Langsung ke konten utama

SERULING GADIN

  SERULING GADING  1 2 3 4 5 6 7 8 9 6 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 JILID 1    Puncak Argadumilah menjulang tinggi diselimuti awan putih bergerombol seperti sekelompok domba berbulu putih bergerak perlahan, berarak ke arah selatan. Sinar matahari pagi mulai menerangi permukaan Gunung Lawu yang tanahnya subur dan hijau penuh pohon dan tumbuhan. Kinar matahari pagi yang lembut dan hangat itu masih belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang amat dingin bagi manusia itu. Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah. Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu.    Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan A...

ALAP ALAP LAUT KIDUL JILID 29

  Parmadi dengan tersenyum merangkap kedua tangan memberi salam penghormatan lalu berkata.

   "maafkanlah kami, adik-adik yang manis. sesungguhnya kami berdua tidak berniat mengintai. Kami telah lama berada di sini sebelum andika berdua tiba. ketika melihat andika berua bertembang, menari lalu bermain pencak silat, kami merasa tertarik sekali sehingga kami berdiam diri untuk menyaksikan. Saya bernama Parmadi dan ini isteriku, Muryani."

   Wanita cantik itupun berkata, menyambung ucapan Parmadi.

   "Suamiku berkata benar, adik-adik yang baik. Kami tidak bermaksud buruk, hanya teramat heran dan tertarik melihat adik ini tadi bermain silat yang katanya belajar darimu."

   Eulis mengerutkan alisnya.

   "Apapun alasannya, perbuatan kalian berdua mengintai kami patut dicurigai! Hayo katakan apa maumu?"

   Pada dasarnya Eulis memang memiliki watak keras. Apalagi telah beberapa kali ia bertemu dengan orang-orang yang jahat, seperti Mahesa Sura, Kolo Srenggi dan kelima Mahesa yang menjadi murid mereka, yang telah dibasminya bersama Jatmika dan Lindu Aji. Tentu saja ia merasa curiga.

   Parmadi bertukar pandang dengan isterinya dan dia memberi isyarat dengan kedipan matanya, lalu dia menghadapi Eulis yang tampak galak menantang, sedangkan Neneng Salmah hanya menonton saja dengan hati tegang.

   "Kalau andika curiga kepada kami, akupun curiga kepadamu. dari mana engkau mempelajari Aji Sonya Hasta?"

   Ditanya demikian, Eulis menjadi marah. Ia sendiri memang tidak ingat lagi dari siapa ia mempelajari ilmu itu, walaupun ia masih ingat akan nama dan cara menggunakannya.

   Menurut keterangan Ki Subali yang kini menjadi ayahnya walaupun ia masih belum ingat benar bahwa dia adalah ayah kandungnya, gurunya adalah Ki Ageng Pasisiran yang kini sudah meninggal.Akan tetapi ia tidak perduli lagi dan menganggap pertanyaan Parmadi itu lancing dan hendak mencampuri urusan pribadinya.

   "Perduli apa engkau dengan itu? Bukan urusanmu!"

   Bentaknya.

   Muryani mengerutkan alisnya. Ia sendiri di waktu mudanya juga lincah dan keras, akan tetapi setelah menjadi isteri Parmadi selama beberapa tahun, perangainya sudah berubah lembut.

   "Adik yang baik, kami hanya ingin mengetahui, siapakah guru andika? Ketahuilah bahwa suamiku ini juga menguasai Aji Sonya Hasta."

   "Hemm, kalau begitu tentu dia yang telah mencuri aji itu! lebih baik kalian yang mengaku dari mana mendapatkan aji iu! Siapa gurumu?"

   Eulis bertanya.

   Parmadi tersenyum. Mungkin kalau dia memberi tahu siapa gurunya, gadis itu akan mengenalnya dan tidak bersikap begitu keras padanya.

   "Guruku adalah Eyang Ki Tejo Wening."

   Eulis mengerutkan alisnya.

   "Aku tidak mengenal nama itu! Tentu gurumu itu yang menjiplak atau mencuri ilmuku!"

   "Hemm, kalau begitu ingin aku melihat apakah Aji sonya Hasta yang kaumiliki itu tulen ataukah palsu!"

   Kata Parmadi yang telah memberi isyarat kepada isterinya. Dia ingin menguji gadis galak ini karena kini dia curiga bahwa gadis ini entah bagaimana caranya telah mempelajari aji kesaktian itu dari orang yang mencurinya.

   "Nah, tampak sekarang belangnya!"

   Bentak Eulis.

   "Engkau pasti berniat buruk. Mari kita sama lihat, siapa yang mencuri dan mempunyai aji yang palsu!"

   "Eulis, jangan berkelahi!"

   Bujuk Neneng Salmah.

   "Mundurlah, Neneng. Biar aku menghajar orang kurang ajar ini."

   Kata Eulis sambil mendorong mundur Neneng Salmah yang terpaksa mundur dan menonton dengan hati gelisah. Muryani juga mundur sambil tersenyum. Ia maklum bahwa suaminya hanya ingin melihat apakah gadis bernama Eulis itu benar-benar menguasai Aji Sonya Hasta yang aseli. Maka ia menonton dengan tenang saja.

   Eulis lalu membuat gerakan pembukaan. Kedua tangannya melakukan sembah di atas kepalanya, kemudian kedua lutut ditekuk dan kedua tangan diturunkan dan menjadi sembah di depan dada, kemudian kedua lengan dikembangkan ke kanan kiri, terbuka dengan kedua telapak tangan menghadap ke depan. Pembukaan itu benar-benar menandakan kekosongan, bahkan keadaan dirinya tebuka sama sekali.

   "Mulailah!"

   Bentak Eulis, matanya mencorong dan biarpun pembukaan itu tampak lemah sekali dan mudah dimasuki serangan lawan, namun sesungguhnya semua urat syarafnya sudah siap siaga dan menjadi peka sekali. Parmadi tertegun. gerakan pembukaan itu nyaris sempurna! Diapun membuat gerakan yang sama sehingga diam-diam Eulis juga kaget, akan tetapi ia bersikap tida acuh.

   "Andika yang mulai, adik manis."

   Kata Parmadi ramah. Eulis menganggap sebutan itu seperti ejekan yang kurang ajar, maka iapun tidak sungkan lagi.

   "Sambut ini.....!"

   Tangannya dari samping bergerak, kedua tangan membuat gerak yang arahnya berlawanan dan tampaknya sebagai tamparan lembut hampir mengusap atau mengelus, Namun di dalamnya tekandung hawa yang amat kuat sehingga terdengar bunyi bersiut.

   "Bagus!"

   Parmadi memuji karena memang gerakan gadis itu ketika menyerang tepat dan benar, Diapun lalu mengelak dan balas menyerang. Namun Eulis dapat menangkis tamparan itu dari samping lalu cepat membalas. Dua orang itu sudah bertanding seru, serang menyerang dan karena mereka memainkan ilmu silat yang sama, maka tampaknya seperti dua orang yang sedang latihan saja.

   Melihat ini, Muryani juga merasa heran dan ia tidak ragu lagi bahwa antara suaminya dan gadis itu pasti ada hubungan persaudaraan seperguruan. Juga karena kdua orang itu melakukan gerakan yang sama, Neneng Salmah juga menduga demikian. Bagaimanapun juga, ia sendiri sudah mempelajari ilmu silat itu, maka ia berseru kepada Eulis.

   "Eulis, hentikanlah! Dia benar, gerakanmu sama benar dengan gerakannya!"

