Langsung ke konten utama

SERULING GADIN

  SERULING GADING  1 2 3 4 5 6 7 8 9 6 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 JILID 1    Puncak Argadumilah menjulang tinggi diselimuti awan putih bergerombol seperti sekelompok domba berbulu putih bergerak perlahan, berarak ke arah selatan. Sinar matahari pagi mulai menerangi permukaan Gunung Lawu yang tanahnya subur dan hijau penuh pohon dan tumbuhan. Kinar matahari pagi yang lembut dan hangat itu masih belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang amat dingin bagi manusia itu. Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah. Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu.    Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan A...

ALAP ALAP LAUT KIDUL JILID 15

   Sulastri mengangguk-angguk dan sepasang alis yang kecil hitam berbentuk indah itu berkerut memikir. Kemudian ia bertanya.

   "Semua itu baik sekali, Mas Aji. Akan tetapi bagaimana seandainya rencana kita gagal? Andaikata aku tidak dapat melaksanakan pembakaran dan engkau tidak berhasil menyandera De Vos? Bagaimana? Mereka tentu akan memaksa kita untuk memberi keterangan tentang Mataram yang tidak kita ketahui sama sekali. Kalau begitu, bagaimana?"

   "Kalau kita gagal, masih ada harapan bagi kita. Selama mereka masih yakin bahwa kita berdua menyimpan rahasia tentang Mataram, aku yakin mereka tidak akan begitu bodoh untuk mengganggu kita. Rahasia itu masih dapat kita pergunakan sebagai perisai dan pelindung diri. Kita masih dapat mencari kesempatan dan akal lain. Kalaupun terpaksa kita harus bicara, kita dapat saja memberi keterangan secara ngawur. Kita dapat mengarang sesuka kita asal masuk di akal. Misalnya aku. Aku dapat mengatakan bahwa besar kekuatan pasukan Mataram ada lima puluh laksa (lima ribu) orang dan masih ada cadangannya sebanyak itu pula. Aku dapat mengatakan bahwa seluruh kadipaten di Nusa Jawa siap membantu Mataram dan banyak lagi yang dapat kukatakan untuk membuat Belanda menjadi panik."

   "Dan aku, bagaimana? Aku tidak mengerti tentang siasat perang!"

   Kata Sulastri bingung.

   "Ah, katakana saja bahwa balatentara Mataram akan dipecah menjadi empat bagian. Tiga bagian akan menyerang dari barat, selatan dan timur Batavia, sedangkan yang sebagian akan menyerang dengan menggunakan perahu-perahu dan mengepung di utara. Dengan demikian Batavia akan dikepung dari semua penjuru. Kalau ditanya tentang ransum, katakan saja rakyat di sekitar Batavia sudah siap membantu. Juga Banten akan datang pula menyerang. Dengan demikian Kumpeni Belanda akan menjadi semakin panik dan ketakutan. Akan tetapi semua keterangan ini tidak perlu kita ceritakan kalau keadaan kita tidak terpaksa sekali. Maka, usaha kita malam nanti harus berhasil baik."

   Mereka lalu mengatur siasat dan merundingkan dengan teliti. Agar tidak mendatangkan kecurigaan kepada pihak musuh, setelah mandi dan makan malam, mereka tinggal di bilik masing-masing yang memang disediakan untuk mereka. Bilik kecil mereka berdampingan.

   Malam itu gelap dan sunyi. Kapal yang berlabuh tak jauh dari pantai itu bergoyang-goyang sedikit karena air laut pasang. Kapten De Vos mengadakan rapat dengan Ki Warga, Nyi Maya Dewi, Ki Harya Baka Wulung, Aki Somad dan Raden Banuseta. Mereka membicarakan tentang hasil para anggauta jaringan mata-mata Kumpeni Belanda dan dalam hal ini yang banyak memberi keterangan adalah Ki Warga sebagai pemimpin jaringan mata-mata dan Maya Dewi yang bertugas sebagai pengawas dan banyak melakukan peninjauan di daerah-daerah. Juga dalam kesempatan itu Kapten De Vos memuji siasat Maya Dewi yang telah meracuni Sulastri sehingga dua orang muda yang sakti dan tangguh itu dapat dibuat tidak berdaya dan dipaksa untuk membuka rahasia gerakan Mataram.

   "Siasatmu itu benar-benar hebat, Maya. Keadaan mereka berdua sudah tersudut dan terpaksa, mau tidak mau mereka tentu akan membuka rahasia itu. Betapa setiapun mereka kepada Mataram, tentu mereka lebih sayang kepada nyawa mereka. Ha-ha-ha, kita akan berhasil! Kalau kita sudah tahu akan kekuatan dan rencana siasat Mataram menyerang Batavia, akan mudah bagi kita unuk menghancurkan mereka!"

   Kapten De Vos yang sudah mulai mabok anggur sehingga mukanya yang biasanya sudah kemerahan itu kini menjadi merah sekali, tertawa-tawa gembira. Tiba-tiba suara yang tenang serius Ki Warga menghentikan suara tawa Kapten De Vos.

   "Saya harap tuan kapten tidak terlalu gembira lebih dulu."

   Kapten De Vos menghentikan tawanya dan pada saat itu, Hendrik De Haan memasuki ruangan itu.

   "Aha, Hendrik, kebetulan kamu datang. Duduklah dan ikut berunding. Mungkin kami membutuhkan pendapatmu!"

   Raksasa itu lalu menyeret sebuah kursi dan duduk di tempat yang lowong, di depan Ki Harya Baka Wulung, terhalang meja. Tanpa diperintah dia meraih botol minuman anggur dan menuangkan ke dalam sebuah gelas besar yang kosong, lalu minum dengan lahap sekali. Melihat sikap itu, kapten De Vos dan yang lain-lain tidak memperdulikannya. Memang demikianlah sifat dan watak raksasa ini, atau watak pelaut kulit putih pada umumnya, keras dan kasar.

   "Tuan Warga, apa yang kau katakan tadi? Kenapa kamu mencegah kami terlalu gembira? Apakah masalahnya?"

   "Begini, tuan kapten. Tuan bergembira karena dua orang tawanan itu, Lindu Aji dan Sulastri, akan membuka rahasia Mataram, memberi keterangan tentang kekuatan balatentara Mataram dan rencana siasat mereka menggempur Batavia sebagai pengulangan serangan mereka pertama yang berhasil kita gagalkan."

   "Ya, tentu saja. Apa salahnya itu?"

   "Tidak salah, tuan. Akan tetapi kalau bergembira sekarang, itu terlalu terburu-buru namanya. belum waktunya untuk bergembira."

   "Hei, Tuan Warga. Apa maksudmu?"

   "Saya hanya hendak bertanya, tuan. Bagaimana seandainya besok pagi itu kedua orang tawanan kita memberi keterangan yang palsu? Keterangan yang sama sekali tidak benar, tidak sesuai dengan kenyataan? Kalau mereka itu berbohong, bukankah pihak kita yang akan menderita rugi besar?"

   Mendengar ucapan itu, semua orang tertegun dan baru ingat akan kemungkinan besar itu. Kapten De Vos termenung dan tampak bingung dan khawatir. Kemudian dia mengepal tinju dan memukul meja.

   "Brakk! God Verdomme, zeg!"

   Dia memaki.

