu ilmu pukulan jarak jauh seperti yang tadi dia lakukan ketika menyerang Parmadi. Keadaan gadis kedua, Tiyah, masih mending karena darahnya belum dihisap walaupun ia juga menjadi korban perkosaan kakek biadab itu.

   Dua orang gadis itu menangis dalam rangkulan ayah masing-masing dan beramai-amai para penduduk dusun Sukuh kembali ke dusun setelah membersihkan candi dari bekas bilik yang dibuat oleh Resi Kolotrno dan puterinya, Maya Dewi. Mereka membongkar bilik itu, membawanya keluar candi dan membakarnya. Kemudian mereka membersihkan candi yang mereka keramatkan itu. Setelah tiba kembali di dusun, Parmadi yang pernah mempelajari ilmu pengobatan sekedarnya dari Resi Tejo Wening, melihat Karmi yang lemah karena kehabisan darah, lalu menganjurkan kepada orang tua Karmi untuk memberi minum jamu setiap hari kepada gadis yang malang itu. Ramuan jamu itu terdiri dari biji jintan hitam, daun gondopuro, babakan pule, dicampur dengan kuning telur dan madu.

   Kemudian dia menasihatkan kepada Ki Gitosani yang menjadi kepala dusun itu.

   "Paman Gitosanio, dalam sebuah dusun seperti dusun Sukuh ini, persatuan dan gotongroyong harus diperkuat. Saya melihat bahwa kalau andika sekalian bersatu-padu, andika merupakan kesatuan yang cukup kuat untuk membela diri sendiri dan mengusir semua penjahat yang mengacau dusun ini. Saya kira, biarpun seorang manusia iblis macam Resi Koloyitmo sekalipun akan gentar dan mundur kalau harus menghadapi seluruh penduduk yang bersatu-padu dan nekat melakukan perlawanan."

   Ki Gitosani mengucapkan terima kasih atas pertolongan pemuda itu.

   "Anak-mas Seruling Gading, kami seluruh penghuni dusun berterima kasih sekali atas pertolongan andika dan selamanya kami tidak akan melupakan. Juga nasihat anak-mas akan kami taati. Akan tetapi, kami harap sudilah kiranya anak-mas memperkenalkan nama anak-mas yang aseli karena kami mengira bahwa nama Seruling Gading itu hanyalah nama samaran karena anak-mas memiliki sebuah seruling gading sebagai senjata."

   "Ah, paman. Saya, lebih senang dikeal sebagai Seruling Gading dan apa yang tadi saya lakukan itu tidak perlu dibesar-besarkan, paman. Hal itu merupakan kewajiban setiap orang dan bukan merupakan budi pertolongan."

   Ki Gitosani mengerutkan alisnya, merasa tidak setuju dengan ucapan pemuda itu.

   "Akan tetapi, anak-mas, apa yang andika lakukan itu merupakan budi pertolongan yang besar sekali bagi kami orang sedusun. Kalau tidak ada andika yang menolong kami, tentu gadis-gadis itu akan tewas dan lebih banyak orang lagi akan menjadi korban kekejian manusia iblis itu. Anak-maslah yang menolong kami, bagaimana kami tidak boleh berterima kasih kepada andika yang melepas budi kebaikan kepada kami?"

   Parmadi menggeleng kepalanya dan tersenyum.

   "Bukan, paman. Bukan saya yang menolong penduduk dusun ini."

   "Bukan andika, anak-mas Seruling Gading?"

   Tanya lurah itu dengan mata terbelalak heran.

   "Lalu siapa yang menolong kami dan menyelamatkan para gadis itu, mengusir manusia iblis itu?"

   "Gusti Allah yang telah menolong andika sekalian, bukan saya,"

   Kata Parmadi dengan suara sungguh-sungguh karena apa yang diucapkannya itu keluar dari lubuk hatinya.

   "Tapi""

   Tapi". kami semua melihat bahwa andika yang telah mengusir iblis itu, anak-mas!"

   Bantah Ki Gitosani.

   "Ya, karena pada saat itu kebetulan Gusti Allah menggunakan saya untuk menolong kalian semua. Karena itu, kalau hendak berterima kasih, berterima kasihlah kepada Gusti Allah. Hanya Gusti Allah saja yang dapat menolong, hanya Gusti Allah saja yang patut dipuji, patut disyukuri. Saya ini hanya alat, paman, seperti semua manusia di dunia ini. Terjadi setiap saat dan di mana saja. Andaikata paman melihat seorang kelaparan lalu memberi makanan, bukan paman yang menolongnya melainkan Gusti Allah yang pada saat itu menggunakan paman untuk menolong orang kelaparan itu. Kita semua dapat menjadi alat Gusti Allah. Tergantung kepada kita sendiri, apakah kita bersedia menjadi alat Gusti Allah, ataukah menjadi alat setan seperti halnya Resi Koloyitmo itu. Jadi sekali lagi. Jangan berterima kasih kepada saya yang hanya alat, melainkan berterima kasihlah kepada Gusti Allah, Sang Penolong. Penyelamat yang sejati."

   "Aduh, anak-mas....!"

   Suara Ki Gitosani penuh keharuan.

   "Andika seorang pemuda yang bijaksana, sungguh luar biasa sekali dan saya seperti mendengar wejangan seorang yang arif...."

   "Sudahlah, paman. Saya kira sudah cukup. Sekarang ijinkan saya berpamit. Saya harus melanjutkan perjalanan saya. Selamat tinggal, paman."

   Setelah berkata demikian, Parmadi cepat keluar dari rumah Ki Gitosani. Setelah tiba di tengah dusun, dia mendengar suara gaduh di belakangnya dan ternyata semua penduduk dusun Sukuh mengiringnnya keluar dari dusun itu! Dia merasa rikuh sekali dan setelah tiba di luar dusun, dia membalik menghadapi mereka, lalu berkata.

   "Selamat tinggal!"

   Kemudian, sekali berkelebat bayangannya telah lenyap dari situ. Para penduduk terbelalak dan tiada sudahnya memuji pemuda itu. Bahkan sebagian besar dari mereka percaya bahwa pemuda yang mereka kenal sebagai Seruling Gading itu bukan manusia biasa, melainkan dewa yang sengaja turun dari kahyangan untuk menolong manusia!

   Sekarang kita mengikuti apa yang di alami Muryani semenjak ia ditinggal pergi Parmadi yang meninggalkan kademangan Pakis untuk mengikuti gurunya di puncak Lawu. Hati gadis remaja ini merasa kehilangan sekali setelah Parmadi pergi. Baru ia merasa betapa dekat hatinya dengan pemuda itu setelah ia ditinggal pergi. Akan tetapi karena ayahnya, Ki Ronggo Bangak, oleh penduduk diangkat menjadi pemimpin kademangan sebelum datang seorang demang baru yang ditunjuk oleh kadipaten, maka Muryani mendapatkan kesibukan baru, membantu ayahnya. Karena ia dikenal sekarang sebagai seorang gadis yang memiliki kedigdayaan, maka Muryani dianggap sebagai pemimpin para orang muda yang bertugad menjaga keamanan di kademangan Pakis.

   Kemudian, Demang Warutomo yang diangkat oleh Tumenggung Wiroguno datang dan menjadi demang baru dari Pakis. Ki Demang Warutomo menghargai Ki Ronggo Bangak, tahu bahwa orang itu terpelajar, sastrawan dan seniman maka menganggapnya sebagai pinisepuh dusun Pakis dan dianggap sebagai penasihatnya. Kemudian terjadilah malapetaka pada malam hari itu. Malam itu amat sunyi. Udara mendung sehingga cuaca menjadi gelap gulita karena bintang-bintang di langit tak tampak. Orang-orang segan keluar rumah karena selain gelap sekali, juga malam itu angin bertiup kencang.

   Muryani termenung dalam kamarnya. Sampai hampir tengah malam ia belum tidur, bahkan masih duduk di atas pembaringannya. Ia termenung dan terkenang pada Parmadi yang telah kurang lebih setahun lamanya meninggalkannya. Ia merasa heran ke mana perginya pemuda itu, bagaimana keadaannya sekarang. Ia merasa kehilangan dan kesepian. Ia tidak dapat menemukan pengganti Parmadi di dusun itu, sebagai seorang sahabat karib yang amat dipercayanya.

   Tiba-tiba pendengarannya yang terlatih itu menangkap suara berkelitikan di atas atap, seperti ada kerikil dilempar ke atas atap. Dan tak lama kemudian ia merasa amat mengantuk. Rasa kantuk yang hampir tak dapat ditahannya. Gadis yang telah mempelajari aji kesaktian ini merasa bahwa hal ini tidaklah wajar.

   IA pernah mendengar cerita gurunya, yaitu Ki Ageng Branjang ketua perguruan Bromo Dadali di Gunung Muria akan ilmu-ilmu aneh, tentang tenung, sihir, dan aji penyirepan yang dapat membuat orang terserang kantuk lalu tertidur pulas. Aji penyirepan ini banyak dipelajari golongan maling untuk membuat seisi rumah tertidur nyenyak sehingga dia dapat menguras isi rumah dengan leluasa.

   la juga pernah mempelajari cara untuk melawan pengaruh aji penyirepan itu. Maka iapun lalu duduk bersila, mengerahkan tenaga batinnya untuk menolak pengaruh kantuk yang amat kuat itu. Pengaruh

   itu amat kuat dan hampir ia tidak tahan, akan tetapi setelah ia mengerahkan tenaga sakti Aji Bromo Dalali pengaruh itu berkurang. Tak lama kemudian ia mendengar suara gaduh di sebelah kamarnya. Ia terkejut. Suara gaduh itu datang dari kamar ayahnya yang berada di sebelah kiri kamarnya sendiri! Ia mendengar suara keluhan dan suara robohnya badan orang. Cepat Muryani melompat turun dari atas pembaringan. Ia terhuyung karena pengaruh aji penyirepan yang kuat itu belum dapat diusirnya sama sekali, masih ada sisa pengaruh yang membuat ia merasa agak pening dan kepalanya terasa berat, matanya berjuang melawan kantuk.

   Akan tetapi karena khawatir akan keadaan ayahnya, ia memaksakan diri berlari keluar dari kamarnya dan menuju ke kamar ayahnya. Kamar itu remang-remang, hanya menerima penerangan dari lampu yang tergantung di luar kamar. Akan tetapi ia dapat melihat sesosok tubuh seorang laki-laki di dalam kamar Muryani

   "Heii, siapa engkau dan".."

   Tiba-tiba hawa pukulan yang amat dahsyat menyambar ke arah tubuhnya. Muryani yang masih pening karena pengaruh aji penyirepan itu, tidak sempat mengelak atau menangkis. Ia sama sekali tidak mengira akan diserang sehebat itu. Apalagi keadaan kamar itu itu gelap. Tahu-tahu hawa pukulan itu menghantam dadanya, membuat dadanya sesak dan pandang matanya gelap. Ia terpelanting roboh dan tidak sadarkan diri.

   Ketika ia siuman, malam telah terganti. Ia mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan dan di rumahnya berkumpul banyak orang, di antaranya Ki Demang Warutomo. Dari Ki Demang Warutomo yang seorang bekas perwira yang berpengalaman dan yang telah mengobatinya Muryani

   mendapat keterangan bahwa ayahnya telah kedapatan tewas dalam kamar, sedangkan ia sendiri terluka oleh pukulan jarak jauh yang kuat dan ampuh!

   Tentu saja Muryani terkejut bukan main dan segera memaksa diri bangkit. Biarpun ia merasa nyeri dan sesak pada dadanya, ia memaksa diri dan dipapah oleh Ki Demang Warutomo, ia menjenguk jenazah ayahnya di dalam kamar. Ia menubruk jenazah dan menangis.

   "Ayah, aku bersumpah untuk mencari pembunuh ayah dan akan kubalas sakit hati ini! Ayah, beristirahatlah dengan tenang anakmu ini pasti akan membalas dendam ini!"

   Setelah berkata demikian Muryani terguling dan jatuh pingsan lagi.

   Ki Demang Warutomo yang menjadi sahabat baik mendiang Ki Ronggo Bangak dan yang merasa kagum kepada Muryani segera menolong dan merawat Muryani. Sampai belasan hari lamanya Muryani menderita lahir batin, badannya terluka dalam oleh pukulan sakti itu, batinnya menderita karena kematian ayahnya. Akan tetapi, setelah ia sembuh betul, ia menghilang dari kamarnya tanpa pamit kepada Ki Demang Warutomo atau kepada siapa pun juga. Gadis itu menghilang tanpa ada yang tahu ke mana perginya. Ki Demang Warutomo yang mempunyai banyak pengalaman itu dapat menduga bahwa gadis perkasa itu tentu berusaha untuk mencari pembunuh ayahnya dan diam-diam dia menduga bahwa besar kemungkinan Ki Wiroboyo mempunyai hubungan dengan pembunuhan Ki Ronggo Bangak itu.

   Dugaan Ki Demang Warutomo memang tidak keliru. Setelah merasa dirinya sehat kembali, Muryani pergi tanpa pamit kepada siapapun juga, dengan niat mencari Ki Wiroboyo sebagai orang pertama yang ia curigai mempunyai hubungan dalam pembunuhan terhadap ayahnya dan penyerangan terhadap dirinya. Ia tahu bahwa penyerangnya itu bukan Ki Wiroboyo. Penyerangnya itu seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus. Ia tidak dapat melihat wajahnya karena kamar itu gelap. Akan tetapi ia

   berkeyakinan bahwa ia dan ayahnya tidak mempunyai musuh lain kecuali Ki Wiroboyo.

   Jadi, kalau ada orang membunuh ayahnya, maka besar kemungkinannya Ki Wiriboyo yang berdiri di belakangnya. Mungkin dia menyuruh orang lain yang memiliki kesaktian untuk melakukan pembunuhan itu. Muryani menuruni Gunung Lawu melalui bagian timur karena ia ingat bahwa dulu Ki Wiroboyo pernah mendatangkan seorang jagoan, yaitu mendiang Warok Surobajul dari Ponorogo. Maka iapun mengambil keputusan untuk mulai pencariannya ke Kadipaten Ponorogo.

   Ketika ia menuruni lereng di timu dari atas ia melihat sebuah telaga yang besar. Air telaga tampak berkilauan tertimpa sinar matahari dan Muryani terpesona, kagum. Alangkah indahnya alam! Melihat

   air yang demikian luasnya bukan merupakan hal baru bagi Muryani. Dahulu ketika ia masih tinggal di Demak, kemudian menjadi murid perguruan Bromo Dadali di bawah pimpinan Ki Ageng Branjang di Gunung Muria, ia sudah sering melihat laut utara. Kini, telaga yang tampak di bawah itu tidak seluas lautan. Akan tetapi memiliki keindahan yang khas, sebuah telaga di antara bukit-bukit, dikelilingi hutan. Ia pernah mendengar keterangan mendiang ayahnya tentang telaga itu yang di sebut

   Telaga Sarangan.

   Karena tertarik akan keindahan pemandangan alam telaga itu, Muryani mengambil keputusan untuk pergi ke telaga itu dan melihatnya dari dekat. Ia menuruni lereng dengan cepat dan tak lama kemudian ia sudah tiba di tepi telaga. Tempat itu sunyi sekali dan di depan sana, di seberang telaga, tampak sekumpulan rumah penduduk dusun yang sederhana. Di atas telaga timpak beberapa buah perahu kecil dan di atas perahu itu, orang-orang sedang bekerja melempar jala mencari ikan. Mereka

   inilah nelayan-nelayan telaga.

   Muryani duduk di atas sebuah batu besar di tepi telaga, melepas lelah. Angin semilir mendatangkan kesejukan, mengipasi suhuhnya yang agak panas karena perjalanan naik turun tadi. Keadaan yang sunyi, hawa yang sejuk dan semilirnya angin mengipasi tubuhnya yang kelelahan mendatangkan rasa

kantuk. Akan tetapi Muryani menahan rasa kantuknya. Perutnya terasa lapar sekali dan ia ingin mencari makanan di dusun seberang telaga itu.

   Akan tetapi ketika ia hendak turun dari atas batu, tibatiba melihat tujuh orang laki-laki datang menghampirinya. Mereka adalah orang-orang yang berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, semua berkulit tebal dan ada yang brewokan. Pakaian mereka serba hitam dan sikap mereka kasar. Dari lenggang dan langkah mereka saja dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa mengandalkan kekuatan. Langkah mereka dibuat-buat sperti jagoan! Yang berjalan paling depan adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun dan dialah di antara yang lain yang bermuka penuh brewok. Tujuh orang itu masing-masing membawa sebuah parang yang tergantung di pinggang mereka. Di belakang rombongan ini tampak seorang pemuda remaja yang menuntun seekor kuda, agaknya milik rombongan itu, atau mungkin sekali milik pemimpin mereka yang bermuka brewok. Ketika mereka tiba di depan Muryani yang masih duduk di tas batu besar, tujuh orang itu berhenti dan mata mereka yang bengis liar itu seolah menggerayangi tubuh gadis cantik yang duduk di atas batu.

   Muryani tampak cantik jelita. Wajah yang bulat dengan dagu runcing itu kemerahan karena sengatan matahari. Sepasa alisnya yang hitam kecil panjang melengkung itu agak dikerutkan melihat gerombolan laki-laki di depannya itu. Sepasang matanya yang bening dan bersinar-sinar dengan bulu matanya yang lentik, menyapu ke arah mereka penuh selidik. Hidungnya yang kecil mancung serasi sekali dengan bentuk mulutnya yang memiliki bibir merah basah dan menggairahkan. Mulut itu tersenyum mengejek. Melihat tujuh orang laki-laki itu, terutama yang berdiri paling depan dan mukanya brewokan memandang kepadanya dengan mata yang kurang ajar, Muryani menjadi marah.

   "Hei, kalian ini mau apa mendekati aku dan mengganggu suasana damai tenteram yang kunikmati? Hayo cepat pergi dan jangan membikin aku marah!"

   "Wah, galak seperti seekor kuda betina yang, binal!"

   Seru seorang di antara mereka.

   "Ha-ha-ha!"

   Si brewok tertawa bergelak.

   "Kuda betina yang makin binal dan makin mengasyikkan dan menggembirakan untuk ditundukkan dan dijinakkan. Cah ayu, aku Mundingjaya adalah seorang laki-laki jantan sejati yang masih bujang, masih perjaka ting-ting! Ha-ha-ha! Kulihat engkau pantas sekali kalau menjadi isteriku. Bukankah begitu, kawan-kawan?"

   "Pantas sekali!"

   "Cocok sudah!"

   "Seperti Raden Gatotkaca dengan Dyah Pergiwa!"

   Muryani mengangkat mukanya, kerut alisnya mendalam, sinar matanya berkilat dan senyum manisnya makin melebar. Orang-orang itu tidak tahu sama sekali bahwa dara yang tampak semakin manis menarik ini menjadi amat berbahaya kalau sudah seperti itu karena kerut alisnya, sinar mata dan senyum itu sesungguhnya merupakan tanda bahwa ia sedang marah sekali! Dengan gerakan indah dan ringan tubuhnya sudah melompat turun dari atas batu dan kini ia berdiri berhadapan dengan laki-laki brewokan itu. Ternyata dara yang baru berusia tujuh belas tahun ini tingginya hanya sedada orang yang mengaku bernama Mundingjaya itu. Mereka berdiri dalam jarak kurang lebih empat meter. Melihat tubuh dara itu demikian ramping dan padat, bagaikan bunga sedang mulai mekar, bagaikan buah mangga sedang ranumnya, Ki Mundingjaya memandang kagum dan tersenyum lebar memperlihatkan giginya yang besar-besar.

   "Waduh, engkau denok ayu manis merak ati, bocah ayu. Mari kupondong dan kubawa pulang ke rumahku!"

   Katanya tanpa malu-malu.

   Muryani melihat di sebelah kanannya terdapat setumpuk kotoran kerbau yang masih baru. Agaknya belum lama tadi ada kerbau lewat di tempat itu dan membuang kotoran di situ. Ia lalu meraih sebatang kayu ranting pohon singkong yang tumbuh dekat batu, mematahkannya.

   "Namamu Mundingjaya? Nah, silakan mandi tahi munding lebih dulu agar patut engkau memakai nama itu!"

   Kata Muryani dan tanpa menanti jawaban, dengan tidak disangka-sangka dan amat cepat, tangan Muryani menggerakkan ranting kayu, dicokelkan kepada tahi kerbau itu dan sekali ranting kayu bergerak, segumpal tahi kerbau yang masih lunak menyambar ke depan itu tepat mengenai muka si brewok! Ki Mundingjaya yang sama sekali tidak menyangka, tak sempat mengelak dan mukanya berlepotan tahi kerbau. Bukan sekali saja karena Muryani sudah melakukan serangan tahi kerbau itu berulang-ulang sehingga seluruh pakaian Mundingjaya berlepotan tahi kerbau. Ki Mundingjaya muntah-muntah dan menyumpah-nyumpah! Anak buahnya menjadi kaget akan tetapi juga geli melihat pemandangan yang lucu ini. Mereka menahan tawa, akan tetapi da beberapa orang

   yang tak mampu menahan dan mengeluarkan suara tawa aneh karena ditahan-tahan.

   Tentu saja Mundingjaya mencak-mencak saking marahnya. Dia, yang merupakan jagoan yang ditakuti seluruh penduduk pedusunan di sekitar Telaga Sarangan, kini dihina oleh seorang perawan remaja! Setelah membersihkan lethong (tahi kerbau) dari muka, terutama dari mulut dan hidungnya, dia mencabut parang dari ikat pinggangnya dan mengacungkan senjata tajam mengkilap itu ke atas.

   "Bocah perempuan keparat! Engkau sudah bosan hidup, berani menghina Mundingjaya?"

   Bentaknya.

   Muryani menudingkan ranting kayu di tangannya sambil, tersenyum manis.

   "Siapa menghinamu? Aku malah membikin engkau tampak gagah, dan sekarang lebih cocok kalau namamu diganti menjadi Tahi Munding (kotoran kerbau)!"

   Mundingjaya yang tadinya tergila-gila kecantikan dara itu dan menghendaki ia menjadi isterinya, kini berubah pandang. Dia tidak lagi melihat Muryani sebagai seorang dara yang ayu manis merak ati, melainkan sebagai seorang wanita yang sama sekali tidak menarik dan tidak menyenangkan hatinya, yang membuat dia berafsu untuk menyiksa dan membunuhnya. Demikianlah keadaan hati kita.

   Selama nafsu, terutama sekali nafsu benci dan marah tidak menguasai hati, maka wajah sesorang, bagaimanapun bentuk dan coraknya, akan tampak menyenangkan. Akan tetapi sekali nafsu benci dan marah mengkeram hati, biar orang yang tadinya dicinta setengah matipun akan tampak memuakkan dan menimbulkan keinginan untuk menyiksanya!

   "Perempuan keparat! Mampuslah kau!"

   Mundingjaya membentak dan diapun sudah menerkam dan menyerang dengan bacokan parang atau goloknya yang tajam mengkilap. Namun dengan cekatan sekali Muryani melompat ke samping, agak jauh karena ia tidak ingin berdekatan dengan orang yang berlepotan tinja kerbau itu agar tidak terkena percikan dan tidak terserang bau yang memuakkan.

   Melihat gadis itu mengelak, Mundingjaya mengejar dan menyerang lagi, lebih kuat daripada tadi karena agaknya dia ingin sekali bacok membelah tubuh denok itu. Sekali lagi Muryani mengelak ke kanan dengan loncatan jauh. Ia sengaja melompat makin mendekati tepi telaga. Mundingjaya tidak sadar bahwa gadis itu memancingnya mendekati telaga. Dia hanya mengira bahwa gadis itu merasa ngeri menghadapi serangan-serangannya yang ampuh dan sengaja menjauh untuk melarikan diri. Tidak, dia tidak akan membiarkan gadis itu melarikan diri!

   "Lari ke nerakapun akan kukejar kau!"

   Bentaknya dan dia melompat dan menngejar lalu menyerang lagi. Setelah mengelak sebanyak lirna kali sambil melompat, Muryani telah tiba di tepi telaga. Karena ia tidak ingin melayani orang itu bertanding dalam jarak dekat, ketika melompat yang terakhir kalinya tadi, ia menyambar sebuah batu sebesar kepalan tangannya. Ia memindahkan ranting kayu ke tangan kiri dan kini memegang batu itu di tangan kanan.

   "Haaaaahhhh!"

   Mundingjaya menyerang lagi, kini membacokkan goloknya ke arah piggang Muryani. Gadis itu kini tidak dapat melompat ke belakang karena belakangnya terdapat telaga sehingga kalau ia melompat ke belakang, ia tentu akan terjatuh ke dalam air. Juga di kanan kirinya terdapat halangan, di kiri terdapat batu-batu besar dan di sebelah kanan terdapat semak-semak belukar yang berduri. Mundingjaya menyeringai, agaknya sudah yakin bahwa sekali ini tubuh gadis yang berani menghinanya itu tentu akan terkena bacokannya dan pinggang yang ramping itu akan putus sehingga isi perutnya akan berceceran. Dia sudah timbul niatnya untuk minum darah yang akan bercucuran keluar dari mayat gadis itu!

   Akan tetapi, Muryani agaknya memang sudah sengaja memancing Mundingjaya ke bagian itu. Ketika lawannya datang menyerang seperti seekor kerbau gila, ia melompat lagi, akan tetapi bukan ke belakang, ke kanan atau ke kiri, melainkan ke depan! Tubuhnya dengan ringannya melompat tinggi bagaikan seekor kijang muda dan ia sudah me-lompat.lewat atas kepala Mundingjaya! Tentu saja serangan kepala gerombolan itu luput dan melihat betapa gadis itu tiba-tiba saja lenyap dan dia hanya

   melihat sesosok bayangan berkelebat di atas kepalanya, Mundingjaya terkejut dan cepat dia membalikkan tubuhnya.