   Akan tetapi dasar Eulis seorang gadis yang keras hati, ia masih belum mau mengalah. Ia melompat ke belakang, lalu menggosok kedua telapak tangannya dan mendorongkan kedua tangannya itu ke arah Parmadi sambil mengerahkan tenaga saktinya. Parmadi terbelalak dan cepat menghindarkan diri dengan melempar tubuh ke kiri sehingga serangan itu luput.

   Angin pukulan yang amat dahsyat menyambar lewat samping tubuh Parmadi.

   "Itu Aji Margopati.....!"

   Seru Parmadi.

   Eulis menjadi penasaran karena serangannya dapat dielakkan dengan mudah oleh lawannya. Maka iapun mengerahkan tenaga sakti lebih besar lagi lalu kembali ia menyerang dengan aji pukulan Margopati yang amat dahsyat itu. Parmadi terpaksa memperlihatkan kesaktiannya. Kedua tangannya didorong kedepan menyambut pukulan dahsyat itu, namun dia membatasi tenaganya karena tidak ingin melukai gadis yang pandai mempergunakan Aji Sonya Hasta dan Aji Margopati itu.

   "Wuuuttt..... wessss!"

   Eulis terkejut bukan main karena tenaga pukulannya itu seolah bertemu dengan air.

   Tenaganya seperti tenggelam dan kehilangan daya serangnya. Ia seorang gadis yang keras hati namun cerdik. Ia kini mengetahui benar bahwa ia berhadapan dengan seorang yang sakti mandraguna, yang jauh melampaui tingkat kepandaiannya sendiri, akan tetapi orang itu sama sekali tidak mempunyai niat jahat sehingga tidak mempergunakan kesaktiannya untuk mencelakai dirinya. Hal ini terasa sekali dalam tangkisan orang itu yang sama sekali tidak melawan, melainkan membuat tenaga aji pukulan Margopati seperti punah dan lumpuh!"

   Ia melompat mundur sampai dekat Neneng Salmah dan dengan mata terbelalak ia memandang kepada Parmadi sambil berkata gagap.

   "Andika..... andika sebetulnya siapakah.....?"

   Parmadi dan Muryani melangkah maju menghampiri dua orang gadis itu. Parmadi tersenyum dan berkata lembut,

   "Sudah kami katakan tadi bahwa kami bukanlah musuh, kami tidak mempunyai niat buruk hanya kami tertarik melihat Aji Sonya Hasta tadi. Sekarang aku melihat bahwa Aji Sonya Hasta yang andika mainkan itu benar-benar aseli sehingga aku yakin bahwa di antara kita masih terdapat tali persaudaraan seperguruan! Seperti sudah kuperkenalkan diri tadi, namaku Parmadi dan ini istriku Muryani. Kami berasal dari jauh di timur, dari kadipaten Pasuruan. Andika berdua siapakah?"

   Karena Eulis tidak juga menjawab disebabkan perasaan malu atas kekerasan sikapnya dan juga kekalahan yang diam-diam harua diakuinya itu, Neneng Salmah yang menjawab.

   "Maafkan sikap saudaraku tadi. Ia bernama Eulis dan saya sendiri bernama Neneng Salmah. Eulis tidak dapat menjawab pertanyaan andika karena ia telah kehilangan ingatan tentang masa lalunya, bahkan tidak ingat lagi akan ayah ibunya sendiri."

   "Neneng, kenapa hal itu kauceritakan?"

   Tegur Eulis.

   "Eulis, mereka ini bukan musuh, melainkan orang-orang yang baik hati dan sakti mandraguna. Apa lagi melihat aji kesaktiannya yang sama dengan yang kaumiliki, aku merasa yakin bahwa dia masih ada hubungan persaudaraan seperguruan denganmu."

   "Engkau benar sekali, Neneng Salmah. Suamiku tentu masih ada pertalian persaudaraan seperguruan dengan Eulis ini, dan siapa tahu kalau Gusti Allah mengijinkan, suamiku dapat menyembuhkan Eulis dari penyakitnya kehilangan ingatan itu."

   Neneng Salmah terbelalak dan wajahnya berseri.

   "Ah, benarkah? Kalau begitu, Kakangmas Parmadi dan Mbakayu Muryani, kami persilakan andika berdua suka singgah di rumah kami dan bertemu ayah Eulis, yaitu Paman Subali yang akan dapat menceritakan segala tentang guru Eulis. Mari, Eulis, kita antar mereka ini singgah ke rumah."

   Neneng Salmah mengajak Eulis. Akan tetapi Eulis menggeleng kepalanya.

   "Engkau sajalah yang mengantar, Neneng. Aku hendak mencuci pakaian dan mandi."

   Bagaimanapun juga, hati Eulis masih agak penasaran karena ia tidak mampu menandingi Parmadi. Parmadi dan Muryani saling pandang, kemudian Parmadi berkata kepada Neneng Salmah.

   "Baiklah, Nimas Neneng Salmah, kami akan menemui Paman Subali. Aku kasihan kepada Nimas Eulis yang tidak salah lagi tentu masih saudara seperguruanku sendiri. Mari kita pergi."

   Suami isteri itu lalu mengikuti Neneng Salmah menuju ke rumah Ki Subali yang berada tidak begitu jauh dari situ. Setelah ditinggal pergi. Eulis termenung seorang diri.

   Bagaimanapun juga, jantungnya berdebar tegang. Benarkah orang yang bernama Parmadi itu mampu menyembuhkannya dan mengembalikan ingatannya tentang masa lalu yang hilang? Ia duduk melamun dan mencoba untuk mengerahkan ingatannya. Namun selalu terbentur dan berhenti. Yang diingatnya hanyalah saat ia bertemu dengan Jatmika, dari saat itu sampai sekarang. Bahkan ia tidak ingat akan masa lalunya bersama ibunya yang dianggap orang-orang yang baru dijumpainya dan dikenalnya sekarang. Ia termangu-mangu dan jantungnya berdebar tegang. Apa saja yang akan dapat diingatnya kalau ia benar dapat disembuhkan?

   Ki Subali dan isterinya merasa heran melihat Neneng Salmah pulang bersama seorang pria dan seorang wanita yang tidak mereka kenal. Ki Salmun yang baru muncul dari samping rumah sambil memanggul pacul juga merasa heran dan dia menegur anaknya.

   "Neneng, kenapa engkau pulang sendiri? Di mana Eulis?"

   "Ia masih berada di sungai. Saya pulang mengantarkan dua orang tamu ini. Paman Subali dan Bibi, ini adalah Kakangmas Parmadi dan Mbakyu Muryani. Kakangmas Parmadi adalah saudara seperguruan Eulis dan dia bersama isterinya ingin bicara dengan paman tentang Eulis, bahkan dia akan berusaha mengobati Eulis agar pulih kembali ingatannya."

   Mendengar ini, Ki Subali dan isterinya menjadi girang sekali.

   "Ah, marilah anakmas berdua, silakan duduk!"

   Ki Subali memersilakan kedua orang tamunya duduk di serambi.

   Parmadi duduk dihadapi Ki Subali dan isterinya. Ki Salmun yang mendengar bahwa kedua orang itu adalah tamu Ki Subali, dengan sikap sopan mengangguk lalu melanjutkan perjalanannya ke ladang untuk bekerja seperti biasa. Di sana, Ki Subali memiliki sebidang tanah ladang di mana dipekerjakan beberapa orang buruh tani. Biasanya Ki Subali dan Ki Salmun juga membantu setiap kali mereka tidak mempunyai kesibukan lain. Neneng Salmah duduk di atas bangku di sudut serambi, ingin mendengarkan apa yang dibicarakan para tamu itu. Ia ingin sekali melihat Eulis disembuhkan dari penyakit "lupa"

   Itu.