   "Benar sekali omonganmu itu, Tuan Warga. Untung

   kamu mengingatkan kami akan kemungkinan itu. Natuurlijk (tentu saja), bisa saja mereka

   berbohong, bahkan lebih banyak kemungkinannya mereka itu berbohong! Lalu bagaimana

   baiknya, Tuan Warga?"

   "Mudah saja mengatasinya, tuan kapten. Besok pagi biarkan mereka menerangkan tentang rahasia itu, akan tetapi kita tidak boleh membebaskan mereka dulu. Kita tunggu sampai penyerangan Mataram itu benar terjadi. Kalau memang benar seperti yang mereka laporkan, nah, baru kita bebaskan mereka. Kalau sebaliknya laporan itu palsu dan tidak benar, kita hukum dan bunuh mereka."

   "Oho, bagus, bagus! Kami setuju dan sebaiknya diatur begitu. Kamu memang pandai, Tuan Warga. Maya, besok engkau dan para pembantumu yang baru ini, Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad, harus siap siaga dan menjaga kalau-kalau dua orang tawanan itu akan memberontak. Kita biarkan mereka memberikan laporan, akan tetapi tetap menahan mereka sampai terbukti benar tidaknya laporan mereka seperti dikatakan Tuan Warga tadi."

   "Baik, tuan."

   Kata Nyi Maya dewi patuh.

   Tiba-tiba Ki Harya Baka Wulung berseru nyaring.

   "Aku tidak setuju!"

   Tentu saja semua orang terkejut dan memandang kepadanya.

   "Apa maksudmu dengan ucapan itu, Tuan Harya?"

   Tanya Kapten De Vos sambil memandang penuh selidik dengan sepasang matanya yang kebiruan.

   "Tuan Kapten, aku Ki Harya Baka Wulung adalah seorang tokoh besar Madura yang gagah perkasa. Bangsa kami terkenal keras namun terbuka dan sekali berjanji, akan memenuhinya dengan taruhan nyawa. Aku tidak suka kalau diajak utuk mengingkari janji, biarpun terhadap dua orang muda yang menjadi musuhku. Aku tidak setuju dengan cara yang curang itu."

   Mendengar ucapan yang nadanya keras itu, Hendrik De Haan yang menjadi pengawal pribadi dan jagoan Kapten De Vos menjadi marah. Dia bangkit berdiri mengepal tinjunya yang besar diamangkan ke arah Ki Harya Baka Wulung.

   "Harya Baka Wulung!"

   Dia berteriak dengan suara cedal lalu melanjutkan kata-kata dalam bahasa Belanda karena tidak mahir berbahasa daerah. Ki Warga segera menyalin dalam bahasa daerah agar dapat dimengerti Ki Harya Baka Wulung.

   "Harya Baka Wulung, kamu mengaku tokoh Madura yang gagah perkasa akan tetapi buktinya Madura sudah jatuh ke tangan Mataram. Kamu sekarang ini menjadi pembantu Kumpeni Belanda dan kewajibanmu adalah untuk menaati semua perintah Kapten De Vos! Tidak sepatutnya kamu bersikap kasar seperti ini!"

   Terbelalak sepasang mata Ki Harya Baka Wulung mendengar terjemahan Ki Warga itu. Diapun mengamangkan tinjunya ke arah muka raksasa bule itu dan membentak.

   "Hendrik De Haan! kaukira aku takut kepadamu? Kamu hanya tukang pukul murahan! Ketika aku bergabung dngan Nyi Maya Dewi, aku hanya mau karena ingin melihat Mataram jatuh, bukan berarti aku menjadi antek Belanda. Aku hanya mau bekerja sama untuk menjatuhkan Mataram!"

   Hendrik De Haan tidak dapat bicara bahasa daerah, akan tetapi karena dia sudah lama juga mengikuti Kapten De Vos, kalau hanya mendengar saja dia dapat mengerti artinya. Maka, mendengar jawaban itu, dia lalu meninggalkan kursinya, berdiri di tengah ruangan itu dan menantang. Dia hanya menggapai dengan tangan kiri dan mengamangkan tinju kanan ke arah Ki Harya Baka Wulung. Tokoh Madura itu adalah seorang yang berwatak keras, maka diapun segera melompat menghampiri. Dua orang ini sudah berhadapan dengan mata melotot. Biarpun Ki Harya Baka Wulung sudah berusia hampir tujuh puluh tahun, dia masih tampak gagah dan kokoh dengan tubuhnya yang tinggi tegap. Walaupun tubuhnya tidak sebesar tubuh Hendrik, namun dia dapat disebut seorang bertubuh raksasa di antara bangsanya. Kumisnya yang tebal itu seolah berdiri saking marahnya.

   "Majulah, setan bule!"

   Ki Harya Baka Wulung menantang.

   "Paman Harya, jangan membunuh orang!"

   Nyi Maya Dewi berseru khawatir.

   "Aku hanya ingin menghajar si keparat ini!"

   Kata Ki Harya Baka Wulung.

   Sementara itu, Hendrik De Haan yang sudah agak banyak minum anggur dan hawa panas sudah mulai naik ke kepalanya, tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia sudah menerjang ke depan, menyerang bagaikan seekor biruang. Akan tetapi Ki Harya Baka Wulung adalah seorang sakti yang memiliki kemahiran pencak silat yang sudah matang. Melihat serangan kedua tangan dari kanan kiri atas itu, diapun menangkis dari dalam dengan kedua lengannya.

   "Dukkk!"

   Dua pasang lengan bertemu dan pada saat itu, kaki kanan Harya Baka Wulung menyapu kaki lawan dan pada saat yang sama, lengan kanannya yang menangkis dan sikunya menhunjam ke depan dengan kuat sekali.

   "Desss....... dukkk!"

   Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh Hendrik terjengkang. Akan tetapi dia bukan orang lemah.

   Ketika tubuhnya terdorong ke belakang dan kakinya terjegal, dia malah membuang diri ke belakang dan berjungkir balik sehingga dia tidak sampai terbanting roboh. Hantaman siku kanan Harya Baka Wulung yang mengenai dadanya tadi seolah tidak dirasakannya. Hendrik menjadi marah dan sambil mengeluarkan gerengan dari mulutnya yang berbau arak itu, dia menerjang lagi. Kedua lengannya yang besar panjang itu kini tidak memukul melainkan bagaikan dua ekor ular cepatnya tahu-tahu telah menangkap kedua lengan lawan. Gerakannya cepat sekali karena dia mempergunakan ilmu gulat yang pernah dipelajarinya. Harya Baka Wulung terkejut dan tidak mampu menghindar, tahu-tahu kedua lengannya telah ditangkap dan raksasa bule itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengangkat tubuh Harya Baka Wulung dan membantingnya.

   Hendrik biasa berlatih mengangkat besi yang beratnya dua kali berat tubuh Harya Baka Wulung, maka dia merasa yakin akan mampu mengangkat tubuh lawan itu tinggi-tinggi kemudian dibantingnya agar tulang-tulang itu menjadi patah-patah. Akan tetapi raksasa Belanda itu terlalu memandang rendah lawannya. Harya Baka Wulung seorang tokoh besar Madura yang memiliki banyak aji kesaktian dan dia merupakan seorang ahli tapa yang telah menguasai banyak ilmu yang hebat-hebat. Ketika dia maklum akan niat lawan, yaitu mengangkatnya ke atas, cepat dia mengerahkan Aji Selatantra.

