Langsung ke konten utama

SERULING GADIN

  SERULING GADING  1 2 3 4 5 6 7 8 9 6 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 JILID 1    Puncak Argadumilah menjulang tinggi diselimuti awan putih bergerombol seperti sekelompok domba berbulu putih bergerak perlahan, berarak ke arah selatan. Sinar matahari pagi mulai menerangi permukaan Gunung Lawu yang tanahnya subur dan hijau penuh pohon dan tumbuhan. Kinar matahari pagi yang lembut dan hangat itu masih belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang amat dingin bagi manusia itu. Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah. Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu.    Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan A...

ALAP ALAP LAUT KIDUL JILID 30

  Teringat kepada pemuda ini, ia menjadi bingung. Lalu ia teringat kepada Lindu Aji! Jantungnya berdebar ketika teringat kepada pemuda yang sejak remaja menjadi sahabat yang dekat dengannya, teringat betapa kini pemuda itu telah menjadi seorang yang sakti mandraguna dan masih ada ikatan saudara seperguruan dengannya karena Lindu Aji menjadi murid Ki Tejo Budi yang menjadi adik seperguruan Ki Tejo Langit.

   Namun begitu ia teringat akan pengakuan Neneng Salmah betapa gadis yang disayangnya seperti saudara sendiri itu jatuh cinta kepada Lindu Aji! Ia menjadi gelisah, duka, penasaran, dan bingung. Akan tetapi semua itu dipendamnya dalam hati dan ia menyibukkan diri dengan pekerjaan dapur.

   Ki Subali dan isterinya, Ki Salmun dan Neneng Salmah dengan sangat membujuk Parmadi dan Muryani agar menginap di rumah mereka. tadinya suami isteri itu hendak melaanjutkan perjalanan mereka, akan tetapi karena pihak tuan rumah sekeluarga menahan mereka dengan berbagai bujukan, akhirnya mereka mangalah juga dan bersedia menginap semalam di rumah itu. Ki Subali menyerahkan kamarnya kepada mereka. Dia sendiri tidur bersama Ki Salmun, dan Nyi Subali mengungsi tidur di kamar Sulastri dan Neneng Salmah.

   Malam itu sehabis makan, mereka semua bercakap-cakap di ruangan dalam. Banyak sekali cerita tentang pangeran dari Banten yang tadi datang bersama dua orang datuk. Neneng Salmah menceritakan asal mula pertemuannya dengan Raden Jaka Bintara di Sumedang dan betapa ia diculik oleh pangeran itu akan tetapi diselamatkan oleh Lindu Aji dan disuruh melarikan diri, mengungsi ke Dermayu, dan kini mondok di rumah Ki Subali. Sulastri juga "ditanggap", yaitu dihujani banyak pertanyaan tentang pengalamannya. Sulastri juga banyak bercerita tentang perjalanannya bersama Lindu Aji, pengalamannya melawan para mata-mata Kumpeni Belanda sampai ia terjatuh ke bawah tebing yang curam. Kemudian pengalamannya bersama Jatmika. Semua orang merasa kagum akan semua pengalaman yang aneh, berbahaya dan hebat dari gadis perkasa itu.

   "Sekarang kami harap agar Kakang Parmadi suka menceritakan riwayat kalian berdua sehingga sampai tiba di sini."

   Kata Sulastri.

   Parmadi menghela napas.

   "Kami sebetulnya tidak sengaja ke dermayu. Akan tetapi ternyata beginilah jadinya dan ini sudah diatur oleh kekuasaan Gusti allah sehingga kami dapat bertemu denganmu, Adi Sulastri. Kami tinggal di kadipaten Pasuruan dan kami berdua mendengar bahwa Gusti sultan Agung sudah mengadakan persiapan untuk mengirim bala tentara, hendak menyerang Kumpeni Belanda di Jayakarta lagi sebagai penyerangan kedua. Karena penyerangan kedua inipun agaknya menghadapi pertahanan Belanda yang amat kuat, maka kami berdua mengambil keputusan untuk membantu Mataram. Akan tetapi kami tidak masuk menjadi perajurit dan ingin membantu secara sukarela, maka kami mendahului pasukan Mataram. Kami menuju ke Jayakarta atau Batavia dan hari ini kebetulan sekali kami lewat di dermayu ini dan bertemu dengan Adi Sulastri."

   "Jadi Anakmas Parmadi sekarang hendak pergi ke Batavia untuk ikut berjuang melawan Kumpeni?"

   Tanya Ki Subali.

   "Hemm, aku ingat sekarang! Aki Somad tadi, kakek bungkuk berpunuk yang ikut datang menyerang ke sini, adalah seorang antek Kumpeni Belanda pula! Ketika melakukan perjalanan bersama Mas Aji..... eh, maksudku Lindu Aji, aku biasa menyebutnya Mas Aji. Ketika itu Aki Somad bersama Ki Harya Baka Wulung, Nyi Maya Dewi dan juga Banuseta yang ternyata telah membunuh Eyang Guru Tejo Langit!"

   Muryani berkata marah.

   "Mereka itu memang orang-orang jahat yang menjadi antek Kumpeni Belanda dan yang pantas kita basmi!"

   Parmadi menyambung ucapan isterinya.

   "Setelah mendengar akan kematian Paman Guru Ki Tejolangit dan puteranya di tangan Banuseta yang dibantu oleh Hasanudin, maka kami berdua juga ingin mencari mereka yang telah menjadi antek Kumpeni untuk membasmi mereka. Kami akan melanjutkan perjalanan ke Jayakarta besok pagi, paman."

   Kata Parmadi kepada Ki Subali.

   "Bagus! memang telah menjadi kewajiban bagi setiap orang kawula untuk membela Negara dan bangsa yang terancam oleh siapa saja, terutama oleh bangsa lain!, kata Ki Subali dan Ki Salmun juga mengangguk-angguk membenarkan.

   Mereka bercakap-cakap sampai jauh malam dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Parmadi dan Muryani meninggalkan rumah keluarga Ki Subali untuk melanjutkan perjalanan mereka, diantar oleh seluruh anggauta keluarga itu sampai ke depan pintu pekarangan.

   Semenjak mendapatkan ingatannya tentang masa lalunya, Sulastri banyak melamun. Hal ini terutama sekali diketahui benar oleh Neneng Salmah yang setiap hari hampir selalu berdekatan dengannya, bahkan setiap malam tidur sekamar. Akan tetapi kalau ditanya dan didesak, Sulastri hanya menggeleng kepalanya dan menjawab bahwa ia baik-baik saja dan tidak ada apa-apa. Atau ia sering menggunakan alasan bahwa kematian Ki Tejo Langit yang membuat ia sering melamun dan berduka. Padahal bukan hanya itu yang membuatnya gelisah, melainkan terutama sekali kalau ia teringat kepada Lindu Aji dan Jatmika!

   Pada suatu malam, Neneng Salmah yang merasa rindu kepada Lindu aji, mengungkapkan perasaan hatinya kepada Sulastri.

   "Lastri, di mana ya kira-kira sekarang ini Kakangmas Lindu Aji?"

   Mereka berdua sudah rebah di tempat tidur masing-masing yang berjajar di kamar itu. mendengar pertanyaan ini, Sulastri lalu miringkan tubuhnya menghadap ke arah Neneng.

   "Ah, maksudmu Mas Aji? Agaknya engkau sudah rindu sekali padanya, ya?"

   Neneng tersipu. Ia tersenyum dengan kedua pipi berubah kemerahan. Sulastri harus mengaku dalam hatinya betapa ayu manis bekas waranggana dari Sumedang ini. Tidaklah mengherankan kalau Mas Aji jatuh cinta padanya, pikirnya.