   "Benarkah Anakmas Parmadi masih sudara seperguruan anak kami Eulis?"

   Tanya Ki Subali sambil memandang wajah Parmadi dengan kagum. Sekali pandang saja Ki Subali dapat menilai bahwa pria di depannya ini adalah seorang yang "berisi"

   Dan berwatak baik.

   "Saya menilai demikian karena aji kesaktiannya sama benar dengan yang pernah saya pelajari, paman. Saya ingin mengetahui, siapakah sebenarnya guru dari puteri paman itu?"

   Ki Subali menghela napas panjang.

   "Anak kami itu sebetulnya bernama Sulastri. Di waktu remaja ia berguru kepada seorang pertapa yang bernama Ki Ageng Pasisiran yang tinggal dalam sebuah pondok di pantai laut utara daerah Dermayu ini."

   "Ki Ageng Pasisiran..... ?"

   Parmadi dan Muryani mengulang nama itu sambil mengerutkan alis karena mereka tidak mengenal nama ini.

   "Tadinya saya mengira ia murid Ki Tejo Budi, atau Ki Tejo Langit, atau bahkan Eyang Ki Tejo Wening!"

   Kata Parmadi heran.

   "Sesungguhnyalah! akhirnya kami mendengar bahwa Ki Ageng Pasisiran itu datang dari Banten dan dahulu bernama Ki Tejo Langit, anakmas."

   "Nah, benar, dan tepat dugaanku! Kiranya ia murid Paman Guru Ki Tejo Langit! Ketahuilah, paman, saya adalah murid Eyang Resi Tejo Wening yaitu kakak seperguruan Paman guru Tejo Langit. Jadi, puteri paman itu adalah adik seperguruan saya sendiri seperti yang kuduga! Akan tetapi, bagaimana ceritanya sampai Nimas Eulis kehilangan ingatannya tentang masa lalunya? Dan mengapa pula namanya dari Sulastri berganti menjadi Eulis?"

   Ki Subali menghela napas panjang.

   "Kami juga belum lama mendengar tentang anak kami itu. mula-mula datang Anakmas Lindu Aji yang menceritakan bahwa ketika dia dan Sulastri menghadapi gerombolan penjahat, Sulastri terguling jatuh ke dalam tebing yang curam. Akan tetapi Anakmas Lindu Aji tidak menemukan jenazahnya maka menduga bahwa ia masih hidup. Lama kami menunggu Anakmas Aji yang katanya hendak mencari Sulastri. Tiba-tiba pada suatu hari, Sulastri muncul bersama Anakmas jatmika dalam keadaan sehat dan selamat, hanya..... ia lupa segalanya di masa lalu, bahkan tidak mengenal kami ayah ibunya sendiri."

   "Nanti dulu, paman. Siapakah itu Lindu Aji, dan siapa pula itu Jatmika?"

   "Menurut keterangan mereka, anakmas lindu Aji adalah murid Ki Tejo Budi, sedangkan Anakmas Jatmika adalah cucu Ki Tejo Langit karena dia adalah putera Ki Sudrajat. Jadi mereka semua masih saudara seperguruan dari anak kami Sulastri.

   Parmadi mengangguk-angguk.

   "Ah, kiranya aku bertemu dengan para murid keturunan Paman Tejo Budi dan Paman Tejo Langit. Tahukah paman, di mana Paman Tejo Budi dan Paman Tejo Langit itu?"

   Ki Subali menghela napas panjang.

   "Menurut keterangan Anakmas Lindu Aji, Ki Tejo Budi sudah meninggal dunia. Adapun menurut keterangan Anakmas Jatmika, Ki Tejo Langit atau Ki Ageng Pasisiran, juga Ki Sudrajat, tewas ditembak telik sandi Kumpeni Belanda,"

   "Duh Gusti..... kumpeni keparat!"

   Kata Muryani penasaran. Parmadi menghela napas panjang.

   "Semoga mereka mendapatkan tempat yang bahagia di alam baka. Lalu bagaimana ceritanya tentang Nimas Eulis..... eh, Sulastri, paman?"

   Pada saat itu Neneng Salmah bangkit berdiri, wajahnya berseri-seri dan ia berkata.

   "Harap maafkan saya, saya harus pergi menemui Eulis dan mengajaknya pulang!"

   Tanpa menanti jawaban, Neneng Salmah sudah berlari keluar. Ia begitu gembira mendengar keterangan Parmadi tadi. Jelas sekarang bahwa Parmadi adalah kakak seperguruan Eulis sendiri, Kalau saja orang yang sakti mandraguna itu benar-benar dapat menyembuhkan Eulis, betapa akan bahagianya mereka semua!

   Setelah Neneng Salmah pergi, Ki Subali melanjutkan ceritanya tentang anaknya.

   "Menurut keterangan S Anakmas Jatmika, dia bertemu dengan Sulastri yang sedang dikeroyok orang-orang jahat. Anakmas Jatmika membantunya dan berhasil mengalahkan para pengeroyok. Ketika berkenalan, Sulastri sudah tidak ingat lagi akan nama dan masa lalunya. Agar tidak membingungkannya, Anakmas Jatmika lalu memberi nama Listyani dengan panggilan Eulis kepadanya. Ajkan tetapi kemudian, mereka berdua bertemu dengan Anakmas Aji yang memberitahu Anakmas Jatmika agar mengantarkan Sulastri pulang ke sini. Nah, demikianlah, Anakmas, sampai sekarang Sulastri berada di sini, akan tetapi belum juga ia dapat mengingat masa lalunya."

   "Dan siapa Neneng Salmah itu, Paman?"

   Tanya Muryani.

   "Ah, ia bersama ayahnya datang dari Sumedang dan sekarang tinggal bersama kami di sini. Ia akrab dengan Sulastri. Mereka seperti kakak beradik saja. Neneng Salmah itu dahulu menjadi waranggana yang amat terkenal di Sumedang."

   Suami isteri itu mengangguk-angguk.

   "Paman, sebagai kakak seperguruan Sulastri saya merasa prihatin sekali melihat keadaannya. Oleh karena itu, kalau paman mengijinkan, saya

   akan mencoba untuk mengobati dan menyembuhkannya dari keadaan hilang ingatan masa lalunya."

   Ki Subali dan isterinya gembira sekali mendengar itu.

   "Ah, sebelumnya kami mengucapkan banyak terima kasih. anakmas! Tentu saja kami setuju sekali!"

   Sementara itu, Neneng Salmah berlari-lari ke tepi sungai di mana Eulis sedang mandi. Ia telah selesai mencuci pakaian, juga cucian Neneng Salmah telah ia lakukan.

   "Wah, cucianku sudah kau kerjakan, Eulis?"

   "Sudah, hayo mandilah!"

   Kata Eulis sambil menyiramlan air ke arah Neneng Salmah. Sambil tertawa Neneng Salmah lalu menanggalkan pakaian, hanya bertapih pinjung lalu turun ke dalam air. Sambil mandi ia lalu berkata gembira.

   "Eulis, Kakangmas Parmadi itu benar-benar kakak seperguruanmu!"

   "Hemm, bagaimana engkau bisa begitu yakin?"

