SERULING GADING 1 2 3 4 5 6 7 8 9 6 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 JILID 1 Puncak Argadumilah menjulang tinggi diselimuti awan putih bergerombol seperti sekelompok domba berbulu putih bergerak perlahan, berarak ke arah selatan. Sinar matahari pagi mulai menerangi permukaan Gunung Lawu yang tanahnya subur dan hijau penuh pohon dan tumbuhan. Kinar matahari pagi yang lembut dan hangat itu masih belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang amat dingin bagi manusia itu. Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah. Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu. Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan A...
ketika tangan kanannya memukul, sudah terdengar angin bersiut tanda bahwa pukulannya itu mengandung tenaga.
"Kaki kirimu itu, salah!"
Kata Harun yang menoleh untuk meneliti gerakan anaknya.
"Ujung kaki kiri harus dibenkokkan ke kanan sehingga dengan demikian tendanganmu akan mengandung tenaga yang lebih kuat karena mendapat ancang-ancang."
Aji menyadari kesalahannya lalu mengulang jurus itu. Sekali ini dengan gerakan yang benar. Harun menyuruh anaknya mengulang dan mengulang lagi jurus itu sampai hafal benar sehingga gerakannya sudah menyatu dan menjadi otomatis.
Demikianlah, setiap senja Harun mengjarkan semua ilmu silat yang dikuasainya kepada Aji. Kalau hari hujan mereka berlatih di dalam rumah. Kalau malam Aji disuruh belajar membaca dan menulis dari Bapak Sastro, seorang penduduk Gampingan yang terpelajar dan diwaktu mudanya tinggal di Mataram. Dalam usianya yang sepulu tahun itu Aji sudah pandai membaca dan menulis. Bahkan Pak Sastro mulai mengajarkan kesusasteraan kepadanya, mengajari tatakrama, bertembang, bahkan menabuh gambang, meniup suling dan menari! Semua itu tanpa imbalan karena Pak Sastro sendiri suka mengajar Aji yang ternyata cerdik dan mudah menguasai pelajarannya. Di samping itu, Pak Sastro merasa berhutang budi kepada Harun yang pernah mengobati dan menyembuhkan dia dari penderitaan penyakit yang berat dan gawat.
Pada masa itu, Agama Islam belum begitu diresapi secara mendalam sampai ke pelosok dan daerah yang terpencil. Umatnya yang benar-benar mendalami Agama Islam sebagian besar adalah mereka yang berdiam di pantai utara Nusa Jawa. Bahkan yang sempat mencapai daerah pedalaman di selatan, diterima setengah-setengah sehingga bercampur dengan tradisi yang berasal dari agama terdahulu, yaitu Agama Buddha yang juga sudah bercampur dengan tradisi berasal dari Agama Hindu. Dari perpaduan agama-agama inilah muncul semacam filsafat Kejawen yang disesuaikan dengan tradisi dan kebudayaan.
Aji dibesarkan dalam keadaan alam pikiran dan kebudayaan ini. Pak Sastro adalah seorang ahli filsafat Kejawen yang banyak mengandung pelajaran Agama Islam. Dia tidak sempat mendalami pelajaran Agama Islam maka tidak dapat dikatakan ahli dalam agama itu. Semua pengetahuan filsafatnya itu dia ajarkan pula kepada Aji. Semua ini ditambah lagi oleh filsafat yang diajarkan ayahnya sendiri.
Harun adalah seorang yang dahulu ketika masih hidup dinegerinya pernah mempelajari Agama Islam yang juga sudah bergaul dengan filsafat Agama Hindu dan agama Buddha. Dalam keadaan yang demikian itu, Aji berangkat dewasa didasari pelajaran filsafat kehidupan yang bersumber dari berbagai agama. Namun, atas bimbingan ayahnya sendiri, dia dapat menerima pelajaran agama itu karena kebijaksanaan yang ditekankan ayahnya untuk mencari inti dari semua filsafat yang pada dasarnya serupa.
Inti dari semua agama dan filsafat adalah agar menjadi seorang manusia yang baik budi, membangun, bermanfaat bagi manusia dan alam sekitarnya, berbakti kepada Sang Maha Pencipta dengan memupuk perbuatan yang baik dan menjauhkan diri dari perbuatan jahat yang merugikan orang lain dan berserah diri kepadaNya. Aji digembleng untuk memiliki watak yang baik. Dia mencari persamaan dalam semua agama itu dan mengabaikan perbedaannya karena maklum benar bahwa yang berbeda itu hanyalah soal kulitnya saja, upacara, sejarah dan cara beribadat. Intinya menuju ke arah Satu. hanya caranya menuju ke arah Satu itu yang berbeda.
Sang waktu adalah suatu kekuasaan yang tak terkalahkan oleh siapapun juga. Sang waktu adalah Sang Bathara Kala yang melahap semua yang ada. waktu adalah satu di antara Kekuasaan Yang Maha Kuasa yang tak terhitung banyaknya. Tampaknya Sang waktu hanya diam, tidak melakukan apa-apa, namun kenyataannya, segala sesuatu dilahapnya, segala sesuatu akan lenyap digulung waktu. Waktu juga dapat menjadi obat yang amat manjur bagi segala macam penderitaan batin. tidak ada kesusahan yang tidak lenyap pula bersama lewatnya waktu.
Waktu amat ajaib. Apabila kita memperhatikan, maka Sang Waktu merayap lebih lambat daripada majunya seekor siput. Namun apabila kita lengah dan tidak memperhatikannya, dia akan melaju lebih cepat daripada kilat! Kalau tidak diperhatikan, waktu bertahun-tahun rasanya seperti baru kemarin saja, sebaliknya kalau kita memperhatikan, waktu sehari rasanya seperti bertahun-tahun.
Demikian pula dengan kehidupan keluarga Harun Hambali. Sang Waktu melesat sedemikian cepatnya sehingga tahu-tahu lima belas tahun telah lewat sejak Lindu Aji dilahirkan! Padahal kalau Harun dan Warsiyem mengenang kelahiran anak tunggal mereka itu, rasanya seperti baru terjadi kemarin!
Lindu Aji kini telah menjadi seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun. Tubuhnya tinggi tegap, kaki dan tangannya kokoh terlatih dan terbiasa dengan pekerjaan berat. Dadanya bidang dan menyembunyikan tenaga yang dahsyat.
Wajahnya tampan, dengan dahi lebar, alis hitam tebal, sepasang matanya membayangkan kesabaran dan kelembutan, namun terkadang pandang mata itu mencorong dan bersinar penuh kekuatan dan wibawa. Hidungnya mancung dan mulut yang kecil serta dagunya membuat wajahnya tampak manis. Dia selalu berpakaian sederhana, dengan celana komprang sebatas betis dan baju dengan potongan bersahaja, bagian dadanya setengah terbuka.