   Dengan aji yang dahsyat itu, tubuh Harya Baka Wulung seolah menjadi seberat gunung batu! Hendrik de Haan mengerahkan seluruh tenaganya, namun sia-sia, sama sekali dia tidak mampu mengangkat tubuh kakek tua itu! Dia bekah-bekuh, menahan napas dan mengerahkan segenap tenaganya, otot-ototnya sampai menggembung, tulang-tulangnya berkerotokan, bahkan hawa dalam perutnya yang didorong keluar sehingga terdengar suara memberebet! Namun, setelah ber ah-ah-uh-uh beberapa lama tetap saja tubuh lawan tidak dapat diangkatnya.

   Ketika kedua lengannya bagian atas siku itu dipegang lawan, kedua tangan Ki Harya Baka Wulung berada di sebelah dalam. Kini, dia menggerakkan kedua tangan ke depan dan dia mengangkap pinggang Hendrik. Dia mengerahkan tenaga Cantuka Sakti yang luar biasa dahsyatnya itu dan sambil mengeluarkan suara nyaring dia mengangkat tubuh Hendrik ke atas.

"Kok-kok-kokkk!"

   Terdengar suara berkokok itu dari dalam perutnya dan tubuh Hendrik yang tinggi besar itu telah diangkatnya ke atas kepalanya.

   "Paman Harya, jangan membunuh!"

   Kembali Maya dewi berteriak.

   Mendengar teriakan ini, Harya Baka Wulung teringat. Diapun bukan seorang bodoh yang menurutkan nafsu amarah. Dia tahu bahwa kalau dia membunuh, bukan saja nyawanya terancam oleh Kapten De Vos dan anak buahnya yang mempunyai senjata api, akan tetapi juga usahanya bekerja sama dengan Belanda untuk membalas dendamnya kepada Mataram akan gagal. Maka, dia tidak membanting tubuh raksasa itu. Kalau dibantingnya dengan tenaga Cantuka Sakti tentu akan remuk tulang-tulang tubuh itu atau akan pecah kepalanya. Dia lalu melemparkan saja tubuh Hendrik ke atas.

   "Bressss.......!"

   Tubuh itu melayang ke atas lalu terbanting jatuh ke atas lantai kapal. Memang tidak sampai tewas atau patah-patah tulangnya, namun cukup membuat kepalanya pening dan pinggulnya nyeri, perutnya mulas.

   Hendrik merasa malu sekali dan hal ini membuatnya marah besar. Biarpun pandang matanya masih berkunang, namun dia segera mencabut sebuah pistol besar yang terselip di pinggangnya dan siap untuk menembakkan pistol itu ke arah Harya Baka Wulung. Akan tetapi, datuk besar Madura ini sudah siap. Dia sudah mengerahkan ajinya yang amat dahsyat yaitu Aji Kukus Langking (Asap Hitam). Begitu dia mendorongkan kedua tangannya, asap tebal hitam menyambar ke arah Hendrik dan terdengar kakek itu berseru dengan suara menggetar mengandung penuh wibawa.

   "Lepaskan senjata api itu!"

   Terjadi keanehan. Bentakan yang mengandung kekuatan sihir itu membuat Hendrik melepaskan pistolnya sebelum dia sempat menarik pelatuknya. Pistol jatuh berdetak di atas lantai dan asap hitam itu membuatnya terhuyung ke belakang sehingga dia terjengkang dan terjatuh.

   Ki Harya Baka Wulung menarik kembali ajinya. Asap hitam lenyap dan tubuh Hendrik terkapar di atas lantai kapal dan muka berubah menghitam seperti hangus. Akan tetapi. dia masih untung karena Harya Baka Wulung tidak berniat membunuhnya sehingga tubuhnya tidak sampai melepuh terbakar, hanya hangus seolah-olah dia berjemur matahari dari pagi sampai petang!

   Ketika Harya Baka Wulung memandang ke sekeliling, kiranya dia sudah terkepung belasan orang anak buah kapal yang menodongkan bedil mereka ke arahnya. Dengan sikap tenang Harya Baka Wulung menghadapi Kapten De Vos dan berkata.

   "Aku tidak membunuhnya, dan aku ingin bekerja sama dengan Kumpeni untuk mengalahkan Mataram, bukan untuk menjadi antek Belanda, juga bukan untuk bermusuhan dengan Belanda!"

   Ki Warga cepat berkata kepada Kapten De Vos dalam bahasa Belanda.

   "Tuan Kapten, orang ini amat berguna bagi kita."

   Kapten De Vos segera memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menghentikan penodongan mereka dan mengundurkan diri keluar dari ruangan itu. Para anak buah itu untuk kedua kalinya, menggotong tubuh Hendrik dan meninggalkan ruangan itu.

   Kapten De Vos tersenyum lebar, memandang Harya Baka Wulung.

   "Kami mengerti maksudmu, Tuan Harya. Maafkan kelancangan Hendrik tadi. Memang Maya Dewi sudah melaporkan kepada kami bahwa Tuan Harya dan Tuan Somad ingin bekerja sama dengan kami, bukan menjadi pegawai kami. Silahkan duduk kembali, Tuan Harya. Kita bicara dan berunding sebagai sahabat, bukan sebagai atasan kepada bawahan. Silakan."

   Kapten De Vos adalah seorang pejabat yang bertugas sebagai intelejen Belanda dan dia memang sudah mendapat pendidikan mendalam sehingga dia mampu menyesuaikan diri demi keuntungan Kumpeni. Menghadapi sikap sabar dan ramah ini, mereda kemarahan Harya Baka wulung dan dia pun

   duduk kemabli ke atas kursinya yang tadi.

   Kapten De Vos menuangkan sendiri anggir ke dalam gelas di depan Harya Baka Wulung, lalu dia mengajaknya minum anggur sambil berkata.

   "Marilah kita minum anggur ini sebagai pernyataan persahabatan ini dan sebagai permintaan maaf kami atas kelancangan Hendrik tadi."

   Harya Baka Wulung menyambut dan minum anggurnya. Suasana menjadi akrab kembali.

   "Tuan Harya, kalau boleh kami bertanya, kenapa kamu begitu membenci Mataram? Apakah karena Mataram telah menaklukkan seluruh Madura dan sekarang kamu ingin membebaskan Madura dari kekuasaan Mataram?"

   Tanya Kapten De Vos.

   Harya Baka Wulung menggeleng kepala dan menghela napas panjang.

   "Kekalahan Madura terhadap Mataram tidak perlu dipersoalkan lagi. Madura telah membuat perlawanan sekuatnya, akan tetapi karena memang kalah kuat maka dapat ditundukkan, kini malah dapat dipersatukan di bawah pimpinan Pangeran Cakraningrat yang berkedudukan di Sampang, diangkat oleh Sultan Agung. Pangeran Cakraningrat itu dahulunya adalah Raden Praseno, putera Bupati Arisbaya, dan dia adalah muridku. Tidak, tidak ada alasan bagiku untuk mendendam kepada Mataram karena kekalahan Madura."

   "Kalau begitu, kenapa kamu begitu membenci Mataram sehingga bersedia bekerja sama dengan kami untuk menjatuhkan Mataram?"

   Desak Kapten De Vos. Dia merasa perlu mengetahui latar belakang orang yang akan bekerja sama dengan Kumpeni menghadapi Mataram.