   Pada saat dia membalik itu, Muryani sudah melontarkan batu di tangan kanannya sambil membentak.

   "Makanlah ini!"

   Mundingjaya terkejut sekali, akan tetapi karena sambaran batu itu datang cepat sekali bagai kilat menyambar pada saat dia memutar tubuh, maka dia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk

   mengelak atau menangkis. Saking kaget dan heran dia membuka mulut dan hal nilah yang membuat

   dia celaka.

   "Syuuutt ...........krakkk!!"

   Bunyi berderak itu adalah bunyi barisan giginya yang di-terjang batu. Karena pada saat itu dia me,mbuka mulutnya, maka batu itu mengantam giginya sehingga semua gigi

   atas bawah bagian depan rompal dan copot!

   "Auhhhhh..... !!"

   Mundingjaya berteriak, lukanya berdarah-darah dan tubuhnya terjengkang ke belakang. Karena dia memang berada dekat sekali di tepi telaga, maka tanpa dapat dihindarkannya lagi, tubuhnya terjatuh ke dalam air.

   "Byuurrr ...... !"

   Air muncrat ke atas dan Muryani tertawa-tawa!

   Akan tetapi pada saat itu, enam orang anak buah Mundingjaya telah tiba di situ dan mereka semua melihat betapa pimpinan mereka terjatuh ke dalam air telaga dan mukanya tadi berdarahdarah. Mereka terkejut akan tetapi juga marah sekali. Dengan golok terhunus mereka lalu megepung Muryani yang kini berada di tempat lapang sehingga ia terkepung.

   "Cah ayu, menyerahlah saja daripada kami harus menggunakan kekerasan!"

   Kata orang di antara mereka yang agaknya masih merasa sayang kalau harus membunuh gadis cantik jelita ini.

   "Kenapa kalian tidak mengikuti pemimpin kalian itu?"

   Kata Muryani sambil ternyum mengejek, siap dengan ranting kayu di tangan kanannya. Melihat betapa gadis itu hanya bersenjatakan sebatang ranting kecil, sebesar ibu jari, tentu saja enam orang itu tidak merasa takut.

   "Menyerahlah, manis. Asalkan engkau suka menjadi isterinya, tentu kakang Mundingjaya akan suka memaafkanmu!"

   Kata pula seorang lain.

   Muryani tertawa bebas lepas.

   "Heh-heh-hik, dia menjadi suamiku? Bahkan untuk menjadi budakku, bahkan menjadi alas kakupun kalian masih belum pantas! Pantasnya kalian menjadi katak-katak dalam air telaga ini!"

   Marahlah kini enam orang itu, apalagi mereka melihat Mundingjaya kini keluar dari dalam telaga, merangkak dan wajahnya yang basah kuyup itu masih mengeluarkan darah. Tampak mengerikan sekali wajah itu.

   "Bunuh.....! Bunuh.... perempuan itu...!"

   Bentak Mundingjaya terengah-engah dan suaranya menjadi pelo karena giginya bagian depan sudah ompong semua.

   Enam orang itu kini menyerang dari segala jurusan. Golok mereka menyambar dengan bacokan dan tusukan maut. Akan tetapi Muryani sudah siap siaga. Ia mutar tubuhnya dan dengan kecepatan kilat ranting kayu di tangannya menyambar-nyambar. Ranting sekecil itu dapat menangkis sambaran golok yang berat dan kuat. Muryani membalas, tangan kirinya mendorong dengan Aji Bromo Latu.

   Angin pukulan yang panas menyambar-nyambar dan enam orang itu mengeluh. Seorang demi seorang terpelanting roboh, tidak ada yang kuat menerima pukulan Bromo Latu yang berhawa panas.

   Mereka itu hanyalah gerombolan penjahat yang mengandalkan tenaga otot besar saja. Muryani cepat

   menyusulkan tendangan-tendang kakinya sehingga enam orang itu terlempar ke sana-sini. Mereka menjadi ketakutan. Belum pernah selama hidup mereka bertemu dengan lawan yang setangguh ini. Begitu mereka dapat merangkak bangun mereka lalu lari menjauhkan diri.

   Mundingjaya yang melihat betapa enam orang anak buahnya semua roboh oleh gadis itu, menjadi terkejut bukan main dan dia juga ketakutan. Dia mengumpulkan sisa tenaganya untuk bangkit berdiri dan melarikan diri. Akan tetapi dengan sekali lompatan jauh Muryani telah berada di dekatnya dan sekali kakinya menendang, Mundingjaya roboh. Ujung ranting kayu di tangan Muryani sudah menodong dan menekan leher kepala gerombolan itu.

   "Tobaat.... ampunkan saya, nona..."

   Kepala gerombolan itu memohon dengan wajah pucat ketakutan.

   "Panggil penuntun kuda itu ke sini!"

   Muryani memerintah dan menekan ujung rantingnya ke leher Mundingjaya yang sudah tidak berdaya itu.

   "Heii! Kayun....! Bawa kudaku itu ke sini!"

   Teriak Mundingjaya yang masih rebah menelungkup. Pemuda remaja yang menuntun kuda dan berada agak jauh dari situ, mendengar teriakan ini lalu menuntun kuda itu mendekat. Muryani mengambil kendali kuda dari tangan pemuda remaja itu dan membentak kepadanya.

   "Hayo engkau cepat pergi dari sini!"

   Pemuda remaja itu tampak meragu, akan tetapi Mundingjaya segera menghardiknya.

   "Pergi tinggalkan tempat ini, tolol!"

   Mendengar ini, pemuda itu lalu berlari pergi.

   "Nah, sekarang aku mau mengampunimu dengan dua syarat. Pertama, kauberikan kuda ini untukku."

   "Baik, nona. Ambillah kuda itu, saya: berikan kepadamu dengan senang hati."

   Kata kepala penjahat itu dengan harapan agar segera dibebaskan.

   "Ada satu syarat lagi yang paling penting. Hayo katakan apakah engkau mengetahui di mana adanya orang yang bernama Ki Wiroboyo, dahulu menjadi demang dusun Pakis."

   Mundingjaya mengerutkan alisnya yang tebal. Dia sudah bangkit duduk sekarang lalu sambil menengadah memandang wajah Muryani, dia menggeleng kepala dan berkata.

   "Maaf, nona. Saya tidak pernah mendengar nama itu."

   Melihat sikap dan pandang mata laki-laki kasar itu, Muryani percaya dan ia bertanya pula.

   "Akan tetapi engkau tentu mengenal jagoan Ponorogo yang bernama Warok Surobajul. Ceritakan tentang dia!"

   "Warok Surobajul? Tentu saja saya megenalnya, nona. Namanya terkenal sekali dari Ponorogo sampai ke daerah ini. O ya, pernah kurang lebih sebulan yang lalu saya sempat bertemu dengan dia. Katanya ia hendak pergi ke sebuah dusun di pegunungan ini, entah apa keperluannya dia tidak bercerita kepada saya."

   "Hemm, ketika itu dia pergi dengan siapa?"

   Mundingjaya mengerutkan alisnya, mengngat-ingat.

   "Dia melakukan perjalanan dengan seorang laki-laki yang gagah dan berpakaian mewah, berkumis tebal. Akan tetapi saya tidak mengenalnya dan diapun tidak mengenalkan diri. Orangnya tampak angkuh, sikapnya seperti priyayi."

   Muryani mengangguk dan tahu bahwa yang dimaksudkan itu tentulah Ki Wiroboyo. Mereka berdua itu tentu sedang dalam perjalanan menuju dusun Pakis, pikirnya.

   "Tahukah engkau di mana tempat tinggal Warok Surobajul itu?"

   "Tahu, nona. Dia tinggal di Ponorogo. Semua orang tahu di mana rumah warok yang terkenal itu."

   "Cukup, aku mau mengampunimu kali ini, akan tetapi ingat, engkau kawan-kawanmu harus mengubah jalan hidup kalian dan tidak melakukan kejahatan lagi. Awas, kalau aku pulang dan lewat sini mendapatkan bahwa kalian masih lakukan kejahatan, aku tidak akan memberi ampun lagi dan pasti akan membunuh kalian semua!"

   Tanpa menanti jawaban penjahat itu, Muryani sudah melompat ke atas punggung kuda rampasannya dan membalapkan kuda itu meninggalkan Telaga Sarangan. Mundingjaya bangkit berdiri dan menyumpah-nyumpah. Bagi seorang sesat seperti dia sukarlah sekali untuk dapat bertaubat, menyadari akan dosa-dosanya dan berusaha untuk mengubah jalan hidupnya. Dia tetap saja tidak merasa bersalah, bahkan menyumpahi Muryani yang dia anggap jahat dan kalau tadi dia menyatakan bertaubat dan bersikap lunak adalah karena rasa takut terhadap gadis sakti itu. Sekarang, hatinya penuh dendam kebencian dan kalau ada kesempatan, tentu dia akan berusaha sekuat tenaga untuk membalas dendam kepada Muryani!

   Demikian pula halnya dengan Ki Wiroyo. Bekas demang dusun Pakis ini tidak pernah mau menyadari akan kesalahannya, tak pernah mau bertaubat, apalagi menyesali segala tingkah lakunya yang tidak baik. Dia hanya menyesal karena dia telah dikalahkan oleh Muryani, dan sampai kehlangan kedudukannya, bahkan terusir dari Pakis. Dia tidak pernah merasa dirinya bersalah. Tidak, dia bahkan selalu merasa bahwa dia adalah seorang demang yang bijaksana, yang baik terhadap warga dusunnya.

   Kalau dia tergila-gila kepada Muryani dan ingin mengambilnya sebagai selir, hal itu dianggapnya wajar dan sama sekali tidak salah. Karena itu, perlawanan Muryani yang membuat dia kehilangan segalagalanya itu menimbulkan dendam dalam hatinya. Dia menganggap Muryani seorang gadis yang tidak tahu diri, sombong dan jahat! Apalagi setelah usahanya mendapatkan Muryani dengan kekerasan, bantu Surobajul, gagal dan menyebabk kematian jagoan itu dan mengakibatkan dia kehilangan kedudukannya. Dia menaruh dendam dan sakit hati terhadap Muryani.

   Karena itu, setelah dia membawa keluarganya pergi meninggalkan Pakis, dia pergi ke Ponorogo. Dia mengabarkan tentang kematian Warok Surobajul kepada keluarga warok itu dan dia lalu tinggal dengan keluarganya di Kadipaten Ponorogo dari mana dia berasal. Dia tidak pernah lupa akan dendamnya kepada Ki Ronggo Bangak dan puterinya, Muryani. Akhirnya setelah lama mencari, dia menemukan seorang sahabat lama yang dulu pernah menjadi saudara seperguruannya dan kini orang

   itu tinggal di Lamongan. Orang itu berusia lima puluh tahun, bertubuh jangkung kurus bernama Darsikun. Kini bekas kakak seguruannya ini telah menjadi seorang jagoan yang digdaya karena dia pernah berguru lagi kepada Ki Harya Baka Wulung, datuk dari Madura itu.

   Biarpun dia hanya belajar selama setahun lebih kepada datuk itu, namun dia telah memperoleh kemajuan pesat dan menjadi seorang tokoh yang terkenal di Lamongan dan sekitarnya. Darsikun ini ditemui Ki Wiroboyo dan dengan senang hati dia mau membantu bekas adik seperguruan ini untuk membalas dendam kepada Muryani dan ayahnya. Apalagi arena sekarang keadaan Ki Wiroboyo makmur, dapat membelikan pakaian indah dan barang-barang berharga untuknya. Demikianlah, Ki Darsikun ikut bersama Ki Wiroboyo pergi ke Ponorogo.

   Kemudian pada malam hari itu, seperti sudah direncanakan oleh Ki Wiroboyo, Ki Darsikun mempergunakan kepandaiannya, memasuki rumah Ki Ronggo Bangak dan berhasil membunuh Ki Ronggo Bangak dan melukai Muryani dengan pukulan jarak jauhnya yang dahsyat. Dia merasa yakin bahwa gadis itu tentu juga sudah tewas karena pukulannya, maka dia pergi meninggalkan rumah itu dan kembali ke Ponorogo dengan hati bangga dan girang.

   Ki Wiroboyo menyambut kakak seperguruan ini dengan girang sekali. Mendengar bahwa Ki Ronggo Bangak telah tewas, demikian juga Muryani, hatinya puas, dendam kebenciannya telah terbalas dan terlampiaskan. Akan tetapi ada sedikit kekecewaan bahwa dia tidak dapat menguasai Muryani yang digilainya itu. Dia menahan Ki Darsikun untuk tinggal di rumahnya dan setiap hari menjamunya dengan pesta. Setelah sebulan lebih Ki Darsikun tinggal di rumah Ki Wiroboyo dan dimanjakan seperti seorang tamu agung, dia mengambil keputusan untuk pulang ke Lamongan.

   "Ah, kenapa tergesa-gesa, kakang Darsikun? Bukankah kakang senang tinggal sini bersama kami?"

   Kata Ki Wiroboyo yang ingin menahan kakak seperguruannya selama mungkin di rumahnya karena bagaimanapun juga dia masih merasa khawatir kalau-kalau ada musuh datang untuk membalaskan kematian Muryani dan ayahnya.

   "Sudah sebulan lebih aku tinggal di sini, adi Wiroboyo. Terima kasih atas sambutanmu yang baik. Biarlah lain kali aku datang lagi berkunjung. Aku sudah rindu pada keluargaku di Lamongan."

   "Ya, apa boleh buat kalau begitu, kakang. Kapan engkau hendak berangkat? Aku akan mempersiapkan segala keperluanmu.

   "Besok pagi-pagi aku akan berangkat, adi Wiroboyo."

   Ki Wiroboyo lalu mengajak tamunya itu minum-minum. Tiba-tiba datang seorang laki-laki yang tampak gugup dan tergesa-gesa Wiroboyo mengenalnya sebagai sebagai pelayan dari mendiang Warok Surobajul.

   "Ada apakah? Apakah mbak-ayu Suro yang mengutusmu ke sini?"

   Tanya Wiroboyo sambil bangkit berdiri dari kursinya.

   "Celaka, den-mas Wiroboyo! Celaka...!"

   "Hushh! Bicara yang benar dan jelas! apakah?"

   Wiroboyo membentak.

   "Di rumah Nyi Suro kedatangan seorang gadis cantik yang galak sekali, den-mas. Dara itu menghajar dan merobohkan tiga orang murid mendiang ki warok yang berada di sana dan ia mengancam Nyi Suro untuk memberi tahu di mana den-mas berada!"

   "Ahh?"

   Ki Wiroboyo terkejut sek: "Siapa nama gadis itu?"

   "Tidak tahu, den-mas. Ia tidak menyebutkan nama. Saya masih sempat menyelinap pergi dari belakang dan cepat mengabarkan ke sini."

   "Sudah, pergilah!"

   Kata Wiroboyo ketika orang itu pergi, dia berkata kepada Ki Darsikun.

   "Kakang, apa yang kukhawatirkan terjadi! Ada orang mencariku, orang gadis yang digdaya. Tentu ada orang hendak membalaskan kematian Muryani dan ayahnya."

   "Jangan khawatir, adi Wiroboyo. Aku di sini! Pula, kalau ia hanya seorang gadis, ia akan mampu berbuat apakah terhadap kita?"

   Kata Ki Darsikun dengan lagak angkuh.

   "Akan tetapi kalau terjadi keributan sini sungguh tidak enak, kakang. Tentu akan menarik perhatian dan kalau Adipati Ponorogo mendengar, mungkin akan dilakukan pemeriksaan dan. penyelidikan. Hal ini bisa berkelanjutan dan amat tidak enak bagiku."

   "Lalu, bagaimana kehendakmu?"

   "Kita lari keluar kota kadipaten dan kita hadang ia di tempat sepi di luar sana."

   Tanpa menanti jawaban Wiroboyo lalu meninggalkan pesan kepada keluarganya bahwa kalau ada seorang gadis mencarinya, jangan dilayani secara kasar dan agar diberi tahu bahwa dia baru saja keluar melalui pintu gerbang utara dan agar dikatakan bahwa dia pergi seorang diri. Setelah meninggalkan pesan ini, Wiroboyo mengajak Darsikun untuk menunggang kuda dan melarikan diri ke luar kota Kadipaten Ponorogo dengan cepat.

   Tepat di luar kota itu, di bagian utara, terdapat hutan yang lebat dan dua orang yang menunggang kuda itu lenyap ditelan hutan. Memang benarlah laporan pelayan keluarga mendiang Warok Surobajul itu. Muryani telah tiba di Ponorogo dan segera ia mencari rumah Warok Surobajul. Dan mudah saja ia menemukan rumah besar itu karena nama warok itu amat terkenal di di Kadipaten Ponorogo. Ia memasuki pekarangan rumah yang luas itu, melompat turun dari. atas kudanya, mengikatkan kendali kudanya pada sebatang pohon yang banyak tumbuh di pekarangan, lalu melangkah menuju ke beranda depan.

   Kunjungan ini segera disambut tiga orang laki-laki yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan melihat bentuk tubuh mereka, tiga orang ini tergolong orang-orang yang kuat. Di beranda berdiri seorang wanita setengah tua yang wajahnya masih membayangkan kecantikan dan wanita itu memandang ke arah Muryani dengan sinar mata tajam penuh selidik. Tiga orang laki-laki itu menghampirinya dan menghadangnya. Seorang di antara mereka yang berkumis tebal bertanya, suaranya berat dan parau.

   "Siapakah andika dan ada keperluan apakah andika datang ke sini?"

   Muryani memandang ke arah rumah besar itu dan menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan pula.

   
😗

   
"Apakah benar di sini rumah Ki Surobajul?"

   Wanita setengah tua yang berada beranda itu melangkah maju menuruni anak tangga dan menjawab.

   "Benar, nini. Ini rumah mendiang suamiku Ki Surobajul. SIapakah andika dan ada urusan apakah?"

   Muryani maju menghampiri wanita itu dan bertanya.

   "Kalau begitu, bibi, katakan padaku, di mana adanya Wiroboyo bekas demang dusun Pakis?"

   Wanita itu mengerutkan alisnya, tampak kaget dan bingung lalu menggelengkan kepalanya dan berkata.

   "Aku tidak tahu. Aku tidak mengenal nama itu, kenapa andika bertanya kepadaku?"

   "Bibi, jangan berbohong kepadaku! Engkau adalah isteri mendiang Ki Surobajul dan semua orang tahu bahwa warok itu diajak Wiroboyo pergi ke Pakis untuk membuat onar di sana dan dia tewas dikeroyok penghuni dusun. Nah, engkau pasti tahu siapa Wiroboyo dan di mana dia sekarang berada. Jawablah sebenarnya agar aku tidak harus menggunakan kekerasan."

   "Heh, bocah wadon (anak perempuan) lancang mulut! Pergilah kau dan jangan membikin ribut di sini!"

   Si kumis tebal itu menggerakkan tangan kanannya hendak menangkap lengan Muryani untuk ditarik keluar dari pekarangan itu. Akan tetapi ketika dia berhasil menangkap lengan Muryani, gadis itu tiba-tiba dengan sentakan kuat memutar lengannya dan melangkah maju sambil memuntir lengan si kumis tebal. Gerakannya demikian tiba-tiba, cepat dan kuat sekali sehingga kini keadaannya menjadi terbalik. Lengan kanan laki-laki itulah yang dipuntir dan ditelikung di belakang tubuhnya. Ketika laki-laki itu hendak meronta, Muryani cepat mendorong lengan itu ke atas sehingga laki-laki itu berteriak kesakitan. Muryani menendang belakang lututnya dan orang itu tak dapat bertahan lagi lalu jatuh bertekuk lutut. Sekali dorong tubuh laki-laki itu terjungkal, hidungnya mencium tanah keras sehingga berdarah!

   Dua orang murid Surobajul yang lain menjadi marah. Mereka cepat menerjang dan menyerang Muryani dengan pukulan tangan dan tamparan, namun Muryani cepat mengelak dengan lompatan ke

   kiri. Seorang dari mereka yang berada di sebelah kiri mengejar akan tetapi dara perkasa itu menyambut dengan tendangan ke arah perutnya.

   "Ngekkk!!"

   Orang itu terpelanting dan setelah terbanting jatuh dia memegangi perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas. Orang ketiga menerkam ke depan dengan marah. Kembali Muryani mengelak cepat dan sebelum penyerangnya itu membalik, tangan kiri Muryani yang kecil mungil itu menghantam dengan tamparan kilat.

   "Wuutt.... plakkk!!"

   Orang itu terputar, rasanya seperti disambar petir dan dia terguling roboh. Akan tetapi karena Muryani tidak ingin membunuh orang, maka ketika ia merobohkan tiga orang itu, ia membatasi tenaganya sehingga mereka tidak terluka berat. gaknya mereka tidak menjadi jera, batin merasa penasaran sekali. Mereka bangit berdiri dan mencabut senjata pisau belati panjang yang terselip di pinggang mecka. Pada saat itulah pelayan Nyi Surobajul lari dari pintu belakang dan pergi melapor kepada Wiroboyo.

   Muryani menjadi marah melihat tiga orang itu tidak mundur, bahkan mereka kini memegang pisau besar mengancamnya. Akan tetapi beberapa gebrakan tadi saja sudah membuat ia tahu bahwa tigag oran itu bukan merupakan lawan tangguh. Maka iapun bersikap tenang saja. Ketika tiga orang yang mengepung dari depan, belakang dan kiri itu mulai bergerak menerjangnya. Muryani bergerak cepat sekali, menghindar sambil menggerakkan kaki tangannya. Hampir berbareng saatnya, tangan kirinya menampar kepala orang pertama, tangan kanan menonjok dada orang kedua, dan kaki kanannya menyambar dan menenda perut orang ketiga.

   Gerakannya sekali ini lebih kuat daripada tadi. Tiga orang itu mengaduh dan bergelimpangan. Yang ditampar kepalanya merasa kepalanya pecah dan bintang bertaburan di depan matanya yang menjuling. Yang ditonjok dadanya terengah-engah karena napasnya seperti berhenti tersumbat, dan yang ditendang perutnya merasa perutnya mulas dengan hebat sehingga dia bergulingan sampai mengaduh-aduh.

   Nyi Surobajul memandang dengan muka pucat. Ia hendak berlari masuk, akan tetapi sekali melompat Muryani telah berada di depannya.

   "Bibi, aku tidak ingin bertindak kasar terhadap seorang perempuan tua sepertimu, akan tetapi katakanlah, bibi. Di mana adanya Wiroboyo? Bibi pasti mengetahuinyal."

   Wanita itu berkata lirih.

   "Dia""dia berada di rumahnya sendiri....

   "

   "Di mana rumahnya, bibi?"

   Tanya Muryani, hatinya girang karena akhirnya ia dapat mengetahui rumah musuh besarnya

   "Di ujung utara kota ini, tanyakan semua orang di sana tentu mengetahuinya."

   "Terima kasih, bibi!"

   Setelah berkata demikian, tanpa memperdulikan tiga orang yang masih merintih kesakitan, Muryani melepaskan tambatan kudanya, melompat ke punggung kuda lalu melarikan kudanya keluar dari pekarangan itu. Dengan cepat menuju ke ujung utara kota dan setelah bertanya-tanya, dengan mudah ia dapat menemukan rumah besar tempat tinggal Ki Wiroboyo.

   Ia menambatkan kudanya di pekarangan lalu berlari menuju ke serambi depan. Di situ ia melihat dua orang wanita muda yang cantik dan berpakaian mewah bangkit berdiri dan memandangnya. Muryani menduga dua orang wanita muda cantik dan pesolek ini tentu isteri-isteri Wiroboyo, maka iapun cepat bertanya.

   "Mbakyu, aku ingin bertanya, apakah Ki Wiroboyo berada di rumah? Kalau dia berada di rumah, harap dipanggil keluar. Katakan bahwa aku mempunyai urusan penting sekali dengan dia!"

   Dua orang wanita itu saling pandang. Mereka bersikap tenang, akan tetapi Muryani dapat melihat dari pandang mata mereka bahwa mereka merasa tegang dan takut.

   "Kakangmas Wiroboyo baru saja keluar rumah,"

   Kata seorang dari mereka sedangkan yang lain ikut mengangguk membenarkan.

   "Ke mana dia pergi? Dengan siapa?" '

   "Menurut katanya tadi, dia hendak pergi ke Madiun dan perginya seorang diri."

   "Hemm, benarkah ucapanmu ini? Tidak bohong?"

   Muryani membentak, nada suaranya mengancam.

   "Mengapa mesti bohong?"

   Wanita itu berkata dengan alis berkerut.

   "Di mana letaknya Madiun?"

   "Di sebelah utara. Tadi kakangmas Wiroboyo menuju ke pintu gapura utara itu,"

   Kata wanita itu sambil menudingkan telunjuknya ke arah utara.

   "Dia menunggang kuda? Atau naik kereta?"

   Muryani mendesak.

   Dua orang wanita itu menggeleng kepala.

   "Dia tadi berjalan kaki."

   Setelah mendengar keterangan ini dan melihat sikap dua orang wanita itu tenang dan agaknya tidak berbohong, tanpa parnit Muryani sudah lari menghampiri kudanya dan tak lama kemudian ia sudah membalapkan kudanya keluar dari pintu gapura sebelah utara, melakukan pengejaran.

