Langsung ke konten utama

SERULING GADIN

  SERULING GADING  1 2 3 4 5 6 7 8 9 6 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 JILID 1    Puncak Argadumilah menjulang tinggi diselimuti awan putih bergerombol seperti sekelompok domba berbulu putih bergerak perlahan, berarak ke arah selatan. Sinar matahari pagi mulai menerangi permukaan Gunung Lawu yang tanahnya subur dan hijau penuh pohon dan tumbuhan. Kinar matahari pagi yang lembut dan hangat itu masih belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang amat dingin bagi manusia itu. Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah. Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu.    Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan A...

ALAP ALAP LAUT KIDUL JILID 28

Tanya Karel.

   "Tidak apa-apa, aku hanya mengecek saja atas perintah Tuan Kapten."

   Hasanudin lalu pergi dari situ. Jantungnya berdebar tegang. Karen telah berbohong! Orang yang dikatakan penolongnya itu telah menyelundup memasuki benteng dengan bantuan Karen. Dia harus menyelidiki! Bukan mustahil bahwa orang itu adalah telik sandi Mataram yang menyusup masuk ke dalam benteng! Akan tetapi mau apa dia? Apa yang dapat dilakukan seorang saja dalam benteng yang dihuni ribuan serdadu itu? Tiba-tiba dia teringat. Gudang mesiu atau gudang ransum! Agaknya ke sanalah orang itu pergi. Setelah berpikir demikian Hasanudin lalu menyelinap di antara pohon-pohon menuju ke bangunan gudang mesiu yang berada di belakang, sebelah barat dalam benteng.

   Dia menghampiri gedung mesiu. Dua orang serdadu yang berjaga di depan gedung itu masih duduk berjaga di situ. Berarti keadaan aman di situ. Dia lalu pergi ke bagian belakang gedung itu di mana berdiri tiga buah gudang ransum yang besar, berjajar dan sambung menyambung. Di depan pintu besar tiga buah gudang yang menjadi satu itu biasanya terdapat dua orang serdadu penjaga. Akan tetapi, di bawah sinar lampu yang tergantung di atas pintu besar itu, kini tidak tampak adanya penjaga seorangpun. Hasanudin menjadi curiga karena hal ini aneh sekali.

   Dia melompat ke depan pintu dan melihat dua batang senapan menggeletak di situ, akan tetapi dua orang serdadunya tidak ada. Dia lalu mencari ke belakang dan setelah tiba di pinggir gudang, dia melihat dua orang serdadu itu telah menggeletak di bawah pohon yang gelap. Dia terkejut sekali dan pada saat itu ada angin menyambar dari samping. Aji telah berhasil merobohkan dua orang penjaga gudang dan menyeret tubuh mereka ke samping gudang. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat bayangan seorang laki-laki di depan gudang, bahkan laki-laki itu mencari ke samping gudang dan menemukan tubuh dua orang penjaga. Melihat ini, Aji terkejut dan kebetulan sekali laki-laki itu berdiri di bawah lampu yang tergantung di samping gedung.

   Dia makin kaget mengenal wajah laki-laki itu, Hasanudin! Udin kakak tirinya, orang yang dicari-carinya, yang telah membantu Banuseta ketika jahanam itu menyerbu tempat tinggal Ki Tejo Langit di pantai Dermayu! Dia tahu bahwa Hasanudin ini membenci ayah kandungnya, ayah kandung mereka dan kalau dia hanya membujuk dan mengingatkannya begitu saja, tidak mungkin kakak tirinya itu mau mendengarnya. Bahkan kalau Hasanudin tahu bahwa dia putera Harun Hambali, mungkin dia akan dimusuhinya pula. Karena itu, jalan satu-satunya hanyalah merobohkannya lebih dulu, baru membujuknya. Setelah berpikir demikian, Aji lalu menyerang dengan cepat.

   Akan tetapi, Hasanudin bukan seorang yang lemah. Dia adalah murid Aki Somad yang kemudian memperdalam ilmunya kepada Ki Tejo Langit. Begitu ada angin pukulan dahsyat menyambar dari samping, Udin atau Hasanudin melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan tamparan Aji itupun luput. Udin cepat melompat berdiri dan begitu melihat Aji, walaupun muka pemuda itu berlumpur, dia masih ingat bahwa pemuda itu adalah orang yang dulu pernah bertempur dengannya di tempat tinggal Ki Tejo Langit, seorang yang amat tangguh.