Dalam usianya yang lima belas tahun, setelah digembleng selama kurang lebih sepuluh tahun, pemuda itu telah dapat menguasai semua ilmu silat yang diajarkan ayahnya. Namun sikapnya yang bersahaja yang rendah hati itu sama sekali tidak membayangkan bahwa dia adalah seorang ahli silat yang tangguh. Lebih mirip seorang pemuda tani yang polos dan jujur. Padahal, dia pandai membaca, menulis seperti seorang pemuda bangsawan terpelajar, dan dia pandai menabuh gambang, meniup suling, bertembang bahkan menari seperti seorang seniman yang berbakat dan ahli! diapun tekun sekali membantu ayahnya di sawah ladang atau menangkap ikan di antara gelombang air Laut Kidul
yang bermain-main dipantai.
Karena seringnya dia menangkap ikan menggunakan jala di lautan ini, Lindu Aji kini pandai pula berenang dan bermain-main di air.
Harun Hambali merasa berbahagia sekali dalam hidupnya. Selama lebih dari enam belas tahun dia hidup berbahagia bersama isterinya di dusin Gampingan. Apa lagi setelah Aji terlahir. Kebahagiaannya terasa lengkap. dia sudah terbebas sama sekali dari perasaan menjadi orang buruan.
Setelah lewat sedemikian lamanya dia yakin bahwa para pemburunya tentu sudah kembali ke Galuh dan dia tidak menjadi pelarian lagi. Dia dan anak isterinya hidup tidak kekurangan di dusun itu, tenang tenteram penuh damai dan seluruh penghuni dusun Gampingan yang hanya terdiri dari sekitar seratus keluarga akrab dengan keluarganya. Semua penghuni dusun Gampingan itu seakan-akan menjadi keluarga besar, hidup rukun dan bergotong royong.
Kebahagiaan pasti terasa setelah orang tidak membutuhkan atau tidak mengejar apa-apa. Merasa cukup dengan apa yang ada, selalu bersyukur kepada yang Maha Kasih atas segala yang diperolehnya meniadakan keinginan untuk mendapatkan apapun yang tidak dimilikinya. Pengejaran terhadap sesuatu yang tidak dimilikinya inilah, apa lagi yang tidak akan terjangkau olehnya, akan meniadakan kebahagiaan.
Pengejaran terhadap sesuatu itu tentu didasari anggapan bahwa yang dikejar itu adalah lebih baik dan akan lebih menyenangkan daripada apa yang telah dimilikinya. Keinginan mendapatkan sesuatu yang belum kita miliki ini menghancurkan nilai dari apa yang telah kita miliki. Pada hal, pengejaran ini hanya mendatangkan dua macam akibat. Kalau tidak bisa didapatkan, akan menimbulkan kecewa, marah dan duka. sebaliknya kalau bisa didapatkan, akhirnya akan menimbulkan kebosanan! Karena pengejaran terhadap sesuatu itu tiada lain adalah pengejaran terhadap kesenangan, dan kesenangan dunia ini pasti berakhir dengan kebosanan.
Inilah ulah napsu setan. Setan selalu menyeret kita untuk mengejar kesenangan demi kesenangan sehingga kita manusia yang lemah ini terkecoh, terpikat dan lupa bahwa di dalam kesenangan yang dipamerkan setan dengan segala daya tariknya itu pada hakekatnya mengandung racun yang teramat berbahaya, yang akan dapat menyeret kita ke dalam kesesatan dan kedosaan. Demi untuk mencapai kesenangan, kita sering tidak memperdulikan lagi dengan cara apa kita mencapainya. Dengan cara apapun, halal atau haram, asal kita dapat mencapai kesenangan yang kita kejar-kejar itu.
Harun Hambali dan anak isterinya merasa menjadi orang yang berkecukupan. Hal ini karena mereka tidak pernah menginginkan sesuatu yang berada di luar jangkauan mereka. Seperti Harun itulah yang patut disebut sebenar-benarnya orang kaya. Dia tidak pernah merasa kekurangan dan merasa kecukupan. Orang yang berkecukupan berarti orang kaya! Sebaliknya, orang yang selalu masih merasa tidak cukup, merasa kekurangan, biarpun dia memiliki segudang emas, dia adalah orang miskin, orang kekurangan! Jadi jelaslah bahwa kaya atau miskin itu tidak dapat diukur dari isi kantongnya, melainkan dilihat keadaan isi hatinya! Kekayaan materi manusia tidak mungkin dapat diukur.
Tidak ada seorangpun dapat mengatakan dengan pasti berapakah ukuran banyaknya harta bagi seorang yang dapat disebut kaya? Kalau memakai angka, berapakah nolnya? Tidak ada yang kaya mutlak semua relatif adanya. Sepeti banyak dan sedikit. Berapakah banyak itu? Berapakah sedikit itu?
Yang kurang tentu menganggap yang lebih itu banyak, sebaliknya yang lebih tentu menganggap yang kurang itu sedikit. Yang Maha Kaya dan Maha Banyak hanyalah Hyang Maha Wisesa Hyang Maha Tunggal karena segala sesuatu di jagad raya ini sesungguhnya adalah milikNya. tidak terhingga, demikianlah kalau dibuat perhitungan. Namun, tidak ada yang langgeng (abadi) di dunia ini. kehidupan manusia tidak mungkin dapat terlepas dari pengaruh dua unsur yang berlawanan. sudah demikianlah kenyataannya dan karena kemampuan pikiran manusia tidak akan mampu menagkap rahasia besar ini, maka kita hanya dapat mengatakan bahwa memang sudah demikianlah rupanya kehendak tuhan.
Segala sesuatu di dunia ini pasti ada imbangannya atau lawannya. Justeru adanya lawan itulah yang membuat sesuatu itu ada. tidak akan ada siang kalau tidak ada malam, tidak akan ada yang disebut terang kalau tidak ada gelap. Yang satu menentang yang lain, akan tetapi justeru yang satu mendukung adanya yang lain. Saling bertentangan namun juga saling mendukung. justeru unsur dua yang saling bertentangan inilah yang menjadikan sesuatu. Tuhan yang Maha Kuasa menciptakan segala sesuatu melalui bersatunya dua unsur yang saling bertentangan ini. bahkan diri manusia inipun terdiri dari kedua unsur yang saling bertentangan ini, yaitu baik dan buruk.
roh baik dan roh buruk saling berebut menguasai diri manusia dan kita tidak mungkin sepenuhnya dikuasai oleh yang baik atau yang buruk saja. Kalau kita ini baik sepenuhnya, maka kita bukan manusia lagi, melainkan mungkin disebut malaikat. Sebaliknya kalau kita ini sepenuhnya buruk, kita bukan manusia lagi, melainkan setan! Susah senang silih berganti mengisi kehidupan manusia. demikian pula terjadi dalam kehidupan Harun sekeluarga. Setelah bertahun-tahun hidup tenteram di dusun Gampingan, pada suatu hari terjadi hal itu, yang akan mendatangkan perubahan besar dalam kehidupan mereka.