   Matahari sudah mulai menggulir ke ar,ih barat ketika Muryani membalapkan kudanya memasuki hutan yang lebat itu. Jalan itu sunyi, tak tampak ada orang lain di atas jalan raya itu. Tiba-tiba Muryani melihat seorang laki-laki berjalan di sebelah depan. Ketika mendengar derap kaki kuda, laki-laki itu memutar tubuhnya memandang. Pada saat itu Muryani melihat dan mengenal laki-laki itu yang bukan

   
   


JILID 12


   lain adalah Ki Wiroboyo! Tubuhnya yang tinggi besar. Kumisnya yang sekepal sebelah seperti Gatutkaca! Tak salah lagi. Orang itu adalah Ki Wiroboyo! Agaknya lakilaki itupun mengenalnya karena tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya dan berlari cepat sekali ke arah depan, menjauhinya.

   "Berhenti! Hendak lari ke mana kau keparat?"

   Muryani membentak marah dan membedal kudanya agar lari lebih kencang lagi. Jarak di antara mereka paling jauh sekitar lima puluh meter. Muryani adalah seorang gadis yang telah digembleng di perguruan Bromo Dadali sehingga memiliki kedigdayaan.

   Namun bagaimanapun juga, ia masih amat muda dan kurang pengalaman. Ia tidak tahu atau belum mengenal benar keadaan di dunia sesat. Dunia sesat memiliki banyak orang yang sakti, akan tetapi yang lebih berbahaya lagi, mereka adalah orang-orang yang licik dan curang, memiliki banyak tipu muslihat berbahaya. Ia sama sekali tidak pernah curiga atau menduga bahwa sesungguhnya sejak tadi ia telah terancam bahaya. Kemunculannya telah diketahui musuh, bahkan musuh telah mengatur siasat licik untuk menjebaknya.

   Kemunculan Wiroboyo itu memang disengaja, merupakan pancingan untuk membuat gadis itu kehilangan kewaspadaannya dan seluruh perhatiannya ditujukan untuk menangkap orang yang melarikan diri di depan itu. Karena itu, ia kurang peka akan keadaan di sekelilingnya pada saat dua batang anak panah menyambar dari samping.

   "Srrtttt!"

   Dua batang anak panah meluncur dengan cepatnya dari arah kiri. Muryani yang sejak tadi menujukan panting mata dan seluruh perhatiannya ke depan, tidak melihat sambaran anak panah dari kiri yang menyusur rendah itu. Tahu-tahu dua batang anak panah itu telah menancap di perut dan dada kuda yang ditungganginya. Kuda itu meringkik dan mendengus, melompat miring dan roboh. Muryani yang sama sekali tidak bersiaga, terbawa roboh dan gadis itu terbanting keras, kepalanya terbentur tanah keras dan iapun roboh pingsan!

   Ketika melihat Muryani jatuh pingsan Ki Wiroboyo menjadi girang sekali. Bersama Darsikun bekas kakak seperguruan yang membantunya dan yang tadi melepas anak panah merobohkan kuda. yang ditunggangi Muryani, Darsikun sudah mencabut kerisnya untuk membunuh gadis yang jatuh pingsan itu, akan tetapi Wiroboyo memegang lengannya.

   "Jangan bunuh, kakang!"

   "Eh, adi Wiroboyo! Gadis ini berbahaya sekali, ia tentu mendendam kepadamu dan tentu akan berusaha membunuhmu!"

   Darsikun memperingatkan.

   "Benar, kakang Darsikun., Akan tetapi aku tidak ingin membunuhnya sekarang. Aku bersumpah untuk mendapatkan dirinya sebelum aku membunuhnya!"

   Kata Wiroboyo sambil memandang ke arah tubuh gadis yang rebah telentang pingsan itu penuh gairah.

   Darsikun tersenyum maklum.

   "Terserah kalau begitu. Akan tetapi, jangan pandang ringan gadis ini, adi. Sebaiknya kau ikat dulu kaki tangannya sebelum engkau membawanya."

   "Aku tahu, kakang, aku tahu!"

   Kata Wiroboyo dan dia mengeluarkan segulung tali yang kokoh kuat. Mulailah dia mengikat kedua tangan gadis itu ke belakang tubuhnya. Akan tetapi belum selesai dia mengikat dua pergelangan tangan itu"..

   "". demi para dewata! Apa yang kalian lakukan terhadap gadis itu? Kalian dua orang laki-laki gagah sungguh tidak tahu malu, mengganggu seorang gadis muda. Hayo cepat lepaskan ia dan tinggalkan tempat ini!"

   Wiroboyo dan Darsikun terkejut bukan main mendengar suara teguran di belakang pekarangan itu. Mereka yang tadinya berjongkok, cepat melompat berdiri sambil membalikkan tubuh. Kiranya yang berhadapan dengan mereka dalam jarak tiga meter adalah seorang nenek tua renta. Usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih. Wajahnya masih halus tanpa keriput, akan tetapi rambutnya yang panjang dibiarkan terurai putih mengkilap seperti benang perak.

   Tangan kanannya memegang sebatang tongat dari seekor ular kobra kering. Biarpun usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, nenek itu masih tampak jelas bahwa dahulu ia tentu seorang wanita cantik. Melihat bahwa yang menegur mereka hanya seorang nenek tua, walaupun nenek itu tampak menyeramkan karena memegang sebatang tongkat bangkai ular kobra kering, tentu saja Wiroboyo dan Darsikun tidak merasa takut. Wiroboyo bahkan berjongkok kembali untuk melanjutkan mengikat kedua pergelangan tangan Muryani karena dia khawatir kalau-kalau gadis keburu siuman.

   "Laki-laki bandel! Lepaskan gadis itu nenek itu membentak dan begitu tanan kirinya digerakkan mendorong ke arah Wiroboyo yang sedang berjongkok hendak mengikat kedua pergelangan tangan Muryani dengan tali, tiba-tiba saja tubuh Wiroboyo terpental dan bergulingan seperti sebuah bola ditendang!

   Tentu saja dua orang laki-laki itu kejut bukan main. Darsikun yang merupakan seorang jagoan yang berpengalam maklum bahwa nenek ini ternyata memiliki kesaktian, maka diapun sudah mencabut kerisnya dan menghampiri nenek itu. Wiroboyo yang tidak terluka, hanya terkejut saja, sudah melompat dekat di samping Darsikun, siap untuk mengeroyok nenek itu. Nenek itu tertawa melihat sikap mereka ketika tertawa, tampak deretan giginya yang masih utuh dan putih bersih sehingga wajahnya tampak muda dan manis.

   "Heh-heh-hi-hik, kalian ini dua orang laki-laki gagah memegang pusaka (keris) di depan seorang nenek mau apakah? Mau bunuhku? Sungguh kalian jahat sekali. Bertaubat dan sadarlah dari kejahatan kalian pergilah dari sini dengan aman."

   Tentu saja dua orang itu tidak mau pergi begitu saja.

   "Nenek yang lancang suka mencampuri urusan orang lain! Andika siapakah?"

   Tanya Darsikun dengan suara menghentak.

   "Hemm, orang-orang yang tidak menghormati orang tua! Sepatutnya kalian yang memperkenalkan nama kepadaku. Kalian ini siapakah, berani melakukan kekerasan terhadap seorang wanita tanpa merasa malu sedikitpun!"

   "Nenek lancang. Buka telingamu baik-baik! Aku adalah Ki Darsikun, jagoan nomor satu di Lamongan dan murid Bapa Guru Ki Harya Baka Wulung! Dan ini adalah adik seperguruanku bernama Ki Wiroboyo dari Ponorogo!"

   "Aha, kiranya murid Ki Harya Baka Wulung? Akan tetapi, Ki Harya setahuku adalah seorang datuk sakti dari Madura yang gagah perkasa, mengapa sekarang muridnya seorang laki-laki pengecut yang suka mengganggu wanita?"

   "Nenek keparat! Mengakulah siapa, andika!"

   Bentak Ki Wiroboyo marah.

   "Orang-orang macam kalian ini tidak pantas untuk mengenal namaku. Anggap saja aku orang yang menentang kalian melarang kalian mengganggu gadis itu!"

   Ki Darsikun dan Wiroboyo tak dapat menahan kemarahan mereka lagi dan bareng mereka menerjang ke depan, menggerakkan keris mereka menyerang nenek itu. Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan nenek itu sudah lenyap dari depan mereka! Dua orang itu terbelalak dan lagi mereka kebingungan, ada suara di belakang mereka.

   "Kalian mencari apa? Aku berada di sini!"

   Mereka cepat membalik dan ternyata nenek itu telah berdiri di belakang mereka sambil tersenyum. Kembali mereka menerjang dan tiba-tiba nenek itu menghilang untuk muncul di belakang mereka sampai lima kali kedua orang itu menyerang, akan tetapi yang diserangnya seperti bayangan saja, tahu-tahu lenyap dan muncul di tempat lain. Dengan kaget Darsikun menyadari bahwa nenek itu memiliki ilmu meringankan tubuh dan kecepatan yang luar biasa, yang membuat ia seolah dapat menghilang! Mereka mengerahkan seluruh tenaga dan menggunakan seluruh kecepatan lalu menerjang lagi, bukan hanya rnenggunakan keris di tangan kanan, akan tetapi juga tangan kiri mereka bergerak, memukul dengan tenaga sakti untuk mencegah nenek itu menghilang. Akan tetapi kini dengan kecepatan kilat, nenek itu sudah lenyap pula. Ketika mereka berdua membalik, nenek itu tidak berada di belakang mereka. Mereka mencari-cari, tetapi tetap saja tidak menemukan nenek itu.

   Tiba-tiba terdengar suara tawa nenek itu dan ketika mereka memandang ke arah suara yang datang dari atas, nenek itu telah duduk dengan kedua kakinya ongkang-ongkang sambil tersenyum mengejek.

   "Nenek keparat! Jangan bermain gila. Kalau memang engkau berani turunlah dan lawan kami, jangan hanya main mengelak."

   Bentak Darsikun yang merasa malu dan penasaran sekali.

   "Hi-hik! Kalau beberapa tahun yang lalu kalian bertemu dengan aku, tentu sekarang kalian sudah menggeletak tanpa nyawa. Akan tetapi sekarang aku tidak suka membunuh dan kalau kalian ingin mendapatkan pelajaran, sambutlah!"

   Tiba-tiba tubuh nenek itu melayang turun dan menyambar ke arah dua orang itu seperti seekor burung garuda menyambar calon mangsanya.

   Dua orang itu terkejut dan mereka menyambut bayangan putih yang menyambar ke arah mereka itu dengan tusukan keris mereka. Akan tetapi dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, nenek itu menggerakkan tongkat ularnya dua kali yang dengan tepat memukul pergelangan tangan kanan mereka yang memegang keris.

   "Tukk! Tukk!!"

   Dua orang itu berteriak kesakitan karena tulang lengan mereka telah retakretak ketika terpukul tongkat.

   Dengan sendirinya keris itu terlepas dari pegangan mereka dan karena maklum bahwa mereka tidak mungkin melanjutkan perlawanan setelah lengan kanan mereka patah tulangnya, tanpa dikomando lagi kedua orang itu lalu melompat dan melarikan diri tunggang-langgang.

   Pada saat itu Muryani sudah siuman dari pingsannya. Ia sempat melihat dua orang itu bertanding melawan nenek rambut putih yang sakti itu. Ia berhasil melepaskan tali yang belum sempurna mengikat kedua lengannya. Akan tetapi ketika bangkit berdiri, kedua orang itu sudah melarikan diri.

   "Hendak lari ke mana kalian, jahanam-jahanam busuk?"

   Muryani memaki dan ia melompat untuk melakukan pengejaran.

   Akan tetapi tiba-tiba ia jatuh tersungkur karena kedua kakinya dihalangi tongkat ular di tangan nenek itu. Muryani melompat berdiri dan memandang nenek itu dengan heran dan penasaran.

   "Nenek yang aneh! Andika tadi menolongku akan tetapi kenapa sekarang menghalangi aku mengejar dua orang penjahat itu?"

   "Nini, aku menghalangi engkau melakokan pengejaran karena kalau kubiarkan, tidak urung engkau akan terjatuh lagi ke tangan mereka. Mereka itu orang-orang berbahaya sekali, nini. Apalagi kalau Harya Baka Wulung berdiri di belakang mereka!"

   "Ki Harya Baka Wulung?"

   Muryani bertanya heran, tidak berniat mengejar karena iapun teringat bahwa kalau ia melakukan pengejaran, selain belum tentu dapat menyusul karena hutan itu lebat sekali, juga siapa tahu ia akan terjebak dan tertangkap lagi seperti tadi.

   "Siapakah itu, eyang (nenek)?"

   "Dia itu datuk yang sakti mandraguna dari Madura, dan orang tinggi kurus yang bernama Ki Darsikun tadi adalah muridnya. Juga yang seorang lagi"...."

   "Si Wiroboyo itu?"

   Muryani memotong.

   "Hemm, jadi engkau sudah mengenalnya nini?"

   "Tentu saja! Dia itu musuh besarku, orang jahat yang telah membunuh ayahku,"

   Jawab Muryani. Nenek itu tersenyum melihat sikap Muryani yang keras. Gadis cantik jelita yang keras hati ini mengingatkan ia akan keadaan dirinya sendiri dahulu puluhan tahun lalu ketika ia masih jadi seorang gadis muda. Hatinya tertarik dan ia lalu duduk di atas sebuah batu yang berada di tepi jalan itu.

   "Nah, kalau begitu cepat ceritakan kepadaku mengapa engkau bermusuhan dengan mereka dan bagaimana engkau tadi sampai tertangkap. Dan ini tentu kudamu, bukan?"

   Ia menuding ke arah bangkai kuda yang rebah di situ.

   Muryani mengerutkan alisnya. Ia menyadari bahwa laki-laki jangkung bernama Darsikun tadi tentulah orang yang memantu Wiroboyo sehingga sampai berhasil membunuh ayahnya dan dulu melukainya.Orang itu sakti dan dua orang musuhnya itu berbahaya sekali. Akan tetapi betapa mudahnya tadi ia melihat nenek ini mengalahkan mereka. Setelah berpikir sejenak, ia lalu menjatuhkan diri berlutut depan batu yang diduduki nenek itu dan berkata.

   "Saya akan menceritakan semua kalau eyang sudah menerima saya menjadi murid. Eyang, sudilah kiranya eyang menerima saya sebagai murid!"

   Sejenak nenek itu termangu, memandang kepada gadis yang berlutut sambil menundukkan mukanya itu.

   "Coba angkat mukamu dan pandang aku!"

   Perintahnya.

   Muryani mengangkat muka dan memandang wajah nenek itu dengan sinar mata tajam. Matanya yang mencorong itu agaknya menyenangkan hati nenek itu. Sejenak dua pasang mata itu bertemu pandang saling selidik. Nenek itu mengamati wajah yang ayu manis itu dan ia tersenyum. Bukan hanya sikap keras gadis itu yang menarik hatinya, juga wajah ayunya pun menyenangkan hatinya.

   "Agaknya engkau seorang gadis yang pernah mempelajari ilmu kanuragan. Murid siapakah engkau?"

   "Saya pernah belajar ilmu silat di perguruan Bromo Dadali, eyang."

   "Ah, heh-heh-heh! Kiranya engkau murid Ki Ageng Branjang ketua Bromo Dadali di Gunung Muria? Coba kauperlihatkan apa yang pernah kaupelajari di sana.agar aku mengetahui sampai di mana tingkatmu. Hayo mulai!"

   Kembali nenek itu memerintah.

   Muryani yang merasa yakin bahwa nenek ini seorang sakti mandraguna, tidak ragu-ragu lagi. Setelah menyembah, ia lalu bangkit berdiri dan rnulai bersilat di depan nenek itu. Ia membuka gerakannya dengan pasangan kuda-kuda Dadali Anglayang, kemudian mulai bersilat dan sengaja mengerahkan seluruh kecepatan dan tenaganya. Bahkan beberapa kali ia memukul dengan dengan Aji Bromo Latu sehingga terasa oleh nenek itu hawa panas keluar dari pukulan itu.

   "Cukup!"

   Nenek itu berseru dan Muryani menghentikan gerakannya, lalu menjatuhkan diri lagi duduk bersimpuh di depan batu yang diduduki nenek itu.

   😗

   

   "Kemampuan saya masih rendah, eyang,"

   Kata Muryani merendah.

   "Hemm, memang masih belum dapat diandalkan dan mengandung banyak kelemahan. Ki Ageng Branjang agaknya masih belum pandai mengajarkan ilmu silat pada muridnya, atau memang barangkali hanya sampai sekian saja tingkat kepandaiannya."

   Ucapan nenek itu mengandung ketinggian hati yang memandang rendah kemampuan orang lain sehingga diam-diam Muryani merasa tidak senang dan mengerutkan alisnya. Ia menganggap nenek itu terlalu sombong dan merendahkan gurunya yang menjadi ketua Bromo Dadali. Akan tetapi tentu saja ia diam saja, tidak berani menyatakan perasaan tidak senangnya dengan kata-kata.

   "Aha, engkau tidak percaya padaku dan menganggap aku membual?"

   Tiba-tiba nenek itu bertanya.

   Muryani menjadi terkejut.

   "Ah, bukan begitu, eyang, akan tetapi...

   "

   "Sudahlah, hayo bangkitlah, cepat!"

   Perintah ini mengandung suara sedemimikian penuh wibawa sehingga mau tidak mau Muryani bangkit juga.

   "Hayo serang aku dengan ilmumu yang paling ampuh, pergunakan pukulanmu yang mengandung hawa panas tadi!"

   Muryani terkejut.

   "Akan tetapi...."

   "Tidak ada tapi! Apa kau tidak percaya bahwa aku akan mampu menahan pukulanmu? Hayo cepat pukul!"

   Terpaksa Muryani lalu mengerahkan Aji Bromo Latu, yaitu ilmu pukulan yang merupakan aji pamungkas yang menjadi andalan perguruan Bromo Dadali, kemudian memukul ke arah dada nenek itu. Akan tetapi ia hanya mengerahkan sebagian dari tenaganya saja karena ia tidak ingin melukai nenek tua renta itu.

   "Awas serangan saya, eyang!"

   Ia masih memperingatkan dan pukulan tangan kanannya yang terbuka itu menyambar ke depan.

   "Wuuutttt..., dess.... !!"

   Tubuh Muryani terpental ke belakang dan ia terhuyung-huyung. Hawa pukulannya yang mengandung panas tadi seperti membentur sesuatu yang lunak namun lentur, yang membuat tenaga pukulannya membalik sehingga ia tak datat mempertahankan diri lalu terhuyung. Muryani terkejut sekali.

   "Ke sinilah kau!"

   Nenek itu membentak dan Muryani melangkah maju menghampiri.

   "Hemm, bocah tolol! Kalau engkau tidak percaya akan kemampuanku, mau apa engkau ingin menjadi muridku? Engkau memukul hanya dengan tenaga sebagian saja. Engkau takut kalau, aku terluka. Begitu rendahkah engkau menilai aku?"

   Muryani beradu pandang dengan nenek itu dan ia terkejut. Sinar mata nenek itu mencorong seolah menembus sampai hatinya!

   "Saya tidak berani, eyang,"

   Katanya lirih.

   "Kalau tidak berani memandang rendah hayo pukul lagi aku dengan seluruh tenagamu. Aku ingin mengukur tingkatmu, tahu?"

   Muryani lalu memasang kuda-kuda mengumpulkan seluruh tenaganya. Ia kini percaya penuh akan kesaktian nenek itu. Setelah mengerahkan seluruh tenaga, memukul dengan dorongan kedua tela pak tangannya ke arah tubuh nenek yang masih duduk di atas batu itu sambil berseru.

   "Maafkan saya, eyang!"

   Dahsyat sekali Aji Bromo Latu yang dipergunakan Muryani untuk melakukan pukulan itu. Dari kedua telapak tangannya menyambar hawa yang amat panas, mendahului tenaga pukulan yang dahsyat.

   "Wuuuttt.... blarrr....!"

   Tubuh Muryani tepental jauh dan ia terbanting jatuh, tidak dapat bangkit kembali karena ia telah jatuh pingsan lagi!

   Nenek itu turun dari atas batu, menghampiri Muryani dan berjongkok di dekatnya, menggunakan jari tangan kanan menotok tiga kali ke arah ulu hati, di antara sepasang payudaranya, kemudian mengurut bagian tengkuknya. Muryani mengeluh lirih dan membuka matanya. Ketika melihat nenek itu berjongkok di dekatnya, ia cepat bangkit lalu duduk menyembah dengan hormat.

   "Maafkan saya yang bodoh dan lemah,"

   Katanya lirih.

   "Hik-hik, sekarang aku telah mengukur tingkatmu. Engkau boleh juga, sudah mewarisi dasar-dasar aji kesaktian yang lebih tinggi. Tidak sukar bagimu untuk melatih dan menguasai ilmu-ilmuku yang tinggi."

   "Ah, kalau begitu eyang menerima saya menjadi murid?"

   Nenek itu tersenyum dan mengangguk. Muryani girang sekali dan ia lalu menyembah-nyembah.

   "Eyang guru, terimalah sembah sujud saya!"

   Katanya.

   Nenek itu menyentuh pundaknya dan bagaikan kemasukan hawa yang amat kuat Muryani tersentak bangun berdiri. Nenek itupun sudah berdiri lalu duduk kembali di atas sebuah batu.

   "Duduklah di sini dan sekarang ceritakan semua tentang dirimu, siapa engkau dan apa yang terjadi denganmu sampai kita saling berjumpa di sini."

   Muryani lalu mengambil tempat duduk di atas batu, di sebelah nenek itu.

   "Eyang guru yang mulia. Nama saya Muryani. Mendiang ayah saya tinggal di dusun Pakis di Gunung Lawu. Sejak kecil saya ikut nenek saya di Demak sedangkan mendiang ayah meninggalkan Demak dan pergi merantau sampai ke Gunung Lawu. Ketika saya ikut nenek itulah saya menjadi murid perguruan Bromo Dadali. Ketika saya berusia enam belas tahun, baru setahun lalu, nenek saya di Demak sakit dan meninggal dunia. Ayah lalu membawa saya ke Pakis."

   Muryani lalu bercerita tentang Ki Demang Wiroboyo yang hendak mengambilnya sebagai selir dan betapa ia memberi pelajaran kepada Ki Wiroboyo yang mata keranjang itu. Diceritakannya pula tentang warok Surobajul yang diundang Ki Wiroboyo untuk menculiknya dan betapa akhirnya Warok Surobajul tewas dikeroyok penduduk dan Ki Wiroboyo diusir dari dusun.

   "Akan tetapi ternyata Wiroboyo menaruh dendam. Pada suatu malam, kurang lebih sebulan yang lalu, rumah kami kedatangan penjahat yang telah membunuh ayah dan melukai saya. Ayah saya, Ki Ronggo Bangak, tewas oleh pukulan jarak jauh. Setelah saya sembuh, saya lalu pergi meninggalkan Pakis untuk mencari Wiroboyo, dan saya menduga bahwa tentu dia yang berdiri di belakang pembunuhan terhadap ayah dan penyerangan terhadap saya itu. Dari rumah mendiang Warok Surobajul saya mendapatkan keterangan tentang rumah Wiroboyo dan ketika saya mengunjungi rumahnya, saya mendapat keterangan bahwa Wiroboyo baru saja meninggalkan rumahnya menuju ke utara. Saya lalu mengejarnya dan di hutan ini saya melihat dia berlari di depan. Saya mengejar, akan tetapi tiba-tiba kuda saya roboh terkena anak panah. Saya ikut terbanting dan tidak ingat apa-apa lagi.

   Ketika siuman, saya melihat eyang guru berkelahi melawan mereka dan mengusir mereka. Demikianlah eyang, keadaan saya. Menyaksikan kesaktian eyang, maka saya mohon menjadi murid agar saya memiliki kesaktian seperti eyang sehingga dapat membalas dendam kematian ayah saya dan

   membasmi penjahat-penjahat yang berkeliaran di permukaan bumi ini."

   "Hemm, setelah engkau menjadi muridku, Muryani, engkau harus dapat memenuhi syarat-syarat yang harus kautaati."

   "Apakah syarat-syarat itu, eyang guru?"

   "Yang pertama, walaupun dalam berapa tahun ini aku ingin mewariskan semua ilmuku kepadamu, akan tetapi terlarang keras padamu untuk memperkenalkan aku sebagai gurumu. Orang menyebut aku Nyi Rukmo Petak (Rambut Putih) dan namaku sendiri dulu adalah Ken Lasmi. Akan tetapi hanya telingamu saja yang mendengar nama dan julukanku itu. Engkau tidak boleh mengatakannya kepada siapapun juga sebelum aku mati!"

   "Perintah eyang guru ini aneh sekali, akan tetapi saya berjanji untuk mematuhinya,"

   Kata Muryani dengan tegas dan janji ini memang keluar dari lubuk hatinya.

   "Syarat kedua, engkau tidak boleh sekali-kali mempergunakan ilmu-ilmu yang kau pelajari dariku untuk melakukan kejahatan."

   "Saya bukan orang jahat yang suka melakukan kejahatan, eyang guru!"

   Kata Muryani tegas karena kata-kata ini menyinggung perasaannya.

   "Bagus kalau begitu. Syarat ketiga, kau tidak boleh jatuh cinta kepada seorang pria yang tidak mencintaimu. Kalau engkau memaksakan cintamu kepada seorang pria yang tidak mencintaimu, hidupmu akan terkutuk dan selama hidupmu engkau akan menderita sengsara!"

