SERULING GADING 1 2 3 4 5 6 7 8 9 6 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 JILID 1 Puncak Argadumilah menjulang tinggi diselimuti awan putih bergerombol seperti sekelompok domba berbulu putih bergerak perlahan, berarak ke arah selatan. Sinar matahari pagi mulai menerangi permukaan Gunung Lawu yang tanahnya subur dan hijau penuh pohon dan tumbuhan. Kinar matahari pagi yang lembut dan hangat itu masih belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang amat dingin bagi manusia itu. Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah. Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu. Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan A...
itu, akan tetapi kini mereka merasa malu kepada kakek itu.
Parto mewakili kawan-kawannya dan berkata.
"Akan tetapi, paman. Tiga orang ini adalah pembunuh-pembunuh yang kejam."
"Benar, mereka bertiga adalah pembunuh-pembunuh yang kejam. Akan tetapi sekarang pandanglah sisa tubuh mereka itu dan lihatlah tangan kalian sendiri. Bukankah kalian juga membunuh dengan cara yang kejam sekali? Lalu apa bedanya antara mereka dan kalian?"
Wajah Parto menjadi pucat dan dia tidak membantah lagi. Akan tetapi seorang penduduk lain berkata.
"Akan tetapi, paman. Mereka itu datang membuat kekacauan di dusun kami, hendak menculik Warsiyem, dan melukai tiga orang teman kami yang mencoba untuk mengingatkan mereka. Apakah kita harus diam berpangku tangan saja melihat tiga orang itu melakukan kejahatan. membiarkan mereka menculik wanita dan membiarkan mereka melukai atau membunuh orang?"
Semua orang diam-diam menyetujui pertanyaan itu dan kini semua mata memandang ke arah kakek itu yang tampak tersenyum.
Kakek itu mengangguk-angguk.
"Bagus, bagus ! pertanyaan dan sikap kalian ini menunjukkan bahwa kalian mempunyai rasa keadilan, menentang yang jahat dan melindungi yang lemah. Akan tetapi cara yang kalian pakai itu keliru. kejahatan tidak boleh dibalas dengan kejahatan. Kalau kalian belum mampu menghadapi kejahatan dengan kebaikan, maka hadapilah kejahatan dengan keadilan. Akan tetapi bukan keadilan yang ngawur, bukan keadilan yang dilaksanakan seenak hatinya sendiri. Harus dilaksanakan oleh pengadilan berdasarkan hukum pemerintah yang berwenang. Apa artinya mempunyai pemerintah kalau kita bertindak sendiri? Apa gunanya ada hukum dan pengadilan kalau kita melaksanakan hukum sendiri? Ini namanya sewenang-wenang. tugas kita membantu pemerintah menjaga ketenteraman dan keamanan. Kalau kalian menangkap, tiga orang itu dan menyerahkan kepada petugas pemerintah untuk mengadilinya, itu sudah tepat dan benar namanya."
Kini Aji maju menghampiri kakek itu dan berkata.
"Kami telah bertindak salah menuruti kemarahan dan kebencian, eyang. Biarlah saya yang menanggung semua kesalahan ini, jangan salahkan kepada saudara-saudara ini karena tadi sayalah yang merobohkan tiga orang itu."
Kakek itu menatap wajah Aji dan mengangguk-angguk.
"mengakui kesalahan dan mempertanggung jawabkan perbuatan merupakan langkah yang benar. Sudahlah, semua telah terjadi. Lapor saja kepada ketua dusun dan kubur tiga jenasah itu baik-baik."
Kakek itu lalu masuk kembali ke dalam rumah, diikuti oleh Warsiyem dan Aji. Para penduduk Gampingan lalu bekerja. Meraka melapor kepada kepala dusun yang tidak menyalahkan mereka.
Membunuh penjahat pada waktu itu tidaklah melakukan pelanggaran besar, apa lagi kalau pelakunya adalah rakyat banyak. Jenasah tiga orang itu lalu dikuburkan sebagaimana mestinya, walaupun di tempat terpisah dari kuburan umum.
Mereka bertiga duduk di ruangan depan dekat warung. Ketika itu tengah hari dan seperti biasa pada siang hari, warung itu sepi. Warsiyem, Lindu Aji, dan kakek itu duduk bercakap-cakap sehabis makan siang, duduk saling berhadapan di atas bangku. Sudah tiga hari kakek itu tinggal di situ, sejak dia jatuh sakit dan ditolong oleh Aji dan ibunya. Dia kini sudah sembuh benar. Wajahnya yang kurus tampak kemerahan. Bajunya lurik dan celana kuning yang dipakainya tampak bersih karena sudah dicuci oleh Warsiyem dan kakek itu diberi pakaian peninggalan Harun untuk penggantinya. Akan tetapi setelah pakaiannya sendiri bersih dan kering, kakek itu berganti lagi dengan pakaiannya sendiri.
"Paman. maafkan pertanyaan saya. Sejak paman berada di sini, kami sudah merasa seolah paman ini keluarga kami sendiri, seperti bapakku sendiri atau seperti kakeknya Aji. Akan tetapi paman belum pernah bercerita tentang diri paman. bahkan nama pamanpun belum kami ketahui. Paman, bolehkah kami mengetahui nama paman yang mulia?"
"Ibu benar, eyang. Semua orang di dusun ini bertanya kepada saya siapa nama eyang, akan tetapi saya tidak dapat menjawabnya."
Kata Aji yang menjadi berani setelah ibunya lebih dulu menyinggung soal itu. entah mengapa, sikap kakek yang halus budi dan penyabar itu bahkan membuat Aji merasa segan, hormat dan takut mengeluarkan kata-kata yang salah di depan kakek itu.
Kakek itu tersenyum dan mengelus jenggotnya yang sudah putih seperti benang-benang perak.
"Nini Warsiyem dan engkau angger Aji, terus terang saja, selama bertahun-tahun ini aku tidak pernah memperkenalkan nama kepada siapapun juga sehingga aku sendiri hampir tidak mengenal namaku sendiri. Dahulu aku ingin membebaskan diri dari segala ikatan, tanpa keluarga, tanpa tempat tinggal, tanpa nama. Namun agaknya Gusti Allah menentukan lain sehingga mempertemukan aku dengan kalian ibu dan anak yang memberiku ikatan kekeluargaan, sandang, pangan dan papan. Karena itu sudah sepantasnya kalau aku memperkenalkan namaku. Dahulu, aku biasanya disebut orang Ki Tejobudi."
"Di mana danya keluarga paman? Isteri, saudara, anak, atau cucu?"
Tanya Warsiyem.
Ki Tejobudi menggeleng kepalanya.
"Tidak, tidak ada, aku hidup seorang diri. Atau..... lebih tepat lagi, bukankah manusia sedunia ini sesungguhnya adalah keluarga kita?"
Mendengar jawaban ini, Aji dan ibunya memandang dan Ki Tejobudi tertawa.
"kalian heran? Yang ada hanyalah sebangsa manusia, yang berbeda dengan mahluk lain. Di antara manusia yang berbeda hanya warna kulit dan rambut terpengaruh iklim, pakaian dan bahasa terpengaruh kebudayaan setempat. Suara batinnya sama persis. dengarkan suara tawa dan tangis mereka. Dari golongan atau bangsa apapun dia datang, suara tawa dan tangisnya, suara batin itu, tentu sama. bahkan pada saat lahir, suara pertama manusia, yaitu tangis, tiada bedanya sama sekali."
"Maaf, eyang. menurut penuturan ibu saya, ketika eyang menghadapi mendiang Singowiro dan eyang yang diserang olehnya, semua serangan Singowiro tidak mengenai tubuh eyang sehingga dia lari tunggang langgang. Saya percaya bahwa eyang tentu seorang yang sakti mandraguna."
