Langsung ke konten utama

SERULING GADIN

  SERULING GADING  1 2 3 4 5 6 7 8 9 6 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 JILID 1    Puncak Argadumilah menjulang tinggi diselimuti awan putih bergerombol seperti sekelompok domba berbulu putih bergerak perlahan, berarak ke arah selatan. Sinar matahari pagi mulai menerangi permukaan Gunung Lawu yang tanahnya subur dan hijau penuh pohon dan tumbuhan. Kinar matahari pagi yang lembut dan hangat itu masih belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang amat dingin bagi manusia itu. Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah. Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu.    Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan A...

ALAP ALAP LAUT KIDUL JILID 6

  tangan kanannya lalu bergerak mendorong ke depan, ke arah dada lawan. Pukulan ini juga masih merupakan jurus Wanara Sakti, akan tetapi dorongan tangan kanan itu diisi dengan tenaga sakti Surya Candra yang dahsyat. maka ketika dia memukul, dorongan telapak tangan kanan itu mendatangkan sambaran hawa pukulan yang amat kuat.

   Nyi Maya Dewi terkejut bukan main. Tangan kanannya masih menahan dan mencoba untuk membetot lepas sabuk cindenya yang ujungnya tertangkap lawan. Kini, melihat serangan lawan dengan dorongan tangan kanan yang mendatangkan hawa pukulan dahsyat itu, iapun cepat mendorongkan telapak tangan kirinya untuk menyambut. inilah aji pukulannya yang ampuh, disebut Aji Wisa Sarpa (Ilmu Pukulan Bisa Ular). Dua tenaga sakti yang keluar dari dua telapak tangan itu bertemu di udara dengan hebatnya.

   "Dessss..... pratttt !!"

   Tubuh Nyi Maya dewi terjengkang dan terhuyung sedangkan Aji hanya mundur dua langkah. Wanita itu terkejut bukan main ketika melihat betapa sabuk di tangan kanannya tinggal sepotong. ternyata sabuk itu putus di tengah-tengah!

   Aji melempar potongan sabuk ke atas tanah dan berkata lembut.

   "Nyi Maya Dewi, sudah kukatakan padamu bahwa aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Tinggalkan anak-anak itu dan pergilah, jangan ganggu orang lagi."

   Akan tetapi Aji kecelik kalau dia menduga wanita itu akan mau sudah begitu saja. Nyi Maya Dewi adalah seorang wanita keturunan bangsawan Pajajaran yang telah menyeleweng dan tersesat ke dalam kesesatan golongan hitam.

   Ia dikenal sebagai seorang datuk wanita yang ditakuti, memiliki banyak macam ilmu kanuragan, sudah banyak pengalaman berkelahi dan banyak pula tipu muslihatnya. Akan tetapi ia memiliki kelemahan, yaitu mata keranjang. Ia tidak tahan melihat pria tampan, apa lagi yang gagah perkasa. Ia tidak akan berhenti berusaha sebelum dapat memperoleh pria itu dalam pelukannya. tentu saja hal ini tidak begitu sukar baginya karena ia memiliki kecantikan wajah dan keindahan tubuh yang membuat banyak pria tergila-gila. Kalau sang pria menolak, ia masih dapat mengandalkan ilmu sihirnya untuk menundukkan pria itu, atau bahkan menggunakan kesaktiannya untuk memaksakan kehendaknya. Kalau semua usaha gagal, ia akan membunuh pria itu! Dan kalau berhasil, iapun hanya akan menjadikan pria itu sebagai permainan selama beberapa hari saja karena Nyi Maya Dewi adalah seorang wanita pembosan dan selalu haus akan laki-laki baru.

Mendengar ucapan Aji itu, tiba-tiba Nyi Maya Dewi tersenyum, manis sekali dan menghampiri Aji. Dihampiri wanita itu yang makin mendekat, tentu saja Aji menjadi rikuh diapun mundur beberapa langkah.

   "Aji, mengapa engkau menjauh? Aku kagum sekali padamu, Aji. Aku jatuh cinta padamu. Tidak maukah engkau menjadi sahabat baikku? Bukan saja aku akan menyerahkan anak-anak itu kepadamu, bahkan aku akan membantumu dalam segala hal. Akan tetapi bersikaplah manis padaku, jangan memusuhi aku, Aji."

   Suaranya demikian merdu merayu dan memang dalam suaranya itu terkandung Aji pengasihan yang dapat menundukkan hati kaum pria. Sejenak hati pemuda iti terguncang dan tiba-tiba dia merasa kasihan kepada wanita itu. Akan tetapi dia tetap waspada dan menyadari bahwa perasaannya inipun tidak wajar.

   Untung baginya bahwa dia telah banyak mempelajari tentang bahaya serangan ilmu sihir dan tenung dan dia telah memiliki kekuatan dasar, yaitu Aji Tirta Bantala yang berdasarkan penyerahan kepada kekuasaan Gusti Allah. Begitu dia menyerah dan membiarkan kekuasaan gaib ini melindunginya, maka perasaan kasihan yang tidak wajar itupun lenyap. Wajah wanita itu yang tadinya memelas tampak mengerikan kembali, wajah yang penuh rangsangan nafsu berahi.

   "Nyi Maya Dewi, aku tidak memusuhimu. Pergilah dengan damai.....

   "

   "Hyaaaatttt.....!"

   Tiba-tiba wanita itu menyerangnya dengan dahsyat sekali. Kedua tangannya membentuk cakar dan sepuluh buah kuku tangannya berubah menghitam. Bagaikan seekor kucing iapun menyerang dengan kedua cakarnya dan Aji mencium bau amis keluar dari kedua tangan itu.

   Nyi Maya Dewi sudah menyerang dengan Aji Sarpa Naka (Kuku Ular) dan setiap kuku jarinya mengandung racun ular yang mematikan. sekali kena guratan kuku itu sudah cukup menewaskan lawan.

   Aji yang selalu waspada, cepat mengelak dan otomatis dia sudah bersilat dengan ilmu silat Wanara Sakti. Akan tetapi ketika dia melompat ke belakang, wanita itu cepat menubruk ke arah dua orang anak itu. Anak laki-laki itu berteriak, akan tetapi ia sudah diringkus dan dipondong Nyi Maya Dewi dan dibawa lari ke arah laut! Anak perempuan yang direnggut lepas dari kakalnya itu menjerit-jerit ketakutan melihat kakaknya dilarikan wanita itu. Aji tertegun sejenak. Sama sekali tidak mengira bahwa serangan wanita yang dahsyat tadi hanya pancingan saja agar perhatiannya terpecah sehingga dengan mudah wanita itu dapat melarikan anak laki-laki yang tadi berpelukan dengan adiknya.

   "Heii ! Berhenti, kembalikan anak itu!"

   Aji berteriak marah dan dia lalu mengejar dan berlari cepat.

   Akan tetapi Nyi Maya Dewi ternyata tidak berlari menyusuri pantai, melainkan terus ke arah lautan, menerjang ombak besar yang datang bergulung-gulung! Tentu saja Aji merasa heran dan kaget, akan tetapi demi keselamatan anak laki-laki itu, dia mengejar terus. Ketika gelombang menggulungnya, dia menyelam dan berenang. Setelah ombak lewat, dia melihat Nyi Maya Dewi berenang ke tengah, memiting anak itu. Aji tidak mau kalah dan diapun berenang secepatnya. Untung bahwa dia juga mahir sekali berenang karena sudah terbiasa bermain-main di laut yang bergelombang itu.

   "Nyi Maya Dewi, lepaskan anak itu atau aku akan terpaksa memusuhimu!"

   Teriak Aji setelah dekat. Wanita itu tertawa dan tiba-tiba ia membalik dan berenang menhampiri Aji. Setelah dekat, ia melemparkan anak laki-laki itu ke arah Aji.

   "Terimalah anak ini, hi-hi-hik!"

