Langsung ke konten utama

SERULING GADIN

  SERULING GADING  1 2 3 4 5 6 7 8 9 6 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 JILID 1    Puncak Argadumilah menjulang tinggi diselimuti awan putih bergerombol seperti sekelompok domba berbulu putih bergerak perlahan, berarak ke arah selatan. Sinar matahari pagi mulai menerangi permukaan Gunung Lawu yang tanahnya subur dan hijau penuh pohon dan tumbuhan. Kinar matahari pagi yang lembut dan hangat itu masih belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang amat dingin bagi manusia itu. Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah. Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu.    Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan A...

ALAP ALAP LAUT KIDUL JILID 14

   Tegal dan juga Adipati di Cirebon sudah setuju untuk dijadikan lumbung beras bagi keperluan ransum balatentara Mataram kalau nanti menyerbu Batavia untuk kedua kalinya. Dengan demikian berarti bahwa Tumenggung Tegal bersedia membantu Mataram. Akan tetapi kenyataannya kini, seorang telik sandi penting dari Kumpeni Belanda dapat masuk dan bergerak dengan leluasa di Tegal!

   Bahkan rombongan ini diterima oleh seorang laki-laki tinggi besar yang dari sikap dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang penting. Rumahnya besar dan rombongan itu disambut dengan hormat dan diadakan pesta. Aji dan Sulastri tidak diperkenalkan, akan tetapi mereka mendengar orang tinggi besar berusia sekita empat puluh tahun itu disebut Ki Warga. Rumah itu besar dan megah, tanda bahwa penghuninya orang yang kaya. Aji dan Sulastri diberi masing-masing sebuah kamar dan dua orang tawanan ini dibiarkan berada dalam keadaan bebas, seperti tamu, namun mereka maklum bahwa mereka dijaga oleh sekelompok orang dengan ketat. Pula, mereka sama sekali tidak berani meloloskan diri karena keselamatan nyawa Sulastri terancam. Hal ini yang membuat mereka merasa tak berdaya dan terpaksa harus menyerah.

   Mereka bermalam di rumah orang bernama Warga ini sampai tiga hari. Aji tidak tahu apa yang mereka lakukan atau rencanakan. Mereka berdua dapat saling bertemu karena mereka diberi kebebasan keluar dari kamar. Akan tetapi mereka tidak dapat saling bicara empat mata karena selalu ada saja penjaga yang mengamati dari dekat. Mereka hanya bicara seperlunya saja dan Aji hanya dapat menanyakan bagaimana keadaan Lastri.

   Sulastri selalu menggeleng kepala dan menghela napas panjang kalau ditanya tentang kesehatannya

   dan menjawab singkat.

   "Masih belum ada perubahan."

   Jawaban ini cukup bagi Aji. Berarti gadis itu masih merasakan akibat keracunan itu dan kalau mengerahkan tenaga saktinya merasa dalam dadanya nyeri. Selama gadis itu masih menderita karena keracunan, mereka berdua tidak berdaya dan tidak berani meloloskan diri karena hal itu berarti ancaman bahay maut bagi Sulastri.

   Tentu saja selama menjadi tawanan itu, Aji tiada hentinya mencari kesempatan. Dia sendiri belum tahu kesempatan bagaimana yang dapat dia manfaatkan untuk keselamatan mereka berdua karena dia sendiri tidak tahu apa yang dapat dia lakukan dalam keadaan Sulastri keracunan seperti itu. Dia merasa benar-benar tidak berdaya. Akan tetapi dia tidak pernah putus asa dan selalu waspada mencari jalan keluar untuk menanggulangi ancaman yang membayangi dia dan Sulastri. Beberapa kali Sulastri hampir tak dapat menahan kesabarannya dan gadis itu ingin mengamuk saja tanpa memperdulikan keselamatannya. Akan tetapi selalu Aji, dengan isarat gerakan dan pandang matanya, dapat menyabarkannya.

   "Selama kita masih hidup, selalu masih ada harapan."

   Demikain dia berkata pada suatu kesempatan tanpa terdengar oleh para penjaga yang mengamati mereka. Sulastri cemberut, akan tetapi mengangguk tanda bahwa ia mematuhi ucapan pemuda itu.

   Malam itu udara dingin sekali. Aji duduk bersila dalam kamarnya. Dia maklum bahwa di luar kamarnya terdapat dua orang yang bertugas mengawasinya. Nanti lewat tengah malam, dua orang penjaga itu akan diganti dua orang lain.

   Demikian yang dia ketahui pada malam-malam yang lalu. Dia sudah mengambil keputusan tetap. Malam itu adalah malam terakhir dia dan Sulastri berada di rumah itu. Siang tadi Nyi Maya Dewi sudah memberitahukan kepadanya bahwa besok pagi-pagi mereka akan melanjutkan perjalanan, entah kemana wanita itu tidak mau memberi tahu. Maka, malam ini dia harus dapat melakukan penyelidikan ke mana mereka akan dibawa pergi dan menyelidiki rahasia lain yang ada hubungannya dengan keselamatan Sulastri. Dia ingin mengetahui di mana Nyi Maya Dewi menyimpan obat penawar racun yang mempengaruhi tubuh Sulastri. Setelah keadaan di rumah itu sunyi, tanda bahwa semua penghuninya sudah memasuki kamar masing-masing, Aji perlahan-lahan membuka daun pintu kamarnya. Sedikit gerakan ini cukup membuat dua orang penjaga itu menengok lalu menhampiri.

   "Andika hendak pergi ke mana?"

   Tanya mereka dan kedua orang itu berdiri di kanan kiri Aji.

   "Aku melihat di sana itu yang berkilauan itu apakah?"

   Dia menuding ke depan. Dua orang penjaga itu tentu saja menoleh dan memandang ke arah yang ditunjuk Aji. Pada saat itu, kedua tangan Aji bergerak cepat, menyambar ke arah tengkuk mereka dengan tangan miring.

   Tanpa dapat mengeluarkan keluhan, dua orang itu terkulai dalam keadaan pingsan. Aji menyambar tubuh mereka dengan kedua tangannya, mencegah mereka roboh, lalu membawa mereka ke tempat mereka berjaga tadi. Dia mendudukkan mereka di atas bangku yang tadi mereka duduki, menyandarkan tubuh itu ke dinding. Setelah itu dia menutupkan daun pintu kamarnya dan berindap-indap dia menuju ke kamar besar di bagian kiri. Dia tahu bahwa kamar itu adalah kamar Nyi Maya Dewi, sedangkan kamar Ki Harya Baka Wulung, Aki Somad dan laki-laki jangkung berada di bagian kanan. Dengan pengerahan Aji Bayu Sakti, tubuh Aji bergerak seperti angin, cepat dan ringan dan tak lama kemudian dia sudah melakukan pengintaian di luar jendela kamar yang didiami Nyi Maya Dewi. Jantungnya berdebar tegang dan girang ketika dia melihat bayangan dua orang duduk di atas pembaringan dalam keadaan saling berpelukan mesra. Mereka itu bukan lain adalah Nyi Maya Dewi dan pria jangkung itu! Aji merasa rikuh dan malu menyaksikan penglihatan itu, maka dia mengalihkan pandangan dan menempelkan telinganya pada jendela untuk dapat menangkap pembicaraan mereka sebaiknya.

   "Maya, sampai kapan engkau akan menggodaku seperti ini? Engkau selalu menahan-nahan dan menghalangi aku memiliki gadis itu. Maya, apakah ini berarti bahwa engkau cemburu dan tidak rela kalau aku menggauli gadis itu?"

   Terdengar suara pria itu dengan nada menyesal dan menegur.

   "Cemburu? Ah, sama sekali tidak, Raden, di antara kita sudah terdapat janji bahwa kita tidak akan saling mengikat, tidak ada cemburu dan kita boleh bercinta dengan siapa saja tanpa yang lain mencegahnya. Bersabarlah, Raden. Kita membutuhkan gadis itu, Kalau ia kuserahkan padamu sekarang, kemudian ia tidak mau membuka rahasia penyerangan Mataram itu, bukankah kita yang menderita rugi? Sabarlah. Kalau ia sudah membuka rahasia itu, pasti ia akan kuserahkan padamu."

   "Bagaimana engkau dapat memastikan hal itu akan dapat terjadi, Maya?"

   "Jangan khawatir, Raden. Bukankah obat penawar itu selalu ada padaku? Obat penawar itu adalah nyawa Sulastri! Selama obat penawar itu ada padaku, selama tiga bulan sejak dara itu keracunan, ia sepenuhnya berada di tanganku."