   "Hemm, kiranya engkau, telik sandi Mataram!"

   Bentaknya dan diapun balas menyerang dengan hebat karena dia sudah menggunakan Aji Margopati, pukulan yang mematikan. Aji tidak mau membuang waktu lagi, maklum bahwa kakak tirinya ini juga bekas murid Ki Tejo Langit, segera memainkan ilmu silat Wabara Sakti untuk mengelak dan secepat kilat dia sudah menggunakan jari-jari tangan yang dipenuhi tenaga Surya Candra, menotok ke arah iga kanan lawannya.

   "Tukk!"

   Iga kanan itu terkena totokan dan seketika tubuh Udin menjadi lemas. Aji cepat menubruk dan menelikung kedua tangan kakak tirinya ke belakang sehingga Udin tidak mampu bergerak lagi!

   "Hemm, aku sudah kalah, kalau hendak bunuh, lakukanlah. Aku tidak takut mati!"

   bentaknya, diam-diam merasa penasaran dan malu sekali bahwa dalam segebrakan saja dia telah dibuat tak berdaya oleh lawannya.

   "Aku tidak akan membunuhmu, Kakang Hasanudin karena engkau adalah kakakku. ketahuilah bahwa aku adalah putera kandung ayah kita, Harun Hambali!"

   "Bohong! Harun Hambali hanya mempunyai anak seorang saja, yaitu aku! Dan dia seorang pengecut jahat, aku akan membunuhnya!"

   "Sabar dan tenanglah, Kakang Udin. Dan dengarkan ceritaku baik-baik. Bapa Harun telah melarikan diri ke Mataram dan di sana dia menikah lagi dengan ibuku, dan lahirlah aku. Namaku Lindu Aji dan ayah kita telah tewas terbunuh oleh orang jahat."

   "Hemm, dia sendiri juga jahat, tidak bertanggung jawab, meninggalkan aku begitu saja. Pantas kalau dia terbunuh orang pula!"

   "Nanti dulu, kakang. Tahukah engkau mengapa ayah kita meninggalkanmu ketika engkau masih kecil dan menitipkanmu kepada Paman Ujang Karim?"

   "Karena dia membunuh seorang menak dan pengecut itu melarikan diri ketakutan, tidak memperdulikan lagi padaku."

   "Dan tahukah engkau mengapa ayah kita itu membunuh menak yang bernama Anom Bahrudin itu?"

   "Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu!"

   "Kakang Udin, engkau pasti tidak tahu mengapa ibu kandungmu meninggal dunia?"

   "Apa..... ?"

   Udin menengok untuk memandang wajah Aji, matanya terbelalak.

   "Aku..... aku tidak tahu. Kata paman Ujang, ibu meninggal karena sakit.....

   "

   "Paman Ujang Karim bohong karena dia ketakutan. Ibumu meninggal dunia karena gantung diri setelah ia diculik dan diperkosa oleh seorang menak, Yaitu Aom Bahrudin! Karena itulah, Bapa harun hambali membunuh Aom Bahrudin itu. Karena dia khawatir akan keselamatanmu maka dia menitipkan engkau kepada Paman Ujang Karim dan dia sendiri lalu melarikan diri ke daerah Mataram."

   Mata itu terbelalak dan muka itu menjadi merah.

   "Be...... benarkah itu..... ?"

   Aji melepaskan ringkusannya dan memulihkan kembali tenaga Hasanudin sehingga orang itu mampu bangkit berdiri.

   Mereka berdiri berhadapan.

   "Lindu Aji, benarkah apa yang kau ceritakan itu?"

   "Mengapa aku harus berbohong? Mendiang bapa sendiri yang menceritakannya."

   "Mendiang..... ? Kau..... kau maksudkan..... ayah kita telah meninggal?"

   "Telah dibunuh orang. Bapa Harun Hambali dan juga Paman Ujang Karim telah dibunuh orang dan tahukah engkau siapa yang membunuh meraka? Bukan lain adalah Raden Banuseta itu. Dia adalah putera Aom Bahrudin yang membalas kematian ayahnya dan mencari ayah kita sampai ke Mataram kemudian membunuh ayah, juga membunuh Paman Ujang Karim yang kebetulan berada di sana."