   "Mereka tadi bercakap-cakap dan aku mendengarkan. Ketahuilah Eulis, Kakangmas Parmadi, Kakangmas Lindu Aji, Kakangmas Jatmika yang Kau ceritakan itu, dan engkau sendiri masih saudara-saudara sepeguruan. Guru-guru kalian ada tiga bersaudara. Yang pertama adalah Resi Tejo Wening yang menjadi guru Kakangmas Parmadi, lalu Ki Tejo Langit yang menjadi gurumu dan juga menjadi kakek dari Kakangmas Jatmika, dan yang ketiga adalah Ki Tejo Budi yang menjadi guru Kakangmas Lindu Aji. Mari kita cepat mandi, Eulis, engkau harus cepat pulang menemui Kakangmas Parmadi dan isterinya."

   "Akan tetapi aku tidak ingat sama sekali tentang guruku. Wajahnyapun sudah tidak kuingat lagi."

   "Eulis, Kakangmas Parmadi sanggup untuk mengobatimu. Mari kita cepat pulang! Siapa tahu dia benar-benar dapat mengembalikan ingatanmu masa lalu itu. Alangkah akan senangnya!"

   "Jangan tergesa-gesa! Nanti dhangkalmu (debu yang menempel di kulit) tidak bersih!"

   Eulis menggoda.

   "Ihh! Memangnya dhangkalku berapa tebalnya sih?"

   Mereka tertawa-tawa sambil menyiramkan air. Dua orang gadis itu memang akrab dan rukun sekali, saling menyayang. Setelah mandi, mereka lalu berganti pakaian kering dan pulang.

   Setibanya di serambi rumah, Ki Subali segera menyambut anaknya dengan berkata.

   "Eulis, cepat memberi hormat kepada kakak seperguruanmu Anakmas Parmadi dan isterinya!"

   Biarpun tidak ingat siapa gurunya, namun dari keterangan Lindu Aji, Jatmika, dan kini Parmadi yang sudah ia ketahui kesaktiannya yang jelas menguasai Aji Sonya Hasta dan Margopati, Eulis percaya bahwa kenyataan kalau Parmadi adalah kakak seperguruannya agaknya tidak dapat dibantah lagi. Maka dengan senyum malu-malu mengingat akan sikapnya yang keras tadi, iapun menghampiri Parmadi dan Muryani, menyembah dengan merangkap kedua tangan di depan dada, agak membungkuk dan berkata dengan suara lirih.

   "Kakangmas Parmadi, Mbakayu Muryani, maafkan sikapku tadi."

   Muryani segera menghampiri dan merangkulnya.

   "Aih, tidak perlu minta maaf. Kesalah-pahaman tadi sudah wajar karena kita tidak saling mengenal."

   Melihat keramahan Muryani, Eulis merasakan ini dan ia menjadi gembira sekali.

   "Adi Sulastri, maaf kalau aku memanggilmu Sulastri, diantara kita memang tidak perlu minta maaf. Engkau adalah adik seperguruanku sendiri, karena itu maukah engkau kalau aku berusaha mengobatimu agar engkau sembuh dan dapat mengingat kembali masa lalumu?"

   Tanya Parmadi sambil tersenyum.

   Eulis atau Sulastri merasa heran mengapa hatinya tidak merasa tidak enak atau tidak senang dengan sebutan nama yang asing baginya itu. Pada hal, dulu ia tidak suka kalau Jatmika menyebutnya Sulastri. Ada sesuatu dalam suara Parmadi yang menandung wibawa amat kuatnya. Ia tersenyum dan mengangguk.

   "Tentu saja aku akan senang sekali kalau dapat mengingat kembali masa laluku, Kakang Parmadi."

   Ia tidak ragu-ragu menyebut pria itu kakang saja, sebutan akrab seorang adik terhadap kakaknya. Setelah menikmati sarapan pagi yang dihidangkan oleh Eulis dan Neneng Salmah, Parmadi berkata kepada Eulis.

   "Adik Sulastri, sudahkah engkau siap untuk membiarkan aku berusaha untuk mengobatimu?"

   Eulis tersenyum.

   "Tentu saja aku siap, kakang. Aku sudah siap sejak tadi karena akupun ingin sekali dapat segera mengingat semua masa laluku itu."

   "Justeru itulah pantangannya, adikku. Engkau sudah menguasai Aji Sonya Hasta, tentu sudah tahu bagaimana harus mengosongkan dirimu, bukan? Jangan ada keinginan apapun, harapan apapun kecuali hanya menyerah sepenuhnya lahir batin kepada kekuasaan Gusti Allah karena hanya Gusti Allah yang akan mampu memperbaiki segala macam kerusakan. Engkau bersama aku, disaksikan oleh diajeng Muryani dan Neneng Salmah yang juga pernah mempelajari cara mengosongkan diri dengan penyerahan mutlak, harus berada di dalam ruangan tertutup."

   Lalu Parmadi menoleh kepada Ki Subali.

   "Paman, apakah dapat disediakan sebuah kamar di mana kami berempat dapat berdiam tanpa

   gangguan dari luar?"

   "Oh, ada. anak mas. Eulis, pergunakan kamarmu sendiri. Bukankah kamar kalian berdua cukup luas?"

   Kata Ki Subali.

   "Baik, ayah. Mari, Kakang Parmadi, Mbakayu Muryani, dan neneng. Kita ke kamar!"

   Mereka berempat lalu memasuki kamar di mana biasanya Eulis dan Neneng Salmah tidur. Sebuah kamar yang cukup luas. Sebelum menutup daun pintu kamar, Parmadi memesan kepada Ki Subali agar jangan ada yang mengganggu mereka yang berada dalam kamar itu dan jangan heran dan kaget kalau Ki Subali dan isterinya mendengar suara alunan seruling dari dalam kamar.

   Setelah menutup daun pintu, Parmadi dan Muryani duduk bersila di atas sebuah amben (dipan) kayu yang biasa ditiduri Eulis. Parmadi minta kepada mereka untuk menenangkan diri, melepaskan semua ketegangan, membuat diri lahir batin menjadi kosong dan menanti apa yang akan terjadi tanpa penolakan.

   "Adi Sulastri, apa saja yang kauterima, rasakan dan terima saja sebagai kekuasaan Gusti Allah dan apapun yang terjadi para dirimu, serahkan sepenuhnya kepadaNya.

   "Baik, Kakangmas Parmadi."

   Mereka berempat duduk dengan tenang dan santai. Setelah merasakan getaran memenuhi dirinya, dengan gerakan perlahan, matanya terpejam, Parmadi lalu mengambil seruling gading dari ikat pinggangnya, lalu meniup suling itu. Itulah yang oleh Resi Tejo Wening disebut Sunyatmaka (Berjiwa Bebas). Terdengar suara suling yang lembut sekali, lembut mendayu-dayu penuh getaran yang aneh. Biarpun suara suling tidak melagukan tembang tertentu, namun bagi telinga Neneng Salmah terdengar demikian merdu dan indah dan tanpa dikehendakinya lagi, kedua lengannya bergerak-gerak lembut, menari-nari! Muryani yang sudah terbiasa dengan suara suling yang aneh ini, tanpa disengaja lagi merangkap kedua tangan ke depan dahi dalam sembah dan seluruh dirinya terasa dibawa melayang-layang oleh suara itu.

   Eulis atau Sulastri juga merasakan getaran hebat. Suara seruling itu seperti menyusup ke dalam dirinya, menjalari seluruh tubuhnya, terasa ada denyutan-denyutan aneh yang mula-mula terasa di kedua telinganya yang mula-mula menangkap suara itu, kemudian perlahan-lahan ke seluruh tubuh, berdenyut-denyut, terutama dikepalanya. Dirinya benar-benar kosong, tidak ada sama sekali ulah hati akal pikiran, yang ada hanya rasa menerima yang membuat dirinya sepeti pintu terbuka yang dapat menerima dengan pekanya.