   "Kalau begitu, berikan obat penawar itu kepadaku, Maya sayang? Setelah ia membuka rahasia, obat penawar itu akan dapat kupergunakan untuk membujuk dan mengancamnya agar ia suka menyerahkan diri dengan suka rela kepadaku. Aku tidak ingin mendapatkan ia secara paksa. Aku ingin ia menyerah dengan suka rela."

   Tegal dan juga Adipati di Cirebon sudah setuju untuk dijadikan lumbung beras bagi keperluan ransum balatentara Mataram kalau nanti menyerbu Batavia untuk kedua kalinya. Dengan demikian berarti bahwa Tumenggung Tegal bersedia membantu Mataram. Akan tetapi kenyataannya kini, seorang telik sandi penting dari Kumpeni Belanda dapat masuk dan bergerak dengan leluasa di Tegal!

   Bahkan rombongan ini diterima oleh seorang laki-laki tinggi besar yang dari sikap dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang penting. Rumahnya besar dan rombongan itu disambut dengan hormat dan diadakan pesta. Aji dan Sulastri tidak diperkenalkan, akan tetapi mereka mendengar orang tinggi besar berusia sekita empat puluh tahun itu disebut Ki Warga. Rumah itu besar dan megah, tanda bahwa penghuninya orang yang kaya. Aji dan Sulastri diberi masing-masing sebuah kamar dan dua orang tawanan ini dibiarkan berada dalam keadaan bebas, seperti tamu, namun mereka maklum bahwa mereka dijaga oleh sekelompok orang dengan ketat. Pula, mereka sama sekali tidak berani meloloskan diri karena keselamatan nyawa Sulastri terancam. Hal ini yang membuat mereka merasa tak berdaya dan terpaksa harus menyerah.

   Mereka bermalam di rumah orang bernama Warga ini sampai tiga hari. Aji tidak tahu apa yang mereka lakukan atau rencanakan. Mereka berdua dapat saling bertemu karena mereka diberi kebebasan keluar dari kamar. Akan tetapi mereka tidak dapat saling bicara empat mata karena selalu ada saja penjaga yang mengamati dari dekat. Mereka hanya bicara seperlunya saja dan Aji hanya dapat menanyakan bagaimana keadaan Lastri.

   Sulastri selalu menggeleng kepala dan menghela napas panjang kalau ditanya tentang kesehatannya

   dan menjawab singkat.

   "Masih belum ada perubahan."

   Jawaban ini cukup bagi Aji. Berarti gadis itu masih merasakan akibat keracunan itu dan kalau mengerahkan tenaga saktinya merasa dalam dadanya nyeri. Selama gadis itu masih menderita karena keracunan, mereka berdua tidak berdaya dan tidak berani meloloskan diri karena hal itu berarti ancaman bahay maut bagi Sulastri.

   Tentu saja selama menjadi tawanan itu, Aji tiada hentinya mencari kesempatan. Dia sendiri belum tahu kesempatan bagaimana yang dapat dia manfaatkan untuk keselamatan mereka berdua karena dia sendiri tidak tahu apa yang dapat dia lakukan dalam keadaan Sulastri keracunan seperti itu. Dia merasa benar-benar tidak berdaya. Akan tetapi dia tidak pernah putus asa dan selalu waspada mencari jalan keluar untuk menanggulangi ancaman yang membayangi dia dan Sulastri. Beberapa kali Sulastri hampir tak dapat menahan kesabarannya dan gadis itu ingin mengamuk saja tanpa memperdulikan keselamatannya. Akan tetapi selalu Aji, dengan isarat gerakan dan pandang matanya, dapat menyabarkannya.

   "Selama kita masih hidup, selalu masih ada harapan."

   Demikain dia berkata pada suatu kesempatan tanpa terdengar oleh para penjaga yang mengamati mereka. Sulastri cemberut, akan tetapi mengangguk tanda bahwa ia mematuhi ucapan pemuda itu.

   Malam itu udara dingin sekali. Aji duduk bersila dalam kamarnya. Dia maklum bahwa di luar kamarnya terdapat dua orang yang bertugas mengawasinya. Nanti lewat tengah malam, dua orang penjaga itu akan diganti dua orang lain.

   Demikian yang dia ketahui pada malam-malam yang lalu. Dia sudah mengambil keputusan tetap. Malam itu adalah malam terakhir dia dan Sulastri berada di rumah itu. Siang tadi Nyi Maya Dewi sudah memberitahukan kepadanya bahwa besok pagi-pagi mereka akan melanjutkan perjalanan, entah kemana wanita itu tidak mau memberi tahu. Maka, malam ini dia harus dapat melakukan penyelidikan ke mana mereka akan dibawa pergi dan menyelidiki rahasia lain yang ada hubungannya dengan keselamatan Sulastri. Dia ingin mengetahui di mana Nyi Maya Dewi menyimpan obat penawar racun yang mempengaruhi tubuh Sulastri. Setelah keadaan di rumah itu sunyi, tanda bahwa semua penghuninya sudah memasuki kamar masing-masing, Aji perlahan-lahan membuka daun pintu kamarnya. Sedikit gerakan ini cukup membuat dua orang penjaga itu menengok lalu menhampiri.

   "Andika hendak pergi ke mana?"

   Tanya mereka dan kedua orang itu berdiri di kanan kiri Aji.

   "Aku melihat di sana itu yang berkilauan itu apakah?"

   Dia menuding ke depan. Dua orang penjaga itu tentu saja menoleh dan memandang ke arah yang ditunjuk Aji. Pada saat itu, kedua tangan Aji bergerak cepat, menyambar ke arah tengkuk mereka dengan tangan miring.

   Tanpa dapat mengeluarkan keluhan, dua orang itu terkulai dalam keadaan pingsan. Aji menyambar tubuh mereka dengan kedua tangannya, mencegah mereka roboh, lalu membawa mereka ke tempat mereka berjaga tadi. Dia mendudukkan mereka di atas bangku yang tadi mereka duduki, menyandarkan tubuh itu ke dinding. Setelah itu dia menutupkan daun pintu kamarnya dan berindap-indap dia menuju ke kamar besar di bagian kiri. Dia tahu bahwa kamar itu adalah kamar Nyi Maya Dewi, sedangkan kamar Ki Harya Baka Wulung, Aki Somad dan laki-laki jangkung berada di bagian kanan. Dengan pengerahan Aji Bayu Sakti, tubuh Aji bergerak seperti angin, cepat dan ringan dan tak lama kemudian dia sudah melakukan pengintaian di luar jendela kamar yang didiami Nyi Maya Dewi. Jantungnya berdebar tegang dan girang ketika dia melihat bayangan dua orang duduk di atas pembaringan dalam keadaan saling berpelukan mesra. Mereka itu bukan lain adalah Nyi Maya Dewi dan pria jangkung itu! Aji merasa rikuh dan malu menyaksikan penglihatan itu, maka dia mengalihkan pandangan dan menempelkan telinganya pada jendela untuk dapat menangkap pembicaraan mereka sebaiknya.

   "Maya, sampai kapan engkau akan menggodaku seperti ini? Engkau selalu menahan-nahan dan menghalangi aku memiliki gadis itu. Maya, apakah ini berarti bahwa engkau cemburu dan tidak rela kalau aku menggauli gadis itu?"

   Terdengar suara pria itu dengan nada menyesal dan menegur.

   "Cemburu? Ah, sama sekali tidak, Raden, di antara kita sudah terdapat janji bahwa kita tidak akan saling mengikat, tidak ada cemburu dan kita boleh bercinta dengan siapa saja tanpa yang lain mencegahnya. Bersabarlah, Raden. Kita membutuhkan gadis itu, Kalau ia kuserahkan padamu sekarang, kemudian ia tidak mau membuka rahasia penyerangan Mataram itu, bukankah kita yang menderita rugi? Sabarlah. Kalau ia sudah membuka rahasia itu, pasti ia akan kuserahkan padamu."

   "Bagaimana engkau dapat memastikan hal itu akan dapat terjadi, Maya?"

   "Jangan khawatir, Raden. Bukankah obat penawar itu selalu ada padaku? Obat penawar itu adalah nyawa Sulastri! Selama obat penawar itu ada padaku, selama tiga bulan sejak dara itu keracunan, ia sepenuhnya berada di tanganku."