   Mendengar pertanyaan itu, Harya Baka Wulung seperti diingatkan kembali akan segala suka dukanya, terutama sekali kedukaan yang teramat besar sehubungan dengan tewasnya putera tercinta. Dia hanya mempunyai seorang putera yang diberi nama Raden Dibyasakti, seorang pemuda yang menurut penilaiannya sendiri amat tampan gagah dan patut dibanggakan. Seluruh cinta kasihnya tercurah kepada puteranya itu. Akan tetapi puteranya itu tewas ketika perang sedang panas-panasnya terjadi antara Madura dan Mataram. Kematian Raden Dibyasakti itu menghancurkan hatinya dan menanamkan bibit dendam kebencian yang teramat besar terhadap Mataram umumnya dan Sultan Agung pada khususnya. Dia harus membalas dendam kematian puteranya itu, apapun yang terjadi! Setelah menghela napas panjang, Harya Baka Wulung mejawab pertanyaan Kapten De Vos itu.

   "Sebetulnya ini urusan pribadi. Aku sudah bersumpah dalam hati untuk membalas kepada Sultan Agung untuk dengan cara apapun juga menghancurkan Mataram. Mataram telah merenggut nyawa puteraku yang tunggal, telah menghancurkan semua kebahagiaanku."

   Melihat wajah Harya Baka Wulung yang penuh duka dan kini kakek itu menunduk lesu, suasana menjadi hening.

   Akhirnya Kapten De Vos berseru.

   "Mari kita minum lagi. Kita lupakan kenangan masa lalu dan mari kita bersiap untuk menghancurkan Mataram, musuh kita bersama!"

   Mereka minum anggur lagi. Setelah ketegangan mereda, De Vos bertanya kepada Harya Baka Wulung.

   "Tuan Harya, kalau tuan tidak setuju untuk tetap menahan dua orang tawanan sampai terbukti bahwa laporan mereka benar, lalu kalau menurut tuan, apa yang harus kita lakukan agar kita tidak sampai menderita rugi oleh kebohongan mereka?"

   "Kalau mereka besok pagi memberi keterangan, kita harus membebaskan mereka seperti yang telah dijanjikan. Untuk mencegah agar mereka tidak berbohong, kita minta mereka bersumpah lebih dulu sebelum memberi keterangan mereka. Orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan seperti mereka pasti tidak akan mau melanggar sumpah sendiri. Kalau hal ini masih meragukan, kita beri mereka racun yang akan bertahan sampai saat terjadinya penyerbuan Mataram seperti yang mereka katakan. Setelah ternyata keterangan mereka kelak benar, mereka kelak boleh datang minta obat penawar kepada kita."

   Kapten De Vos melihat betapa semua pembantunya mengangguk-angguk menyetujui siasat itu, maka diapun berkata gembira.

   "Bagus, bagus sekali. Dengan begitu, kita tidak melanggar janji, juga kita tetap mengikat mereka sehingga mereka pasti tidak berani berbohong!"

   Dengan gembira dia lalu mengajak semua orang untuk menambah minuman anggur.

   Sementara itu, setelah menunggu cukup lama, membiarkan musuh-musuh mereka berpesta dan makan minum sepuasnya, sesuai dengan yang sudah mereka atur dalam pembicaraan mereka siang tadi, Sulastri menerima ketukan pada dinding kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Aji.

   Ketukan tiga kali, berarti ia harus mulai dengan tugasnya. Ia membalas dengan ketukan tiga kali sebagai isarat bahwa ia telah mengerti dan siap melaksanakan tugasnya. Ia mengintai dari balik daun pintu kamarnya. Ada dua orang penjaga duduk di depan , di antara kamarnya dan kamar Aji. Dua orang kulit putih dan bertubuh tinggi kurus, bermuka merah dan hidung mereka panjang seperti hidung Petruk. Sulastri segera memasang aksi, tersenyum manis sekali ketika ia membuka pintu kamarnya dan menghampiri dua orang anak buah kapal yang memegang bedil itu. Melihat gadis cantik itu tersenyum-senyum dan menghampiri mereka dengan langkah yang lemah gemulai, dua orang laki-laki kulit putih itu tentu saja merasa senang, Mereka juga tersenyum dan menyambut Sulastri dengan bahasa daerah yang patah-patah.

   "Selamat malam, nona manis. Belum tidurkah?"

   Tegur seorang.

   "Nona manis hendak pergi ke manakah?"

   Tanya yang kedua.

   Sulastri memperlebar senyumnya sehingga sinar lampu gantung menimpa deretan giginya yang putih mengkilap.

   "Aku kesepian sekali, tuan-tuan. Aku ingin mengajak kalian bercakap-cakap."

   Kata Sulastri dan sengaja ia menggunakan jari-jari tangannya yang lentik untuk menyentuh tangan mereka. tentu saja dua orang anak buah kapal itu yang seperti hmpir semua pelaut, selalu haus akan hiburan dan gila perempuan.

   "Ah, kami senang sekali, nona!"

   Kata yang kedua lebih berani. Tangannya hendak merangkul. Akan tetapi Sulastri melangkah mundur lalu menoleh ke kanan kiri dan berkata lirih.

   "Jangan di sini, tuan. Aku takut dan malu kalau ketahuan orang lain. Mari kita bicara dalam kamarku saja."

   Dua orang anak buah kapal yang usianya sekitar tiga puluh tahun itu saling pandang, terbelalak dan tersenyum. Hati mereka melonjak dan rasanya ingin bersorak gembira.

   Ketika melihat gadis itu dengan lenggang memikat sehingga pinggulnya menari-nari melangkah menuju kembali ke kamarnya, dua orang itu seperti berebut mengikuti dari belakang. Karena seluruh perhatian mereka tertuju kepada tubuh belakang Sulastri yang menggairahkan, mereka sama sekali tidak tahu bahwa pintu kamar sebelah terbuka dan sesosok bayangan berkelebat keluar dari kamar itu. Ketika dua orang penjaga itu tiba di luar kamar Sulastri yang daun pintunya terbuka lebar, Sulastri berkata dengan manis.

   "Masuklah saja, tuan-tuan, jangan ragu dan malu!"

   Dua orang itu melangkah masuk dan pada saat itu, Aji melompat ke belakang mereka. Kedua tangannya menyambar ke arah tengkuk dua orang anak buah kapal itu.

   "Ngek-ngek!"

   Dua orang itu terkulai. Sulastri cepat menyambut bedil mereka yang terlepas dari pegangan agar tidak menimbulkan suara gaduh. Aji sudah menangkap lengan kedua orang itu sehingga tidak sampai terguling roboh. Dia lalu menyeret dua tubuh yang sudah tak dapat bergerak karena pingsan itu ke dalam kamar. Menggunakan kain alas pembaringan yang dirobek, aji mengikat kaki tangan kedua orang itu dan menyumbat mulut mereka. Kemudian, tanpa mengeluarkan suara, kedua orang muda itu berindap ke luar.

   Mereka tidak perlu bicara lagi karena siang tadi mereka telah mengatur rencana dengan matang. Setelah membuat dua orang penjaga itu tidak berdaya, Sulastri menyelinap dan menuju ke buritan kapal. Sedangkan Aji sudah menyelinap dan bersembunyi di balik tihang. Sulastri tiba di luar bilik yang menjadi gudang kapal itu. Ia mengambil lampu gantung yang berada di luar bilik, kemudian mendorong daun jendela dengan kekuatan tangannya.