Ki Tejobudi tersenyum.
"Apa sih yang dinamakan sakti mandraguna itu, kulup? Berapa kuat dan pintarnya seseorang, pasti ada yang melebihinya. Kekuatan manusia itu terbatas, sesuai dengan kodrat dan kemampuannya. Kekuatan yang tidak sesuai dengan kodrat, yang mengambil dari luar alam manusia, hanya sementara dan lebih banyak mendatangkan malapetaka bagi diri sendiri daripada kebaikan. Yang Maha Sakti adalah Gusti Allah.
Semua kekuatan dan kesaktian berasal dari Kekuasaan Gusti Allah. Kalau dipergunakan untuk kejahatan menjadi kekuatan iblis. Kalau kekuasaan Gusti Allah melindungi seorang manusia, kekuatan apakah di dunia ini yang akan mampu mengganggunya? Aku manusia biasa yang terikat oleh kodrat Yang maha sakti adalah Gusti Allah dan aku berlindung di dalam kekuasaanNya."
Pada saat itu, ada tiga orang memasuki warung dan Warsiyem bergegas memasuki warung untuk melayani pembelinya. aji ditinggalkan berdua dengan Ki Tejobudi. Kakek itu mengamati wajah pemuda itu dan bertanya dengan suara lembut.
"Aji, aku tadi mendengar bahwa engkau telah mengalahkan tiga orang yang membuat keributan itu. Agaknya engkau menguasai ilmu pencak silat. Dari siapakah engkau mempelajari ilmu itu?"
"Dahulu saya mempelajarinya dari bapak, eyang. Bapakku adalah seorang Sunda dan dia menguasai ilmu pencak silat aliran Cimande."
Kakek itu mengangguk-angguk.
"Pantas kalau begitu. Aliran itu mengandalkan kecepatan gerak, mengubah tangkisan menjadi serangan dan terutama ampuh dalam penggunaan kaki menyerang lawan."
"Wah. eyang tentu menguasai banyak ilmu silat yang tangguh. Saya percaya bahwa eyang tentu seorang yang sakti mandraguna."
Ki Tejobudi menghela napas panjang.
"Dahulu, puluhan tahun yang lalu memang kesukaanku mempelajari dan memperdalam olah kanuragan."
"Akan tetapi, maat, eyang. Eyang demikian sakti mengapa sampai menjadi sakit dan lemah? Bagaimana bisa begitu, eyang?"
Ki Tejobudi tertawa.
"Heh- heh, kenapa tidak begitu, Aji? Sudah kukatakan tadi bahwa kekuatan dan kepandaian manusia itu terbatas. Manusia tidak mungkin dapat membebaskan diri dari kodratnya. Sudah menjadi kodrat manusia bahwa tubuhnya akan menjadi tua, digerogoti usia menjadi lemah dan mudah diserang penyakit. Tidak ada kesaktian yang mampu mencegah datangnya penyakit dan datangnya usia tua, kulup. Pada akhirnya semua orang harus tunduk kepada kekuasaan Gusti Allah dan bertekuk lutut kepada kodratnya. Seberapa sih kepandaian manusia? Menghitung rambut jenggotnya sendiripun tidak mampu! Seberapa kekuatannya? Menghentikan detak jantungnya sendiripun tidak dapat! Jasmani yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah juga, kotor dan lemah. Kalau aku menjadi lemah dan sakit, apa anehnya itu."
Aji teringat akan ucapan mendiang ayahnya dulu yang menyatakan bahwa betapa tinggipun tingkat jiwa seseorang, kalau dia masih hidup di dunia ini, dia tidak akan terbebas daripada usia tua, penyakit, dan kematian. Kakek ini sakti mandraguna, akan tetapi sikapnya demikian rendah hati. Dia menjadi semakin kagum dan entah kekuasaan apa yang mendorongnya, tiba-tiba saja dia turun dari bangkunya dan menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada Ki Tejobudi.
"Eyang, saya mohon sudilah kiranya eyang menerima saya sebagai murid eyang dan mengajarkan ilmu-ilmu eyang kepada saya agar saya dapat menjadi seorang manusia yang berguna."
Ki Tejobudi tersenyum dan menghampiri Aji, menepuk-nepuk pundaknya.
"Engkau ingin menjadi seorang manusia yang berguna, Aji? Kalau begitu, tanyalah kepada dirimu sendiri lebih dulu, engkau ingin berguna untuk siapa? Untuk dirimu sendiri, untuk keuntunganmu dan kesenanganmu sendiri?"
"Tidak, eyang. Saya ingin menjadi seorang manusia yang berguna bagi Tuhan."
Ki Tejobudi terkekeh.
"Heh-heh-heh, lalu apa yang kaulakukan agar engkau berguna bagi Gusti Allah?"
Dengan cerdik Aji mengambil sikap rendah hati dan bodoh.
"Untuk menjawab itu saya mohon petunjuk dari eyang."
"Aji, Gusti Allah itu Maha Ada, Maha Punya, dan Maha Cukup. Gusti Allah tidak pernah kekurangan, tidak pernah membutuhkan, apa yang dapat kau haturkan kepadaNya? Jadilah manusia yang beguna bagi keluargamu, lalu berkembang menjadi berguna bagi semua orang, bagi bangsamu dan negaramu. Yang terakhir, menjadi berguna bagi manusia dan dunia. dengan begitu berarti engkau menjadi manusia yang berguna bagi Gusti allah, karena engkau menjadi alatNya yang baik dan berguna."
"Terima masih, eyang. Untuk dapat menjadi manusia berguna seperti yang eyang terangkan tadi, maka saya mohon eyang sudi mengajarkan ilmu-ilmu kepada saya. Tanpa ilmu bagaimana saya dapat berguna bagi orang lain?"
"Heh-heh-heh, agaknya Gusti allah telah menghendaki demikian. Baik, aku suka menerimamu menjadi murid, suka mewariskan semua yang kuketahui kepadamu agar jerih payahku mempelajari semua itu di masa lalu tidak sia-sia dan tidak hilang begitu saja. akan tetapi hanya satu syarat, yaitu ibumu harus menyetujuinya."
"Saya setuju! Saya setuju sepenuh hati saya, paman!"
Kata Warsiyem yang baru saja memasuki ruangan itu dan mendengar ucapan Ki Tejobudi. Ia lalu menghampiri dan ikut berlutut menembah di samping anaknya.
"Baiklah, aku menerima Aji sebagai muridku. Sekarang kalian bangkit dan duduklah."
Ibu dan anak itu lalu bangkit dan duduk di atas bangku, akan tetapi kembali Warsiyem harus memasuki warung karena ada lagi tamu yang hendak makan.
"Aji, dengarkan baik-baik. Ilmu kanuragan baik saja dilatih dan dikuasai untuk menguatkan tubuh dan untuk melindungi diri dari ancaman kekerasan yang datang dari luar. Akan tetapi ingat, ilmu ini hanyalah ilmu jasmani yang amat terbatas sekali. Betapapun tingginya ilmu kanuragan ini, pasti ada yang menunggulinya. Ilmu kanuragan baru menjadi ilmu yang baik kalau kaupergunakan ilmu itu demi kepentingan negara dan bangsa. Mengertikah engkau, Aji?"
Dari tempat duduknya Aji menyembah.
"Saya mengerti, eyang. Mendiang bapak juga seringkali mengingatkan saya agar mempergunakan semua ilmu yang diajarkan bapak untuk membela kebenaran dan keadilan, dan menentang kejahatan."