   "Ah, Lastri..... aku hanya teringat kepadanya. Sudah agak lama kami saling berpisah....."

   Sulastri bangkit lalu duduk bersila, menghadap ke arah Neneng.

   "Neng, akuilah terus terang. Kita sudah seperti saudara, bukan? Ingat, aku mengenal baik Mas Aji,..... sudah..... seperti saudara sendiri, bahkan dia adalah masih saudara seperguruanku. Katakanlah engkau benar-benar mencinta Mas Aji?"

   Neneng Salmah juga bangkit dan duduk menghadapi Sulastri. Matanya yang indah kini menatap wajah Sulastri dan biarpun tampak malu-malu, namun wajahnya berseri dan sinar matanya cerah.

   "Lastri, aku pernah mengaku kepadamu bahwa aku sungguh amat mencinta Kakangmas Lindu Aji. Aku mencintanya, aku memujanya, aku mengaguminya. Kalau saja dia sudi menerima, aku mau menjadi hambanya, menjadi budaknya, untuk mencucikan pakaiannya, memasakkan makanannya. Aku..... aku memujanya, Lastri, aku ingin selalu dekat dengannya, selalu melayaninya, aku ingin membahagiakannya, aku..... ah, aku..... akan tetapi aku seorang gadis hina, hanya seorang ledek dan dia..... ah, dia seorang pendekar, seorang ksatria, seorang pahlawan, aku begini rendah dan dia begitu tinggi.....

   "

   Gadis itu menggunakan punggung tangannya untuk menyeka beberapa butir air mata yang menuruni pipinya.

   Sulastri merasa hatinya seperti diremas. Ia juga mencinta Lindu Aji. Hal ini sekarang teringat olehnya. Sejak dulu sejak remaja, ia telah jatuh hati kepada Lindu Aji. Akan tetapi sekarang, mendengar pengakuan Neneng Salmah yang mencinta Aji sedemikian rupa, ia menjadi terharu dan juga menjadi gelisah dan bingung. Ia tidak dapat marah kepada Neneng, tidak dapat cemburu kepadanya. Ia terlalu menyayang gadis itu. Dan ia yakin benar gadis yang hebat, baik budi pekertinya, bijaksana, cantik jelita, lemah lembut. Seorang gadis pilihan, seorang seniwati tulen. Sudah sepantasnyalah kalau gadis sehebat ini menjadi calon isteri Lindu Aji! Akan tetapi Sulastri merasa hatinya tertusuk, pedih dan perih yang membuatnya hampir menjerit menangis. Akan tetapi ditahannya dan untung baginya bahwa sinar lampu di atas meja itu tidak cukup terang sehingga wajahnya yang berubah pucat itu tidak tampak oleh Neneng Salmah.

   "Hemm, jangan berkata begitu, Neng. Mas Aji adalah seorang yang bijaksana, tidak mungkin dia memandang rendah pekerjaanmu. Memang banyak waranggana yang tersesat dan menyeleweng daripada pekerjaannya sebagai seorang seniwati. Akan tetapi aku tahu bahwa engkau adalah seorang yang bersusila dan berbudi. Dan aku yakin mas Aji juga mengetahuinya."

   Neneng Salmah menghela napas panjang.

   "Mudah-mudahan apa yang kaukatakan itu benar, Lastri."

   Neneng lalu merebahkan diri kembali dan kini ialah yang melamun, melamunkan betapa akan bahagianya kalau pendapat Sulastri itu kelak menjadi kenyataan.

   Kini Sulastri juga merebahkan diri telentang dan melamun lagi. Kini ia melamunkan kenangannya ketika melakukan perjalanan bersama Lindu Aji. Pengalaman dan bahaya yang mereka hadapi bersama. Betapa pemuda itu membela dan melindunginya mati-matian. Juga kalau kini ia kenang kembali, ia dapat menangkap gerak-gerik pemuda itu, pandang matanya, senyumnya, kelembutan kata-katanya, semua itu membayangkan bahwa pemuda itu menyayanginya, mencintainya! Dan ia sendiri..... ia harus mengaku dalam hatinya bahwa ia juga amat tertarik, kagum dan sayang kepada pemuda itu. Ia tahu bahwa ia jatuh cinta kepda Lindu Aji.

   Mereka saling mencinta, walaupun tidak pernah terucapkan dalam kata-kata. semakin perih rasa hatinya kalau ia mengingat akan hal ini dan cepat-cepat ia mengalihkan perhatiannya dan lamunannya untuk mengenang Jatmika.

   Jatmika sudah jelas mencintanya, bahkan pemuda itu yang juga masih terhitung saudara sepeguruannya itu terang-terangan menyatakan cintanya dan hendak melamarnya kalau tugasnya sudah selesai! Jatmika juga seperti Lindu Aji, membela dan melindunginya dengan taruhan nyawa! Akan tetapi ketika ia mengamati hati sendiri, ia hanya mempunyai perasaan kagum dan suka kepada Jatmika. Ia tidak yakin apakah ia juga mencinta Jatmika. Neneng Salmah sudah tidur pulas. Hal ini diketahui Sulastri dari pernapasannya yang teratur dan panjang.

   Ia menengok dan tersenyum. Ia melihat gadis itu tidur miring menghadapinya dan tampak mulutnya yang mungil itu tersenyum manis dalam tidurnya. Mungkin ia sedang mimpi bertemu dengan Lindu Aji yang dicinta dan dipujanya! Sulastri mengalihkan lagi renungannya. Bermunculan bayangan-bayangan itu. Terbunuhnya Ki Ageng Pasisiran! Lalu terbayang wajah para pembunuhnya. Hasanudin yang pernah dijumpainya di pondok gurunya. dan wajah Banuseta yang pernah dilihatnya ketika ia dan Lindu Aji menjadi tawanan Nyi Maya Dewi dan teman-temannya. Kemudian ia teringat kepada Lindu Aji, Jatmika, juga Parmadi dan Muryani. mereka semua pergi untuk mencari para pembunuh Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat, juga mereka hendak membantu Mataram dalam perjuangannya melawan Kumpeni Belanda.

   Tiba-tiba saja ia menjadi bersemangat dan bangkit duduk. Ia mengerutkan alisnya. mengapa tidak? Bagaikan kilat sebuah gagasan memasuki benaknya. Mengapa ia diam saja? Iapun murid tersayang dari Ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit. Dan semenjak melakukan pejalanan dengan Lindu Aji yang menjadi senopati muda Mataram, berarti iapun sudah menjadi kawula Mataram yang membela Negara dan bangsanya. Ia telah berkali-kali bermusuhan dengan para antek Kumpeni! Mengapa ia tidak ikut seperti mereka, pegi ke barat, membantu gerakan pasukan Mataram yang hendak menyerbu Jayakarta? Dan dalam perjalanan yang searah itu besar sekali kemungkinan ia akan bertemu dengan Lindu Aji, Jatmika, juga dengan Parmadi dan Muryani. Kalau sudah bertemu mereka, terutama bertemu Lindu Aji dan Jatmika, baru ia dapat mengambil keputusan tentang Cinta segi tiga antara Lindu Aji, Neneng Salmah dan ia sendiri!

   "Aku harus pergi menyusul mereka, harus membantu Mataram. Harus.....!"

   Ia berbisik dan mengepal tinju membulatkan tekadnya.