   Aji menjulurkan kedua lengan dan menerima anak itu.

   ternyata ank itupun dapat bergerak dan berenang. Dia lalu mendorong anak itu ke arah pantai dan berkata.

   "Adik, cepat berenang ke tepi. Cepat!"

   Anak itu menurut, berenang ke arah pantai. Untuk melindunginya menghadang. Kini mereka berhadapan dan Nyi Maya dewi tertawa-tawa. Di air, dengan rambutnya berderai dan pakaiannya basah kuyup melekat ketat di tubuhnya, ia Nampak seperti seekor ikan duyung atau bahkan seperti puteri Ratu Laut Kidul yang terkenal dalam dongeng.Akan tetapi suara tawa dan sinar matanya tetap mengerikan bagi Aji dan diapun bersiap-siap karena jelas tampak olehnya bahwa wanita itu pandai sekali bergerak di dalam air, tiada ubahnya seekor ikan saja!

   "Hi-hi-hik, di darat engkau masih mampu menandingi aku, akan tetapi di sini? Dalam air segara kidul ini, nyawamu berada di tanganku, Aji!"

   Wanita itu tertawa-tawa gembira. Biarpun ada perasaan khawatir dalam hati Aji melihat betapa lincahnya wanita itu bergerak dalam air, namun dia berkata tegas.

   "nyawaku selalu berada di Tangan Gusti Allah!"

   "Hi-hik, kita lihat saja!"

   Dan tiba-tiba wanita itu menghilang! aji tahu bahwa wanita itu menyelam. Ini berbahaya karena wanita itu tentu dapat menyerangnya dari bawah dan sukar baginya untuk melindungi dirinya. Maka diapun menarik napas sampai dadanya penuh, lalu diapun menyelam. Untung sudah terbiasa baginya menyelam smbil membuka mata kalau dia bermain-main di air untuk melihat ikan. Matanya sudah terbiasa dan tidak pedas lagi terkena air laut. Dia melihat bayangan wanita itu yang meluncur cepat ke arahnya dengan kedua tangan dijulurkan. Dia mengelak ke samping san lengannya bergerak menangkap lengan lawan.

   Memukul dalam air tiada gunanya karena tenaga pukulannya akan habis kekuatannya tertahan air. Maka dia berusaha untuk menangkap lengan wanita itu. Akan tetapi wanita itu dapat bergerak gesit bukan main. Bukan saja telah dapat menarik kembali lengannya sehingga tidak dapat tertangkap, bahkan tubuhnya sudah meluncur melalui bawah tubuh Aji dan tiba di belakangnya! Aji cepat bergerak membalik, akan tetapi di kalah cepat. Sebuah tamparan mengenai pelipisnya. Tamparan itu itu tidak terlalu keras karena tertahan air, namun tetap saja membuat dia terpelanting. Sebelum dia dapat mengtur kedudukan tubuhnya, tiba-tiba kedua kakinya dipegang kedua tangan wanita itu. Kuat

   sekali pegangannya.

   Aji menendang-nendangkan kedua kakinya. Akan tetapi wanita itu tetap menempel dengan memegangi kedua pergelangan kakinya seperti seekor lintah! Pada saat itu, Aji sudah mulai kehabisan napas. Hawa yang disedot dan ditampung dalam paru-parunya tadi sudah dihembuskan keluar semua. Dan hampir tidak tahan lagi dan dia mengerahkan seluruh tenaga pada kaki dan tangannya sehingga tubuhnya meluncur ke atas. Akan tetapi kedua tangan itu masih tetap memegangi kedua kakinya. Aji berhasil muncul di permukaan air sebatas lehernya. Paru-parunya yang kehausan itu mengisap hawa sebanyaknya. akan tetapi baru satu kali dia menghirup udara, tubuhnya sudah ditarik lagi ke bawah! Kembali mereka berdua bergulat dalam air. Akan tetapi Aji harus mengakui bahwa lawannya amat mahir dan juga kuat menahan napas.

   Setelah meronta-ronta dengan sia-sia, kembali dia kehabisan napas dan sudah beberapa kali terpaksa menelan air. Dia gelagapan dan kepalanya menjadi pening. Ketika akhirnya dengan sisa tenaganya dia berhasil munculkan kepalanya di permukaan air dan menghirup udara, tiba-tiba sebuah tamparan menghantam tengkuknya.

   "Plakk"

   Kuat sekali hanyaman itu dan Aji terkulai, pingsan. Tamparan mengenai tengkuk itu dilakukan oleh tangan yang terlatih baik sehingga tepat mengenai sasaran, tidak mematikan, tidak mendatangkan luka dalam yang parah, namun membuat orang pingsan seketika.

   Nyi Maya dewi lalu berenang ke tepi sambil merangkul Aji yang telentang. Cara Nyi Maya Dewi menyeret Aji yang pingsan menunjukkan bahwa ia memang ahli bermain di air. Aji diseret dengan dijambak pada rambutnya sehingga muka pemuda itu berada di atas permukaan air. Tak lama kemudian Nyi Maya Dewi sudah tiba di pantai. Ia menyeret Aji ke pinggir dan setelah tiba di kedalaman selutut ia memondong tubuh pemuda itu dengan ringannya dan membawanya ke pantai berpasir. Ia terus naik sampai tiba di kaki bukit karang. Ia mencari-cari dengan pandang matanya akan tetapi tidak menemukan dua orang anak yang tadi diculiknya.

   Nyi Maya Dewi tertawa.

   "Hi-hik, tidak apa aku kehilangan mereka berdua. Masih banyak anak yang lebih mungil dan sehat untuk kudapatkan sebagai penggantinya. Akan tetapi mendapatkan seorang pemuda setampan dan segagah ini sungguh amat sukar,"

   Katanya. Ia lalu mendekatkan mukanya dan mencium muka pemuda itu, kemudian ia merebahkan Aji di bawah sebatang pohon kelapa. Setelah itu, tanpa malu dan tanpa khawatir kalau-kalau ada orang yang melihatnya, wanita itu lalu menanggalkan pakaiannya satu demi satu. Dalam keadaan telanjang bulat ia memeras semua pakaiannya yang basah kuyup, mengebut-ngebutkannya agar cepat kering. Kemudian ia mengenakan lagi pakaiannya dan menghampiri Aji yang masih menggeletak telentang di atas tanah.

   "Kasep (bagus), sekali ini engkau harus menuruti keinginanku,"

   Kata Nyi Maya Dewi mengeluarkan sebuah botol kecil yang tadi ia selipkan di ikat pinggangnya. Botol kecil itu berisi cairan merah. Ia membuka tutup botol kecil itu dan tangan kirinya membuka mulut Aji, siap hendak menuangkan isi botol ke dalam mulut pemuda itu.

   Pada saat itu, Aji sadar dari pingsannya. Biarpun kepalanya masih agak pening dan pikirannya masih gelap, namun dengan naluirinya yang tajam dia segera dapat merasakan adanya bahaya yang mengancam dirinya. Maka, tiba-tiba saja tangannya bergerak memukul botol kecil yang sudah ditempelkan dibibirnya itu, meronta dan menggulingkan tubuhnya ke kiri.

   Nyi Maya Dewi terkejut sekali. Botol itu terlempar dan isinya tumpah, juga pegangannya pada kepala pemuda itu terlepas. Melihat pemuda itu menjauhkan diri sambil bergulingan, ia cepat bangkit dan hendak mengejar dan menyerang. Akan tetapi Aji yang kini sudah sadar betul, ingat bahwa dirinya tadi terpukul pingsan dan tertawan, maklum akan datangnya bahaya. Dengan tubuh menelungkup, kaki tangan di atas tanah seperti merangkak, tiba-tiba dia mengeluarkan sura gerengan yang dahsyat sekali. Gerengan itu menggetarkan tanah disekitarnya dan Nyi Maya Dewi juga tergetar dan terhuyung seolah-olah terjadi gempa bumi! Itulah ilmu yang disebut aji Guruh Bumi yang kekuatannya hebat bukan main.