   Ia tidak berani mengerahkan tenaga sakti karena hal itu akan menimbulkan nyeri hebat dalam dadanya. Akan tetapi kedua tangannya yang terlatih itu memiliki tenaga otot yang cukup kuat untuk membuat daun jendela yang tidak begitu kokoh itu terbuka. Setelah jendela terbuka, ia lalu melemparkan dan membanting lampu gantung ke dalam gudang. Terdengar ledakan kecil dan gudang itu segera terbakar. Minyak yang tersimpan dalam gudang itu segera disambar api dan bernyala besar. Setelah berhasil membakar gudang, Sulastri cepat berlari dan terengah-engah ia mendekam di samping Aji, di belakang tihang besar.

   "Brand! Brand! (Kebakaran, kebakaran!)"

   Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan dan banyak kaki berlari-larian.

   Mereka yang sedang berpesta terkejut bukan main. Mereka yang tidak mengerti bahasa Belanda, saling pandang dengan heran. Ki Warga cepat memberitahu mereka.

   "Ada

   kebakaran!"

   "Cepat, kita lihat! Maya Dewi, Tuan Harya dan Tuan Somad, juga kamu Tuan Warga dan Tuan Banuseta, pergilah kamu ke kamar dua orang tawanan itu!"

   Kata Kapten De Vos.

   Mereka semua menghambur ke luar dari ruangan di mana mereka tadi berpesta. Lima orang pembantu itu berlari ke arah dua buah kamar di mana dua orang tawanan itu berada, sedangkan De Vos sendiri berlari ke arah buritan kapal karena di sanalah terjadinya kebakaran.

   Semua anak buah kapal sibuk berusaha untuk memadamkan kebakaran. Sebetulnya, dengan tenaga banyak orang, kebakaran tentu mudah dipadamkan. Akan tetapi karena persediaan minyak dalam bilik gudang itu terbakar, maka agak sukarlah kebakaran itu dipadamkan, Kapten De Vos yang marah-marah memberi petunjuk dan aba-aba kepada anak buahnya. Dia berjalan mondar-mandir sambil berteriak memberi komando.

   Tiba-tiba, lengan kanannya ditangkap sebuah tangan yang amat kuat dan lengan itu ditelikung ke belakang tubuhnya. Sebelum dia sempat meronta, sebatang ujung pisau belati yang runcing tajam menempel dilehernya. Aji yang menangkap kapten itu berseru.

   "Diam, jangan bergerak, atau lehermu akan kupenggal!"

   Sulastri yang berada di dekat Aji, cepat mengambil pistol yang tergantung di pinggang Kapten De Vos dan membuang senjata api itu ke luar kapal. Kemudian mereka berdua mengundurkan diri ke pagar kapal. Aji menarik dan memaksa De Vos ikut dengan menyeretnya. Sementara itu, lima orang pembantu yang berlari menuju je dua buah kamar tawanan, tentu saja menjadi terkejut melihat dua orang penjaga berada di kamar Sulastri dalam keadaan terikat dan tersumbat mulut mereka, sedangkan dua orang tawanan itu tidak tampak. Ki Warga cepat membebaskan mereka dan bertanya apa yang telah terjadi.

   "Perempuan itu....... ia memanggil kami dan tahu-tahu kami dipukul dari belakang dan tidak ingat apa-apa lagi. Ketika kami siuman, kami telah berada di sini dalam keadaan begini."

   Dua orang itu bercerita.

   "Tawanan lolos! Tentu mereka yang melakukan pembakaran itu. Mari cepat keluar dan cari mereka!"

   Kata Ki Warga. Semua orang berlari keluar. Mereka berlari ke arah buritan dan membantu mereka yang memadamkan api. Tak lama kemudian api dapat dipadamkan.

   "Di mana Kapten de Vos?"

   Tanya Ki Warga. Barulah semua orang merasa heran dan panic. Pimpinan mereka itu tidak tampak batang hidungnya, pada hal tadi sibuk memimpin anak buahnya memadamlan api. Tiba-tiba mereka mendengar suara yang nyaring yang datangnya dari bagian tengah di atas dek itu.

   "Heii, kalian Semua lihatlah! kapten De Vos berada di sini!"

   Semua orang berlarian menuju kearah suara dan setelah tiba di dekar tihang layar besar mereka tertegun, berdiri mematung dengan mata terbelalak. Di sana, dekat pagar di pinggir, Kapten De Vos berdiri tak berdaya dengan muka pucat. Di belakangnya berdiri Lindu Aji dan Sulastri, keduanya memegang sebatang pisau belati yang runcing dan tajam. Aji menempelkan belatinya di leher De Vos sedangkan Sulastri menodongkan belatinya di lambungnya! Melihat ini, para anak buah kapal sudah menodongkan bedil mereka ke arah dua orang tawanan itu, akan tetapi Aji cepat membentak.

   "Lepaskan bedil kalian atau kami akan membunuh Kapten De Vos lebih dulu!"

   Dia dan Sulastri menekan pisau belati yang mereka rampas dari dua orang penjaga tadi lebih kuat sehingga ujung pisau yang runcing itu mulai menembus kulit dan kulit di leher dan lambung terluka dan mengeluarkan darah.

   "Stop! Lepaskan semua bedil itu, kalian goblok!!"

   Kapten De Vos berteriak kepada anak buahnya. Anak buah kapal itu tak dapat berbuat lain kecuali menaati perintah atasan mereka. Kalau mereka nekat menembak, tentu Kapten De Vos akan mati dan kalau hal ini terjadi, berarti malapetaka besar bagi mereka! Ditangkapnya De Vos oleh dua orang tawanan itu benar-benar membuat mereka tidak berdaya. Terpaksa mereka melepaskan bedil masing-masing ke atas dek.

   Nyi Maya Dewi berkata dan suaranya terdengar penuh ancaman.

   "Lindu Aji, apa yang kaulakukan ini? Bukankah kita sudah berjanji bahwa engkau besok akan melaporkan keterangan kepada kami dan sebagai gantinya kami akan membebaskan kalian dan memberi obat penawar kepada Sulastri yang akan mati tersiksa beberapa hari lagi?"

   "Maya Dewi, siapa percaya akan janji-janji kalian? Sekarang bukan saatnya bagi kalian menuntut. Bukan kalian yang berhak menentukan, melainkan kami! Kalian harus memenuhi permintaan kami sebagai pengganti nyawa Kapten De Vos!"

   Melihat beberapa orang di antara mereka ada yang membuat gerakan seolah hendak menyerang, Aji berteriak lantang.

   "Jangan bergerak atau aku akan memenggal leher Kapten De Vos! Jangan kira bahwa kami tidak akan berani melakukan itu. Kami akan membunuhnya dulu kemudian mengamuk sampai mati!"

   "Tahan.......!"

   Ki Warga berseru.

   "Aji, apa yang kaukehendaki? Akan tetapi bersumpahlah dulu bahwa engkau akan membebaskan Kapten De Vos kalau kami memenuhi permintaanmu."

   "Baik, aku bersumpah akan membebaskan Kapten De Vos kalau kalian memenuhi semua permintaan kami."

   Kata Aji.

   "Permintaan kami yang pertama, serahkan obat penawar bagi Sulastri!"

   Berkata demikian, Aji memandang kepada Nyi Maya Dewi. Dia tahu bahwa obat itu ada pada kekasih wanita itu yang kini berdiri di sebelah kiri Maya Dewi.