"Bagus, kalau begitu. Aku percaya bahwa mendiang bapakmu tentu seorang yang bijaksana sehingga kebijaksanaannya itu masih tampak pada isteri dan puteranya. Sekarang ketahuilah, Aji bahwa ada ilmu, yaitu ilmu menyerah, pasrah sepenuhnya dan sebulat-bulatnya kepada Gusti Allah."
"Ilmu menyerah, eyang? Apa itu dan bagaimana?"
Aji tidak mengerti.
"Menyerah atau pasrah kepada kekuasaan Gusti Allah yang akan bekerja dalam dirimu, membimbingmu dan melindungimu. Kalau sudah begini, kekuasaan apakah yang akan mampu mengganggumu? Jadi ingatlah, Aji. Semua ikhtiarmu, semua usaha yang dilakukan badan dan hati akal pikiranmu harus disandarkan kepada kepasrahan yang mutlak kepada Gusti Allah. Dengan demikian maka semua usaha dan tindakanmu pasti mendapat tuntunan. Dan Ingat dengan penuh keyakinan bahwa tidak ada apapun yang tidak mungkin bagi Gusti Allah. KekuasaanNya bekerja di mana saja, setiap saat dan abadi. Mau dan siapkah engkau untuk membuka hati nuranimu, menyerahkan jiwa ragamu dalam kekuasaan dan bimbingan Gusti Allah dengan sepenuh iman, ikhlas, dan tawakal?"
"Saya mau dan siap, eyang!"
Kata Aji dengan tegas.
"Kalau begitu, mari kita masuk ke dalam kamar dan pesan kepada ibumu agar jangan mengganggu kita sebelum kita keluar dari dalam kamar."
Aji lalu berlari keluar, ke warung nasi ibunya.
"Ibu, Eyang Guru minta agar ibu tidak mengganggu kami berdua yang berada dalam kamar. Eyang hendak memberi pelajaran kepadaku."
Warsiyem mengangguk-angguk dan tersenyum senang.
"Baiklah, Aji. Taati semua perintah dan petunjuk gurumu dengan sepenuh hati."
"Baik, ibu."
Aji memasuki kamarnya yang kini diperuntukkan Ki Tejobudi.
"Ji, berdirilah di dekatku dan tirukan gerakan tanganku dan ulangi ucapanku. Lakukan dengan seluruh perasaan hatimu dan dengan segala kerendahan hati karena kita menghadap ke hadirat Gusti Allah."
Aji lalu berdiri, di samping kakek itu agak dibelakangnya dan mengheningkan cipta seperti yang pernah diajarkan mendiang bapaknya. Seluruh cita rasa dan batinnya dia tujukan kepada keberadaan Gusti Allah. Dia mengikuti gerakan kakek itu ketika Ki Tejobudi mengangkat kedua tangannya dan menirukan kata-kata yang diucapkan dengan lirih dan dengan suara menggetar oleh kakek itu.
"Duh Gusti Allah sesembahan dan pujaan hamba. Disaksikan langit dan bumi beserta segala isinya, hamba berjanji bahwa akan mempergunakan segala kepandaian yang Paduka karuniakan kepada hamba untuk prikemanusiaan sejalan dengan kehendak Paduka. Hamba menyerahkan jiwa dan raga hamba ke dalam kekuasaan Paduka, semoga Paduka menerima dan memberi bimbingan dan perlindungan kepada setiap langkah dalam kehidupan hamba. Amin!"
Ki Tejobudi menggerakkan kedua tangan bertemu di depan dada membentuk sembah. Setelah diam beberapa saat lamanya, di mana Aji merasa seperti tenggelam ke dalam kehampaan yang mendatangkan perasaan seolah dia sedang melayang-layang mulailah Ki Tejobudi menggerakkan kedua tangannya dalam gerakan silat yang lembut sekali. Gerakannya seperti orang menari saja, sama sekali tidak mengandung kekerasan seperti gerakan silat pasa umumnya. Aji memperhatikan dan meniru gerakan kakek itu dengan seksama.
Dari bekal ilmu silat yang dipelajarinya dari mendiang ayahnya dan dia tahu bahwa ilmu silat harus dilakukan dengan gerakan sempurna, setiap gerak jari dan pergelangan tangan harus tepat dan setiap gerakan harus diikuti oleh perasaan sehingga gerakan itu tidak menjadi kaku dan dapat menyatu dengan seluruh anggauta tubuh, Dengan latihan yang tekun, menyatukan perasaan dengan setiap gerakan, maka gerakan itu akan menjadi gerakan otomatis, merupakan gerakan yang dipimpin oleh reflex sehingga gerakan itu dalam menaggapi gangguan dari luar amat cepatnya, lebih cepat daripada jalannya pancaindera ke pikiran.
Ki Tejobudi hanya bergerak selama lima jurus saja.
"Ingat baik-baik lima gerakan pertama tadi, Aji. Sekarang coba engkau bergerak sendiri."
Aji mengingat-ingat, lalu bergerak seperti tadi. Mula-mula kedua tangan diangkat ke atas, lalu membuat sembah dan mulailah dia bergerak seperti tadi. Ki tejobudi memperhatikan dan kadang memberi petunjuk apabila ada gerakan Aji yang dianggapnya kurang sempurna.
"Nah, kaulatih lima gerakan itu sampai menjadi gerakan otomatis, Aji. Sekarang dengarkanlah baik-baik. Semua gerakan itu adalah olah raga, namun herus didasari kepasrahan kepada kekuasaan Gusti Allah, tidak lagi dikendalikan oleh pikiran. Mulai sekarang, seperti yang sudah kaujanjikan tadi, engkau harus menyerahkan segala sesuatunya kepada kekuasaan Gusti Allah, biarlah kekuasaan Gusti Alah yang akan membimbingmu dalam segala langkah hidupmu."
"Apakah Eyang guru maksudkan bahwa saya tidak lagi boleh berusaha dengan kemauan sendiri, melainkan menyerah secara bulat kepada Gusti Allah?"
"Jangan salah mengerti penyerahan, Aji. bukan berarti penyerahan secara mandeg dan mati, membiarkan Gusti Allah bekerja sendiri dan kita tinggal enak-enak saja! Itu berarti malah menentang kehendak Gusti Allah. Manusia dilahirkan disertai alat-alat yang serba lengkap. anggauta tubuh yang sempurna, hati akal pikiran dan disertai nafsu-nafsu, semua itu untuk membantu kita dalam hidup ini dan dapat menikmati hidup. Sudah menjadi kehendak Gusti Allah bahwa semua perlengkapan itu harus kita pergunakan, harus kita kerjakan! Manusia hidup wajib berikhtiar, berusaha sekuat kemampuannya, menggunakan anggauta tubuhnya dan hati akal pikirannya. Kita tidak boleh menggantungkan kepada kekuasaan Gusti Allah semata, melainkan harus membantu! Akan tetapi, segala ikhtiar itu kita landaskan kepada penyerahan dengan keyakinan bahwa hasil keputusan terakhir berada dalam kekuasaanNya. bukan tergantung kepada usaha kita. mengertikah engkau, Aji?"
"Saya berusaha untuk mengerti, Eyang. Akan tetapi Eyang mengajarkaan agar saya menyerah kepada kekuasaan
Tuhan, di samping itu mengajarkan agar saya beusaha sekuat kemampuan saya. Bukankah dua hal ini berlawanan?"
