Langsung ke konten utama

SERULING GADIN

  SERULING GADING  1 2 3 4 5 6 7 8 9 6 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 JILID 1    Puncak Argadumilah menjulang tinggi diselimuti awan putih bergerombol seperti sekelompok domba berbulu putih bergerak perlahan, berarak ke arah selatan. Sinar matahari pagi mulai menerangi permukaan Gunung Lawu yang tanahnya subur dan hijau penuh pohon dan tumbuhan. Kinar matahari pagi yang lembut dan hangat itu masih belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang amat dingin bagi manusia itu. Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah. Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu.    Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan A...

ALAP ALAP LAUT KIDUL JILID 4

  Dusun Gampingan menjadi geger. rumah Harun penuh dengan para penduduk yang sama datang melayat. Jenasah Harunn dan Ujang dibaringkan di atas sebuah dipan bambu, sedangkan Wrsiyem yang masih pingsan diangkat dan direbahkan ke atas pembaringan dalam kamarnya. Para wanita tetangga berusaha untuk menyadarkannya, akan tetapi Warsiyem tetap pingsan. Guncangan perasaan itu terlalu hebat menggempurnya sehingga wanita itu pingsan berat.

   Lindu Aji akhirnya dapat menenteramkan hatinya kembali setelah dia duduk bersila di atas pasir pantai Laut Kidul bermandikan cahaya bulan. Keheningan suasana, kemurnian hawa itu melenyapkan gejolak hatinya, membuat hatinya yang tadinya bergelombang seperti diterpa badai, menjadi tenang kembali. dia teringat akan ayah ibunya yang tentu akan merasa khawatir kalau dia tidak segera pulang.

   Selain itu, ada suatu perasaan tidak enak yang aneh, yang mendorongnya untuk segera pulang. dia mulai menyesal atas sikapnya terhadap ayahnya tadi. Dia amat menghormati dan menyayang ayahnya, dan kini timbul perasaan iba terhadap orang yang dekat di hatinya itu. ayahnya sudah cukup menderita. istrinya diganggu orang sampai membunuh diri, kemudian karena membalas dendam, dia lalu menjadi buronan sampai bertahun-tahun. dan kini, betapa hancur hatinya mendapat surat dari anak kandungnya sendiri yang mengancam akan membunuhnya.

   "Bapak.....!"

   Dia mengeluh. Ingin rasanya dia merangkul dan menghibur hati ayahnya tercinta. karena ingin segera pulang dan bertemu ayah ibunya, Lindu Aji lalu mempergunakan kepandaiannya untuk berlari kembali ke dusun Gampingan. Ketika dia memasuki dusun Gampingan, dia terheran-heran melihat para penduduk banyak yang masih berada di luar rumah masing-masing, bahkan banyak yang bergerombol membicarakan sesuatu dengan asyiknya. Wajah merekapun rata-rata tegang. Dan ketika melihat dia datang, mereka semua terdiam dan memandang dia dengan sinar mata aneh.

   "Heii, ada apakah? Apa yang terjadi? Sikap kalian begini aneh!"

   Tanyanya kepada beberapa orang pemuda yang juga memandangnya seperti mereka melihat setan.

   "Aji, jangan banyak tanya. Cepat pulanglah, cepat!"

   Kata seorang di antara mereka. Aji terbelalak. sikap mereka sudah jelas. Pasti terjadi sesuatu di rumah orang tuanya. maka, tanpa bertanya lagi diapun berlari cepat menuju rumahnya.

   Jantungnya berdebar keras ketika dia melihat betapa di rumahnya dipasangi banyak lampu sehingga terang benderang dan banyak sekali orang berada di rumahnya. Orang-orang memenuhi rumah, bahkan meluber sampai ke pekarangan, seolah-olah seluruh penduduk Gampingan berkumpul semua di situ. Ketika Lindu aji muncul, semua orang menengok dan memandang kepadanya.

   Wajah Aji menjadi pucat dan cepat dia menerobos masuk ke ruangan depan. Dan di situ, dia berhenti terbelalak memandang ke arah dua buah dipan bambu di mana rebah dua sosok tubuh yang terselimut kain, yang berarti bahwa dua sosok tubuh manusia itu telah mati! jantungnya seperti meloncat menyumbat kerongkongannya, pandang matanya berkunang dan kekhawatiran yang amat sangat memenuhi hatinya. Dia lalu melompat ke depan, menyingkap bagian kepala kain penutup mayat itu dan melihat wajah sahabat ayahnya yang bertamu malam itu, wajah Ujang. Biarpun dia terkejut melihat sahabat ayahnya telah tewas, namun dia agak lega bahwa mayat itu bukan ayahnya atau ibunya. Dia lalu menghampiri sosok mayat kedua, dengan tangan gemetar dia membuka kain yang menutupi kepala mayat kedua.

   Wajah Lindu Aji seketika pucat sekali, matanya terbelalak, kedua tangan dikembangkan di depan dada, jari-jari tangannya menegang, mulutnya terbuka seolah mengeluarkan pekik yang tidak bersuara, lalu perlahan-lahan bibirnya bergerak, mengeluarkan kata-kata seperti berbisik meragu, tidak percaya apa yang dilihatnya sendiri.

   "Bapak....., bapak....., bapak kenapakah.....? Bapak ......, jawablah, bapak....., kenapa....."

   Dia menyentuh pundak ayahnya, diguncangnya lembut seolah hendak membangunkan ayahnya dari tidur. akan tetapi dia lalu melihat kepala yang retak-retak dan berlepotan darah itu.

   "Bapaaaaaakkk.....!!"

   Dia menjerit, suara jeritnya melengking dan menggetarkan hati seluruh pelayat.

   "Tidak..... tidaaaak.....!"

   Mata yang terbelalak itu basah dan air mata menetes-netes jatuh di atas kedua pipinya. Dia mengguncang-guncang pundak ayahnya dengan kuat seolah tidak percaya dan tidak mau percaya sehingga tubuh mayat itu bergoyang-goyang, kepalanya bergerak-gerak seperti mengeleng.

   Sebuah tangan menyentuhnya. Parto, tetangga keluarga Harun yang menjadi sahabta baik keluarga itu, berkata lirih, suaranya menggetar penuh keharuan.

   "Angger Aji..... kuatkan hatimu, bapakmu telah meninggal dunia.....

   "

   Hening sejenak, yang terdengar hanya suara isak para wanita yang merasa terharu melihat adegan itu. Aji seperti orang kebingungan mendengar ucapan itu, dia menoleh ke kanan kiri seolah mengharapkan ada orang lain yang membantu ucapan Parto itu. Semua orang yang bertemu pandang dengannya menundukkan pandang mata mereka. Aji lalu menoleh lagi kepada wajah ayahnya.

   "Bapak..... ? Bapak, benarkah..... benarkah bapak..... bapak..... sudah mati?". Kemudian, bagaikan air bah yang dilepas bendungannya, dia menjerit.

   "Bapaaakkk.....!!"

   Dia menubruk, merangkul ayahnya, menciumi muka jenasah itu lalu menangis meraung-raung di atas dada jenasah Harun.

   Isteri Parto yang juga sudah seperti keluarga sendiri dengan Harun dan anak isterinya, merangkul Lindu Aji sambil sesenggukan.

   "..... Aji..... ngger kuatkan hatimu..... semua ini sudah kehendak Gusti...... kasihani bapakmu..... kasihani ibumu, ngger.....

