SERULING GADING 1 2 3 4 5 6 7 8 9 6 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 JILID 1 Puncak Argadumilah menjulang tinggi diselimuti awan putih bergerombol seperti sekelompok domba berbulu putih bergerak perlahan, berarak ke arah selatan. Sinar matahari pagi mulai menerangi permukaan Gunung Lawu yang tanahnya subur dan hijau penuh pohon dan tumbuhan. Kinar matahari pagi yang lembut dan hangat itu masih belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang amat dingin bagi manusia itu. Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah. Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu. Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan A...
dan menggeleng kepalanya.
"Tidak mungkin, Ki sanak, Sang Wiku sedang bersamadhi kalau hari senja begini, sama sekali tidak berani mengganggunya."
Marahlah Ki Harya Baka Wulung.
"Cerewet benar kau ini! sudahlah, biar aku aku yang masuk dan mencarinya!"
Dia lalu melangkah lebar menuju ke serambi rumah, walaupun langkahnya agak terhuyung karena dia memang sudah lelah sekali. Akan tetapi tukang kebun yang setia itu melompat dan berdiri menghadang di depan kakek itu. Sebagai seorang Blambangan asli, tukang kebun inipun memiliki watak keras, apalagi kesetiaannya menuntut dia untuk membela majikannya.
"Nanti dulu! Kalau hendak menghadap Sang Wiku, harus sabar menanti dulu di sini sampai beliau selesai bersamadhi. Tidak boleh sembarangan memasuki rumah mengganggu Sang Wiku!"
"Hemm, siapa yang melarang?"
Hardik Ki Harya Baka Wulung.
"Saya yang melarang!"
Kata tukang kebun itu, sikapnya menantang, dan dia membusungkan dadanya di depan Ki harya Baka Wulung.
"Hemm, keparat!"
Tiba-tiba tangan kiri kakek itu menyambar ke depan. Tukang kebun itu yang agaknya juga pernah mempelajari ilmu kanuragan, menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Agaknya dia memandang rendah kepada penyerangnya yang sudah tua renta dan melangkahkan kakipun sudah terhuyung-huyung itu. Disangkanya dengan tangkisannya itu dia akan mampu membuat kakek itu terpelanting. akan tetapi alangkah kagetnya ketika lengannya bertemu dengan tangan kakek itu, seluruh tubuhnya seperti dibakar rasanya dan tubuhnya terlempar sampai dua tombak jauhnya dan terbanting keras ke atas tanah sampai kepalanya terasa pening dan pinggulnya yang terbanting berdenyut-denyut nyeri sekali! Dia mencoba untuk bangkit dan merangkak.
"Tolol, kalau aku tidak ingat bahwa engkau ini adalah pembantu Wiku Menak Koncar, sekarang engkau tentu sudah menjadi mayat!"
Kata ki Harya Baka Wulung.
Pada saat itu, di pintu serambi rumah itu muncul seorang kakek yang usianya juga sudah hampir tujuh puluh tahun. Tubuh yang sedang dan banyak keriput itu berwarna hitam seperti arang. Pakaiannya mewah seperti seorang bangsawan. Matanya agak sipit dan hidungnya pesek, bibirnya tebal sehingga muka itu agak menyeramkan. Akan tetapi suaranya tinggi seperti suara wanita ketika dia berkata.
"Hei, Jaris, ada apakah ini?"
Dia melangkah keluar memandang kepada tukang kebun yang masih belum dapat bangkit berdiri.
Tukang kebun yang namanya Jaris itu menoleh kepada Ki Harya Baka Wulung, lalu menuding dengan telunjuk kanannya tanpa berani bicara karena merasa takut. Sekarang baru dia menyadari bahwa kakek tua renta raksasa itu adalah seorang yang sakti mandraguna. Kakek berkulit hitam arang itu menoleh dan memandang kepada Ki Harya Baka Wulung. setelah saling tatap sejenak, kakek itu melebarkan matanya yang sipit, lalu berseru dengan kaget dan girang.
"Kakang Harya Baka Wulung! Andikakah ini?"
Teriaknya sambil bergegas melangkah maju.
"Adi Wiku Menak Koncar, aku datang untuk minta bantuanmu!"
Kata Ki Harya Baka Wulung sambil mengembangkan kedua lengan. Mereka berpelukan dan Wiku Menak Koncar, kakek berkulit hitam itu, menggandeng tangan sahabatnya.
"Ah, sahabatku. Beritanya dari Giri sudah sampai ke sini. Kami ikut prihatin. Mari masuk, kita bicara di dalam."
Mereka berdua lalu memasuki rumah itu. Tukang kebun itu akhirnya dapat bangkit berdiri, menggaruk-garuk kepalanya dan dia bersukur bahwa dia masih hidup. Kini dia tahu bahwa kalau saja tamu tadi tidak bersahabat baik dengan Sang Wiku, tentu dia sudah mati. Ucapan kakek tadi bukan sekedar omong kosong. apa lagi setelah dia melihat sikap Sang Wiku terhadap kakek itu. Diapun pergi ke belakang dengan jalan agak terpincang karena pinggulnya masih terasa nyeri. Dia harus cepat-cepat menyuguhkan minuman untuk tamu terhormat itu, untuk menebus kesalahan sikapnya tadi.
Sementara itu, setelah masuk ke ruangan dalam rumah itu, Ki Harya Baka Wulung segera menjatuhkan diri di atas lantai bertilam babut tebal. Dia duduk bersila, memejamkan mata dan mengatur pernapasan untuk memulihkan kekuatannya. dia lelah sekali, lelah lahir batin.
Melihat keadaan sahabatnya itu, Wiku Menak Koncar tersenyum dan mendiamkannya saja, tidak mengganggu karena dia tahu bahwa sahabatnya itu sedang menghimpun hawa murni dan memulihkan tenaganya. dia sudah lama sekali menjadi sahabat baik Ki Harya Baka Wulung. Bahkan beberapa tahun yang lalu mereka berdua bersama Kyai Sidhi Kawasa tokoh sakti Kerajaan Banten, bekerja sama menentang Mataram untuk membela Surabaya. Ketika itu, daerah-daerah lain di Jawa Timur, kecuali Surabaya, Giri dan Blambangan, sudah jatuh ke tangan Mataram. Mereka bertiga, tokoh-tokoh dari Madura, Blambangan, dan Banten itu membantu Surabaya jatuh juga karena Pangeran pekik bersikap lunak dan akhirnya Pangeran Pekik sebagai Adipati Surabaya malah menjadi mantu Sultan Agung. Setelah Surabaya jatuh, Ki Harya Baka Wulung melarikan diri ke Giri, Wiku Menak Koncar kembali ke Blambangan dan Kyai Sidhi Kawasa juga kembali ke Banten.