"Sama sekali tidak, Aji. Kalau engkau sudah dapat berpasrah diri secara total, pasrah lahir batin, kepasrahan yang mendasari semua langkah hidupmu, maka Gusti Allah akan manunggal dengan jiwamu dan kekuasaan itu atau Sang Dewa Ruci (Roh Suci) yang akan menuntun semua hati akal pikiranmu, ucapanmu, dan tindakanmu. Sudahlah, Aji, hal ini amat gawat, tidak dapat kau jangkau dengan hati akal pikiranmu. Menyerah saja dengan ikhlas, beriman dan tawakal, dan Gusti Allah akan membuatmu mengerti sendiri."
Demikianlah, mulai hari itu Ki Tejobudi memberi gemblengan kepada Lindu Aji, bukan saja penggemblengan olah raga, melainkan juga olah jiwa. Selain ilmu-ilmu silat yang tinggi tingkatnya, Aji juga memperdalam ilmu pencak silat yang dipelajari dari mendiang ayahnya dengan petunjuk Ki Tejobudi. Dan sebagai puncaknya, dia menerima pelajaran yang disebut Aji Tirta Bantala (Ilmu Air dan Bumi) yaitu dua unsur yang pada hakekatnya selalu mengalah dan menyerah, namun yang pada akhirnya mengandung kekuatan yang luar biasa, mengalahkan segala yang tampak kuat dan keras. Aji Tirta Bantala ini yang didasari penyerahan kepada kekuasaan kepada Gusti Allah seperti yang diajarkan Ki Tejobudi. Adapun ilmu-ilmu silat yang diajarkan kepada Lindu Aji adalah apa yang disebut Aji Surya Candra (Matahari dan Rembulan), Aji Guruh Bumi yang berdasarkan tenaga sakti, dan ilmu pencak silat Wanara Sakti (kera Sakti).
Selama lima tahun Aji belajar dengan tekun di bawah bimbingan Ki Tejobudi. Sang Bathara Kala (sang Waktu) berlalu cepat sekali tanpa terasa dan kini Lindu Aji telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun. Tubuhnya jangkung tegap, wajahnya tampan manis, sikapnya sederhana dan rendah hati, sama sekali tidak berkesan seorang jagoan, akan tetapi langkahnya seperti seekor harimau dan sepasang matanya yang bersinar lembut itu kadang dapat mencorong penuh wibawa.
Ki Tejobudi kini semakin tua dan sakit-sakitan. Akhirnya dia jatuh sakit dan tidak dapat turun lagi dari atas pembaringannya. Aji merawatnya dengan penuh kebaktian, Juga ibunya, Warsiyem merawat kakek itu seperti kepada ayah sendiri sehingga Ki Tejobudi merasa berterima kasih dan terharu sekali. Ketika penyakitnya semakin parah, pada suatu pagi Ki Tejobudi memanggil Warsiyem dan Lindu Aji ke dalam kamarnya. Ibu dan anak itu duduk di tepi pembaringan di mana tubuh yang kurus kering kakek itu rebah dan napasnya tinggal satu-satu.
"Nini Warsiyem,"
Kata Ki Tejobudi dengan suara yang lemah dan lirih, namun cukup jelas bagi ibu dan anak itu.
"Andika seorang wanita dan ibu yang baik budi. semoga Gusti Allah memberkahimu. Selama lima tahun andika menerima dan menganggap diriku seperti orang tua sendiri. Andika seorang janda dan aku melihat Ki Parto yang telah menjadi duda sejak tiga tahun yang lalu itu seorang yang baik, dia sahabat baik mendiang suamimu dahulu, dan aku dapat melihat bahwa dia mencintamu dan juga sayang kepada Aji. Kenapa andika menolak pinangannya? akan baik sekali kalau andika dapat menjadi isterinya."
"Paman, harap jangan berkata begitu.....
"
Warsiyem menundukkan muka dan kedua air matanya menjadi basah.
Memang, beberapa bulan yang lalu Parto pernah meminangnya. Parto tetangganya itu kini sudah menjadi duda, kematian isterinya tiga tahun yang lalu dan dia tidak mempunyai anak. Ia sendiri seorang janda berusia kurang lebih tiga puluh delapan tahun, masih manis menarik karena sudah empat kali ia dipinang orang dan selalu ditolaknya dengan halus. Pinangan terakhir datang dari Parto yang juga ditolaknya dan sekarang, dalam keadaan gawat penyakitnya itu, kakek yang sudah dianggapnya sebagai pengganti orang tuanya, menganjurkan ia menikah dengan Parto.
"Paman, saya sudah berjanji kepada diri saya sendiri, berjanji kepada Akang Uun bahwa saya tidak akan menikah lagi. Tidak mungkin saya dapat melayani laki-laki lain, paman. Kang Uun adalah satu-satunya pria yang saya cinta, ngeri dan tidak dapat saya membayangkan harus berdua saja dengan anakku Aji, paman."
Teringat akan suaminya, Warsiyem menyeka air matanya.
"Ibu, apa yang dikatakan Eyang Guru tadi benar. Paman Parto itu orangnya amat baik kepada kita, Ibu masih muda dan aku sama skali tidak keberatan kalau ibu menikah dengan Paman Parto. Dia sudah seperti ayahku sendiri dan aku yakin, bapak tentu juga rela kalau ibu menjadi isteri Paman Parto."
Kata Aji dengan lembut. Dia mengira bahwa penolakan ibunya itu karena merasa rikuh kepadanya.
"Aji, cukup, jangan bicara lagi. Sampai mati aku tidak akan menikah lagi. Aku akan setia kepada bapakmu sampai ajal membawaku berkumpul kembali dengan bapakmu. Aku sudah bicara dengan Kang Parto. Ia kuanggap sebagai kakakku sendiri dan ia menerimaku sebagai adiknya. Maafkan saya, Paman. saya tidak dapat menaati anjuran paman tadi."
Ki Tejobudi menghela napas panjang.
"Demi Tuhan! Andika seorang wanita yang baik dan setia, nini. Aku kagum dan bangga. Mendiang suamimu sungguh beruntung mempunyai seorang isteri sepertimu dan Aji juga berbahagia sekali mempunyai seotrang ibu sepertimu. Sudahlah, lupakan anjuranku tadi, keputusanmu itu baik sekali. Aku tadi menganjurkan demikian karena puteramu Aji harus pergi mengabdikan diri kepada nusa dan bangsa, nini sehingga andika akan ditinggal seorang diri di sini."
"Kalau memang sudah seharusnya anakku pergi melaksanakan perintah Paman, saya sanggup hidup seorang diri. Bukankah di sebelah masih ada kang Parto yang sudah kuanggap sebagai kakak sendiri?"
"Bagus sekali kalau begitu. Sekarang, Aji, dengarkan baik-baik kata-kataku. Ini merupakan pesan terakhir dariku."
"Eyang.......
"
"Paman.......!"
Ibu dan anak itu terkejut.
"Kalian tenanglah. Aku bersukur kepada Gusti Allah bahwa pada saat terakhir ini ada kalian berdua yang menungguiku dengan kasih sayang. Dahulu aku juga mempunyai isteri, akan tetapi tidak sebaik nini Warsiyem. Aji, aku meninggalkan seorang anak, namanya Sudrajat, panggilannya Ajat. Dia ikut saudara tunggal guru denganku yang kini menjadi ayah tirinya yang namanya Ki Tejo Langit dan hidup di Banten tempat asalku. Carilah Ajat dan beritahukan bahwa aku, ayah kandungnya, telah meninggal dunia dengan tenteram dan bahagia."
"Akan saya ingat pesan eyang dan akan saya laksanakan."
Kata Aji sambil menahan keharuan hatinya. Di dalam hatinya telah tumbuh rasa hormat, segan dan sayang kepada orang tua ini yang selain mewariskan ilmu-ilmu kedigdayaan kepadanya, juga telah membantunya dalam kebangkitan jiwanya.