   Tiba-tiba ia merasa seperti ada ledakan-ledakan kecil dikepalanya dan perasaannya menangkap bayangan-bayangan aneh. Ia seolah melihat dirinya disambar anak panah yang menancap dipundak kirinya, terasa nyeri dan perih. Akan tetapi yang membuat ia merasa ngeri adalah ketika ia melihat dirinya terjungkal dan jatuh ke dalam tebing yang amat curam, lalu kepalanya terbentur sesuatu yang keras dan segalanya lalu menjadi gelap! Eulis atau Sulastri terkulai di atas pembaringan dan pingsan! Pada saat itu, beberapa detik sebelum gadis tu roboh pingsan, suara suling itu tiba-tiba terhenti karena daun pintu kamar itu

   terbuka keras oleh tenaga dari luar, berbareng dengan terdengarnya jerit Nyi Subali.

   Karena itu, maka Parmadi terpaksa menghentikan tiupan sulingnya sebelum dapat menyembuhkan Sulastri dengan tuntas. Dia dan Muryani maklum bahwa terjadi sesuatu yang tidak baik. Karena mengira ada bahaya mengancam Ki Subali dan isterinya, apalagi daun pintu terbuka secara kasar dari luar, mereka berdua segera berkelebat cepat sekali keluar dari kamar itu. Mereka melihat Ki Subali dan isterinya berlari masuk ke dalam rumah dan Ki Subali berkata gugup.

   "Di luar...... ada tiga orang.....

   "

   Parmadi dan Muryani tidak menunggu keterangan lebih lanjut dan mereka berdua cepat melompat ke luar rumah.

   Sementara itu, Ki Subali dan Nyi Subali memasuki kamar anaknya. Mereka melihat Sulastri terkulai dan dirangkul oleh Neneng Salmah yang mengguncang-guncang pundak Sulastri dan mencoba menyadarkannya dengan memanggil-manggil namanya.

   "Eulis.....! Eulis.....! Sadarlah, bangunlah.....!"

   Nyi Subali merangkul puterinya dan menangis.

   "Anakku.....! Eulis..... engkau kenapa, nak?"

   Neneng Salmah bertanya kepada Ki Subali setelah menyerahkan Eulis dalam rangkulan Nyi Subali.

   "Paman. apa yang telah terjadi?"

   "Di luar, ada tiga orang yang dengan kasar minta agar aku menyerahkan engkau kepada mereka, Neneng."

   Kata Ki Subali.

   "Mereka tadi yang menyebabkan pintu-pintu dalam rumah ini terbuka semua, mungkin dengan ilmu sihir mereka!"

   Mendengar ini, Neneng Salmah terkejut.

   "Dan di mana Kakangmas Parmadi dan Mbakayu Muryani?"

   "Mereka berdua keluar untuk menghadapi tiga orang itu."

   Mendengar ini Neneng Salmah cepat berlari keluar untuk melihat siapa tiga orang yang minta agar Ki Subali menyerahkan dirinya kepada mereka. Sementara itu, Parmadi dan Muryani sudah tiba di luar rumah. Mereka melihat ada tiga orang berdiri di pekarangan, di depan serambi rumah. Mereka cepat keluar dari serambi dan menghampiri tiga orang itu. Mereka itu adalah seorang pemuda berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berpakaian seperti seorang bangsawan, pesolek dan mewah, tubuhnya tinggi kurus dan wajahnya tampan, namun sikapnya congkak sekali. Dia berdiri bertolak pinggang dengan kedua kaki terpentang. Di samping kanannya berdiri dua orang kakek.

   Yang seorang berusia sekitar enam puluh tujuh tahun, kepalanya kecil botak, sedikit rambut di sisi keriting dan berwarna dua. Mukanya licin tanpa kumis atau jenggot, hidungnya pesek mulutnya kecil.

   Kedua lengannya mengenakan gelang akar bahar hitam dan tangan kanan memegang sebatang tongkat ular kobra. Adapun kakek yang ke dua berusia kurang lebih enam puluh tahun, tubuh yang juga tinggi kurus itu agak bungkuk dan punggungnya berpunuk, mukanya seperti muka kuda, matanya sipit. Pakaiannya serba hitam dan berkalung sarung. Lengannya juga mengenakan akar bahar dan jari-jari tangannya penuh cincin-cincin bermata akik yang besar-besar. Kakek inipun memegang sebatang tongkat dari seekor ular kering.

   Dua orang kakek aneh ini memiliki sinar mata yang tajam dan berpengaruh sekali. Melihat dua orang kakek ini, Parmadi dan Muryani terkejut dan segera mengenal mereka. Kakek pertama yang berkepala botak itu adalah Kyai Sidhi Kawasa, datuk dari Banten. Adapun kakek kedua yang bermuka kuda itu adalah Aki Somad, pertapa dari Nusakambangan. Kedua orang ini dikenal suami isteri itu sebagai tokoh-tokoh yang beberapa tahun lalu membantu Madura dan Surabaya. Setelah Madura, Surabaya dan Giri ditundukkan Mataram, mereka berhasil lolos. Parmadi tahu benar bahwa dua orang datuk ini adalah orang-orang yang membenci Mataram. Akan tetapi suami isteri itu tidak mengenal orang muda berpakaian bangsawan itu.

   "Hemm. kiranya Kyai Sidhi Kawasa dan Aki Somad yang datang! Apakah yang andika berdua kehendaki datang berkunjung ke rumah orang tanpa sopan santun?"

   Parmadi menegur, walaupun suaranya lembut.

   Dua orang datuk itu juga merasa terkejut bukan main ketika mereka mengenal Parmadi dan Muryani, dua orang yang beberapa tahun yang lalu membantu Mataram dalam perang melawan Madura, Surabaya dan Giri. mereka juga maklum bahwa Parmadi merupakan seorang yang sakti mandraguna dan Muryani, walaupun tidak setinggi suaminya kepandaiannya, namun merupakan lawan yang cukup berbahaya. Akan tetapi karena mereka datang berdua, bahkan masih ditemani pemuda itu yang bukan lain adalah Pangeran Banten, Raden Jaka Bintara yang juga murid Kyai Sidhi Kawasa, maka berbesar hati dan tidak menjadi gentar.

   "Oho!"

   Kata Kyai Sidhi Kawasa dan berkata dengan suaranya yang lembut.

   "Adi Somad, tentu andika masih mengenal orang-orang Mataram ini, bukan?"

   "Heh-heh, tentu saja, Kakang Sidhi Kawasa. mereka adalah musuh kita. Kalau tidak salah ingat, namanya Parmadi dan yang perempuan ini..... eh..... siapa lagi namanya.....

   "

   "Muryani, namanya Muryani."

   Kata Kyai Sidhi Kawasa. Kemudian dia berkata kepada suami isteri itu.

   "Kalian disini? Kebetulan sekali, ada kesempatan bagi kami untuk membalas dendam. Akan tetapi karena sekarang tidak ada perang lagi, dan kami tidak mempunyai permusuhan pribadi denganmu, kami dapat memaafkan dan melepaskan kalian kalau kalian cepat menyuruh Neneng Salmah keluar dan menemui kami!"

   "Tidak semudah itu, Kyai Sidhi Kawasa! Apa urusannya maka andika menghendaki agar Neneng Salmah keluar menemuimu?"

   Tiba-tiba Jaka Bintara membentaknya.

   "Tidak perlu andika mencampuri urusan pribadi kami!"

   Jaka Bintara ini memang berwatak sombong. Mungkin karena dia merasa sebagai seorang pangeran yang biasanya ditaati semua orang.