Pada suatu senja, seperti biasa Harun melihat Aji berlatih silat di pekarangan depan. pemuda itu sudah mempelajari ilmu silat dengan menggunakan sebatang tongkat. Gerakannya gesit dan tangkas. sambaran tongkatnya kuat skali sehingga setiap pukulan membuat ujung tongkat kayu itu bergetar dan mengeluarkan bunyi menggetar. Harun menonton dengan penuh perhatian dan diam-diam dia merasa bangga sekali. Anaknya ini memiliki bakat besar, lebih besar daripada dirinya. Dia menyesal mengapa dia tidak dapat memberi pelajaran yang lebih tinggi kepada Aji. Semua ilmu silat yang dikuasainya telah dia turunkan kepada puteranya itu.
Tiba-tiba terdengar bunyi "tok-tok-tok!"
Dan tampaklah seorang laki-laki memikul dua buah keranjang terisi bermacam barang kelontong berjalan di jalan depan rumah Harun, Dia adalah seorang laki-laki pedagang kelontong keliling. Selama ini belum pernah ada pedagang keliling yang sampai ke dusun Gampingan, maka munculnya orang itu menarik perhatian orang, terutama kanak-kanak yang banyak mengikutinya.
Melihat Aji bersilat tongkat, pedagang keliling yang usianya sekitar lima puluh tahun itu berhenti dan menonton dengan kagum dan heran. Kemudian pandang matanya bertemu dengan Harun yang juga memandang kepadanya. Harun bangkit dari tempat duduknya sedangkan Aji menghentikan latihannya dan dia memandang kepada laki-laki itu. Harun melihat laki-laki itu dengan mata terbelalak.
seorang laki-laki yang usianya sebaya dengannya, kurang lebih lima puluh tahun, memakai baju tanpa leher dan celana komprang, kakinya memakai sandal dari kulit, rambutnya yang anjang diikat ke atas dengan kain sutera biru. dia menurunkan pikulan sepasang keranjang dan memandang kepada Harun dengan bengong dan ragu.
Tiba-tiba Harun berseru.
"Ujang.....! Ujang Karim.....! Engkau, engkau Ujang Karim, bukan?"
Harun lari menghampiri orang yang masih berdiri bengong di tepi jalan depan pekarangan rumahnya itu. Laki-laki itu memandangi Harun dengan penuh perhatian dan ragu. Rasanya dia mengenal betul laki-laki berusia hampir lima puluh tahun yang bertubuh jangkung, rambutnya sudah dipotong pendek seperti penduduk biasa, demikian pula pakaiannya. Akan tetapi wajah itu. dia mengenal benar!
"Harun Hambali........engkaukah ini? Ya Tuhan, engkau benar Harun sahabatku itu?"
Mereka tertawa dan berpelukan.
"Ujang, mari kita ke dalam dan bicara. Engkau harus menceritakan segalanya kepadaku!"
Seru Harun dan dia membantu orang itu membawa barang dagangannya memasuki pekarangan dan rumah. Aji dengan ramah menyuruh anak anak yang tadi mengikuti tukang kelontong itu bubaran dan diapun ikut memasuki rumah. Ibunya yang sudah menutup warungnya sedang sibuk mempersiapkan makan malam untuk mereka di dapur.
Aji adalah seorang pemuda yang sejak kecil telah diajar sopan santun dan tatakrama. Maka, melihat ayahnya bercakap-cakap dengan asyiknya dengan tamunya itu dalam bahasa Sunda yang hanya dimengertinya sepotong-sepotong, diapun tidak berani mendekat dan membiarkan mereka bicara berduia saja di ruangan depan. Dia sendiri lalu masuk ke dalam, terus ke dapur menemui ibunya.
"aji, engkau sudah selesai latihan? Hayo cepat mandi dan sebentar lagi kita makan malam."
"Baiklah, ibu."
Akan tetapi dia tidak beranjak dari tempatnya.
"Ehh? kenapa tidak segera mandi?"
Tegur ibunya.
"Ibu, di luar ayah bertemu dengan seorang asing yang berjualan kelontong keliling.
Agaknya mereka telah bersahabat dan kalau aku tidak salah duga, dia tentu seorang yang datang dari Pasundan."
"Ehhh.....? Sekarang dia berada di mana?"
"Ayah mengajaknya masuk dan sekarang mereka berdua bercakap-cakap dalam ruangan depan. mereka berbicara dalam bahasa Sunda, ibu."
"Ah, aku girang ayahmu bertemu dengan seorang sahabat sesuku. Kasihan ayahmu di sini menjadi seorang yang terasing,"
Kata Warsiyem dengan wajah gembira.
"Tentu dia girang sekali deapat bertemu dengan seorang yang datang dari kampong halamannya. Jangan ganggu mereka bercakap-cakap, aji, dan biarkan aku membuatkan minuman untuk tamu dan ayahmu, nati engkau yang membawakan keluar dan menyuguhkannya.
Aji mengangguk senang. Ibunya adalah seorang wanita yang baginya terbaik di dunia. Wataknya lembut, ramah, dan bijaksana. juga amat mencinta ayahnya.
Sementara itu, dalam bahasa Sunda, Harun bercakap-cakap dengan tamunya. Tamu itu adalah seorang S sahabat baiknya ketika dia masih berada di Galuh,
bahkan tamunya ini yang dulu dia titipi anaknya! Orang itu bernama Ujang Karim. tentu saja melihat Ujang tiba-tiba datang ke dusun Gampingan dan bertemu dengan dia, Harun menjadi terkejut, heran dan girang karena dia ingin sekali mendengar tentang keadaan di perkampungannya, terutama sekali tentang anaknya.
"Kapan engkau datang ke Mataram, Ujang? Seperti mimpi rasanya aku dapat bertemu dan bercakap-cakap denganmu!"
Kata Harun.
"Aku juga merasa seperti mimpi, Uun. baru setahun aku datang di Mataram. Sebetulnya akupun ingin mencarimu, akan tetapi tidak ada orang Sunda yang berada di kota pasisiran mengetahui siapa engkau dan di mana engkau berada. Aku hampir putus asa untuk dapat berjumpa denganmu."
"Nanti dulu, Ujang. Ceritakanlah dari permulaannya. tentang kehidupanmu di sana, bagaimana dengan anakku si Udin, dan bagaimana pula engkau sampai meninggalkan Galuh dan tiba di Mataram."
Harun bertanya dengan ingin tahu sekali.
Ujang menhela napas panjang dan pada saat itu, muncul Aji membawa baki terisi cerek air the dan dua buah cangkir. Dengan membungkuk dan sikap hormat dia meletakkan poci teh dan dua buah cangkir itu di atas meja, lalu berkata kepada tamu itu dalam bahasa Sunda yang patah-patah.
"Paman, silakan minum teh."
Kemudian dia membungkuk dan mengundurkan diri.
"Aih, Harun. Anak itu bisa bicara bahasa kita. siapakah dia?"
"Nanti saja kuceritakan semua tentang diriku, Ujang. sekarang lanjutkan dulu ceritamu, tentang keadaanmu di sana sampai engkau datang di Mataram dan bertemu dengan aku di sini."