"Pesanku yang kedua, angger, jangan membiarkan semua yang telah kaupelajari menjadi sia-sia. Segala macam kepandaian kalau tidak dipergunakan untuk perikemanusiaan, tidak ada gunanya dan mati. Karena itu, pergilah merantau dan di mana saja engkau berada, berjuanglah untuk kepentingan manusia, bela mereka yang lemah tertindas, dan tentanglah segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan orang. Engkau adalah kawula Mataram, membantu Sang Prabu Pandan Cokrokusumo, Sultan Agung, raja yang arif bijaksana dari Mataram yang sedang menghadapi sang angkara murka, Kumpeni Belanda."
Aji sudah mendengar penuturan gurunya itu tentang gerakan Kumpeni Belanda, maka diapun mengangguk-angguk.
"Pesan kedua eyang akan saya laksanakan sekuat kemampuan saya, Eyang."
"Bagus, engkau tentu masih ingat. Segala tindakan lakukanlah dengan sekuat kemampuanmu, namun harus dilandasi kepasrahan kepada kekuasaan Gusti allah."
"Saya mengerti dan masih ingat akan semua pelajaran Eyang."
"Nah, sekarang pesanku yang ketiga, terakhir dan juga terpenting. Kalian berdua pernah bercerita padaku tentang kematian Harun yang terbunuh oleh seorang jagoan dari Galuh bernama Raden Banuseta, putera dari mendiang Aom Bahrudin yang dahulu dibunuh oleh Harun."
Kakek itu menghela napas panjang.
"Aaahhh, hukum karma, dendam mendendam, balas membalas..... terima kasih kepada Gusti Allah bahwa aku tidak sampai terjerat oleh rantai karma. Aji, ingat dan taatilah nasihatku, jangan sekali-kali engkau mendendam kepada Raden Banuseta atas kematian ayahmu....."
"Akan tetapi, Paman!"
Warsiyem membantah.
"Bagaimana kami tidak boleh mendendam? Raden Banuseta itu telah membunuh suamiku tercinta, membunuh ayah Lindu Aji!"
"Ibu benar, Eyang. Eyang sendiri mengajarkan kepada saya untuk menentang orang yang bertindak jahat. Banuseta itu telah membunuh bapak saya, bukankah sudah menjadi kewajiban saya untuk menentangnya?"
Kakek itu menghela napas lagi dan suaranya kini semakin lirih dan agak sukar, seolah dia harus megeluarkan seluruh sisa tenaganya untuk dapat berbicara.
"dendam mendendam, benci membenci, balas membalas, bunuh mebunuh! Rantai beracun ciptaan iblis itu tidak akan ada hentinya kalau kita tidak berani memutusnya! Banuseta membunuh Harun karena Harun membunuh Aom Bahrudin. Kalau kemudian engkau membunuhnya, apa kaukira tidak ada anaknya, ataupun saudara dan sanak keluarganya yang tidak akan mendendam lalu berusaha untuk membalas dan membunuhmu? Kemudian mungkin keturunanmu atau kerabatmu kembali mendendam dan membalas. Tidak akan ada habisnya saling bunuh itu, membiarkan iblis menggunakan nafsu amarah dan kebencian untuk mempermainkan manusia."
"Eyang, lalu apa yang harus saya lakukan? Apakah saya tidak boleh menentang Banuseta yang melakukan kejahatan? Apakah saya harus mendiamkan saja orang itu melakukan kejahatan dan membunuhi orang ?"
Kembali kakek itu menghela napas panjang seperti hendak mengumpulkan tenaga.
"Sama sekali tidak, angger. Kalau ternyata dia jahat, tentu saja sudah menjadi kewajibanmu untuk menentangnya. Akan tetapi penentanganmu iu semata-mata berdasarkan karena dia jahat dan mengganggu orang lain yang tidak berdosa. Jangan sekali-kali penentanganmu itu berdasarkan kemarahan, kebencian dan dendam pribadi. mengertikah engkau, Aji?"
Lindu Aji menundukkan mukanya dan menjawab lirih dan patuh.
"Saya mengerti, Eyang."
"Jangan sekali-kali membiarkan kebencian dan dendam tumbuh dan berkembang dalam hatimu karena peasaan itu merupakan nafsu seta yang merupakan racun berbahaya dan yang akan menyeretmu ke dalam perbuatan yang tidak diridhoi Guti Allah. Kalau engkau belum mampu menghadapi perbuatan kejahatan dengan kebaikan, maka hadapi kejahatan dngan keadilan yang bebas dari marah, benci dan dendam. engkau masih ingat bagaimana jika iblis menggodamu dan membangkitkan kemarahan dan kebencian dalam hatimu, Aji?"
"Masih, Eyang. Saya akan berpasrah diri kepada Gusti Allah dan mohon petunjuk dan bimbinganNya."
"Bagus, wah, aku merasa berbahagia sekali. Nini warsiyem dan Lindu Aji, sudah cukup pesanku, sekali lagi aku berterima kasih kepada kalian..... semoga Gusti Allah selalu memberi berkah dan tuntunan kepada kalian berdua..... amin, amin, ya rabba"l alamin!"
Kakek itu memejamkan kdua matanya, melipat kedua lengan di atas dada dan bibirnya bergerak-gerak, terdengar bisikan berulang-ulang "Allahu Akbar..... Allahu Akbar..... Allahu Akbar.....
"
Makin lama suaranya semakin lemah sehingga akhirnya tak terdengar lagi, hanya bibirnya yang bergerak-gerak, kemudian bibir itupun terdiam dan kakek itu menghembuskan napas terakhir, Ibu dan anak itu merasakan benar bahwa kakek itu telah wafat, mereka berbisik-bisik.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun......!"
Para tetangga datang melayat. Hampir semua penduduk dusun Gampingan datang melayat sampai jenasah itu dikebumikan. Biarpun semua orang di Gampingan mengetahui bahwa kakek yang tua renta dan tampak lemah berpenyakitan itu menjadi guru Lindu Aji, akan tetapi tidak seorangpun menyangka bahwa dari kakek itu Aji telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi dan hebat. Hal ini adalah karena Aji tidak pernah menonjolkan diri dan tidak pernah memperlihatkan ilmunya kepada orang lain.
Setelah Ki Tejobudi wafat, ibu dan anak itu setiap hari bekerja seperti biasa. Warsiyem tetap berjualan nasi di S warungnya dan Aji bekerja di sawah ladang milik mereka. Semua berjalan seperti biasa dan Aji melihat betapa sikap tetangga mereka, Parto, tetap baik dan ramah kepada mereka. bahkan sikapnya terhadap ibunya tampak melindungi dan dalam percakapan dengan duda berusia lima puluh tahun itu, jelas terbayang bahwa laki-laki itu menganggap Warsiyem sebagai adiknya sendiri. Hal ini membahagiakan hati Aji, karena bagaimanapun juga, hatinya merasa lebih bahagia kalau ibunya tetap setia kepada ayahnya dan tidak menikah lagi dengan pria lain.
Pagi itu Aji dan ibunya sudah sibuk. Sebagai penjual nasi dan segala lauk pauknya, makanan dan minuman, sejak sebelum fajar mereka berdua sudah bangun dan sibuk di dapur, mempersiapkan masakan dan minuman. Setiap pagi aji buka warung nasi dan menyapu pekarangan membersihkan rumah, barulah dia pergi ke ladang. Setelah membantu ibunya membuka warung, pada pagi hari yang cerah itu Aji menyapu pekarangan. dua batang pohon mangga di pekarangan itu mulai berbunga lebat.
Tiba-tiba terdengar jerit seorang wanita.
"..... anak-anakku.....! Tolong anak-anakku..... aduhhh..... tolong.....!"