Wiku Menak Koncar yang berada di Blambangan sebagai penasihat Adipati Blambangan mendengar akan jatuhnya Giri di tangan Sultan Agung. Dia ikut prihatin namun tak dapat berbuat sesuatu. Maka ketika tanpa disangka-sangka Ki Harya Baka Wulung muncul di pekaranganrumahnya, dia menyambutnya dengan girang. Dia dapat melihat keadaan sahabatnya itu dan tahu bahwa Ki Harya Baka Wulung sedang dalam keadaan lelah lahir batin. Maka dia lalu pergi menemui para abdinya dan memerintahkan mereka mempersiapkan hidangan makanan.
Setelah Ki Harya Baka Wulung menghentikan usahanya untuk memulihkan tenaga dan membuka mata, Wiku Menak Koncar lalu mengajaknya makan bersama.
"Kita makan dulu, baru nanti bercakap-
cakap."
Katanya.
Ki Harya Baka Wulung mengangguk dan mereka makan bersama. Setelah selesai makan, mereka bercakap-cakap di ruangan depan yang lebih luas dan lebih sejuk karena bagian depan ruangan itu terbuka sehingga hawa udara dari luar dapat masuk dengan bebas. Mereka duduk berhadapan di atas kursi menghadapi meja dan di atasnya tergantung sebuah lampu yang cukup terang.
"Aku sudah mendengar bahwa Giri akhirnya jatuh juga ke tangan Sultan Agung. Kakang Harya. Bagaimana hal itu bisa terjadi? bukankah Kanjeng Sunan Giri seorang yang sakti mandraguna? Bahkan andikapun berada di sana membantunya?"
Ki Harya Baka Wulung menghela napas dan mengepalkan tinju kanannya dengan gemas.
"Menyebalkan sekali, Adi Wiku! Sebetulnya pasukan Mataram dan Surabaya tidak mungkin dapat mengalahkan Giri. Akan tetapi Sultan Agung licik! Dia mengangkat puterinya, Ratu Wandansari, menjadi senopati. Menghadapi musuh seorang puteri, Kanjeng Sunan Giri menjadi lemah, apalagi mengingat bahwa puteri itu telah menjadi isteri Pangeran Pekik, muridnya yang tersayang. Apalagi Pangeran Pekik juga memihak Sultan Agung yang sudah menjadi mertuanya. Ah, aku merasa menyesal sekali dan dendam pribadiku terhadap Sultan Agung semakin mendalam. Karena itulah maka aku datang mengunjungimu, Adi Wiku. Aku ingin minta bantuanmu untuk membalas dendam kepada Sultan Agung!"
"Akan tetapi bagaimana caranya. Kakang Harya? Kedudukan Mataram semakin kuat dan Kadipaten Blambangan belum siap untuk melakukan srangan ke sana. Kami di sini hanya memperkuat diri untuk melakukan penjagaan dan pertahanan saja."
"Asalkan andika mau membantuku, Adi Wiku, tentu akan dapat mencari jalan. Marilah andika bantu aku dan kita menyeberang ke Madura. Aku akan membujuk Anakmas Raden Praseno yang kini diangkat oleh Sultan Agung menjadi Adipati Madura dan berkedudukan di Sampang. Dia adalah muridku, tentu akan mendengar bujukanku untuk memberontak terhadap kekuasaan Mataram membalaskan kekalahan lima kabupaten Arisbaya, Pamekasan, Sumenep, Sampang dan Balega."
Wiku Menak Koncar mengerutkan alisnya, berpikir sejenak, kemudian dia mengangguk-angguk.
"Kukira rencanamu itu cukup baik, Kakang Haryo. Kalau benar-benar seluruh kabupaten di Madura serentak bangkit dan melawan, kami dari Blambangan akan mengirim bala bantuan dan dengan mempersatukan tenaga, kurasa kita akan dapat mengalahkan Mataram."
"Kalau begitu, andika mau membantuku, Adi Wiku?"
Wiku Menak Koncar mengangguk.
"Baik, aku akan membantumu, Kakang Harya. Biar kusuruh mempersiapkan perahu yang baik, kita berangkat besok setelah menghadap Adipati Blambangan."
Harya Baka Wulung menjadi girang sekali. Bangkit kembali semangatnya karena kini muncul harapan baru yang memberi jalan kepadanya untuk membalaskan dendamnya kepada Mataram. Pada keesokan harinya mereka menghadap Adipati Blambangan yang menyatakan persetujuannya akan rencana dua orang datuk itu. Setelah itu berangkatlah mereka berdua, berperahu melalui selat Bali terus ke utara kemudian menyeberangi selat Madura, menuju ke Sampang.
Ki Harya Baka Wulung adalah guru Raden Praseno yang kini menjadi adipati di Madura bergelar Pangeran Cakraningrat. tentu saja kedatangan kedua datuk itu diterima dengan hormat oleh sang adipati. juga Pangeran Cakraningrat menerima Wiku Menak Koncar dengan hormat. Gia mengenal baik kakek itu apalagi Wiku Menak Koncar membawa salam dari Adipati Blambangan. Untuk menghormati dua orang datuk itu Pangeran Cakraningrat mengadakan perjamuan makan.
Setelah selesai perjamuan, mereka bercakap-cakap dalam sebuah ruangan tertutup karena Ki Harya Baka Wulung minta kepada bekas muridnya itu untuk membicarakan urusan penting secara rahasia. Setelah mereka bertiga duduk di ruangan tertutup Ki Harya Baka Wulung menceritakan rencananya, mengajak sang adipati untuk menghimpun kekuatan seluruh kabupaten di Madura untuk memerangi Mataram.
"Jangan khawatir, Anakmas Adipati, Sang Adipati Blambangan juga sudah siap untuk membantu gerakan kita. Kalau seluruh kekuatan di Madura dihimpun, kemudian dibantu oleh pasukan Blambangan, mustahil kita tidak mampu mengalahkan Mataram."
Ki Harya Baka Wulung menutup bicaranya. Sejak tadi Pangeran Cakraningrat hanya mendengarkan saja. Walaupun hatinya merasa terkejut bukan main, namun dia bersikap tenang dan hanya mendengarkan sampai bekas gurunya itu berhenti bicara. Setelah itu baru dia berkata.
"Akan tetapi, Bapa Guru, itu berarti pemberontakan terhadap Mataram! Tidak mungkin saya memberontak terhadap Kanjeng Sultan Agung! Beliau tidak berniat menguasai Madura, melainkan hendak mempersatukan semua daerah untuk menghadapi Kumpeni Belanda. Untuk mempersatukan seluruh Madura beliau malah mengangkat saya menjadi Adipati Madura. Bagaimana sekarang Bapa Guru menganjurkan saya untuk memberontak terhadap Kanjeng Sultan Agung?"
"Heh-heh-heh!"
Ki Harya Baka Wulung memaksa diri tertawa sungguhpun di dalam hatinya dia marah mendengar ucapan bekas murid yang kini menjadi adipati itu.