   Nyi Maya Dewi terkejut melihat pemuda itu kini sudah bangkit berdiri, ia menjadi jerih. Tadinya ia sudah merasakan kehebatan pemuda ini. Ia telah memandang rendah dan merasa menyesal mengapa ketika pemuda itu pingsan, ia tidak mengikatnya agar dia tidak berdaya. Kini, ia merasa jerih untuk melawan lagi dan sambil mengeluarkan suara melengking mirip tangis akan tetapi juga tawa, ia lalu melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.

   Aji tidak mau mengejar. Dia lalu mencari-cari dua orang anak yang ditolongnya tadi, Mereka tidak mungkin berlari jauh, pikirnya. Kalau mereka melarikan diri, hendak lari ke mana? Mungkin mereka masih bersembunyi di sekitar tempat ini. Aji lalu mengerahkan tenaga, berteriak nyaring,

   "Adik-adik, di mana kalian? ke sinilah, akan kuantar kalian kepada ibu kalian!"

   Teriakannya melengking dan bergema di empat penjuru. dugaannya tidak salah. Dua orang anak itu masih bersembunyi, tak jauh dari situ, di balik batu-batu karang. Mendengar seruan itu, mereka mengintai dari balik batu karang dan melihat bahwa yang berteriak dan berada di pantai berpasir hanya laki-laki yang tadi menolong mereka dan wanita iblis yang menculik mereka tadi tidak tampak lagi, mereka lalu bergandeng tangan dan berlari keluar menghampiri Aji.

   Aji menyambut mereka dengan kedua lengan dikembangkan dan wajah penuh senyum gembira. Hatinya merasa girang sekali melihat mereka dalam keadaan selamat. Usahanya menolong mereka telah berhasil baik dan dia merasakan suatu kegembiraan yang luar biasa. Inilah yang dimaksudkan mendiang Ki Tejobudi ketika dia mengatakan bahwa kepentingan orang lain merupakan kebahagiaan menolong orang itu. Dua orang anak itu berlari menghampirinya dan setelah dekat, Aji merangkul kedua orang anak itu.

   "Kami menghaturkan terima kasih atas pertolongan kakangmas kepada kami."

   Kata anak laki-laki itu dan Aji memandang heran. kedua orang anak itu berpakaian lusuh seperti anak dusun. Dan anak laki-laki itu baru berusia tujuh tahun, akan tetapi cara dia bicara sama sekali bukan seperti anak dusun. Bahasanya begitu teratur dan rapi, juga hormat seperti seorang anak yang berpendidikan. Juga setelah kini dia mengamati, dua orang anak itu berwajah tampan dan manis.

   "Adik-adik yang baik, siapakah nama kalian?"

   "Nama saya Priyadi, dan ini adik saya bernama Wulandari,"

   Jawab anak laki-laki itu. Aji mengangguk-angguk. Tidak salah dugaannya, mereka ini bukan anak-anak dusun biasa. Baru nama mereka saja sudah menunjukkan bahwa mereka ini anak "priyayi", nama mereka begitu indah.

   "Kakangmas yang telah menyelamatkan kami, siapakah nama andika?"

   Tanya anak laki-laki yang mengaku bernama Priyadi itu.

   "Namaku Lindu Aji, sebut saja aku Mas Aji."

   "Mas Aji, di mana ibuku?"

   Tanya anak perempuan berusia lima tahun yang bernama Wulandari itu. Anak inipun tidak pemalu dan kata-katanya juga teratur.

   "Ia berada di rumahku, mari kalian kuantar menemui ibu kalian,"

   Kata Aji yang lalu menggandeng dua orang anak itu dan berjalan menju pulang.

   Sementara itu, ibu kedua orang anak yang diculik itu dihibur oleh Warsiyem. Mereka berdua duduk di warung dan wanita itu sudah berhenti menangis setelah dihibur oleh Warsiyem. Warsiyem melihat bahwa wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang berpakaian lusuh seperti orang dusun itu sebenarnya cukup cantik dan berkulit bersih, juga sikapnya tidak seperti orang dusun.

   "Tenangkan hatimu, dik. Anakku Aji itu tangkas dan pemberani. Aku percaya dia akan dapat menemukan dan membawa kembali kedua orang anakmu itu."

   "Mudah-mudahan begitu, mbakyu. Tanpa mereka, rasanya aku tidak akan dapat hidup sendiri. Hanya mereka berdua itulah yang kumiliki,"

   Kata wanita itu sambil menyeka air mata.

   Warsiyem menuangkan air teh.

   "Minumlah agar tenang hatimu, kemudian ceritakan siapa adik ini kalau tidak keberatan. Adik tentu bukan orang daerah sini dan mengapa adik dapat berada di sini."

   Wanita itu menarik napas panjang.

   "Namaku Jumintan, mbakyu. Sebaliknya, siapakah nama mbakyu yang telah menolongku?"

   "Aku Warsiyem, suamiku telah tiada. aku tinggal hidup berdua di sini bersama anakku tadi, Dia bernama Lindu Aji."

   "Aku juga seorang janda, mbakyu Warsiyem. Suamiku seorang perwira, meninggal dunia setengah tahun yang lalu, gugur dalam perang melawan pasukan Giri. Suamiku seorang perwira Mataram. Tadinya kami tinggal di kota raja Mataram.

   Setelah suamiku gugur, aku hanya hidup bertiga dengan dua orang anakku, Priyadi dan Wulandari yang diculik orang itu."

   "Wah, kalau begitu engkau adalah seorang priyayi!"

   seru Warsiyem.

   "Suamimu seorang perwira kerajaan Mataram!"

   "Ah, tidak juga, mbakyu. Aku dulu seorang gadis dusun, kemudian menikah dengan suamiku yang memang keturunan prajurit Mataram. Sama sekali kami bukan trahing kusumo rembesing madu (berdarah bangsawan), melainkan rakyat biasa saja."

   Mendengar ini, Warsiyem tersenyum dan teringatlah ia akan pendapat suaminya tentang kebangsawanan yang disebutnya keturunan "menak".

   "kebangsawanan seseorang sama sekali tidak ditentukan oleh darah keturunannya, melainkan oelh sepak terjangnya dalam hidup ini."

   Demikian pendapat suaminya.

   "Lalu bagaimana engkau sampai meninggalkan kota raja bersama anak-anakmu sehingga terjadi penculikan itu, dik Juminten?"

   Janda muda itu menghela napas panjang, lalu mengamati majah Warsiyem.

   "Sudah berapa lamakah mbakyu menjadi janda?"

   "Hem, sudah lima tahun lebih, kenapa?"

   "Kalau begitu, ketika mbakyu menjadi janda, tentu hanya lebih tua sedikit daripada aku. Mbakyu seorang wanita yang cantik, tentu telah merasakan betapa susahnya menjadi janda, banyak godaan datang menganggu."

   "Benar sekali, dik juminten. memang aku juga pernah mendapat gangguan besar, Akan tetapi apakah yang telah terjadi denganmu?"

   "Setelah suamiku gugur, ada seorang perwira lain, masih rekan mendiang suamiku, menggodaku dan mengejar-ngejar aku, bahkan hendak memaksaku untuk menjadi isterinya yang kedua. Dia menggunakan segala daya, halus maupun kasar untuk membujuk aku. Aku selalu menolak karena aku sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk menikah lagi. Tidak ada laki-laki yang akan dapat menggantikan suamiku dalam hatiku, dan aku bertekad untuk hidup bertiga saja dengan kedua orang anakku. Karena perwira itu nekat hendak memaksaku, terpaksa pada suatu malam aku melarikan diri bersama kedua anakku, meninggalkan kota raja."