"Setelah engkau pergi dan engkau menitipkan Udin kepadaku, aku menjadi bingung. Aku mengira engkau pergi tidak akan lama, tidak tahunya engkau tidak pernah kembali ke dusun kita. Seorang laki-laki muda diserahi merawat seorang anak berusia satu tahun, tentu saja repot bukan main. Karena adanya anakmu itu, terpaksa aku menikah dengan gadis dari dusun lain."
"Aih, engkau sudah menikah, Ujang?"
Tanya Harun gembira.
Yang ditanya cemberut. Dia seorang laki-laki yang agak gemuk, mukanya bulat sehingga ketika dia bercemberut, mukanya tampak lucu, kedua matanya yang sipit itu seperti terpejam.
"Sialan! Kesialan menimpaku bertubi-tubi dan semua ini biang keladinya hanya engkau, Harun!"
"Maafkan aku, Ujang. Akan tetapi apakah yang telah terjadi?"
"Mula-mula engkau meninggalkan anakmu begitu saja kepadaku, itu kesialan pertama karena engkau merepotkan aku dan memaksaku menikah, pada hal engkau tahu bahwa aku seorang yang miskin. menikah dengan gadis itu merupakan kesialan kedua karena ternyata ia seorang wanita yang cerewet pencemburu, galak dan kejam. Bukan itu saja. Orang-orangnya pembesar yang kaubunuh itu setelah tahu bahwa anakmu dititipkan padaku, memaksaku untuk memberitahu di mana adanya engkau. Mereka memukuli aku dan bahkan nyaris membunuhku!"
"Aih, maafkan aku, Ujang. Aku telah membuatmu sengsara. Sungguh mati aku tidak mengira bahwa karena kutitipi anakku, engkau mengalami itu semua. Maafkan aku."
"Sudahlah, semua telah terjadi. Terpaksa aku membawa isteriku dan anakmu Udin pergi melarikan diri ke selatan. Kami hidup di dusun Kalipucang, jauh dari Galuh. aku hidup sebagai petani di tempat baru itu. akan tetapi karena daerah tempat tinggal kami itu sering dilanda banjir, aku gagal. Kami hidup dalam keadaan yang serba kekurangan, hidup miskin. Akhirnya isteriku pergi meninggalkan aku, minggat dengan laki-laki lain. Ketika itu Hasanuddin, anakmu itu, berusia kurang lebih tujuh tahun. Aku hidup menyendiri, kemudian aku menitipkan Udin kepada Aki Somad, seorang pertapa dari Nusa
Kambangan yang sedang berkelana ke dusun kami. Aki Somad menyatakan suka kepada Udin dan mau menerimanya sebagai murid. Dia lalu membawa Udin pergi dan sampai bertahun-tahun aku tidak pernah lagi bertemu dengan dia."
"Apa? Kau serahkan anakku kepada orang lain?"
"Terpaksa, Harun. Bagaimana mungkin aku yang hidup menyendiri harus merawat dan mendidik dia? Pula, Aki Somad itu bukan orang sembarangan. Baru seminggu berada di dusun kami dan orang-orang mengabarkan bahwa dia itu seorang pertapa sakti, bahkan telah menyembuhkan banyak orang yang menderita sakit di dusun kami."
"Dan engkau tidak menjenguknya?"
Tanya Harun penasaran.
"Mana aku sempat? Hidupku susah, aku terpaksa berpindah-pindah karena takut kalau musuh-musuhmu itu tetap mencari aku. Akan tetapi ketika Udin sudah pergi selama delapan tahun, aku bertemu dengan seorang pemuda yang mengaku mengenal Aki Somad dan dia membawa kabar tentang Udin. Katanya Udin Telah meninggalkan Aki Somad dan kabarnya..... dia juga mencuri perhiasan berharga dan seekor kuda dari kepala dusun setempat."
"Apa?"
Harun menggebrak meja.
"Ahh, celaka! Anakku Hasanudin menjadi terlantar, kurang pendidikan sehingga tersesat! Hemm, lalu bagaimana, Ujang?"
"Seperti kukatakan tadi, selama hampir dua puluh tahun aku tidak pernah bertemu dengan dia dua puluh tahun aku tidak pernah bertemu dengan dia. Keadaanku yang susah memaksa aku mengambil keputusan untuk merantau ke Mataram dan mencarimu. Dan pada waktu aku bersiap-siap hendak pergi, muncullah seorang pemuda yang tidak kukenal. Akan tetapi ketika dia memperkenalkan dirinya, barulah aku tahu bahwa dia itu bukan lain adalah Hasanudin anakmu!"
"Dia..... dia datang kepadamu? Ah, bagaimana keadaannya?"
"Ya, dia datang, kurang lebih setahun yang lalu ketika aku hendak berangkat ke timur, ke daerah Mataram. Usianya sekitar dua puluh lima tahun. Dia telah menjadi seorang pemuda tinggi besar yang gagah perkasa, akan tetapi sikapnya, Harun, ahh.....
"
Ujang Karim menghentikan pembicaraannya dan menghela napas sambil mengeleng-geleng kepalanya.
"Dia memaksa dan mengamcam aku agar aku segera pergi ke Mataram mencarimu. Sikapnya kasar sekali dan sama sekali tidak menghargai aku yang sudah lebih dari enam tahun memelihara dan membesarkannya, menjadi pengganti orang tuanya, bahkan dia sudah menganggap aku sebagai ayah sendiri, menyebut aku ayah dan diapun tidak tahu bahwa dia bukan anak kandungku."
"Tapi..... tapi bagaimana dia menyuruhmu pergi mencariku?"
Tanya Harun bingung, hatinya penuh ketegangan dan juga penuh duka mengingat bahwa puteranya telah menjadi pemuda jahat yang mencuri, bahkan bersikap tidak selayaknya terhadap Ujang yang membesarkannya.
"Bagaimana dia tahu tentang aku dan apa yang dia lakukan terhadap dirimu, Ujang?"
"Aku sendiri heran bagaimana dia tahu tentang dirimu. Aku dan istriku tidak pernah bercerita bahwa dia itu anakmu. Akan tetapi dia datang dengan sikap galak sekali, dan engkau tahu apa yang dia lakukan? Aku mempunyai sebuah arca kecil dari batu hitam yang amat keras dan kuat. Akan tetapi dia memegang arca itu dan meremasnya. Arca itu hancur lebur seperti tepung ketika dia meremasnya! Belum pernah selama hidupku aku melihat kekuatan tangan seperti itu! dan dia bilang, kalau aku tidak cepat menemukanmu, dia akan membikin kepalaku hancur seperti arca itu!"
"Bocah keparat!"
Harun berseru marah sekali, akan tetapi diam-diam diapun terkejut bukan main. Kekuatan tangan yang meremas hancur batu hitam seperti membuktikan bahwa anak itu telah memiliki tenaga sakti yang amat hebat! "Lalu apa maksudnya dia memaksa engkau pergi mencariku sampai dapat kautemukan?"
Ujang Karim bangkit dan menghampiri dagangannya, mengambil sesuatu dari dalam keranjang dan memberikannya kepada Harun.
"Dia memaksa aku mencarimu untuk menyerahkan ini kepadamu."