"Anakmas Praseno! Semua itu hanya siasat licik Sultan Agung saja! Lupakah anakmas betapa banyaknya sanak keluarga kita yang tewas ketika Mataram datang menyerbu? Bukankah banyak para paman dan saudara anakmas yang juga terbunuh? Sultan Agung mengangkat anakmas sebagai adipati agar hanya anakmas melupakan semua itu! Lain waktu kalau saatnya tiba, tentu anakmas yang akan dibunuhnya. Lebih baik kita mendahului daripada didahului oleh raja Mataram yang kejam itu!"
Pangeran Cakraningrat menghela napas dalam.
"Bapa Guru, urusan ini bukanlah urusan kecil dan sepele. harus dipikirkan masak-masak dan disepakati oleh semua bupati. Saya kira tidak ada bupati yang akan menerima dan menyetujui pemberontakan, Bapa Guru. Maafkan saya, saya tidak mau menyengsarakan rakyat Madura dengan lain peperangan lagi. Kanjeng sultan Agung bukanlah musuh kita, melainkan pemimpin kita untuk menghadapi keserakahan Kumpeni Belanda."
Bukan main marahnya hati Harya Baka Wulung mendengar ucapan bekas muridnya itu. Dia masih mencoba untuk membujuk, dibantu oleh Wiku menak Koncar, akan tetapi sama sekali kesetiaan Pangeran Cakraningrat terhadap Sultan Agung tidak goyah. Dengan putus harapan dan marah Ki Harya Baka Wulung mengajak Wiku Menak Koncar untuk meninggalkan Sampang.
"Bagaimana kalau kita mencoba untuk membujuk Pangeran Pekik, adipati di Surabaya?"
Wiku Menak Koncar berkata kepada Ki Harya Baka Wulung ketika perahu mereka sudah meninggalkan pantai Madura dan memasuki selat Madura.
Ki Harya Baka Wulung yang muram wajahnya itu menjawab kesal.
"Pangeran Pekik? Seperti mengharapkan matahari bersinar di malam hari! Tidak mungkin sama sekali.
Setelah dia menikah dengan Ratu Wandansari, menjadi mantu Sultan Agung, mana mungkin dia diajak memberontak terhadap mertuanya?"
"Kalau begitu, apa yang akan andika lakukan sekarang, Kakang Harya? Kalau sudah tidak ada sesuatu lagi yang dapat kubantu, lebih baik aku kembali saja ke Blambangan,"
Kata Wiku Menak Koncar.
"Nanti duku, Adi Wiku,"
Kata Ki Harya Baka Wulung.
Dia tampak mengerutkan alisnya, termenung, termenung dan mengolah pikirannya. Kemudian dia mengepal tangan kanannya dan memukul pahanya sendiri.
"Ah, inilah jalan terbaik! Kita harus dapat memberi pukulan yang tepat sekali untuk menghancurkan hati Sultan Agung dan melemahkan kedudukannya, merenggangkan hubungan Mataram dengan Surabaya dan Giri! dengan demikian, kita dapat membalas dendam kepada Sultan Agung!"
"Bagaimana caranya?"
Tanya Wiku Menak Koncar, ingin tahu sekali.
"Kita harus membunuh Ratu Wandansari!"
"Membunuh Ratu Wandansari? Mengapa? Dan apa untungya bagi kita?"
"Adi Wiku, jatuhnya Surabaya dan Giri karena puteri Sultan Agung itu. Pangeran Pekik menjadi lemah dan perlawanannya berhenti karena dia dinikahkan dengan Ratu Wandansari. Kemudian Giri jatuh karena Ratu Wandansari yang menjadi senopati memimpin pasukan menyerbu Giri. Sekarang, hubungan antara Surabaya dan Mataram menjadi kuat karena ada Ratu Wandansari dan Giri juga tunduk karena melihat Surabaya juga tidak lagi memusuhi Mataram. Nah, kalau Ratu Wandansari dibunuh, selain hati sultan Agung menjadi hancur karena kehilangan puterinya yang amat dikasihi, juga Pangeran Pekik tidak terikat lagi kepada Mataram. Setelah begitu, tentu Surabaya dan Giri siap untuk menentang Mataram. Bukankah siasat ini baik sekali?"
Wiku Menak Koncar mengangguk-angguk dan memandang kepada sahabatnya dengan kagum.
"Hebat! Siasat itu memang bagus sekali, Kakang Harya. akan tetapi, bagaimana kita akan dapat membunuh Ratu Wandansari? Ia adalah seorang wanita sakti mandraguna."
Ki Harya Baka Wulung tersenyum lebar.
"Aku tahu bahwa Ratu Wandansari adalah murid mendiang Bhagawan Sindusakti yang dulu menjadi ketua perguruan silat Jatikusumo. Akan tetapi betapapun saktinya, tidak mungkin dia dapat mengalahkan andika atau aku, apalagi kalau kita berdua melawannya."
"Akan tetapi, Kakang Harya. Ia telah menjadi isteri Pangeran Pekik. Ia tentu berada di istana Kadipaten Surabaya dan terjaga kuat. Bagaimana kita mendekatinya, apalagi membunuhnya?"
"Inilah yang harus kita selidiki, Adi Wiku. Kita selidiki ke Surabaya dan begitu ada kesempatan, kita bertindak. Bagaimana? apakah andika masih mau membantuku?"
"Baiklah, aku akan membantumu, Kakang Harya."
"Bagus, terima kasih, Adi Wiku."
"Tidak perlu berterima kasih karena kalau usaha kita berhasil berarti suatu keuntungan besar pula bagi Kabupaten Blambangan."
Mereka lalu memerintahkan anak buah untuk mengarahkan perahu ke Surabaya.
Setelah meninggalkan dusun Gampingan, Aji berhenti di persimpangan jalan, meragu sejenak. Dia merasa bingung harus mengambil jurusan mana. Biarpun ia mengemban tugas untuk mencari putera mendiang gurunya yang berada di Banten, yaitu daerah yang menurut gurunya berada jauh di barat, juga keinginannya mencari Hasanudin putera ayahnya mengharuskan dia pergi ke daerah Galuh di utara lalu ke barat, namun keinginannya merantau dapat dilakukan ke arah mana saja. Tiba-tiba teringatlah dia akan burung alap-alap yang sering dilihatnya di atas pantai Laut Kidul. Teringat akan ini, langkahnya membawanya ke selatan, ke arah laut.
Tak lama kemudian Aji Sudah berdiri di atas pantai berpasir, memandang ke arah laut yang begelombang. Ombak besar bergulung-gulung, memanjang seperti naga, kepala ombak yang putih itu berkejaran, lalu bertumbukan dan pecah menimbulkan suara menggelegar. Air laut bergerak dan bergelora, siang malam tak pernah berhenti. Aji menengadah, memandang ke angkasa, mencari-cari. tiba-tiba dia tersenyum dan matanya bersinar-sinar karena dia melihat apa yang dicarinya. Titik hitam melayang-layang di antara awan itu.