   Dia akan tahu bahwa kalau obat itu diberikan oleh Maya Dewi, berarti obat itu palsu. Ki Warga dan semua orang kini menoleh dan memandang kepada Maya Dewi. mereka tahu bahwa yang dapat memberikan obat yang diminta itu hanyalah Maya Dewi.

   Nyi Maya Dewi balas memandang Aji dan sikapnya tenang saja. Hal ini menunjukkan bahwa ia adalah N seorang wanita yang banyak pengalaman, licik dan tidak mudah gugup.

   "Akan tetapi, Aji. Aku tidak dapat menyerahkan obat itu kepadamu di sini. Obat penawar itu kusimpan di daratan, yaitu di Tegal di rumah Ki Warga."

   "Hemm, Nyi Maya Dewi, tidak perlu lagi kau berbohong. Aku tahu pasti bahwa obat penawar itu ada padamu. Hayo cepat berikan! Ataukah aku harus menyiksa Kapten De Vos lebih dulu?"

   Aji sengaja menekan pisau belati itu di leher De Vos sehingga kapten itu berteriak.

   "Ben je gek, Maya (Gilakah kamu, Maya)? Hayo cepat berikan obat penawar itu kepadanya!"

   Maya Dewi tampak bingung dan ia memandang kepada banuseta. Terpaksa ia menangguk memberi isyarat kepada pria itu dan berkata lirih.

   "Berikanlah, Raden."

   Banuseta mengerutkan alisnya dan memandang kepada Sulastri. Dia tidak rela melepaskan kesempatan untuk menguasai gadis yang digandrunginya itu.

   "Akan tetapi....... Maya.......

   "

   "Tidak ada tapi!"

   Kapten De Vos membentak marah.

   "Godverdomme, zeg! Berikan obat itu atau kuperintahkan orang-orangku untuk menembak kepalamu!"

   Mendengar bentakan ini, Banuseta menjadi pucat mukanya dan dia segera merogoh ke balik ikat pinggangnya, mengeluarkan sebuah bungkusan kain kecil dan menyodorkannya kepada Sulastri. Akan tetapi seperti yang sudah ia rencanakan bersama Aji, Sulastri tidak mau menerimanya, tidak mau memberi kesempatan dirinya ditangkap.

   "Letakkan di atas lantai dekat sini!"

   Perintah Aji.

   Banuseta menurut karena Kapten De Vos memandang kepadanya dengan mata mendelik dan memerintah. Dia meletakkan bungkusan obat penawar itu di atas lantai di depan Aji.

   "Tuan Kapten, sekarang perintahkan Maya Dewi mengembalikan keris dan pedang kami yang dirampasnya."

   Kata Aji.

   "Kembalikanlah, Maya dan cepat!"

   Perintah De Vos.

   Maya Dewi tidak berani membangkang. Ia mengeluarkan Pedang Nogo Wilis milik Sulastri dan Keris Nogowelang milik Aji, meletakkan dua buah pusaka, itu di atas lantai dekat bungkusan obat penawar.

   "Lastri, ambillah semua itu."

   Kata Aji.

   Sulastri melangkah maju, dengan waspada ia mengambil bungkusan obat penawar dan menyimpan di ikat pinggangnya, kemudian menyerahkan Keris Nogo Welang kepada Aji dan menggantung sarung pedang Nogo Wilis di ikat pinggangnya. Kedua orang muda itu lalu membuang pisau belati dan kini memegang pusaka masing-masing untuk menodong Kapten De Vos dan melindungi diri sendiri.

   Karena Kapten De Vos benar-benar berada dalam kekuasaan Aji dan Sulastri, dan keselamatan nyawanya terancam, maka biarpun di situ hadir orang-orang sakti seperti Ki Harya Baka Wulung, Aki Somad, Nyi Maya Dewi, Ki Warga, Raden Banuseta, Hendrik dan para perajurit, mereka tidak berani berkutik. Bahkan Aki Somad dan Harya Baka Wulung juga tidak berani membuat ulah atau mencoba mempergunakan aji sihir mereka karena mereka maklum betapa saktinya kedua orang muda itu, terutama sekali Lindu Aji.

   "Kapten, cepat perintahkan menurunkan perahu kecil itu!"

   Kata Aji kepada tawanannya.

   "Juga sediakan tangga tali untuk turun!"

Perintah itu diteriakkan Kapten De Vos. Setelah perahu diturunkan ke air dan tangga tali dipasang, Aji memberi isarat kepada Sulastri untuk menurunkan tangga tali dan masuk ke dalam perahu kecil yang sudah diturunkan di sisi perahu besar.

   Kemudian dia berkata kepada Nyi Maya Dewi dengan nada suara mengancam.

   "Kami akan menyandera Kapten ini. Nanti kalau ternyata bahwa obat penawar yang kauberikan itu manjur dan menyembuhkan Sulastri, kami pasti akan membebaskan dia. Kalau ternyata engkau menipu kami dan obat penawar itu tidak dapat menyembuhkan Sulastri, kapten ini akan kami bunuh!"

   Mendengar ini, Kapten De Vos menjadi pucat wajahnya.

   "Maya, jangan main-main kamu! Kalau kamu menipu dan gadis itu tidak dapat disembuhkan sehingga aku terbunuh, Kumpeni tentu akan menangkap kalian semua dan menghukum kalian dengan siksaan yang paling berat!"

   Mendengar ini Maya segera berkata kepada Aji.

   "Aji, kami telah menuruti semua permintaanmu, akan tetapi engkau harus berjanji bahwa engkau akan benar-benar membebaskan Tuan Kapten De Vos."

   "Aku pasti akan membebaskannya. Katakan bagaimana aturan minum obat penawar racun itu."

   "Mudah saja. Masukkan obat bubuk itu semua ke dalam secangkir air kelapa muda hijau, kemudian minum sampai habis dan pengaruh racun itu akan punah. Akan tetapi setelah itu engkau harus membebaskan tuan kapten."

   "Aku tidak akan melanggar janji!"

   Setelah berkata demikian, Aji memegang lengan kanan De Vos, tetap menempelkan keris di punggungnya dan memaksa kapten itu menuruni tangga tali bersama dia. Mereka turun ke perahu di mana Sulastri telah menunggu. Aji lalu mendayung perahu itu dengan cepat meninggalkan kapal menuju ke pantai. Lampu-lampu yang menyorot dari rumah-rumah para nelayan di pantai memudahkan Aji menujukan arah perahunya.

   Fajar mulai menyingsing ketika akhirnya perahu kecil itu mendarat. Aji dan Sulastri mengajak De Vos meninggalkan pantai menuju ke bagian barat yang jauh dari perkampungan karena mereka tidak ingin menarik perhatian penduduk pantai. Juga mereka hendak memasuki daerah yang tertutup oleh bukit karang agar tidak dapat tampak dari kapal karena mereka maklum bahwa mereka yang berada di kapal tentu akan berusaha untuk mengintai dengan alat teropong.

   Mereka berhenti di sebuah tegalan di mana terdapat beberapa batang pohon kelapa. Melihat beberapa butir buah kelapa muda hijau bergantungan di pohon, Aji mempergunakan batu karang untuk menyambit dan dua butir buah kelapa muda hijau runtuh. Dengan pedang milik Sulastri, dia membelah buah kelapa muda itu dengan hati-hati sehingga airnya tidak tumpah. Dimintanya bungkusan obat dari Sulastri dan dimasukkan obat bubuk itu ke dalam air kelapa muda.