Harun menerima benda itu yang ternyata sehelai kain putih yang ditulisi huruf-huruf hitam. Dia membuka gulungan kain surat itu akan tetapi cuaca dalam rumah itu sudah mulai gelap.
"Aji.....!"
Harun memanggil anaknya. aji yang membantu ibunya menutup warung, cepat memasuki ruangan.
"Ya, ada apakah, Pak?"
"Aji, nyalakan lampu, cuaca sudah mulai gelap."
"Baik, Pak."
Aji lalu cepat menyalakan lampu-lampu gantung dalam rumah itu.
"Pergilah bantu ibumu mempersiapkan makan malam untuk kami. Sembelih seekor ayam, Aji."
Kata pula Harun yang tidak menghendaki puteranya itu mendengar percakapan dia dan Ujang.
"Baik, Pak."
Aji lalu cepat keluar untuk membantu ibunya.
Setelah anaknya pergi, Harun mendekatkan kain bertulis itu kepada lampu gantung dan dia mulai membaca. Tulisan itu cukup terang dan huruf-hurufnya indah dan kuat,
Harun Hambali,
Engkau adalah seorang pengecut dan seorang ayah yang tidak bertanggung jawab, menyelamatkan diri sendiri dan menyia-nyiakan anaknya. Tunggu saja, aku pasti datang membunuhmu!
Hasanudin.
"Ampun Gustiii.....!"
Harun menjadi lemas. surat itu terlepas dari tangannya yang menggigil, wajahnya pucat dan dia tentu akan jatuh terkulai kalau saja sesosok bayangan tidak dengan cepat berkelebat dan menangkap lalu merangkul tubuhnya. Bayangan itu adalah Lindu Aji yang tadi telah mendengar seruan ayahnya dan cepat meloncat memasuki ruangan itu sehingga masih sempat mencegah ayahnya roboh terguling. Ketika melihat ayahnya pingsan, pemuda itu lalu memondongnya dan merebahkan tubuhnya di atas sebuah dipan yang berada di ruangan itu. Kemudian dia melihat sehelai kain bersurat yang tadi terlepas dari tangan ayahnya.
sekilas dibacanya isi surat itu, lalu dilipat disimpannya, diselipkan di ikat pinggang celananya. Kemudian dia menghampiri ayahnya dan menggunakan jari-jari tangannya mencubit otot besar di antara ibu jari dan telunjuk tangan ayahnya dan menekan-nekan bawah hidungnya. Harun mengeluh dan siuman dari pingsannya. dia mengalami guncangan hebat sekali dan ada rasa nyeri di dalam dadanya. Perasaan hatinya seperti ditusuk-tusuk. Anaknya sendiri, darah dagingnya, mengancam akan membunuhnya dan dalam tulisannya itu terkandung kebencian yang amat hebat.
Dia tidak takut oleh ancaman itu, sama sekali tidak, akan tetapi dia merasa sedih bukan main karena dimusuhi anak kandung sendiri. Dia bangkit duduk dan melihat Ujang dan Lindu Aji berada di situ, dia lalu ingat bahwa Aji tidak boleh mengetahui akan semua ini. Maka dia lalu memandang pemuda itu dan berkata.
"Aji, keluarlah dan bantu ibumu. Juga penuhi kolam kamar mandi dengan air. Aku dan pamanmu Ujang ini akan mandi dulu sebelum makan malam."
Ada perintah yang mendesak terkandung dalam suara ayahnya. Aji mengangguk dan melihat ayahnya sudah tidak apa-apa, diapun keluar dari ruangan itu untuk memenuhi kolam kamar mandi dengan air dan membantu ibunya yang sedang sibuk mempersiapkan makan malam untuk suami dan tamunya.
Setelah anaknya pergi, Harun menghela napas beberapa kali dan dia kembali duduk di atas kursi dekat meja, berhadapan dengan Ujang.
"Tenangkan hatimu, Harun. Udin itu tidak mungkin akan dapat menemukanmu di sini. Tempat tinggalmu ini cukup tersembunyi. aku sendiri hanya secara kebetulan saja dapat bertemu denganmu di sini. Aku bukan takut menghadapi ancamannya itu, Ujang ,,,,,,, eh, di mana suratnya tadi?"
Harun memandang ke sekeliling, mencari-cari.
"Surat itu tadi di ambil anakmu,"
Kata Ujang.
"Aji.....! Aji....., ke sinilah!"
Teriak Harun sambil menoleh ke arah belakang.
Aji muncul dengan cepat.
"Ya, Pak?"
"Engkau mengambil kain bersurat tadi?"
"Benar, Pak. Ini suratnya."
Aji mengambil surat itu dari balik ikat pinggangnya dan menyerahkannya kepada Harun.
"Engkau tadi membacanya?"
Aji mengangguk sambil menundukkan mukanya.
"Benar, Pak."
"Lupakan apa yang kau baca itu! Tidak ada artinya sama sekali."
"Akan tetapi, Pak.....
"
"Aji, sejak kapan engkau membantah bapakmu? Turuti saja nasihatku, jangan pikirkan dan lupakan isi surat yang kaubaca tadi. Mengerti?"
"Sumuhun, mangga, Pak."
Kata Aji yang lalu mengundurkan diri, kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Anakmu yang ini sungguh patuh kepadamu. Tampaknya dia anak yang baik dan kulihat tadi ketika dia berlatih silat, dia sudah trampil dan mahir sekali."
Harun menghela napas panjang.
"Mudah-mudahan begitu. semoga Allah Subhanhu Wa Ta"allah selalu membimbingnya melalui jalan kebenaran dalam hidupnya."
"Kulihat beda sekali dengan Udin. Dia memang tampan dan gagah tampaknya, akan tetapi sikapnya sungguh menyeramkan sekali. Ada yang aneh dalam pandang matanya, begitu menakutkan dan mengandung wibawa hebat, seperti mata harimau."
"Semoga Tuhan mengampuninya. Biarlah kalau dia hendak membunuhku, Ujang, karena akupun merasa dan menyadari akan kesalahanku terhadap dia. Dia benar, aku seorang ayah yang tidak bertanggung jawab. Akan tetapi, apa yang kau ketahui tentang orang-orang Galuh yang mencariku dan memukulimu? Aku memang menduga bahwa keluarga Aom Bahrudin pasti tidak akan berhenti begitu saja. Mendiang Aom Bahrudin adalah menak (bangsawan) yang tinggi kedudukannya dalam kerajaan Galuh."
"Memang benar, harun. mereka yang datang mencarimu dan memaksa aku mengaku di mana engkau berada adalah orang-orang yang menjadi anak buah Raden Banuseta, putera mendiang Aom Bahrudin yang kaubunuh itu. Dan aku mendapat kabar bahwa Raden Banuseta itu adalah seorang yang digdaya dan sakti mandraguna."
Harun menghela napas panjang.