Alap-alap Laut Kidul, demikian dia memberi nama burung yang telah menjadi kesayangannya itu. Titik hitam itu semakin membesar, semakin turun sehingga akhirnya dia dapat melihat dengan jelas. Alap-alap yang gagah perkasa, melayang-layang berputaran seolah-olah menyambutnya. Kemudian burung itu terbang pergi ke arah timur.
Aji mengangguk-angguk.
"Baiklah, Alap-alap Laut Kidul, aku akan mengikuti ke arah mana engkau terbang!"
Katanya. Burung itu seolah memberi prtunjuk kepadanya bahwa dia harus memulai perantauannya ke arah timur. Mulailah Aji dengan perjalanannya. Dia menuju ke timur. Naik turun bukit-bukit yang seolah tiada habisnya itu. Dari ketinggian bukit-bukit itu dia kadang dapat melihat Laut Kidul. Dari jauh tampak tenang membiru. Diam dan tenang. Pasahal dia tahu benar bahwa laut itu tidak pernah diam.
Berhari-hari Aji melakukan perjalanan melalui Pegunungan Kidul atau Pegunungan Seribu yang memanjang dari barat ke timur itu. Di waktu malam dia bermalam di dusun yang dilewatinya, kadang juga terpaksa harus bermalam di sebuah guha yang gelap. beberapa hari kemudian tibalah dia di sebuah dusun di tepi pantai. Dusun Wonocolo yang terletak di pantai teluk Panggul. Karena hari telah menjelang senja, Aji mengambil keputusan untuk bermalam di dusun itu.
Pada saat dia memasuki dusun itu, tiba-tiba tampaklah olehnya seekor burung alap-alap melayang-layang di angkasa. Aji merasakan jantungnya berdebar gembira. Entah bagaimana, setiap kali melihat burung alap-alap terbang di angkasa, penglihatan itu begitu akrab dalam hatinya. Penglihatan yang tidak asing. seolah-olah yang melayang-layang itu adalah alap-alap yang dulu juga, yang suka melayang di atas pantai berpasir di sebelah selatan dusun tempat lahirnya, alap-alap yang pernah dilihatnya berkelahi melawan ular dan memenangkan perkelahian itu. Alap-alap yang dengan perkelahian itu telah mengajarkan ilmu tata kelahi yang baru kepadanya. Dan kini alap-alap itu terbang pergi, menuju ke utara! Seolah menjadi pertanda baginya bahwa perjalanan selanjutnya adalah utara.
Demikianlah, setelah bermalam di rumah seorang petani tua di dusun Wonocolo itu selama satu malam, pada keesokan harinya Aji melanjutkan perjalanannya. Kini dia melakukan perjalanan ke arah utara! Dia merasa dirinya seekor burung alap-alap yang terbang bebas di udara, menuju ke manapun hati dan kakinya membawanya. Beberapa hari kemudian tibalah dia di daerah Caruban.
Pada saat itu matahari sedang panas-panasnya dan tepat beradadi atas kepala. Aji melepas lelah dan duduk di bawah sebatang pohon dadap. Tempat itu sejuk sekali karena terlindung banyak pohon yang tumbuh di tepi jalan. Agaknya dia telah tiba di jalan raya yang membentang dari timur ke barat. Simpang tiga itu berada di daerah berhutan dan keadaan di situ sepi, agaknya jauh dari dusun. Padahal perutnya sudah terasa lapar. Dia harus bisa menemukan sebuah dusun untuk dapat memperoleh makanan.
Tiba-tiba dia mendengar suara orang dari arah timur. Dia menoleh dan tak lama kemudian, dari jalan yang menikung itu muncul tujuh orang laki-laki yang sedang berjalan menuju ke barat. Entah mengapa, melihat tujuh orang laki-laki itu, timbul perasaan curiga dan tidak enak dalam hati Aji. Maka dia cepat bersandar ke batang pohon itu dan dia memejamkan kedua matanya, pura-pura tertidur. Dengan sedikit membuka matanya, melalui bulu matanya dia dapat memperhatikan mereka. Yang menarik perhatiannya adalah dua orang kakek yang berjalan di depan dalam rombongan tujuh orang itu.
Seorang kakek bertubuh tinggi besar seperti raksasa. Rambut dan brewoknay kaku seperti kawat, sudah berwarna dua. Matanya lebar dan liar. Kepalanya memakai kain pengikat kepala wulung. Kakek yang tampak gagah dan kokoh kuat ini walaupun usianya sudah hampir tujuh puluh tahun, membawa sebatang keris dengan warangka dan gagang terukir indah, terselip di pinggangnya. Kakek kedua yang berjalan di samping kakek pertama, juga menarik perhatian Aji. Usia kakek ini sebaya dengan kakek petama. tubuhnya sedang saja, akan tetapi kulitnya amat menarik perhatian karena kulit itu hitam sekali, seperti arang.
Pakaiannya mewah dan wajahnya buruk dengan matanya yang sipit, hidungnya yang pesek dan bibirnya yang tebal. Kakek ini membawa sebatang senjata ruyung atau penggada yang tergantung di pinggang kirinya. Juga kakek kedua ini, biarpun tubuhnya tidak sekokoh kakek pertama, menunjukkan kegagahan. Sikap dan pandang mata dua orang kakek yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun ini menunjukkan bahwa mereka "berisi", yaitu dua orang yang memiliki kesaktian.
Lima orang laki-laki yang berjalan di belakang mereka juga merupakan orang-orang yang bersikap gagah. Usia mereka dari empat puluh sampai lima puluh tahun dan Aji melihat keanehan pada pakaian mereka. Lima orang itu mengenakan baju dan celana hitam. Mereka membiarkan baju itu terbuka di bagian dada, dan celana hitam mereka sampai ke bawah lutut. Yang menarik adalah ikat pinggang mereka. Ikat pinggang itu merupakan kolor yang besar, hampir sebesar lengannya, panjang hampir menyentuh tanah dan bermacam-macam warnanya. Aji yang belum pernah keluar dari dusun tempat lahirnya, paling jauh dia hanya pergi ke tepi laut, dan sama sekali belum berpengalaman. sama sekali tidak tahu bahwa lima orang itu adalah para warok, yaitu jagoan dari daerah Ponorogo.
Ketika dalam perjalanannya beberapa hari yang lalu dia melewati Ponorogo, dia juga melihat banyak kaum pria yang berpakaian seperti lima orang itu, akan tetapi karena tidak pernah terjadi sesuatu, diapun tidak tahu siapa mereka, sama sekali tidak mengira bahwa mereka adalah para jagoan dan bahwa kolor yang besar itu merupakan senjata mereka yang ampuh. Ketika rombongan itu tiba di dekat tempat Aji tersandar pada batang pohon, dua orang kakek itu menghentikan langkah mereka. Lima orang itupun berhenti dan mereka mengamati Ajim dengan penuh perhatian. Kemudian terdengar kakek berkulit hitam arang itu berkata dengan suara tinggi seperti suara wanita.