   "Kalau begitu, berikan obat penawar itu kepadaku, Maya sayang? Setelah ia membuka rahasia, obat penawar itu akan dapat kupergunakan untuk membujuk dan mengancamnya agar ia suka menyerahkan diri dengan suka rela kepadaku. Aku tidak ingin mendapatkan ia secara paksa. Aku ingin ia menyerah dengan suka rela."

"Bodoh amat engkau, Raden. memang gadis itu cukup sakti dan kebal terhadap pengaruh sihir dan aji pengasihan, akan tetapi bukankah engkau memiliki racun perangsang yang amat ampuh? Kalau kau menggunakan racun itu, tentu ia akan jatuh."

   "Ya, akan tetapi aku tidak suka karena ia hanya akan patuh seperti boneka hidup. Tidak, aku menghendaki ia menyerahkan diri karena ingin menyelamatkan nyawanya. Karena itu, berikanlah obat penawar itu padaku. Biar aku yang menyimpannya. Dengan obat itu padaku, aku akan merasa yakin dan dapat bersabar menanti."

   "Hi-hi-hik, dasar mata keranjang engkau! Tiada pernah puasnya!"

   Terdengar suara nyi Maya Dewi menggoda.

   "Sama dengan engkau, Maya. Sudahlah, serahkan padaku. Akupun selalu membantumu kalau engkau menginginkan seorang pria, bukan? Ketika di Sumedang dulu, siapa yang membantumu sehingga engkau berhasil mendapatkan keponakan adipati yang tampan seperti Arjuna itu?"

   "Baiklah, baiklah.......! Akan tetapi malam ini engkau harus dapat menyenangkan hatiku!"

   "Jangan khawatir, manis!"

   Terdengar suara cekikikan tawa dan senda gurau. Aji tidak mau mendengarkan lagi. Apa yang didengarnya sudah cukup baginya. Dia tahu bahwa mulai malam ini, obat penawar untuk menyembuhkan Sulastri berada di tangan pria bangsawan itu! Dia tahu sekarang ke mana harus mencari obat untuk menyelamatkan Sulastri dan dia hanya tinggal menanti kesempatan baik saja untuk dapat menangkap dan memaksa pria itu menyerahkan obat penawar. Dia akan mencari kesempatan terbaik!

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Aji dan Sulastri sudah diajak keluar dari rumah besar milik Ki Warga itu. Yang mengawal mereka adalah Nyi Maya Dewi, Banuseta, Ki Harya Baka Wulung, dan Aki Somad. Selain empat orang sakti ini, masih ada Ki Warga. Tokoh ini sesungguhnya adalah seorang yang penting. Ki Warga ini merupakan orang yang memiliki hubungan dekat dengan Kumpeni Belanda. Bahkan dia dipergunakan Belanda untuk menjadi pimpinan semua telik sandi yang bergerak di sepanjang pantai Laut Utara. Di samping itu, Ki Warga juga menjadi orang kepercayaan Kadipaten Tegal. Memang tidak dapat disangkal lagi bahwa Belanda amat pandai bersiasat. Tidak saja melakukan gerakan memecah belah persatuan dengan cara mengadu domba, akan tetapi juga pandai mempengaruhi para pejabat daerah

   dengan menggunakan pengaruh harta benda dan janji-janji kedudukan.

   Banyak kadipaten yang dapat dipengaruhi Kumpeni, sehingga walaupun pada lahirnya mereka takut dan menakluk kepada kekuasaan Mataram, namun diam-diam mereka mengadakan hubungan baik dengan Kumpeni Belanda dan mengadakan hubungan dagang yang dianggap menguntungkan. Sesungguhnya, tidak adanya persatuan yang bulat di seluruh Nusantara dalam menghadapi Kumpeni Belanda inilah yang membuat semua usaha untuk menentang Kumpeni selalu gagal. Bahkan oleh sebab ini pula maka penyerangan besar-besaran pasukan Mataram ke Batavia telah mengalami kegagalan.

   Aji dan Sulastri bersama empat orang pengawal mereka naik kereta seperti ketika mereka memasuki Tegal. Ki Warga sendiri menunggang kuda, malah dia mendahului kereta. Ternyata kedua orang tawanan itu dibawa kepantai dan dengan sebuah perahu mereka dibawaa ke sebuah kapal yang berlabuh tak jauh dari pantai. Pantai itu terlalu dangkal bagi kapal itu sehingga tidak dapat berlabuh dekat daratan.

   Aji dan Sulastri dibawa naik ke atas kapal itu. Diam-diam mereka memperhatikan keadaan kapal. Walaupun sikap mereka tenang saja, namun sebenarnya mereka merasa tegang dan memperhatikan keadaan dengan penuh selidik. Mereka melihat sebuah kapal yang besar dan dilengkapi dengan beberapa buah meriam besar. Di atas kapal terdapat belasan orang, hampir dua puluh banyaknya, semua adalah orang-orang kulit putih yang bertubuh tinggi besar, bermuka kemerahan dan rambut meraka tidak hitam, melainkan ada yang coklat, kemerahan dan kuning keemasan! Sulastri sudah sering melihat orang kulit putih di Indramayu atau Dermayu, maka iapun tidak merasa heran. Akan tetapi Aji belum penah melihat orang Belanda, maka diam-diam dia memperhatikan dan merasa terheran-heran.

   Keadaan orang-orang tinggi besar itu mengingatkan dia akan tokoh-tokoh wayang, yaitu golongan buto (raksasa). Jadi inilah bangsa yang merupakan ancaman bahaya bagi nusa dan bangsanya. Diapun melihat bahwa mereka semua membawa senjata bedil. Pernah dia mendengar cerita tentang bedil yang dapat menyemburkan api dan peluru, yang dapat membinasakan lawan dalam jarak jauh dan merupakan senjata yang amat berbahaya. Aji tahu bahwa dia harus berhati-hati sekali terhadap orang-orang bule ini. Mereka tampak kuat dan juga sinar mata mereka kejam. Ketika orang itu memandang ke arah Sulastri, tampak sekali gairah dalam pandang mata mereka dan mereka menyeringai secara kurang ajar.

   Akan tetapi ketika seorang Belanda setengah tua keluar dari bilik kapal itu, belasan orang itu berdiri tegak dalam keadaan siap. Orang belanda setengah tua itu menyambut rombongan yang baru naik kapal dengan senyum ramah. Dari sikap ketika dia menjabat tangan Nyi Maya Dewi, tampak bahwa di antara mereka terdapat hubungan yang akrab. Orang itu berusia aekitar lima puluh tahun, berkumis dan berwajah tampan, tubuhnya tinggi kurus dan pakaiannya mewah dan gagah. Di pinggangnya tergantung sebuah senjata pistol.

   Inilah Kapten De Vos yang mejadi boss dari Nyi Maya Dewi. Kapten de Vos ini merupakan seorang perwira yang bertugas sebagai penyelidik dan amat dipercaya oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen di Batavia! Bersama seorang perwira Belanda lainnya yang terkenal dengan sebutan Jakuwes (nama aselinya Jacques Levebre), De Vos inilah yang mengatur jaringan mata-mata kumpeni Belanda yang disebar di seluruh Nusantara!

   "Hallo, Nyi Maya Dewi yang manis, apa kabar? Kami mendengar kamu membawa tawanan yang amat penting bagi kami. Benarkah? Dan siapakah mereka semua ini?"

   Tanya De Vos setelah menjabat tangan wanita itu dengan hangat.

   Dengan senyumnya yang manis, Maya Dewi memperkenalkan teman-temannya, setelah memberi isarat kepada Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad untuk Melangkah maju.

   "Ini adalah Ki Harya Baka Wulung dari Madura, tuan kapten. Dan yang ini adalah Aki Somad dari Nusa Kambangan. Mereka adalah pembantu-pembantu yang setia dan dapat diandalkan, sakti dan tangguh."

   Kemudian dengan senyum tak pernah meninggalkan bibirnya ia melanjutkan sambil menunjuk kepada Ki Warga dan Raden Banuseta.

   "Dua orang ini tentu sudah tuan kenal dengan baik."

   Kapten De Vos menyalami empat orang itu dan berkata.

   "Ya, ya, kami kenal baik mereka ini. Dan mana tawanan itu?"

   "Inilah mereka, tuan."

   Kata Nyi Maya Dewi sambil menudingkan telunjuknya ke arah Aji dan Sulastri. Sepasang mata yang kebiruan itu memandang kepada dua orang muda itu dengan penuh selidik dan Kapten De Vos tampak terheran-heran.

   "Mereka ini orang-orang penting Mataram? Geweldig (hebat)! Begini muda, dan yang perempuan ini begini cantik, sudah jadi orang penting Mataram?"