   "Jahanam busuk!"

   Hasanudin mengepal tinjunya dan memaki.

   "Dan engkau telah dapat dibujuknya untuk membantu kumpeni Belanda, kakang. Ah, kakang, tidak dapatkah engkau melihat betapa jahat dan hinanya orang yang mengabdi kepada bangsa Belanda untuk memusuhi bangsa sendiri? Dan Banuseta itu telah pula membunuh Paman Sudrajat, juga membunuh Eyang Tejo Langit gurumu sendiri! Dan engkau telah dipergunakannya untuk membantu dia mengabdi kepada Belanda. Sadarlah, kakang. Mendiang bapa kita adalah seorang ksatria, sedangkan Banuseta itu adalah seorang pengkhianat bangsa, seorang putera bangsawan jahat yang memperkosa ibu kandungmu sendiri!"

   "Keparat busuk banuseta, mati engkau ditanganku!"

   Hasanudin membentak dan sekali melompat diapun lenyap dalam kegelapan malam.

   Setelah mendengar cerita Aji bahwa ibu kandungnya mati membunuh diri setelah diculik dan diperkosa Aom Bhrudin dan ayah kandungnya dibunuh Banuseta putera Aom Bahrudin, Hasanudin marah bukan main. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa Banuseta yang disangkanya seorang sahabat baik itu ternyata musuh besarnya. Apa lagi kalau dia ingat betapa Banuseta juga sudah membunuh Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat, kemarahannya memuncak. Bagaikan seorang yang telah dimasuki iblis, dia lari, tidak memperdulikan apa saja untuk mencari Banuseta. Kebetulan sekali Banuseta juga sudah kembali dan sedang menghadap Kapten Van De Vos di ruangan tamu. Banuseta mendapat kabar bahwa Karen terlihat muncul di kota bersama seorang laki-laki, maka dia segera kembali untuk melapor atasannya.

   "Betulkah laporanmu ini, Banuseta?"

   Tanya Kapten van De Vos marah.

   "Benar, tuan. Sudah beberapa orang mengatakan bahwa mereka melihat Nona Karen memasuki kota bersama seorang laki-laki pribumi dan mereka berdua memasuki benteng melalui pintu gerbang.....

   "

   Pada saat itu Hasanudin melompat masuk ke dalam ruangan tamu itu dan segera menghampiri Banuseta. Sikapnya menyeramkan, wajahnya beringas dan tidak memperdulikan sopan santun sehingga mengejutkan dan mengherankan hati sang kapten dan Banuseta.

   "Banuseta, benarkah engkau telah membunuh seorang bernama Harun Hambali?"

   Hasanudin bertanya dan berdiri di depan Banuseta. bangsawan muda itu merasa heran, akan tetapi dia bangkit berdiri juga dan menjawab.

   "Memang benar, Udin karena jahanam itu telah membunuh ayahku. Aku hanya membalas dendam

   kematian ayahku."

   "Hemm, apakah ayahmu bernama Aom bahrudin?"

   "Benar."

   "Engkau tahu mengapa Harun Hambali membunuh Aom Bahrudin?"

   "Aku tidak tahu, mungkin Harun itu orang jahat."

   "ketahuilah, Aom Bahrudin itu telah menculik dan memperkosa isteri Harun Hambali sehingga wanita itu membunuh diri!"

   "Ah, aku tidak tahu dan aku tidak percaya."

   "Dan tahukah engkau siapa aku? Wanita yang diperkosa ayahmu dan mati membunuh diri itu adalah ibu kandungku dan Harun Hambali adalah ayah kandungku! karena itu, engkau harus mati di tanganku, Banuseta!"

   Hasanudin menampar dengan keras sekali. Banuseta yang terkejut cepat menggerakkan tangan menangkis.

   "Wuuuttt..... dukkk !!"