   Selain itu, dia sama sekali tidak mengenal nama Parmadi dan Muryani sehingga tentu saja memandang rendah seperti yang biasa dia lakukan. Apalagi saat itu dia ditemani dua orang datuk sakti mandraguna, maka ketinggian hatinya meningkat. Tiba-tiba Neneng Salmah muncul dari pintu dan melihat Pangeran Jaka Bintara, ia keluar dari serambi dan langsung menudingkan telunjuknya kepada pangeran dari Banten itu.

   "Kakangmas Parmadi dan Mbakayu Muryani, inilah Pangeran Jaka Bintara dari Banten yang jahat dan dulu pernah menculikku di Sumedang!"

   Kiranya ketika dulu Neneng Salmah berhasil lolos dari Sumedang bersama ayahnya dan dikawal Lindu Aji, Jaka Bintara tidak terima dan bersama Kyai Sidhi Kawasa lalu melakukan penyelidikan. Akhirnya mereka dapat mendengar bahwa gadis itu telah melarikan diri dengan kereta dikawal oleh Lindu Aji. Mereka mencari kusir kereta dan memaksa dia mengaku ke mana gadis ledek yang membuat pangeran dari Sumedang itu tergila-gila pergi. Si kusir takut akan ancaman dan mengaku bahwa Neneng Salmah bersama ayahnya kini tinggal di rumah Ki Subali di Dermayu. Jaka Bintara yang sudah tergila-gila dan merasa penasaran kalau belum mendapatkan diri Neneng Salmah, membujuk gurunya untuk menyusul ke Dermayu. Namun Kyai Sidhi Kawasa agak gentar menghadapi Lindu Aji yang diperkirakan melindungi gadis itu, maka dia lalu mencari Aki Somad untuk diajak menemani mereka. Demikianlah, tiga orang itu akhirnya tiba di rumah Ki Subali, sama sekali tidak mengira bahwa mereka akan bertemu dengan Parmadi dan Muryani, musuh lama mereka.

Mendengar teriakan Neneng, Raden Jaka Bintara memandang. Begitu melihat gadis yang denok ayu itu, dia girang sekali dan segera dia menghampiri dengan langkah lebar sambil ersenyum.

   "Aduh, jantung hatiku, betapa rinduku kepadamu! Marilah ikut denganku, kuboyong engkau ke Banten dan hidup bahagia denganku di sana, cah ayu!"

   Setelah berkata demikian, dia menubruk hendak merangkul.

   "Ehh??"

   Jaka Bintara terkejut karena dengan lincahnya Neneng Salmah mengelak dan sudah terhindar dari tubrukannya. Dia cepat menubruk lagi ke kanan, kini bergerak cepat agar gadis itu tidak dapat meloloskan diri. Akan tetapi kembali dia kecelik karena gadis itu sekali lagi dapat mengelak dengan gerakan lincah dan ringan. Gerakannya indah seperti kalau sedang menari, namun lincah sekali, bahkan ketika Jaka Bintara menubruk untuk ketiga kalinya, Neneng Salmah tidak

   hanya mampu mengelak, bahkan tangan kirinya menampar dan mengenai pipi laki-laki itu.

   "Plakkk !"

   Sayang bahwa Neneng Salmah hanya baru menguasai kelincahan gerak silat Sonya Hasta, belum menguasai pengerahan tenaga saktinya sehingga tamparannya tidak terasa terlalu keras bagi Jaka Bintara yang memiliki tubuh yang kuat. Namun hal ini cukup mengejutkan Jaka Bintara disamping rasa penasaran. Maka dia lalu berusaha sekuatnya untuk menangkap dan meringkus gadis itu. Tentu saja menghadapi serangan Jaka Bintara yang digdaya itu Neneng Salmah mulai terdesak hebat. Ilmu silat yang dipelajarinya dari Eulis belum terlatih baik sehingga ia hanya mampu bergerak cepat kesana-sini untuk menghindarkan diri dari jangkauan kedua tangan pangeran dari Banten itu.

   Sementara itu, tanpa banyak cakap lagi Kyai Sidhi Kawasa sudah menggerakkan tongkat ular kobranya untuk menyerang Parmadi dan Aki Somad juga sudah menggerakkan tomgkat ular keringnya untuk menyerang Muryani. Parmadi sudah mencabut seruling gadingnya dan menyambut serangan.

   Muryani sudah mengerahkan Aji Kluwung Sakti yang membuat tubuhnya dapat bergerak seperti seekor burung walet dan dengan tangan kosong ia menyambut serangan Aki Somad. Terjadilah pertandingan yang amat seru antara suami isteri melawan dua orang datuk itu.

   Nyi Subali masih merangkul puterinya dan menangis sambil mengguncang-guncang pundak gadis itu.

   "Eulis..... Eulis..... sadarlah, anakku.....!"

   Ibu itu menangis dan air matanya menetes, membasahi muka Eulis. Sebetulnya, kalu saja tiupan seruling gading tadi tidak terganggu, tentu ia kini telah sembuh dan sadar sepenuhnya. Akan tetapi gangguan munculnya tiga orang yang menyerang ke dalam membuka pintu-pintu membuat tiupan seruling gading terhenti dan gadis itu jatuh pingsan. Kini, agaknya tetesan air mata ibunya ditambah seruan suara ibunya memanggil-manggilnya, agaknya menyadarkan Eulis dari pingsannya. Ia membuka kedua matanya dan seperti orang terkejut ia bangkit duduk. Nyi Subali dan Ki Subali menjadi girang.

   "Eulis.....!"

   Nyi Subali merangkul.

   "Eulis, bagaimana perasaanmu? baik-baik saja, bukan?"

   Tanya si ayah.

   "Eulis..... ?"

   Gadis itu berkata heran.

   "Oh..... ya benar, belakangan ini aku diberi nama Eulis.... oleh kakangmas Jatmika..... ahh..... aku ingat semua sekarang..... bapa..... ibu..... aku ingat semua sekarang!"

   Ia memandang ke kanan kiri.

   "Eh, di mana Kakangmas Parmadi, Mbakayu muryani dan Neneng?"

   Tiba-tiba ia mendengar berdencingnya senjata beradu di luar rumah.

   "Apa itu? Siapa yang berkelahi?"

   Nyi Subali merasa girang bukan main.

   "Sulastri.....! Akhirnya engkau mendapatkan kembali ingatanmu!"

   Lastri, Anakmas Parmadi bersama isterinya dan Neneng Salmah berada di luar menghadapi tiga orang yang aneh dan kelihatannya tidak berniat baik terhadap Neneng...."

   "Apa?"

   Sulastri yang sudah mendapatkan kembali ingatannya itu melompat turun dari atas pembaringan dan cepat ia mengambil pedang pusakanya, yaitu Pedang Naga Wilis yang dulu oleh Lindu Aji dikembalikan kepada Ki Subali dan ketika Sulastri pulang, Ki Subali menyerahkan pedang pusaka itu kepada anaknya. Sulastri senang memilikinya dan merasa cocok walaupun ia tidak ingat lagi akan pedang pusakanya itu.

   Dengan pedang pusaka Naga Wilis terhunus di tangan, Sulastri melompat dan tubuhnya berkelebat cepat keluar dari rumah. Ki Subali dan Nyi Subali dengan khawatir mengikuti keluar rumah.

   Setelah tiba di pekarangan ia melihat Parmadi sedang bertanding melawan seorang kakek kurus botak yang tidak dikenalnya. Akan tetapi ketika ia melihat kakek yang dilawan Muryani, ia segera mengenal kakek bungkuk berpunuk itu yang bukan lain adalah Aki Somad yang dulu pernah memusuhi pamannya, yaitu Ki Sumali yang tinggal di Loano.