"Ah, untuk apa perhatikan dia? Dia hanya seorang bocah yang kelelahan dan mungkin kelaparan. Hayo jalan terus dan kita mencari tempat baik untuk menghadang."
Logat bicara kakek itu terdengar aneh bagi Aji, namun dia masih dapat mengerti artinya.
Tujuh orang itu melanjutkan perjalanan mereka. Hati Aji sudah tergerak dan dia tertarik sekali. Sikap mereka itu tidak seperti orang-orang biasa yang kebetulan lewat di jalan ini. Mereka tentu mempunyai niat tertentu. Kakek hitam tadi bicara tentang penghadangan! Jangan-jangan mereka mempunyai niat buruk terhadap orang yang akan dihadang!
Setelah rombongan itu menghilang di tikungan jalan, Aji cepat bangkit, menggendong lagi buntalan pakaiannya dan diapun menyelinap di antara pohon-pohon dan membayangi rombongan itu dari jarak agak jauh sambil bersembunyi di balik pohon-pohon. Setelah tiba di bagian hutan yang lebat, tujuh orang itu berhenti dan mereka lalu berpencar, bersembunyi di balik pohon besar atau semak-semak sehingga tidak tampak dari jalan. Melihat ini, berdebar rasa jantung Aji.
Dugannya tidak keliru. mereka itu tentu berniat buruk terhadap orang yang sedang mereka hadang. Dia pun bersembunyi di balik semak belukar dan melakukan pengintaian. Dua orang kakek itu bukan lain adalah Ki Harya Baka Wulung dan Wiku Menak Koncar.
Seperti kita ketahui, dua orang datuk dari Madura dan Blambangan ini telah gagal membujuk Pangeran Cakraningrat untuk memberontak terhadap Mataram. Akan tetapi Ki Harya Baka Wulung tidak putus asa. dendamnya terhadap Mataram sedemikian besarnya sehingga dia tidak akan berhenti sebelum dapat membalas dendam. Dia berhasil membujuk Wiku Menak koncar, untuk membantunya mencari kesempatan untuk membunuh Ratu Wandansari, puteri Sultan Agung atau isteri Pangeran Pekik dalam usahanya membalas kematian anaknya. Dengan membunuh Ratu Wandansari, dia dapat menghancurkan hati Sultan Agung dan sekaligus merenggangkan hubungan antara Mataram dan Surabaya, juga Giri.
Beberapa lamanya mereka menanti dan mengintai kesempatan dan sekarang kesempatan itu tiba! Dari beberapa orang anak buah yang mereka sebar di Kadipaten Surabaya untuk melakukan penyelidikan, mereka mendengar bahwa pada hari itu Ratu Wandansari akan melakukan perjalanan menuju Mataram, seorang diri, tidak dengan Pangeran Pekik. Dan seperti biasanya, puteri yang digdaya, sakti mandraguna dan memiliki kelebihan, mampu melindungi diri sendiri. Mendengar berita ini, Ki Harya Baka Wulung dan Wiku Menak Koncar menjadi girang bukan main. Saat yang ditunggu-tunggu selama berpekan-pekan itu akhirnya tiba.
Kesempatan itu akhirnya terbuka. Mereka cepat mendahului perjalanan sang puteri dan di daerah Madiun mereka berhasil menemui lima orang warok bersaudara yang terkenal sebagai Lima Macan Nganjuk. Lima orang jagoan bersaudara ini berasal dari Ponorogo dan dulu pernah memperdalam aji kanuragan dari Ki Harya Baka Wulung sehingga mereka boleh disebut murid-murid datuk ini, walaupun mereka tidak menyerap seluruh kepandaian Ki Harya Baka Wulung, melainkan hanya memperdalam ilmu mereka sendiri menurut petunjuk datuk itu. Akan tetapi hal ini sudah cukup untuk membuat mereka menaati perintah Ki Harya Baka Wulung yang mereka anggap sebagai guru mereka. Ketika datuk itu minta bantuan mereka, dengan senang hati lima orang warok itu menyanggupi dan berangkatlah mereka bersama dua orang datuk itu, mencari tempat penghadangan yang baik di dalam hutan daerah Caruban.
Demikianlah pada siang hari itu mereka menanti dan menghadang di dalam hutan sambil bersembunyi. Mereka telah memperhitungkannya dengan seksama bahwa kereta sang puteri pasti akan lewat di tempat itu pada siang hari ini. Mereka tahu dengan pasti bahwa perhitungan mereka tidak akan meleset dan Ki Harya Baka Wulung sudah menggosok-gosok kedua telapak tangannya membayangkan bahwa sebentar lagi dia akan berhasil membalas dendam kematian puteranya!
Kurang lebih satu jam kemudian, terdengarlah derap kaki kuda dan roda kereta datang dari arah timur. Aji yang berada di sebelah timur gerombolan yang menghadang kereta itu dapat melihat lebih dulu rombongan yang datang dari arah timur itu. Sebuah kereta yang ditarik empat ekor kuda berjalan di depan, kusirnya seorang laki-laki setengah tua yang mengenakan pakaian khas sais kadipaten. Yang duduk dalam kereta itu tidak tampak karena tirai pintu kereta itu tertutup. Di belakang kereta terdapat dua belas orang prajurit menunggang kuda. Rombongan itu berjalan sedang saja, tampaknya tidak tergesa-gesa. Mungkin perjalanan lambat itu dilakukan agar kereta tidak terlalu terguncang.
Aji memandang dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Dia tidak tahu siapa yang berada dalam kereta akan tetapi dapat menduga bahwa mungkin sekali rombongan inilah yang dihadang oleh tujuh orang itu. Bagaimanapun juga, hatinya merasa agak lega melihat bahwa kereta itu dikawal dua belas orang prajurit berkuda yang tampaknya gagah dan kuat. Dengan hati-hati dia menyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak untuk mendekat agar dapat melihat lebih jelas.
Perhitungan Ki Harya Baka Wulung dan kawan-kawannya tidaklah salah. Ratu Wandansari yang berada dalam kereta yang dikawal selosin prajurit itu. Siang itu hawanya panas sekali dan perjalanan jauh itu melelahkan, maka Ratu Wandansari yang duduk dalam kereta itu mengantuk dan melenggut. Sedikitpun ia tidak merasa khawatir akan menemui halangan dalam perjalanan. Ia adalah puteri Sultan Agung dan isteri Pangeran Pekik. Siapa yang akan berani mengganggunya? Pula, andaikata ada yang begitu berani mengganggu, ada selosin perajurit pilihan mengawalnya, dan dia sendiri tidak takut menghadapi lawan yang bagaimana tangguhpun.