   Akan tetapi, tiba-tiba ia tampak lesu dan kepalan tangannya terbuka lagi. Ia menghela napas panjang berulang kali. Ia teringat kepada ibunya. Ibunya sudah pasti keberatan dan tidak akan mengijinkan kalau berpamit untuk pergi membantu Mataram. Baru saja pulih ingatannya. Baru saja ibunya seolah menemukan ia kembali dan baru beberapa hari saja ia sudah berpamit hendak pergi. Pasti ibunya akan melarangnya dan ia merasa tidak tega kalau membantah ibunya. Sulastri menjadi bimbang. Akan tetapi tiba-tiba ia memandang kepada Neneng Salmah yang masih tidur pulas dan senyum mengembang di bibirnya, matanya bersinar kembali dan wajahnya menjadi cerah. Ah, di sini ada Neneng, pikirnya dan ia tahu, Neneng adalah seorang gadis yang amat baik dan menyayang ibunya, juga disayang ibunya. Kalau ia pergi, setidaknya di situ ada Neneng yang menemani ibunya! Sulastri mulai berkemas dengan gerakan perlahan agar jangan sampai menggugah Neneng Salmah.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, pada saat terdengar keruyuk jago (ayam jantan) menyambut munculnya sinar fajar, seperti biasa Neneng Salmah terbangun dari tidurnya. Ia bangkit duduk, menggeliat, menguap dan mengusir sisa kantuknya, lalu ia bangkit berdiri. Ia menoleh dan melihat pembaringan Sulastri kosong. Ah, rajin benar, sepagi ini sudah keluar kamar, pikirnya sambil tersenyum. Kasihan sibuk sendiri, mungkin sedang memasak air di dapur, harus kubantu!

   Neneng bergegas menuju dapur. Akan tetapi tidak ada Sulastri di situ, bahkan belum ada nyala api untuk memasak air. Menyapu di pekarangan? Ia cepat keluar. akan tetapi di pekarangan juga tidak ada Sulastri, masih sunyi, hanya terdengar suara sapu lidi membersihkan pekarangan di rumah tetangga. Apakah mandi sepagi ini? Tak mungkin sepagi ini pergi ke sungai. Mungkin mencuci muka saja dibelakang, di mana memang disediakan sebuah gentung air besar. Ia segera berlari ke belakang lagi. Akan tetapi kamar mandi kecil itupun kosong, Sulastri tidak berada di situ. Suasana masih sepi. Yang terdengar hanya keruyuk ayam jago dan suara sapi menguak dan kambing mengembik. Sulastri tidak ada dimana-mana.

   Tiba-tiba Neneng Salmah terkejut karena ia teringat betapa pintu samping yang menghubungkan rumah dengan pelataran samping tadi, ketika ia melewatinya dan keluar, tidak terkunci, hanya ditutupkan begitu saja! Hal ini berarti bahwa dari dalam rumah sudah ada yang keluar sebelum dia. Ke manakah perginya Sulastri sepagi ini? Pakaian kotor dalam keranjang masih terletak di ruang belakang, berarti Sulastri belum pergi mencuci pakaian dan mandi di sungai. Dengan jantung mulai berdebar tegang, Neneng Salmah kembali ke kamarnya.

   Masih gelap di kamar, hanya remang-remang. Lampu di atas meja telah dipadamkan dan sinar matahari fajar masih terlampau lemah. Ia segera menyalakan lampu dan memandang ke sekeliling kamar. Pembaringan Sulastri tampak rapi, tidak kusut, berarti memang sudah dirapikan. Akan tetapi tidak tampak ada pakaian di gantungan pakaian, juga..... di sini jantungnya semakin berdebar, Pedang pusaka Naga Wilis yang biasa tergantung di dinding, di atas pembaringan Sulastri, tidak tampak lagi! Dengan cepat Neneng berlari menghampiri peti pakaian. Dibukanya dan ia terbelalak. Pakaian Sulastri tidak berada di situ! Ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa Sulastri telah pergi. Neneng Salmah mencari-cari dengan pandang matanya dan ia melihat sebuah corat-coret di atas meja. Tadi ketika ia menyalakan lampu, ia tidak melihat ini. Ia menghampiri meja dan di situ jelas terdapat coretan-coretan pendek.

   "Aku pergi berjuang. Mintakan maaf kepada ibu!"

   Neneng Salmah terbelalak. Tak dapat diragukan lagi. Sulastri tentu telah pergi mengejar Parmadi dan Muryani, yaitu untuk mencari pembunuh gurunya dan juga untuk membantu Mataram menghadapi Kumpeni! Ia berlari ke kamar Ki Subali dan mengetuk daun pintu kamar itu.

   "Tok-tok-tok! Paman.....! Bibi.....! Bangunlah.....!"

   Ia mengetuk lagi dan Nyi Subali yang membukakan daun pintu.

   "Siapa itu? Ah, Neneng, ada apakah?"

   Ki Subali juga menhampiri pintu.

   "Paman, bibi, maafkan kalau saya mengganggu. Saya..... saya.....

   "

   "Neneng, ada apakah? Kenapa engkau begini gugup? Apa yang terjadi?"

   Tanya Nyi Subali sambil memegang lengan gadis itu.

   "Bibi, sulastri..... ia..... ia pergi malam tadi ketika aku tidur.....

   "

   "Pergi? Ke mana?"

   Tanya Ki Subali.

   "Mana ia? Mana anakku Sulastri?"

   Nyi subali mengguncang tangan Neneng.

   "Tenanglah, paman dan bibi. Mari ikut saya ke kamar."

   Neneng mengajak mereka.

   "Tenanglah, bune, bagaimanapun juga, Lastri bukan anak kecil dan kini engatannya telah sembuh."

   Ki Subali menghibur isterinya yang mulai menangis. mereka mengikuti Neneng pergi ke kamar yang menjadi kamar dua orang gadis itu. Sebuah daun pintu terbuka dan Ki Salmun muncul. Dia sudah terbangun dan keluar ketika mendengar suara ribut-ribut itu.

   "Ada apakah?"

   "Sstt, bapa, mari ikut dan bapa akan mengerti."

   Kata Neneng perlahan. Ki Salmun juga mengikutinya. Empat orang itu memasuki kamar yang lampu mejanya masih menyala.

   "Ketika bangun pagi-pagi tadi, saya tidak melihat Lastri. Sudah saya cari kemana-mana tidak ada dan pakaiannya juga tidak ada. pedang Naga Wilis juga tidak ada dan saya menemukan tulisan ini di atas meja."

   Neneng menunjuk ke arah cotretan-coretan huruf yang agaknya dibuat dengan goresan pedang di atas meja itu. Ki Subali mendekat dan membaca agak keras agar isterinya yang tidak pandai membaca dapat mendengarkan.

   "Aku pergi berjuang. Mintakan maaf kepada ibu!"

   Dia membaca dan ketika dia berhenti membaca, terdengar tangis Nyi Subali.

   "Aduh, nakku Sulastri..... ke mana lagi engkau pergi.....

   "

   Ibu ini mengeluh, Neneng Salmah merangkulnya dan menuntunnya duduk di atas pembaringan Sulastri.

   "Bibi, harap bibi jangan khawatir. Sulastri tentu pergi menyusul Kakangmas Permadi dan Mbakayu muryani, juga ia tentu akan bertemu dengan Kakangmas lindu aji dan Kakangmas Jatmika dan bersama mereka berjuang membantu Mataram menghadapi Kumpeni. Sulastri adalah seorang yang sakti mandraguna, bibi, harap bibi tenangkan hati."

   Neneng Salmah menghibur.

   "Apa yang dikatakan Neneng itu benar, bune. Sudahlah, jangan menangis. Anak kita melakukan tugas yang suci, membela Negara dan bangsa, Kita patut merasa bangga dan mari kita doakan saja agar Gusti Allah selalu melindunginya."

   Kata Ki Subali.