   "

   Tiba-tiba Lindu aji menghentikan tangisnya dan mengangkat kepalanya. Mukanya masih pucat sekali, air mata bercucuran seperti hujan, matanya penuh air mata dan kemerahan.

   "Ibu..... mana ibu..... bagaimana ibuku..... ?"

   Ucapan Mbok Parto tadi mengingatkan dia kepada ibunya sehingga sesaat dia melupakan kedukaannya yang terganti kekhawatiran akan keadaan ibunya.

   "Ia berada dalam kamarnya, Aji.....

   "

   Kata Mbok Parto.

   Mendengar ini, Aji lalu menguak semua orang agar minggir dan dia lalu melompat ke arah kamar ibunya.

   "Ibuuu.....!"

   Dia berteriak memanggil ketika memasuki kamar. melihat ibunya rebah telentang di atas pembaringan dan tidak bergerak seperti tidur, atau seperti mati, Aji menggigil dan sejenak terpukau, tidak mampu bergerak lagi, hanya berdiri memandang, matanya terbelalak liar penuh kekhawatiran kalau-kalau ibunya juga sudah mati. Akan tetapi, di bawah sinar lampu, dia melihat dada ibunya masih bergerak, ibunya masih bernapas, ibunya masih hidup! Dia segera menghampiri dan meraba leher dan dahi ibunya.

   "Ibu.....!"

   Panggilnya, mengguncang pelahan pundak ibunya. Akan tetapi ibunya tidak juga membuka mata, tidak juga bergerak.

   "Aji, ibumu sejak tadi pingsan."

   Kata seorang wanita sambil menahan tangisnya.

   Aji lalu duduk di tepi pembaringan. Sedikit banyak dia telah mempelajari dari ayahnya cara pengobatan untuk hal-hal tertentu, seperti menyadarkan orang pingsan, mengobati luka-luka dan akibat keracunan. Melihat ibunya pingsan, dia lalu mengurut tengkuk ibunya, menjepit dan membetot urat di pangkal ibu jari dan di bawah pangkal lengan. Tak lama kemudian ibunya merintih dan siuman. Begitu membuka mata dan melihat anaknya, Warsiyem bangkit duduk, merangkul anaknya dan menjerit.

   "Aji.....! Bapakmu.....!!"

   "Ibuuu.....!!"

   Ibu dan anak itu berangkulan dan menangis sesenggukan. Lindu Aji merasa betapa dalam rangkulannya ibunya menjadi lemas terkulai.

   "Ibuuu..... kuatkan hatimu, ibu.....!"

   Dia mendekap ibunya denga kuat-kuat untuk mencegah ibunya pingsan lagi.

   Ketika dia melihat wajah ibunya yang tersayang itu megap-megap sperti sukar bernapas karena tangisnya, Aji lalu mencium muka ibunya yang basah air mata itu. Air mata ibu dan anak ini bercampur menjadi satu membasahi muka dan leher mereka.

   "..... Ajiiii..... bapakmu..... ahh, bapakmu.....

   "

   Warsiyem terisak-isak.

   Lindu Aji mengusap-usap rambut kepala ibunya.

   "Kita serahkan saja kepada Gusti Allah, ibu....., marilah, ibu..... ibu masih ingat ajaran bapak..... ? Mari kita menyerahkan bapak kepaada Gusti Allah."

   Ibu dan anak itu dengan suara mengandung isak alu berbisik.

   "

   Innalillahi wa innailaihi rojiun.....

   "

   Dan masih saling berangkulan alu menangis.

   Semua wanita yang melayat tak dapat menahan keharuan hati mereka dan mereka ikut menangis sehingga suasana menjadi riuh dalam kamar itu. Para pelayat pria juga tampak terharu dan bersusah payah menahan air mata yang siap keluar dari pelupuk mata yang terasa panas.

   Penguburan dua jenasah itu dilakukan pada keesokan harinya, pagi-pagi dan dilayat oleh semua penduduk Gampingan. Warsiyem dirangkul Aji mengantar jenasah ke kuburan dan kembali menangis tersedu-sedu ketika jenasah sudah dimasukkan lubang dan diurug tanah. Setelah penguburan selesai dan para pelayat sudah berpamit kepada Warsiyem dan Lindu Aji, ibu dan anak itu masih tinggal di dekat gundukan tanah itu. Mereka berdua, terutama Warsiyem, enggan meninggalkan tanah kuburan itu. Ia seolah telah kehilangan segala-galanya. Seharian mereka berda di situ.

   Akhirnya, setelah menjelang senja, baru Warsiyem menuruti bujukan anaknya dan mereka pulang dengan tubuh terasa lemas, lelah dan juga lapar karena sejak malam tadi mereka tidak makan apapun. Dengan menguatkan hatinya sendiri yang penuh kedukaan dan kehilangan, Aji membujuk dan menghibur ibunya. Segala sesuatu di dunia ini dikikis habis oleh waktu. Bahkan segala macam perasaan akan berubah dan ditelan sang waktu. demikian pula perasaan duka.

   Warsiyem dan Lindu Aji duduk di ruangan depan rumah mereka. Warung nasi belum dibuka. tidak ada semangat bagi Warsiyem untuk berjualan seperti biasa. akan tetapi setelah lewat sepuluh hari sejak kematian suaminya, ia yang tadinya tenggelam ke dalam lautan duka, kini mulai muncul di permukaan. sudah mau mandi, bertukar pakaian, bahkan menikmati air the hangat yang disuguhkan aji. setelah melihat keadaan ibunya yang mulai mau bicara dan tidak tampak terlalu nelangsa lagi, Aji berani mengajak ibunya bicara.

   "Ibu sebaiknya kalau kita mulai membuka warung dan berjualan lagi. Banyak penduduk dan para langganan yang menanyakan kepadaku kapan warung nasi ibu akan dibuka lagi."

   Kata Aji dengan hati-hati.

   Warsiyem memandang anaknya, ia telah dapat menenangkan hatinya. Ia tidak boleh tenggelam terus dalam kedukaan. Ia harus hidup demi anaknya. Ia tidak hidup sendiri. Ia masih mempunyai Aji. Bangkit kembali semangatnya kalau ia ingat kepada puteranya.

   "Besok kita boleh mulai berjualan, Aji. Besok pagi-pagi kita pergi ke pasar untuk belanja. Berasnyapun kulihat tinggal sedikit."

   Setelah mereka makan malam, Aji melihat ibunya sudah benar-benar kuat lahir batinnya, maka barulah dia mengajak ibunya bercakap-cakap dan menjawab pertanyaan yang selalu menggerogoti hatinya sejak kematian ayahnya namun ditahan-tahannya dia tidak ingin mengganggu ibunya yang sedang berduka.

   "Ibu, aku ingin sekali mengetahui tentang kematian bapak. Aku ingin tahu siapa yang membunuh bapak dan apa yang telah terjadi pada malam hari itu, ibu?"

   Mereka duduk di ruangan dalam. warsiyem menghela napas panjang.

   "Kejadian itu terlalu tiba-tiba dan mengejutkan datangnya, Aji. Tadinyapun aku sendiri tidak mengenal siapa orang yang datang dan berkelahi dengan ayahmu itu. Akan tetapi aku mendengar percakapan mereka. Malam itu, datang seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun, tinggi kurus dan berpakaian seperti seorang priyayi. ketika aku mendengar ribut-ribut di luar, aku segera keluar dan sempat melihat dan mendengar dia bercakap-cakap dengan ayahmu."