"Biarlah kalau mereka datang mencariku di sini, akan kuhadapi semua. Aku memang telah membunuh Aom Bahrudin. Akan tetapi seperti engkau juga telah mengetahui, aku membunuhnya karena dia telah memperkosa isteriku sehingga ia membunuh diri. Kalau sekarang anaknya hendak membalas dendam kematian ayahnya padaku, akan kuhadapi. Anakku Udin memang benar. Aku seorang pengecut. Mestinya dahulu aku tidak melarikan diri menjadi orang buruan, mestinya aku mempertanggung-jawabkan perbuatanku itu. karena aku melarikan diri dan meninggalkan anakku, maka aku menyeret banyak orang yang ikut menderita karena aku. Aku membuat Udin hidup terlantar, juga engkau telah menderita karena pelarianku itu. Bukan Udin dan engkau saja yang menderita akibat ulahku itu, bahkan kini istri dan anakku Aji juga ikut terancam. Ahh, aku menyesal sekali, Ujang."
"Engkau tidak perlu menyesal, Harun. Aku tidak bisa menyalahkanmu. Istrimu membunuh diri karena diperkosa orang dan engkau mengambil tindakan sendiri untuk membalas. Hal itu sudah sepantasnya, karena kalau engkau minta pengadilan kepada penguasa di Galuh mungkin engkau malah yang ditangkap dan dihukum. Kita semua tahu bahwa hokum diadakan hanya untuk melindungi orang-orang yang berkuasa saja."
Harun menghela napas panjang.
"Apa anehnya itu, Ujang? Kekuasaan itulah hukum yang berlaku. Orang-orang yang berkuasa menentukan hukum sendiri dan rakyat jelata harus tunduk kepada hukum mereka. Akan tetapi di Mataram ini lain keadaannya, Ujang. di sini terdapat banyak pejabat tinggi yang bijaksana dan yang membela rakyat. Sultan Agung adalah seorang raja yang bijaksana bertindak tegas terhadap para pamong praja yang lalim."
Pada saat itu, Aji muncul dalam ruangan itu dan berkata kepada ayahnya.
"Kamar mandi sudah siap, Pak. Airnya sudah penuh. silakan bapak dan paman mandi."
Setelah berkata demikian, Aji lalu mengundurkan diri lagi.
Harun mempersilakan temannya untuk mandi. Tak lama kemudian keduanya sudah mandi dan bertukar pakaian, lalu duduk kembali ke ruangan itu. Muncul Warsiyem dari dalam, mempersilakan suami dan tamunya untuk makan malam. Melihat isterinya, Hrun lalu berkata kepada Ujang.
"Ah, engkau belum berkenalan dengan isteriku, Jang! Nah, ini Warsiyem isteriku, ibu Lindu Aji."
Kemudian kepada isterinya dia memperkenalkan temannya.
"Dik War, ini Ujang Karim, seorang sahabatku yang datang dari Galuh."
Ujang bangkit dari tempat duduknya dan membungkuk kepada Warsiyem.
"Maafkan kalau kunjungan saya ini mengganggu,"
Kata Ujang.
"Ah, sama sekali tidak. Mari, silakan kalian makan yang sudah kami siapkan di ruangan belakang,"
Kata Warsiyem.dengan ramah. Mereka berdua lalu bangkit dan memasuki ruangan belakang. Hidangan sudah disiapkan di atas meja dan ketika mereka berdua duduk menghadapi hidangan, Ujang berkata.
"Mari mbakyu dan nak Lindu Aji makan sekalian!"
Katanya itu ditujukan kepada Warsiyem karena Aji tidak tampak berada di situ.
"Ah, silakan kalian berdua makan, aku dan Aji makan nanti saja."
Kata Warsiyem yang melayani mereka makan.
Sementara itu, Lindu Aji duduk di dapur. Dia termenung dan tidak dapat melupakan isi surat yang tadi dibacanya. Dia tidak tahu siapa itu Hasanudin yang mengancam hendak membunuh ayahnya dan dia tidak mengerti pula mengapa ayahnya dikatakan pengecut dan ayahnya tidak bertanggung jawab. Hatinya merasa penasaran sekali dan semangatnya memberontak. Dia akan menghadapi orang yang mengancam hendak membunuh ayahnya itu!
Setelah selesai makan, Harun dan Ujang kembali bercakap-cakap, akan tetapi karena malam itu hawanya panas, Harun mengajak Ujang bercakap-cakap di pendapa rumahnya, di sebelah warung nasinya yang sudah tutup. Warsiyem memanggil Aji dan ibu ini makan bersama anaknya. Dalam kesempatan makan bersama ibunya ini, Aji tak dapat menahan hatinya lagi dan bertanya.
"Ibu, siapakah orang yang bernama Hasanudin itu?"
"Hasanudin...?"
Ibunya memandang dengan mata penuh selidik.
"Apa yang kau maksudkan, Aji? Kenapa engkau menanyakan nama itu?"
"Aku hanya ingin tahu, ibu. Hasanudin itu mengirim surat kepada ayah, mengatakan ayah seorang pengecut dan ayah tidak bertanggung jawab. Apa artinya itu, ibu?"
Warsiyem memandang ragu. Tentu saja ia sudah mendengar pengakuan suaminya bahwa suaminya meninggalkan seorang anak laki-laki bernama Hasanudin di galuh, Pasundan. suaminya melarang ia untuk menceritakan tentang hal itu kepada Aji, akan tetapi sekarang, entah bagaimana, Aji mengetahui nama itu. Ia tidak berani melanggar larangan suaminya.
"Aji, megapa engkau menanyakan itu? Aku sendiri juga tidak tahu benar."
"Akan tetapi, aku harus tahu, ibu! Hasanudin itu mengancam ayah. aku harus membela ayah!"
Kata Aji dengan alis berkerut.
Ibunya menghela napas panjang.
"Mengapa tidak kautanyakan saja sendiri kepada ayahmu?"
"Aku akan bertanya sekarang juga, ibu!"
"Aji, habiskan dulu makanmu di piringmu!"
Kata Warsiyem dengan nada menegur. Lindu Aji tidak membantah.
Dia segera menghabiskan nasi dan lauknya di atas piringnya dengan cepat, lalu minum air kendi, kemudian dia bangkit dan melangkah tegap menuju ke luar, ke pendapa di mana ayahnya dan tamunya sedang bercakap-cakap.
"Bapak.....!"
Harun dan Ujang menoleh dan melihat Aji berdiri di situ.
"Eh, ada apakah, Aji?"
Tanya Harun.
Aji melangkah maju dan berdiri di depan ayahnya. Sikapnya masih sopan seperti biasa, pandang mata yang ditujukan kepada ayahnya masih menyinarkan kasih sayang dan hormat, akan tetapi wajahnya membayangkan keseriusan.
"Bapak, saya tadi telah membaca surat dari Hasanudin yang mengancam bapak, karena itu saya harap bapak suka memberitahukan saya, siapakah Hasanudin itu dan mengapa dia mengancam bapak?"
Harun menoleh kepada Ujang. Mereka saling pandang dan dari pandang mata Harun, Ujang tahu bahwa sahabatnya itu merasa bingung dengan pertanyaan anaknya.
"Uun, apa salahnya kalau Aji mengetahui persoalannya? Dia sudah hampir dewasa, bukan anak kecil lagi."