   Setelah dihibur oleh suaminya dan terutama oleh Neneng Salmah yang sudah dianggap seperti anak sendiri, Nyi Subali lambat laun dapat merelakan kepergian Sulastri. Beberapa hari kemudian ia telah tenang dan pulih kembali.

   Sultan Agung di mataram memang merasa penasaran sekali setelah setahun yang lalu serangan pertamanya ke Batavia gagal dan dia kehilangan banyak perajurit dan senopati. Karena itu, setahun lebih kemudian setelah kekalahan itu, dia menyusun lagi kekuatan yang lebih besar untuk mengirim bala tentara ke Batavia dan menyerang pertahanan Kumpeni Belanda. Sesungguhnya, Belanda inilah yang menjadi sasaran utamanya untuk dimusuhi karena dia mengerti bahwa Kumpeni merupakan ancaman besar bagi negara dan bangsanya. Belanda memiliki kapal-kapal perang yang besar, lengkap dengan meriam-meriam besarnya, dan walaupun pasukannya tidak berapa besar namun pasukan itu diperkuat dengan meriam-meriam, granat dan bahan peledak lain termasuk bedil-bedil yang dapat membunuh orang dari jarak jauh.

   Untuk keperluan penyerbuan kepada Kumpeni inilah Sultan Agung mempersatukan seluruh daerah sebelah barat sampai ke timur Nusa Jawa, kalau perlu dengan kekerasan sehingga semua daerah tunduk dan dapat dipersatukan guna menghimpun pasukan besar. Pada suatu hari Sultan Agung mengumpulkan seluruh senopati dan adipati dan mengangkat para adipati dan senopati untuk memimpin bala tentara menyerang Batavia. Karena itu merupakan penyerangan kedua, Sultan Agung tidak ingin serangannya gagal dan dia mengangkat orang-orang yang sungguh-sungguh dapat dipercaya akan dapat memberi semangat kepada semua perajurit. Dia mengangkat tiga orang bangsawan untuk menjadi pimpinan.

   Pertama-tama dia mengangkat Kyai Adipati Jumina untuk memimpin barisan yang datang menyerang dari arah barat. Orang kedua adalah Kyai Adipati Puger yang memimpin pasukan yang menyerang dari arah selatan. Kedua bangsawan ini adalah pamannya sendiri, saudara dari mendiang Panembahan Seda Krapyak. Adapun orang ketiga adalah adiknya sendiri, yaitu Adipati Purbaya.

   Tentu saja tiga orang bangsawan ini hanya untuk memberi semanat saja kepada para perajurit dan yang betul-betul memimpin pasukan adalah para pembantu mereka. Adipati Jumina diabntu oleh Tumenggung Singoranu dan Raden Arya Wira Natapada yang mengepalai beberapa orang Senopati muda Mataram. Sedangkan Adipati Puger dibantu oleh Adipati Singenep (Sumenep) dan Tumenggung Madiun.

   Adipati Pubaya memimpin pasukan khusus datang menyerang dari arah timur, dibantu beberapa orang Senopati. Diantara para panglima yang membantunya terdapat Dipati Ukur, adipati yang diangkat oleh Sultan Agung untuk menjadi wakilnya di Jawa Barat. Pasukan-pasukan dari daerah banyak yang memperkuat barisan Mataram, diantaranya dari Surabaya, Pasuruan, Kediri, Wonosobo, Ponorogo, Madiun, Sampang dan bahkan juga Dipati Ukur sudah siap membantu dengan pasukannya dari Sumedang yang sudah menanti di daerah itu untuk bergabung kalau Mataram lewat.

   Mataram mengerahkan tenaganya. meriam-meriam yang dulu didapatkan melalui perdagangan hasil bumi dari orang-orang Portugis dan juga dari Belanda sendiri, diangkut untuk memperkuat pasukan Mataram. Banyak pula perajurit yang membawa bedil, walaupun senjata-senjata api itu model kuna dan jauh ketinggalan jaman kalau dibandingkan dengan persenjataan Kumpeni Belanda. Semangat para perajurit menggebu-gebu, terutama sekali karena kali ini yang memimpin mereka adalah tiga orang keluarga dekat Sultan Agung sendiri!

   Akan tetapi di jaman apapun, dalam suatu perjuangan selain bermunculan para pendekar, pahlawan patriot bangsa, sebagai bandingannya muncul pula pengkhianat bangsa yang rela menjadi antek musuh. Belanda amat pandai membujuk orang-orang pandai yang jiwanya lemah untuk menjadi telik sandi mereka, Bahkan banyak yang rela membantu mereka melawan Mataram. Juga Belanda pandai menggunakan taktik mengadu domba, memecah belah, dengan omongan manis dan menjatuhkan hati mereka dengan pengaruh harta, wanita, atau tahta (kedudukan).

   Demikianlah jauh hari sebelum balatentara Mataram bergerak ke barat untuk menyerang Batavia. Kumpeni telah mendengar dari para telik sandi (mata-mata) mereka. Tentu saja mereka telah membuat persiapan sebaiknya, memperkuat diri dan bukan itu saja, mereka juga mengetahui akan kelemahan-kelemahan Mataram. Kelemahan ini selain dalam persenjataan, juga terutama sekali tentang penyediaan ransum.

   Daerah-daerah sekeliling Jayakarta sudah dipengaruhi oleh Kumpeni Belanda yang seolah menyebar kemakmuran sehingga rakyatnya bersifat tak acuh terhadap perjuangan Mataram mengusir Belanda. Mereka menganggap Belanda sebagai sahabat dalam perdagangan yang menguntungkan rakyat. Karena itu, balatentara Mataram jelas tidak memperoleh dukungan penyediaan ransum dari rakyat sekitar daerah Jayakarta. Demikian pula kerajaan Banten tidak mendukung Mataram dan seolah tidak ingin mencampuri permusuhan antara Mataram melawan Kumpeni.

   Langkah penting yang dilakukan Jenderal Jan Pieters Zoon Coen dalam melemahkan balatentara yang mengancam itu adalah menghancurkan gudang-gudang ransum (beras dan padi) yang diadakan Mataram sebagai persediaan bagi balatentaranya. Suatu malam di Tegal. Sejak sebulan yang lalu, orang-orang membawa beras dan padi ke sebuah gudang besar yang dibangun di kadipaten itu, Mataram mendirikan gudang ransum yang besar di kadipaten tegal.

   Seorang laki-laki tinggi besar mondar mandir di depan gudang itu. Beberapa kali dia mendekat ke pintu gudang yang lebar dan memandang ke dalam gudang di mana ratusan karung beras dan beberapa gunungan padi bertumpuk-tumpuk. Setelah gudang itu penuh dengan ransum yang ditumpuk selama kurang lebih sebulan itu semua pekerja keluar dan daun pintu ditutup. Ada lima orang tetap menjaga di pintu gudang. Laki-laki tinggi besar itu menemui seorang diantara pekerja dan bertanya perlahan.

   "Sudah penuhkah?"

   "Sudah."

   Jawab pekerja yang bertubuh pendek gendut itu.

   "Penjaganya hanya lima orang itu?"

   "Ya."

   Tanya jawab singkat ini dilakukan sambil berjalan berdampingan dengan suara berbisik.

   "Tengah malam nanti."

   Kata laki-laki tinggi besar itu ketika mereka hendak berpisah. Dua orang itu sama sekali tidak menyadari bahwa sejak tadi gerak gerik si tinggi besar, dari mulai dia mondar mandir di depan gudang, sampai dia bertemu dan bicara dengan pekerja gemuk pendek itu, selalu dibayangi, diawasi dan didengarkan oleh seorang pemuda. Pemuda itu adalah Jatmika.