   Ketika itu Aki Somad kewalahan melawan Lindu Aji dan sekarang kakek itu melawan Muryani yang memiliki ilmu silat yang amat ganas. Melihat ini, ia hendak membantu Muryani, akan tetapi ketika menoleh ia melihat Neneng Salmah sedang kewalahan didesak oleh seorang laki-laki berpakaian bangsawan yang gagah. Jaka Bintara semakin penasaran karena belum juga mampu meringkus gadis yang membuatnya tergila-gila itu, akan tetapi setelah tahu bahwa Neneng Salmah hanya pandai mengelak saja akan tetapi tenaganya lemah, dia merasa yakin bahwa sebentar lagi dia akan mampu mendekap dan memondong tubuh yang denok itu.

   "Neneng Salmah, manisku, mari biarkan dirimu kupondong. Aku rindu sekali padamu, sayang."

   Katanya sambil menubruk lagi. Neneng Salmah mengelak, akan tetapi ujung bajunya dapat tertangkap.

   "Bretttt.....!"

   Baju itu robek dan Neneng Salmah menjerit, Jaka Bintara tertawa bergelak.

   "Wuuutttt..... dessss.....!"

   Jaka Bintara cepat menangkis datangnya tamparan itu, akan tetapi dia terpaksa membuang diri ke belakang dan bergulingan karena tamparan yang ditangkisnya itu ternyata mengandung tenaga yang kuat sekali. Ketika dia melompat bangun dia sudah berhadapan dengan seorang gadis yang cantik jelita, akan tetapi sepasang matanya mencorong marah dan tangan kanannya memegang sebatang pedang yang bersinar kehijauan! Melihat bahwa penyerangnya hanya seorang gadis cantik, watak Jaka Bintara yang congkak itu muncul lagi. Dia tersenyum dan memandang dengan mata nakal.

   "Aih, manis, apakah engkau hendak menemani Neneng Salmah ikut bersenang-senang dengan aku ke Banten? Mari-mari.....!"

   "Eulis, inilah jahanam pangeran dari Banten itu!"

   Neneng Salmah berseru.

   "Neneng, aku sekarang bernama Sulastri, aku sudah ingat semuanya. Jangan khawatir, aku yang akan membasmi jahanam busuk ini!"

   Setelah berkata demikian, Sulastri sudah menerjang dengan cepat sekali. Tampak gulungan sinar hijau mnyambar-nyambar ke arah tubuh Raden Jaka Bintara, pangeran dari Banten itu. Jaka Bintara terkejut bukan main. Akan tetapi dia masih memandang ringan. Sambil mengelak ke sana-sini diam-diam dia mengerahkan Aji Hastanala dan sambil melompat ke samping untuk mengelak sambaran sinar hijau, dia mendorong dengan tangan kanan, menggunakan Aji Hastanala (Tangan Api) yang ampuh dan mengeluarkan hawa panas itu. Akan tetapi Sulastri menyambut serangan itu dengan dorongan tangan kirinya menggunakan Aji Margopati (Jalan Maut).

   "Wuuuutttt..... dessss.....!!"

   Jaka Bintara terdorong ke belakang. Keduanya maklum akan ketangguhan lawan. Jaka Bintara kini tidak berani memandang ringan lagi dan dia sudah mencabut pedangnya. Begitu dia memutar pedang itu, tampak sinar kehitaman bergulung-gulung. sulastri juga tidak mau membuang waktu lagi.

   "Haaiiitttt..... singgggg.....!"

   Sinar hijau berkelebat dan ia sudah menggerakkan pedangnya menyerang.

   Jaka Bintara juga menggerakkan pedangnya menangkis. sinar hitam berkelebat menyambut sambaran sinar hijau.

   "Singggg..... trangggg !!"

   Tampak bunga api berpijar. Dua orang itu cepat melompat ke belakang untuk melihat pedang masing-masing. ternyata pedang mereka tidak rusak. Mereka mejadi hati-hati karena maklum bahwa pedang lawan juga merupakan pedang yang ampuh. Sulastri sudah menyerang lagi dengan dahsyatnya sehingga kedua orang itu sudah saling serang. Bayangan mereka lenyap terselubung dua gulungan sinar pedang hijau dan hitam. Hanya tampak kaki mereka saja yang berloncatan ke sana-sini.

   Sementara itu, pertandingan antara Parmadi dan Kyai Sidhi kawasa juga terjadi seru, Beberapa kali Kyai Sidhi Kawasa mengeluarkan aji-aji kesaktiannya yang hebat seperti Aji Analabanu (Sinar Api), Aji Hastanala (Tangan Api) dan bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir. Namun semua itu dapat ditandingi Parmadi. Bahkan permainan tongkat ular kobra yang amat dahsyat itu setelah bertemu dengan gerakan seruling gading yang lembut, menjadi hilang daya serangnya. Mulailah Kyai Sidhi Kawasa terdesak mundur.

   Juga Aki Somad mengalami kesukaran untuk mendesak Muryani. Ketika pertapa dari Nusakambangan ini menggunakan Aji Tapak Geni, kedua telapak tangan mengeluarkan uap panas dan ia menyerang dengan kedua telapak tangan itu sambil berseru.

   "Aji Tapak Geni.....

   "

   Telapak tangannya bernyala!

   Namun Muryani tidak menjadi gentar. Ia memiliki aji yang serupa ia menyambut serangan lawan itu dengan teriakan nyaring.

   "Aji Brama Latu!"

   "Wuuuutttt..... blaaaarrrrr.....!"

   Dua tenaga yang sama-sama mengandung hawa panas itu bertemu di udara dan akibatnya, baik Aki Somad maupun Muryani terdorong ke belakang dan menahan pernapasan untuk mengerahkan tenaga menguasai tubuhnya yang terasa panas seperti dibakar. Namun keduanya tidak terluka.

   Aki Somad menjadi penasaran dan marah, lalu menggerakkan ular kering yang menjadi senjata tongkat untuk menyerang. Muryani memang tidak suka mempergunakan senjata, namun dari mendiang Nyi Rukma Petak ia memperoleh ilmu-ilmu yang hebat. Aji Wiso Sarpo membuat dua telapak tangannya mengandung bisa ular yang amat berbahaya, dan pukulan jarak jauh dengan Aji Gelap Sewu juga dahsyat sekali. Ilmu-ilmu pukulan ini bahkan lebih berbahaya dari senjata apapun, dan kedua tangannya juga tidak takut menangkis tongkat ular kering yang beracun itu.

   Dua orang datuk itu mulai khawatir, apalagi melihat betapa Pangeran Jaka Bintara agaknya juga kewalahan menghadapi sepak terjang Sulastri yang mengamuk dengan pedang pusaka Naga Wilis.

   "Kyai Sidhi Kawasa, bantu aku.....!"

   Aki Somad berkata kepada kawannya sambil melompat ke belakang. Kemudian, dibantu oleh Kyai Sidhi Kawasa yang juga mengerahkan ilmu sihirnya, Aki Somad mengerahkan Aji Gineng Soka Weda. Tiba-tiba udara menjadi gelap diliputi halimun tebal. Jaka Bintara yang sudah terdesak menggunakan kesempatan ini untuk mundur dan berdiri di dekat dua orang datuk itu.

   Dari kegelapan itu terdengar bermacam suara yang menyeramkan, ada suara menggereng, merintih, tertawa dan sebagainya. Menyeramkan, seperti suara setan-setan gentayangan dan muncullah berbagai macam bentuk mengerikan. tengkorak-tengkorak, ada pula kepala banaspati yang mulutnya menyemburkan api. Bahkan Muryani dan Sulastri, dua orang wanita sakti itu merasa seram dan cepat mereka mendekati Parmadi.