Suara itu bercampur tangis, datangnya dari arah selatan. Aji melepaskan sapunya dan berlari keluar dari pekarangan menuju ke jalan di depan. Warsiyem juga mendengarnya dan iapun keluar dari warungnya, berlari menuju selatan.
Seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun, gelung rambutnya sepanjang punggung itu awut-awutan, pakaiannya kusut dan mukanya basah air mata, berlari terhuyung-huyung memasuki dusun Gampingan dari selatan. Karena rumah Warsiyem berada di ujung selatan dusun itu, maka ia dan Aji yang lebih dulu mendengar jerit tangis wanita itu.
"Bibi, ada apakah, bibi?"
Tanya Aji sambil menghadang di tengah jalan.
Melihat ada orang menegurnya, wanita itu mulai menangis tersedu-sedu dan yang keluar dari mulutnya hanyalah kata-kata "..... anak-anakku..... tolong anak-anakku.....
"
Akan tetapi kata-katanya itu tertutup oleh tangisnya dan matanya liar penuh rasa takut berulang kali memandang ke belakang, ke arah selatan.
Warsiyem sudah tiba di situ dan ia merangkul wanita itu.
"Tenanglah, dik dan ceritakan apa yang telah terjadi dengan anak-anakmu."
Rangkulan dan ucapan Warsiyem itu agaknya dapat menenangkan hati wanita itu.
"Aduh, mbakyu..... anak-anakku..... dua orang anakku diculik orang."
"Diculik orang? Di mana?"
Tanya Aji.
Wanita itu menghadap ke selatan dan menudingkan telunjuknya.
"Ketika kami berjalan sampai di luar dusun ini, tiba-tiba ada seorang perempuan berpakaian mewah bertemu dengan kami. Ia memandang anak-anakku, seorang anak laki-laki dan perempuan berusia tujuh dan lima tahun, dan bilang ia mau membeli anak-anakku. Tentu saja aku menolaknya dan tiba-tiba ia memondong kedua orang anakku dan membawa mereka lari menuju selatan. Tolong..... tolonglah mereka....."
"Ibu, ajak bibi ini ke rumah, aku akan mencoba melakukan pengejaran!"
Kata Aji dan diapun sudah melompat dan lari ke arah selatan.
"Aji.....! Hati-hatilah.....!"
Seru ibunya.
"Baik ibu!"
Jawab Aji tanpa menghentikan larinya. Dia pernah melatih diri dengan ilmu meringankan tubuh dan lari cepat yang disebut Aji Bayu Sakti. Setelah mempergunakan aji itu, dia berlari cepat sekali seolah kedua kakinya tidak lagi menginjak bumi. Bagaikan terbang tubuhnya meluncur ke arah selatan, ke arah Laut Kidul! Akan tetapi dia tidak melihat orang. Sejak tadi ia memperhatikan kalau-kalau ada orang di sepanjang perjalanan. Akan tetapi daerah itu sepi saja. Mungkin hari masih terlalu pagi.
Sampai dia tiba di pantai laut, dia tidak melihat seorangpun. Dia termangu-mangu menyusuri pantai menuju ke arah bukit karang yang menjulang di tepi pantai. Tiba-tiba hatinya tertarik sekali melihat ada jejak kaki memasuki pantai berpasir dan menuju ke bukit karang. Dia sudah mengenal betul daerah pantai ini. seringkali dia mencari ikan, bermain-main seorang diri, berenang dan berlatih silat kalau tidak ada orang melihatnya. Karena sering bermain di laut inilah dia juga pandai sekali berenang. Dia tahu bahwa di atas bukit karang itu terdapat banyak guha besar kecil yang tidak pernah
dikunjungi orang, guha yang menjadi sarang burung-burung walet. Dia merasa ragu, Apakah penculik dua orang anak itu mendaki bukit? Jejaknya berhenti di kaki bukit. Ini menunjukkan bahwa penculik itu tentu membawa dua orang anak yang diculiknya ke atas bukit. Tetapi untuk apa? Dan mengapa? Dia belum tahu siapa wanita itu yang mengaku dua orang anaknya diculik.
Akan tetapi melihat sekelebatan saja dia tahu bahwa ia hanya seorang wanita dusun biasa. Dari pakaiannya ia adalah seorang wanita tani. Apanya yang berharga atau menarik minat seorang penculik akan diri dari dua orang anak petani miskin? Sungguh aneh, mengherankan sekali. Aji mulai mendaki bukit batu karang itu, perlahan-lahan sambil memandang ke sekeliling dan memperhatikan dengan pendengarannya. tiba-tiba dia mendengar teriakan anak-anak, hanya satu kali lalu suara itu bungkam kembali. suara itu terdengar dari arah atas, sebelah kirinya. Dia lalu berloncatan menuju ke arah dari mana datangnya suara tadi. Tidak tampak sesuatu yang mencurigakan di sana.
Selagi dia mencari-cari dengan pandang matanya, dia memutar tubuhnya memandang ke bawah kembali dan dia melihat bayangan seorang berkelebat, lari menuruni bukit batu karang itu. Dia terkejut dan menjadi penasaran sekali, merasa tertipu oleh suara jerit kanak-kanak tadi. Kiranya selagi dia berlari naik mendaki bukit, ada orang yang melarikan diri menuruni bukit batu karang itu.
Dia mengerahkan tenaga dan berloncatan turun. Karena dia mengerahkan semua ilmunya berlari cepat berdasarkan ilmu meringankan tubuh, maka dia dapat berlari secepat terbang menuruni bukit itu. Ketika dia tiba di kaki bukit karang, dia melihat seorang wanita berlari di atas pantai berpasir. Larinya cepat sekali walaupun dia memondong dua orang anak kecil di kedua pundaknya. Dua orang anak itu tampak diam saja dan tidak meronta lagi, seperti tertidur di atas pundak wanita itu. Aji merasa tegang hatinya ketika timbul dugaan bahwa kedua orang anak itu jangan-jangan sudah mati! Dia mengerahkan tenaga sekuatnya sehingga larinya cepat sekali dan akhirnya dia dapat menyusul wanita itu.
"Sobat, berhenti dulu!"
Seru Aji sambil melompat mendahului dan memutar tubuhnya menghadapi wanita itu. Dia tertegun juga melihat seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun namun lagaknya seperti seorang gadis belasan tahun, rambutnya panjang ikal mayang dan hitam, dibiarkan terurai dan kepalanya terhias semacam tiara dari emas berhiaskan intan permata. Wajah yang bentuknya bulat itu cantik sekali, kulitnya putih mulus, sepasang matanya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya memiliki daya tarik luar biasa, bibirnya penuh dan merah membasah. Mata dan mulut itu mengandung daya tarik dan memikat, senyum dan kerling matanya genit.
Tubuhnya yang ramping padat itu mengenakan pakaian mewah dari sutera halus, telinganya memakai hiasan telinga, lehernya
berkalung emas, dan kedua lengannya juga terhias gelang emas. Pantasnya ia seorang puteri bangsawan yang kaya raya! Akan tetapi sinar matanya yang tajam dan genit itu mengandung kekerasan, kekejaman yang mengerikan. Sejenak Aji bertatap pandang dengan mata wanita itu dan hatinya merasa lega ketika dia dapat melihat bahwa dua orang anak itu tidak mati melainkan tidur atau lebih mungkin sekali, pingsan. Sepasang bibir berbentuk indah dan merah itu terbuka membentuk senyum dan tampak kilatan gigi yang berderet rapid an putih bersih.
"Aeh, pemuda tampan, siapakah andika dan kenapa andika berlari-lari mengejarku?"