   "Hemm, laki-laki memang dapat menjadi biantang buas kalau sudah dikuasai nafsunya tergila-gila kepada seorang perempuan. siapakah nama durjana itu, dik Juminten?"

   "Dia bernama Raden Kuncoro, entah radennya asli atau palsu. Dia seorang perwira atasan suamiku dan di kota raja dia memang terkenal sebagai laki-laki mata keranjang. setelah melarikan diri keluar kota raja, aku lau pergi ke dusun tempat kelahiranku di lembah Kali Progo. Akan tetapi setelah tiba di sana, ternyata kakakku yang merupakan satu-satunya keluargaku telah setahun lebih meninggalkan dusun kami dan tidak ada orang mengetahui ke mana pindahnya. Orang tuaku sudah lama meninggal dunia. Di dusun itu aku tidak mempunyai seorang keluargapun. Dan calakanya..... ah, nasibku sungguh buruk, mabkyu, di dusun kelahiranku itu, lurah dusun yang tadinya tampak baik dan menampungku, ternyata kemudian berniat menjadikan aku isteri mudanya. Diapun hendak menggunakan paksaan sehingga aku melarikan diri dari dusun itu."

   Warsiyem memegang pundak juminten yang duduk di atas bangku, di sebelahnya.

   "Ah, kasihan engkau, dik Juminten, digoda banyak laki-laki tanpa ada yang membelamu. Aku, biarpun digoda laki-laki tanpa ada yang membelamu.

   Aku, biarpun digoda laki-laki, selalu ada yang membela. Pertama laki-laki yang kemudian menjadi suamiku, kemudian ankku si Aji itu. Lalu bagaimana, dik Juminten?"

   "Berbulan-bulan kami merantau, smua bekal yang kubawa telah habis kujual sehingga seringkali kami bertiga kekurangan makan. Ketika pagi tadi kami tiba di luar dusun ini, kami bertemu dengan seorang wanita cantik dan berpakaian seperti seorang bangsawan. ia tadinya hendak membeli anak-anakku, ketika kutolak, ia lalu menyambar dan memondong mereka dan lari ke selatan."

   Juminten terisak lagi, teringat akan kedua orang anaknya.

   "Aahh..... Priyadi, Wulandari, anak-anakku.....

   "

   "Kenapa engkau tadi tidak mengejarnya dan berusaha merampas mereka kembali? Penculik itu kan hanya seorang perempuan seperti kia?"

   Tanya Warsiyem penasaran. Kalau ia yang dirampas anaknya seperti itu tentu ia akan mengamuk dan melawan mati-matian!

   "Sambil menahan isak Juminten berkata.

   "Sudah kukejar, mbakyu, akan tetapi..... ia berlari seperti terbang..... cepat sekali sehingga sebentar saja aku kehilangan bayangannya. Maka aku lalu berlari memasuki dusun ini dan minta tolong.....

   "

   "Jangan khawatir, Aji tentu akan dapat menemukan mereka.....

   "

   Ucapan Warsiyem ini terputus oleh teriakan suara dua orang anak.

   "Ibu.........!"

   "Ibu.........!!"

   Dua orang wanita itu terkejut dan menoleh ke luar.

   "Anak-anakku.....!"

   Juminten menjerit dan bangkit lalu keluar, menyambut kedua anaknya yang juga berlari menghampiri ibunya. Mereka bertemu di pekarangan dan Juminten merangkul kedua anaknya sambil menangis sesenggukan saking bahagianya. Warsiyem juga keluar dan sambil tersenyum ia memandang puteranya yang berdiri dengan pakaian masih basah.

   "Mari kita masuk!"

   Ajak Warsiyem kepada Juminten dan kedua orang anaknya.

   "Kenapa pakaianmu basah semua, Aji?"

   Dia bertanya kepada puteranya.

   "Nanti kuceritakan di dalam sesudah aku berganti pakaian, ibu. Juga adik Priyadi itu pakaiannya basah semua. Biar dia berganti pakaianku, agar jangan masuk angin."

   Setelah Aji berganti pakaian dan Priyadi juga mengenakan pakaian Aji yang tentu saja terlalu besar untuknya, mereka semua duduk di ruangan dalam. Aji lalu menceritakan semua pengalamannya ketika menolong dua orang anak itu. Dia tidak bercerita banyak tentang perkelahiannya melawan Nyi Maya Dewi, Wanita yang sakti mandraguna itu.

   "Perempuan yang menculik dua orang adik itu mengaku dari Pasundan dan bernama Nyi Maya Dewi. Ia tangguh sekali, dan untung Gusti Allah melindungi aku sehingga aku dapat mengusirnya dan membawa kedua orang adik ini pulang."

   "Kenalkah engkau dengan wanita bernama Nyi Maya Dewi itu, dik Juminten?"

   Tanya Warsiyem.

   Juminten mengerutkan alisnya mengingat-ingat, lalu ia menggeleng kepalanya.

   "Tidak, aku tidak pernah mendengar nama itu, juga belum pernah bertemu dengannya. Akan tetapi, mungkin sengaja ia disuruh oleh Raden Kuncoro untuk menculik anak-anakku sehingga ia dapat memaksaku menuruti kehendaknya."

   "Raden Kuncoro? Siapakah dia, bibi?"

   Tanya Aji heran.

   Warsiyem lalu menceritakan riwayat Juminten kepada Aji. Aji mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian dia berkata.

   "Mungkin saja wanita itu utusan Raden Kuncoro, akan tetapi mengapa ia mengaku datang dari Pasundan? Dan logat bicaranya memang menunjukkan bahwa ia adalah seorang Sunda."

   "Sudahlah, tidak perlu dipikirkan lagi hal itu. Perempuan jahat itu sudah pergi dan anak-anakmu sudah selamat, adik Juminten."

   Warsiyem menghibur, melihat Juminten masih menahn isak sambil merangkul kedua anaknya, wajahnya diliputi kegelisahan. mendengar kata-kata hiburan ini, Juminten malah menangis tersedu-sedu. Warsiyem menjadi bingung dan saling pandang dengan Aji.

   "Bibi, ada apakah lagi yang menyusahkan hati bibi? Katakanlah, kami akan berusaha membantumu sedapat kami,"

   Kata Aji.

   "Benar apa yang dikatakan anakku, dik Juminten.

   Kenapa engkau masih kelihatan sedih dan khawatir pada hal kedua orang anakmu sudah kembali kepadamu dengan selamat?"

   Tanya Warsiyem.

   Juminten menyusut air matanya. Setelah menghela napas panjang berulang kali, barulah ia dapat bicara, suaranya lirih penuh kesedihan, mukanya menunduk.

   "Bagaimana saya tidak akan menjadi sedih dan bingung, mbakyu Warsiyem? kami bertiga tidak punya apa-apa lagi, tidak tahu ke mana harus pergi dan sekarang terancam..... tidak ada sanak saudara yang dapat menolong dan menampung kami..... tidak ada orang yang dapat kuharapkan, bahkan Gusti Allah pun agaknya tidak sudi mendengar rintihan dan keluh kesah kami.....! Mbakyu Warsiyem, ke manakah kami harus pergi?"

   Ibu dan Anak itu kembali bertemu pandang. demikian kuat hubungan batin antara ibu dan anak ini, membuat mereka saling peka terhadap satu sama lain. Tanpa bicarapun, melalui pandang mata mereka, keduanya dapat mengerti isi hati masing-masing. Warsiyem seolah minta pendapat dan persetujuan puteranya dan Aji seolah menyetujui maksud hati ibunya. Pemuda itu tersenyum dan mengangguk pasrah, ada sinar mata bangga dalam pandang matanya terhadap ibunya yang dia tahu memiliki hati yang penuh welas asih. Warsiyem menyentuh pundak juminten yang masih sesenggukan dan berkata lirih, menghibur.