   "Dia berusia empat puluh tahun, ibu? Bukan seorang pemuda yang usianya sekitar dua puluh enam tahun?"

   Warsiyem menggeleng kepala.

   "Bukan. Aku yakin bahwa usianya paling sedikit empat puluh tahun. Dalam percakapan dengan bapakmu dia mengaku bernama Raden Banuseta, putera mendiang Aom Bahrudin yang datang dari tanah Pasundan."

   "Ahh.....! Kiranya putera bangsawan yang dibunuh bapak itu?"

   "engkau sudah tahu akan hal itu?"

   "Bapak sudah menceritakan kepadaku, ibu, pada hari itu juga sebelum malapetaka itu datang."

   "Kalau begitu engkau sudah diceritakan bapakmu bahwa bapakmum adalah pelarian dari tanah Pasundan. Bertahun-tahun dia dikejar-kejar putera Aom Bahrudin sendiri yang datang sampai di sini dan menemukan bapakmu. Setelah mendengar nama bapakmu dan memperkenalkan diri, Raden Banuseta itu lalu menyerang bapakmu. Mereka berkelahi dan akhirnya bapakmu tewas ditangannya. Juga sahabat bapakmu bernama Ujang itu dibunuhnya ketika hendak melarikan diri."

   "Apakah Banuseta itu tidak mengatakan di mana dia tinggal, ibu?"

   "Dia datang dari Galuh dan menurut pendengaranku ketika dia bertanding melawan bapakmu, dia ada mengatakan bahwa dia adalah murid perguruan Dadali Sakti. Akan tetapi, kenapa engkau tadi mengira bahwa pembunuh bapakmu baru berusia dua pulh enam tahun, Aji?"

   "Tadi aku mengira bahwa yang membunuh bapak adalah Hasanudin, ibu."

   "Hasanudin? Ah, maksudmu Udin putera bapakmu yang ditinggal di Galuh itu? Engkau sudah tahu akan hal itu?"

   "Bapak sudah menceritakan bahwa bapak mempunyai seorang putera bernama Hasanudin yang ditinggalkan di Pasundan, ibu. Bahkan lebih dari itu, aku telah membaca surat dari Hasanudin yang dititipkan Paman Ujang untuk diberikan kepada bapak."

   "Surat? Aku malah belum mengetahuinya. Dia mengirim surat untuk bapakmu? Apa isi surat itu?"

   Wajah Aji menjadi kemerahan dan dia mengepal tangannya.

   "Dia memaki bapak sebagai seorang pengecut dan seorang ayah yang tidak bertanggung jawab.....

   "

   "Hemmm.....!"

   Warsiyem mengerutkan alisnya.

   "Bukan itu saja, ibu. dia bahkan menulis ancaman bahwa dia pasti akan datang membunuh bapak."

   "Ahhh.....! Durhaka.....!"

   Seru Warsiyem kaget.

   "Itulah sebabnya ketika melihat bapak dibunuh orang, aku segera mengira bahwa Hasanudin yang membunuhnya. Akan tetapi ternyata bukan dia, melainkan Raden Banuseta."

   Sejak saat itu, dua buah nama itu Hasanudin dan Raden Banuseta, terukir dalam-dalam di hatinya. akan tetapi Lindu Aji tidak mengatakan sesuatu kepada ibunya. Dia membuka kembali warung nasinya dan melanjutkan pekerjaan ayahnya di sawah ladang. Beberapa bulan kemudian kehidupan ibu dan anak ini sudah menjadi biasa kembali. Biarpun suami yang dikasihinya telah tiada, namun karena ia mempunyai seorang anak, maka kepada anaknya itulah seluruh kasih sayangnya tertumpah. Aji juga seorang anak yang amat berbakti dan menyayang ibunya, maka hati Warsiyem segera terhibur dan ia menemukan kembali gairah hidupnya.

   Warsiyem adalah seorang janda yang berusia tiga puluh tiga tahun, masih tampak muda dan cantik manis, memiliki daya tarik yang kuat sehingga mata banyak pria memandangnya dengan gairah dan rindu. Akan tetapi karena Warsiyem seorang janda yang pandai membawa diri, pandai menjaga kehormatan tidak melayani senda-gurau laki-laki iseng, ditambah lagi orang-orang merasa segan terhadap mendiang suaminya, maka tidak ada laki-laki yang berani bersikap kurang ajar, walaupun banyak yang menjual lagak dan mencoba memikat janda itu dengan mermacam gaya. Adanya Aji juga merupakan perisai yang kuat bagi Warsiyem. Semua orang tahu bahwa Aji, biarpun berusia lima belas tahun, namun merupakan seorang pemuda yang memiliki kedigdayaan. Selain itu, ibu dan anak ini bersikap ramah dan baik sekali kepada semua penduduk dusun Gampingan, ringan tangan dan lapang hati membantu orang lain yang sedang kesusahan.

   Pada suatu siang seperti biasa Warsiyem menjaga warung nasinya. Biasanya, warung nasinya itu ramai dikunjungi para langganan di waktu pagi untuk sarapan, juga di waktu sore menjelang tutup. Kalau siang, tidak banyak yang datang makan karena kebanyakan penduduk Gampingan di waktu siang sibuk bekerja di sawah ladang atau pergi mencari ikan di laut. Siang itupun tidak banyak orang berkunjung dan di warung itu hanya ada dua orang penduduk Gampingan yang kebetulan lewat dan mereka hanya berhenti untuk sekedar mengopi.

   Tiba-tiba muncul tiga orang yang lagak dan sikapnya menyeramkan. Mereka mengenakan pakaian serba hitam, tubuh mereka tinggi besar dengan perut gendut dan mereka muncul di depan pintu warung sambil menyeringai menakutkan. Warsiyem terbelalak dan terkejut bukan main.

   Yang membuat ia terkejut adalah ketika ia melihat orang terdepan. Biarpun laki-laki tinggi besar itu kini sudah berusia lima puluh tahun lebih dan tampak agak lebih tua dari pada dahulu, namun Warsiyem masih mengenalnya. Dia bertubuh tinggi besar, gendut, bajunya terbuka sehingga tampak dadanya yang berbulu, mukanya bulat, sepasang mata lebar melotot dihias sepasang alis yang hitam tebal, brewoknya pendek dan kasar kaku, di pinggangnya tergantung sebatang golok. Dia adalah Singowiro yang pada enam belas tahun yang lalu pernah mencoba untuk menculiknya, kemudian akan menikahinya, bahkan yang telah membunuh ayahnya!

   Sambil bertolak pinggang dan langkah digagah-gagahkan, Singowiro memasuki warung, diikuti dua orang temannya yang juga bermata liar. Melihat dua orang yang sedang ngopi, Singowiro mendekati dan menghardik dengan sikap galak.

   "Heii, kalian monyet-monyet busuk, cepat pergi dari sini!"

   Dua orang petani itu terkejut dan memandang Singowiro dengan heran, akan tetapi melihat laki-laki tinggi besar itu meraih gagang golok dan mencabutnya sedikit, mereka menjadi ketakutan, bangkit berdiri lalu melarikan diri karena dapat melihat dengan jelas dari sikap tiga orang itu bahwa mereka bukan orang baik-baik dan pasti akan membuat keributan.