   Wajah Muryani menjadi kemerahan. Entah mengapa, tiba-tiba saja wajah Parmadi membayang di depan pelupuk matanya. Ia mengeraskan hatinya dan berkata.

   "Saya bukan seorang wanita yang tidak tahu malu, eyang. Saya tidak akan sudi memaksakan cinta saya kepada seorang pria yang tidak mencintai saya!"

   NENEK itu tersenyum.

   "Heh, mudah saja berkata begitu. Akan tetapi sekali engkau jatuh cinta dan tergila-gila kepada seorang pria, baru engkau tahu apa yang kumaksudkan. Sekarang syarat yang keempat atau yang terakhir. Ingat baik-baik pesanku yang terakhir ini. Aku ingin agar engkau tidak melupakan dua nama, yaitu Retno Susilo dan suaminya yang bernama Tejomanik atau Sutejo. Mereka itu, terutama Retno Susilo, adalah orang yang kukasihi, bahkan wanita itu dahulu pernah menjadi muridku yang terkasih. Karena itu aku berpesan padamu, kalau engkau kelak bertemu Retno Susilo, bantulah ia dalam segala hal seperti engkau membantu aku sendiri."

   "Baik, eyang guru. Akan saya ingat selalu pesan eyang guru."

   "Nah, mulai sekarang engkau ikut denganku ke manapun aku pergi, dan engkau harus mentaati semua perintahku, dengan tekun melatih semua aji kanuragan yang kuajarkan,"

Kata nenek itu dan nada suaranya masih mengandung kekerasan yang tidak dapat dibantah lagi. Muryani mengikuti nenek itu menuju ke timur dan ternyata nenek yang berjuluk Nyi Rukmo Petak itu tinggal sebagai seorang pertapa di Bukit Ular yang terletak di Pegunungan Anjasmoro.

   Nyi Rukmo Petak ini dahulu bernama Ken Lasmi, seorang gadis cantik jelita dan terkenal di mana-mana sebagai seorang gadis yang sakti mandraguna. Kemudian Ken Lasmi bertemu dengan seorang pemuda gagah perkasa bernama Harjodento yang kemudian menjadi ketua perguruan Nogo Dento di daerah Ngawi. Ken Lasmi tergila-gila kepada Harjodento. Akan tetapi pemuda yang semula mencintanya, akhirnya meninggalkannya setelah mengetahui Ken Lasmi memiliki watak yang kejam dan mudah membunuh orang yang dia nggap bersalah atau menentangnya.

   Harjodento meninggalkannya, kemudian pendekar ini menikah dengan seorang gadis lain bernama Padmosari yang juga seorang wanita yang digdaya. Ken Lasmi merasa sakit hati sekali ditinggalkan Harjodento yang dicintanya, apalagi mendengar pemuda itu menikah dengan gadis lain. Pada malam pengantin, Ken Lasmi menyerbu rumah Harjodento dan berusaha membunuh Padmosari dianggap telah merebut kekasihnya. Akan tetapi ia dapat dikalahkan oleh Harjodento yang membantu isterinya. Ken Lasmi masih penasaran. Berulang kali dicobanya untuk membunuh Padmosari, namun selalu gagal karena selain Padmosari juga bukan wanita lemah, terutama karena tingkat kepandaian Harjodento lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Ken Lasmi. Hal ini membuat Ken Lasmi jengkel, sakit hati dan berduka serta mendadak rambut di kepalanya berubah putih semua! Sejak saat itulah ia lebih dikenal dengan sebutan Nyi Dewi Rukmo Petak! Ia mendendam sakit hati yang amat mendalam dan meningkatkan ilmu kepandaiannya. Namun tetap saja ia tidak dapat mengungguli suami isteri itu. Empat tahun telah lewat sejak Harjodento menikah dengan Padmosari dan suami isteri ini mendapatkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Tejomanik yang telah berusia tiga tahun. Dan terjadilah malapetaka bagi suami isteri itu. Tejomanik yang baru berusia tiga tahun itu pada suatu hari lenyap! Tentu saja penculiknya adalah Rukmo Petak.

   Akan tetapi, anak itu ditolong oleh orang pendeta sakti bernama Bhagawan Sindusakti yang kemudian merawat mendidik anak itu karena tidak diketahui siapa orang tuanya. Adapun Nyi Rukmo Petak lalu mengambil seorang anak perempuan bernama Retno Susilo sebagai murid. Ia menyayangi anak itu dan menurunkan semua ilmunnya. Setelah Retno Susilo menjadi gadis Nyi Rukmo Petak mengutusnya untuk membunuh Harjodento dan Padmosari!

   Akan tetapi apa yang terjadi? Retno Susilo bertemu dan saling jatuh cinta dengan seorang pemuda bernama Sutejo yang bukan lain adalah Tejomanik! Mengetahui ini, Nyi Rukmo Petak berhasil membujuk Sutejo, menceritakan betapa jahatnya Harjodento dan Padmosari, sehingga Sutejo mau membantu Retno Susilo untuk membunuh suami isteri yang sesungguhnya orang tuanya sendiri itu. Nyi Rukmo Petak merasa girang dan puas bukan main. Ia dapat mengadu suami isteri musuh besarnya itu dengan anak mereka sendiri! Dan usahanya itu hampir berhasil. Namun kemudian gagal karena ulahnya sendiri.

   Ia mengintai dan menonton pertempuran itu. Melihat betapa Harjodento dan Sutejo samasama terluka, ia keluar dan menertanwakan suami isteri itu! Setelah Sutejo dan Harjodento tahu bahwa mereka adalah ayah dan anak, mereka menandingi Nyi Rukmo Petak. Biarpun sudah terluka, mereka berempat, Sutejo, Harjodento, Padmosari dibantu Retno Susilo yang menentang gurunya sendiri yang dianggapnya jahat.

   Nyi Rukmo Petak kalah dan melarikan diri. Sejak saat itulah ia menjadi pertapa dan perlahan-lahan dapat menyadari kesalahannya dan ia bertaubat tidak lagi mau berbuat kejam, tidak mau membunuh orang, biarpun wataknya yang keras masih ada bekasnya. Kebetulan pada hari itu ia melihat Muryani tertawan oleh Wiroboyo dan Darsikun. Ia marah, akan tetapi tidak mau membunuh mereka.

   Melihat Wajah dan watak Muryani yang keras, timbul rasa sukanya dan ia lalu mengambil gadis itu sebagai muridnya, mengajaknya pulang ke Bukit Ular di Pegunungan Anjasmoro, Kurang lebih empat tahun lamanya! Muryani digembleng oleh Nyi Rukmo Petak di Bukit Ular. Ia belajar dengan tekin sekali dan mewarisi berbagai aji kesaktian yang hebat. Nyi Rukmo Petak terkenal sekali dengan ilmunya meringankan tubuh sehingga ia dapat bergerak cepat seperti menghilang. Ilmu ini disebut Aji Kluwung Sakti yang kini dapat dikuasai Muryani. Selain itu iapun menguasai Aji Gelap Sewu, semacam pukulan tenaga sakti dahsyat dan juga ilmu pukulan yang mengerikan, yang disebut Aji Wiso Sarpo, (bisa Ular). Pukulan ini kalau dipergunakan dengan aji tersebut, mengandung hawa racun sehingga akibatnya, yang terkena pukulannya akan keracunan seperti tergigit ular berbisa!

   Selain tiga ilmu yang dahsyat ini, Muryani juga diberi ilmu pawang ular. Semua ular, betapa liar dan berbisapun, akan menjadi jinak dan tunduk kepadanya! Setelah ia tamat belajar, pada suatu malam Nyi Rukmo Petak mengajukan permintaan yang amat aneh bagi Muryani.

   "Muryani, malam ini aku ingin engkau menemaniku. Aku ingin tidur sepembaringdan sebantal denganmu!"

   Tentu saja Muryani merasa heran sekali. Akan tetapi ia tidak berani membantah. Ketika malam tiba, ia merebahkan diri di samping gurunya, tidur berbagi bantal. Muryani merasa terharu sekali ketika Nyi Rukmo Petak merangkul dan menciuminya sambil berulang kali berbisik.

   "Anakku..., cucuku..., yang terkasih".!"

   Dan ia merasa betapa pipinya basah terkena air mata, yang keluar dari mata nenek itu. Gurunya, Nyi Rukmo Petak yang berhati sekeras baja itu menangis!

   Teringat akan keadaan dirinya sendiri. Neneknya telah meninggal dunia. Ibunya telah meninggal dunia sejak ia kecil, dan ayahnya juga meninggal dunia dibunuh orang. Ia menyadari bahwa pada saat itu ia tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini kecuali Nyi Rukmo Petak sebagai gurunya dan pengganti nenek atau ibunya! Maka, keharuan mendorongnya untuk balas memeluk tubuh nenek itu dan keduanya bertangisan!

   Setelah reda tangisnya, Muryani bertanya kepada Nyi Rukmo Petak yang masih merangkulnya.

   "Eyang guru, apakah eyang tidak mempunyai anak atau cucu?"

   "Aku""

   Aku tidak pernah menikah Muryani,"

   Jawab nenek itu lirih dan suaranya menjadi parau karena tangis.

   "Akan tetapi kenapa, eyang? Eyang dahulu tentu seorang wanita yang amat cantik. Sekarangpun masih tampak bekas kecantikan eyang, tentu banyak pria yang jatuh cinta kepada eyang."

   Nenek itu menghela napas dan melepaskan rangkulannya untuk menyusut air matanya.

   "Pria yang kucinta membelakangiku.... dia menikah dengan wanita lain dan sejak itu aku tidak pernah berdekatan dengan pria lain. Aku tidak mau menikah dengan pria lain."

   "Ah, dia jahat sekali, membikin hidup eyang merana dengan menolak cinta eyang!"

   Kata Muryani penasaran. Ingin ia menghajar laki-laki yang membuat eyang gurunya patah hati dan sengsara seperti itu.

   "Tidak, Muryani. Dia sama sekali tidak jahat. Bahkan dia seorang pendekar gagah perkasa dan bijaksana. Akulah yang jahat. Dahulu aku seorang gadis yang galak, liar dan kejam. Aku yang jahat dan karena itulah dia menolak cintaku. Masih ingat akan syarat ketiga yang kuajukan kepadamu?"

   Muryani mengangguk.

   "Saya tidak boleh jatuh cinta kepada seorang pria yang tidak mencintaiku. Ah, jadi itukah sebabnya mengapa eyang mengajukan syarat seperti itu?"

   "Benar, Muryani. Aku sangat sayang kepadamu dan aku tidak ingin engkau kelak hidup menderita seperti aku. Muryani, muriqku, anakku, cucuku, peluk dan ciumlah aku sekali lagi setelah itu tinggalkan aku, tidurlah di kamarmu sendiri."

   Muryani memeluk dan menciumi kedua pipi gurunya.

   "Eyang, saya ingin menemani eyang semalam penuh, tidur di sini. Saya juga amat sayang kepada eyang."

   "Tidak, Muryani. Cukup sudah bagiku Kasih sayangmu membahagiakan aku. Sungguh. Aku berterima kasih kepada Gusti Allah yang mempertemukan aku denganmu. Aku lelah sekali. Tinggalkanlah aku sendiri, aku akan bersamadhi."

   Terpaksa Muryani turun dari atas pembaringan. Akan tetapi sebelum ia keluar dari kamar itu, gurunya berkata, suaranya lirih dan tersendat, agaknya napasnya sesak.

   "Muryani, jangan lupa... besok, setelah sinar matahari menyentuh pondok, kaubakarlah pondok ini sampai semua menjadi abu."

   Muryani terkejut bukan main.

   "Eyang guru! Apa artinya ini? Kenapa saya harus membakar pondok ini?"

   "Sudahlah, jangan banyak bertanya. Taati saja semua pesan dan perintahku. Engkau akan mengerti sendiri besok. Tidurlah, Muryani, sayangku...."

   Muryani ingin merangkul lagi, akan tetapi takut kalau gurunya yang keras hati itu marah. Ia lalu keluar dari kamar itu, dengan hati-hati menutupkan daun pintunya, kemudian memasuki kamarnya sendiri. Akan tetapi semalam itu ia tidak dapat tidur pulas. Ia selalu ingat kepada gurunya, ingat kepada keadaan diri sendiri, ingat akan semua pesan gurunya dan bertanya-tanya apa yang akan dilakukan gurunya besok. Kenapa ia harus membakar pondok!

   Pagi-pagi sekali ia keluar dari kamarya, dengan tubuh terasa lesu karena kurang tidur. Ia melangkah dengan hati-hati agar jangan mengagetkan gurunya yang sedang tidur. Ia pergi mandi di pancuran air yang berada di belakang pondok. Berganti pakaian lalu memasak air untuk membuatkan minuman bagi gurunya.

   Ia tidak melihat Nyi Rukmo Petak keluar dari kamarnya. Padahal, biasanya nenek itu sudah bangun pagi-pagi sekali dan kesukaannya duduk di luar pondok, di atas bangku menikmati kesejukan udara pagi. Setelah, ia menyelesaikan semua pekerjaan pagi dan melihat sinar matahari mulai mengintai dari balik puncak dan menyinari pondok, Muryani menjadi kaget karena ia teringat akan pesan gurunya agar ia membakar pondok setelah sinar matahari menyentuh pondok! Jantungnya berdebar tegang dan cepat ia memasuki pondok. Ada perasaan tidak enak di hatinya. Di depan pintu kamar gurunya ia meragu. Biasanya, ia tidak pernah berani memasuki kamar gurunya tanpa dipanggil. Akan tetapi hatinya merasa tidak enak dan jantungnya berdebar. Diketuknya pintu kamar itu perlahan.

   "Tok-tok-tok"

   Muryani menunggu, mengerahkan pendengarannya. Tidak ada jawaban, bahkan tidak terdengar gerakan sedikitpun juga di dalam kamar itu. Muryani merasa semakin tegang dan tidak enak hatinya. Biasanya, gurunya itu memiliki pendengaran yang peka sekali. Dalam keadaan tidur sekalipun, kalau terdengar suara yang tidak wajar gurunya pasti terbangun. Setelah mengetuk pintu sekali lagi dan tetap tidak ada jawaban, ia memberanikan diri mendorong daun itu perlahan. Daun pintu yang tak pernah diganjal, selalu hanya ditutup begitu saja dengan mudah terbuka. Muryani melangkah masuk. Cuaca dalam kamar masih gelap remang-remang karena jendela kamar itu masih tertutup dan tidak ada lampu penerangan di dalam kamar. Setelah pandang matanya dapat disesuaikan dengan keremangan kamar itu, Muryani dapat melihat sosok tubuh gurunya duduk bersila menghadap ke luar. Sepasang mata nenek itu terpejam, agaknya tenggelam ke dalam samadhinya. Muryani tidak berani mengganggu gurunya yang tampaknya sedang bersamadhi itu. Akan tetapi, perasaan tidak enak dalam hatinya memaksa ia memberanikan diri melangkah maju menghampiri pembaringan itu.

   "Eyang".

   "

   Panggilnya lirih. Sosok tubuh nenek itu tidak menjawab, tidak bergerak dan yang membuat hati Muryani berdebar tegang dan gelisah adalah ketika ia mengerahkan pendengarannya, ia tidak menangkap pernapasan gurunya!

   "Eyang". ?"

   Ia memanggil lagi, agak keras.

   Nenek berambut putih itu tetap tidak menjawab dan tidak bergerak, seolah tubuhnya telah menjadi arca.

   "Eyang".

   "

   Ia menghampiri dan menyentuh pundak nenek itu. Ketika ia mendorongnya, tubuh Nyi Rukmo Petak terjengkang dan roboh telentang dalam keadaan kedua kaki masih bersila dan kedua tangan menyembah di depan dada!

   "Eyang". !"

   Muryani merangkul dan ternyata tubuh gurunya itu telah kaku dan dingin. Gurunya telah mati dalan keadaan duduk bersila! "Eyanggg..... ah, eyang telah mati"".. !"

   Muryani menangis sambil memeluk tubuh nenek itu dan menciumi mukanya sehingga muka jenaza nenek itu basah oleh air matanya. Setelah tangisnya mereda, ia teringat akan pesan nenek itu.

   "Eyang guru ingin mati dalam keadaan duduk bersamadhi dan ingin jenazahnya dibakar bersama pondok ini."

   Setelah berkata kepada dirinya sendiri, Muryani lalu merangkul kedua pundak nenek itu dan membangkitkannya kembali, duduk bersila seperti tadi. Jenazah itu kaku dan ketika didudukkan, seperti arca, tidak terguling kembali. Kamar itu mulai terang dan Muryani melihat bahwa nenek ilu telah berganti pakaian, mengenakan pakaian serba putih yang bersih. Rambutnya yang putih digelung rapi, dan tongkat ular kobra kering berada di dekatnya. Betapa hebat gurunya, pikir Muryani kagum. Pasti sudah tahu bahwa saat kematiannya segera tiba, maka ia berpesan kepada muridnya untuk membakar pondok itu.

   Muryani berlutut di depan pembaringan, di depan jenazah nenek yang duduk bersila itu, menyembah dengan sikap hormat.

   "Baiklah, eyang. Saya akan mentaati pesan dan perintah eyang. Saya akan membakar pondok ini."

   Setelah memberi hormat, Muryani berkemas, mengumpulkan pakaiannya, membungkusnya dengan kain, memasukkan perhiasan-perhiasan emas, milik yang dibawanya ketika meninggalkan Dusun Pakis dan selama ini tak pernah dipakainya. Kemudian ia menggendong buntalan itu dan kembali memasuki kamar Nyi Rukmo Petak. Je'nazah itu masih duduk bersila seperti arca.

   Muryani menjatuhkan diri berlutut lagi di depan jenazah itu.

   "Eyang, saya akan melaksanakan pesan dan perintah eyang, membakar pondok ini. Selamat tinggal, eyang."

   Ia meragu, masih berlutut karena pada saat itu ia teringat akan wejangan mendiang ayahnya, Ki Ronggo Bangak. Ayahnya dulu pernah berkata bahwa kematian merupakan kelanjutan daripada kehidupan Yang mati dan akhirnya lenyap menjadi tanah hanyalah jasadnya, badannya. Namun rohnya tidak akan lenyap, melainkan ke alam lain, ke alam baka. Jadi, bukan ia yang meninggalkan gurunya. Yang akan ia tinggalkan hanyalah bekas tubuh yang tadinya dihuni roh gurunya dan kini tubuh itu ditinggalkan karena sudah lapuk, sudah tua. Roh gurunyalah yang meniggalkannya!

   "Selamat jalan, eyang".. !"

   La berkata lagi, bangkit dan mencium wajah jenazah itu lalu keluar dari situ, keluar dari pondok yang didiaminya bersama Nyi Rukmo Petak selama kurang lebih empat tahun.

   Setelah tiba di luar pondok, Muryani menggantungkan buntalan pakaiannya padasebatang pohon, kemudian ia mengumpulkan daun dan kayu kering, ditumpuk di dalam dan sekeliling pondok. Setelah merasa cukup, ia menyalakan api dan membakar tumpukan daun dan jerami serta kayu kering di luar pondok. Pondok itu segera terbakar. Api bernyala, berkobar, membubung ke atas disertai bunyi ledakan-ledakan kayu dan bambu yang dimakan api.

   Muryani menonton dari bawah pohon, hatinya terharu dan ketika atap pondok yang terbakar itu runtuh, ia memejamkan matanya. Suara menggelegarnya guntur membuat Muryani membuka matanya dan baru ia melihat bahwa di angkasa terdapat banyak awan mendung. Ia tadi tidak memperhatikan dan tidak merasa bahwa cuaca semakin gelap. Hal ini tidaklah aneh karena memang pada waktu itu sudah ada musim hujan. Melihat mendung yang bergumpal tebal di atas itu timbul kekhawatiran dalam hati Muryani. Diam-diam ia berdoa dalam hatinya agar hujan jangan turun dulu sebelum jenazah gurunya terbakar sempurna menjadi abu.

   Mungkin doanya terkabul. Kenyataanya, hujan belum juga turun sedangkan nyala api semakin lahap memakan pondok dan semua isinya. Akhirnya, nyala api padam dan yang tinggal hanya asap yang makin lama semakin berkurang. Muryani melihat bahwa bekas pondok itu kini telah menjadi abu semua, rata dengan tanah. Tentu jenazah gurunya sudah menjadi abu dan hancur ketika tertimpa atap yang runtuh. Ia belum dapat mencari abu jenazah gurunya karena asap masih mengepul di sana-sini tanda bahwa masih terdapat api yang membara.

   Ketika asap mulai menipis dan ia sudah melangkah dari bawah pohon hendak menghampiri tumpukan puing dan abu itu, tiba-tiba tampak kilat menyambar disertai geledek yang menggelegar. Muryani sudah mendengar cerita tentang bahayanya kilat dan geledek itu, maka cepat ia surut kembali ke bawah pohon besar. Pada saat itu, hujan turun dari langit seperti dituangkan. Kandungan mendung agaknya sudah terlampau berat sehingga akhirnya bobol dan air yang berjatuhan merupakan tetesan yang besar-besar dan deras sekali. Melihat ini, Muryani menyambar buntalannya dan larilah secepatnya ke arah barat. Tak jauh dari situ terdapat sebuah guha yang cukup besar dan ke guha inilah ia berlari untuk berlindung. Dalam hujan sederas itu, pohon takkan mampu melindunginya dan ia akan basah kuyup, termasuk pakaian dalam buntalannya.

   Hujan turun dengan deras sekali dan cukup lama. Muryani melihat betapa air yang berwarna kuning kemerahan, air hujan bercampur tanah, membanjir di depan guha, mengalir ke bagian yang lebih rendah. Ia tidak dapat melihat bekas pondok gurunya dari dalam guha itu. Hatinya gelisah. Ia tahu bahwa pondok itu didirikan di bagian paling tinggi dari puncak Biasanya, di waktu turun hujan deras, ia sering melihat air hujan menjadi sunga yang membanjir turun dari sekeliling pondok. Ia tidak dapat membayangkan apa yang terjadi dengan puing dan abu pondok yang terbakar habis itu sekarang.

   Hampir setengah hari lamanya hujan turun. Deras dan tiada hentinya. Ketika akhirnya hujan reda dan langit sudah mulai bersih dari awan mendung, tampak sinar matahari yang sudah mulai condong ke barat. Sudah lewat tengah hari. Muryani meninggalkan buntalan pakaiannya dalam guha ketika ia keluar dari tempal perlindungan itu karena masih turun gerimis kecil mengakhiri hujan lebat. Ia langsung menuju ke tempat di mana pondok itu terbakar.

   Ketika ia tiba di situ, ia tercengang terpukau berdiri seperti berubah menjadi arca. Matanya terbelalak, mulutnya te nganga. Pondok itu tak tampak bekasn sama sekali! Puing dan abu pondok itu tidak ketinggalan sedikitpun juga! Agaknya semua disapu bersih oleh banjir, terhawa hanyut air hujan yang menjadi seperti sungai itu. Habis sama sekali, tinggal bekas lantai pondok dari tanah liat yang tampak mengkilap licin dicuci air hujan! Abu jenazah Nyi Rukmo Petak sudah lenyap, tidak ada bekasnya sedikit pun juga.

   Akhirnya Muryani dapat mengatasi guncangan hatinya dan ia menjadi sadar dan tenang kembali. Ia berdiri dan merangkap kedua tangan dalam bentuk sembah, menyentuh ujung hidungnya dengan sepasang ibu jari dan berbisik.

   "Selamat jalan, eyang".. !"

   Hujan telah berhenti sama sekali. Matahari tersenyum cerah. Hawa udara menjadi demikian hangat, nyaman dan bersih. Semua kotoran telah disapu bersih oleh air hujan. Daun-daun pohon berkilauan dalam warna hijau yang segar dan bersih. Bau tanah dan tanam-tanaman menghambur sedap dan menyehatkan.

   Muryani menuruni puncak sambil menggendong buntalan pakaiannya. Ia harus berjalan hati-hati sekali karena banya tanah lereng yang longsor dan hujan membuat tanah menjadi licin. Terpeleset dapat membawa maut karena terjerumus ke dalam jurang!

   Akan tetapi Muryani sekarang berbeda sekali dari Muryani empat tahun yang lalu. Kalau dulu Muryani sudah merupakan seorang gadis murid Perguruan Bromo Dadali yang digdaya, sekarang ia adalah seorang gadis dewasa yang sakti mandraguna! Nyi Rukmo Petak telah mewariskan seluruh aji kesaktiannya kepada Muryani. Ilmu meringankan tubuh yang amat terkenal dari Nyi Rukmo Petak, yang membuat ia dapat bergerak cepat sekali yaitu Aji Kluwung Sakti, telah dikuasai Muryani. Juga pukulan jarak jauh berdasarkan tenaga sakti, yaitu Aji Gelap Sewu, dan pukulan yang mengandung hawa beracun, yaitu Aji Wiso Sarpo.

   Bukan saja kesaktian gadis itu yang bertambah hebat, akan tetapi juga kecantikannya. Bagaikan bunga, ia telah mekar indah. Bagaikan buah, ia telah masak. Ia telah menjadi seorang gadis dewasa berusia duapuluh satu tahun. Sepasang matanya yang seperti bintang itu kini dapat mencorong penuh wibawa yang amat kuat. Begitu sempurna Muryani menguasai Aji Kluwung Sakti sehingga licinnya tanah yang dilaluinya ketika ia menuruni puncak, tidak merupakan halangan baginya. Kedua kakinya demikian ringan melangkah, bahkan makin lama tubuhnya meluncur turun semakin cepat bagaikan terbang saja!