   "Hentikan tangismu dan jangan bersedih atau gelisah lagi, dik Juminten. Aku juga seorang janda, hanya hidup berdua dengan anakku Aji dan rumah kami cukup besar. Kalau engkau mau bekerja sama denganku, membantu aku berjualan nasi dan mengurus rumah tangga, kami dapat menyingget sebuah kamar lagi untuk engkau dan anak-anakmu dan kalian bertiga boleh hidup dan tinggal bersama kami di rumah ini, tentu saja kalau engkau suka."

   Mendengar ini, tiba-tiba Juminten mengangkat mukanya, matanya terbelalak, bergantian memandang ternganga penuh keheranan, seolah tidak percaya akan apa yang didengarnya, kemudian mulutnya mewek-mewek menangis lagi.

   "..... kalau aku mau..... ? Duh gusti.....! Mbakayu Warsiyem..... anakmas Aji..... apa yang dapat kukatakan?"

   Ia memegang tangan kedua anaknya dan menyeret mereka sehingga mereka bertiga menjatuhkan diri berlutut di depan ibu dan anak itu, menyembah-nyembah.

   "..... anakmas Aji telah menyelamatkan anak-anakku..... dan sekarang..... kalian sudi menerima kami tinggal di sini.....? Terima kasih ...... terima kasih atas pertolongan dan budi kebaikan kalian yang amat besar.....!"

   Ia menyembah sambil menangis.

   Warsiyem merasa terharu dan kedua matanya juga basah. Ia cepat membungkuk, merangkul dan menarik Juminten agar duduk kembali. Juga Aji menarik kedua anak itu yang ikut ibunya menangis karena mereka juga mengerti bahwa mereka mendapat pertolongan sehingga mereka bertiga kini duduk kembali dengan air mata masih mengalir di pipi mereka.

   "Dik Juminten, tidak usah berterima kasih kepada kami. Apa yang kami lakukan ini memang menjadi kewajiban kami. Kukira engkau sendiripun akan melakukan perbuatan yang sama kalau keadaanmu mengijinkan. Kita manusia memang sudah sepatutnya saling tolong menolong, bukan? kami membantumu memberikan tempat tinggal kepadamu, dan engkau juga membantu kami dalam mengurus rumah tangga ini. Berarti kita saling bantu dan saling menguntungkan. akan tetapi kita ini bukan hartawan dan kita hanya dapat hidup sederhana, dik."

"Ibu berkata benar, bibi Juminten. Bibi tadi keliru kalau mengatakan bahwa Gusti Allah tidak sudi mendengarkan keluh kesahmu. Nah, sekarang berterima kasihlah kepada Gusti Allah, bukan kepada kami, karena sesungguhnya hanya Gusti Allah yang dapat menolong kita semua dan sekarang Gusti Allah telah mengulurkan tanganNya yang suci dan penuh cinta kasih kepada bibi bertiga melalui kami. Kami hanyalah merupakan alat yang kebetulan dipakai oleh Gusti Allah untuk membantu bibi yang berada dalam kesusahan."

   Dengan air mata bercucuran dan diseling isak Juminten merangkap kedua tangan membentuk sembah di depan dad dan berbisik.

   "Duh Gusti..... hamba menghaturkan terima kasih dan mengucap syukur bahwa Paduka pada hari ini telah mempertemukan hamba denagn manusia-manusia bijaksana ini. hayo anak-anakku, haturkan terima kasih kepada Bude Warsiyem dan Mas Aji!"

   Juminten lalu memberi salam kepada Warsiyem, lalu kepada aji, diikuti kedua orang anaknya.

   "Matur sembah nuwun, bude Warsiyem! Matur sembah nuwun mad Aji!"

   Kaya mereka. Aji dan ibunya merangkul kedua orang anak itu. Hati mereka segera terpikat oleh sikap kedua orang anak yang pandai membawa diri dan sopan santun itu.

   Demikianlah, mulai hari itu Juminten dan kedua anaknya tinggal dalam rumah Warsiyem. Aji menggunakan bilik bambu dan membuat sebuah kamar untuk mereka. Warsiyem memperkenalkan Juminten sebagai adik angkatnya kepada para tetangga. Para penduduk di dusun Gampingan, terutama kaum prianya, berbisik-bisik dengan senyum penuh arti bahwa dusun mereka bertambah seorang janda yang masih muda lagi cantik manis! Ternyata Juminten juga tahu diri. Ia bekerja keras membantu Warsiyem dan semenjak ia tinggal di situ, rumah itu tampak lebih terawat dan bersih. Iapun pandai masak, pandai membuat penganan dan gorengan yang lezat sehingga warung itu menjadi semakin ramai dikunjungi orang.

   Semenjak pengalamannya bertanding melawan Nyi Maya Dewi yang membuat dia kewalahan, apalagi perkelahian dalam air yang membuat dia hampir saja celaka di tangan wanita itu, Aji seringkali pergi ke pantai berpasir yang sunyi.

   Apalagi sekarang di rumah ada Juminten yang membantu ibunya. Bahkan dua orang anak itupun rajin membantu, menyapu dan membersihkan rumah sehingga dia mempunyai banyak waktu untuk bermain di pantai berpasir. Selain berlatih silat di pantai yang sunyi itu, juga Aji berlatih renang dan bermain-main dalam air. dia memperdalam ilmunya ini setelah mengalami kekalahan ketika bertanding dalam air melawan Nyi Maya Dewi. Dia tahu bahwa kekalahannya itu karena dia kalah bertahan napas dalam air. Maka kini hampir setiap hari dia berlatih pernapasan dan melatih paru-parunya untuk menampung hawa sepadat mungkin sehingga dia dapat bertahan lebih lama tanpa bernapas di dalam air.

   Pada suatu sore, setelah lelah berlatih menyelam dan bersilat, dia merebahkan diri telentang di atas pasir sambil mengeringkan celana pendeknya yang tadi dia pakai untuk berlatih menyelam dan bermain dengan gelombang lautan. Matahari telah condong ke barat dan sinarnya tidaklah sekuat siang tadi. Tiba-tiba matanya tertarik oleh sebuah titik hitam yang melayang-layang di udara. Makin lama, titik hitam itu semakin membesar dan setelah pandang matanya menangkap, ternyata titik hitam itu adalah seekor burung yang besar dan gagah sekali.

   Penduduk di situ menyebutnya alap-alap, semacam burung elang yang gagah bentuknya dan indah sekali kalau melayang dan terbang di angkasa. Aji memandang dengan kagum sekali. karena dia rebah telentang, maka dengan enaknya dia dapat mengikuti gerak gerik alap-alap itu. Burung itu berkeliling, kemudian semakin menurun ke arah bukit. Dia semakin tertarik. Mungkin sarangnya di bukit karang itu, pikirnya. karena dia sudah tidak akan berlatih lagi, tinggal pulang, maka diapun bangkit dan cepat mendaki bukit sambil terus mengamati alap-alap tadi. Dia ingin mengetahui di mana sarang burung itu. Siapa tahu ada anak-anaknya dan kalau dapat, dia ingin menangkap anaknya untuk dipelihara.

   Setelah dia tiba di lereng bukit, di antara batu-batu karang di bukit itu, dia melihat pemandangan yang amat menarik hatinya. Seekor burung alap-alap yang besar, sebesar ayam jago, menyambar turun dan menyerang seekor ular yang sebesar lengannya dan panjangnya tidak kurang dari satu meter. Ular itu mendesis dan menyambut sambaran alap-alap itu dengan patukan moncongnya yang terbuka lebar. dengan cepat alap-alap itu mengelak dan menyampok dengan sayapnya sebagai tangkisan lalu menyerang lagi, kini dengan paruhnya yang melengkung dan runcing kuat. Namun dengan gerakan yang lentur kepala ular itu mengelak sehingga serangan paruh itupun luput. Ular itu membalas menyerang dengan patukan ke arah leher alap-alap sambil mendesis. Namun alap-alap itupun melompat ke atas sambil mengembangkan sayapnya.