   Kini Singowiro memandang Warsiyem yang masih berdiri di belakang meja warungnya. Laki-laki itu mengamati wajah dan tubuh Warsiyem, tersenyum senang karena baginya wanita itu masih seperti dulu, bahkan kini semakin denok dan matang!

   "Heh-heh-heh, Warsiyem, mana suamimu?"

   Tanyanya sambil melangkah maju menghampiri. Warsiyem tidak menjawab, melainkan perlahan mundur menjauhi.

   "Ha-ha-ha, setan itu sudah mampus, bukan? Hemm, kalau saja dulu engkau tidak menjadi isteri setan itu dan menjadi isteriku, sekarang engkau tidak menjadi janda! Akan tetapi sekarangpun belum terlambat, Warsiyem. engkau bisa menjadi isteriku yang ke tiga, Heh-heh-heh!"

   Dia menghampiri dekat dan mengulur tangan hendak mengelus pipi wanita itu.

   Warsiyem mengelak mundur.

   "Singowiro, engkau penjahat dan pembunuh keji! Jangan mengganggu aku dan pergi dari sini!"

   Warsiyem menuding ke arah pintu.

   "Pergi atau aku akan menjerit!"

   "Menjerit? Ha-ha-ha, menjeritlah, aku suka mendengar jerit wanita cantik!"

   Kata Singowiro dan kembali tangannya meraih ke depan.

Warsiyem mengelak, akan tetapi tangannya dapat ditangkap. Singowiro menyambar dengan tangan kirinya dan kini kedua pergelangan tangan Warsiyem telah dipegangnya.

   "Heh-heh-heh, hayolah manis. engkau sudah ditinggalkan mati suamimu, tentu kesepian. Hayo kita bersenang-senang sebentar. Mana kamarmu?"

   Singowirom menarik kedua tangan Warsiyem, hendak dipaksanya masuk ke dalam rumah itu.

   Warsiyem menjerit-jerit. Dua orang kawan Singowiro terkekeh-kekeh dan menganggap adegan itu lucu sekali.

   "Tolong! Toloooongggg..... Aji..... tolooonggg.....!!"

   Warsiyem menjerit-jerit dan hendak bertahan agar jangan terseret. akan tetapi ia kalah tenaga. Akan tetapi sebelum Warsiyem terseret sampai ke dalam rumah, dua orang kawan Singowiro menghampiri.

   "Kang Singo, jangan di sini! Kalau orang-orang datang, kan repot? Lebih baik dibawa saja perempuan ini, dan dibawa pulang. Di sana engkau kan lebih leluasa dapat bersenang-senang dengannya sepuas hatimu."

   Mendengar peringatan kawannya ini, Singowiro sadar.

   "Hemmm, benar juga kalian!"

   Setelah berkata demikian, dengan ringan dan mudah dia mengangkat dan memanggul tubuh Warsiyem dan memegangi dua pergelangan tangan wanita itu dengan satu tangan saja.

   "Mari kita pergi dari sini"

   Kata Singowiro dan mereka bertiga cepat berlari keluar tanpa memperdulikan Warsiyem yang meronta-ronta dan menjerit-jerit.

   Pada saat itu para pria hampir semua meninggalkan dusun dan bekerja di sawah ladang atau di laut, maka yang berada di dusun hanyalah kaum wanita dan kanak-kanak. tentu saja mereka hanya kebingungan bahkan ketakutan mendengar jeritan Warsiyem, tidak berani keluar rumah, apa lagi melihat apa yang terjadi. Karena itu, dengan leluasa Singowiro dan dua orang kawannya melarikan diri keluar dari dusun Gampingan.

   Setelahm tiba di tempat yang cukup jauh dari dudun Gampingan, mereka berhenti dan dua orang kawan Singowiro itu berkata kepadanya.

   "nah, sekarang kita berpisah, Kang singo. Bawalah pengantinmu itu pulang dan bersenang-senanglah. Kami tidak mau mengganggumu. Besok saja kita bertemu lagi di rumahmu, kami akan datang berkunjung dan memberi selamat kepada sepasang pengantin."

   Singowiro terkekeh.

   "Heh-heh, baiklah, sekarang tidak akan ada yang berani mengganggu lagi. terima kasih, kawan-kawan. Sampai besok!"

   Dia lalu melangkah lebar memasuki jalan berbukit dan dua orang kawannya mengambil jalan lain.

   Warsiyem tidak hentinya meronta dan menjerit-jerit sampai suaranya menjadi parau, akan tetapi Singowiro bahkan merasa senang sekali karena tubuh wanita itu bergerak-gerak di atas pundaknya. Ratap tangis dan jerit wanita bagaikan nyanyian merdu dan janji-janji mesra dan muluk memasuki telinganya.

   Tiba-tiba saja, Singowiro merasa pundaknya dan tangannya yang memegang kedua pergelangan tangan Warsiyem seperti lumpuh dan wanita itu sudah terlepas dari pondongannya! Wanita yang tadi dipondongnya itu seperti melompat ke belakang, maka cepat dia memuter tubuh.

   Warsiyem telah berdiri dengan ketakutan, dan di dekatnya berdiri seorang pria tua renta yang rambutnya sudah hampir putih semua. laki-laki tua itu berusia lanjut, tentu kurang lebih delapan puluh tahun, tubuhnya jangkung kurus, akan tetapi berdirinya masih tegak. Bukan hanya rambutnya yang putih, juga sedikit kumis dan jenggotnya sudah putih. sepasang matanya bersinar lembut sekali penuh kesabaran dan pengertian. bajunya lurik penuh tambalan, terbuka di bagian dada. celananya dari kain tebal berwarna kekuningan yang sudah lusuh pula. kedua kakinya telanjang dan dia memegang sebatang tongkat kayu sederhana.

   ingowiro dapat menduga bahwa tentu kakek ini yang tadi telah membebaskan Warsiyem dari pundaknya, S Akan tetapi dia sungguh tidak mengerti bagaimana caranya dan sukar dipercaya bahwa kakek yang tampak begini lemah, seolah tertiup anginpun akan roboh, dapat membebaskan Warsiyem dari panggulannya.

   "Hei, kakek tua bangka pikun! Engkaukah yang melepaskan isteriku dari pondonganku tadi?"

   Bentaknya sambil melotot. Pelototan matanya ini biasanya sudah cukup untuk membuat orang ketakutan dan tidak berani menentangnya.

   "Dia bohong! Saya sama sekali bukan isterinya! Dia malah menculik saya dan hendak memaksa saya menjadi isterinya yang ke tiga!"

   Teriak Warsiyem.

   "Ki sanak, sadarlah bahwa berbuat jahat sama dengan menanam benih beracun dan kelak andika sendirilah yang akan memetik buahnya yang beracun juga. Sadarlah sebelum terlanjur."

   Kata kakek itu, suaranya lembut dan ramah.

   "Babo-babo, tua Bangka busuk. Jangan mencampuri urusanku. Minggat kau!"

   Bentak Singowiro marah.

   Akan tetapi kakek itu berdiri tegak dengan tangan kiri di belakang pinggul dan tangan kanan memegangi tongkat yang ditekankan ke atas tanah.

   "Ki sanak, semoga Gusti Allah mengampunimu."

   Kata pula kakek itu.

   "Jahanam, engkau sudah bosan hidup!"

   Bentak Singowiro dengan marah sekali. Warsiyem merasa ngeri. Ia meremas-remas tangan sendiri di depan dadanya, merasa khawatir sekali akan keselamatan kakek yang tua renta itu.