   Muryani menuruni Bukit Ular di Pegunungan Anjasmoro. Bukit Ular itu merupakan bukit yang ditakuti orang. Tidak ada orang berani mendaki bukit itu, baik dia pemburu atau pencari kayu, karena bukit itu terkenal dihuni banyak ular. Ada ular yang besar sekali yang mampu menelan tubuh seekor babi hutan, dan banyak ular-ular kecil yang berbisa. Ketika menuruni bukit, Muryani melihat banyak ular. Agaknya mereka itu hanyut terbawa air yang membanjir. Akan tetap ia sama sekali tidak merasa takut atau ngeri. Setelah ia menguasai ilmu pawing ular yang diajarkan oleh Nyi Rukmo Petak, ia sudah biasa bermain-main dengan ular-ular berbisa.

   Karena ia menuruni Bukit Ular dengan menggunakan Aji Kluwung Sakti maka sebentar saja ia sudah tiba di kaki bukit. Tiba-tiba ia mendengar suara jerit ketakutan seorang anak kecil. Cepat berlari menuju ke arah suara itu. Ia melihat seorang anak lakilaki yang usianya sekitar delapan tahun dan agaknya tadi bermain-main dan mandi di air hujan yang tergenang di selokan tepi sawah. Anak laki-laki itu telanjang bulat dan dia berdiri terbelalak dengan muka pucat. Di depannya, hanya dalam jarak kurang dari dua meter, tampak seekor ular kobra sebesar lengan orang dewasa, mengangkat kepala dan lehernya yang mekar itu ke atas, moncongnya mendesis-desis dan binatang itu siap mematuk. Pengetahuannya tentang ular membuat Muryani maklum bahwa ular berbisa itu sedang marah dan siap untuk menyerang. Cepat sekali tubuh Muryani berkelebat ke depan dan in sudah mengerahkan Aji Wiso Sarpo.

   Ular itu terkejut dan menjadi semakin marah ketika melihat ada orang menghadapinya dan melindungi bocah itu. Akan tetapi ketika Muryani menggerak-gerakkan kedua lengannya yang melenggok seperti dua ekor ular, ular kobra itu tiba-tiba menurunkan kepalanya. Muryani berjongkok di depan anak itu, menghadapi ular yang berada dekat sekali di depannya. Agaknya ular kobra itu seperti terpesona, lalu dengan perlahan merayap mendekati Muryani yang mengulurkan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka. Ular itu menghampiri tangan kiri Muryani lalu menjilati telapak tangan itu! Muryani tahu bahwa ular itu tentu terbawa hanyut oleh air hujan dan ketika tiba di selokan, tanpa sengaja anak laki-laki itu menginjaknya sehingga ular itu menjadi marah dan hendak mematuknya.

   Muryani memegang leher ular itu, mengangkatnya ke depan mukanya, matanya mencorong memandang muka ular itu dan ia berkata lirih.

   "Tidak boleh engkau menyerang manusia yang tidak mengganggumu. Hayo pergi, kembali ke bukit!"

   Setelah berkata demikian, ia melepaskan ular itu yang segera merayap naik ke atas bukit dengan cepat, sepertl ketakutan!

   Muryani memandang anak lak-laki yang masih ketakutan itu.

   "Di mana rumahmu, le (nak)?"

   Anak laki-laki itu menunjuk ke arah belakangnya di mana terdapat sebuah dusun. Atap rumah-rumah sederhana di dusun itu tampak dari situ.

   "Cepatlah pulang dan katakan kepada teman-temanmu agar jangan bermain-main dulu di tempat ini. Banyak ular hanyut oleh air hujan turun dari bukit."

   Anak itu mengangguk-angguk dan dia pun lari ke arah dusun sambil membawa pakaian yang belum dikenakannya. Muryani mengikuti larinya anak itu sambu tersenyum geli. Muryani melanjutkan perjalanannya, Setelah ditinggal mati ayahnya, kini ditinggal mati gurunya, ia tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini. Neneknya di Demak juga sudah meninggal dunia dan selain nenek itu, tidak ada sanak keluarga lain. Ia benar-benar hidup seorang diri di clunia ini. Kembali ke Pakis? Ah, di sana ia hanya akan terkenang kepada ayahnya yang telah tiada. Parmadi juga tidak ada di dusun itu. Tidak, ia tidak akan kembali ke Pakis, entah kalau kelak ada kesempatan untuk itu dan ada keinginan untuk mengunjungi makam ayahnya. Sekarang ia harus melaksanakan tugas pertamanya, yaitu mencari pembunuh ayahnya! Ia tahu bahwa Wiroboyo berdiri di belakang layar pembunuhan ayahnya dan bekas demang itu dibantu seseorang yang digdaya. Ia harus mencari Wiroboyo dan memaksa orang itu mengaku siapa orang yang telah menjadi algojo ayahnya dan yang telah menyerangnya dengan pukulan ampuh.

   Dengan hati penuh dendam ia segera pergi ke Ponorogo. Ia akan membunuh Wiroboyo! Tiba-tiba Muryani yang sedang berlari cepat itu menahan kakinya dan berhenti berlari. Sebuah pikiran seperti cahaya kilat memasuki benaknya. Ia hendak membunuh orang. Jahatkah ini? Gurunya meninggalkan pesan kepadanya agar ia tidak menggunakan ilmunya untuk berbuat jahat. Ia harus membela kebenaran dan keadilan dan ia harus membela orang-orang yang namanya Sutejo dan Retno Susilo. Tidak, ia tidak berbuat jahat. Ia bahkan hendak menentang dan membasmi seorang penjahat besar yang membahayakan kehidupan banyak orang tak berdosa, terutama sekali kaum wanita. akan menentang dan membunuh Wiroboyo dan kawan-kawannya, bukan hanya karena Wiroboyo dan para pembantunya telah membunuh ayahnya dan telah menyerang, dan melukainya, bahkan ia telah dijebak ditangkap dan nyaris diperkosa kalau tidak ditolong gurunya. Ia akan membasmi Wiroboyo dan kawan-kawannya seperti membasmi segerombolan binatang yang amat berbahaya dan jahat bagi manusia. Mereka itu merupakan sampah dunia yang memang sudah semestinya disapu bersih dari permukaan bumi! Dengan membunuh orangorang macam Wiroboyo dan kawan-kawannya, ia tidak melakukan kejahatan. Sebaliknya, ia bahkan akan membasmi kejahatan dan melakukan kebaikan!

   Jalan pikiran Muryani seperti ini adaIah akibat pengaruh pendidikan mendiang Nyi Rukmo Petak yang selama empat tahun menjadi gurunya dan membimbingnya. Nyi Rukmo Petak adalah seorang wanita yang sejak mudanya berwatak keras dan pernah menjadi datuk yang ditakuti karena kekerasan dan kekejamannya. Ia pernah menderita kekecewaan besar yang membuat hatinya diracuni dendam walaupun di hari tuanya dengan susah payah ia sudah dapat meredakan dendamnya. Namun sisa kekerasan yang menjadi dasar wataknya sejak muda masih ada dan kekerasan inilah yang kini menguasai hati Muryani. Balas kebaikan orang dengan kebaikan, berikut bunganya! Juga balas kekerasan orang dengan kekerasan pula berikut bunganya! Orang jahat harus diperlakukan jahat pula. Orang kejam harus diperlakukan kejam. Ini namanya adil! Beginilah seharusnya pendirian seorang gagah, seorang pendekar demikian jalan pikirannya yang dianggapnya sudah tepat dan benar.

   Muryani agaknya sudah lupa akan wejangan-wejangan mendiang ayahnya. Mendiang Ki Ronggo Bangak, biarpun tidak dapat mengajarkan aji kanuragan, namun telah mengajarkan ilmu-ilmu yang jaul lebih indah dan lebih bermanfaat sebaga bekal untuk perjalanan di sepanjang jalan raya yang dinamakan hidup ini. Dia mengajarkan kesusastraan, kesenian, dan terutama sekali, pengertian tentang kehidupan, tentang isi kehidupan dan bagaimana sebaiknya mengisi kehidupan ini. Bukan

   

JILID 13


   sekedar pelajaran menghafal filsafat-filsafat jiplakan yang sudah mapan dan sudah ada, kemudian hanya untuk dihafal di luar kepala sehingga kemudian hanya menjadi semacam peribahasa atau motto.

   Ki Ronggo Bangak memaklumi bahwa puterinya telah menguasai aji kanuragan telah menjadi seorang gadis yang sakti mandraguna, penuh dengan kekuatan dan kekerasan. Karena itu dia pernah menasihati puterinya ketika Muryani mengatakan bahwa kekerasan harus dihadapi dengan kekerasan pula, pembunuhan harus dibalas dengan pembunuhan juga. Ki konggo Bangak ketika itu berkata.

   "Muryani, kalau kita membalas kekerasan dengan kekerasan, membalas pembunuhan dengan pembunuhan pula, lalu apa bedanya di antara kita dengan mereka yang melakukan kekerasan dan pembunuhan itu? Kalau kita membunuh seorang pembunuh, bukankah kita menjadi pembunuh juga?"

   "Akan tetapi jelas tidak sama, ayah!"

   Bantah Muryani.

   "Kita membunuh karena ia seorang yang jahat sedangkan dia...."

   "Diapun tentu mempunyai alasan terentu untuk membenarkan perbuatannya itu, anakku. Semua itu hanya alasan yang dicari dan dipergunakan orang untuk menutupi kesalahannya atau perasaan bersalahnya."

   Muryani masih merasa penasaran.

   "Kalau begitu, lalu untuk apa orang bersusah payah belajar aji kanuragan selama bertahun-tahun dan menjadi pendekar?"

   "Nah, di sinilah letak salah pengertian yang harus dipahami semua orang yang mempelajari aji kanuragan dan yang menganggap dirinya sebagai pendekar. Aji kanuragan berarti ilmu olah raga yang tujuannya jelas untuk manfaat raga, yaitu kesehatan. Jadi aji kanuragan adalah untuk membuat raga menjadi sehat dan kuat menolak serangan penyakit, dan intinya yang lebih mendalam adalah menyehatkan lahir dan batin. Ilmu pencak silat adala ilmu bela diri sebagai pelindung dan penyelamat diri terhadap ancaman serangan dari luar yang kuat. Bela diri ini dapat dikembangkan menjadi membela orang lain yang terancam kekerasan sehingga orang yang terancam itu luput dari tindak kekerasan. Jadi ilmu pencak silat adalah ilmu membela diri, bukan ilmu memukul orang! Sekarang mengenai arti pendekar. Pendekar berarti seorang yang berani membela kebenaran dan keadilan yang bersifat umum, bukan kebenaran dan keadilan menurut penilaian sendiri atau penilaian golongan sendiri. Membela kepentingan pribadi atau kepentingan golongan sendiri. Siapa saja dapat menjadi pendekar asal dia berjiwa pembela rakyat dan berani berkorban untuk tindakannya itu tanpa penyesalan. Dia harus berprinsip berdasarkan bimbingan Gusti Allah, berlandaskan kebenaran dan kalau perlu berani menentang arus. Kalau orang hanya mengandalkan kekuatan main pukul dan main bunuh, belum tentu dia pendekar. Tukang pukul dan penjahat tukang bunuh juga berbuat seperti itu dengan dalih dan alasan masing-masing. Mengertikah engkau, Muryani? Sungguhpun aku tahu bahwa engkau memiliki kebaktian, aku tidak ingin anakku menjadi tukang pukul atau pembunuh!"

   Pada waktu mendengar petuah itu, Muryani terkesan sekali. Nasihat itu diucapkan ayahnya setelah terjadinya peristiwa pengusiran Wiroboyo dari Dusun Pakis, dan ia amat memperhatikan nasihat itu. Akan tetapi sejak ayahnya terbunuh, kemudian ia terluka parah oleh pembunuh ayahnya, apalagi setelah ia menjadi tangkapan dan nyaris diperhina Wiroboyo, semua itu mendatangkan rasa sakit hati yang mendalam. Ditambah lagi selama empat tahun ia menjadi murid Nyi Rukmo Petak yang masih berwatak keras walaupun sudah mampu mengatasi kekejamannya, hati Muryani penuh kekerasan dan tekadnya membulat untuk mencari dan membunuh Wiroboyo.

   Dengan melakukan perjalanan cepat tanpa menanggapi atau melayani segala macam gangguan atau penghalang, ia menuju ke Ponorogo. Kalau ada yang menghalanginya dalam perjalanan, ia menggunakan Aji Kluwung Sakti untuk menghindar dan aji itu dapat membuat ia berkelebat menghilang dari para penghalangnya. Ia tidak ingin terganggu dan tertunda oleh hal-hal yang dianggapnya tidak ada artinya dibandingkan usahanya mencari Wiroboyo yang amat dibencinya.

   Pada suatu pagi tibalah ia di depan pintu gerbang kota Kadipaten Ponorogo. Tak tampak banyak perubahan pada kota itu. Bangunan-bangunannya masih seperti empat tahun yang lalu. Ia langsung saja melangkah menuju ke rumah Wiroboyo yang pernah dikunjunginya empat tahun yang lalu. Begitu ia melihat rumah itu, jantungnya berdebar tegang. Seolah-olah ia telah melihat musuh besarnya telah menantinya di depan rumah!

   Akan tetapi bukan! Bukan Wiroboyo yang dilihatnya, melainkan lima orang perajurit yang duduk di atas bangku sebuah gardu yang berdiri di dekat pintu gerbang pekarangan rumah itu. Keadaan rumah besar itu telah berubah! Lima orang itu berpakaian seragam. Mereka adalah perajurit! Apakah Wiroboyo kini telah menjadi seorang pembesar dan berpangkat tinggi sehingga rumahnya dijaga perajurit? Tak mungkin, pikirnya. Wiroboyo adalah bekas demang yang telah diusir rakyat dusun yang dipimpinnya. Namanya tentu telah dicoret oleh pemerintah sebagai seorang ponggawa yang tidak baik. Tak mungkin kini diangkat menjadi seorang yang berpangkat tinggi.

   Namun Muryani sekarang berbeda dengan empat tahun yang lalu. Biarpun hatinya sudah merasa tegang dan panas berada di depan rumah musuh besarnya, namun ia tidak mau sembrono menggunakan kepandaiannya memasuki rumah itu. Bagaimanapun juga, ada kemungkinan rumahi itu tidak dihuni Wiroboyo lagi. Ia harus mendapat keterangan pasti lebih dulu. Ia lalu memasuki pekarangan, menghampiri para penjaga yang duduk di atas bangku panjang yang berada di luar gardu. Lima orang penjaga yang masih mudamuda itu serentak bangkit berdiri melihat masuknya seorang gadis cantik jelita ke dalam pekarangan. Sikap mereka seolah menyambut kedatangan seorang pembesar tinggi yang harus mereka hormati!

   "Selamat pagi, nona,"

   Kata seorang antara mereka.

   "Nona ada keperluan apakah?"

   Sambung orang kedua.

   "Nona mencari siapakah?"

   Tanya orang ke tiga.

   "Apa yang dapat saya lakukan untukmu, nona?"

   Orang keempat tidak mau ketinggalan. Dari sikap dan pandang mau mereka, jelas bahwa empat orang itu saling berebutan mencari muka dan perhatian. Hanya orang kelima yang usianya sudah kurang lebih limapuluh tahun, diam dan hanya tersenyum geli menyaksikan ulah rekan-rekannya. Namun sepasang matanya memandang penuh selidik.

   Melihat sikap mereka, Muryani lalu memilih orang kelima yang diam saja itu untuk bertanya.

   "Paman, tolong paman memberi keterangan kepadaku apakah Ki Wiroboyo berada di rumah?"

   Ia menuding ke arah bangunan besar itu.

   Yang ditanya memandang heran.

   "Wiroboyo? Siapakah itu, nona?"

   "Wiroboyo dan keluarganya penghuni rumah itu. Bukankah itu rumah Wiroboyo?"

   Tanya Muryani penasaran.

   Penjaga itu menggeleng kepalanya.

   "Nona salah alamat. Penghuni dan pemilik rumah ini adalah Raden Tumenggung Jatisurya, senopati Ponorogo."


Tentu saja Muryani menjadi terkejut dan heran, juga ragu.

   "Akan tetapi empat tahun yang lalu rumah ini masih menjadi tempat tinggal Ki Wiroboyo bersama keluarganya. Apakah dia sudah pinpah? Kalau dia . sudah pindah, katakanlah kepadaku ke mana dia pindah, paman."

   Orang itu menggeleng kepala.

   "Kami tidak tahu, nona. Kami adalah anggauta pasukan pengawal Raden Tumenggung Jatisurya yang menerima tugas Kanjeng Gusti Sultan Agung untuk diperbantukan di Kadipaten Ponorogo dan kami datang tiga tahun yang lalu. Rumah ini ketika kami datang sudah kosong lalu menjad tempat tinggal atasan kami itu."

   Bingung juga hati Muryani mendengar keterangan ini. Tak disangkanya, jahanam itu telah pergi lagi dan ia tidak tahu harus mencarinya ke mana. Ia menjadi jengkel dan seperti biasanya, kalau hatinya kesal, tanpa disengaja ia membanting kaki kanannya sambil berseru.

   "Sialan!!' Akan tetapi saking jengkel dan marahnya, ia lupa diri dan ketika membantin kakinya, ia mengerahkan tenaga saktinya seolah-olah kakinya itu sedang menginjak-injak tubuh Wiroboyo. Tentu saja kekuataan bantingan kakinya itu hebat sekali dan akibatnya, lima orang penjaga yang berdiri di depannya itu terpelanting roboh! Mereka terkejut dan berteriak-teriak.

   Pada saat itu dari luar masuk seorang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan kulitnya gelap. Wajahnya ganteng gagah seperti Sang Bimasena tokoh Pandawa. Dia tadi melihat semua peristiwa yang terjadi dan diam-diam hatinya terkejut bukan main melihat seorang gadis muda cantik jelita membuat lima orang prajuritnya berpelantingan hanya dengan membanting kaki kanan ke atas tanah. Sebagai seorang ahli aji kanuragan, maklumlah dia bahwa gadis itu tentu seorang yang sakti mandraguna.

   Pria gagah perkasa ini adalah Raden Tumenggung Jatisurya. Dia adalah seorang senopati muda Mataram yang digdaya. Melihat munculnya seorang gadis muda yang memiliki tenaga sakti sehebat itu Lentu saja dia menjadi tertarik sekali dan curiga.

   "Heii! Apa yang terjadi di sini?"

   Ia membentak, suaranya nyaring penuh wibawa. Lima orang petugas jaga tadi sudah berhasil bangkit berdiri kembali. Mereka masih terkejut dan heran ketika terpelanting jatuh tanpa diserang tadi. Melihat munculnya Raden Tumenggung Jatisurya mereka merasa lega. Seorang di antara mereka segera membuat laporan.

   "Raden, ketika kami sedang berjaga datang gadis ini. Ia bertanya kepada kami tentang orang bernama Ki Wiroboyo. Kami menjawab bahwa kami tidak tahu. Dia agaknya marah". lalu membanting kakinya. Entah mengapa kami berlima terpelanting roboh."

   Kecurigaan dalam hati Tumengguni Jatisurya menjadi semakin besar. Dia menatap wajah yang cantik jelita itu dengan penuh selidik. Dia sendiri mengenal betul siapa Ki Wiroboyo. Bekas demang Dukuh Pakis yang diusir oleh penduduknya itu dan kemudian tinggal di Ponorogo. Orang itu telah diusir oleh Adipati Ponorogo karena diragukan kesetiaannya kepada Mataram. Bahkan ada penyelidik kadipaten yang melaporkan bahwa beberapa kali Ki Wiroboyo menerima tamu-tamu orang Madura dan orang Surabaya.

   Ketika pada suatu hari Sang Adipati mendengar bahwa Wiroboyo menerima secara diamdiam di waktu malam kehadiran Ki Harya Baka Wulung, sebagai tamu kehormatan, Sang Adipati memerintahkan agar Wiroboyo diusir keluar dari Ponorogo. Pada waktu itu sepak terjang Ki Harya Baka Wulung sebagai seorang yang menentang Mataram sudah amat dikenal. Adipati Ponorogo sendiri sudah pernah dibujuk-bujuk oleh tokoh Madura itu untuk memberontak terhadap Mataram dan bekerja sama dengan Madura untuk melawan Mataram. Tentu saja bujukan itu ditolaknya dengan keras. Maka, Ki Wiroboyo dianggap sebagai orang berbahaya yang diragukan kesetiaannya terhadap Ponorogo dan Mataram.

   Setelah dia diusir dari Ponorogo, bekas rumahnya ditempati oleh Tumenggung Jatisurya, senopati muda Mataram yang diperbantukan ke Ponorogo dalam persiapan Mataram untuk menyerbu ke Surabaya dan Madura. Dengan sepasang matanya yang lebar dan mencorong, Tumenggung Jatisurya memandang wajah Muryani dan bertanya, suaranya nyaring dan langsung tanpa basa-basi lagi.

   "Nona, ada urusan apakah antara andika dan Wirpboyo maka andika mencarinya?"

   Muryani sedang jengkel mendengar bahwa Wiroboyo tidak tinggal di situ ia dan tidak ada yang tahu ke mana perginya. Maka, mendengar pertanyaan yang nadanya kasar dari pria tinggi besar itu ia memandang dengan mata galak dan alis berkerut.

   "Aku mencari Wiroboyo adalah urusanku sendiri dan tidak ada sangkut pautnya sedikitpun dengan siapa juga termasuk kamu!"

   Tumenggung Jatisurya tertegun. Belum pernah ada wanita, masih muda lagi berani bersikap sedemikian galak terhadap dirinya, apalagi setelah dia menjadi seorang senopati. Akan tetapi pandangan matanya bersinar gembira. Gadis ini memiliki semangat berapi-api, sifat yang di kaguminya. Dia tidak suka melihat kelemahan dan kecengengan. Mungkin karena inilah maka setua ini dia masih belum dapat menemukan jodohnya untuk dijadikan isterinya.

   "Hemm, kalau tidak ada urusannya. dengan kami, lalu kenapa kamu datang mencari keterangan ke sini?"

   Jawaban yang sama kerasnya ini mem buat Muryani tertegun pula. Biasanya para pria menghadapinya dengan sikap lembut, bahkan menjilat. Akan tetapi pria yang satu ini demikian kasarnya! Kalau dipikir, benar juga apa yang dikatakan pria ini. Ia pun lalu berkata dengan mulut cemberut yang di luar kesengajaannya malah membuat wajahnya tampak semakin cantik.

   "Aku mencari Wiroboyo karena ada urusan pribadi yang tak perlu kuceritaka kepada orang lain. Katakan saja kalau andika mengetahui di mana dia kini berada."

   "Nanti dulu! Jawab dulu, andika mencari dia sebagai kawan atau lawan? Sebagai sahabat atau musuh?"

   Muryani tidak tahu siapa pria ini sahabat Wiroboyo atau bukan. Ia tidak perduli. Andaikata sahabat musuhnya dan hendak membela Wiroboyo, akan dihajarnya sekalian.

   "Sebagai musuh besar! Aku akan membunuhnya!"

   Ia berkata tegas dan lantang.

   Kembali tumenggung itu terkejut. Gadis ini benar-benar seorang pemberani. Tidaklah mudah membunuh seorang seperti Ki Wiroboyo. Bukan saja karena dia mendengar berita bahwa akhir-akhir ini Wiroboyo telah mendapatkan seorang guru dan menjadi seorang yang digdaya, namun juga dia bergabung dengan orang-orang yang sakti mandraguna. Dia pernah mengirim orang-orangnya untuk melakukan penyelidikan atas gerombolan Wiroboyo itu untuk melihat keadaan mereka. Kalau sekiranya gerombolan itu akan mengadakan kerusuhan dan mengancam keamanan Ponorogo, tentu dia akan mengerahkan pasukan untuk membasminya. Akan tetapi para penyelidiknya melaporkan bahwa Wiroboyo dan teman-temannya tidak melakukan hal-hal yang mencurigakan. Mereka hanya mendirikan semacam perguruan pencak silat dan kini mendiami bekas perkampungan perguruan Welut Ireng yang sudah meninggalkan perkampungannya di lereng Gunung Wilis itu. Karena mereka tidak membuat keributan, maka Raden Tumenggung Jatisurya tidak dapat berbuat apa-apa, juga Sang Adipati Ponorogo tidak ingin mengganggu dan mencari keributan. Dan kini, gadis ini seorang diri hendak mencari dan membunuh Wiroboyo!

   "Andika hendak membunuh Wiroboyof? Hemm, kalau begitu sebaiknya kita bicara di dalam. Aku akan dapat memberi keterangan kepadamu di mana adanya orang itu!"

   Setelah berkata demikian, tanpa bicara apa-apa lagi Raden Tumenggung Jatisurya lalu memutar tubuh meninggalkan Muryani pergi ke arah bangunan besar itu. Muryani merasa girang dan tanpa rasa takut sedikitpun ia lalu melangkah dan mengikuti laki-laki tinggi besar itu.

   Agaknya Raden Tumenggunj Jatisurya memang hendak menguji gadis itu. Kedua kakinya yang panjang itu melangkah lebar dan cepat sekali. Akan tetapi ketika dia tiba di pendapa rumah itu dan menoleh, ternyata Muryani berada tepat di belakangnya.

   "Silakan masuk!"

   Kata Raden Tumenggung Jatisurya, mengajak Muryani memasuki sebuah ruangan di sebelah kiri pendapa. Ruangan itu agaknya ruangan tamu, luas dan bersih.