   Dua lengan bertemu dan akbatnya, tubuh Banuseta terdorong ke belakang, menabrak kursi sehingga dia roboh. Akan tetapi, sebagai ketua cabang perguruan silat Dadali Sakti, dia sudah melompat lagi dan mencabut goloknya yang bergagang emas. Ketika Hasanudin menyerang lagi, dia menyambut dengan babatan goloknya. Hasanudin mengelak dan keduanya lalu berkelahi dengan seru dalam ruangan tamu itu. Kapten Van De Vos mencabut pistolnya dan berseru nyaring.

   "God verdomme! Hentikan perkelahian itu!"

   Dan menodongkan pistolnya. Akan tetapi Hasanudin tidak memperdulikan teriakan ini, bahkan memperhebat serangannya dan gerakan kedua orang yang berkelahi itu sedemikian cepatnya, berputar-putar sehingga sulitlah bagi Kapten Van De Vos untuk menentukan sasarannya. Tentu saja dalam hatinya dia membela Raden Banuseta yang telah lama menjadi kaki tangannya, sedangkan Hasanudin adalah orang baru. Akan tetapi sukarlah untuk membidikkan pistolnya ke arah tubuh Hasanudin yang bergerak cepat itu. Jangan-jangan malah salah sasaran!

   Hasanudin bernafsu sekali untuk membunuh musuh besarnya itu. dia sadar betul bahwa dirinya telah terseret ke dalam tindakan yang sesat tanpa diketahui bahwa "sahabat baik"

   Itu justeru musuh besarnya. Dan sesungguhnya Raden Banuseta juga sama sekali tidak tahu bahwa Udin adalah putera kandung Harun, musuh besarnya, Kalau dia mengetahui, tentu dia sudah turun tangan lebih dulu untuk membunuh putera musuhnya itu.

   "Aji Tapak Geni! Aarrgghhhh.....!!"

   Hasanudin mengeluarkan aji yang dipelajarinya dari Aki Somad itu.

   Kedua tangannya yang digosok-gosokkan itu ditiup menyala dan ketika dipukulkan ke depan, ada api menyambar ke arah Banuseta. Orang ini terkejut sekali dan mencoba menghindar, namun terlambat. Pukulan berapi itu mengenai dadanya dan diapun terjengkang roboh. Hasanudin, bagaikan seekor harimau, menerkam dan mencengkeram dan mencekik lehernya. Banuseta mengeluarkan suara mengerikan dan matanya melotot, lidahnya keluar dan batang lehernya patah!

   Pada saat itu terdengan teriakan-teriakan dari luar gedung.

   "Kebakaran! Kebakaran!!"

   dan terdengar banyak orang berlari-larian.

   Kapten Van De Vos kini medapat kesempatan. Pistol yang berisi peluru emas itu menyalak tiga kali.

   "Dar-dar-darrrr.....!"

   Dan tubuh Hasanudin terpelanting. Akan tetapi dia sempat menyambar golok yang terlepas dari tangan Banuseta yang telah tewas dan dalam keadaan terluka parah oleh tiga peluru emas itu, Hasanudin masih mampu mengerahkan tenaga terakhir, melontarkan golok itu ke arah Kapten Van De Vos.

   "Singggg..... capppp.....!"

   Van De Vos mengeluh ketika golok itu menancap diperut dan menembus di punggungnya. Dia masih dapat melepaskan dua kali tembakan yang ngawur sebelum jatuh terjerembab di atas lantai, tewas mandi darahnya sendiri.

   Sementara itu, begitu terdengar teriakan kebakaran, Karen Van De Vos dapat menduga bahwa kebakaran itu tentu dilakukan oleh Aji. Maka iapun cepat berlari melalui pintu belakang sambil membawa segulung pakaian. Ia tidak tahu apa yang terjadi di ruangan tamu. Ia hanya ingat akan keselamatan Aji. Ia harus menolongnya karena kalau tidak, tidak mungkin Aji dapat menyelamatkan diri.

   Dugaan Karen memang tepat. Yang membuat kebakaran itu adalah Aji. Setelah dia berhasil menyadarkan kakak tirinya, Aji yang sudah merobohkan dua orang penjaga gudang ransum, lalu dia menggunakan tenaga saktinya untuk mematahkan gembok yang berada di pintu gudang. Dia membuka pintu dorong gudang itu dan mengambil dua buah lampu minyak gantung. Dilemparkannya dua buah lampu gantung itu dan gudang ransum itupun terbakar.