   Seperti telah diceritakan di bagian depan, Jatmika mengantar Eulis atau Sulastri ke rumah orang tuanya di S Dermayu, lalu dia pergi meninggalkan Dermayu untuk mencari para pembunuh ayah dan kakeknya. Disamping itu dia juga ingin membantu Mataram yang dia dengar hendak mengulang usahanya setahun yang lalu menyerang Kumpeni di Jayakarta. Ketika keluar dari Dermayu dia bingung karena tidak tahu ke mana harus mencari para pembunuh ayah dan kakeknya, terutama sekali Hasanudin dan Banuseta seperti yang dicritakan Aji kepadanya. Akan tetapi dia teringat akan cerita Aji bahwa Raden Banuseta yang memimpin pasukan Kumpeni menyerang ke padepokan eyangnya itu pernah menawan Aji dan Sulastri dan membawa mereka ke Tegal!

   Siapa tahu dia akan dapat menemukan Banuseta dan Hasanudin di sana. Pikiran inilah yang membawa dia ke Tegal dan di kadipaten ini dia menyaksikan kesibukan orang-orang yang mengumpulkan ransum ke dalam sebuah gudang besar. Kerika mendengar bahwa penumpukan ransum ini untuk keperluan balatentara Mataram, Jatmika merasa bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk ikut mengawasi dan mengamat-amati kalau-kalau akan terjadi gangguan pihak musuh terutama sekali kalau-kalau akan muncul Banuseta dan Hasanudin. Dia melakukan penjagaan secara diam-diam dan pada malam itu dia melakukan pengamatan sampai gudang itu penuh dan ditinggalkan para pekerja. Dalam kegiatan inilah dia melihat laki-laki tinggi besar itu dan merasa curiga lalu mengintainya dan mendengarkan percakapan antara laki-laki tinggi besar itu dengan seorang diantara pekerja. Tentu saja di merasa curiga dan diam-diam membayangi laki-laki tinggi besar itu.

   Laki-laki itu memasuki sebuah rumah. Jatmika dengan hati-hati memasuki pekarangan rumah itu dengan cara melompati pagar samping. Dia sama sekali tidak tahu bahwa di Tegal berkeliaran banyak mata-mata Kumpeni dan ketika dia membayangi tadi, dia ketahuan oleh seorang mata-mata lain yang diam-diam memberi isyarat ketika berpapasan dengan laki-laki tinggi besar sehingga mata-mata ini sudah mengetahui bahwa dia dibayangi orang! Di dalam rumah, laki-laki itu disambut oleh Ki Harya Baka Wulung, Nyi Maya Dewi dan seorang raksasa kulit putih yang bukan lain adalah Hendrik De Haan, jagoan anak buah Kapten De Vos! Mereka lalu berbisik-bisik mengatur siasat ketika laki-laki tinggi besar itu menceritakan tentang gudang ransum yang sudah penuh dan tentang orang yang membayanginya.

   "Hemm, biar aku yang membereskan orang itu. Tentu dia telik sandi Mataram. Engkau, Nyi Maya Dewi, dan tuan Hendrik De Haan, lanjutkan rencana kita. Malam ini juga gudang itu harus dibakar habis. Wira, kau pancing telik sandi Mataram itu keluar kota sebelah selatan. Aku yang akan membunuhnya!"

   Mereka mengatur siasat. Maya Dewi dan Hendrik bersiap-siap. Mata-mata tinggi besar yang bernama Wira itu lalu keluar dari rumah dan berjalan menuju ke selatan. Jatmika yang mengintai tak melihat petemuan tadi karena mereka melakukannya di ruangan tertutup. Ketika Jatmika melihat orang yang dibayangi itu keluar rumah itu, diapun segera membayangi. Orang itu ternyata keluar kota menuju ke selatan. Malam itu bulan yang hampir bulat terang sekali sehingga dengan mudah Jatmika dapat membayangi Wira. Akan tetapi setelah tiba di jalan yang sunyi, Wira berhenti, memutar tubuh dan berseru galak.

   "Hei, pengecut! Mau apa engkau mengikutiku? Kalau berani ke sinilah!"

   Jatmika terkejut. Kiranya orang itu sudah tahu bahwa dia membayangi. Dia lalu Melompat keluar dari balik pohon dan menghampiri orang itu.

   "Kisanak, andika memata-matai penyimpanan ransum di gudang itu! Siapa andika dan apa maumu?"

   Bentak Jatmika.

   Akan tetapi Wira malah mencabut goloknya dan membentak.

   "Engkau telik sandi Mataram, mampuslah!"

   Goloknya berkelebat menyambar.

   "Wusss.....!"

   Dengan mudah saja Jatmika mengelak ke samping lalu secepat kilat menyambar tangan kirinya bergerak ke arah lengan lawan yang memegang golok.

   "Krekk.....!"

   Wira menjerit, goloknya terlepas dari pegangan dan lengan kanannya terkulai, tulangnya patah! Jatmika melanjutkan gerakannya, kaki kanannya menyambar.

   "Wuuuttt..... krakk!"

   Wira mengaduh lagi dan terpelanting roboh, kaki kirinya terkena tendangan dan tulang betisnya juga patah! Dia mengaduh-aduh, meggunakan tangan kiri untuk memijit-mijit lengan kanan dan kaki kiri bergantian yang dirasa amat nyeri.

   Pada saat itu terdengar bentakan nyaring dan menyeramkan, seperti suara binatang buas atau setan.

   "Aurrgghh !!"

   Angin pukulan dahsyat menyambar dari belakang. Jatmika terkejut, mengenal aji pukulan ampuh sekali. Dia cepat memutar tubuhnya dan tangan kanannya membuat gerakan berputar untuk menangkis pukulan dahsyat itu.

   "Wuuuttt..... blarrr !"

   Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu dan tanah sekitar tempat itu seperti tergetar!

   Ki Harya Baka Wulung terkejut bukan main. Tak disangkanya sama sekali kalau orang yang dicurigai sebagai telik sandi Mataram ini demikian kuatnya sehingga mampu menangkis pukulan mautnya! Di lain pihak, Jatmika juga terkejut. Ternyata penyerangnya, seorang kakek seperti raksasa brewok dan kuat bukan main sehingga ketika tangan mereka saling bertemu, tubuhnya tergetar hebat. Dua orang itu kini berdiri saling berhadapan dengan sikap hati-hati.

   "Siapa engkau?"

   Tanya Harya Baka Wulung.

   "Namaku jatmika. dan andika siapa? Mengapa menyerangku?"

   "Engkau tentu telik sandi mataram!"

   "Dan andika tentu mata-mata Kumpeni Belanda! Tak tahu malu menjadi antek musuh Negara dan bangsa!"

   "Babo-babo, keparat Jatmika! Aku sejak dulu adalah musuh besar Mataram!"

   Setelah berkata demikian tiba-tiba kakek itu membuat gerakan berjongkok lalu mendorongkan kedua tangannya ke arah Jatmika, dari perutnya yang gendut, melalui mulut, mengeluarkan suara berkokok seperti bunyi katak budug yang besar.

   "Kok-kok-kok..... wuuuttt.....!!"

   Itulah Aji Cantuka Sakti yang amat dahsyat. Jatmika cepat membuat gerakan mengelak dan menangkis dari samping. Biarpun dia tidak menerima pukulan telak, tetap saja tenaga getaran Aji Cantuka Sakti itu membuat dia terhuyung!

   "Mampus kau!"

   Harya Baka Wulung mengulangi serangannya.

   "Kok-kok-kok..... wus!"