   Wanita cantik itu tersenyum dengan genitnya.

   "Ah, Tuan Kapten De Vos, jangan pandang rendah mereka ini!

   Biarpun mereka ini masih muda, akan tetapi mereka adalah orang-orang sakti yang memiliki kepandaian tinggi dan berbahaya sekali!"

   "Is dat zo (Begitukah)?"

   Kapten De Vos melihat ke atas. Dua ekor burung camar laut terbang di atas kapal itu.

   Cepat dia mengambil senapan yang dipegang oleh seorang anak buah yang berdiri di dekatnya. Dengan gerakan cepat sekali dia mengokang bedil itu, membidik dan ketika dia menarik pelatuknya, dua kali terdengar letusan. Api dan peluru menyambar keluar dari moncong bedil dan dua ekor burung berbulu putih itu jatuh ke atas dek kapal. Mati seketika.

   Aji dan Sulastri melihat semua ini dan diam-diam mereka terkejut. Apa yang mereka dengar tentang kehebatan senjata api itu kini mereka lihat sendiri.

   "Ha-ha-ha. Mereka ini sakti? Apakah mereka dapat terbang lebih cepat dari pada dua ekor burung itu?"

   Dia menuding ke arah bangkai dua ekor burung dan melemparkan kembali senapan itu kepada anak buahnya.

   Ki Warga, Maya Dewi dan Banuseta tidak heran menyaksikan keahlian menembak itu. mereka sudah mengenal Kapten De Vos yang terkenal jago tembak. Akan tetapi Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad juga merasa kagum. Orang Belanda ini cukup berbahaya, pikir mereka.

   Nyi Maya Dewi yang pandai mengambil hati orang, bertepuk tangan memuji.

   "Hebat, tuan kapten, kepandaian tuan mempergunakan senjata api memang hebat sekali. Akan tetapi tuan harus berhati-hati terhadap mereka."

   "Goed, goed (baik, baik). mari kita duduk di dalam dan bicara!"

   Ajak Kapten De Vos sambil mengangguk-angguk.

   Mereka semua lalu memasuki ruangan kapal di mana terdapat sebuah meja besar dengan banyak kursi disekelilingnya. Aji dan Sulastri dipersilahkan duduk di atas kursi, berhadapan dengan Kapten De Vos. Maya Dewi duduk di samping kiri Kapten Belanda itu dan Ki Warga yang sejak tadi diam saja duduk di sebelah kanannya. Tempat duduk ini saja sudah menunjukkan betapa kedudukan Ki Warga itu penting sekali dan dia dihargai oleh Kapten De Vos. Aji duduk di depan kapten itu, Sulastri duduk disebelah kirinya. Mereka berdua diapit oleh Harya Baka Wulung dan Aki Somad, sedangkan Banuseta duduk di sebelah kanan Ki Warga. Jelaslah bahwa yang duduk di jajaran Kapten De Vos itu adalah orang-orang yang sudah dipercaya kapten Belanda itu, sedangkan Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad yang baru saja bertemu dengannya, merupakan pembantu-pembantu baru yang masih asing.

   "Hemm, kalian berdua ini orang-orang penting Mataram, ya? Dan kamu berdua mau bekerja sama dengan kami dan mau menceritakan kekuatan dan rencana Sultan Agung untuk menyerang Batavia? Goed zo! Kamu berdua akan kami beri hadiah banyak. Lebih dulu, katakan siapa nama kamu berdua, he?"

   "Namaku Aji dan ia itu Sulastri!"

   Jawab Aji pendek.

   "Pemuda ini bernama Lindu Aji dan dikenal sebagai Alap-alap Laut Kidul, tuan kapten! Dia digdaya dan berbahaya sekali!"

   Kata Ki Harya Baka Wulung menjelaskan.

   "Ha-ha, apa bedanya alap-alap dengan dua rkor burung yang aku tembak tadi?"

   Tanya Kapten De Vos mencemoohkan.

   "Alap-alap merupakan burung liar dan ganas. Burung Camar yang tuan tembak jatuh tadi dapat menjadi mangsanya."

   Maya Dewi menerangkan.

   "Ha-ha-ha, biarpun pandai terbang, sekali senapan di tanganku meletus, seekor alap-alap ganaspun tentu akan jatuh dan mati! Nah, sekarang cepat ceritakan kepada kami tentang keadaan pasukan Mataram, berapa kekuatan mereka dan bagaimana persiapan pasukan mereka. Juga ceritakan bagaimana rencana siasat mereka untuk menyerang Batavia!"

   Sambil berkata demikian, sepasang mata biru itu mengamati wajah Lindu Aji dan Sulastri penuh selidik. Sulastri yang merasa tidak berdaya karena tubuhnya telah terancam maut oleh racun itu, hanya melirik ke arah Aji. Ia tahu akan siasat yang dipergunakan pemuda itu, yalah bahwa pemuda itu membiarkan lawan-lawannya percaya bahwa Aji dan ia mengetahui rahasia itu, maka mereka tidak akan membunuh Aji dan ia. Karena ia tidak tahu bagaimana siasat Aji selanjutnya dan tidak mempunyai kesempatan untuk bicara berdua, maka iapun hanya menyerahkannya kepada pemuda itu. Aji juga telah mempersiapkan diri. Sebelumnya dia memang sudah mengatur siasat.

   Dia memiliki modal kuat, yaitu kepercayaan orang-orang itu bahwa dia dan Sulastri benar-benar dapat memberi keterangan penting tentang gerakan pasukan Mataram yang ditakuti Kumpeni Balanda!

   "Tuan,"

   Katanya, suaranya tegas dan tenang.

   "Urusan ini penting sekali bagi kami berdua. Menceritakan semua itu kepada Kumpeni, berarti kami berdua telah berkhianat dan hukuman untuk pengkhianat amat berat dan mengerikan."

   "Ha, kamu berdua takut? Jangan takut! Kalau kamu berdua bekerja sama dengan kami, maka kamu berdua akan dilindungi. Jangan takut kepada Sultan Agung. Kami memiliki meriam-meriam besar dan senjata-senjata api yang ampuh. Hayo, ceritakan saja dan kamu akan memperoleh hadiah dan juga perlindungan dari kami!"

   Kata Kapten De Vos.

   Aji menghela napas lalu menggeleng kepala.

   "Sungguh, tuan. Urusan ini amat penting dan gawat bagi kami berdua. Oleh karena itu, kami minta agar kami berdua diberi kesempatan untuk berunding dan memperbincangkan hal ini berdua saja. Ketahuilah, tuan. Ini merupakan keputusan hidup mati kami, karena itu harus kami rundingkan dengan matang lebih dulu."

   Alis yang berwarna kelabu itu berkerut dan sepasang mata biru mencorong marah.

   "Kamu harus menceritakan sekarang juga!"

   Bentaknya.

   Namun dengan tenang dan tegas Aji menggeleng kepala.

   "Besok pagi, tuan."

   "Sekarang! Atau, kami akan menembak kamu berdua!"

   Kapten De Vos menggertak sambil mencabut pistolnya dan menodongkan senjata itu ke arah Aji dan Sulastri yang duduk di depannya.

   Dia menatap wajah dua orang muda itu dan diam-diam merasa heran dan kagum. Dua orang muda yang ditodongnya itu sedikitpun tidak tampak takut, dan balas menatapnya dengan sinar mata berapi.

   "Kami tidak takut mati, tuan. Kalau tuan membunuh kami berdua sekarang, pasukan Mataram yang besar sekali jumlahnya akan membalaskan kematian kami, menyerbu dan membakar habis Batavia, membunuh semua Kumpeni Belanda!"

   Aji juga menggertak dan karena ucapannya itu mendatangkan kesan yang kuat.

   Menghadapi sikap tenang Aji ini, Kapten De Vos meragu. Dia lalu menoleh ke kanan dan bertanya kepada Ki Warga.

   "Bagaimana pendapatmu, Warga?"

   Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu tersenyum.

   "Apakah tidak sebaiknya kalau dijadikan taruhan saja? Kalau tuan yang menang mereka harus memberi keterangan sekarang juga, akan tetapi kalau mereka menang terpaksa tuan harus bersabar sampai besok pagi."

   "Akan tetapi, laporan dua orang penjaga semalam?"

   Tanya kapten itu.

   "Ah, mereka mungkin hanya mimpi, tuan."

   Kata Ki Warga sambil tertawa.