   Akan tetapi dia mendengar suara tembakan beruntun tiga kali, lalu dua kali lagi. Tembakan itu membuat dia maklum bahwa sebentar lagi tentu banyak serdadu datang ke tempat itu, apalagi sudah terdengar teriakan ada kebakaran. Dia menjadi agak bingung juga, tidak tahu ke mana harus melarikan diri. Dia menyelinap menjauhi gudang yang terbakar, bersembunyi di tempat gelap.

   "Sssttt..... Aji.....!"

   Tiba-tiba terdengar bisikan.

   "Karen.....!"

   Aji berbisik kembali, segera mengenal suara itu dengan gembira karena dia merasa yakin bahwa kemunculan gadis itu pasti membawa kebaikan bagi dirinya.

   "Sttt..... Aji kau dalam bahaya. cepat pakai ini, hayo cepat!"

   Karen muncul dan masuk ke dalam bayangan gelap di mana Aji bersembunyi. Gadis itu dengan cekatan membantu Aji memakai gaun besar di luar pakaiannya, juga mengenakan syaal (kain penutup pundak dan leher) lebar dan menutupi kepala Aji dengan kain putih yang diikatkan di bawah dagu. Jadilah Aji seperti seorang nenek tua yang biasa memakai gaun!

   "Hayo cepat, ikut aku!"

   Bisik Karen dan ia mengait lengan Aji dan dibawanya berlari menuju ke bagian gelap benteng itu. Mereka melihat para serdadu berlarian sibuk memadamkan api. Setelah tiba di pintu gerbang benteng, lima orang serdadu memberi hormat kepada Karen dan tidak memperdulikan "nenek"

   Itu. Dengan leluasa Karen menyeret Aji keluar benteng. di tempat gelap Karen berbisik.

   "Cepat pergi keluar kota. Cepat, Aji.....!"

   Kini Aji merasa begitu gembira dan berterima kasih kepada gadis itu sehingga kini dia yang merangkul dan mencium bibir Karen untuk menyatakan terima kasihnya.

   "Cepat..... selamat jalan, Aji..... Semoga Tuhan melindungimu, Aji.....!"

   Karen mendorong tubuh Aji dan pemuda itu melompat dan berlari di antara banyak orang yang berdesakan ingin menonton kebakaran dalam benteng.

   Dengan mempergunakan kesempatan selagi penduduk Batavia atau Jayakarta dalam keadaan panik, Aji berhasil lolos dari kota itu.

   Seperti biasa, pada pagi hari itu, Eulis (Sulastri) dan Neneng Salmah berada di tepi anak sungai untuk mandi dan mencuci pakaian. Akan tetapi, mereka tidak segera mencuci pakaian, melainkan bercakap-cakap sambil duduk di atas batu.

   "Eulis, sudah hampir setengah tahun aku berada di sini dan aku merasa amat berbahagia dapat hidup bersama ayahku dengan engkau dan Paman Subali dan bibi yang begitu baik sekali kepada kami. Ah, sungguh aku merasa beruntung mendapatkan seorang saudara seperti engkau, Eulis."

   "Aeh, sudah berapa ratus kali engkau mengatakan hal itu, hampir setiap hari. Akulah yang seharusnya berterima kasih karena kehadiranmu mengurangi banayak sekali kesedihanku yang telah kehilangan ingatan. Bahkan aku dapat belajar menari dan bertembang darimu."

   "Suaramu juga indah dan merdu sekali, Eulis."

   "Dan engkaupun ternyata memiliki bakat bermain pencak silat."

   "Akan tetapi katamu aku bermain pencak dengan gerakan terlalu indah seperti orang menari."

   Kata Neneng.

   "Dan akupun kalau menari seperti orang bersilat, seperti pria!"

   Kata Eulis.

   "Sudahlah, mari sebelum kita mandi, coba engkau berlatih tari terbaru yang kuajarkan kepadamu."

   "Tari Srimpi? Wah, sukar benar gerakannya."

   "Tidak sukar, hanya engkau kurang sabar, Eulis. cobalah."

   Desak Neneng Salmah.