   Terjadilah perkelahian mati-matian antara ular dan burung alap-alap itu. Aji menonton sambil bersembunyi di balik batu karang agar tidak membikin takut dua ekor binatang yang sedang berkelahi itu. Alap-alap itu agaknya menyerang untuk memangsa ular itu, sebaliknya ular itupun membela diri dan balas menyerang karena burung alap-alap itupun dapat menjadi mangsanya yang mengenyangkan. Aji menonton penuh perhatian dan dia merasa kagum sekali. Gerakan dua ekor binatang itu sungguh hebat, mereka itu hanya binatang-binatang yang tidak berakal budi. Akan tetapi gerakan naluri mereka dalam mempertahankan hidup sungguh indah dan mengandung kekuatan sepenuhnya.

   Gerakan itu dapat ditiru dan akan menjadi gerakan silat yang tangguh. Alap-alap itu bergerak dengan tangkas dan garang, serangan paruh dan kedua cakarnya dibantu kibasan kedua sayapnya membayangkan kelenturan, keluwesan, kelicikan dan menghadapi kekerasan dengan kelenturan yang mematikan. Aji tahu bahwa sekali saja patukan moncong ular itu mengenai leher alap-alap itu, tentu gigitan itu tidak akan dilepaskan lagi yang membahayakan keselamatan nyawa burung itu. Akan tetapi alap-alap itu sungguh tangkas. Setiap patukan ular itu dielakkan sambil ditangkis dengan kibasan sayapnya yang juga kuat.

   Perkelahian mati-matian itu berlangsung sampai setengah jam lebih. Beberapa kali tubuh alap-alap itu terbelit tubuh ular, akan tetapi selalu terlepas lagi karena dengan paruhnya yang kuat burung itu menyerang dan melukai tubuh ular. Tubuh ular itu mulai terluka dan berdarah. Akhirnya alap-alap itu berhasil mematuk kepala ular dengan paruhnya. Paruh itu seperti catut baja yang amat kuat, sekali menangkap kepala ular itu tidak dilepaskannya lagi. Ular menggunakan tubuhnya untuk membelit tubuh alap-alap dan dihimpitnya. Akan tetapi burung itu mengguncang-guncang kepala ular yang digigitnya itu dan memukul-mukulnya kepada batu karang yang tajam sehingga kepala ular itu menjadi pecah-pecah berdarah.

   Libatan itupun mengendur dan akhirnya terlepas dari tubuh alap-alap. Burung itu lalu mencengkeram perut ular itu dengan cakarnya yang runcing tajam. Matilah ular itu. Burung alap-alap itu masih mensengkeram tubuh ular dengan kedua cakarnya dan diam tak bergerak. Agaknya burung itu hendak melepaskan lelah dan mengumpulkan tenaga beru. Kemudia ia mementang sayapnya dan terbang ke atas, membawa bangkai ular dalam cengkeraman kedua kakinya. Akan tetapi Aji melihat bahwa terbangnya seperti terhuyung-huyung, agaknya beban yang dibawanya itu terlalu berat baginya. Akhirnya setelah sampai tinggi sekali, Aji melihat betapa burung itu melepaskan bebannya dan bangkai ular itu meluncur jatuh ke air laut yang bergelombang. Agaknya burung itu tidak kuat membawa mangsanya yang terlalu besar dan berat. perjuangan yang sia-sia, pikir Aji. Akan tetapi dia telah menyaksikan sebuah perkelahian yang sangat hebat. Dia memandang terus sampai burung alap-alap itu terbang jauh, menjadi sebuah titik hitam yang lambat laun menghilang.

   Aji pulang ke dusunnya. Pikirannya terus membayangkan perkelahian itu. Semalam itu dia mengingat-ingat dan di dalam kamarnya dia menirukan beberapa gerakan alap-alap ketika berkelahi melawan ular. Kedua lengannya bergerak menirukan gerakan sayap burung, kedua tangannya kadang-kadang meluncur ke depan dengan serangan tangan terbuka menirukan gerakan paruh alap-alap itu. Juga kedua kakinya menendang-nendang seperti gerakan cakar. Juga dia menggerakkan tubuh dengan putaran seperti gerakan burung tadi.

   Semenjak itu kalau bermain di tepi laut, Aji bersilat menirukan gerakan burung alap-alap. Dia dapat meniru dan merangkai gerakan burung itu menjadi gerakan silat, menyerang, mengelak, menangkis, memukul atau menendang. Juga loncatan-loncatan untuk menghindar dan berbalik menyerang. Karena dia telah memiliki dasar ilmu silat yang dalam maka dia dapat merangkai semacam ilmu silat alap-alap yang tangguh. Selain itu, dia juga terus melatih diri berenang, menyelam dan bermain dalam air seperti ikan. berlatih pernapasan sehingga dia dapat lebih lama bertahan di dalam air.

   Pada suatu senja Aji masih rebah telentang di atas pasir seperti yang biasa dilakukan. Sudah kampir enam bulan P sejak gurunya meninggal dunia dan dia selalu terkenang akan semua nasihat gurunya. Gurunya meninggalkan pesan sebelum wafat. Pesan pertama adalah agar dia mencari putera gurunya yang bernama Sudrajat atau panggilannya Ajat yang ikut dengan ayah tirinya yang bernama Ki Tejo Langit dan hidup di Banten dan mengabarkan tentang kematian gurunya itu. Adapun pesan kedua dari gurunya adalah agar dia pergi merantau dan memanfaatkan semua ilmu yang telah dipelajarinya untuk kepentingan manusia, menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan menentang segala macam kejahatan yang dilakukan orang.

   Juga agar dia membela nusa bangsa, membela Mataram dan membantu Sultan Agung menghadapi bangsa Belanda. Kemudian pesan ketiga yang dianggap amat penting oleh mendiang gurunya, akan tetapi justeru ini kadang memberatkan hatinya, yaitu agar dia tidak mendendam kepada Raden Banuseta, pembunuh ayahnya!

   Aji menghela napas panjang. sbetulnya sejak gurunya meninggal dunia, hatinya ingin sekali pergi merantau. Diapun ingin mencari kakaknya, putera ayahnya yang bernama Hasanudin, selain untuk mengabarkan tentang kematian ayahnya, juga untuk membujuk kakak tirinya itu agar tidak membenci ayah mereka. Sudah berbulan-bulan dia menahan keinginannya untuk meninggalkan dusun, pergi merantau. Akan tetapi selama ini keinginan itu selalu ditahan-tahannya, bahkan tidak diberitahukan kepada ibunya karena dia merasa tidak tega untuk meninggalkan ibunya hidup seorang diri.

   Akan tetapi sekarang ibunya tidak sendirian lagi. Ada bibi Juminten di sana, bahkan ada dua orang anak yang mungil dan rajin, yaitu Priyadi dan Wulandari. Ibunya tidak akan kesepian lagi, bahkan mendapatkan bantuan dari ibu dan dua orang anaknya itu! Dia kini dapat pergi merantau, meninggalkan ibunya dengan hati ringan. Tiba-tiba Aji yang rebah telentang itu melihat titik hitam melayang di angkasa. Alap-alap itu! Dengan pandang matanya dia mengikuti gerakan indah di angkasa. Kini burung itu menukik turun dan melayang lagi berkeliling. Gerakan sayapnya begitu kokoh dan indah, kepalanya mengamati keadaan di bawah, mencari mangsa. Kemudian, burung itu terbang ke utara dan menghilang di balik puncak bukit.