Senyum itu melebar dan mata itu mengamati Aji dari kepala sampai ke kaki seperti mata seorang pedagang kuda mengamati seekor kuda yang hendak dibelinya!
Agak canggung dan rikuh juga rasa hati Aji berhadapan dengan seorang wanita cantik berpakaian mewah itu. Biasanya dia hanya bergaul dengan para wanita dusun yang sederhana. Dia menelan ludah menenagkan hatinya yang gugup, lalu menjawab sambil memandang kepada dua orang anak yang berada di atas kedua pundak wanita itu.
"Aku bernama Lindu Aji dan tadi aku bertemu dengan seorang ibu yang mengatakan bahwa dua orang anaknya diculik seorang wanita. tentu andika penculiknya dan kuharap andika suka membebaskan dua orang anak yang tidak berdosa itu agar mereka dapat kukembalikan kepada ibu mereka."
Wanita itu tertawa dan mulutnya terbuka semakin lebar sehingga kini giginya yang berderet rapi dan putih itu tampak lebih banyak. Juga tampak lidahnya yang merah muda berujung runcing.
"Heh-heh-hi-hi-hik! Lindu Aji, pemuda tampan, engkau menghendaki dua orang anak ini, boleh, akan kubebaskan mereka akan tetapi sebagai gantinya engkau harus ikut aku bersenang-senang selama tiga hari tiga malam!"
Wanita itu lalu melepaskan dua orang anak yang dipanggulnya ke atas tanah.
Dua orang anak itu rebah miring di atas tanah dan kini Aji merasa yakin bahwa mereka itu pingsan. Wajah Aji menjadi merah mendengar ucapan itu. Biarpun dia belum pernah akrab dengan wanita, namun dia sudah cukup dewasa untuk dapat menangkap apa yang dimaksudkan wanita itu.
"Aku hanya menghendaki agar engkau menyerahkan dua orang anak itu kepadaku untuk dikembalikan kepada ibunya. Aku tidak menginginkan apapun darimu!"
Katanya dengan suara tegas dan jelas mengandung penolakan atas ajakan wanita itu.
"Hei pemuda tampan tapi tolol! Engkau belum mengenal siapa aku, ya? Aku adalah Nyi Maya Dewi. di seluruh Pejajaran, dari puncak gunung-gunung sampai ke tepi laut selatan, tidak ada seorangpun laki-laki yang tidak merindukan diriku. Mereka akan berebutan untuk menjadi pilihanku, mereka akan rela mati asal dapat bersamaku semalam saja. Para muda bangsawan dan hartawan, semua merindukan aku dan sekarang andika berani menolak ajakanku?"
Nyi Maya Dewi mengerutkan alisnya dan marah karena merasa terhina. Belum pernah selama hidupnya ia ditolak laki-laki, apalagi hanya seorang pemuda berpakaian petani seperti ini!
Aji juga mengerutkan alisnya.
"Nyi Maya Dewi, bagaimanapun juga, aku bukan seorang di antara laki-laki yang kau maksudkan tadi. Sudahlah, sekarang aku hendak mengembalikan anak-anak ini kepada ibu mereka, aku tidak ada waktu untuk melayanimu lebih lama lagi."
Setelah berkata demikian, Aji menghampiri dua orang anak yang masih rebah miring di atas tanah itu.
Akan tetapi tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar. Semua ilmu silat yang pernah dilatih oleh Aji sudah mendarah daging di tubuhnya, maka diapun segera mengetahui bahwa ada serangan dahsyat mengancamnya. dengan gerakan lincah dia melompat ke belakang dan tendangan kaki Nyi Maya Dewi hanya mengenai tempat kosong. Aji terheran-heran, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa seorang wanita cantik seperti Nyi Maya Dewi itu dapat menyerang dengan tendangan kaki yang demikian kuatnya sehingga angin tendangan itu menyambar dengan dahsyatnya. Sebaliknya Nyi Maya Dewi juga terbelalak heran.
Tadi ia sudah yakin bahwa sekali tendang saja ia akan dapat merobohkan pemuda yang dianggapnya sombong itu. Akan tetapi ternyata tendangannya luput dan dapat dielakkan pemuda itu. Tentu saja ia menjadi penasaran. Cepat ia melangkah maju mengejar dan kembali kaki kanannya mencuat dalam tendangan yang lebih kuat daripada tadi. Kaki kecil mungil itu dengan kuatnya menyambar ke arah perut Aji. Pemuda itu maklum betapa kuatnya tendangan itu dan dapat membahayakan dirinya kalu sampai perutnya terkena tendangan. Dia mundur selangkah dan tangan kirinya bergerak ke bawah untuk menangkis kaki yang menendangitu. Karena maklum bahwa wanita itu memiliki tenaga besar, maka diapun mengerahkan tenaga ke dalam tangan kirinya yang menangkis.
"Syuuuttt..... dukkkk!!"
Dengan tangan miring Aji menangkis tendangan itu. Nyi Maya Dewi mengeluarkan teriakan kaget. Kakinya yang tertangkis tadi terpental dan terasa nyeri. Dengan gerakan ringan ia melangkah empat kali ke belakang. Kaki kanannya terasa berdenyut-denyut nyeri seolah tadi bertemu dengan sepotong baja. Maklumlah ia bahwa yang disangkanya hanya seorang pemuda petani biasa yang lemah itu ternyata seorang pemuda yang memiliki kegesitan dan tenaga besar. Hatinya semakin tertarik dan gairahnya semakin besar untuk dapat memiliki pemuda itu. Ia lalu berkemak kemik, megerahkan kekuatan sihirnya dan sepasang matanya mencorong menatap titik di antara kedua alis Aji lalu mulutnya berkata dengan suara mengandung wibawa.
"Lindu Aji, aku perintahkan ke padamu, berlututlah andika ke padaku!"
Tangannya digerakkan, telunjuknya menuding ke arah Aji. Pemuda itu mendadak dikuasai tenaga aneh yang mendorongnya untuk menjatuhkan diri berlutut kepada wanita itu. Akan tetapi saat itu dia teringat akan semua gemblengan yang diterimanya dari mendiang Ki Tejobudi dan tahulah dia bahwa ada kuasa gelap menyerangnya. Dia segera mengangkat kedua tangan ke atas dan membaut gerakan menyembah di depan dada. Perasaan sejuk, tenteram dan kuat sekali memasuki dirinya dan mengusir dorongan tidak wajar tadi, Dia memandang wanita itu, tersenyum dan berkata dengan lembut dan penuh kesabaran.
"Nyi Maya Dewi, kalau andika ingin berlutut, mengapa tidak andika lakukan saja sendiri?"
Terjadi keanehan. mandadak saja wanita cantik itu menekuk kedua lututnya dan ia sudah berlutut menghadap Aji! Akan tetapi hal ini terjadi hanya sebentar saja karena Nyi Maya Dewi segera menyadari akan keadaannya. Ia memekik marah dan melompat berdiri. Matanya mencorong seperti mengeluarkan api ketika ia memandang Aji. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pemuda ini selain bertenaga besar, juga mampu menolak sihirnya bahkan membalikkan daya sihirnya menyerang dirinya sendiri!
"Keparat, engkau sudah bosan hidup!"
Bentak wanita itu dengan suara melengking saking marahnya dan tangan kanannya melepaskan sehelai sabuk sutera berwarna emas yang panjangnya tidak kurang dari dua meter, Inilah senjata wanita itu, senjata yang aneh tetapi amat ampuh, disebut Sabuk Cinde Kencana. Begitu ia menggerakkan sabuk sutera itu, tampak sinar emas berkelebat di udara dan terdengar bunyi ledakan nyaring.
"
Tar-tar-tar.....!!"