Hubungan antara Ujang dan Harun sudah demikian dekatnya seperti saudara saja, maka Ujang berani menyarankan hal itu. Harun menghela napas panjang sambil memandang anaknya.
"Duduklah, Aji."
Aji duduk di depan ayahnya. Setelah beberapa kali menarik napas panjang, Harun lalu berkata.
"Kupersingkat saja ceritanya, Aji. Kurang lebih dua puluh lima tahun yang lalu, atau mungkin sudah dua puluh tujuh tahun yang lalu, aku tinggal di Pasundan. Di sana aku mempunyai seorang isteri dan seorang anak berusia satu tahun. terjadilah malapetaka. Isteriku diganggu seorang pembesar sehingga membunuh diri. Aku membalas dendam. Kubunuh pembesar jahanam itu. Aku lalu dikejar-kejar, menjadi buruan. terpaksa aku meninggalkan anakku, kutitipkan kepada pamanmu Ujang Karim ini dan aku merantau ke daerah Mataram. Sepuluh tahun kemudian aku bertemu dengan ibumu dan kami menikah lalu terlahirlah engkau. Nah, tiba-tiba muncul pamanmu Ujang ini yang dititipi surat oleh anakku yang kutinggalkan di Pasundan. Hasanudin itu adalah anakku yang kutinggalkan di sana."
Berdebar jantung Aji, penuh ketegangan dan penasaran.
"Akan tetapi kalau dia anak bapak, kenapa mengancam hendak membunuh bapak?"
Harun menghela napas panjang.
"Entahlah..... agaknya kakakmu itu telah menyeleweng dan tersesat, atau mungkin dia marah dan mengandung dendam sakit hati kepadaku."
"Akan tetapi dia mengancam hendak membunuh bapak! Ini sudah keterlaluan namanya dan aku akan menghadapinya!"
"Aji! Jangan mencampuri urusan ini. Ini adalah urusan pribadiku. Sudahlah, lupakan saja hal itu dan jangan pikirkan lagi. Sekarang tinggalkan kami, jangan ganggu percakapan kami dan pergilah membantu ibumu."
Kata Harun agak keras karena memang dia terkejut melihat sikap Aji yang demikian keras, pada hal biasanya anak itu lembut dan penyabar.
Aji memang bangkit dan pergi, akan tetapi tidak kembali ke belakang melainkan melompat ke pekarangan dan lari meninggalkan rumah itu. Dia berlari cepat menuju ke selatan, menuju ke Laut Kidul. Malam itu bulan muncul dengan terangnya sehingga jalan kasar menuju ke selatan itu cukup terang. Aji berlari terus. Jantungnya berdebar tegang. Ayahnya mempunyai seorang anak laki-laki yang jauh lebih tua darinya, mungkin sekarang sudah berusia dua puluh enam atau dua puluh tujuh tahun. Dia mempunyai seorang kakak! Akan tetapi kakaknya itu mengancam hendak membunuh ayahnya. Kenyataan ini mengguncang hatinya yang selama ini penuh damai dan tenteram.
Setelah tiba di pantai Laut Kidul yang berpasir tebal, baru dia berhenti berlari. Keadaan di situ tenang dan sunyi sekali. Bahkan Gemuruhnya suara ombak memecah di pantai makin mempertebal keheningan tempat itu. Akan tetapi hati Aji tidak hening. Dia membayangkan kakaknya yang bernama Hasanudin itu menyerang dan hendak membunuh ayahnya. Tiba-tiba dia bergerak, bersilat menyerang, memukul, menendang sekuat tenaga seolah orang yang hendak membunuh ayahnya itu berada di depannya dan dia menyerangnya penuh kemarahan. Dia terus bersilat, tidak memperdulikan air laut menjilat-jilat sampai ke kakinya. Dia bersilat sekuat tenaga sampai akhirnya, berjam-jam kemudian, dia terkulai lemas dan kelelahan di atas pasir.
"Hem, dia marah sekali. Belum pernah aku melihat dia marah. Biasanya dia lembut dan penyabar."
Kata Harun sambil mengerutkan alisnya.
"Siapa yang tidak marah mendengar ayahnya diancam akan dibunuh orang, Harun. anakmu Lindu Aji itu tidak dapat disalahkan. tentu saja dia marah mendengar ada orang mengancam hendak membunuhmu, apa lagi kalau yang mengancam itu anakmu sendiri."
Pada saat itu kedua orang sahabat yang sedang bercakap-cakap itu mendengar suara orang berdehem di pekarangan. ketika mereka memandang, mereka melihat dalam keremangan cahaya bulan, sesosok tubuh seorang laki-laki di pintu pekarangan, melangkah perlahan memasuki pekarangan itu.
"Aji..... ?"
Panggil Harun yang mengira itu anaknya.
Akan tetapi bayangan itu tidak menjawab, hanya melangkah perlahan menghampiri pendapa rumah itu. Setelah agak dekat dan sinar lampu di pendapa dapat menerangi wajah orang itu, barulah Harun dan Ujang tahu bahwa orang itu bukan Lindu Aji. Seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus dan dari pakaiannya yang mewah mereka segera tahu bahwa dia tentu seorang menak (bangsawan) Sunda. Usianya sekitar empat pu;uj tahun, dengan ikat kepala yang khas Pasundan dan sarungnya diikatkan di pinggang. Wajahnya tampan dan sepasang matanya mencorong.
Harun segera bangkit berdiri untuk menyambut tamu yang tidak dikenalnya ini. juga Ujang ikut bangkit berdiri dengan muka pucat karena walaupun dia sendiri juga belum mengenal orang ini, akan tetapi pakaiannya sebagai menak sunda itu membuatnya gemetar, teringat bahwa Harun dumusuhi oleh bangsawan Galuh.
"Udin.....? "
Bisik Harun kepada sahabatnya.
"Bukan..... : bisik Ujang kembali.
Kini laki-laki itu sudah berdiri dekat mereka, dalam jarak empat meter. Sejenak ia berdiri dengan kedua kaki terpentang, tegak memandang ke arah kedua orang itu bergantian, kemudian dia bertanya dalam bahasa Sunda dengan sikap angkuh dan bahasa kasar, seperti sikap bahasa kebanyakan para bangsawan kalau bicara kepada rakyat kecil.
"Siapa di antara kalian yang bernama Harun Hambali?"
Harun segera dapat menduga bahwa orang ini tentu utusan keluarga mendiang Aom Bahrudin yang akan membalas dendam atas kematian bangsawan itu. Surat Hasanudin yang memaki dia sebagai pengecut telah membangkitkan semangatnya dan kini Harun mengambil keputusan untuk tidak lagi melarikan diri dan mempertanggung jawabkan perbuatannya. Maka dengan sikap gagah dia melangkah maju menghadapi orang itu dan berkata dengan tenang.
"Saya yang bernama Harun Hambali. Juragan (tuan) siapakah dan kepentingan apa yang membawa juragan datang menemui saya?"
Orang itu tidak menjawab melainkan memandang kepada Harun dari kepala sampai ke kaki dengan penuh perhatian. kemudian dia melirik ke arah Ujang dan bertanya, masih dalam bahasa Sunda.