Tiba-tiba sais kereta itu menahan empat ekor kuda penarik kereta. Karena dia menarik kendali secara mendadak, maka kereta berhenti dengan tiba-tiba pula dan hal ini membuat Ratu Wandansari tersentak bangun dari keadaan setengah tidur. Dua belas orang prajurit berloncatan turun dari atas kuda mereka dan berlari ke depan kereta untuk melindungim sang puteri. Mereka melihat tujuh orang tiba-tiba berloncatan dari kanan kiri jalan dan berdiri menghadang dengan sikap mengancam. Aji sudah menyelinap cukup dekat dan dia menonton dengan hati tegang. Dia menghadapi pertentangan, mungkin pertempuran kedua pihak yang tidak dikenalnya, tidak tahu siapa di antara kedua pihak itu yang benar atau salah, siapa yang harus dibantu atau ditentang.
Perwira pasukan pengawal itu, seorang laki-laki tinggi tegap berkumis tebal seperti Raden Gatutkaca, menghadapi tujuh orang itu dan berkata dengan suara lantang berwibawa.
"Siapa kalian, berani mati menghadang perjalanan rombongan kami! Apakah kalian tidak tahu siapa yang berada dalam kereta? Beliau adalah Gusti Ratu Wandansari, puteri dari Kanjeng Gusti Sultan Agung, garwa (isteri) Pangeran Pekik Adipati Surabaya!"
"Heh-heh-heh, perwira precil (anak katak)! Apakah matamu sudah buta sehingga tidak mengenal lagi siapa kami berdua?"
Ki Harya Baka Wulung membentak setelah tertawa mengejek. Sementara itu, dalam pengintaiannya, Aji terkejut bukan main ketika mendengar pengakuan perwira itu bahwa yang berada di dalam kereta adalah Ratu Wandansari, puteri Sultan Agung atau isteri Pangeran Pekik. Nama-nama ini sudah didengarnya baik-baik dari mendiang gurunya. bahkan gurunya juga memberitahu kepadanya bahwa yang namanya Ratu Wandansari itu adalah puteri Sultan Agung yang selain amat cantik, juga sakti mandraguna walaupun kesaktiannya tentu saja belum mampu menyamai kesaktian Sultan Agung sendiri.
Dan mendiang gurunya dulu memesan agar dia mengabdi dan membantu Sultan Agung. Dengan sendirinya sekarang dia harus pula membantu Ratu Wandansari kalau sekiranya puteri itu membutuhkan bantuan. Sekarang dia tahu di pihak siapa dia harus berdiri. Kini agaknya perwira pasukan pengawal itu baru mengenal dua orang datuk yang dulu pernah membantu Pangeran Pekik ketika Surabaya berperang melawan Mataram. Dia segera memberi hormat dengan membungkuk dan berkata kaget dan heran.
"Ah, kiranya Paman Harya Baka Wulung dan Paman Wiku Menak Koncar! Maafkan kalau saya tidak mengenal paman berdua tadi. Akan tetapi apa kehendak paman menghadang perjalanan kami yang mengawal Gusti Puteri Wandansari?"
"Sudah, minggirlah! Kami tidak ingin berbicara dengan orang-orang kecil macam kalian! Minggir! Kami hendak bicara langsung dengan puteri Wandansari!"
Kata Ki Harya Baka Wulung dengan lagak angkuh.
Pada saat itu, tirai kereta itu tersingkap dari dalam dan keluarlah seorang wanita dari dalam kereta. Aji memandang dengan mata terbelalak kagum. Belum pernah selama hidupnya dia melihat seorang wanita yang demikian anggun. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Pakaiannya indah. tubuhnya ramping padat. Kepala dan tubuhnya tegak ketika ia berdiri sehingga tampak gagah dan berwibawa. Rambutnya hitam panjang digelung dan dihias tusuk sanggul dari emas permata. Sepasang matanya tajam dan mengandung wibawa yang kuat. Sebatang pedang dengan sarung berukir indah tergantung di punggungnya, membuat wanita itu tampak semakin gagah. Aji yang selama ini hanya bertemu dengan wanita dusun yang sederhana, tentu saja kini merasa seolah-olah sedang bermimpi dan bertemu dengan seorang puteri kahyangan atau bertemu dengan tokoh Srikandi, wanita perkasa dalam cerita wayang!
Ketika wanita itu bicara, suaranya merdu namun lantang dan berwibawa.
"Kiranya Paman Harya Baka Wulung dan Paman Wiku Menak koncar yang menghadang perjalananku. Seingatku, kami tidak mempunyai urusan apapun dengan andika berdua! Ada kepentingan apakah paman berdua menghadang perjalananku?"
"Heh-heh-heh, Ratu Wandansari! Andika harus mati di tanganku untuk menebus dosa ayahmu, Sultan Agung!"
Setelah berkata demikian, Ki Harya Baka Wulung memberi isyarat kepada lima orang warok yang sudah siap siaga. Lima orang warok itu sambil memegangi kolor, memutar senjata itu dan menerjang maju. Akan tetapi perwira yang memimpin pasukan pengawal tidak tinggal diam. Dia meneriakkan aba-aba dan para perajurit segera menyambut terjangan lima orang warok itu, menggunakan pedang mereka. Pasukan pengawal yang terdiri dari tiga belas orang berikut perwira tadi memang merupakan pengawal istimewa yang bersenjatakan pedang.
Mereka rata-rata pandai bersilat pedang dan tangguh sehingga para warok itu bertemu dengan lawan yang cukup tangguh. Melihat ini, Wiku Menak Koncar mengambil ruyungnya dan dengan penggada ini dia membantu lima orang warok menghadapi pengeroyokan para perajurit pengawal.
"Ratu Wandansari, bersiaplah untuk mati di tanganku!"
Bentaknya sambil melompat ke depan puteri itu.
"Harya Baka Wulung keparat kau! Dahulu kanjeng rama masih mengampunimu, tidak membunuhmu dan membiarkan engkau lari dari Surabaya bersama Wiku Menak Koncar. Juga ketika aku memimpin pasukan menundukkan Giri, aku tidak menyuruh pasukan menangkapmu, membiarkan engkau melarikan diri mengingat engkau seorang tua yang dihormati di Madura! Akan tetapi hari ini engkau bertindak khianat dan curang, menghadangku di tengah hutan! Jangan mengira bahwa aku takut menghadapimu!"
"Babo-babo! Baru puas rasa hatiku kalau sudah dapat membunuhmu!"
Teriak Ki Harya Baka Wulung sambil menyerang dengan tusukan kerisnya. Serangannya dahsyat bukan main karena tenaga tusukannya diperkuat tenaga sakti, didorong gerengan seperti seekor katak buduk.
Akan tetapi dengan gerakan tangkas sekali, Ratu Wandansari sudah melompat ke belakang dan begitu tangan kanannya meraba punggung, tampak sinar berkelebat dan tahu-tahu ia sudah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar mengkilap. Ki Harya Baka Wulung menerjang lagi, menyerang dengan kerisnya. Sekali ini, Ratu Wandansari menggerakkan pedangnya menangkis.
"Wuuuutttt ...... trang.....!"