   "Mereka hanya melapor melihat Aji ini lalu tiba-tiba mereka tidak ingat apa-apa lagi. Kalau laporan mereka itu betul, tentu semalam telah terjadi sesuatu. Buktinya tidak terjadi apa-apa."

   "Kalau begitu baiklah. Kita buat taruhan. Wacht even (tunggu sebentar), bukankah Maya Dewi tadi mengatakan bahwa pemuda ini digdaya dan tangguh? Bagus, kita adu dia melawan Hendrik De Haan, jagoan kita itu! Heh, Lindu Aji, sekarang begini saja baiknya! Dari pada kita bersitegang memperebutkan apakah kalian harus memberi keterangan sekarang ataukah besok pagi, maka kita adakan pertandingan untuk menentukan. Kalau kamu dapat mengalahkan jagoan kami dalam perkelahian tangan kosong, biarlah kami mengalah dan kamu boleh malam ini berunding dengan Sulastri ini dan besok pagi memberi keterangan kepada kami. Akan tetapi kalau kamu kalah melawan jagoan kami itu, kamu harus menceritakan keterangan tentang pasukan Mataram itu sekarang juga! Bagaimana, Aji, beranikah kamu berkelahi menandingi jagoan kami?"

   Aji berpikir sejenak, lalu bertanya.

   "Pertandingan tangan kosong tanpa menggunakan senjata api?"

   "Natuurlijk (tentu saja)! Kami bukan orang curang. Pertandingan boksen (tinju), tanpa senjata, satu lawan satu. Nah, beranikah kamu?"

   Aji saling lirik dengan Sulastri, lalu dia memandang Kapten De Vos dan berkata tegas.

   "Aku berani, tuan! Akan tetapi tuan jangan melanggar janji. Kalau aku keluar sebagai pemenang, aku diberi kesempatan bicara empat mata dengan Sulastri dan baru besok pagi kami memberi keterangan kepadamu."

   "Bagus!"

   Kapten itu tampak gembira sekali dan dia lalu berseru kepada seorang anak buahnya.

   "Panggil Hendrik De Haan ke sini!"

   Tak lama kemudian muncullah kapten itu. Sulastri terbelalak memandang laki-laki yang melangkah datang seperti seekor gajah itu! Seorang bule berambut kecoklatan, usianya sekitar tiga puluh tahun dan segalanya pada diri laki-laki ini hanya dapat dinilai dengan satu kata : besar! Seorang raksasa yang tingginya satu setengah kali tinggi tubuh Aji. Kedua lengan yang memakai kaos pendek itu tampak besar dan kokoh kuat, dengan otot melingkar-lingkar. Dadanya bidang dan tebal, penuh bulu coklat kekuningan, lehernya seperti leher badak. Diam-diam hati Sulastri merasa ngeri juga. Selama hidupnya belum pernah ia melihat seorang laki-laki setinggi besar dan sekokoh ini. Orang-orang bule yang pernah dilihatnya tampak kecil dibandingkan raksasa ini. Tampaknya, dengan sekali pukul saja kepala Aji akan dapat pecah dan tulang-tulang tubuhnya dapat remuk! Kedua kakinya juga panjang dan besar penuh bulu, tampak mengerikan karena dia mengenakan celana pendek.

   Aji juga memandang orang yang baru memasuki ruangan itu dengan penuh perhatian. Dia tidak tertarik A oleh bentuk tubuh seperti raksasa itu. Baginya, tubuh yang tampak kokoh kuat tidak berarti apa-apa. Aji lebih memperhatikan sikap raksasa itu, terutama pandang matanya. Hatinya merasa lega. Pandang mata raksasa itu membayangkan kebodohan, seorang yang biasa mengandalkan okol (tenaga) daripada akal. Orang seperti ini bukan merupakan lawan berbahaya baginya, walaupun untuk merobohkannya juga tidak mudah karena melihat bentuk tubuhnya, orang itu tentu memiliki tenaga gajah dan tubuhnya itu agaknya berkulit tebal tahan pukul!

   Dalam bahasa Belanda yang totok raksasa itu bertanya kepada Kapten De Vos.

   "Kapten, ada tugas apa untukku?"

   "Hendrik, kami mengadakan taruhan untuk mengadu kamu dengan pemuda ini. Pertandingan boksen satu lawan satu, tanpa senjata apapun. Jangan sampai kamu kalah olehnya. Hendrik karena yang kupertaruhkan ini penting sekali!"

   Sepasang mata yang lebar memandang kepada Aji yang masih duduk dan dia terbelalak lalu memandang atasannya.

   "Kapten! Aku hendak diadu dengan kleine jongen (bocah kecil) ini?"

   "Ya, siapa yang roboh dan tidak mampu melanjutkan pertandingan dianggap kalah."

   "Hua-ha-ha-ha! Ah, kapten, jangan bergurau! Aku takut melawan anak ini, ha-ha-ha!"

   "Takut? Apa maksudmu, Hendrik?"

   Tanya De Vos heran.

   "Aku takut kalau pukulanku akan membuat kepalanya remuk atau dadanya pecah, kapten!"

   Kata raksasa itu serius.

   "Ohh! Jangan keluarkan semua tenagamu, Hendrik. Dia ini orang penting, tidak boleh dibunuh, hanya boleh dikalahkan agar aku menang bertaruh."

   Hendrik mengangguk-angguk.

   "Kalau begitu aku mengerti, kapten."

   Kapten De Vos menoleh kepada Aji.

   "Nah, bagaimana, orang muda? Apakah kamu tetap bersedia dan berani melawan Hendrik De Haan ini?"

   Sambil tetap duduk tenang Aji menjawab.

   "Saya siap dan berani, tuan."

   "Bagus, kalau begitu mari kita semua pergi keluar ruangan. Pertandingan dilakukan di atas dek luar yang luas."

   Kata De Vos. Semua orang bangkit berdiri. Juga Aji dan Sulastri bangkit berdiri dan mereka berdua mengikuti keluar dari ruangan itu menuju ke dek kapal yang luas. Sebentar saja berita tentang diadakannya pertandingan itu sudah terdengar semua anak buah kapal.

   Mereka menjadi gembira sekali. Bagi para anak buah kapal, perkelahian merupakan satu di antara kesenangan mereka. Mereka adalah orang-orang kasar yang sudah terbiasa hidup keras menghadapi ancaman bahaya di tengah lautan, biasa bekerja keras dan suka pula akan kekerasan. Bahkan setiap kali mendarat mereka selalu saja terlibat perkelahian karena hal itu mereka anggap sebagai kejantanan mereka. Kini, mendengar bahwa Hendrik De Haan, raksasa jagoan itu akan diadu melawan seorang pemuda pribumi yang menjadi tawanan, mereka tentu saja merasa geli, menertawakan Aji. Tadi mereka sudah melihat betapa pemuda itu seorang yang tubuhnya termasuk kecil dan ringkih sekali dibandingkan Hendrik dan berat tubuhnya belum tentu ada setengah berat tubuh raksasa itu. Bagaimana mereka akan dipertandingkan? Mereka semua sudah berkumpul di dek, membentuk lingkaran lebar. Mereka bukan tertarik untuk menonton perkelahian yang seimbang, melainkan hendak menonton bagaimana Hendrik akan menggilas dan membantai lawan tak seimbang itu.

   Kursi-kursi kecil telah dikeluarkan. Kapten De Vos duduk di atas sebuah kursi. Para pembantunya, Ki Warga, Nyi Maya Dewi, Raden Banuseta, Ki Harya Baka Wulung, dan Aki Somad juga sudah dipersilahkan duduk di atas kursi yang berderet-deret. Sulastri juga diberi sebuah kursi, akan tetapi ia tidak mau duduk. Ia hanya berdiri saja dengan hati mulai merasa tegang dan gelisah. Bagaimanapun juga, raksasa itu menyeramkan. Ia khawatir kalau-kalau Aji akan tewas di tangan raksasa itu. Kalau Aji sampai tewas, hilanglah harapan baginya untuk dapat lolos dari tangan mereka. Ia tidak takut mati, akan tetapi ia merasa ngeri membayangkan dirinya dihina dan diperkosa. Kalau Aji sampai tewas di tangan raksasa itu, iapun akan mengamuk. Tidak perduli apakah racun di tubuhnya akan menewaskannya, ia pasti akan mengamuk sampai mati. Karena itu, ia tidak mau duduk, melainkan berdiri dan bersiap siaga.