   "Duduklah, nona,"

   Kata tuan rumah.

   Muryani duduk di atas kursi, berhadapan terhalang meja besar dengan laki-laki tinggi besar itu. Sejenak mereka saling pandang dan Raden Tumenggung Jatisurya berkata, suaranya tetap tenang dan tegas, sama sekali tidak terdengar ramah.

   "Sebelum kita bicara, kita perlu tahu lebih dulu dengan siapa kita saling berhadapan. Siapakah andika, nona?"

   "Nama saya Muryani dan seperti sulah kukatakan tadi, Wiroboyo musuh besarku dan aku mencarinya untuk membunuhnya! Nah, kalau andika tahu di mania dia, beritahukanlah kepadaku!"

   "Nanti dulu, nimas Muryani. Aku boleh menyebutmu nimas, bukan?"

   "Sesukamulah!"

   "Sebelum kita bicara tentang Wiroboro, perkenalkan dulu diriku. Aku Raden Tumenggung Jatisurya yang sekarang menjadi senopati di Ponorogo. Tadinya aku adalah seorang senopati muda Mataram."

   "Baiklah, paman Tumenggung, sekarang kita sudah saling mengenal nama. Harap segera ceritakan di mana aku bisa mendapatkan tempat tinggal Wiroboyo."

   "Wah, nimas Muryani, jangan sebut aku paman! Biarpun usiaku sudah empatpuluh tahun, akan tetapi aku belum menikah. Andika mencari Wiroboyo dan bermaksud membunuhnya? Tidak begitu mudah, nimas. Andika akan mendapatkan keterangan yang sejelas-jelasnya tentang Wiroboyo dariku, akan tetapi ada syaratnya."

   "Hemm, apa syaratnya?"

   Tanya Muryani, tidak mau menyebut apapun.

   "Syaratnya hanya satu, yaitu andika harus dapat mengalahkan aku dalam pertandingan adu kanuragan, sekarang dan sini juga."

   Muryani mengerutkan alisnya dan, sepasang matanya mencorong.

   "Hemm, apa artinya ini? Mengapa andika mengajukan syarat itu? Apakah in berarti bahwa Wiroboyo adalah seorang sahabatmu yang akan andika bela?"

   Tumenggung tinggi besar seperti Bimasena itu terkekeh dan jari-jari tangannya menyentuh kumisnya yang tebal.

   "Semua pertanyaan itu baru akan dapat kujawab kalau andika sudah memenuhi syarat itu, ialah mengalahkan aku. Kalau andika tidak mampu mengalahkan aku, maaf, terpaksa semua itu tidak dapat kujawab."

   Muryani bangkit berdiri dan mengepal kedua tangannya.

   "Baik, aku terima syarat itu! Mari kita mengadu kanuragan. Kapan dan di mana kita mulai?"

   Raden Tumenggung Jatisurya terkekeh girang. Dia adalah seorang senopati, seorang gagah yang paling suka mengadu kesaktian.

   "Sekarang juga dan di sini, nimas Muryani. Tempat ini cukup luas dan tak seorangpun akan berani mengganggu kita."

   Dia lalu mendorong meja kursi ke tepi ruangan itu agar lebih lega. Setelah itu dia berdiri di tengah ruangan itu dengan sikap gagah, kedua kakinya terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang dan dia berkata dengan lantang.

   "Karena kita tidak berkelahi sebagai musuh, melainkan saling menguji kepandaian, maka kita tidak perlu mempergunakan senjata, cukup dengan kaki tangan kita saja."

   "Sudahlah, tidak perlu berpanjang tutur kata, mari kita mulai, aku sudah siap!"

   Kata Muryani, suaranya mengandung ketidaksabaran.

   Dengan senyum lebar tak pernah meninggalkan mulutnya, Jatisurya berkata.

   "Andika adalah seorang wanita, masih amat muda, dan sebagai tamu pula. Oleh karena itu, tidak pantaslah kalau aku sebagai pria dan tuan rumah membuka serangan. Silakan, nimas!"

   Muryani tidak sabar lagi.

   "Lihat seranganku!"

   Bentaknya dan tangan kirinya sudah meluncur dalam sebuah tamparan kilat yang diarahkan ke pipi kanan lawan. Tumenggung yang sudah kaya akan pengalaman bertanding itu memandang rendah. Diapun menggerakkan lengan kanannya untuk menangkis dan maksudnya dia hendak menangkis sekalian menangkap lengan yang berkulit halus dan kecil mungil itu.

   "Wuuuttt dukkk!!"

   Dua lengan yang berbeda jauh besarnya itu beradu dan seruan kaget terlepas dari mulut Jatisurya. Pertemuan lengan itu membuat kuda-kudanya gempur dan tubuhnya terhuyung ke belakang sampai lima langkah! Padahal, gadis itu masih tampak senyum dan sama sekali tidak terguncang. Maklumlah senopati yang berpengalaman ini bahwa gadis lawannya sungguh-sungguh seorang yang "berisi", memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Tidak heranlah kalau lima orang perajuritnya terpelanting roboh begitu gadis itu membanting kakinya.

   "Bagus!"

   Dia memuji untuk menutupi rasa malunya dan diapun melanjutkan berseru.

   "Lihat seranganku!"

   Tumenggung itu tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan kepandaian dan mengerahkan tenaganya. Serangannya dahsyat sekali, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar dan kokoh. Muryani menghadapinya dengan tenang saja. Maklum bahwa serangan lawan ini tidak boleh dipandang ringan, iapun mengerahkan Aji Kluwung Sakti dan tubuhnya berkelebatan cepat sekali bagaikan bayang-bayang saja. Permainan pencak silat Tumenggung Jatisurya sungguh dahsyat. Tubuhnya bergerak dengan cepat dan kuat, serangannya sambung menyambung dan bertubi-tubi. Tamparan, tonjokan, tendangan, serangan dengan siku, dengan lutut, semua bagian tubuhnya dapat melakukan serangan yang berbahaya. Diam-diam Muryani harus mengakui bahwa tingkat kepandaian senopati Ponorogo ini cukup hebat. Andaikata ia belum mendapat bimbingan ilmu dari mendiang Nyi Rukmo Petak, agaknya akan sukar baginya untuk dapat mengalahkan Raden Tumenggung Jatisurya ini.

   Tingkatnya jelas jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Wiroboyo. Setelah merasa cukup mempermainkan lawan dengan kecepatan gerakannya, Muryani membuat lawan terputar-putar mengejar bayangannya dan tubuh tinggi besar ini mulai berkeringat dan napasnya mulai memburu, Muryani menyudahi pertandingan itu. Tangan kirinya yang dimiringkan menyambar tengkuk dan kakinya menendang belakang lutut.

   "Plak! Desss"" !"

   Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tinggi besar itu ambruk seperti sebatang pohon jati ditebang.

   Raden Tumenggung Jatisurya jatuh mendeprok, menggunakan tangan kanan menekannekan tengkuknya dan tangan kirinya mengurut-urut lutut, mengeluh lirih.

   Muryani berdiri bertolak pinggang dengan tangan kirinya.

   "Bagaimana, paman Tumenggung. Apakah andika masih belum puas dan ingin melanjutkan pertandingan ini?"

   Pria itu mengguncang-guncang kepala untuk mengusir kepeningan, kemudian berkata.

   "Sudah"..sudah""aku mengaku kalah. Andika hebat sekali, nimas Muryani". Aku".. sungguh kagum sekali..."

   Dia bangkit dengan susah payah, lalu menghampiri kursi dan duduk.

   "Aku tidak butuh pujianmu, paman. Aku butuh keteranganmu tentang Wiroboyo,"

   Jawab Muryani.

   "Duduklah, akan kuceritakan semua."

   Mereka duduk lagi berhadapan, terhalang meja. Setelah mengamati wajah yang cantik itu dengan sepasang mata penuh kagum, Raden Tumenggung Jatisurya menghela napas dan berkata.

   "Nimas Muryani, ketahuilah. Ketika tadi bertemu denganmu dan mendengar bahwa andika hendak membunuh Wiroboyo, aku diam-diam mendukungmu karena kami semua di sini juga tidak suka kepada manusia itu."

   "Hemm,"

   Muryani mengerutkan alisnya dan menatap wajah tumenggung itu penuh selidik.

   "Kalau begitu, kenapa andika tadi menantangku bertanding?"

   "Terus terang saja, aku melakukan itu untuk mengujimu, nimas Muryani. Aku khawatir akan keselamatanmu. Tidak mudah membunuh si Wiroboyo itu, bahkan berbahaya sekali. Karena itulah maka aku sengaja menantangmu untuk menguji. Kalau andika tidak mampu menandingi aku, sama saja dengan membunuh diri kalau andika pergi menentang Wiroboyo. Maka, andaikata tadi andika kalah olehku, tentu aku tidak member tahu agar andika tidak mengantar nyawa dengan sia-sia ke sana."

   "Akan tetapi aku melihat bahwa tingkat kepandaian andika jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian jahanam itu, paman. Dia sama sekali tidak berbahaya bagiku dan aku pasti dapat membunuh dia!"

   Tumenggung Jatisurya mengangguk-angguk dan tersenyum, matanya menatap wajah jelita itu dengan penuh kagum.

   "Aku harus mengakui bahwa andika masih muda dan sakti mandraguna, juga amat pemberani. Akan tetapi agaknya andika kurang pengalaman. Wiroboyo itu orangnya licik dan dia memiliki sekutu dengan orang-orang sakti mandraguna, bahkan dia kini menjadi murid seorang datuk besar."

   "Maaf, paman Tumenggung!"

   Kata Muryani dengan alis berkerut, dan matanya menatap tajam penuh wibawa.

   "Aku sama sekali tidak ingin mendengar andika memuji-muji keparat jahanam Wiroboyo itu. Aku hanya ingin mendengar darimu di mana sekarang dia berada!"

   Raden Tumenggung Jatisurya menghela napas panjang. Biarpun pada saat pertama kali bertemu dengan Muryani dia merasa tertarik sekali dan diam-diam telah jatuh hati, namun kini sadarlah dia sepenuhnya bahwa dia tidak dapat mengharapkan gadis seperti ini menjadi isterinya. Gadis ini sakti mandraguna dan berwatak keras dan angkuh sehingga dia tidak akan mampu menundukkan hati gadis itu melalui kedudukannya sebagai senopati sekalipun! Gadis seperti ini hanya dapat ditundukkan oleh perasaan cintanya sendiri, bukan oleh bujuk rayu dari luar dirinya.

   "Sungguh, aku tidak memuji-muji Wi roboyo untuk menakut-nakutimu, nimas Muryani. Akan tetapi biarlah aku menceritakan keadaan yang sebenarnya. Wiroboyo itu pada tiga tahun yang lalu telah diusir keluar dari Ponorogo karena Gusti Adipati meragukan kesetiaannya. Dia dikabarkan melakukan hubungan dengan orang-orang yang memusuhi Mataram dan agaknya dia mengumpulkan orang-orang dari golongan sesat. Setelah diusir keluar dari Ponorogo, menurut penyelidikan kami, dia menguasai perkampungan yang dulu menjadi pusat perkumpulan Welut Ireng, di lereng Gunung Wilis. Agaknya dia menguasai bekas para anggauta Welut Ireng yang sudah bubar. Menurut hasil penyelidikan kami, dia mendirikan sebuah perkumpulan di sana, yang diberi nama perkumpulan pencak silat Kelabang Wilis. Kedudukannya kuat sekali karena dia telah menjadi murid seorang datuk besar yang bernama Wiku Menak Koncar, seorang datuk besar dari Blambangan yang sakti mandraguna. Bahkan kakek itu kini tinggal bersama Wiroboyo. Selain datuk ini, Wiroboyo dibantu pula oleh Warok Surosingo dan seorang sakti lain bernama Darsikun yang pernah menjadi murid Ki Harya Baka Wulung yang terkenal itu. Nah, andika bayangkan betapa kuat kedudukan Wiroboyo, nimas Muryani. Kami tidak dapat berbuat apa-apa kepada Wiroboyo karena tidask ada bukti bahwa dia melakukan pelanggaran atau kejahatan, walaupun kami semua tidak suka padanya dan tahu bahwa dia bukan orang baik-baik."

Diam-diam Muryani harus mengakui betapa kuatnya kedudukan musuh besarnya itu. Keterangan yang jelas dari tumenggung itu amat penting baginya. Setelah mengetahui keadaan musuh, ia dapat berhati-hati. Ia memang tidak boleh sembrono. Mendiang gurunya, Nyi Rukmo Petak juga telah memperingatkan kepadanya agar ia berhati-hati berhadapan dengan para datuk besar. Kini Wiroboyo telah menjadi murid seorang datuk besar dari Blambangan yang bernama Wiku Menak Koncar. Tentu ilmu kepandaian bekas demang Pakis itu kini tidak seperti dulu lagi, sudah meningkat tinggi.

   Memang ia tidak perlu takut menghadap musuh besarnya itu, karena sekarang ia sendiripun sudah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari mendiang Nyi Rukmo Petak. Akan tetapi Wiroboyo kini memiliki banyak anak buah. Apalagi di sana ada gurunya, datuk besar dari Blambangan itu Bahkan ada pula pembantu-pembantunyo yang bukan orang lemah, yang bernama Warok Surosingo dan Darsikun. Ia dapat menduga bahwa yang dulu membunuh ayahnya dan melukainya tentu orang bernama Darsikun itu, yang bersama Wiroboyo telah menjebaknya, membunuh kuda dan menangkapnya kemudian dua orang itu dikalahkan mendiang Nyi Rukmo Petak. Keadaan Wiroboyo amat kuat dan ia hanya seorang diri! Ia harus berhati-hati.

   Muryani bangkit berdiri dan membungkuk dengan hormat kepada tuan rumah.

   "Paman Tumenggung, keterangan andika ini sungguh amat berharga bagi saya, maka saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan paman."

   Tumenggung Jatisurya cepat bangkit berdiri.

   "Kenapa terburu-buru hendak pergi nimas Muryani? Andika hendak pergi kemanakah?"

   "Saya hendak pergi mencari Wiroboyo, paman."

   Sikap Muryani sekarang menghormat karena ia tahu betapa bangsawan berniat baik ketika menantangnya bertanding.

   "Ah, nimas! Mengapa tergesa-gesa. Duduklah dulu, kita belum berkenalan. Aku ingin sekali mengenalmu lebih baik, mengetahui dari mana andika berasal, siapa keluarga andika dan mengapa andika memusuhi orang macam Wiroboyo itu?"

   "Terima kasih, paman Tumenggung, Maafkan, saya tidak dapat menunda lebih lama lagi, harus segera. mencari jahanam itu. Mohon pamit."

   Ia melangkah hendak keluar dari ruangan itu.

   "Nimas Muryani, tunggu sebentar,"

   Kata Raden Tumenggung Jatisurya. Dia melangkah mengejar dan Muryani menghentikan langkahnya, membalikkan tubuh dan mereka berdiri saling berhadapan.

   "Ada apakah, paman?"

   "Nimas, aku amat mengkhawatirkan keselamatanmu. Biarlah aku akan memimpin pasukan menyertai dan membantumu menghadapi mereka!"

   Muryani mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya.

   "Tidak, paman. Jangan bantu aku. Ini adalah urusan pribadi, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan paman atau dengan Kadipaten Ponorogo. Sudah, selamat tinggal, paman Tumenggung!"

   Setelah berkata demikian, Muryani melompat keluar dengan cepat dan meninggalkan rumah itu.

   Raden Tumenggung Jatisurya mengikuti bayangan gadis, itu dengan pandang matanya dan dia menggeleng-geleng kepalanya. Kalau saja dia mampu mengalahkan kedigdayaan gadis itu, pikirnya, mungkin ada harapan baginya untuk memenangkan hati Muryani sehingga gadis itu dapat menjadi pendamping hidupnya.

   Bukit di belakang perguruan silat Jausumo yang letaknya di daerah Pacitan itu sepi sekali. Apalagi waktu itu malam hari. Biarpun bulan purnama tampak terang, memandikan seluruh permukaan bukit dengan cahayanya yang lembut, namun tak tampak seorangpun manusia di tempat itu. Apalagi di waktu malam, bahkan di waktu siang haripun, tidak ada murid Jatikusumo yang berani berkeliaran di bukit itu. Sebuah sumur tua yang berada di puncak bukit itulah yang menjadi sebabnya. Sumur tua yang menyimpan peristiwaperistiwa mengerikan di masa yang lalu. Sumur tua penuh rahasia, yang pernah menjadi tempat tahanan seorang tokoh Jatikusumo puluhan tahun yang lalu.

   TOKOH besar Jatikusumo ini menjadi sesat dan jahat seperti iblis setengah giIa. Dia adalah mendiang Resi Ekomolo. Karena kejahatannya dia bentrok dengan adik seperguruannya sendiri yang bernama Resi Limut Manik dan setelah melalui pertandingan mati-matian yang berlangsung lama, akhirnya Resi Ekomolo dapat dirobohkan sehingga kedua kakinya lumpuh. Karena maklum bahwa Resi Ekomolo amat jahat dan bahkan tidak waras otaknya, terpaksa Resi Limut Manik yang menjadi ketua perguruan Jatikusumo memasukkannya dalam sumur tua di atas bukit di belakang perguruan Jatikusumo itu. Di dasar sumur itu terdapat sebuah terowongan dan ruangan bawah tanah, Bertahun-tahun Resi Ekomolo hidup di dasar sumur itu, tidak mungkin, dapat keluar dari situ karena kedua Kakinya yang lumpuh. Namun setiap hari dia mendapat kiriman makan minum dari Real Limut Manik dan kebiasaan ini masih dilanjutkan ketika ketua Jatikusumo itu sudah digantikan oleh muridnya yang tertua, yaitu Bhagawan Sindusakti.

   Pada suatu hari, seorang murid Jatikusumo, murid Sang Bhagawan Sindusakti, dapat turun ke dalam sumur dan bertemu dengan Resi Ekomolo. Dia membantu sang resi yang amat sakti akan tetapi gila itu keluar dari sumur dan diam-diam menjai muridnya sehingga Priyadi, demikian nama murid Jatikusumo itu, berubah menjadi seorang yang sakti mandraguna melebihi semua tokoh Jatikusumo, akan tetapi wataknya menjadi jahat dan setengah gila! Priyadi bentrok sendiri dengan para murid Jatikusumo dan para pendekar lainnya. Akhirnya guru dan murid yang gila itu bermusuhan sendiri. Priyadi dengan licik telah memukul jatuh Resi Ekomolo ke dalam sumur kembali! Dia sendiri akhirnya kalah melawan seorang murid muda Resi Limut Manik yang bernama Sutejo atau Tejomanik. Ketika kedua orang ini bertanding di atas bukit, dekat sumur tua, Priyadi terpukul jatuh ke dalam sumur. Di dasar sumur, dia disambut oleh Resi Ekomolo yang ternyata belum tewas dan kedua orang ini bergumul sehingga akhirnya mati sampyuh. Priyadi mati dicekik dan Resi Ekomolo mati ditusuk keris pusaka Ilat Nogo.

   Demikianlah riwayat singkat sumur tua yang menyeramkan itu, yang seolah-olah berhantu dan tempat ini menjadi tempat yang tidak pernah dikunjungi orang. Seperti telah diceritakan di bagian depan kisah ini, Satyabrata, pemuda keturunan Portugis yang amat cerdik itu, yang oleh Willem Van Huisen, seorang perwira Kumpeni Belanda, ditugaskan menjadi mata-mata, berhasil menyusup ke perguruan Jatikusumo dan diterima menjadi murid perguruan itu. Kini yang menjadi ketua Jatikusumo adalah Ki Cangak Awu, seorang pendekar gagah perkasa yang berwatak jujur dan kasar. Ki Cangak Awu yang jujur dapat dikelabui sikap Satyabrata yang amat pandai membawa diri sehingga pemuda itu diterima menjadi murid.

   Setelah menjadi murid Jatikusumol perlahan-lahan dengan cerdik Satyabrato menyebar cerita, memburuk-burukkan Mataram yang menindas dan menaklukkan daerah-daerah, dan memuji-muji kebaikan Kumpeni Belanda. Saking pandainya dia bercerita, banyak murid Jatikusumo yang terpengaruh. Mendengar tentang keanehan sumur itu, dia tertarik dan pada suatu hari dia nekat memasuki sumur itu dan menemukan kerangka Resi Ekomolo dan Priyadi. Dia menemukan pula gambargambar dan ukiran pada ruangan bawah tanah itu dan mengambil keputusan untuk mempelajari semua ilmu itu.

   Akan tetapi perbuatannya yang memburuk-burukkan Mataram dan memuji-muji Kumpeni Belanda itu akhirnya ketahuan juga oleh Ki Cangak Awu dan isterinya, Pusposari, dan tentu saja Ki Cangak Awu menjadi marah sekali lalu menyerang dan mereka bertanding di dekat sumur. Akhirnya pemuda yang menjadi mata-mata Kumpeni Belanda itu terpukul dan terjatuh ke dalam sumur tua itu. Semua mengira bahwa dia telah tewas. Padahal sebetulnya pemuda itu sama sekali tidak tewas, bahkan dia dapat mempunyai kesempatan besar sekali untuk mempelajari semua ilmu peninggalan Ki Ekomolo tanpa gangguan sedikitpun juga.

   Ilmu-ilmu yang aneh membuat pemuda itu menjadi amat sakti, akan tetapi juga membuat pikirannya menjadi tidak waras dan setengah gila. Setelah tamat mempelajari semua ilmu aneh itu, pemuda itu pada malam hari terang bulan purnama itu mengambil keputusan untuk keluar dari sumur dan seterusnya meninggalkan lempat itu. Sesosok bayangan seperti terbang keluar dari sumur itu. Kalau pada saat itu ada orang melihatnya, tentu akan mengira bahwa iblis sendiri yang keluar dari sumur itu. Seperti bukan manusia lagi, karena gerakannya amat cepatnya seperti terbang keluar dari dalam sumur.

   Setelah bayangan itu berhenti di dekat sumur dan sinar bulan purnama menerangi wajahnya, barulah dapat dilihat : bahwa dia adalah seorang pemuda yan amat tampan. Pemuda yang matanya agak kebiruan dan memiliki ketampanan yang bahkan mendekati kecantikan seorang wanita. Dia bukan lain adalah Satyabrata! Satyabrata kini telah menjadi seorang yang amat sakti. Ilmu-ilmu yang telah dikuasainya adalah antara lain Aji Jerit Nogo, dan ilmu menghimpun tenaga sakti dengan jalan bersamadhi jungkir balik yang diberi nama Aji Waringin Sungsang, dan selain dari itu diapun mendapatkan keris pusaka Ilat Nogo, peninggalan dari Priyadi. Setelah tiba di atas dan memandang bulan purnama, tiba-tiba pemuda itu berdongak dan dia mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan seluruh permukaan bukit itu. Kalau sekiranya ada orang yang berada di situ dan mendengarkan pekik itu, orang itu dapat roboh dan tewas seketika. itulah Aji Jerit Nogo yang dapat membuat lawan roboh dan hancur jantungnya karena tekanan suara yang melengking tinggi.

   Akan tetapi pada saat itu, tidak ada seorangpun di puncak bukit. Betapapun juga, jeritnya itu terdengar sampai ke bawah bukit. Tentu saja jerit itupun terdengar dari perkampungan Jatikusumo, di mana tingal semua murid Jatikusumo. Mereka ada yang terkejut dan terbangun dari tidurnya, akan tetapi merasa seperti dalam mimpi. Hal ini adalah karena Aji Jerit Nogo itu asing bagi mereka semua. Mereka mengira bahwa itu adalah jerit yang keluar dari mulut hewan liar. Bahkan Ki Cangak Awu dan isterinya, Pusposari juga terbangun dari tidurnya. Ki Cangak Awu menggeliat dan bangun terduduk. Dia memandang ke kanan kiri dan melihat isterinya sudah terbangun pula.

   "Kau juga dengar itu tadi?"

   Tanyanya kepada Pusposari.

   "Ya, aku mendengarnya. Apakah itu, kakangmas? Suara apakah yang remeh itu? Dan masih terasa jantungku berdebar mendengarnya,"

   Tanya Pusposari dengan heran.

   Ki Cangak Awu menghela napas panjang dan dia menggeleng kepalanya.

   "Aku tidak tahu, diajeng. Aku juga mendengar dan aku dapat merasakan suatu tenaga yang amat kuat terkandung dalam pekik melengking itu. Akan tetapi, rasanya tidak mungkin kalau suara seperti itu keluar dari kerongkongan seorang manusia Akan tetapi andaikata keluar dari mulut seekor binatang, lalu binatang apa yang dapat memekik seperti itu? Setahuku, hanya singa dan harimau saja yang suaranya mengandung daya melumpuhkan dan pengaruh yang menyerang jantung."

   "Ibliskah yang bersuara tadi, kakang-mas? Dan rasanya suara itu datang dari belakang sana, dari bukit. Jelas tampak betapa wanita gagah perkasa yangi memiliki kesaktian itu bergidik. Padahal, Pusposari adalah anak angkat dari ketua perguruan Nogo Dento yang bernarna Ki Harjodento. Pusposari telah mewarisi ilmu-ilmu dan aji kesaktian dari ayah angkatnya dan ia memiliki tingkat kepandaian yang tidak kalah hebat dibandingkan suaminya sendiri. Akan tetapi, mendengar suara jerit melengking tadi, ia merasa ngeri!

   "Perasaanmu tidak keliru, diajeng. Aku sendiri juga merasakan sesuatu yang tidak beres. Walaupun tidak masuk akal, akan tetapi suara itu seolah, menurut perasaanku, keluar dari sumur tua itu!"