   Ngeri hatinya menyaksikan wajah yang tua itu dihancurkan Singowiro yang kuat dan kejam. singowiro sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi dan dia menghantam dengan kepalan tangan kanannya ke arah muka tua itu.

   "Wuuuussss......!!"

   Pukulan itu menyambar ke arah muka kakek itu dan Warsiyem memejamkan matanya, tidak tahan melihat muka itu dipukul. Akan tetapi telinganya tidak mendengar apa-apa, tidak mendengar kakek itu roboh atau berteriak kesakitan, melainkan mendengar suara Singowiro berseru seperti orang heran.

   "Ehhh..... ??"

   Singowiro memang merasa heran bukan main. jelas kepalan tangannya menyambar ke arah muka kakek itu yang berada dekat di depannya, akan tetapi aneh, pukulannya tidak mengenai muka kakek itu, melainkan lewat saja di depannya seolah tangannya tidak sampai. Dia merasa penasaran dan kembali dia memukul, kini kepalannya menonjok ke arah dada yang kerempeng itu.

   "Wuuuttt......!"

   Pukulan itu meluncur kuat tetapi ketika hampir mengenai dada kakek itu, tiba-tiba Singowiro merasa kepalan tangannya seperti bertemu sesuatu yang lunak akan tetapi kuat sekali, seperti ada hawa yang kuat menerima pukulannya dan membuat pukulan tangannya membalik sehingga dia terhuyung ke belakang. Warsiyem yang telah membuka matanya juga melihat peristiwa ini dan ia memandang bengong. Betapapun juga, hatinya kembali merasa ngeri ketika ia melihat Singowiro mencabut goloknya. Melihat golok yang mengkilat saking tajamnya itu ia bergidik. teringat ia akan ayahnya yang dahulu juga tewas karena bacokan golok orang ini.

   Biarpun sudah dua kali pukulannya tidak mengenai sasaran dan secara aneh pukulannya membalik pada hal kakek itu tidak membuat gerakan apa-apa, melainkan hanya berdiri tegak, Singowiro tidak mundur bahkan menjadi semakin penasaran dan marah.

   "Setan! Mampuslah!"

   Bentaknya dan kini menyerang dengan goloknya membacok sekuat tenaga ke arah leher kakek itu. Kakek itu diam saja dan bahkan memejamkan mata seolah tidak terjadi sesuatu. Golok di tangan kanan singowiro itu menyambar ke arah leher dengan kuat sekali. kembali Warsiyem memejamkan matanya karena tidak tega melihat darah muncrat dari leher yang terbacok.

   Akan tetapi ketika golok sudah menyambar dekat sekali dengan leher, tiba-tiba golok itupun membalik dengan kuat sekali. Saking kuatnya golok itu terpental membalik, tubuh Singowiro terbawa dan diapun terjengkang dan terbanting ke atas tanah sampai terguling-guling. Sekali ini Singowiro bangkit dengan muka pucat dan mata terbelalak. Dia merasa tengkuknya meremang dan tanpa mengeluarkan kata-kata lagi dia lalu lari tunggang-langgang meninggalkan tempat itu! Setan, pikirnya. Dia bertemu setan di tengah hari!

   Warsiyem menghampiri kakek itu, menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.

   "Paman, terima kasih atas pertolongan paman yang telah membebaskan saya dari malapetaka.....

   "

   Kata Warsiyem dengan terharu dan penuh hormat.

   "Bangkitlah, nini dan bersyukurlah kepada Gusti Allah karena hanya kekuasaan Gusti Allah yang telah menolongmu. Aku sendiri tidak berbuat apa-apa dan tidak bisa apa-apa. Mari kuantar engkau pulang ke rumahmu, nini."

   Setelah berhenti bicara, kakek itu batuk-batuk tiga kali dan napasnya terengah-engah. Warsiyem bangkit dan memandang dengan penuh kekhawatiran.

   "Paman..... maafkan, apakah..... paman sakit..... ?"

   Kakek itu mengangguk.

   "Benar, dan beginilah jasmani seorang yang sudah tua, nini.

   Mari....., kuantar engkau.....

   "

   Warsiyem mengangguk dan berjalan. Kakek itu mengikutinya dan langkahnya tertatih-tatih, gemetaran, wajahnya pucat dan napasnya terengah-engah. Melihat keadaan kakek itu, Warsiyem merasa heran bukan main. Kakek ini sudah tua renta dan sedang sakit, begitu ringkih dan lemahnya, akan tetapi bagaimana mungkin seorang yang kuat dan jahat seperti Singowiro dibuat lari tunggang langgang? Ia juga merasa iba sekali, maka ia lalu mendekat dan berkata.

   "Paman, mari saya tuntun. Paman kelihatan lemah sekali."

   Tanpa menanti jawaban ia lalu memegang tangan kiri kakek itu dan menuntunnya. telapak tangan kiri itu demikian halus dan juga agak dingin.

   "Tangan paman dingin sekali, tentu paman masuk angin,"

   Kata Warsiyem sambil menuntun kakek itu dan perlahan-lahan mereka berjalan menuju ke dusun Gampingan.

   "Nini, andika seorang yang baik hati. Siapakah namamu dan bagaimana andika sampai dilarikan orang tadi?"

   Tanya kakek itu dengan suara lirih dan gemetar.

   "Nama saya Warsiyem, paman. Saya seorang janda dan hidup berdua dengan anak saya. Saya tinggal di dusun Gampingan di depan itu., membuka warung nasi. Orang jahat tadi adalah Singowiro. Dia memang jahat sekali, paman, dahulupun pernah hendak memaksa saya menjadi isterinya, enam belas tahun yang lalu. Bahkan dialah yang telah membunuh ayah saya. Setelah suami saya meninggal tiga bulan yang lalu. dia muncul lagi dan menculik saya."

   Kakek itu diam saja dan mereka berjalan terus. akhirnya mereka sampai di dusun Gampingan. Ketika mereka tiba di depan warung nasi Warsiyem, di situ sudah berkumpul empat orang tetangga laki-laki yang sudah mendengar bahwa Warsiyem dilarikan orang jahat. mereka menjadi girang sekali dan juga heran melihat Warsiyem yang dikabarkan telah diculik penjahat itu kini pulang dalam keadaan selamat bersama seorang kakek tua renta yang dituntunnya! Pada saat itu, dari jauh Lindu Aji datang berlari lari dan melihat ibunya berdiri di depan warung bersama seorang kakek tua renta, dia segera merangkul ibunya.

   "Ibu..... apa yang terjadi? Aku tadi disusul Kimin dan Sarjo yang bilang bahwa warung kita kedatangan tiga orang penjahat. Apa yang terjadi, ibu? Dan di mana mereka sekarang?"

   Aji menengok ke arah warung dan dilihatnya yang berada di warung adalah orang-orang dusun Gampingan yang dia kenal baik sebagai para langganan ibunya. Akan tetapi sebelum Warsiyem menjawab, kakek itu berkata kepadanya.

   "Nini, andika sudah pulang dengan selamat, sekarang aku hendak melanjutkan perjalananku."

   Kakek itu lalu melangkah hendak pergi.

   "Paman, silakan masuk dan duduk dulu, paman sedang sakit.....

   "

   Warsiyem menahan.

   "Aku..... aku tidak ingin merepotkan.....

   "

   Kakek itu tetap melangkah pergi dari situ. Akan tetapi baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba tubuhnya terkulai dan diapun roboh.