   Raksasa bule bernama Hendrik de Haan itu kini telah menanggalkan baju kaosnya dan tinggal mengenakan sebuah selana pendek. Tubuh atas yang telanjang itu tampak besar dan kokoh sekali, dengan otot yang menggelembung dan melingkar-lingkar. Aji maklum bahwa tubuh itu memiliki tenaga otot atau tenaga kasar yang amat kuat, namun orang itu tidak mempunyai "isi", hanya mngandalknan tenaga otot sehingga tiada bedanya dengan seekor kerbau. Diapun melangkah maju menghampiri tempat yang dilingkari para anak buah kapal itu, berhadapan dengan Hendrik. Sikapnya tenang saja dan dia hanya mengiktkan kain sarungnya agar jangan terlepas atau berkibar kalau dipakai bergerak. Aji tampak berdiri santai saja di depan calon lawannya, seolah dia sama sekali tidak membuat persiapan. Namun dari sinar matanya Sulastri tahu bahwa seluruh syaraf dalam tubuh pemuda itu dalam kedaan siap siaga.

   "Sebelumnya kamu harus tahu akan aturannya!"

   Kata Kapten de Vos kepada Aji.

   "Pertandingan ini namanya boksen. Kamu hanya boleh memukul bagian pinggang ke atas. Bagian pinggang ke bawah tidak boleh dipukul. Juga dilarang menggunakan tendangan, dilarang menangkap dengan tangan, mendorong atau menarik!"

   Aji mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak mengenal aturan seperti itu. Dia tidak mengenal permainan tinju.

   "Ah, aturan macam apa itu? Bertanding dalam perkelahian tidak boleh memukul pinggang ke bawah, tidak boleh menendang, tidak boleh menangkap, menarik atau mendorong. Kalau tidak boleh ini tidak boleh itu, mengapa bertanding berkelahi? Lebih baik tidak saja!"

   Hendrik yang tidak paham bahasa Indonesia, bertanya kepada Kapten De Vos melihat Aji berdiri membelakanginya. Setelah De Vos menceritakan keberatan Aji tentang peraturan pertandingan, Hendrik tertawa.

   "Ha-ha-ha, kalau tidak memakai larangan dan berkelahi dengan sebenarnya, bagaimana aku dapat menjaga agar dia tidak sampai mati terbunuh?"

   De Vos berkata kepada Aji.

   "Aji, peraturan itu diadakan justeru untuk menjaga agar kamu tidak sampai terpukul mati. Kalau tanpa batas, dan Hendrik boleh menggunakan segala cara untuk menyerangmu, bagaimana kami akan dapat terhindar dari maut?"

   "Tuan, aku sudah berani menerima tantangan berkelahi, berarti aku tidak takut akan kematian. Terluka atau mati adalah resiko dalam pertandingan adu kanuragan, siapa yang takut mati? Kalau berkelahi bebas tanpa larangan, aku mau melayaninya. Kalau memakai segala macam aturan dan larangan, aku tidak mau berkelahi!"

   Jawab Aji dengan tegas. Ucapan ini diterjemahkan De Vos kepada Hendrik dan kembali Hendrik tertawa.

   "Kalau begitu aku tidak tanggung kalai sampai dia terpukul atau tertendang mati, kapten. Akan tetapi aku akan berusaha agar jangan sampai membunuhnya."

   Kapten De Vos mengangguk-angguk. Memang dia menghendaki pertandingan itu dilakukan dengan peraturan tinju karena dia tidak ingin kalau Aji sampai terpukul tewas. Dia amat membutuhkan keterangan dan pengakuan pemuda itu tentang Mataram.

   "Baiklah, Aji. Kamu boleh melawan Hendrik dengan cara bebas."

   Mendengar ini, Aji memutar tubuh dan kembali menghadapi Hendrik. Bagaikan dua ekor ayam jantan hendak berlaga, kedua orang itu kini saling berhadapan dan saling pandang. Sungguh bukan merupakan lawan seimbang. Hendrik hampir dua kali lebih besar dan lebih tinggi daripada Aji. Kedua kakinya juga memakai sepatu kulit yang tebal. Raksasa bule ini sudah memasang kuda-kuda. Kaki kanannya ditarik ke belakang, kaki kiri ke depan, kedua tangan dikepal dan siap memukul, tergantung di depan dada. Sebaliknya Aji berdiri tenang dan santai saja, hanya sepasang matanya yang dengan tajam mengikuti semua gerak tubuh lawan.

   "Mulailah!"

   Perintah De Vos yang menonton dengan mata bersinar-sinar. Semua orang yang menonton, kecuali Sulastri, memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar.

   Semua orang merasa gembira seperti biasa kalau mereka menonton adu tinju. Mendengar perintah ini, Hendrik mulai menyerang. Karena pertandingan itu tidak dibatasi dengan peaturan tinju, maka kedua tangannya menyambar dari kanan kiri. Maksudnya dia hendak menangkap tubuh kecil itu kemudian akan dibantingnya sehingga dia akan keluar sebagai pemenang dalam satu gebrakan saja tanpa harus membunuh lawan yang kecil itu. Kedua tangan itu menyambarnya dengan cepat dari kanan kiri dan gerakannya yang didorong tenaga besar itu mendatangkan angin yang kuat.

   "Wuuuttt....... plakkkk!"

   Dengan menimbulkan suara tepukan nyaring dua telapak tangan besar itu saling bertemu di udara karena kedua tangan itu luput menangkap sasarannya. Tubuh Aji dengan gesitnya telah mengelak dan condong ke belakang.

   "Verdomme.......!"

   Hendrik memaki dengan marah dan penasaran, Bagaimana mungkin cengkeraman kedua tangannya itu luput begitu saja? Dia cepat mengejar, melangkah ke depan dan karena sudah terbiasa, kini kedua tangannya dikepal dan membuat pasangan kuda-kuda orang bertinju, Dua kepalan tangan itu kini cepat menyerang secara bertubi-tubi ke arah kepala dan dada Aji. Pukulannya cepat dan kuat sekali. Pukulan swing dan long hook yang cepat sekali, diseling pukulan upper cut yang mematikan. Namun, semua pukulan bertubi-tubi itu hanya mendatangkan suara mengiuk dan bersuitan, sedikitpun tidak pernah mengenai sasarannya.

   Apa lagi kena, menyerempet sedilitpun tidak! Semua pukulan itu dapat dielakkan dengan amat mudahnya oleh Aji yang sudah bersilat dengan ilmu silat Wanara Sakti. Semua penonton terbelalak dan suasana riuh karena mereka mengeluarkan seruan heran dan juga kaget. Mereka melihat pemuda itu membuat gerakan yang lucu seperti gerakan seekor monyet. Akan tetapi anehnya, semua pukulan hebat dari jagoan mereka itu tidak pernah mengenai sasaran.

   Pukulan yang dilakukan dengan sepenuh tenaga, kalau mengenai tempat kosong dapat menguras tenaga. Setelah pukulan-pukulan keras itu tidak ada yang mengenai sasaran sampai puluhan kali, mulailah Hendrik berkeringat dan dia merasa penasaran dan marah sekali. Dia tahu bahwa ada orang yang pandai berkelit dan memiliki gerakan gesit sekali, akan tetapi belum pernah dia dapat membayangkan ada orang yang mampu menghindarkan diri dari serangkaian serangannya sampai puluhan kali, hanya dengan elakan dan tidak pernah menangkis. demikian gesitkah orang ini, atau serangannya yang lamban?

   "Verrek, zeg.......!"

   Dia memaki dan kini kedua kakinya yang berbulu, besar dan panjang itu menyambar-nyambar dengan tendangan sekuat tendangan pemain sepak bola yang mahir. Agaknya, tak pelak lagi, tubuh Aji akan terlempar seperti bola kalau sampai terkena tendangan dahsyat itu. Namun, Aji yang bergerak dengan ilmu silat Wanara Sakti itu menjadi cekatan sekali, tidak ubahnya seekor kera. Hanya dengan sedikit memutar tubuh saja tendangan lawan itu dapat dielakkan dan ketika tendangan demi tendangan susul menyusul datang bertubi-tubi, tubuhnya berputaran dan tak sebuahpun tendangan mampu menyentuh tubuhnya!

   Keringat telah membanjiri seluruh tubuh Hendrik. Dia mulai panik. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu keanehan seperti ini. Kini dia sudah mempergunakan segala daya. Dia tidak hanya meninju seperti seorang petinju, akan tetapi dia juga menampar, menjotos, mencengkeram, menendang, namun semua itu sama sekali tidak pernah menyentuh lawan. Dia merasa seolah bertanding melawan bayangan saja!