   Kata Ki Cangak Awu kepada isterinya.

   "Ihh! Mana mungkin, kakangmas? Bukankah semua orang yang memasuki sumur itu telah mati? Resi Ekomolo, Priyadi, dan lima tahun yang lalu si Satya itu mereka semua telah mati. Tak mungkin mereka yang mengeluarkan jerit seperti , tadi, kecuali.... kecuali kalau.... kalau ada yang masih hidup, atau boleh jadi arwah mereka yang penasaran."

   Ki Cangak Awu mengangguk-angguk.

   "Setan penasaran memang dapat saja mengganggu manusia, diajeng. Bagaimanapun juga, kita harus waspada malam mi. Mari kita bersamadhi dan mengerahkan tenaga batin kita, siap dan waspada menghadapi hawa dan pengaruh jahat. Siapa tahu roh jahat berkeliaran dan hendak mengganggu kita."

   "Benar sekali, kakang-mas. Akupun mempunyai perasaan yang amat tidak enak."

   "Karena itu kita harus berhati-hati, diajeng. Apalagi keadaanmu sekarang inl, Engkau mengandung sudah tiga bulan, kita harus berhati-hati menjaga anak kita yang baru akan muncul setelah sepuluh tahun kita menikah dan menanti-nanti."

   Pusposari mengelus perutnya.

   "Semoga Hyang Maha Esa melindungi kita, melindungi anak kita "

   Katanya penuh haru.

   Malam semakin larut. Bulan semakin tinggi dan semakin tegang. Tiba-tiba terdengar suara ada benda-benda kecil menjatuhi genteng rumah itu dan suami isteri itu merasa ada semacam pengaruh yang amat kuat, yang seolah memaksa mereka agar tidur. Mata mereka terserang rasa kantuk yang hebat. Suami isteri yang sudah berpengalaman itu segera tahu bahwa ada pengaruh yang sama sekali tidak wajar. Ada sesuatu yang menyerang mereka dan membuat mereka mengantuk. Ilmu hitam, ilmu sihir. Aji penyirepan, pikir mereka! Dari pengalaman dan pelajaran aji kesaktian, mereka segera tahu bahwa hal tidak wajar itu disebabkan oleh aji penyirepan yang amat luat, yang hendak memaksa mereka agar tidur! Keduanya maklum dan cepat mereka mengerahkan kekuatan batinnya, mengerahkan tenaga saktinya untuk menahan dan melawan pengaruh kantuk yang menekan perasaan mereka itu.

   Dugaan suami isteri itu memang tidak keliru. Pada saat itu, diluar bangunan induk di perkampungan Jatikusumo, berdiri sosok tubuh yang menengadahkan kedua tangannya ke atas. Tadi dia mengambil sekepal tanah dan dilempar-lemparkan ke atap seluruh bangunan di perkampungan itu, bibirnya bergerak-gerak membaca mantera. Bayangan itu bukan lain adalah Satyabrata dan dia sedang mempergunakan satu di antara ilmu hitam yang dipelajarinya di dalam sumur. Ilmu hitam ini adalah aji penyirepan Begonondo, satu di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dalam sumur tua.

   Sebetulnya, agar ilmu hitam Aji Penyirepan Begonondo ini mencapai kekuatan sepenuhnya, yang dipergunakan untuk disebarkan ke atas atap rumah orang-orang yang hendak disirep haruslah dipergunakan tanah yang diambil dari kuburan. Akan tetapi dengan mempergunakan tanah biasa juga sudah memiliki daya yang ampuh sekali untuk membuat semua penghuni rumah itu tidur pulas.

   Satyabrata ingin melihat apakah aji penyirepan yang dilakukannya itu berhasil. Dia menghampiri pondok yang berjajar-jajar itu dan menendangi daun pintunya. Terdengar suara gaduh berturut-turut dan daun-daun pintu beberapa buah rumah jebol. Satyabrata menanti sejenak dan ternyata tidak ada suara seorangpun, Dia merasa yakin bahwa semua penghuni rumah perkampungan itu telah terpengaruh aji penyirepannya dan telah tertidur pulas semua. Perasaan girang memenuhi hatinya dan dia bertolak pinggang, menengadah lalu tertawa bergelak dengan lagak sombong.

   "Hua-ha-ha-ha-ha!"

   Tiba-tiba tampak dua sosok bayangan yang berkelebat keluar dari pintu rumah induk yang terbuka dari dalam dan di lain saat Ki Cangak Awu dan Pusposari telah berdiri di depan Satyabrata. Sinar bulan purnama saat itu sedang terang sekali sehingga segera dapat saling mengenal.

   "Ah, engkau".Satya"!"

   Pusposari berseru, kaget dan heran karena semua orang menduga bahwa pemuda itu telah tewas, terjatuh ke dalam sumur tua.

   "Jahanam busuk! Kiranya kamu, keparat!"

   Ki Cangak Awu juga membentak, marah sekali mendapat kenyataan bahwa yang memasang aji penyirepan dan yang membuat gaduh adalah Satya, pemuda yang menyusup menjadi murid Jatikusumo dan telah menyebar bujukan memusuhi Mataram dan memuji-muji Kumpeni Belanda.

   Satyabrata agak terkejut ketika tiba-tiba melihat suami isteri pimpinan Jatikusumo itu muncul secara tidak terdua-duga. Akan tetapi dia segera dapat menguasai kekagetannya, maklum bahwa tentu suami isteri yang memiliki kesaktian itu telah mampu menolak daya aji penyirepannya tadi.

   "Ha-ha-ha-ha, Ki Cangak Awu! Bagus sekali engkau tidak jatuh tidur. Kebetulan sekali karena aku akan membunuhmu dan engkau dapat melihat kematian datang di depan matamu!"

   "Setan alas! Engkaulah yang akan mati!"

   Bentak Pusposari sambil mencabut kerisnya.

   "Diajeng, biar aku yang menghadapinya,"

   Kata Cangak Awu yang mengkhawatirkan keadaan isterinya yang sedang mengandung dan dia sudah melompat ke depan isterinya, menghadapi Satyabrata. Ki Cangak Awu mengamangkan sebatang tongkat penggada yang tadi memang dibawanya keluar karena dia maklum bahwa ada orang sakti datang mengacau Jatikusumo.

   "Keparat Satya, manusia curang. Engkau pasti antek Kumpeni Belanda, maka bersiaplah untuk menerima hukuman dariku!"

   Satyabrata masih menyeringai dengan senyumnya yang mengejek, lalu tangan kanannya mencabut sebatang keris, yang berkarat dan berwarna kehitaman. Itulah keris pusaka Ilat Nogo peninggalan mendiang Priyadi yang tewas dalam sumur. Karena keris itu sudah terpendam dalam tubuh mendiang Resi Ekomolo sampai tubuh itu membusuk dan hancur, maka kini menjadi semakin ampuh, racunnya semakin kuat dan ada hawa menyeramkan meliputi keris Ilat Nogo itu.

   Sekali tendang saja Ki Cangak Awu teringat bahwa keris itu adalah milik bekas kakak seperguruannya yang menyeleweng, yaitu Priyadi yang tewas dalam sumur tua. Kiranya keris itu kini telah dimiliki Satya, pemuda yang amat tampan dan pandai membawa diri, akan tetapi ternyata aneh dan jahat itu.

   "Ha-ha, Cangak Awu, bagaimana engkau dapat menghukum aku kalau sebentar lagi engkau mati oleh pusakaku ini!"

   Ki Cangak Awu marah sekali.

   "Manusia sombong sekali engkau! Bagaimana engkau dapat menentukan kematian seseorang? Awas, lihat senjataku!"

   Setelah berkata demikian, Ki Cangak Awu lalu menerjang dengan senjatanya yang berat. Senjata itu menyambar ke arah kepala Satyabrata, dan kalau mengenai kepala, maka kepala itu pasti akan hancur lebur karena bukan saja senjata itu amat berat dan keras, akan tetapi juga tenaga yang menggerakkan itu amatlah kuatnya sehingga andaikata bukan kepala yang dihajar, melainkan batu karang, maka batu karang itupun akan hancur lebur, tidak mungkin kuat menahan pukulan sehebat itu. Akan tetapi Satyabrata dapat mengelak dengan kecepatan kilat sehingga serangan pertama itu luput dan menyambar di samping kepalanya. Setelah penggada itu lewat, secepat kilat Satyabrata membalas dengan tusukan kerisnya ke perut lawan. Hampir saja Ki Cangak Awu terkena keris pada perutnya, akan tetapi sebagai seorang yang banyak sekali pengalaman bertanding, dia dapat melompat ke belakang dan kembali penggada dan menyambar dari samping, kini menyerampang ke arah kaki lawan.

   "Heiiiiit !"

   Ki Cangak Awu membentak keras sekali ketika penggadanya menyambar, akan tetapi kembali Satyabrata dapat mengelak dengan lompatan ke samping lalu tangan kirinya yang menyambar dengan pukulan ke arah kepala. Pukulan itu adalah pukulan yang mengandung tenaga sakti sehingga anginnya menyambar ke arah dada Ki Cangak Awu, akan tetapi Ki Cangak Awu juga mampu menghindarkan pukulan sakti itu dengan menggulingkan tubuh ke kanan. Dia memutar tubuh ke kiri dan kembali penggadanya menyambar, kini didorongkan ke perut dengan kekuatan yang dahsyat.

   "Haaiiitt !"

   Kini Satyabrata yang rnengeluarkan.teriakan keras karena penggada itu sungguh merupakan ancaman maut baginya. Kakinya diangkat ke kanan dan sambil mengubah kedudukan kaki dia telah mengirim tendangan ke arah lambung lawan. Kalau tendangan itu mengenai sasaran,

   tentu akan membahayakan nyawa Ki Cangak Awu.

   Melihat suaminya terserang dan terdesak, Pusposari cepat maju dan menggerakkan kerisnya membantu, sehingga kini pemuda itu dikeroyok dua oleh suami isteri itu. Satyabrata menggerakkan keris dengan pengerahan tenaga sakti, dua kali keris menyambar dan menangkis dua senjats lawan.

   "Trang ! Tranggg !!"

   Tiga orang itu terdorong mundur sampai terhuyung saking kuatnya senjata-senjata itu bertemu. Karena gerakan mereka didukung tenaga sakti yang amat kuat, maka ketiganya terhuyung ke belakang. Akan tetapi yang lebih terkejut adalah suami isteri itu karena bukan saja mereka terhuyung ke belakang, bahkan senjata merekapun terlepas dari pegangan.

   Satyabrata cepat menyarungkan kerisnya dan sambil melompat berdiri dia mengerahkan tenaga sakti yang mujijat, yang terbentuk dari latihan Aji Waringin Sungsang, yaitu cara bersamadhi dengan jungkir balik, kepala di bawah dan kaki di atas. Begitu dia memukulkan kedua tangannya yang terbuka, didorongkan ke arah dua orang suami isteri yang sudah berdiri berhadapan dengannya itu, dari kedua tangannya menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat!

   "Ciaaaaattt".!!"

   Itulah pukulan Aji Margopati yang amat dahsyat. Ki Cangak Awu dan Pusposari terkejut bukan main. Karena maklum bahwa mereka menghadapi serangan pukulan jarak jauh yang amat berbahaya, keduanya cepat mengerahkan tenaga sakti mereka.

   "Haiiiittt"!"

   Pusposari mendorong dengan tangan kanannya untuk menyambut serangan lawan dan ia mengerahkan aji pukulan Nogodento!

   "Aaarrhhhhhh".!"

   Ki Cangak Awu juga mengeluarkan teriakan nyaring dan mengerahkan tenaga sakti dalam tangan kanannya yang didorongkan menyambut serangan Satyabrata dengan aji pukulan Gelap Musti.

   "Wuuuuttt blaaarrr !!"

   Tenaga dahsyat Aji Margopati bertemu di udara lengan Aji Gelap Musti dan Aji Nogodento! Hebat bukan main pertemuan antara tiga tenaga sakti itu. Tenaga yang menggetarkan sekeliling tempat itu terasa. Akibatnya juga hebat. Ki Cangak Awu dan Pusposari terjengkang dan roboh telentang keras, sedangkan Satyabrata terhuyung-huyung ke belakang.

   Satyabrata merasa dadanya sesak dari agak nyeri. Ketika dia merasa bibirnya basah, dia mengusap dengan tangannya dan melihat bahwa yang membasahi bibirnya itu adalah darah. Dia terluka dalam. Akan tetapi melihat suami isteri itu roboh telentang tak bergerak, dia menjadi girang dan bangga sekali. Diat mengeluarkan suara tawanya yang me, nyeramkan, lalu mencabut keris pusakq Hat Nogo dan melangkah maju, maksudnya hendak menyusulkan serangan dengan tikaman kerisnya pada dua orang suami isteri yang sudah tak berdaya itu.

   "Heii! Apa yang terjadi di sini?"

   Tiba-tiba terdengar suara dan tampak dua sosok bayangan berkelebat cepat sekali menuju tempat itu. Satyabrata terkejut. Maklum bahwa dua orang yang datang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia dalam keadaan terluka. Maka, tanpa banyak cakap lagi dia memutar tubuhnya dan melompat jauh lalu berlari cepat meninggalkan perkampungan Jatikusumo itu.

   "Hei, siapa kamu? Berhenti!"

   Terdengar bentakan suara wanita melengking dan satu di antara dua sosok bayangan itu hendak mengejar larinya Satyabrata.

   "Diajeng, jangan kejar! Lihat ini, kita harus menolong mereka!"

   Kata bayangan kedua yang sudah berjongkok dekat tubuh Cangak Awu dan Pusposari. Wanita itu menahan langkahnya lalu menghampiri laki-laki yang berjongkok itu. Iapun ikut berjongkok.

   "Mereka siapakah, kakangmas?"

   Tanyanya.

   "Lihat baik-baik. Mereka adalah kakang Cangak Awu."

   "Ah, benar! Dan ini mbakayu Pusposari!"

   "Mereka terluka dan pingsan. Mari kita bawa mereka masuk,"

   Kata laki-laki itu. Dia lalu memondong tubuh Cangak Awu yang tinggi besar itu dengan ringannya seperti memondong seorang bayi saja. Wanita itupun memondong tubuh Pusposari dan mereka membawa suami isteri yang pingsan itu memasuki rumah induk. Ruangan dalam rumah itu masih diterangi sinar lampu. Siapakah pria dan wanita itu?

   Mereka adalah seorang pendekar perkasa dan pembela Mataram yang setia dan berjasa besar, bernama Sutejo atau Tejomanik, putera Ki Harjodento ketua perguruan Nogodento. Adapun wanita itu adalah isterinya yang bernama Retno Susilo, juga seorang pendekar wanita yang sakti karena ia adalah murid Nyi Rukmo Petak yang kemudian mematangkan ilmunya di bawah bimbingan suaminya. Sutejo berusia kurang lebih tiga puluh tiga tahun dan Retno Susilo berusia dua puluh sembilan bilan tahun. Biarpun kedua orang ini seperti juga para pendekar lain telah membantu Sultan Agung dalam menundukkan semua daerah, terutama sekali daerah Jawa Timur, namun suami isteri ini juga tidak mau menerima anugerah pangkat. Setelah perang selesai dan Jawa Timur dapat ditundukkan dan menakluk, suami isteri ini lalu meninggalkan Mataram dan berdiam di lereng Gunung Kawi. Sutejo memilih tinggal di lereng Gunung Kawi, yang menjadi tempat tinggalnya dahulu ketika masih hidup bersama gurunya, mendiang Bhagawan Sidik Paningal. Mereka hidup tenteram di lereng gunung itu sebagai petani.

   Setelah memondong tubuh Cangak Awu dan Pusposari masuk ke dalam rumah, mereka merebahkan tubuh suami isteri pimpinan Jatikusumo itu di atas pembaringan. Setelah keduanya memeriksa keadaan suami isteri yang pingsan itu, tahulah mereka bahwa suami isteri itu tidak terluka parah,

JILID 14


   hanya terguncang sehingga pingsan oleh hawa pukulan yang amat dahsyat. Untung bahwa mereka berdua memiliki tenaga sakti yang cukup kuat sehingga daya pukulan lawan itu dapat tertangkis dan tidak membuat mereka terluka parah. Sutejo dan Retno Susilo tahu apa yang harus mereka lakukan. Akan tetapi agar tidak keliru, Retno Susilo bertanya kepada suaminya.

   "Kakangmas, kita harus membantu mereka, menggunakan tenaga sakti untuk memulihkan tenaga mereka sehingga jalan darah mereka menjadi lancar kembali. Benarkah?"

   Sutejo mengangguk.

   "Benar, diajeng. Mari kita bantu mereka."

   "Aku harus berhati-hati, kakangmas, karena kulihat bahwa mbakayu Pusposari tampaknya sedang mengandung."

   "Begitukah? Kalau begitu, jangan meng gunakan tenaga terlalu besar, cukup untuk menghangatkan dan melancarkan jalan darahnya saja."

   Retno Susilo lalu menempelkan tangan kanannya ke pundak kiri Pusposari dan ia mengerahkan tenaga saktinya sehingga keluar getaran tenaga memasuki tubuh Pusposari yang pingsan, menggetarkan jantung dan jalan darahnya. Sutejo juga menempelkan tangannya ke dada Cangak Awu dan mengalirkan hawa sakti ke dalam tubuh pendekar tinggi besar itu.

   Tidak sampai lima menit, suami isteri itu telah siuman. Mereka mengeluh dan membuka mata mereka. Mula-mula mereka terkejut mendapatkan diri mereka rebah di atas pembaringan dan ada orang duduk dekat mereka. Akan tetapi ketika mengenal Sutejo den Retno Susilo, keduanya menjadi girang sekali, lalu bangkit duduk.

   "Ah, adi Sutejo...!"

   Seru Cangak Awu,

   "Retno Susilo...!"

   Kata pula Pusposari.

   "Tenanglah, kakang Cangak Awu dan mbakayu Pusposari,"

   Kata Sutejo lembut.

   "Andika berdua baru saja siuman dari pingsan, agaknya terkena pukulan yang ampuh. Mari kita duduk dan bicara."

   Mereka berempat lalu turun dari atas pembaringan dan duduk di kursi-kursi dalam ruangan di luar kamar itu. Pada saat itu terdengar suara gaduh dan beberapa orang murid Jatikusumo memasuki ruangan itu. Wajah mereka memperlihatkan ketegangan. Lima orang itu adalah murid-murid kepala atau adik-adik seperguruan Ki Cangak Awu.

   "Syukurlah kalau kakang Cangak Awu berdua dalam keadaan selamat,"

   Kata seorang dari mereka dengan lega ketika melihat Cangak Awu dan Pusposari duduk di situ dalam keadaan sehat.

   Cangak Awu memandang kepada mereka dan bertanya.

   "Wiro, apa yang telah terjadi?"

   Wiro mewakili saudara-saudara seperguruannya, menjawab.

   "Kami juga tidak tahu apa yang telah terjadi, kakang. Kami semua serentak terbangun seperti dibangunkan sesuatu dan kami keluar. Ternyata ada beberapa buah pondok yang daun pintunya jebol, juga daun pintu rumah andika sudah jebol dan terbuka. Kami tidak tahu apa yang telah terjadi, maka kami berlima memasuki rumah andika untuk melapor. Apakah yang telah terjadi, kakang?"

   
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Besok saja kami ceritakan. Sekarang keluarlah dan malam ini atur penjagaan yang ketat. Malam ini kami tidak ingin diganggu,"

   Kata Cangak Awu dan lima orang itu mengangguk lalu keluar lagi dari rumah itu.

   Setelah mereka keluar, Retno Susilo berkata.

   "Kakang Cangak Awu dan mbakayu Pusposari, sebetulnya apakah yang telah terjadi?"

   Cangak Awu menghela napas berulang-ulang. Wajahnya membayangkan kemarahan dan penyesalan, kemudian diapun bercerita.

   "Peristiwa malam ini merupakan akibat dari kebodohan dan kecerobohanku sendiri. Sekitar lima tahun yang lalu, seorang pemuda yang mengaku bernama Satya datang ke sini dan mohon kepadaku agar dia diterima menjadi murid Jatikusumo. Dia pandai membawa diri, tampan sopan dan lembut; dan ketika aku mencoba memukulnya, dia sama sekali tidak dapat melawan seolah dia sama sekali tidak pernah mempelajari ilmu kanuragan. Akan tetapi baru beberapa lama di sini, dia telah menyebar bujukan kepada para murid Jatikusumo, memburuk-burukkan Gusti Sultan Agung dan memji-muji Kumpeni Belanda! Mendengar laporan ini, aku menjadi marah. Tentu dia itu seorang telik sandi Kumpeni Belanda, Aku mencarinya dan mendapatkan dia berada di bukit larangan, di belakang perkampungan kami. Aku menyerangnya dan dia juga menyerangku dengan senjata api. Akan tetapi diajeng Pusposari menolongku dengan lemparan batu pada tangannya dan aku berhasil menyerangnya sehingga dia terjatuh ke dalam sumur setelah dia berhasil menembak mati seorang murid Jatikusumo. Dia terjatuh ke dalam sumur tua. Karena sumur itu merupakan sumur maut yang berhantu, maka kami mengganggap dia sudah mati."

   "Pengkhianat seperti si Satya itu memang layak mati!"

   Kata Retno Susilo gemas.

   Cangak Awu menghela napas panjang.

   "Sayang sekali, dia sama sekali tidak mati! Malam ini kami berdua tiba-tiba terserang kantuk yang luar biasa kuatya. Kami menduga bahwa rasa kantuk itu tentu tidak wajar dan agaknya ada orang mengerahkan aji penyirepan. Maka kami lalu menolaknya dengan pengerahan tenaga sakti. Kemudian, terdengar suara tawa seperti iblis dan terdengar suara gaduh seperti runtuhnya pintu-pintu perumahan kami. Kami berdua lalu mengambil senjata dan melompat keluar. Dan in berada di sana, di luar rumah kami."

   "Si Satya jahanam itu?"

   Tanya Retno Susilo.

   "Ya, dialah orangnya,"

   Kata Pusposari yang sejak tadi diam saja.

   "Kami segera mengenalnya dan menyerangnya, akan tetapi dia memiliki kepandaian yang hebat sekali, gerakannya cepat seperti setan!"

   "Hemm, kakang Cangak Awu, bagaimana dalam waktu lima tahun lebih saja dia sudah dapat menjadi sepandai itu? Bukankah ketika mula-mula datang dia tidak pandai ilmu silat seperti ceritamu tadi?"

   Tanya Sutejo heran.

   "Benar, ketika dia datang dan sengaja kucoba memukulnya, dia sama sekali tidak mampu mengelak atau menangkis. Tentu saja kini aku tahu bahwa dia hanya bermain sandiwara dan sebetulnya dia sudah memiliki ilmu silat yang tinggi. Hanya kalau tingkatnya sudah tinggi saja maka dia mampu berpura-pura seperti itu, maklum bahwa pukulanku itu hanya hendak mengujinya saja."

   "Akan tetapi, kalau dia memang merupakan telik sandi Kumpeni Belanda dan bermaksud untuk menyerangmu, kenapa tidak dia lakukan ketika dia datang melainkan menanti sampai setahun bahkan membiarkan dirinya kau serang sampai terjatuh ke dalam sumur?"

   Cangak Awu menghela napas.

   "Itulah kebodohanku yang kedua kali. Kebodohku pertama kali adalah ketika aku dapat dia kelabui dan menerimanya sebagai murid Jatikusumo. Kemudian, kebodohanku yang kedua adalah ketika aku percaya bahwa dia telah terjatuh ke dalam sumur maut dan mati! Sekarang aku mengerti. Agaknya dia memang sengaja menjatuhkan diri dalam sumur itu. Agaknya dia menemukan pelajaran ilmu-ilmu yang ditinggalkan paman Eyang Guru Ekomolo dalam sumur itu dan sempat mempelajarinya. Ketika kami tadi menyerangnya, dia memang memiliki kesaktian seperti iblis sendiri. Semua serangan kami tak mengenai sasaran dan ketika senjata kami beradu dengan kerisnya yang kukenal kenal sebagai keris pusaka Ilat Nogo mllik mendiang kakang Priyadi, kami terpental ke belakang. Ketika kami bangkit, dia menyerang kami dengan pukulan jarak jauh yang dahsyat. Kami sudah mengerahkan aji pukulan kami untuk melawannya, akan tetapi kami roboh terbanting ke belakang dan tidak ingat apa-apa lagi."

   "Tahu-tahu aku sudah siuman di kamar tadi,"

   Sambung Pusposari.

   "Apa yang terjadi ketika kami pingsan itu? Bagaimana andika berdua dapat datang malam-malam, tepat pada waktunya dan agaknya andika berdua yang telah menolong kami?"

   Kini giliran Sutejo dan Retno Susilo, sepasang suami isteri dari lereng Gunung Kawi itu, yang menghela napas panjang mendengar pertanyaan ini.

   "Seperti juga andika berdua, kakang Cangak Awu, kamipun tidak membawa kabar baik,"

   Kata Sutejo dengan wajah muram.

   "Heh, apakah yang telah terjadi, adimas Sutejo? Ketika kami berdua mengunjungi kalian di lereng Gunung Kawi, kalian berdua hidup dengan tenteram bahagia di lereng yang subur indah itu, bersama putera kalian""

   Eh, siapa namanya""

   O ya, Bagus Sajiwo. Anak yang mungil dan lucu itu berusia dua tahun ketika kami berkunjung ke sana, lima tahun yang lalu. Kini dia tentu telah menjadi seorang perjaka kecil yang tampan!"