   Trengginas aji melompat dan berhasil menyangga punggung kakek itu seningga kepalanya tidak sampai terbanting ke atas tanah. Dia memegang tangan kiri kakek itu yang duduk dengan kedua kaki terjulur dan punggung bersandar pada rangkulan tangan kanan Aji. Warsiyem mendekati dan membujuk dengan halus,

   "Paman, marilah singgah dulu di rumah kami. Paman sedang sakit dan memerlukan perawatan dan pengbatan. Biarlah kami merawat paman sampai sembuh."

   "Ibu, dia pingsan, tak dapat diajak bicara,"

   Kata Aji.

   "Ohh.....! Cepat angkat dia ke dalam, Aji. Kasihan dia.....

   "

   Tanpa diperintah ibunyapun, Aji sudah berniat menolong kakek itu. Maka dia lalu memondong tubuh tua itu dan mengangkatnya, membawanya masuk ke dalam rumah dan merebahkan kakek itu di atas pembaringan di dalam kamarnya sendiri. Setelah memeriksa keadaan kakek itu, Aji berpendapat bahwa tubuh kakek itu lemah sekali dan agaknya dia kelaparan, Juga tubuhnya panas sekali.

   "Ibu. dia perlu diberi makan bubur tajin karena agaknya dia kelaparan. Tubuhnya panas seperti terkena demam. Tolong ibu buatkan bubur tajin dan aku akan mencarikan jamu untuknya. sementara ini akan kubasahi kepalanya dengan perasan jeruk nipis dan brambang agar panasnya turun."

   Warsiyem mengangguk lalu keluar menuju ke warungnya. Warung itu memang juga menjadi dapurnya. Ketika ia membuatkan bubur tajin, di warung itu sudah berkumpul belasan orang tetangga laki-laki. Ia dihujani pertanyaan. Sambil bekerja membikin bubur tajin, Warsiyem menceritakan dengan singkat bahwa tadi ia diculik Singowiro dan dua orang kawannya. Akan tetapi di tengah perjalanan ia ditolong dan diselamatkan kakek tua yang sedang sakit itu.

   Semua orang terheran-heran mendengar cerita Warsiyem, akan tetapi mereka juga marah sekali. siapa yang belum mendengar nama Singowiro? Di daerah pegunungan selatan sampai ke daerah pesisiran nama gegedug (jagoan) yang sering kali memaksakan kehendaknya dengan kekerasan dan sudah banyak mencelakai orang. Ketika Warsiyem menceritakan kepada mereka betapa Singowiro itu belasan tahun yang lalu juga sudah menculiknya dan penjahat itu dikalahkan mendiang suaminya, Harun, semua orang timbul semangatnya.

   "Agaknya selama ini dia tidak berani mengganggu mereka karena takut kepada kakang Harun. Akan tetapi setelah kakang Harun meninggal, dia muncul lagi mengganggu, mungkin disangkanya bahwa tidak ada orang di Gampingan yang berani menentangnya."

   Warsiyem menutup ceritanya dengan nada sedih karena teringat kepada suaminya.

   Parto, sahabat karib Harun, menjadi panas hatinya. dia bangkit berdiri dan berseru kepada teman-temannya.

   "Kita hadapi jahanam itu! Biarkan dia datang lagi, kita keroyok dia sampai mampus. Hayo kawan-kawan, kita mengadakan pertemuan, kumpulkan semua laki-laki yang berani dan kita siap menghadapi jahanam itu sewaktu-waktu dia berani datang ke dusun kita!"

   Semua orang menyatakan setuju dan merekapun keluar dari warung itu untuk mengadakan pertemuan dengan warga yang lain.

   Aji sudah menyiapkan jamu dari Daun Kendal, Daun Jintan, dan Akar Alang-alang lalu merebusnya. Setelah kekek itu sadar dari pungsannya, dia membuka mata dan batuk-batuk kecil beberapa kali. Aji dan ibunya cepat menghampiri. Kakek itu memandang kepada mereka dan tersenyum! Senyum dan pandang matanya demikian tenang, sedikitpun tidak tampak sedih atau kesal, sama sekali tidak seperti orang yang sedang menderita sakit.

   Aji merasa semakin kagum. Tadi, ketika kakek itu belum siuman, ibunya sudah menceritakan semua apa yang telah terjadi, menceritakan keanehan ketika kakek berpenyakitan ini secara aneh membuat Ki Singowiro lari tunggang langgang! Dia merasa penasaran sekali karena dahulu ibunya pernah menceritakan tentang Singowiro yang telah membunuh kakeknya, ayah dari ibunya yang bernama Sutowiryo.

   "Setelah bapak meninggal dia berani datang lagi mengganggu ibu? Sungguh keparat!"

   Aji berkata marah, akan tetapi pada saat itu kakek tadi siuman dan bergerak sehingga mereka menghentikan percakapan tentang Singowiro itu.

   "Ah, tepat seperti yang kukhawatirkan. Orang tua tiada guna ini hanya membikin repot orang saja.....

   "

   Katanya dengan suara lemah seperti berbisik.

   Aji segera membungkuk mendekatkan mukanya dan berkata kirih.

   "Eyang, mohon eyang jangan berkata demikian. Eyang adalah penyelamat ibu saya, sudah sepatutnya kalau kami merawat eyang, bahkan mengorbankan apa saja untuk membalas budi kebaikan eyang. Bahkan kalau eyang tidak pernah melakukan apapun juga kepada kami untuk membantu seorang tua yang sebatang kara dan sedang menderita sakit."

   Kakek itu memandang kepada Aji, tersenyum lebar dan ternyata biarpun dia sudah tua sekali, ketika tersenyum lebar itu masih tampak deretan gigi yang sehat. akan tetapi sebelum dia bicara, Warsiyem mendahuluinya.

   "Paman, sebaiknya paman jangan banyak bicara dulu. Paman harus minum jamu yang sudah disediakan anak saya, dan makan bubur tajin yang sudah saya persiapkan."

   "Mari, eyang, silakan minum jamu ini lebih dulu. Eyang tentu akan sehat kembali."

   Kata Aji dan dia mendekatkan secangkir jamu itu ke mulut kakek itu sedangkan dia membantunya bangkit duduk. Kakek itu tidak menolak dan minum jamu itu sampai habis. setelah itu, Aji merebahkannya kembali dan kini Warsiyem yang duduk di tepi pembaringan dekat kakek itu sambil membawa semangkok bubur tajin dan sendok.

   "Paman, silakan makan bubur tajin agar tubuh paman menjadi kuat kembali."

   Katanya dan iapun menyuapi kakek itu dengan hati-hati. Kakek itupun tidak menolak dan semangkok bubur tajin itupun dihabiskannya. Setelah itu, dia memandang kepada ibu dan anak itu dan dia tersenyum.

   "Kalian berdua ibu dan anak sungguh baik sekali. Semoga Gusti allah akan selalu memberi berkah dan bimbingan kepada kalian."

   "Paman, bukankah paman juga baik sekali kepada kami, kepada saya? Budi paman tidak akan saya lupakan selama hidup, saya akan selalu berterima kasih, paman,"

   Kata Warsiyem.

   "Ah, nini Warsiyem. sudah kukatakan bahwa bukan aku yang menolongmu, melainkan kekuasaan Gusti Allah, maka kalau hendak berterima kasih, bersukurlah kepada Gusti Allah."