   Kini semua penonton menjadi terbelalak dan mulut mereka ternganga. Tidak percaya akan apa yang mereka lihat. Hendrik, raksasa jagoan mereka itu kini diperlakukan seperti seorang anak kecil saja oleh pemuda itu. Semua serangannya, kebanyakan serangan maut karena kalau mengenai sasaran tentu membuat tulang-tulang remuk dan kepala atau dada dapat pecah, sama sekali tidak pernah dapat menyentuh lawan.

   Hanya Sulastri yang tersenyum senang, akan tetapi ia mengerutkan alisnya melihat kenyataan betapa Aji sama sekali tidak pernah membalas, pada hal ia yakin bahwa kalau Aji menghendakinya, sejak tadi raksasa itu sudah dapat dirobohkam.

   "Mas Aji, apa maksudmu main-main seperti ini? Cepat kalahkan dia!"

   Akhirnya Sulastri tak dapat menahan diri dan berseru nyaring. Mendengar teriakan gadis itu, Aji juga merasa bahwa sudah cukup ia mempermainkan lawannya, membiarkan lawan menyerang sampai kehabisan teaga. Ketika kedua tangan raksasa itu menyambar lagi dengan pukulan, dia mengelak ke samping, menekuk lutut kiri dan dari bawah kaki kanannya menyambar cepat sekali. Kaki kanan itu menyambar dua kali ke arah lutut Hendrik, seperti ular memagut dan tepat sekali mengenai sasaran.

   "Tuk! Tuk!"

   Tepat sekali sambungan lutut kedua kaki Hendrik tercium tendangan dan tak mungkin dapat dipertahankan lagi, kedua kaki raksasa itu terasa lumpuh dan diapun jatuh bertekuk lutut. Aji tidak membuang kesempatan ini. Tangan kirinya menyambar dengan jari terbuka ke arah tengkuk raksasa itu.

   "Wuuuttt....... dukkkk!"

   Tubuh yang besar itu terkulai roboh dan tak mampu bergerak lagi karena pingsan. Seruan-seruan kaget terdengar dan para anak buah kapal yang membawa bedil sudah siap menodongkan bedil mereka ke arah Aji. Akan tetapi Nyi Maya Dewi yang duduk dekat Kapten De Vos memberi isarat kepada pembesar Kumpeni itu dan De Vos memberi aba-aba kepada para anak buahnya untuk mundur. Beberapa orang anak buah kapal lalu menggotong tubuh raksasa yang pingsan itu pergi dari situ.

   "Tuan, jagomu telah kalah. Harap tuan suka memegang janji."

   Kata Aji kepada De Vos. Melihat kekalahan Hendrik tadi, De Vos mengerutkan alisnya dan tahulah dia bahwa Maya Dewi tidak berbohong atau melebih lebihkan. pemuda yang tampak lemah itu sungguh berbahaya sekali. Kalau gadis cantik itu juga sama tangguhnya, maka mereka berdua sungguh merupakan orang-orang berbahaya, apa lagi mereka adalah orang-orang Mataram!

   "Oh tentu, tentu saja. kami selalu memenuhi janji. Bukankah begitu, Warga?"

   De Vos menoleh kepada pembantu utamanya yang amat dipercaya itu.

   Warga adalah seorang yang amat cerdik. Dia sudah mendengar dari Maya Dewi akan keadaan Aji dan Sulastri. Gadis sakti itu telah keracunan dan hal itu membuat Aji dan Sulastri menyerah dan tunduk kepada mereka, menuruti kemauan mereka. Dia yakin bahwa Aji dan Sulastri berada dalam keadaan keracunan dan belum diberi obat penawarnya. Maka, ketika De Vos bertanya kepadanya, tanda bahwa kapten itu merasa gelisah dan bingung, merasa ragu apa yang harus diperbuatnya, diapun segera menjawab.

   "Tentu saja, tuan kapten. Aji dan Sulastri berhak untuk mengadakan perundingan berdua saja malam ini dan besok pagi baru mereka akan memberi keterangan tentang kekuatan pasukan Mataram dan tentang rencana penyerbuan ke Batavia. Aji telah menangkan pertandingan dan sudah sepantasnya kalau kita menghormat seorang pendekar gagah perkasa seperti dia dan merayakan kemenangannya. Sekalian kita merayakan untuk menyambut kedatangan Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad yang terhormat dan telah berjasa besar bagi Kumpeni!"

   "Goed, heel goed! (Baik, sangat baik)! Kita berpesta untuk menyambut mereka!"

   Pesta perjamuan diadakan dengan meriah. Aji dan Sulastri duduk pula bersama mereka semua, menghadapi meja makan besar yang penuh hidangan bermacam masakan. Mereka tidak merasa sungkan karena mereka memang membutuhkan makan cukup agar tubuh mereka tetap kuat. Juga mereka tidak takut keracunan makanan karena semua orang ikut makan.

   Kapten De Vos yang ingin sekali menarik dua orang muda itu agar dapat menjadi pembantunya, memperlihatkan sikap ramah dan hormat. Dia sendiri menuangkan anggur ke dalam gelas dan menghidangkannya kepada Aji dan sulastri. Akan tetapi ketika dua orang ini mencium bau anggur yang keras dan yang belum pernah mereka rasakan, Aji menolak dan minta agar mereka diberi minuman air teh saja. Permintaan ini dipenuhi dan Kapten De Vos mengangkat gelas anggurnya.

   "Mari kita minum untuk mengucapkan selamat datang kepada Tuan Lindu Aji dan Nona Sulastri, juga mengucapkan selamat atas kemenangannya!"

   Tiba-tiba Sulastri yang selama ini berdiam diri saja karena merasa tidak berdaya, berkata.

   "Nanti dulu, tuan. Sebelum kita minum, aku ingin mendengar dulu darimu. Apakah setelah kami berdua menceritakan apa yang kita ketahui, kami akan dibebaskan tanpa gangguan apapun?"

   Kapten De Vos merasa heran dan kagum. Tadinya dia mengira bahwa Sulastri yang tadinya diam saja itu seorang gadis pemalu. Kiranya kini bicara dengan lancar dan pandang matanya kepadanya demikian mencorong penuh selidik dan wajah yang jelita itu tampak cerdik sekali!

   "Ya, tentu, tentu! Tentu kami akan membebaskan kamu berdua tanpa gangguan!"

   Kata De Vos sambil mengangguk angguk.

   "Akan tetapi, kami telah diracuni oleh Maya Dewi dan ia berjanji akan memberikan obat penawarnya kepadaku kalau aku dan Mas Aji sudah memberikan keterangan. Apakah tuan berani menanggung bahwa Maya Dewi akan memegang janjinya?"

   Tanya pula Sulastri sambil melirik ke arah Maya Dewi.

   "Terus terang saja, aku tidak mungkin dapat mempercayai janjinya. Saya minta agar tuan berjanji. saya lebih percaya kepadamu. Tuan adalah seorang yang mempunyai kedudukan tinggi, kiranya mustahil kalau tuan akan bertindak curang dan pengecut, menjilat ludah sendiri, menelan dan mengingkari janji!"

   Aji diam-diam kagum akan kata-kata dan sikap Sulastri.

   Dia memperhatikan dan melihat betapa wajah Maya Dewi berubah kemerahan dan wanita ini bertukar pandang dngan pria jangkung yang menjadi kekasihnya dan yang telah menyimpan obat penawar untuk Sulastri. Sementara itu, mendengar ucapan Sulastri, De Vos juga megangguk angguk dan melirik ke arah Maya Dewi. Baru sekarang dia mengetahui benar mengapa orang-orang digdaya seperti Aji dan Sulastri mudah saja dibawa ke kapal dihadapkan kepadanya dan dipaksa membuka rahasia tentang Mataram. Kiranya gadis jelita itu telah keracunan dan obat penawarnya ada pada Maya Dewi! Sungguh suatu siasat yang amat cerdik dari pembantunya yang cantik dan terpercaya ini.

   "O, begitukah? Maya, apa kamu menyimpan obat penawar itu?"

   Tanyanya sambil menoleh kepada Maya Dewi. Wanita itu mengangguk membenarkan.

   "Nou....... kalau begitu, geen problem (tiada masalah)! Biar kami yang berjanji bahwa kalau memberi keterangan yang sejelasnya tentang kekuatan pasukan Mataram dan rencana mereka menyerbu Batavia, kamu berdua akan dibebaskan tanpa gangguan dan obat penawar untuk Nona Sulastri akan kami berikan!"