   "Minumlah, Lastri. Mudah-mudahan engkau sembuh."

   "Maya pasti tidak berbohong."

   Kata De Vos.

   "Kalau ia berbohong dan obat itu tidak menolong, ia dan kawan-kawannya akan dihukum mati semua!"

   "Mudah-mudahan engkau benar, tuan kapten, karena nyawamu juga tergantung kepada kesembuhan Sulastri."

   Kata Aji.

   Sulastri minum air kelapa muda yang sudah dicampur obat bubuk itu. Setelah air kelapa muda diminumnya habis, ia lalu duduk bersila, mengatur pernapasan untuk membiarkan obat di dalam perutnya bekerja. Aji dan De Vos memandang dengan penuh perhatian dan perasaan tegang. Tiba-tiba gadis itu mengerutkan alisnya dan menggigit bibirnya sendiri. Ia tampak menahan perasaan nyeri yang hebat.

   "Lastri, kenapa..... ?"

   Aji bertanya khawatir.

   "Perutku...... mulai melilit-lilit....... ah, aku tidak kuat lagi...... harus ke sungai.......!"

   Gadis itu melompat berdiri dan lari ke arah anak sungai yang tadi mereka lewati.

   "God....... (Tuhan)! Apa yang terjadi dengannya.....?"

   De Vos berkata dengan muka pucat sambil memandang ke arah menghilangnya bayangan gadis itu di balik pohon-pohon. Aji masih tenang. Dia merasa yakin bahwa Maya Dewi pasti tidak berani menipunya, apa lagi mencelakai Sulastri dengan obat palsu karena Kapten De Vos masih berada di tangannya. Wanita itu tidak akan berani melanggar perintah De Vos yang merupakan orang penting dari Kumpeni.

   "Mungkin itu pengaruh obat penawar yang akan menyembuhkan."

   Kata Aji tenang.

   "Mudah-mudahan begitu.......

   "

   Kapten De Vos termenung, hatinya masih diliputi kekhawatiran kalau-kalau terjadi sesuatu pada diri gadis itu yang dapat menyebabkan dia dibunuh. Dia duduk dengan lemas di atas akar pohon yang menonjol di permukaan tanah dan menanti. Dia merasa tidak berdaya sama sekali. selama ini andalannya hanyalah senjata apinya dan pistol-pistolnya telah dilucuti sebelum dia ditawan tadi. Untuk nekad menyerang pemuda ini dengan kaki tangannya? Sama saja dengan membunuh diri! Dia sudah melihat akan kehebatan pemuda itu ketika tadi pemuda itu bertanding melawan Hendrik De Haan. Jagoan juara tinju itu saja tidak mampu berkutik melawan Aji, apalagi dia!

   Tak lama kemudian Sulastri muncul. Gadis itu melangkah dengan lenggang gemulai seperti menari. Sinar matahari pagi yang kemerahan menimpa wajahnya, tampak cemerlang dan segar, masih basah. Sepasang matanya yang jeli tampak bersinar mencorong, berbeda dengan pandang matanya tadi yang mengandung penasaran dan agak gelisah. Sinar mata ini saja sudah menggirangkan hati Aji karena merupakan pertanda yang baik. Bahkan Kapten De Vos menyambutnya dengan penuh perhatian dan ketegangan. Keadaan gadis itu menentukan nasib dirinya.

   "Bagaimana, lastri?"

   Tanya Aji sambil memandang wajah gadis itu penuh harapan.

   "Ya, bagaimana, nona? Sudah sembuhkah kamu.......?"

   De Vos bertanya.

   Sulastri tersenyum kepada Aji dan berkata.

   "Engkau lihat sendiri, Mas Aji!"

   Ia menghampiri pohon kelapa, berdiri dalam jarak dua meter, menekuk sedikit kedua lutut kakinya, mengerahkan tenaga saktinya lalu mendorong dengan kedua telapak tangan terbuka sambil membentak nyaring.

   "Aji Margopati.......!"

   Angin pukulan dahsyat menyambar ke arah batang pohon kelapa sebesar pinggang gadis itu.

   "Wuuuttt....... kraaakkk....... bruuukkk.......!"

   Pohon kelapa itu tumbang! Kapten De Vos terbelalak dan mukanya berubah pucat. Kalau tidak melihat sendiri, pasti dia tidak akan percaya bahwa ada orang apalagi ia seorang gadis jelita, mampu merobohkan dan menumbangkan sebatang pohon kelapa hanya dengan pukulan jarak jauh.

   "Lastri, engkau telah sembuh!"

   Seru Aji dengan girang sekali. Gadis itu telah mampu mempergunakan pukulan tenaga sakti, berarti ia telah sembuh sama sekali.

   "Obat itu memang manjur sekali, semua racun terkuras keluar dari perutku. Saking lega dan girang, aku tadi sekalian mandi, segar sekali rasanya."

   Kata Sulastri.

   "Syukurlah! Kamu telah sembuh, ahhh....... aku girang sekali.......!"

   De Vos berseru sambil berloncatan seperti hendak menari-nari karena hal itu akan berarti dia dibebaskan! Sulastri menoleh kepadanya dan alisnya berkerut.

   "Jangan girang dulu, kumpeni jahat! Hendak kulihat apakah badanmu lebih kuat dari pada batang pohon kelapa itu?"

   Tiba-tiba Sulastri sudah menghantamkan tangan kirinya yang terbuka dengan dorongan dahsyat ke arah orang Belanda itu.

   "Haiiittt.......!"

   "Plakk.......!!"

   Sulastri terdorong ke belakang dan ia memandang kepada Aji dengan mata terbelalak.

   "Kangmas Aji! Kenapa....... kenapa kau lakukan itu? Kenapa engkau menangkis pukulanku dan....... melindungi kumpeni musuh rakyat ini?"

   "Tenanglah, Adi Sulastri. Aku tidak ingin melihat engkau menjadi seorang yang melanggar janji sendiri. Kita sudah berjanji bahwa kalau obat penawar itu berhasil menyembuhkanmu, kita akan membebaskan Kapten De Vos ini."

   "Akan tetapi janji orang-orang seperti dia dan antek-anteknya itu, apakah dapat dipercaya?"

   Sulastri membantah dengan penasaran, sementara itu De Vos memandang dengan sinar mata gelisah.

   "Mereka memang tidak dapat dipercaya dan bukan orang-orang yang baik, akan tetapi kita tidak sama dengan mereka, bukan? Kita adalah orang-orang yang menjaga kebenaran dan keadilan, menjunjung tinggi kehormatan dan kegagahan. Kita tidak perlu meniru kecurangan mereka. Kita adalah orang-orang yang tidak akan melanggar janji sendiri, bukan?"

   Sulastri menarik napas panjang.

   "Sudahlah, aku takkan menang berdebat melawanmu. Bebaskan dia kalau engkau sudah memutuskan demikian."

   Aji bernapas lega. Tadinya dia merasa khawatir kalau gadis yang keras hati itu akan memaksakan kehendaknya membunuh orang Belanda ini.

   "Terima kasih, Lastri."

   Kemudian dia berkata kepada De Vos.

   "Tuan kapten, sekarang engkau boleh pergi. Aku membebaskanmu."