   Parmadi lalu meniup seruling gading. Suara seruling melengking dan mendayu-dayu. Pemandangan yang menyeramkan itu, tengkorak, kepala setan dan lain-lain itu seperti terpental dan terserang oleh suara seruling yang melengking. Gerengan-gerengan, tawa dan suara-suara mengerikan itupun berubah menjadi suara tangis dan ketakutan, makin lama semakin perlahan dan semua pemandangan aneh itupun menjadi kabur. Juga perlahan-lahan kabut yang menggelapkan sekitar pekarangan itu menipis dan akhirnya hilang. Akan tetapi ketika Muryani, Sulastri, Neneng Salmah, juga Ki Subali dan isterinya yang muncul di ambang pintu dengan ketakutan memandang, ternyata ketiga orang tadi sudah hilang. Agaknya mereka merasa kewalahan dan menggunakan kesempatan dalam kegelapan itu untuk melarikan diri meninggalkan pekarangan rumah Ki Subali.

   Parmadi menghentikan tiupan serulingnya, menghela napas dan berkata.

   "Sungguh jahat dan berbahaya mereka itu. sekarang sudah aman, mereka sudah pergi......

   "

   Nyi Subali menghampiri Sulastri dan merangkul anaknya.

   "Sulastri, engkau sudah waras, ingatanmu sudah pulih sekarang! Terima kasih kepada Gusti Allah!"

   Sulastri balas merangkul ibunya dan merasa berbahagia sekali, lalu menoleh kepada Parmadi dan berkata.

   "Ibu, kita harus berterima kasih kepada Kakangmas Parmadi dan Mbakayu Muryati, Kakangmas Parmadi yang telah memulihkan ingatanku dengan seruling gadingnya!"

   "Engkau keliru, Adi Sulastri dan ibumulah yang benar. Kita harus berterima kasih kepada Gusti Allah karena sesungguhnya, sang Maha Penyembuh itu hanya Gusti Allah! Gusti Allah yang menyembuhkanmu, dengan peantaraan aku dan serulingku."

   Kata Parmadi.

   "Akan tetapi kalau aku harus berterima kasih kepadamu, Kakangmas Parmadi, Mbakayu muryani dan eulis...... eh, Sulastri. Karena kalau tidak ada andika bertiga yang mengusir tiga orang jahat tadi, entah bagaimana dengan nasibku. Aku pasti telah mereka tawan dan bawa pergi."

   Kata Neneng Salmah dengan terharu.

   "Sama saja, Neneng."

   Kata Muryani.

   "Engkaupun wajib bersyukur dan berterima kasih kepada Gusti Allah yang sudah mengatur sedemikian rupa sehingga ketika hal itu terjadi, kebetulan sekali kami berdua berada di sini dan Sulastri sudah sembuh."

   Pada saat itu, Ki Salmun datang berlarian. ketika dia sedang bekerja di ladang, dia mendengar dari seorang tetangga bahwa di pekarangan rumah Ki Subali terjadi perkelahian. Dia cepat pulang dan mendapatkan Ki Subali sekeluarga dan dua orang tamunya sedang bercakap-cakap di serambi rumah. Dia segera mendengar semua yang telah terjadi dari Neneng Salmah dan kini Ki Salmun merasa lega puterinya terlepas dari ancaman bahaya, bahkan juga Sulastri telah sembuh dan pulih ingatannya!

   "Mari kita semua masuk dan bicara di dalam. Lastri, Neneng, cepat membuat hidangan untuk menghormti kedua orang tamu kita. sembelih dua ekor ayam!"

   Perintah Ki subali dengan gembiara. mereka semua masuk kedalam dan dua orang gadis itu dengan gembira. mereka segera sibuk di dalam dapur, akan tetapi Neneng Salmah melihat Sulastri terkadang seperti orang melamun, terkadang mengerutkan alisnya seperti orang murung.

   "Hei, Lastri, kenapa engkau melamun saja?"

   Neneng Salmah menepuk pundaknya menggoda.

   Sulastri menggeleng kepala lalu mencubit lengan Neneng Salmah.

   "Ih, cerewet amat sih kamu! Nanti saja kita ngomong-ngomong, sekarang bukan waktunya ngobrol, pekerjaan banyak. Hayo cepat sembelih dua ekor ayam itu!"

   Neneng Salmah bergidik.

   "Wah, aku tidak tega, Lastri. selama hidup belum pernah aku menyembelih ayam. Biasanya yang melakukan itu adalah bapaku. Aku mana berani?"

   Sulastri tertawa.

   "Heh-heh, engkau tidak menyadari bahwa kini engkau bukan Neneng Salmah sang waranggana yang lemah gemulai lagi! Engkau bahkan dapat membela diri dari serangan pangeran banten yang cukup digdaya tadi."

   "Wah, orang jahat itu!"

   Dengus Neneng, akan tetapi segera disambungnya sambil tertawa.

   "Nah, sekarang engkau malah yang memperpanjang obrolan. Hayo kerja, engkau yang memotong ayam, aku nanti yang membersihkannya. Sekarang aku memasak air, mengupas terong dan memotong sayur dan menyiapkan bumbu!"

   Dua orang gadis itu segera sibuk bekerja. akan tetapi diam-diam perasaan Sulastri mengalami goncangan hebat.

   Seolah ia teringat akan semua masa lalunya, banyak hal yang membuat ia merasa risau, gelisah, duka, dan bingung. Pertama tentu saja kedukaan teringat bahwa Ki Ageng Pasisiran, kakek yang menjadi gurunya dan amat ia hormati dan kasihi itu, telah tewas terbunuh orang. Tadinya sebelum ia teringat, mendengar hal itu ia hanya merasa kasihan saja. Akan tetapi sekarang ia ingat akan keadaan gurunya, wajahnya, wejangan-wejangannya, dan hubungan akrab antara mereka sebagai guru dan murid, sehingga ia merasa berduka dan juga marah sekali kepada Hasanudin seorang murid pula dari Ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit, yang baru satu kali pernah dijumpainya, dan kepada Raden Banuseta yang katanya dia yang membawa pasukan Kumpeni dan melakukan penyerbuan ke rumah Ki Ageng Pasisiran dan menyebabkan tewasnya Ki Ageng Pasisiran dan puteranya Ki Sudrajat. Dia juga teringat kepada Jatmika, putera Ki Sudrajat, yang menyatakan cinta kepadanya.

   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAGUS SAJIWO

BAGUS SAJIWO BAGUS SAJIWO JIL ID 01 BAGUS SAJIWO JIL ID 02 BAGUS SAJIWO JIL ID 03 BAGUS SAJIWO JIL ID 04 BAGUS SAJIWO JIL ID 05 BAGUS SAJIWO JIL ID 06 BAGUS SAJIWO JIL ID 07 BAGUS SAJIWO JIL ID 08 BAGUS SAJIWO JIL ID 09 BAGUS SAJIWO JIL ID 10 BAGUS SAJIWO JIL ID 11 BAGUS SAJIWO JIL ID 12 BAGUS SAJIWO JIL ID 13 BAGUS SAJIWO JIL ID 14 BAGUS SAJIWO JIL ID 15 BAGUS SAJIWO JIL ID 16 BAGUS SAJIWO JIL ID 17 ...

ALAP-ALAP LAUT KIDUL

JILID 1 JILID 2 JILID 3 JILID 4 JILID 5 JILID 6 JILID 7 JILID 8 JILID 9 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33