Akan tetapi Aji tidak menjadi gentar. Biarpun selama hidupnya baru satu kali berkelahi, yaitu ketika melawan mendiang Singowiro dan dua orang kawannya, namun ilmu-ilmu yang dipelajarinya telah mendarah daging sehingga setiap saat dapat saja dia pergunakan untuk membela diri dari ancaman bahaya yang menyerangnya. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang, lutut agak ditekuk sedikit, seluruh syaraf di tubuhnya siap namun tubuhnya tidak kaku melainkan lentur, kedua kakinya ringan dan sepasang matanya mencorong menatap wajah wanita itu.
"Nyi Maya Dewi, aku tidak ingin bermusuhan dan berkelahi denganmu. Akan tetapi katakanlah, mengapa engkau menculik dua orang anak ini? Apakah kesalahan mereka atau ibu mereka kepadamu. Dan akan engkau apakan mereka?"
Kata Aji sambil mengalihkan pandang matanya kepada dua orang anak itu. Dua orang anak itu ternyata sudah sadar dan duduk di atas pasir. Anak laki-laki yang berusia kurang lebih tujuh tahun itu merangkul adiknya, anak perempuan yang berusia lima tahun dan yang menangis lirih.
"Lindu Aji, apa perdulimu dengan urusan pribadiku! Aku hendak menculik atau membunuh siapapun juga, apa urusanmu?"
Bentak wanita itu dan kini bagi Aji, kecantikan wanita itu berubah menyeramkan, cantik akan tetapi wajah itu penuh sinar mengerikan, kejam dan jahat sekali, seperti wajah iblis betina! Mata itu seperti mata seekor anjing gila yang pernah dia lihat di dusun kemudian dibunuh ramai-ramai oleh penduduk.
"Aku tidak akan perduli kalau urusan pribadimu tidak menyangkut orang lain. Engkau boleh jungkir balik, gulung koming (bergulingan), jatuh bangun atau terjun ke laut, aku tidak akan perduli. Akan tetapi kalau engkau menculik dua orang anak yang tidak berdosa, urusan itu sudah menyangkut keselamatan dua orang anak. Terpaksa aku harus mencampuri dan turun tangan."
"Hemm. begitukah, bocah sombong? Memangnya engkau ini seorang pendekar, seorang pahlawan, seorang kesatria?"
Wanita itu mengejek sambil memegang sabuk sutera emasnya, direntang melintang di depan dadanya yang membukit.
Aji teringat akan pesan mendiang ayahnya dan juga mendiang gurunya dan dia menjawab gagah.
"Aku akan selalu berusaha untuk menjadi seorang penegak kebenaran dan keadilan, pembela mereka yang tertindas, dan penentang mereka yang jahat dan sewenang-wenang seperti engkau!"
"Babo-babo, Lindu Aji! Engkau bocah kemarin sore yang masih berbau brambang dan kencur! Engkau berani menentang aku, Nyi Maya Dewi yang terkenal sebagai jago betina tanpa tanding di sepanjang sungai Ci Sadea sampai ke muaranya di Laut Kidul?"
Aji tentu saja sama sekali belum pernah mendengar akan nama dan juga tempat itu yang berada jauh di barat, yang termasuk daerah Parahiyangan karena dia belum pernah beranjak dari dusunnya. Akan tetapi dia sudah banyak mendengar dari cerita mendiang bapaknya, juga mendiang gurunya bahwa di seluruh Nusantara terdapat banyak sekali orang-orang yang sakti mandraguna, baik dari golongan bersih, yaitu para pendekar, maupun dari golongan kotor, yaitu para penjahat. Dan agaknya wanita ini termasuk golongan kotor yang tidak segan melakukan perbuatan jahat mengandalkan kesaktiannya.
"Sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin bermusuhan denganmu, Nyi Maya Dewi. Serahkan dua orang anak itu kepadaku dan aku akan minta maaf kepadamu atas sikapku ini."
"Engkau tidak ingin bemusuhan, akan tetapi aku ingin membunuhmu! Mampuslah! Tarrr.......!"
Sabuk di tangannya itu tiba-tiba berkelebat menyambar bagaikan kilat ke arah kepala Aji!
Aji merendahkan tubuhnya dan menggeser kakinya sehingga sambaran Sabuk Cinde Kencana itu luput mengenai kepalanya dan meluncur lewat di atas kepalanya. Akan tetapi dengan cepat sekali sabuk bersinar keemasan itu datang menyambar lagi. Aji mengelak lagi, hanya untuk dikejar oleh sambaran lain. Sabuk itu bergerak cepat bukan main, menyambar-nyambar bagaikan seekor burung menyerang mangsanya. Namun, Aji lalu memainkan ilmu silat Wanara Sakti (kera Sakti). Sikap tubuhnya seperti seekor kera saja, berloncatan dan bergulingan, cekatan bukan main sehingga semua smbaran ujung sabuk itu tidak ada yang pernah menyentuh tubuhnya! Mendiang Ki Tejobudi melatih Aji dengan ilmu silat yang mengandalkan kejelian penglihatan, ketajaman pendengaran, dan keringanan tubuh ini.
Ketika berlatih, Ki Tejobudi menyerangnya dengan sebatang ranting secara bertubi-tubi, makin lama semakin cepat dan Aji harus dapat mengelak dari semua serangan itu. Bahkan lalu mempergunakan butir kacang untuk menghujaninya dengan sambitan dan pemuda itu harus mampu mengelak dari semua kacang yang menyambar. Latihan ketajaman pendengaran dilatih dengan duduk di tepi laut mendengarkan suara air yang beraneka ragam, mencoba untuk menangkap satu-satu semua suara yang berbeda-beda itu, dan di waktu malam mendengarkan penuh perhatian akan suara kutu-kutu walang-atogo (binatang-binatang yang berbunyi di waktu malam), membedakan satu-satu semua suara yang bercampur aduk itu. melatih kejeliaan mata dengan menampung air hujan lalu mempergunakan air dalam tempayan yang dipercik-percikkan dengan tangan ke arah kedua mata yang tetap dibuka. Latihan seperti ini dilakukan bertahun-tahun lamanya, barulah Aji dapat melakukan ilmu silat Wanara Sakti dengan baik.
Nyi Maya Dewi menjadi penasaran bukan main. Ia sudah menyerang dengan mengerahkan seluruh tenaganya sehingga sabuk cinde itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar keemasan yang menyambar-nyambar. Namun tak pernah senjatanya itu menyentuh pemuda yang bergerak seperti monyet sehingga tubuhnya berkelebatan dengan amat gesitnya. Ilmu silat Wanara Sakti ini memang harus dilengkapi dengan sikap nakal seekor monyet, maka Aji lalu mengejek,
"Hayo, Nyi Maya Dewi, perlihatkan kepandaianmu. masa seorang jago betina begini lambat gerakannya? Heh-heh!"
Ejekan ini mengena. Wanita itu menjadi marah bukan main.
"Jahanam, mampus kau!"
Ia membentak dan sabuknya menyambar dengan kuat sekali. Akan tetapi kemarahan membuat ia lengah. Sabuknya menyambar dari atas ke bawah, ketika luput ujung sabuk menhantam batu karena tadi Aji melompat dan berdiri mengejek di atas batu itu.
"Pyarr.....!"
Batu itu pecah ketika dihantam ujung sabuk. Kesempatan ini dipergunakan Aji untuk membalas menyerang. Cepat sekali tangan kirinya menyambar ujung sabuk yang terhenti gerakannya sejenak setelah menghantam batu. Dia mengerahkan tenaga saktinya untuk menahan sabuk itu dan
Komentar
Posting Komentar