   Aji merasa kehilangan dan kesepian. Makin mendesak keinginan hatinya untuk merantau, terbang melayang seperti alap-alap itu. Dia bangkit duduk, mengatupkan mulutnya. hatinya telah mengambil keputusan. Dia harus pergi meninggalkan dusunnya, pergi merantau memenuhi pesan terakhir gurunya. Bangkitlah dia, kemudian dengan langkah tegap dia meninggalkan pantai berpasir dan menuju ke dusun Gampingan, tempat tinggal ibunya. Mereka telah menantinya untuk makan malam. Melihat nasi dan lauk pauknya telah tersedia di atas meja dan mereka semua belum makan, Aji berkata kepada ibunya.

   "Ibu, kenapa ibu dan bibi Juminten tidak makan saja dulu?"

   "Ah, anak ini! Bagaimana makan bisa enak kalau kami meninggalkanmu? Hayo cepat pergi mandi lalu makan bersama!"

   Tegur Warsiyem sambil tersenyum. Aji cepat membersihkan diri dan berganti pakaian.

   Setelah itu, mereka makan bersama. Aji, ibunya, Juminten dan dua orang anaknya. Biarpun lauknya hanya jangan (sayur) asem, sambal trasi, dan tempe goreng, mereka makan dengan sedap dan lahapnya. Sehabis makan, minum air kendi juga terasa segar dan sejuk. Kita akan selalu dapat menikmati apa yang ada pada kita dan bersukur atas semua berkah yang dilimpahkan Gusti Allah kepada kita kalau saja kita tidak dikuasai nafsu angkara murka. Nafsu akan selalu menggoda kita, menimbulkan keinginan untuk menjangkau yang lebih sehingga apa yang ada pada kita tidak akan tampak cukup dan menyenangkan. Nafsu keinginan untuk mendapatkan yang lebih, melenyapkan kebahagiaan, melenyapkan kenikmatan saat ini, mendatangkan kekecewaan dan penasaran, menimbulkan rasa iba diri dan duka.

   Berbahagialah orang yang dapat menerima dan menikmati segala macam keadaan di mana dirinya berada dan mengucapkan puji sukur atas berkah Yang Maha Kasih. Kalau kita mengerahkan pandangan kita ke bawah, kita akan melihat betapa banyaknya orang yang keadaannya lebih payah daripada kita, mereka yang lebih miskin daripada kita, mereka yang sedang sakit, mereka yang sedang kacau rumah tangganya, mereka yang sedang berduka cita karena kematian atau mengalami musibah. Melihat semua yang berada di bawah kita itu akan menyadarkan bahwa sesungguhnya kita sepatutnya memuji sukur dan berterima kasih kepada Gusti Allah atas segala berkahNya. Sebaliknya kalau kita memandang ke atas, kita akan melihat orang-orang yang lebih kaya, lebih tinggi kedudukannya, tampaknya lebih senang dan lebih berbahagia dari kita, melihat semua yang berada di atas kita itu akan timbul rasa iri hati dan iba diri dan membuat hidup ini tampak mengecewakan. Kenyataannya adalah, betapapun tinggi keadaan kita, pasti ada yang lebih tinggi dan betapapun rendahnya keadaan kita, ada yang lebih rendah. Orang yang berjalan menunduk akan melihat segala halangan dan rintangan, akan menjadi waspada. Sebaliknya kalau berjalan sambil memandang ke atas, kita mudah tersandung dan terjatuh!

   Setelah mereka selesai makan dengan nikmatnya karena mensyukuri keadaan seperti apa adanya. Aji mengajak ibunya bicara berdua saja dalam kamar ibunya. juminten dan dua orang anaknya berada di serambi depan. janda yang tahu diri ini sengaja menjauhkan diri agar tidak mengganggu percakapan ibu dan anak itu.

   "Ibu tentu masih ingat akan pesan terakhir dari mendiang Eyang Guru Ki Tejobudi kepadaku dulu."

   Aji memulai.

   Warsiyem memandang wajah puteranya.

   "pesan mana yang kau maksudkan?"

   "Eyang guru berpesan agar aku pergi merantau, mencari puteranya yang bernama Sudrajat, kemudian aku harus berjuang membela nusa dan bangsa, membantu Kanjeng sultan Agung. Juga aku ingin mencari kakak tiriku, putera ayah yang bernama Hasanudin itu."

   Warsiyem mengeritkan alisnya.

   "Akan tetapi dia mengancam ayahmu dan hendak membunuhnya!"

   "Justru itulah sebabnya mengapa aku harus menemuinya, ibu. Aku ingin menyadarkan kakakku itu dari kesalahannya, menyadarkan bahwa ayah tidak bersalah, bahwa ayah meninggalkannya karena terpaksa keadaan."

   Kini Warsiyem mengamati wajah puteranya. jantungnya berdebar tegang. Saat seperti ini memang selalu dikhawatirkannya, saat yang tidak akan mungkin lolos. suatu saat tentu ia harus bepisah dari puteranya. Anaknya kini sudah menjadi seorang pemuda dewasa dan tentu saja ia tidak berhak untuk mengikat anaknya seperti memingit seorang anak perawan.

   "Aji....., engkau..... engkau akan meninggalkan ibumu ini?"

   Akhirnya ia bertanya lirih. Aji memandang ibunya. keduanya saling bertemu pandang. Aji melihat wajah yang dibayangi kekhawatiran dan kesedihan itu.

   "Kalau ibu mengijinkan.....

   "

   Katanya lirih pula dan Warsiyem melihat betapa kekecewaan besar membayangi wajah puteranya di balik sikapnya yang berbakti kepadanya itu.

   "Aji.....

   "

   Ia mengeluh dan kedua orang ibu dan anak itu saling rangkul. Sambil memeluk ibunya, Aji berkata.

   "Sudah berbulan-bulan keinginan yang timbul sejak kematian Eyang Guru ini kutahan, ibu. Bagaimanapun juga aku tidak akan membiarkan ibu hidup seorang diri dan kutinggalkan. Akan tetapi, sekarang ada bibi Juminten, ada adik-adik Priyadi dan Wulandari.....

   "

   Warsiyem menyusut air matanya dan merenggangkan diri, lalu duduk di atas kursi. Ia sudah tenang kembali.

   "Engkau benar, anakku,"

   Katanya sambil tersenyum.

   "Sekarang di sini ada Juminten dan anak-anaknya yang menemani aku dan aku merasa berbahagia sekali karena mereka adalah orang-orang yang baik dan sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri. Engkau memang harus pergi merantau memenuhi pesan gurumu, Aji. Pergilah dengan hati senang, anakku. Aku akan tinggal di rumah bersama adik Juminten dan dua orang anaknya, dan aku akan selalu mendoakan agar engkau selalu mendapat tuntunan dan perlindungan Gusti Allah."

   "Terima kasih, ibu. Engkau memang seorang ibu yang paling baik dan bijaksana di dunia ini."

   Kata Aji yang lalu mencium kedua pipi ibunya.

   Mulai sore hari itu Aji bersiap-siap. Ibunya sengaja membuatkan beberapa perangkat pakaian baru untuk Aji dan menyerahkan semua simpanan uang yang ada kepada puteranya itu untuk bekal dalam perjalanan. Tiga hari kemudian, aji berkemas hendak berangkat. Dia menggendong pakaiannya yang dibuntal sarung, disampingkan dibelakang pundaknya.

   "Ibu, aku berangkat, ibu. Mohon doa restu."

   Kata Aji sambil mencium tangan ibunya. Warsiyem memaksa diri tersenyum walaupun air matanya menetes netes. Ia merangkul dan mencium dahi puteranya itu.

   "Aji, berhati-hatilah, nak. Jangan lupa untuk pulang. Ibu akan selalu menunggu kedatanganmu,"

   Katanya lirih.

   "Bibi, tolonglah bibi menjaga dan menemani ibuku agar ia tidak kesepian,"

   Kata Aji sambil berpamit kepada wanita itu.

   "Jangan khawatir, anak mas Aji. Aku sudah menganggap ibumu sebagai kakakku sendiri,"

   Kata Juminten.