Pedang bertemu keris. Bunga api berpijar menyilaukan mata akibat benturan dua senjata yang didorong tenaga sakti dahsyat itu membuat sang puteri terhuyung ke belakang. Ternyata ia masih kalah kuat! Akan tetapi gerakannya trengginas sekali sehingga ketika Ki Harya Baka Wulung mendesak, ia sudah mampu mengendalikan diri dan mempergunakan kegesitannya dan menghindarkan serangan susulan. Mulailah puteri perkasa ini bersilat dengan ilmu pedang Kartika Sakti, sebuah ilmu pedang yang amat ampuh, yang dipelajarinya dari mendiang Resi Limut Manik, pertapa di puncak Semeru. Terjadilah pertempuran yang amat hebat antara Ki Harya Baka Wulung itu melawan Ratu Wandansari. Sebetulnya, sang puteri masih kalah dalam hal tenaga sakti dan pengalaman bertanding, akan tetapi karena ia memiliki ilmu pedang yang amat ampuh itu, maka untuk sementara ia mampu mengimbangi serangan datuk dari Madura itu.
Aji menonton pertempuran dengan hati tegang. Dia melihat betapa tiga belas orang prajurit, dibantu pula oleh sais kereta yang ternyata juga seorang yang digdaya, menggunakan cambuknya sebagai senjata, tetap saja mereka kewalahan menghadapi Wiku Menak Koncar dan lima orang warok. Terutama sekali Sang Wiku amat hebat sepak terjangnya.
Penggada di tangannya itu amat ampuh. setiap kali ada perajurit berani menangkis sambaran ruyungnya, perajurit itu tentu terpental dan terpelanting! Juga amukan lima orang warok itu amat ganas. Untung bahwa para perajurit itu merupakan pasukan yang dapat bekerja sama dengan baik karena terlatih sehingga mereka dapat saling bantu dan sebegitu lama masih mampu menandingi amukan Wiku Menak Koncar dan lima orang warok itu. Akan tetapi menurut pandangan Aji, kalau pertempuran itu dilanjutkan, akhirnya tentu para perajurit akan kalah. Demikian pula, sang puteri agaknya akan sulit mengalahkan kakek tinggi besar yang amat tangguh itu. Akan tetapi dia masih merasa ragu untuk keluar membantu puteri itu. Gurunya pernah menasihatinya agar dia tidak sembarangan mencampuri urusan orang lain dan juga banyak pendekar atau kesatria yang merasa tidak senang dibantu dalam perkelahian, apalagi kalau dia belum terancam oleh lawan.
Pada saat itu terdengar seruan-seruan lantang dan penuh daya getaran. Ki Harya Baka Wulung dan Wiku Menak Koncar mengeluarkan ilmu mereka yang dahsyat. Datuk Madura itu dalam keadaan tubuh direndahkan mengembangkan kedua lengannya lalu mendorong ke depan. Dari gerakannya itu tiba-tiba saja tampak asap hitam mengepul tebal menyerang ke arah sang puteri. Itulah Aji Kukus Langking yang amat hebat. Ratu Wandansari adalah seorang wanita yang sakti mandraguna. Ia maklum akan bahayanya serangan yang menggunakan tenaga sakti dan kekuatan sihir itu. Iapun lalu mengerahkan tenaga sakti dan mendorong dengan kedua tangannya, menggunakan Aji Gelap Musti.
"Aji Kukus Langking.....!"
Ki Harya Baka Wulung berseru dan memperkuat tenaga.
"Aji Gelap Musti!"
Ratu Wandansari juga berteriak melengking. Dua tenaga sakti bertemu dan akibatnya, sang puteri terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung. Jelas bahwa ia kalah kuat dalam pertandingan adu tenaga sakti ini. Sementara itu, dalam saat yang hampir bersamaan, Wiku Menak Koncar juga mendorongkan kedua tangannya ke depan sambil berseru nyaring.
"Aji Bayu Bajra.....!"
Begitu dia berseru dan kedua tangannya mendorong, ada angin yang amat kuat menyambar ke arah para perajurit pengawal. Demikian kuatnya dorongan angin ini sehingga lima orang perajurit terpelanting dan terguling-guling! Tentu saja rekan-rekannya menjadi panik sehingga mereka terdesak mundur.
Melihat Ratu Wandansari terhuyung, Ki Harya Baka Wulung menjadi girang sekali. Saatnya tiba baginya untuk membunuh sang puteri. Dia sudah menyarungkan kerisnya kemudian dia melompat ke depan, berjongkok dan mendorongkan kedua tangan ke arah Ratu Wandansari, dari dalam perutnya yang menjadi gendut sekali itu keluar bunyi.
"kok-kok-kok!"
Nyaring sekali dan mulutnya berteriak nyaring lagi.
"Aji Cantuka Sakti.....!!"
Melihat hawa pukulan menyambar dahsyat, Ratu Wandansari kembali menyambut dengan Aji Gelap Musti, akan tetapi tubuhnya masih terhuyung.
"Wuuuutttt....., blarrrr.....!!"
Tubuh Ki Harya Baka Wulung terpental ke belakang. Dia terbelalak kaget melihat betapa pukulan mautnya tadi disambut sepasang tangan yang amat kuat. Ketika dia memandang, dia melihat seorang pemuda berpakaian seperti seorang petani dusun berdiri di depannya. Akan tetapi pemuda yang tadi menangkis pukulannya itu seperti tidak memperdulikannya. Pemuda itu bahkan menghadapi Ratu Wandansari dan berkata dengan sikap hormat.
"Maafkan kalau saya mengganggu dan terpaksa mencampuri, Gusti Puteri. Saya tidak mungkin membiarkan kakek itu membunuh paduka."
Ratu Wandansari memandang heran dan kagum, kemudian ia melirik ke arah pasukan pengawal yang terdesak oleh Wiku Menak Koncar dan lima orang warok setelah datuk Blambangan itu mengeluarkan ajinya yang mendatangkan angin kuat.
"Ki sanak, andika berani melawan Ki Harya Baka Wulung?"
Tanyanya cepat.
"Saya berani!"
Jawab Aji.
"Kalau begitu, wakili aku dan lawanlah. Aku harus membantu pasukan pengawal."
"Silahkan, Gusti Puteri!"
Kata Aji dengan nada suara gembira. Ratu Wandansari mengangguk dan ia lalu memutar pedangnya dan menerjang ke arah Wiku Menak Koncar yang sedang dikeroyok perwira pasukan pengawal, sais kereta dan beberapa orang prajurit. Sambaran pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar itu mengejutkan Wiku menak Koncar dan terpaksa dia memutar ruyungnya untuk melindungi dirinya.
Ki Harya Baka Wulung marah bukan main ketika mengenal Aji sebagai pemuda yang tadi dilihatnya tidur bersandar batang pohon. Dia telah gagal membunuh Ratu Wandansari karena dihalangi dan ditangkis pemuda ini!
"Heh, bocah keparat! Siapakah engkau, berani mencampuri urusan kami?"