   Karena kini dia tahu betapa kuat dan berbahayanya aji pukulan lawan itu, Jatmika tidak mau sembarangan menangkis melainkan cepat menghindar dengan elakan cepat.

   Harya Baka Wulung menjadi penasaran sekali karena pukulannya selalu dielakkan dan lawannya yang masih muda itu ternyata gesit bukan main. Dia lalu mencabut kerisnya yang besar panjang berluk sembilan dan menerjang maju sambil berteriak panjang.

   "Haaaiiik.....!"

   Keris itu meluncur dan menusuk ke arah dada Jatmika.

   "Cringgg..... tranggg.....!!"

   Ternyata Jatmika dapat bergerak. Dia tadi sudah mencabut pula senjatanya Kyai Cubruk, yaitu kerisnya yang bergagang kayu cendana dan berpamor emas itu, lalu menangkis. Dua kali dua batang keris itu bertemu dan bunga api berpijar menyilaukan mata.

   Harya Baka Wulung menggereng dan tangan kirinya bergerak mendorong. Tampak asap hitam meluncur dari telapak tangannya. Itulah Aji Kukus Langking (Asap Hitam). Jatmika terkejut dan melompat ke samping menghindar. Akan tetapi kakek itu mengejar dengan serangan kerisnya. Demikianlah, Jatmika terdesak oleh serangan keris dan pukulan berasap hitam yang datangnya bertubi secara bergantian itu.

   Masih untung baginya bahwa Ki Harya Baka Wulung kini sudah tua, usianya sudah kurang lebih tujuh puluh tahun, gerakannya kurang gesit sehingga Jatmika yang lebih gesit dapat menghindarkan diri dari desakan kakek itu. namun tetap saja dia terdesak terus karena dia masih kalah kuat dalam hal tenaga sakti.

   "Haaaiiitt !!"

   Kembali keris kakek itu menyambar disusul pukulan berasap hitam. Jatmika yang sudah terdesak terpaksa menyambut pukulan itu dengan Aji margopati.

   "Wuuuttt..... dess !!"

   Tubuh Jatmika terjengkang ke belakang akan tetapi pemuda itu dapat bergulingan sehingga tidak sampai terbanting. Tiba-tiba ada tangan menangkap lengannya.

   "Kakangmas Jatmika, engkau tidak terluka?"

   Tanya seorang wanita.

   Jatmika melompat berdiri.

   "Eulis.....!"

   "Namaku Sulastri, kakang!"

   Kata Sulastri lalu menuding ke arah kakek yang memandang kepada mereka dengan marah.

   "Dia itu adalah Ki Harya Baka Wulung yang dulu pernah kulawan bersama Mas Aji. Hayo kita basmi antek Belanda ini! Kita persatukan Aji Margopati!"

   Sementara, melihat Sulastri, Ki Harya Baka Wulung teringat dan dia menjadi marah akan tetapi juga terkejut sekali karena dia ingat betapa gadis itu dahulu mempunyai kawan, yaitu Lindu Aji yang amat sakti mandraguna sehingga dia sendiri kewalahan melawannya, jangan-jangan Lindu Aji juga ikut datang! Maka, dalam usahanya menyelamatkan diri, dia mendahului dan sambil berteriak keras dia menerjang ke arah dua orang muda itu dengan keris dan pukulan mautnya!

   Kerisnya menghunjam ke arah Jatmika dan pukulan tangan kirinya menyambar ke arah kepala Sulastri. Dua orang muda itu cepat melompat ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan oleh harya Baka Wulung untuk verusaha melarikan diri. Akan tetapi Sulastri dudah nebduga akan hal ini. Gadis ini sudah mencabut pedang Naga Wilis dan ia melompat dengan amat cepatnya, menghadang di depan Harya Baka Wulung dan pedang pusakanya menyambar, berubah

   menjadi sinar hijau.

   "Tua Bangka jahat, hendak lari kemana engkau?"

   Gerakan serangan Sulastri amat cepatnya sehingga kakek itu tak sempat mengelak dan terpaksa menggunakan kerisnya untuk menangkis.

   "Tranggg.....!!"

   Bunga api berpijar dan Sulastri terhuyung ke belakang. Akan tetapi Harya Baka Wulung tak sempat melarikan diri karena pada saat itu Jatmika sudah menyerangnya dengan keris Kyai Cubruk. Ketika Harya Baka Wulung mengelak, Sulastri sudah menyerang lagi dan kakek itu dikeroyok dua. Tiba-tiba kakek itu, membanting sebuah benda ke atas tanah dan terdengar suara ledakan lalu asap hitam mengepul tebal. Jatmika dan Sulastri berloncatan menghindar. Akan tetapi kakek itu sudah lenyap.

   "Wah, dia sudah pergi, si keparat!"

   Seru Sulastri.

   "Celaka, di sana ada kebakaran!"

   Jatmika menuding ke utara, ke arah kadipaten Tegal. Sulastri menengok dan benar saja, tampak api dan asap membubung tinggi, tanda bahwa di sana terjadi kebakaran besar. Tiada waktu lagi untuk bercakap-cakap. Jatmika berkata dan menarik tangan Sulastri.

   "Mari cepat. Agaknya gudang ransum Mataram dibakar!"

   Mereka mengguakan ilmu berlari cepat seperti terbang menuju ke kota. Setelah mereka tiba di depan gedung ransum itu, benar saja dugaan Jatmika. Yang terbakar adalah gudang ransum itu. Api bernyala di dalam gudang, besar sekali sampai tinggi. Melihat keadaannya Jatmika maklum bahwa tak mungkin gudang dan isinya itu diselamatkan lagi.

   "Kakangmas Jatmika, hayo kita cari mereka!"

   "Eh, siapa? Di mana?"

   "Iblis-iblis mata-mata Kumpeni itu. Aku tahu di mana sarang mereka! Hayo!"

   Sulastri berlari diikuti oleh Jatmika dan gadis itu menuju ke rumah Ki Warga di mana ia dan Lindu Aji dahulu pernah menjadi tawanan para mata-mata Belanda dan bermalam di situ. Sulastri memberi isyarat dan mereka berindap indap mengintai ke dalam rumah itu. Ada suara orang terdengar di ruangan belakang dari mana tampak sinar penerangan sedangkan ruangan lain gelap saja. Mereka berhasil mengintai dari luar jendela ke dalam ruangan yang luas. Dua buah lampu gantung besar menerangi ruangan itu. Di dalam ruangan itu duduk tiga orang menghadapi sebuah meja yang penuh makanan dan botol-botol minuman.

   Di meja lain yang lebih besar duduk pula belasan terdiri dari tiga orang kulit putih dan empat orang pribumi. Tampaknya mereka itu seperti perajurit dan tukang-tukang pukul. Sulastri segera mengenal tiga orang itu. Mereka adalah Ki Warga, Nyi Maya Dewi dan Hendrik De Haan! Melihat mereka, panas rasa hati Sulastri. Akan tetapi ia masih menahan kemarahannya dan mendengarkan percakapan mereka. Agaknya karena mereka ercakap-cakap sambil makan minum, maka mereka tidak tahu bahwa ada dua orang yang mengintai dari luar jendela. Bahkan Maya Dewi yang sakti itupun tidak tahu. Agaknya ia lengah karena mereka tampak sedang bergembira sekali. Mereka makan minum sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa.

   "Ki Warga, sekali ini pekerjaanku berhasil baik sekali!"

   Kata Maya dewi sambil tersenyum cerah dan manis.

   "Andika harus melaporkan jasaku ke Batavia!"

   "Ha-ha, ingat aku juga ikut berjasa, Dewi!"