   "Bersumpahlah, tuan, agar kami mau percaya."

   Kata pula Aulastri.

   "Bersumpah? Wat bedoel je (apa maksudmu)?"

   Ki Warga yang ternyata pandai berbahasa Belanda segera menerangkan apa yang dimaksudkan Sulastri dengan bersumpah.

   "Oo, is dat zo (begitukah)? Baik, kami bersumpah akan memenuhi janji-janji kami tadi. Kalau kami berbohong, biarlah kami mati tenggelam bersama kapal kami!"

   Setelah selesai makan, seperti yang telah dijanjikan, Aji dan Sulastri memperoleh kebebasan berdua saja dalam sebuah bilik di kapal itu. Sebelum bicara, keduanya meneliti keadaan kamar itu. Setelah melihat semua penjuru dan merasa yakin bahwa pembicaraan mereka tidak disadap atau diintai, mulailah mereka bercakap-cakap dengan suara berbisik sehingga andaikata ada yang mendengarkan dari luar kamar sekalipun, pendengarnya tidak akan dapat menangkap suara mereka.

   "Gertakanmu kepada kapten itu tadi sehingga memaksanya bersumpah sungguh baik dan tepat sekali, Lastri. Dengan demikian tentu dia sekarang tidak ragu lagi bahwa kita memang menyimpan rahasia Mataram."

   Bisik Aji.

   "Akan tetapi sesungguhnya aku masih tidak mengerti, Mas Aji. Mengapa engkau katakana kepada mereka bahwa kita mengerti akan rahasia Mataram? Rahasia apakah itu?"

   Aji tersenyum.

   "Itu hanya siasatku saja, Lastri. Kalau kita benar-benar mengetahui akan rahasia Mataram, apa kau kira aku akan sudi membocorkan rahasia itu kepada mereka? Tidak, lebih baik mati dari pada mengkhianati Mataram. Akan tetapi sesungguhnya aku tidak tahu apa-apa, hanya kukatakan bahwa aku tahu akan besarnya kekuatan pasukan Mataram dan bahwa engkau tahu akan rencana penyerbuan Mataram ke Batavia."

   "akan tetapi kenapa? Untuk apa kebohongan itu?"

   "Itu hanya siasatku agar kita tidak dibunuh karena aku sudah terpaksa menyerah melihat engkau roboh pingsan dan mereka tawan."

   "Ahh, engkau berkorban untuk aku, kakangmas. Mengapa engkau menyerah dan tidak mengamuk dan kalau mereka terlalu kuat, tidak melarikan diri saja. Karena aku engkau tertawan pula."

   Kata Sulastri dan penyesalan ini sungguh-sungguh.

   "Ah, nimas, bagaimana mungkin aku melarikan diri dan membiarkan engkau terjatuh ke tangan manusia-manusia berwatak iblis itu? Aku menyerah dan aku segera bersiasat memberi harga yang tinggi sekali kepada kita, yaitu bahwa aku dan engkau tahu akan rahasia yang amat penting dari Mataram, rahasia itu penting sekali bagi Kumpeni. Siasatku berhasil. Mereka tidak berani mengganggu kita dan menghadapkan kita kepada Kapten De Vos."

   "Akan tetapi nenek genit itu meracuni aku sehingga kita sama sekali tidak berdaya. Andaikata mereka ingkar janji dan tidak menyerahkan obat penawar kepadaku, maka segala usaha untuk menolongku sia-sia saja, mas. Apa tidak lebih baik kita mengamuk saja, membunuh mereka semua dan engkau berusaha menyelamatkan diri?"

   "Dan engkau?"

   "Aku? Biarkan aku mati keracunan, aku tidak takut mati!"

   "Tidak mungkin! Dengar, aku sudah mengatur siasat lain, karena itu aku minta agar diberi waktu sampai besok pagi agar kita dapat berunding dan bergerak malam ini."

   "Apa yang kita lakukan, Mas Aji?"

   "Ketika kita berada di rumah Ki Warga, aku berhasil mendengar percakapan antara Maya Dewi dan pria jangkung itu. Aku tidak tahu siapa namanya."

   "Aku juga hanya mendengar orang-orang menyebutnya raden saja."

   Kata Sulastri.

   "Apa yang kau dengar?"

   "Maya Dewi menyerahkan obat penawar untukmu itu kepada jahanam itu!"

   "Eh, kenapa?"

   "Jahanam keparat itu agaknya tergila-gila kepadamu, nimas. Dia menginginkan dirimu dan dia minta obat penawar itu agar dia dapat memaksamu. Kalau obat penawar itu berada ditangannya berarti nyawamu berada di tangannya."

   "Si kunyuk babi anjing kurang ajar itu!"

   Sulastri memaki dan karena dalam amarahnya ia mengeluarkan suara keras, maka Aji cepat memberi isarat agar gadis itu tidak berteriak-teriak.

   "Lastri, tenang dan sabarlah. Dalam keadaan terancam seperti ini kita harus dapat bersikap tenang. Aku sengaja minta agar kita berdua mendapat kesempatan untuk berunding dan siasatku berhasil. Kita dapat bicara sekarang. Tunggu sebenatar!"

   Aji kembali memeriksa keadaan sekitar luar bilik kapal itu. Tidak ada orang mengintai. Dia kembali lagi, duduk dekat Sulastri dan melanjutkan pembicaraan dengan suara berbisik.

   "Malam nanti kita harus bergerak, harus bertindak cepat."

   "Apa yang akan kita lakukan?"

   "Kita harus membuat kekacauan di kapal ini malam nanti."

   "Bagus! Aku suka itu. Akan tetapi..... ah, racun di tubuhku membuat aku tidak mungkin mengerahkan tenaga sakti. Apa yang dapat kulakukan untuk membantumu, Mas Aji? Aku ingin sekali membantu. Berilah tugas padaku!"

   Sulastri bergairah sekali. Ia sudah hampir tidak tahan berada dalam keadaan tidak berdaya dan menjadi tawanan seperti itu.

   "Tugasmu penting sekali, Lastri. Untuk membuat suasana menjadi ribut dan kacau, engkau harus membuat kebakaran di kapal ini! Aku melihat anak buah kapal mengambil minyak dari bilik kecil di sudut sana itu. Agaknya bilik itu gudang umntuk menyimpan alat-alat, di antaranya minyak. Nah, kalau engkau dapat melempar api ke dalam bilik itu, pasti akan terjadi kebakaran dan suasana menjadi ribut dan kacau."

   Gadis itu mengangguk-angguk.

   "Itu mudah, aku dapat melakukannya. Akan tetapi sesudah itu bagaimana?"

   "Engkau sudah tahu pula bahwa Kapten De Vos itu merupakan orang penting dari Kumpeni Belanda dan agaknya amat berkuasa, dihormati semua orang dan juga ditaati. Bahkan Maya dewi dan orang penuh rahasia bernama Ki Warga itu tampaknya amat tunduk kepadanya. Nah, dalam kekacauan itu aku akan mencari kesempatan untuk menawan dan menyandera Kapten De Vos. Kalau usahaku itu berhasil, kita pasti dapat menuntut apa yang kita perlukan. Selanjutnya serahkan saja kepadaku. Engkau harus selalu dekat denganku setelah melakukan pembakaran itu. Dengan Kapten De Vos sebagai sandera, mereka pasti tidak akan berani bertindak sembarangan dan akan mematuhi semua tuntutan kita."

   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAGUS SAJIWO

BAGUS SAJIWO BAGUS SAJIWO JIL ID 01 BAGUS SAJIWO JIL ID 02 BAGUS SAJIWO JIL ID 03 BAGUS SAJIWO JIL ID 04 BAGUS SAJIWO JIL ID 05 BAGUS SAJIWO JIL ID 06 BAGUS SAJIWO JIL ID 07 BAGUS SAJIWO JIL ID 08 BAGUS SAJIWO JIL ID 09 BAGUS SAJIWO JIL ID 10 BAGUS SAJIWO JIL ID 11 BAGUS SAJIWO JIL ID 12 BAGUS SAJIWO JIL ID 13 BAGUS SAJIWO JIL ID 14 BAGUS SAJIWO JIL ID 15 BAGUS SAJIWO JIL ID 16 BAGUS SAJIWO JIL ID 17 ...

ALAP-ALAP LAUT KIDUL

JILID 1 JILID 2 JILID 3 JILID 4 JILID 5 JILID 6 JILID 7 JILID 8 JILID 9 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33