   "Boleh, aku akan berlatih berjoget dan bertembang, akan tetapi sesudah itu engkau harus berlatih silat dengan Aji Sonya Hasta seperti yang kuajarkan."

   "Baik, nah, mulailah!"

   Eulis lalu bertembang. tembang Kinanti dan suaranya memang benar merdu dan lantang. Kedua orang dara jelita ini sama sekali tidak tahu bahwa tak jauh dari situ, bersembunyi di balik batu besar, dua pasang mata manusia sejak tadi mengintai dan dua pasang telinga mendengarkan. Dua orang manusia itu memang telah berada di situ sebelum Eulis dan Neneng Salmah datang, maka Eulis yang peka itupun tidak tahu akan keadaan mereka. Ketika disebutnya Aji Sonya Hasta, seorang dari mereka, seorang laki-laki terbelalak heran dan semakin memperhatikan.

   Dia adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya sedang dan wajahnya tampan dan berwibawa. Matanya lembuat namun bersinar tajam dan hidungnya mancung, wajahnya cerah karena mulutnya selalu tersenyum. Kumis tipis membuat dia tampak gagah. Adapun orang kedua adalah seorang wanita berusia kurang lebih dua puluh delapan tahun, cantik jelita dan wajahnya lembut.

   Wajahnya bulat dengan dagu meruncing. Sepasang alisnya hitam dan sepasang matanya berbinar-binar seperti bintang kejora, bulu matanya lentik, hidung kecil mancung dan mulutnya menggairahkan. Sungguh merupakan sepasang manusia yang serasi, yang pria tampan gagah dan yang wanita cantik anggun.

   Setelah selesai bertembang, Eulis lalu mulai menari. Memang indah tariannya, namun gerakannya kurang luwes bagi taru srimpi, karena gerakannya mengandung kegagahan.

   "Sekarang ganti engkau coba berlatih Aji Sonya Hasta!"

   Kata Eulis setelah rampung berjoget.

   Neneng Salmah juga tidak malu-malu lagi. Ia mulai bersilat dengan Aji Sonya Hasta yang diajarkan Eulis. Gerakannya indah dan luwes, sungguh seperti orang menari, namun gadis ini telah dapat memperoleh inti aji itu, yang tampaknya kosong namun berisi kekuatan yang dahsyat. Kosong namun berisi, yang berisi penuh malah kosong, itulah inti dari gerakan silat Sonya Hasta itu. Pria yang mengintai menjadi semakin heran.

   Setelah Neneng Salmah selesai berlatih, Eulis merangkulnya.

   "Bagus! Hebat, sekarang engkau tidak perlu khawatir akan gangguan laki-laki brengsek lagi, Neneng. Biar ada tiga empat orang laki-laki kasar, kalau mengganggumu pasti akan roboh semua ditanganmu."

   "Tapi mana bisa aku memukul orang, Eulis?"

   "Tidak perlu memukul. jentikan jari tanganmu dan tamparan tanganmu sudah cukup membuat orang jahat terjungkal! Penyerangmu dapat mampus tanpa mengeluarkan darah!"

   "Membunuh orang? Hiiihhh.....!!"

   Neneng Salmah bergidik ngeri.

   "Jangankan membunuh orang, membunuh seekor coro (kecoak) saja aku ngeri dan tidak tega!"

   Pria dan wanita yang mengintai itu saling pandang dan tersenyum geli. Mendengar percakapan antara dua orang gadis jelita itu, mendengar Eulis bertembang, dan melihat Neneng Salmah bermain pencak silat, meraka merasa kagum akan tetapi juga geli. Sikap dan kata-kata kedua orang gadis itu lucu dan juga menyenangkan. Dari ucapan mereka berdua, dua orang pengintai itu maklum bahwa dua orang gadis itu adalah orang-orang yang berwatak periang dan baik.

   "Tentu saja! Coro itu binatang yang tidak ada dosanya, akan tetapi banyak manusia di dunia ini yang amat keji dan jauh lebih jahat dibandingkan coro atau binatang apapun juga!"

   Kata Eulis.

   Neneng Salmah menghela napas panjang.