   Kata siraksasa Hendrik De Haan dengan bahasa daerah yang campur-campur bahasa melayu dan belanda.

"Aku yang membakar gudang itu setelah menyirami dengan minyak!"

   "Hemm, akan tetapi aku yang lebih dulu membunuh lima orang penjaga itu!"

   Kata Maya Dewi.

   Dari meja lain, seorang pribumi berkata.

   "Kami juga bekerja. Kita semua berjasa!"

   Ki Warga mengangguk-angguk.

   "Tentu saja, aku akan membuat laporan kepada atasan. Kalian semua pasti akan memperoleh hadiah besar. Mari kita rayakan keberhasilan ini! Mari kita minum sepuasnya!"

   Sulastri tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia memberi isyarat kepada Jatmika dengan senruhan pada tanan pemuda itu, lalu ia membentak sambil melompat dan mendorong daun jendela.

   "Antek Kumpeni keparat!! Braakkk!"

   Tubuhnya meloncat ke dalam ruangan itu melalui jendela yang sudah terbuka, diikuti oleh Jatmika. Tentu saja semua orang dalam ruangan itu terkejut sekali dan tujuh orang perajurit dan tukang pukul yang berada terdekat dengan Sulastri dan Jatmika segera bangkit berdiri. Seorang serdadu Belanda mengambil bedilnya yang dia sandarkan di dekatnya. Akan tetapi sinar hijau dari pedang Naga Wilis menyambar dan serdadu itu berteriak dan roboh mandi darah. Dua orang serdadu lainnya mencabut pistol mereka dan membidik ke arah Sulastri dan Jatmika. Akan tetapi secepat kilat dua orang pendekar itu telah menangkap dua orang tukang pukul.

   "Dar-dar.....!!"

   Dua orang yang ditangkap Sulastri dan Jatmika yang dijadikan perisai nenerima peluru-peluru itu dan mereka tersentak dan tewas seketika. Sulastri dan Jatmika melemparkan mayat-mayat itu ke arah dua orang serdadu tang menembak. Dua orang serdadu tertumbuk dan terjengkang dan sebelum mereka dapat bangkit kembali, pedang Naga wilis dan keris Kyai Cubruk sudah meluncur dan dua orang serdadu Belanda tewas seketika.

   Dua orang tukang pukul menjadi ketakutan melihat betapa dalam waktu cepatnya tiga orang serdadu Belanda yang bersenjata api telah terbunuh, demikian pula dua orang rekan mereka! Sementara itu, Maya Dewi dan Hendrik De Haan juga sudah mengenal Sulastri, maka mereka terkejut tapi marah sekali melihat betapa dua orang muda itu telah menewaskan lima orang anak buah mereka. juga Ki Warga terkejut bukan main.

   Maya Dewi dan Hendrik De Haan cepat melompat dari kursi mereka sedangkan Ki Warga diam-diam berlari keluar dari ruangan, Maya Dewi melolos sabuk Cinde Kencono sedangkan Hendrik De Haan sudah mencabut pistolnya. Raksasa bule ini cepat menembakkan pistolnya ke arah Jatmika.

   "Dar-dar.....!"

   Akan tetapi Jatmika melempar tubuh ke samping lalu bergulingan dan sambil bergulingan dia melontarkan keris pusakanya ke arah tangan Hendrik yang memegang pistol itu.

   "Dor..... trang..... ahh!"

   Tembakan ketiga kali inipun luput dan tiba-tiba keris itu menyambar dan mengenai tangan Hendrik yang mengaduh dan pistolnya terlempar bersama keris. Dia menjadi marah dan sudah menerkam kepada Jatmika dengan pukulan tangannya yang besar dan kuat. Akan tetapi Jatmika menangkis dan membalas. Dua orang itu segera saling serang dengan seru.

   Nyi Maya Dewi juga sudah menyerang Sulastri dengan sabuk Cinde Kencana. Sabuk yang berwarna kuning emas itu berubah menjadi sinar bergumung-gulung yang menyambar ke arah Sulastri dengan suara meledak-ledak. Namun Sulastri yang maklum akan kesaktian wanita ini, juga memutar pedangnya yang membentuk sinar kehijauan seperti payung atau perisai yang melindungi dirinya. Juga ia berusaha membalas dengan gigih.

   Dua orang sisa anak buah yang tadinya ketakutan kini menjadi nekat ketika melihat dua orang pimpinan mereka sudah saling serang dengan dua orang muda itu. Seorang mencoba untuk membantu Nyi Maya Dewi dan seorang lagi membantu Hendrik De Haan dengan golok mereka. Akan tetapi dalam waktu beberapa detik saja kedua orang anak buah itu sudah roboh oleh pukulan Margopati tangan Jatmika dan sambaran sinar pedang hijau di tangan Sulastri.

   Betapapun besar tenaga kasar Hendrik dan betapa kuatpun tubuhnya, dia kewalahan menghadapi Jatmika yang bergerak denngan gerakan Aji Sonya Hasta dan kalau memukul menggunakan tenaga Aji Margopati. Beberapa kali dia terkena pukulan Margopati dan biarpun dia masih dapat bertahan, namun sesungguhnya dia sudah terluka dalam, tenaganya mulai berkurang. Ketika Hendrik menyerang dengan kedua tangan, hendak menangkap lawan, Jatmika mengelak. Dia tahu bahwa kalau sampai dia tertangkap dua buah tangan yang panjang besar dan amat kuat itu, dia terancam bahaya maut. Akan tetapi ternyata serangan dahsyat tadi hanya berupa gertakan saja karena tiba-tiba Hendrik sudah berlari ke sudut ruangan dimana menggeletak pistolnya yang tadi terlempar ke sana.

   Akan tetapi cepat sekali tubuh Jatmika sudah melesat bagaikan kilat mengejarnya dan pemuda perkasa ini sudah lebih dulu mengambil pistol itu. Selama hidupnya Jatmika belum pernah memegang pistol, apa lagi menembak. Akan tetapi dia pernah mendengar tentang senjata api itu dan dapat mengira-ngira bagaimana menarik pelatuknya untuk menembak. Dia membidik ke arah Hendrik yang masih bergerak untuk merampas pistol dan menarik pelatuknya dengan jari telunjuk.

   "Darr.....!!"

   Pistol itu menendang sehingga jatmika terkejut dan melemparkannya ke arah Hendrik. Akan tetapi dia melihat Hendrik terjengkang sambil mendekap dadanya dan roboh tak bergerak lagi. Jatmika lalu mengambil kerisnya Kyai Cubruk menggeletak tak jauh dari situ. Kemudian dia melompat dan membantu Sulastri yang terdesak oleh sabuk Cinde Kencono Nyi Maya Dewi yang meledak-ledak itu.

   "Hyaahh !!"

   Jatmika menyerang dengan pukulan margopati yang dilakukan dengan tangan kirinya.

   "Haaiitt !!"

   Sulastri yang tadinya terdesak, bahkan pundaknya sudah terkena lecutan ujung sabuk lawan dan terluka, kini berbesar hati dan ia juga menyerang dengan Aji Margopati.

   Diserang dari depan dan dari kiri itu, Maya Dewi terkejut bukan main. Apalagi ia dapat merasakan bahwa tenaga pukulan pemuda itu bahkan lebih kuat dibandingkan pukulan Sulastri. Ia cepat mengelak dengan lompatan ke belakang.

   Ketika dua orang pengeroyoknya mendesak dengan senjata pedang dan keris, Maya Dewi memutar sabuknya untuk melindungi dirinya dan tiba-tiba tubuhnya melompat tinggi! Sebelum Sulastri dan Jatmika menyadari apa yang dilakukan Maya Dewi, terdengar suara berkerontangan dan ruangan itu menjadi gelap gulita!