   "Maafkan kami, eyang. Sesungguhnya kami inipun sama sekali tidak menolong eyang, melainkan hanya melaksanakan kewajiban kami sebagai manusia. Yang menolong eyang adalah Gusti Allah. Tidakkah begitu, eyang?"

   Kakek itu tertawa lirih. Sepasang matanya yang bersinar lembut itu terpejam lucu ketika dia tertawa.

   "Heh-heh-heh-heh, engkau sudah mengerti akan kenyataan itu, kulup. bagus sekali. siapa namamu, angger?"

   "Nama saya lindu Aji, eyang."

   "Eh? Lindu.....?"

   Kakek itu memandang heran.

   "Begini, paman. Ketika saya mengandung tua, terjadi gempa bumi yang hebat di sini, sampai rumah kami ini ambruk. Untung kami selamat dan anak saya inipun terlahir dengan selamat. Maka kami beri nama Lindu Aji."

   Kakek itu mengangguk-angguk sambil tersenyum dan dia memejamkan mata, tertidur. Aji memberi tanda dengan telunjuknya di depan bibir agar mereka tidak bicara lagi, kemudian memberi isyarat agar ibunya keluar dengan dia dari kamar itu. Setelah tiba di luar kamar dia berbisik.

   "Dia tentu akan sembuh, ibu. Dia perlu istirahat , biarkan dia tidur."

   Ibu dan anak itu keluar dan Warsiyem mulai melayani para langganan yang mulai berdatangan karena sudah ada beberapa orang yang pulang dari sawah ladang atau lautan. Aji lalu berbaring di kamar ibunya karena dia merasa lelah sekali. Selain semalam tidak tidur, juga dia banyak mengenang kematian bapaknya, ditambah lagi peristiwa tadi yang sempat mengguncang perasaannya mendengar ibunya diganggu orang jahat. Dia rebah mengasokan badan, juga pikirannya agar bebas dari ketegangan. Seperti biasa, setelah melakukan sesuatu demi kepentingan orang lain, misalnya seperti ketika dia membantu ayahnya dahulu kalau mengobati orang, kini ada perasaan bahagia di dalam hatinya bahwa dia dan ibunya telah menolong kakek itu. Perasaan seperti itu juga dirasakan oleh Warsiyem, bahkan tentu oleh semua orang yang telah melakukan kebaikan secara tulus, menolong orang tanpa pamrih, semata-mata berdasarkan kasih kepada sesama yang menimbulkan perasaan belas kasihan kepada orang lain yang menderita.

   Tanpa disadarinya, Aji jatuh pulas. tubuhnya yang lelah dan pikirannya yang selama ini berat memikirkan kematian bapaknya, membuat dia letih lahir batin dan tidur merupakan obat yang ampuh baginnya. Beberapa jam lamanya dia pulas sampai sore dan tiba-tiba dia terbangun oleh suara rrbut-ribut yang datangnya dari luar rumah. Aji terbangun menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan, kemudian dia teringat akan ibunya dan seketika dia sadar sepenuhnya. Dia melompat turun dari pembaringannya dan berlari keluar. Dan alisnya berkerut, wajahnya berubah merah ketika melihat keadaan di luar rumahnya.

   Tiga orang laki-laki tinggi besar berpakaian serba hitam, masing-masing memegang sebatang golok, berdiri di pekarangan, mengayun-ayun golok mereka dan di atas tanah menggeletak tiga orang yang terluka dan berlepotan darah. Belasan orang laki-laki tetangga berdiri di sekitar situ, akan tetapi mereka mundur-mundur ketakutan dan hanya ada Parto dan dua orang tetangga lain yang berada di depan warung, akan tetapi mereka tampak jerih.

   "Hayo siapa lagi yang berani menghalangi kami!"

   Bentak seorang di antara tiga orang berpakaian hitam itu, yang perutnya gendut dan mukanya brewok sambil mengangkat goloknya ke atas.

   "Aku adalah Singowiro gegedug Gunung Kidul! Warsiyem adalah isteriku dan tak seorangpun boleh menghalangi aku membawa pergi isteriku!"

   Kemudian dia menghampiri pintu rumah dan berseru ke arah dalam.
  
"Hei, Warsiyem isteriku, keluarlah kau dan ikut denganku, atau akan kurobohkan rumah ini!"

   Akan tetapi tiba-tiba ada sebuah bangku mendorongnya dari dalam dan Singowiro cepat melompat ke belakang, melotot memandang kepada seorang pemuda remaja yang memegang sebuah bangku dan dipergunakan untuk mendorongnya tadi. Aji melompat ke pekarangan menghadapi tiga orang berpakaian hitam itu. Mendengar laki-laki gendut brewok itu tadi menyebut namanya, tahulah dia bahwa orang ini yang telah menculik ibunya, dan orang ini pula yang telah membunuh kakeknya belasan tahun yang lalu. Hatinya dipenuhi kemarahan dan matanya mencorong ketika dia memandang kepada Singowiro.

   "Aji.....! Jangan mendekati mereka.....!"

   Teriakan Warsiyem yang sudah muncul dari dalam ini membuat Aji menoleh. Hatinya merasa lega bahwa ibunya tidak apa-apa, maka ia berkata lantang.

   "Ibu, jangan khawatir. Aku akan menghajar penjahat-penjahat ini."

   Sementara itu, mendengar teriakan Warsiyem, Singowiro juga memandang dan dia tertawa.

   "Ha-ha-ha, Warsiyem calon isteriku! Jadi pemuda remaja ini anakmu? Heh-heh, bocah bagus. Ibumu benar, jangan coba-coba untuk menentang kami. Aku adalah calon ayahmu dan aku suka menerimamu menjadi anakku asalkan engkau menaati semua omonganku, heh-heh!"

   Aji menatap wajah Singowiro dengan sinar mata mencorong dan dia berkata lantang.

   "Heh, Singowiro! Engkau selalu mengganggu ibuku, dan engkau sudah beberapa kali dihajar oleh bapakku Harun Hambali! Sekarang karena bapak telah meninggal, akulah yang menjadi penggantinya untuk menghajarmu! Akan kubalaskan kakekku Sutowiryo yang dulu kau bunuh."

   Tentu saja Singowiro menjadi marah sekali.

   "Bocah sombong, kalau engkau menjadi penghalang, aku akan membunuhmu lebih dulu!"

   Setelah berkata demikian, dia menggerakkan goloknya menyerang dengan dahsyat. Aji memang tidak mempunyai pengalaman berkelahi, akan tetapi ilmu-ilmu silat yang dipelajari dan dilatihnya sejak kecil telah mendarah daging dengan dirinya. Gerakannya menjadi otomatis dan ketika golok itu menyambar ke arah kepalanya, dia mengelak dengan gesit sekali. Singowiro menjadi penasaran dan marah melihat bacokannya tidak mengenai sasaran. dia memutar goloknya dan menyerang secara bertubi-tubi, membacok, menusuk, membabat. Namun, semua serangan itu sia-sia, seperti menyerang bayangan saja karena gerakan Aji ketika mengelak jauh lebih gesit dan cepat.

   "Singggg.....!"

   Golok menyambar lagi membabat ke arah leher Aji. Pemuda ini merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua lututnya. Golok meluncur cepat di atas kepalanya dan pada detik itu juga, bangku ditangannya menyambar dari samping ke arah tubuh lawannya.