"Dan kamu ini tentu yang bernama Ujang Karim, bukan?"
Ujang takut dan menjawab dengan suara gemetar.
"Be...... betul, juragan....."
Kembali orang itu menghadapi Harun yang sudah berdiri di depannya.
"Harun Hambali, ingatkah akan peristiwa yang terjadi dua puluh enam tahun yang lalu di Galuh?"
Dengan sikap masih tenang Harun bertanya.
"Peristiwa yang mana itu, juragan?"
"Kamu telah membunuh Aom Bahrudin, adik Bupati di Galuh!"
Harun mengangguk dan menjawab dengan suara tegas.
"Siapapun andika, tentu sudah mengetahui bahwa saya membunuh Aom Bahrudin karena dia telah memperkosa istri saya sehingga isteri saya membunuh diri. Pembalasan itu sudah setimpal dan adil."
"Jahanam keparat! Ketahuilah, aku adalah Raden Banuseta, putera mendiang Aom Bahrudin! Aku datang untuk membalas kematian ayahku dan membunuhmu!"
Harun masih tenang.
"Kalau andika tidak menyadari bahwa ayah andika yang bersalah dalam peristiwa itu dan hendak membalas dendam, silakan. Saya berani bertanggung jawab atas perbuatan saya itu!"
"Bagus! Bersiaplah untuk mati dan menghadap ayahku!"
Bentak orang yang mrngaku bernama Raden Banuseta itu dan tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat ke depan seperti burung terbang saja dan kedua tangannya sudah menyambar dari kanan kiri ke arah kepala Harun.
cepat bukan main gerakan orang itu dan ketika kedua tangannya menyambar terdengar angin bersiut menandakan bahwa serangan kedua tangan itu mengandung tenaga sakti yang amat kuat. Harun mengenal gerakan cepat bagaikan burung terbang itu dan cepat dia melompat ke samping, menghindar lalu melompat ke tengah pekarangan, mencari tempat yang luas agar leluasa bersilat menghadapi lawan yang tangguh itu.
"Anda murid perguruan silat Dadali Sakti?"
Tanya Harun yang biarpun hanya setahun lamanya, pernah belajar ilmu silat pada perguruan silat Dadali Sakti yang amat terkenal di daerah Pasundan itu.
Perguruan Dadali sakti (Burung Walet Sakti) adalah sebuah perguruan silat yang mengajarkan ilmu silat yang mempunyai dasar kecepatan gerak seperti seekor walet. Banuseta tersenyum menyeringai.
"Engkau mengenal aliran silatku? Bagus, agar engkau tidak mati penasaran. Sambutlah!"
Kembali Banuseta menyerang, gerakannya cepat sekali dan dia sudah mengirim serangkai serangan bertubi-tubi, tamparan, totokan dan tendangan.
Harun mengelak dan menangkis, akan tetapi setiap kali menangkis dan lengannya bertemu dengan lengan lawan, tubuhnya tergetar dan dia terhuyung ke belakang. Harun maklum bahwa tingkat kepandaian lawannya ini jauh lebih tinggi dari tingkatnya. akan tetapi dia sudah bertekad untuk menghadapi segala akibat perbuatannya, tidak akan lari lagi dan akan melawan mati-matian. Maka dia mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya untuk menandingi lawannya. Dia berusaha untuk balas menyerang, akan tetapi karena memang kalah jauh tingkatnya, maka semua serangan balasannya kalau ditangkis lawan malah membuat tubuhnya terhuyung.
"Hyaaaaaahh.....!"
Dengan nekat Harun mengerahkan seluruh tenaganya, menubruk maju dan menghantamkan kedua tangannya dari atas ke arah kepala lawan. Tamparan kedua tangannya ini mengarah kedua pelipis kepala lawan dan karena dia mengerahkan seluruh tenaganya, maka kalau mengenai sasaran akan berbahaya sekali. Betapapun kuatnya lawan, akan sulitlah dapat bertahan menerima hantaman telapak tangan kanan kiri itu ke pelipisnya.
"Wuuuuuttt..... plakkk!!"
Kedua pergelangan tangan Harun ditangkap oleh Banuseta. demikian kuatnya cengkeraman kedua tangan tokoh Dadali Sakti itu sehingga Harun merasa pergelangan tangannya seperti remuk dijepit catut baja. Dengan nekat dia lalu menggunakan jurus Munding Kroda (Kerbau Marah) dan tiba-tiba dia menghantamkan kepalanya ke arah dada lawan! Jurus Munding Kroda adalah jurus yang hanya dilakukan dalam keadaan sudah tidak berdaya dan nekat, jurus mengadu nyawa karena kalau berhasil, nyawa lawan terancam maut, akan tetapi kalau gagal, nyawa sendiri taruhannya.
Akan tetapi dengan jurus ini, kepala Harun dapat Memecahkan buah kelapa dengan mudah dan dapat mematahkan balok kayu. serangan yang dilakukan tiba-tiba dari dekat ini tentu saja tidak keburu dielakkan oleh Banuseta, juga tidak dapat ditangkis karena kedua tangannya masih memegang kedua pergelangan tangan lawan. Maka diapun lalu mengerahkan tenaga saktinya menerima terjangan kepala itu dengan dadanya.
"Wuuuttt..... prakkk.....!!"
Terdengar suara keras ketika kepala bertemu dada dan tubuh Harun terpelanting dan roboh tak berkutik lagi. Kepalanya retak bertemu dengan dada yang dilindungi tenaga sakti amat kuat itu dan Harun tewas seketika. Melihat kawannya roboh, Ujang Karim yang sejak tadi menonton dengan muka pucat dan hati tegang, mejadi ketakutan dan dia segera mengangkat kaki melarikan diri.
"Hendak lari ke mana kamu? Kamu juga harus mati!"
Bentak Raden Banuseta dan tangannya sudah mencabut pisau belati. Sekali tangannya bergerak, pisau itu meluncur dan menancap di punggung Ujang yang melarikan diri. Ujang berteriak dan roboh menelungkup. Raden Banuseta tersenyum mengejek, menghampiri dan mencabut pisaunya, lalu pergi dari situ dengan cepat, menghilang dalam bayangan pohon-pohon karena diapun tidak ingin semua penduduk dusun itu datang mengeroyoknya. Warsiyem juga tadi menonton perkelahian itu dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Ia khawatir sekali, akan tetapi apa yang dapat dilakukan seorang wanita lemah seperti dia? Ketika melihat suaminya roboh, disusul robohnya Ujang dan pembunuh suaminya itu sudah menghilang, baru ia dapat bergerak, berlari keluar sambil menjerit dan menubruk mayat suaminya.
"Kang Haruuuun..... ahh, kang Haruuuunn.....!"
Ia menjerit-jerit dan melihat bahwa suaminya sudah tewas dengan kepala retak mengeluarkan banyak darah, Warsiyem menangis tersedu-sedu dan roboh pingsan sambil merangkul suaminya.
Komentar
Posting Komentar