   "Engkau benar, Eulis. Kalau aku teringat akan pengalamanku yang lalu, sebagian besar laki-laki yang ikut berjoget itu tidak sopan, pandang mata, senyuman dan kata-kata mereka kurang ajar. apa lagi kalau ingat pangeran dari Banten itu, iihh, dia jahat sekali melebihi seekor harimau yang buas!"

Eulis tertawa.

   "Heh-heh, apa kaukira harimau itu buas?"

   "Tentu saja. Harimau merobek-robek tubuh korbannya dengan kejam dan makan dagingnya, minum darahnya!"

   Kata Neneng Salmah.

   "Habis, bagaimana? Apa engkau menyuruh harimau itu makan rumput dan daun-daunan? Atau menyuruh harimau itu menyembelih dulu korbannya lalu memasaknya dan makan masakan daging korbannya seperti kita? Sudah kodratnya begitu, harimau tidak doyan sayur, tidak pandai memasak daging, maka tentu saja dia makan binatang yang lebih lemah. Kalau tidak, dia akan mati kelaparan. Sama sekali dia tidak dapat dikatakan buas!"

   Setelah mengeluarkan kata-kata itu, Eulis teringat dan melamun. Dari mana ia mengerti semua itu? Siapa yang mengajarnya? Ia dapat merasakan betul bahwa ia pernah mendengar ada orang yang mengajarkan semua itu kepadanya, pengertian tentang kasunyatan dalam kehidupan ini. Akan tetapi ia tidak ingat lagi siapa yang mengajarinya! Tiba-tiba tanpa disengaja Eulis menoleh ke arah batu di balik mana dua orang itu mengintai. Hanya sekelebatan saja bayangan itu tampak, namun cukup bagi Eulis untuk bereru nyaring.

   "Heii! Siapa mengintai di sana? Hayo keluar!"

   Dua orang yang sejak tadi mengintai itu keluar dari balik batu-batu. Pria tampan yang wajahnya lembut dan cerah itu adalah seorang gagah perkasa yang berjasa besar membantu Mataram ketika terjadi perang antara Mataram dan Madura.

   Dia juga ikut dalam pertempuran ketika pasukan Mataram menundukkan Surabaya dan Giri. Akan tetapi dia tidak mau menerimanya ketika hendak dianugerahi pangkat senopati oleh Sultan Agung. Dia hanya memilih sebidang tanah di Pasuruhan dan tinggal di sana seperti rakyat biasa. Nama pria itu adalah Parmadi. Adapun wanita itu adalah istrinya bernama Muryani, juga seorang wanita yang sakti mandraguna. Ketika Parmadi membantu Mataram, sepak terjangnya yang gagah dan kesaktiannya yang kadang dibantu sebuah seruling yang dapat dipergunakan sebagai alat senjata ampuh, maka diapun mendapat julukan "Seruling Gading".

   Mendengar seruan Eulis yang agaknya telah mengetahui akan tempat mereka mengintai, suami isteri ini keluar dan makin yakinlah mereka bahwa Eulis tentu seorang gadis yang sakti mandraguna sehingga dapat mengetahui bahwa mereka mengintai di balik batu-batu itu. Mereka lalu menghampiri dua orang gadis itu yang sudah bangkit berdiri memandang kepada mereka dengan alis berkerut.

   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAGUS SAJIWO

BAGUS SAJIWO BAGUS SAJIWO JIL ID 01 BAGUS SAJIWO JIL ID 02 BAGUS SAJIWO JIL ID 03 BAGUS SAJIWO JIL ID 04 BAGUS SAJIWO JIL ID 05 BAGUS SAJIWO JIL ID 06 BAGUS SAJIWO JIL ID 07 BAGUS SAJIWO JIL ID 08 BAGUS SAJIWO JIL ID 09 BAGUS SAJIWO JIL ID 10 BAGUS SAJIWO JIL ID 11 BAGUS SAJIWO JIL ID 12 BAGUS SAJIWO JIL ID 13 BAGUS SAJIWO JIL ID 14 BAGUS SAJIWO JIL ID 15 BAGUS SAJIWO JIL ID 16 BAGUS SAJIWO JIL ID 17 ...

ALAP-ALAP LAUT KIDUL

JILID 1 JILID 2 JILID 3 JILID 4 JILID 5 JILID 6 JILID 7 JILID 8 JILID 9 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33