   "Wuuuttt..... desss.....!"

   Bangku itu menghantam pinggang Singowiro sehingga tubuhnya terpelanting.

   "Aduh.....!"

   Singowiro roboh dan dia bergulingan menjauh, lalu meloncat bangun sambil meringis karena pinggangnya terasa nyeri. Aji berdiri tegak, menanti. Dia tak pernah menggunakan bangku itu untuk menagkis, maklum bahwa hal itu dia lakukan, tentu bangkunya akan hancur.

   Singowiro baru maklum bahwa ternyata pemuda itu tangkas sekali dan menguasai ilmu silat. Dia teringat akan Harun Hambali yang dulu pernah mengalahkannya, bahkan yang memperisteri Warsiyem. Selama ada Harun di samping Warsiyem, dia tidak berani mencoba-coba untuk merampas wanita yang membuatnya tergila-gila itu. Kini setelah Harun meninggal dunia, ternyata puteranya menggantikannya melindungi Warsiyem dan menjadi penghalang baginya.

   "Bunuh dia!"

   Teriaknya kepada dua orang kawannya dan kini tiga orang itu mengepung Aji dari tiga jurusan.

   Singowiro di depan dan dua orang kawan jagoan itu di kanan kiri. Mereka bertiga mengamangkan golok dengan wajah bengis. Akan tetapi Aji tak merasa gentar sedikitpun. Dia tetap tenang. Pada saat terdengar jerit ibunya.

   "Aji.....!"

   Suara itu mengandung penuh kekhawatiran.

   Ngeri rasa hati ibu ini melihat puteranya diancam tiga orang jahat yang memegang golok itu. Mendengar jeritan ibunya, Lindu Aji menjadi marah kepada tiga orang itu. Dia mengambil keputusan untuk segera merobohkan mereka agar ibunya tidak dicekam kekhawatiran lagi. Sementara itu, Singowiro sudah mulai dengan serangannya. Goloknya menyambar dahsyat dari atas ke bawah membacok ke arah kepala Aji.

   "Yaaaahhhh !"

   Dia membentak dan membacok sekuat tenaga. Akan tetapi hanya dengan miringkan tubuhnya Aji mengelak dari bacokan itu. dari kanan kiri menyambar pula golok kedua kawan Singowiro. Aji melompat ke belakang sehingga bacokan merekapun hanya mengenai tempat kosong.

   Tiaga orang itu mengejar dan kembali mereka sudah mengepung dari tiga jurusan. Aji sudah memperhitungkan dengan baik. Ketika tiga orang itu mengangkat golok masing-masing, siap menyerangnya, dia mengeluarkan teriakan nyaring sekali.

   "Haaaiiiiittt.....!!"

   Dia membuat gerakan memutar sambil menyerang dengan bangku yang dipegang kakinya dengan kedua tangannya dan pada saat itu juga, kaki kanannya mencuat dan menendang ke arah tubuh Singowiro yang berada di depannya.

   "Dukkk.....! Takkk.....! Bluggg.....!"

   Dua orang kawan Singowiro terkena hantaman ujung bangku pada muka mereka sedangkan perut gendut Singowiro diterjang kaki kanan Aji.

   "Aduhhh..... aduhhh..... hekkk.....!"

   Tiga orang itu terpelanting dan terjengkang. Aji yang sudah marah sekali tidak berhenti sampai disitu saja. Melihat tiga orang lawannya itu merangkak hendak bangkit, diapun melompat dan bangkunya menari-nari, menyambar dan menghantami tiga orang itu berganti-ganti sampai mereka jatuh bangun terguling-guling dan tidak mampu bangkit lagi.

   "Aji.......!"

   Tiba-tiba Warsiyem lari menghampiri anaknya dan merangkulnya, menariknya ke rumah menjauhi tiga orang yang masih mendekam sambil mengaduh-aduh itu. muka mereka berdarah-darah karena beberapa kali dihantam bangku. Aji tidak membantah dan menurut saja ketika ditarik ibunya.

   Tiba-tiba terdengar sorak sorai dan puluhan orang laki-laki penduduk dusun Gampingan yang telah berkumpul di situ serentak bergerak maju dan mengeroyok tiga orang penjahat yang sudah tidak berdaya itu. agaknya melihat betapa Aji mampu merobohkan tiga orang itu, timbul keberanian dalam hati penduduk dusun Gampingan yang marah itu dan mereka kini mengeroyok dan memukuli tiga orang itu dengan senjata apa saja yang berada di yangan mereka. Ada yang menggunakan parang, linggis, pacul, bahkan ada yang menggunakan batu atau tangan saja. Tiga orang itu menjerit-jerit ketakutan dan kesakitan, minta-minta ampun, akan tetapi puluhan orang yang sudah kesetanan itu tidak mau berhenti sampai akhirnya tiga orang itu tewas dengan tubuh lumat! Aji berangkulan dengan ibunya.

   Warsiyem menutupi kedua telinganya dan memejamkan matanya, dirangkul oleh Aji yang seolah hendak melindunginya. Tiba-tiba terdengan suara lembut namun demikian jelas terdengar mengatasi keributan orang-orang yang sedang mengamuk itu.

   "Saudara-saudara sekalian, hentikan semua itu........!"

   Suara yang lembut itu mengandung wibawa yang demikian kuat, membuat semua orang menghentikan amukan mereka dan mereka menghadap ke arah kakek yang muncul di ambang pintu warung, berdiri ditopang tongkatnya. tubuhnya tegak, wajahnya masih membayangkan kelembutan namun sepasang matanya kini mencorong mengandung teguran sehingga orang-orang yang berada di situ tidak berani menentang pandang matanya melainkan menundukkan pandang mata.

   "Ya Allah, gusti.......! Saudara-saudara, apa yang kalian lakukan ini? Tidak sadarkah andika sekalian bahwa kalian telah dikuasai iblis melalui nafsu amarah dan kebencian sehingga tega melakukan kekejaman yang amat mengerikan ini? Lupakah kalian bahwa mereka bertiga juga manusia-manusia seperti andika, manusia-manusia yang tidak sempurna dan berdosa? Ampun, Gusti, semoga Paduka mengampuni kita semua......."

   Hening mengikuti ucapan kakek itu seolah menyusup ke dalam hati sanubari mreka. Mereka tidak menyesal atas apa yang mereka lakukan terhadap tiga orang yang mereka anggap kejam dan jahat

   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAGUS SAJIWO

BAGUS SAJIWO BAGUS SAJIWO JIL ID 01 BAGUS SAJIWO JIL ID 02 BAGUS SAJIWO JIL ID 03 BAGUS SAJIWO JIL ID 04 BAGUS SAJIWO JIL ID 05 BAGUS SAJIWO JIL ID 06 BAGUS SAJIWO JIL ID 07 BAGUS SAJIWO JIL ID 08 BAGUS SAJIWO JIL ID 09 BAGUS SAJIWO JIL ID 10 BAGUS SAJIWO JIL ID 11 BAGUS SAJIWO JIL ID 12 BAGUS SAJIWO JIL ID 13 BAGUS SAJIWO JIL ID 14 BAGUS SAJIWO JIL ID 15 BAGUS SAJIWO JIL ID 16 BAGUS SAJIWO JIL ID 17 ...

ALAP-ALAP LAUT KIDUL

JILID 1 JILID 2 JILID 3 JILID 4 JILID 5 JILID 6 JILID 7 JILID 8 JILID 9 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33