   Kata Ki Cangak Awu.

   "Itulah, kakangmas Cangak Awu. Kabar buruk itu mengenai anak kami Bagus Sajiwo..."

   Kata Retno Susilo dengan suara sedih.

   "Hei....! Apa yang terjadi dengan keponakanku itu?"

   Teriak Ki Cangak Awu sambil bangkit berdiri dari kursinya.

   "Tenanglah, kakangmas,"

   Bujuk Pusposari.

   "Biar kita dengarkan dulu cerita mereka."

   Mendengar bujukan isterinya, Ki Cangak Awu yang berwatak kaku dan keras seperti Bimasena itu mengangguk dan duduk kembali.

   "Ceritakanlah, adimas Sutejo. Ceritakan yang jelas!"

   Katanya.

   Setelah menghela napas panjang Sutejo lalu bercerita.

   "Terjadinya kurang lebih setahun yang lalu. Ketika itu, Ragus Sajiwo berusia kurang lebih enam tnhun. Pada suatu pagi, seorang penduduk dusun di kaki Gunung Kawi datang berlari-lari, melaporkan kepada kami bahwa dusun itu diserbu gerombolan perampok. Karena sudah beberapa kali kami menentang para gerombolan di sekitar daerah Gunung Kawi dan berhasil mengusir mereka, maka kami dikenal sebagai orang-orang yang mampu menolong para penduduk dusun yang diganggu gerombolan jahat. Kami berdua lalu pergi turun gunung menuju dusun itu. Kami meninggalkan Bagus Sajiwo berdua dengan bibi Sikem, pembantu rumah tangga kami. Kami berhasil menghalau gerombolan penjahat yang mengganggu dusun itu. Bahkan mereka melarikan diri ketika kami datang. Setelah kami pulang ke rumah kami, baru kami tahu bahwa gangguan gerombolan ke dusun itu hanyalah merupakan siasat licik untuk menjauhkan kami dari rumah kami...."

   "Hemm, siasat memancing harimau meninggalkan sarangnya?"

   Kata Cangak Awu. Sutejo mengangguk.

   "Benar, kakangmas Cangak Awu. Ketika kami tiba di rumah, bibi Sikem pembantu kami telah tewas dan Bagus Sajiwo telah hilang..."

   "Hilang???"

   Cangak Awu dan Pusposari berseru kaget.

   "Anakku Bagus Sajiwo hilang, agaknya diculik orang."

   Kata Retno Susilo, suaranya menggetar menahan isak.

   Cangak Awu sudah bangkit berdiri dan tinjunya yang besar bergerak menimpa meja.

   "Keparat! Jahanam dari mana berani menculik keponakanku? Katakan, adi Sutejo, katakan siapa penculik itu! Aku akan mencarinya, merampas kembali Bagus Sajiwo dan meremukkan kepala penculik itu!"

   "Kakangmas, tenanglah dulu dan biarkan adimas Sutejo melanjutkan ceritanya,"

   Kata Pusposari sambil menarik tangan suaminya agar duduk kembali.

   "Kalau aku mengetahul siapa jahanam itu, tentu sekarang sudah kupenggal kepalanya dan anakku sudah dapat kurampas kembali!"

   Kata Retno Susilo dengan suara gemas. Barulah Cangak Awu menyadari bahwa Sutejo dan Retno Susilo merupakan orang-orang yang sakti mandraguna.

   Tadi dia hampir lupa akan kenyataan ini dan sikapnya didorong oleh kemarahan yang membakar hatinya mendengar Bagus Sajiwo diculik orang. Maka diapun duduk kembali.

   "Kami tidak tahu siapa penculik itu,"

   Kata Sutejo.

   "Satu-satunya orang yang menyaksikan penculikan itu tentulah bibi Sikem, akan tetapi ia telah terbunuh, tentu penculik itu pula yang membunuhnya."

   "Hemm, kalau begitu penculik itu tentu seorang pengecut. Dia membunuh pembantu rumah tangga tentu dengan maksud agar wanita itu tidak akan dapat membuka rahasianya. Jelas dia takut kalau kalian mengetahui siapa dia,"

   Kata Cangak Awu.

   "Benar, tentu begitu,"

   Kata Pusposari.

   "Dan penculik itu jelas takut kepada kalian maka dia menggunakan siasat memancing kalian keluar dari rumah. Mereka tidak berani melakukan penculikan itu sewaktu kalian berada di rumah,"

   Kata Pusposari.

   "Heii! Ada cara untuk mengetahui siapa jahanam itu!"

   Tiba-tiba Cangak Awu, berteriak.

   "Adi Sutejo, kita cari para perampok yang memancing kalian keluar ineninggalkan rumah itu karena mereka itu tentu disuruh oleh penculik dan mengetahui siapa penculik itu!"

   Isterinya membenarkan dan mengangap usul suaminya ini baik sekali. Akan tetapi Sutejo menggeleng kepala dan menghela napas.

   "Hal itu sudah kami lakukan, kakang Cangak Awu. Kami sudah pergi mencari para perampok itu, bahkan berhasil menangkap kepala perampok. Kami memaksanya untuk mengaku siapa yang menyuruh mereka melakukan perampokan itu. Akan tetapi dia mengaku bahwa penyuruhnya adalah seorang laki-laki tinggi besar yang menutupi mukanya dengan topeng hitam dan dia tidak tahu siapa penyuruh itu. Mula-mula dia tidak mau, akan tetapi setelah dihajar setengah mati dan anak buahnya juga diamuk, kepala perampok itu terpaksa memenuhi perintah orang yang sakti mandraguna itu. Jadi, tidak ada seorangpun yang tahu siapa penculik itu. Hanya diketahui bahwa dia seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar."

   "Akan tetapi bisa saja dia membohongimu, adi Sutejo!"

   "Tidak mungkin dia berbohong!"

   Kata Retno Susilo.

   "Aku sudah mematahkan kedua tulang kakinya! Tak mungkin dia berani berbohong!"

   "Benar, kakang Cangak Awu,"

   Kata Sutejo.

   "Kepala perampok itu tidak berbohong. Aku sudah menanyai beberapa orang anggauta perampok dengan ancaman dan hasilnya sama. Mereka hanya tahu bahwa yang memaksa mereka mengganggu dusun itu adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar yang memakai kedok sehingga mereka bahkan tidak tahu berapa kira-kira usia laki-laki itu."

   "Hemm, kalau begitu, sukar juga melacak jejaknya,"

   Kata Cangak Awu.

   "Memang tidak mudah, semenjak anak kami diculik, kami berdua sudah meninggalkan rumah dan mencari-cari namun tidak ada hasilnya. Karena itulah kami ingat kepadamu, kakang Cangak Awu. Engkau memiliki banyak anggauta perguruan, siapa tahu engkau dan para anggauta Jatikusumo dapat membantu kami untuk mendengar-dengarkan, barangkali di antara mereka ada yang kebetulan mendengar tentang anak kami itu. Anak kami Bagus Sajiwo itu kini berusia kurang lebih tujuh tahun."

   "Menurut pendapatku, sementara mencari Bagus Sajiwo, kalian tidak perlu gelisah. Orang itu hanya menculik anak kalian, dan hal ini menunjukkan bahwa dia tidak bermaksud membunuhnya. Kalau dia bermaksud demikian, tentu pembunuhan itu telah dia lakukan seperti yang dilakukan kepada pembantu rumah tangga itu, tidak perlu bersusah payah melakukan penculikan,"

   Kata Pusposari dengan nada menghibur kepada Retno Susilo.

   "Dan aku yakin bahwa yang melakukan penculikan ini tentulah seorang yang mendendam sakit hati kepada kalian, adi Sutejo,"

   Kata pula Ki Cangak Awu.

   Sutejo mengangguk.

   "Apa yang andika berdua katakan itu memang benar. Penculik itu tentu melakukan penculikan atas diri anak kami untuk membalas dendam, dan dia tentu tidak bermaksud membunuh anak kami. Yang kuherankan, mengapa Bagus Sajiwo mengalami nasib seperti bapaknya. Aku sendiri dulu juga diculik orang dari orang tuaku, bahkan aku diculik ketika masih kecil sehingga tidak ingat lagi siapa orang tuaku. Hanya berkat kemurahan Gusti Allah saja akhirnya aku dapat juga bertemu dengan ayah bundaku."

   Sutejo termenung dengan sedih, teringat akan pengalamannya sendiri. Ketika dia masih kecil, berusia tiga tahun, diapun diculik oleh seorang wanita bernama Ken Lasmi yang kemudian dikenal sebagai Nyi Rukmo Petak karena wanita itu mendendam sakit hati terhadap ayah dan ibu kandungnya, yaitu Ki Harjodento ketua perguruan Nogo Dento dan Padmosari. Sakit hati Ken Lasmi itu karena cintanya ditolak oleh Ki Harjodento. Karena tidak kuasa menandingi Ki Harjodento dan Padmosari, Ken Lasmi lalu menculiknya pada waktu dia berusip tiga tahun dan tidak ingat siapa orang tuanya. Bahkan yang diingat dari namanya, yaitu Tejomanik, hanyalah "Tejo"

   Saja.

   Dia ditolong dan dibebaskan dari tangan Ken Lasmi oleh Bhagawan Sidik Paningal yang kemudian menjadi gurunya, bahkan menjadi ayah angkatnya. Karena dia mengaku bernama Tejo, maka Bhagawan Sidik Paningal memberinya nama Sutejo. Baru setelah dia dewasa, dia tahu bahwa penculiknya adalah Nyi Rukmo Petak yang menjadi guru Retno Susilo yang kini menjadi isterinya, dan diapun tahu dari Nyi Rukmo Petak sendiri bahwa dia adalah putera Ki Harjodento dan Padmosari. Kisah tentang peristiwa itu dapat diikuti dalam cerita "Pecut Sakti Bajrakirana".

   "Sudahlah, jangan terlalu berduka, adi Sutejo. Percayalah bahwa Gusti Allah akan senantiasa melindungi keponakanku Bagus Sajiwo dan aku berjanji akan mengerahkan anak buahku agar memasang mata dan telinga baik-baik untuk mendengarkan tentang anak kita itu. Akan tetapi kalian belum menceritakan bagaimana kalian dapat datang berkunjung malam-malam begini dan kebetulan sekali dapat menolong kami."

   Sutejo menoleh kepada isterinya.

   "Diajeng, ceritakanlah peristiwa tadi kepada kakang Cangak Awu dan mbakayu Pusposari."

   Retno Susilo mengangguk dan melanjutkan cerita suaminya.

   "Ketika kami tiba di Ponorogo, kami teringat akan perguruan Jatikusumo di sini. Akan tetapi hari telah sore. Walaupun begitu, karena ingin sekali bertemu dengan kalian di sini dan minta bantuan mencari jejak anak kami, kami melanjutkan perjalanan. Ketika kami tiba di sini, malam telah tiba. Akan tetapi kami melanjutkan perjalanan ke perkampungan Jatikusumo, yakin bahwa kami pasti tidak akan mengganggu kalian, bahkan kami mungkin akan merupakan kejutan yang menggembirakan."

   "Memang, kami akan terkejut dan gembira sekali menerima kalian berkunjung malam-malam begini kalau saja tidak terjadi penyerangan tadi,"

   Kata Pusposari.

   "Ketika kami memasuki perkampungan, kami merasa heran sekali akan kesunyiannya dan melihat dua orang anggauta Jatikusumo tertidur di atas bangku depan gardu penjagaan. Kami merasa heran dan curiga, lalu berlari cepat menuju ke rumah induk. Pada saat itu kami melihat seorang memegang keris dan hendak menyerang kalian yang sudah roboh. Agaknya orang itu terkejut dan melihat kami dia lalu melarikan diri. Kemudian kami mendapat kenyataan bahwa dua orang yang roboh pingsan adalah kalian berdua, maka kami cepat memondong kalian masuk ke rumah ini yang daun pintunya sudah jebol."

   "Ah, kedatangan kalian sungguh kebetulan sekali. Kalau tidak, tentu kami telah mati di tangan jahanam keparat Satya itu. Agaknya Gusti Allah sendiri yang menuntun kalian sehingga malammalam

   begini datang berkunjung untuk menyelamatkan kami secara tidak disengaja,"

   Kata Cangak Awu.

   "Akan tetapi, rasanya sukar sekali dapat kupercaya bahwa ada seorang pemuda yang terjungkal ke dalam sumur, dalam waktu lima tahun saja telah berubah menjadi seorang yang sakti mandraguna dan mampu merobohkan dua orang seperti kakangmas Cangak Awu dan mbakayu Pusposari!"

   Kata Retno Susilo dengan suara mengandung penasaran.

   "Hemm, diajeng, apakah engkau sudah lupa kepada mendiang Priyadi dan betapa hebat kesaktiannya? Bahkan selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan lawan yang setangguh Priyadi. Nah, menurut cerita kakang Cangak Awu tadi, pemuda bernama Satya itu terjerumus ke dalam sumur tua di mana dahulu mendiang Priyadi terjatuh. Bahkan Satya itu juga telah mempunyai

   keris Ilat Nogo yang dulu menjadi milik Priyadi. Siapa tahu dalam waktu lima tahun itu dia telah mampu mempelajari ilmu-ilmu yang dulu dikuasai Priyadi, entah melalui kitab atau mungkin juga tulisan atau gambar dalam sumur itu. Kalau benar demikian, tidak aneh kalau dia berubah menjadi seorang pemuda yang memiliki kesaktian hebat,"

   Kata Sutejo.

   "Aku sependapat dengan adi Sutejo. Pasti jahanam Satya itu telah mewarisi ilmu-ilmu dari mendiang kakang Priyadi dan keris pusakanya. Karena itu aku mengambil keputusan untuk besok pagi memasuki sumur itu dan melakukan pemeriksaan,"

   Kata Cangak Awu.

   "Ihhh"..!"

   Seru Pusposari dengan wajah membayangkan kengerian.

   "Itu berbahaya sekali, kakangmas! Sumur tua itu berhantu!"

   Ia bergidik.

   "Bukankah engkau pernah mengatakan bahwa sejak dahulu bukit tempat sumur itu berada menjadi tempat larangan bagi para murid Jatikusumo?"

   Cangak Awu menghela napas panjang.

   "Sesungguhnya, kalau mau jujur, aku juga merasa ngeri dan takut memasuki sumur keramat itu. Akan tetapi dengan munculnya kasus jahanam Satya, aku harus memasuki sumur itu untuk menyelidiki. Bagaimanapun, aku berhak karena aku adalah murid Jatikusumo."

   "Bagus! Kalau begitu, aku akan menemanimu turun ke sumur itu besok, kakang Cangak Awu!"

   Kata Sutejo.

   Retno Susilo yang juga merasa seram, berseru.

   "Akan tetapi, orang luar mana boleh memasuki tempat terlarang itu?"

   Sutejo tersenyum.

   "Siapa orang luar? Aku bukan orang luar. Aku juga murid Jatikusumo. Guruku yang pertama, Bapa Bhagawan Sidik Paningal, adalah adik seperguruan Uwa Guru Bhagawan Sindusakti yang dulu menjadi ketua Jatikusumo. Kemudian, guruku yang kedua, Eyang Guru Resi Limut Manik, malah menjadi tokoh besar Jatikusumo. Aku juga keturunan perguruan Jatikusumo dan seperti juga kakang Cangak Awu, aku berhak memasuki sumur tua itu."

   "Itu baik sekali! Hilang rasa takut dan ngeri dalam hatiku kalau adi Sutejo mau menemaniku masuk ke sumur melakukan pemeriksaan. Kalian berdua jangan khawatir. Kalian boleh menjaga di luar sumur. Kami tidak akan terancam karena bukankah yang berada di dalam sumur itu hanyalah sisa-sisa jenazah Paman Kakek Guru Ekomolo dan kakang Priyadi? Apalagi kami memasuki sumur besok siang. Tidak ada hantu berani muncul di siang hari, bukan?"

   Kata Cangak Awu kepada dua orang wanita gagah perkasa yang merasa seram itu.

   Dua pasang suami isteri itu bercakap-cakap dengan asyik, mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing selama mereka berpisah. Selama ini, Sutejo dan Retno Susilo tinggal di lereng Gunung Kawi yang sunyi dan jauh dari kota sehingga mereka berdua tidak tahu banyak tentang perkembangan yang terjadi di Mataram. Cangak Awu yang lebih banyak mengetahui banyak bercerita tentang Mataram, tentang usaha Mataram untuk menaklukkan Madura, Surabaya dan Giri.

   "Kami tinggal menanti berita dari Gusti Puteri Wandansari. Begitu kami dipanggil, kami akan segera berangkat untuk membantu gerakan Mataram kalau sekiranya membutuhkan bantuan kami. Ketika Mataram menundukkan Tuban, kami tidak dipanggil."

   "Eh, kakangmas Cangak Awu. Bukankah Sang Puteri Wandansari itu masih murid Jatikusumo dan menjadi adik seperguruanmu? Kenapa engkau menyebutnya Gusti Puteri?"

   Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tanya Retno Susilo yang pernah merasa cemburu kepada sang puteri itu karena dahulu Sutejo pernah jatuh cinta kepada puteri istana itu.

   "Kenapa engkau bertanya begitu, diajeng?"

   Kata Sutejo.

   "Bagaimanapun juga, ia adalah puteri Kerajaan Mataram, tentu saja kita semua menyebutnya Gusti Puteri."

   Cangak Awu melanjutkan keterangannya.

   "Akan tetapi untuk menghadapi Madura, Surabaya dan Giri, agaknya Mataram membutuhkan bantuan banyak orang yang sekiranya memiliki kemampuan. Aku mendengar bahwa Madura itu kuat sekali karena selain diam-diam dibantu Kumpeni, juga di sana terdapat banyak orang sakti mandraguna, di antaranya adalah Ki Harya Baka Wulung yang menjadi tokoh besar dan penasihat di Kadipaten Arisbaya."

   "Aku merasa heran mengapa Mataram masih hendak menaklukkan Madura dan Surabaya? Bukankah daerah-daerah yang menentangnya sudah ditundukkan semua?"

   Tanya Retno Susilo.

   Suaminya segera memandangnya dengan tatapan mata tajam.

   "Diajeng, bukankah sudah sering kuceritakan kepadamu tentang cita-cita Gusti Sultan Agung? Mataram sama sekali bukan berniat menaklukkan untuk menguasai, melainkan mengajak semua daerah bersatu-padu untuk menghadapi kekuasaan Kumpeni Belanda yang merupakan ancaman bagi tanah air. Tentu saja yang tidak mau bersatu lalu ditundukkan. Tujuan Gusti Sultan Agung hanya agar seluruh Nusantara menjadi satu kesatuan yang utuh, karena hanya dengan begitu maka setiap daerah akan menjadi perisai yang kokoh untuk mencegah berkembangnya kekuasaan Kumpeni Belanda di Nusantara. Kalau ada daerah, terutama di pasisiran, yang tidak mau bersatu dengan Mataram kemudian terbujuk Kumpeni dan mau menerima Kumpeni Belanda, maka hal itu menjadi amat berbahaya bagi Mataram. Mengertikah engkau, diajeng?"

   Retno Susilo mengangguk dan mengalah, tidak ingin berbantah dengan suaminya karena dia tahu bahwa suaminya adalah seorang yang amat setia kepada Kerajaan Mataram, seorang berjiwa pahlawan sejati yang mencinta tanati air dan siap untuk membelanya sampai mati sekalipun. Kalau tadi ia mengajukan rasa penasarannya terhadap Mataram, hal itu sebenarnya hanya menyembunyikan perasaan cemburunya kepada Sang Puteri Wandansari! Setelah puas bercakap-cakap, mereka lalu mengaso dan tidur, mempersiapkan diri untuk melaksanakan keinginan mereka memasuki sumur keramat dan melakukan pemeriksaan.

   Matahari telah naik tinggi ketika dua pasang suami isteri itu mendaki bukit di belakang perkampungan Jatikusumo. Tidak ada murid Jatikusumo lain yang diperkenankan ikut. Para murid ikut kaget dan kini melakukan penjagaan ketat setelah mereka semua mendengar keterangan Ki Cangak Awu bahwa semalam mereka semua telah menjadi korban aji penyirepan dan bahwa Ki Cangak Awu dan isterinya diserang oleh Satya yang tadinya dianggap telah tewas dalam sumur tua akan tetapi dapat diusir dari situ.

   Matahari telah naik tinggi dan sinarnya yang cerah menerangi seluruh permukaan bukit itu. Terangnya sinar matahari itu mengusir semua kesan seram dan ngeri dari hati Retno Susilo dan Pusposari. Memang tepat kata orang-orang tua bahwa setan tidak akan muncul di siang hari dan didongengkan bahwa bangsa setan demit iblis takut akan sinar matahari! Buktinya, di waktu siang hari, ketika matahari bersinar terang, perasaan takut terhadap setanpun lenyap dari hati orang.

   Karena munculnya di waktu malam gelap itulah maka setan kadang disebut kuasa kegelapan, yang samar-samar atau merupakan bayangan atau juga suara tanpa rupa. Padahal sesungguhnya, setan demit iblis yang suka muncul di waktu malam itu hanya menakut-nakuti saja dan sama sekali tidak berbahaya. Yang amat berbahaya sekali adalah setan yang tidak tampak, setan yang bercokol dalam hati akal pikiran kita, yang menyalahgunakan nafsu-nafsu kita untuk mencengkeram dan menguasai kita, menyeret kita ke dalam pengejaran kesenangan dengan menghalalkan segala cara sehingga tanpa kita sadari kita melakukan perbuatanperbuatan yang jahat. Setan yang tak tampak itu menyeret kita ke dalam dosa dengan mempergunakan nafsu-nafsu daya rendah kita sebagai umpan. Dan setan iblis yang bercokol dalam hati akal pikiran kita inilah yang sesungguhnya teramat berbahaya sekali bagi kita.

   Pertama-tama iblis yang bercokol dalam pikiran kita membayangkan kesenangan-kesenangan dengan segala kenikmatannya sehingga kita lupa diri, tertarik dan mengejar-ngejar. Pengejaran kesenangan menjadi tujuan utama dan untuk mendapatkannya terkadang kita mempergunakan segala macam cara, menghalalkan segala cara. Pengejaran kesenangan yang didatangkan oleh materi, dalam hal ini intinya adalah uang karena segala materi dapat diperoleh dengan uang, menimbul, kan kejahatan-kejahatan seperti pencurian, perampokan, penipuan, korupsi, manipulasi, dan lain-lain (gayus&cirus pisan deh-editor). Pengejaran kesenangan yang didatangkan oleh sex sering menimbulkan tindak kejahatan seperti perkosaan, perjinaan, pelacuran, dan sebagainya.

   Sekali lagi. Setan yang tak tampak inilah yang berbahaya karena dia muncul kapan saja dan di mana saja, tak perduli siang atau malam. Kita tidak usah takut terhadap setan yang muncul menakut-nakuti kita di waktu malam gelap, namun kita harus selalu waspada dan hati-hati terhadap godaan setan yang bercokol dalam benak kita sendiri.

   Dengan kekuatan kita sendiri, kita tidak mungkin dapat mengusir setan yang bercokol dalam pikiran kita. Yang dapat mengusir setan agar meninggalkan kita hanyalah Kekuasaan Gusti Allah yang Maha Kuasa, Sang Maha Pencipta. Kalau kita selalu mendekatkan diri kepada Gusti Allah, batin kita selalu memuja dan memujiNya, dengan kepasrahan lahir batin, doa dalam batin yang terus-menerus tiada hentinya sehingga setiap pernapasan kita merupakan nyanyi pujaan kepada-Nya, sehingga setiap perbuatan kita merupakan kebaktian kepadaNya dan kita lakukan atas namaNya, maka Kekuasaan Gusti Allah akan selalu menyertai kita, selalu melindungi dan menuntun kita dan kalau sudah begitu, setan iblis sudah pasti melarikan diri ketakutan dan kekuasaannya atas diri kita hilang. Akan tetapi, setan takkan pernah berhenti mengamati kita, bagaikan harimau mengintai calon mangsanya. Sedikit saja kita lengah, sebentar saja kita menjauhkan diri dari Gusti Allah sehingga hubungan kita dengan-Nya menjadi renggang, iblis akan segera menyergap masuk untuk menerkam dan menguasai hati akal pikiran kita, bagaikan harimau kelaparan menerkam mangsanya!


JILID 15



JILID 16



JILID 17



JILID 18



JILID 19



JILID 20



JILID 21



JILID 22



JILID 23



JILID 24



JILID 25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAGUS SAJIWO

BAGUS SAJIWO BAGUS SAJIWO JIL ID 01 BAGUS SAJIWO JIL ID 02 BAGUS SAJIWO JIL ID 03 BAGUS SAJIWO JIL ID 04 BAGUS SAJIWO JIL ID 05 BAGUS SAJIWO JIL ID 06 BAGUS SAJIWO JIL ID 07 BAGUS SAJIWO JIL ID 08 BAGUS SAJIWO JIL ID 09 BAGUS SAJIWO JIL ID 10 BAGUS SAJIWO JIL ID 11 BAGUS SAJIWO JIL ID 12 BAGUS SAJIWO JIL ID 13 BAGUS SAJIWO JIL ID 14 BAGUS SAJIWO JIL ID 15 BAGUS SAJIWO JIL ID 16 BAGUS SAJIWO JIL ID 17

ALAP-ALAP LAUT KIDUL

JILID 1 JILID 2 JILID 3 JILID 4 JILID 5 JILID 6 JILID 7 JILID 8 JILID 9 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33