   Kiranya wanita yang cerdik itu telah menghancurkan dua buah lampu gantung yang menerangi ruangan itu! Karena khawatir diserang dalam kegelapan itu, Sulastri dan Jatmika memutar senjata untuk menjaga diri. Akan tetapi tidak ada serangan, tidak ada suara, bahkan tidak ada gerakan. Maya Dewi telah lenyap dari ruangan itu!

   Tiba-tiba terdengar suara banyak orang di luar rumah itu. Jatmika dan Sulastri maklum akan bahaya yang mengancam mereka kalau banyak mata-mata Kumpeni dan serdadu-sedadu mereka datang. Maka keduanya segera melarikan diri, keluar dari rumah itu melalui pintu belakang. Mereka mengintai dari tempat gelap dan Sulastri melihat Ki Warga bersama belasan orang Belanda yang memegang pistol.

   Ia memberi isyarat kepada Jatmika dan mereka cepat pergi meninggalkan tempat itu. Setelah mereka melarikan diri dan berada di luar kota, Jatmika mengajak Sulastri beristirahat di dalam sebuah gubug yang berdiri di ladang. Bulan sudah condong ke barat namun masih memberi penerangan sehingga cuaca menjadi remang-remang.

   "Sayang kita tidak berhasil membunuh wanita iblis itu!"

   Sulastri berkata kecewa.

   "Ya, lebih menyesal lagi kita tak berhasil mencegah mereka membakar gudang ransum itu!"

   Kata Jatmika.

   "Akan tetapi, bagaimana engkau tiba-tiba muncul membantuku dan benarkah engkau telah sembuh dan dapat mengingat kembali masa lalumu, Eulis?"

   "Panjang ceritanya, Kakangmas Jatmika. Dan karena aku sekarang sudah ingat kembali bahwa namaku adalah Sulastri, maka nama Listyani atau Eulis itu kita lupakan saja dan harap engkau memanggil aku Sulastri."

   "Baiklah, Sulastri, walaupun di dalam hatiku engkau tetap Eulis yang geulis (cantik). Nah, ceritakanlah pengalamanmu semenjak kita berpisah."

   Sulastri lalu bercerita tentang pertemuannya dengan Parmadi dan Muryani di sungai ketika ia bersama Neneng Salmah hendak mencuci pakaian dan mandi.

   "Nanti dulu, siapa itu Neneng Salmah?"

   Jatmika bertanya.

   "Oh, ya! Engkau belum mengenalnya!"

   Ia lalu bercerita tentang gadi waranggana dari kSumedang itu datang bersama Ki Salmun, ayahnya, datang mengungsi dari sumedang ke dermayu atas nasehat Lindu Aji. Setelah mendengar keterangan panjang lebar tentang neneng Salmah, Jatmika bertanya lagi.

   "Dan siapa itu Parmadi dan Muryani?"

   "engkau tidak dapat menduga siapa Kakangmas Paemadi. Dia masih kakak seperguruan kita!"

   "Eh? Bagaimana mungkin? Kenapa aku tidak mengenalnya?"

   "Tentu saja tidak. Dia adalah murid dari Eyang Resi Tejo Wening, kakak guru mendiang Eyang Guru Ki Tejo Langit."

   "Ah, begitukah? Ceritamu semakin menarik, lanjutkanlah, Lastri."

   "Setelah saling mengenal aji-aji kami yang sama, dan tahu bahwa aku kehilangan ingatan masa lakuku, Kakangmas Parmadi dan isterinya Mbakayu Muryani berkunjung ke rumah dan mengobatiku dengan tiupan sulingnya. Aku sembuh dan dapat pulih kembali ingatanku."

   "Terima kasih kepada gusti Allah! Wah, sukurlah, aku ikut merasa bahagia sekali, Lastri!"

   Saking gembiranya, Jatmika merangkul gadis itu. Akan tetapi dengan gerakan lembut Sulastri menhindar. Jatmika merasa heran sekali, akan tetapi tidak memaksa, hanya berkata penuh perasaan sehingga suaranya menggetar.

   "Aku rindu sekali kepadamu, Lastri."

   Sulastri menghela napas panjang. Setelah teringat kembali akan masa lalunya, ia kini selalu teringat akan hubungan batinnya dengan Lindu Aji dan sulit baginya untuk membiarkan dirinya dipeluk pria lain walaupun pria itu adalah Jatmika yang dikagumi dan disukainya.

   "Kakang, bukan waktunya kita bicara tentang hal itu. Akan kulanjutkan ceritaku."

   "Baiklah, Lastri. nah, lanjutkan ceritamu."

   Kaya Jatmika, agak tersipu akan tetapi heran melihat sikap Lastri yang dingin terasa sekali dalam suaranya. Sulastri bercerita dengan singkat tentang munculnya pangeran dari Banten yang dulu mengganggu Neneng Salmah untuk memaksa gadis itu ikut. Pangeran ini ditemani dua orang datuk, yaitu Kyai Sidhi Kawasa dan Aki Somad. Parmadi, Muryani dan ia sendiri yang sudah sembuh berhasil mengusir mereka.

   "Setelah Kakangmas Parmadi dan Mbakyu Muryani pergi untuk mencari pembunuh Eyang Guru Tejo Langit, aku yang sudah pulih ingatanku, menjadi gelisah, Mas Aji mencari pembunuh itu dan berjuang membela Mataram, engkau dan Kakng Parmadi juga begitu. aku merasa tidak enak untuk duduk diam di rumah saja, maka aku lalu nekat meninggalkan rumah."

   "Dan bagaimana engkau dapat berada di sini?"

   Tanya Jatmika.

   "Aku teringat kepada Raden Banuseta yang dulu ikut melawan aku dan Mas Aji, maka aku lalu pergi ke Tegal hendak mencarinya. Malam tadi aku tiba di mana engkau sedang bertanding melawan Harya Baka Wulung."

   "Ah, agaknya memang Gusti Allah yang menuntunmu sehingga engkau dapat membantuku dan aku dapat menyekamatkan diri dari kakek yang sakti mandraguna itu."

   "Akan tetapi, Kakangmas Jatmika, kenapa Mataram menumpuk demikian banyak ransum di Tegal? Dan kenapa pula antek-antek Kumpeni itu membakar gudang?"

   "Lastri, engkau tentu sudah mendengar bahwa bala tentara Mataram akan melakukan penyerbuan ke Jayakarta dan untuk keperluan pasukan itulah maka ransum itu ditumpuk untuk persediaan. Dan para

   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAGUS SAJIWO

BAGUS SAJIWO BAGUS SAJIWO JIL ID 01 BAGUS SAJIWO JIL ID 02 BAGUS SAJIWO JIL ID 03 BAGUS SAJIWO JIL ID 04 BAGUS SAJIWO JIL ID 05 BAGUS SAJIWO JIL ID 06 BAGUS SAJIWO JIL ID 07 BAGUS SAJIWO JIL ID 08 BAGUS SAJIWO JIL ID 09 BAGUS SAJIWO JIL ID 10 BAGUS SAJIWO JIL ID 11 BAGUS SAJIWO JIL ID 12 BAGUS SAJIWO JIL ID 13 BAGUS SAJIWO JIL ID 14 BAGUS SAJIWO JIL ID 15 BAGUS SAJIWO JIL ID 16 BAGUS SAJIWO JIL ID 17 ...

ALAP-ALAP LAUT KIDUL

JILID 1 JILID 2 JILID 3 JILID 4 JILID 5 JILID 6 JILID 7 JILID 8 JILID 9 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33