   "Priyadi, engkau satu-satunya laki-laki di rumah ini. Jadilah seorang anak laki-laki yang jantan. Sementara aku pergi, gantikanlah aku untuk menjaga ibuku dan ibumu, juga adikmu,"

   Aji lalu mencium pipi Wulandari dan diapun berangkat, diantar sampai ke pintu gerbang dusun itu oleh ibunya, Juminten, Priyadi dan Wulandari. Mereka yang mengantarnya ini baru kembali ke rumah setelah bayangan Lindu Aji tidak tampak lagi dan menghilang di sebuah tikungan jalan, tertutup pohon-pohon.

   Setelah berusaha dan melakukan perang selama belasan tahun sejak memegang tampuk kerajaan Mataram, akhirnya Sultan Agung berhasil menaklukkan daerah Jawa Timur dan Madura. Hanya Blambangan saja yang belum dapat ditundukkan. Daerah terakhir yang ditundukkan adalah Surabaya, kemudian Giri. Akan tetapi, sesuai dengan politiknya yang hendak dan mempersatukan semua daerah dan menyusun kekuatan untuk menghadapi musuh utamanya, yaitu Kompeni Belanda, Sultan Agung sama sekali tidak menghukum para adipati dan bupati daerah-daerah yang ditundukkan itu. Dia menghendaki agar daerah-daerah itu dapat membantu Mataram untuk menghadapi Kompeni Belanda.

   Karena itu, setelah menundukkan Madura, dia lalu mengangkat putera Bupati Arisbaya yang bernama Praseno menjadi adipati yang menguasai seluruh Madura dengan gelar Pangeran Cakraningrat, berkedudukan di Sampang. Demikian pula setelah Sultan Agung menundukkan Surabaya yang dipimpin adipatinya, Pangeran Pekik, dia tetap mengangkat Pangeran Pekik menjadi Adipati Surabaya, bahkan menikahkannya dengan puterinya, yaitu Ratu Wandansari. Bahkan ketika dia berhasil menundukkan Sunan Giri, Sultan Agung tetap mengijinkannya untuk memimpin Giri, hanya tidak lagi bergelar Sunan, melainkan Panembahan Giri saja.

   Semua ini membuktikan bahwa Sultan Agung bukan hendak memperluas kekuasaannya, melainkan hendak mempersatukan seluruh daerah yang sejak jaman eyangnya menjadi raja Mataram yaitu Panembahan Senopati, telah menjadi daerah kekuasaan Mataram. Penyatuan seluruh daerah ini penting untuk menyusun kekuatan guna menghadapi kekuasaan Kompeni Belanda yang berpusat di Jayakarta yang kini disebut Batavia oleh orang Belanda. Demikianlah, perang antara balatentara Mataram melawan para penguasa daerah telah padam. Semua daerah, kecuali Blambangan, telah ditundukkan. Perang selesai dan rakyat hidup aman kembali. Beberapa tokoh daerah yang tidak mau tunduk kepada Mataram, melarikan diri dan mengungsi ke Blambangan.

   Di antara para tokoh yang melarikan diri ke Blambangan ini, tidak mau tunduk kepada Mataram biarpun penguasa daerahnya sudah menakluk, adalah Ki Harya Baka Wulung. Dia adalah seorang tokoh sakti yang dikenal sebagai datuk di Madura. Usianya sudah hampir tujuh puluh tahun, namun semangatnya menentang Mataram masih amat kuat. Setelah mati-matian membantu kadipaten Madura ketika melawan pasukan Mataram dan akhirnya pasukan Madura kalah. Ki Harya Baka Wulung mengungsi ke Surabaya. Ketika Surabaya jatuh, dia melarikan diri ke Giri. Di sana diapun membantu Sunan Giri ketika Giri diserbu balatentara Mataram. Akan tetapi Giri jatuh pula dan kembali Ki Harya Baka Wulung melarikan diri, kini dia mengungsi ke Blambangan.

   Dengan tubuh tuanya yang kelelahan, lelah lahir batin, dengan hati yang mengandung dendam kebencian terhadap Mataram, Ki Harya Baka Wulung memasuki daerah Kadipaten Blambangan. Biarpun seluruh Madura sudah takluk kepada Mataram, akan tetapi dia pribadi tidak sudi tunduk Ada dendam sakit hati pribadi dalam hatinya terhadap kerajaan Mataram, setelah putera tunggalnya tewas dalam perang terhadap Mataram. Kini harapan satu-satunya hanya pada Kadipaten Blambangan karena adipatinya belum takluk kepada Mataram dan di sana terdapat seorang kawan baiknya, yaitu Wiku Menak Kuncar, datuk kenamaan di Blambangan.

   Ketika Ki Harya Baka Wulung, kakek berusia hampir tjuh puluh tahun yang bertubuh tinggi besar kokoh kuat seperti raksasa, rambut dan kumis jenggotnya yang kaku seperti kawat itu sudah berwarna dua, matanya lebar dan liar, memasuki Blambangan, melangkah kelelahan dengan kepala menunduk, tidak ada orang yang memperhatikannya. Dengan terhuyung-huyung karena kelelahan, Ki Harya Baka Wulung memasuki pekarangan sebuah rumah gedung yang berdiri di pinggir kota raja. Rumah itu berdiri tegak agak terpencil dan keadaannya sunyi sekali. Pekarangan, kebun di kanan kiri dan belakang rumah itu, luas dan ditanami bermacam sayuran. Ketika dia memasuki pekarangan, tampak seorang laki-laki setengah tua berlarian menyambutnya. Laki-laki berusia lima puluh tahun ini berpakaian seperti seorang petani dan sebetulnya dia bekerja di situ sebagai tukang kebun.

   Melihat pendatang itu seorang kakek yang asing baginya, tukang kebun bertanya.

   "Ki sanak, siapakah andika dan apakah maksud kunjungan andika ke sini?"

   Ki Harya Baka Wulung adalah seorang yang berwatak keras kaku dan biasanya dia dahulu di Madura amat dihormati orang. Bahkan Adipati Madura sendiri amat menghormatinya. Semua bangsawan di Madura takut dan hormat kepadanya. kebiasaan ini membentuk watak keras dan tinggi hati kepadanya. Karena itu, biarpun kini dalam keadaan lari mengungsi dan sengsara, ketika ditegur seorang tukang kebun seperti itu dia menjadi marah. seorang tukang kebun sudah bersikap tidak hormat kepadanya!

   "Hemm, apakah Wiku Menak Koncar berada di rumah?"

   Tanyanya sambil menahan kemarahannya.

   "Ada, sang Wiku berada di rumah. Siapakah andika dan ada keperluan apa?"

   "Hemm, laporkan saja kepada Wiku menak Koncar bahwa Ki Harya Baka Wulung datang berkunjung!"

   Katanya agak menghardik karena kesabarannya hampir habis. Tukang kebun itu mengerutkan alisnya

   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAGUS SAJIWO

BAGUS SAJIWO BAGUS SAJIWO JIL ID 01 BAGUS SAJIWO JIL ID 02 BAGUS SAJIWO JIL ID 03 BAGUS SAJIWO JIL ID 04 BAGUS SAJIWO JIL ID 05 BAGUS SAJIWO JIL ID 06 BAGUS SAJIWO JIL ID 07 BAGUS SAJIWO JIL ID 08 BAGUS SAJIWO JIL ID 09 BAGUS SAJIWO JIL ID 10 BAGUS SAJIWO JIL ID 11 BAGUS SAJIWO JIL ID 12 BAGUS SAJIWO JIL ID 13 BAGUS SAJIWO JIL ID 14 BAGUS SAJIWO JIL ID 15 BAGUS SAJIWO JIL ID 16 BAGUS SAJIWO JIL ID 17 ...

ALAP-ALAP LAUT KIDUL

JILID 1 JILID 2 JILID 3 JILID 4 JILID 5 JILID 6 JILID 7 JILID 8 JILID 9 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33