   Kapten De Vos adalah seorang yang sejak mudanya perajurit dan pelaut. Diapun seorang yang amat menghargai kegagahan dan dia merasa kagum sekali akan sikap dua orang muda yang dia anggap sebagai bangsa yang sederhana dan terbelakang itu, terutama sekali dia kagum melihat sikap Aji.

   "Tuan Lindu Aji,"

   Katanya dan nada suaranya mengandung hormat.

   "Tidak akan menyesalkah tuan membebaskan saya? Ketahuilah bahwa kalau kelak kita saling berjumpa dalam sebuah pertempuran, saya tidak akan ragu-ragu untuk menembak kepala tuan dengan pistol saya."

   Aji tersenyum.

   "Itu sudah menjadi kewajibanmu, tuan. Akupun kalau bertemu denganmu dalam pertempuran, tidak akan ragu untuk membunuhmu."

   "Mas Aji, kenapa susah-susah? Bunuh saja dia sekarang! Bukankah dia musuh kita?"

   Kata Sulastri.

   "Tidak, di antara dia dan kita tidak ada permusuhan pribadi, Lastri. Tuan kapten, ketahuilah, kami adalah satria-satria Mataram yang tahu akan harga diri dan kehormatan. Yang bermusuhan adalah antara kerajaan kita. Karena itu, dalam perang membela kerajaan masing-masing mungkin kita akan saling bunuh. Akan tetapi antara kita pribadi tidak ada permusuhan apapun Apa lagi kami sudah berjanji akan membebaskan setelah Sulastri sembuh oleh obat penawar itu. Pergilah, tuan, mudah-mudahan engkau akan menyadari bahwa kerajaan tuan dari seberang lautan yang jauh itu sedang mengganggu dan mengacau tanah air kami!"

   Kapten De Vos tersenyum dan menggerakkan pundaknya sebagai tanda bahwa dia tidak berdaya dalam hal itu.

   "Apa boleh buat, Tuan Aji, salah atau benar Belanda adalah kerajaanku yang harus kubela. Selamat tinggal!"

   Dia lalu melangkah pergi dengan cepat menuju ke pantai di mana tadi Aji meninggalkan perahu kecil yang mereka naiki untuk mendarat.

   Setelah Kapten De Vos pergi, Sulastri menghela napas, memandang Aji dan berkata.

   "Mas Aji, siasat kita berjalan baik dan mulus seperti kita rencanakan. Untung sekali bahwa aku telah dapat disembuhkan. Akan tetapi hatiku merasa penasaran bukan main, bahkan sampai sekarang masih terasa panas dan tidak puas!"

   "Wah, kenapa begitu, Lastri? Bukankah kita sepatutnya bersukur kepada Gusti Allah karena kita berdua dapat meloloskan diri dari tangan mereka dengan selamat?"

   "Benar, kakangmas, akan tetapi hatiku merasa penasaran karena kita tidak dapat membasmi orang-orang yang menjadi antek Kumpeni itu. Aku merasa muak dan benci kepada mereka dan ingin sekali menumpas mereka! Terutama nenek tak tahu malu Maya Dewi itu!"

   "Hal itu tidak mudah, Lastri. Kalau hanya Maya Dewi seorang, tentu tidak sukar kita mengalahkannya. Akan tetapi ia memiliki sekutu orang-orang yang sakti mandraguna seperti Ki Harya Baka Wulung, Aki Somad, laki-laki bangsawan tinggi kurus itu, dan kita tidak boleh memandang remeh orang yang tinggi besar, pandai berbahasa belanda yang disebut Ki Warga itu. Agaknya dia mempunyai kekuasaan dan pengaruh besar dan menjadi orang penting dari Kumpeni Belanda. Belum lagi di sana ada Kapten de Vos dan anak buahnya yang amat berbahaya dengan senjata api mereka. Setidaknya kita sekarang mengetahui siapa-siapa yang menjadi antek dan mata-mata Kumpeni."

   "Hemm, kalau saja tadi aku membunuh Belanda itu, setidaknya akan tertebus rasa penasaranku."

   "Sebaliknya, Lastri. Perasaan kita akan tertekan karena kita telah melanggar janji sendiri. sudahlah, mari kita cepat pergi dari sini. Aku yakin bahwa kalau Kapten De Vos suadah kembali ke kapalnya, mereka semua akan mencari kita di sini. mereka tidak ingin melepaskan kita begitu saja karena telah mengetahui semua rahasia mereka."

   Dengan wajah membayangkan ketidak puasan hati, Sulastri mengikuti Aji meninggalkan tempat itu dengan cepat menuju ke arah barat, Karena mereka melakukan perjalanan cepat, mempergunakan ilmu berlari cepat, maka seandainya gerombolan antek Kumpeni melakukan pengejaran, tetap saja mereka tidak akan dapat menemukan dua orang muda perkasa itu.

   Usaha penyerangan Sultan Agung dengan mengerahkan pasukan besar ke Batavia untuk pertama kalinya (tahun 1628) telah mengalami kegagalan besar. Senopati Baureksa yang diserahi tugas memimpin pasukan penyerbuan itu gugur dalam perang, tertembak peluru meriam Belanda. Banyak perwira Mataram gugur sehingga melemahkan semangat bertempur pasukan Mataram. Selain itu, timbul pula gangguan yang teramat besar dan yang merupakan pukulan parah bagi pasukan Mataram yang mengepung Batavia, yaitu berjangkitnya penyakit malaria yang menewaskan banyak perajurit dan melemahkan sebagian besar dari mereka.

   Ditambah lagi karena kekurangan pangan karena gudang-gudang ransum mereka dibakar habis oleh antek-antek Kumpeni Belanda. Maka penyerbuan pertama itu gagal sama sekali. Sultan Agung merasa kecewa, menyesal dan marah besar. Saking marahnya melihat usaha penyerbuan itu gagal dan melihat pasukan Mataram pulang membawa kehancuran, Sultan Agung amat marah karena pasukannya tidak melawan terus sampai Batavia dapat dirobohkan.

   Dia menganggap sebagian para perwira kurang semangat dan bersikap pengecut. karena itu dia memerintahkan Tumenggung Suro Agul-agul untuk menghukum mati para pasukan pengikut yang melarikan diri. Akan tetapi perintah itu disalah artikan oleh Tumenggung Suro Agul-agul. Dia malah menangkap Adipati Mandureja dan Kyai Adipati Upasanta, lalu menghukum mati dua orang senopati

   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAGUS SAJIWO

BAGUS SAJIWO BAGUS SAJIWO JIL ID 01 BAGUS SAJIWO JIL ID 02 BAGUS SAJIWO JIL ID 03 BAGUS SAJIWO JIL ID 04 BAGUS SAJIWO JIL ID 05 BAGUS SAJIWO JIL ID 06 BAGUS SAJIWO JIL ID 07 BAGUS SAJIWO JIL ID 08 BAGUS SAJIWO JIL ID 09 BAGUS SAJIWO JIL ID 10 BAGUS SAJIWO JIL ID 11 BAGUS SAJIWO JIL ID 12 BAGUS SAJIWO JIL ID 13 BAGUS SAJIWO JIL ID 14 BAGUS SAJIWO JIL ID 15 BAGUS SAJIWO JIL ID 16 BAGUS SAJIWO JIL ID 17 ...

ALAP-ALAP LAUT KIDUL

JILID 1 JILID 2 JILID 3 JILID 4 JILID 5 JILID 6 JILID 7 JILID 8 JILID 9 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33