Pada saat itu, entah mengapa, mungkin karena dia merasa gugup berhadapan dengan keadaan yang menegangkan seperti itu, juga karena dia tidak ingin memperkenalkan diri, Aji teringat kepada alap-alapnya. Dia merasa bahwa keadaannya seperti alap-alap itu, maka begitu saja keluar pengakuan dari mulutnya.
"Aku? Aku Alap-alap dari Laut Kidul!"
Dia sendiri terkejut dan heran atas pengakuannya itu, akan tetapi juga geli sendiri sehingga dia tersenyum memandang kepada Ki Harya Baka Wulung. Datuk Madura itu mengerutkan alisnya. Dia menjadi semakin marah karena merasa dipermainkan. Diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihir pada pandang mata dan dalam suaranya. Matanya mencorong menatap wajah Aji, kemudian terdengar suaranya menggelegar.
"Orang muda! Aku Ki Harya Baka Wulung adalah sesembahanmu! Berlutut dan menyembahlah kepadaku!"
bentakan ini mengandung kekuatan sihir amat kuat. Lawan biasa saja pasti tidak akan kuat bertahan dan terpaksa menjatuhkan diri berlutut dan menyembah. Akan tetapi Aji sudah siap siaga. Dia tahu bahwa kakek ini sakti mandraguna, maka sejak tadi dia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi segala macam penyerangan. Begitu dia merasa adanya daya kekuatan dalam sinar mata kakek itu, dia sudah cepat melindungi dirinya dengan Aji Tirta Bantala. Dengan ilmu ini dirinya mempunyai sifat seperti tirta (air) dan bantala (tanah) yang dapat menerima dan menyerap segala macam serangan tanpa perlawanan. Serangan itu akan lewat begitu saja.
"Orang tua, sesembahanku hanyalah Gusti Allah. Orang yang mengandalkan ilmunya untuk melakukan kejahatan tidak patut dihormati. Sadarlah, sadarlah dan hentikan perbuatanmu yang sesat!"
Ki Harya Baka Wulung terkejut. Sihirnya sama sekali tidak mempengaruhi pemuda itu! Pada hal pemuda itu tidak melakukan apa-apa untuk menangkis serangan sihirnya. Belum pernah dia menghadapi lawan seperti ini. Apakah kekuatan sihirnya yang sudah punah? Dia berkemak-kemik membaca mantera, lalu membentak lagi.
"Orang muda, kedukaan hebat mencengkeram hatimu. menangislah engkau!"
Akan tetapi pemuda itu malah tersenyum geli.
"Orang tua, apakah engkau sudah menjadi pikun? Ataukah pikiranmu sudah tidak waras lagi?"
Wajah Ki Harya Baka Wulung menjadi merah sekali, merah karena malu dan terutama karena marah. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu berjongkok dan menyerang dengan dorongan pukulan kedua telapak tangannya sambil membentak.
"Aji Cantuka Sakti.....!"
Dari perutnya terdengar bunyi nyaring. Serangkum hawa panas yang berbau amis menyambar keluar dari kedua telapak tangannya, menyerang ke arah Aji.
Biarpun dia belum mempunyai banyak pengalaman dalam perkelahian, namun Aji sudah seringkali mendengar penjelasan dari mendiang gurunya, maka dia selalu waspada. Maka ketika kakek itu melancarkan pukulannya, dia sudah bergerak cepat dan mengelak dengan gerakan seperti seekor kera karena memang dia memainkan ilmu silat Wanara Sakti. Melihat pukulan mautnya luput, Ki Harya Baka Wulung menjadi penasaran dan mendesak terus dengan serangkaian serangan.
Tubuhnya melompat-lompat dalam kedudukan berjongkok dan setiap kali memukul, dia mendorongkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka dan dari perutnya keluar suara berkokok nyaring. Aji mempergunakan kecepatan gerakannya untuk selalu menghindar, kadang membalas serangan lawan dengan tamparan-tamparan yang mengandung tenaga sakti Aji Surya Candra yang kuat. Dari sambaran angin pukulan berupa tamparan ini, maklumlah Ki Harya Baka Wulung bahwa tamparan pemuda itupun ampuh sekali maka dia tidak berani menerimanya dengan mengandalkan ilmu kebalnya. Terjadi pertandingan yang hebat antara kedua orang ini. Kakek itu bergerak seperti seekor katak raksasa dan Aji bergerak lincah tiada ubahnya seekor kera, atau seperti tarian Sang Hanoman di kera putih dalam kisah Ramayana.
Ilmu silat Wanara Sakti yang diajarkan oleh mendiang Ki Tejobudi kepada Aji lebih merupakan ilmu silat untuk menghindarkan diri dari serangan lawan. Ilmu ini memang ampuh untuk menyelamatkan diri karena gerakannya yang gesit dan penuh dengan gerakan menghindar sehingga sukar sekali terkena serangan lawan. Akan tetapi ilmu silat ini kurang ampuh dalam penyerangan, hanya berupa tamparan-tamparan saja yang dilakukan cepat pula, inipun tidak mengesampingkan data pertahanannya. Kalau saja tamparan itu tidak disertai Aji Surya Chandra, tentu hanya merupakan tepukan-tepukan main-main saja.
Akan tetapi melihat kenyataan betapa dengan ilmu silatnya ini dia dapat membela diri dengan baik, Aji merasa gembira sekali. Tak disangkanya bahwa ilmunya ini dapat ia pergunakan untuk menandingi orang yang sakti mandraguna seperti kakek itu. Timbul kegembiraannya dan dia lalu mencoba untuk mempraktekkan ilmu silat yang dia rangkai sendiri berdasarkan gerakan burung alap-alap dan ular ketika kedua binatang itu berkelahi. Dia mengubah gerakan kera itu menjadi gerakan alap-alap dan ular yang selain kuat dalam bertahan juga kuat pula serangan-serangannya. Bagaikan ular menggeliat dan kadang seperti gerakan alap-alap terbang meliuk, dia dapat menghindarkan serangan-serangan Ki Harya Baka Wulung.
Tiba-tiba Aji mengeluarkan pekik yang ditirunya dari suara alap-alap ketika melayang-layang di atas Laut Kidul dan tubuhnya yang meliuk ke kiri menghindarkan pukulan lawan mendadak melompat seperti terbang ke atas! Datuk Madura itu terkejut dan dia tidak berjongkok dan mengerahkan tenaga sakti Cantuka Sakti membuat dia lelah bukan main. Akan tetapi baru saja dia bangkit berdiri dan memandang ke atas, dia melihat pemuda itu sudah menukik ke bawah bagaikan seekor alap-alap (elang) menyambar ke arah kepalanya! Kedua tangan pemuda itu menyerang dengan membantuk cakar, mencengkeram ke arah kedua pelipis kepalanya! Ki Harya Baka Wulung mengenal serangan maut ini. Karena serangan itu datangnya cepat sekali, maka tidak ada jalan lain baginya kecuali menyambut serangan itu dengan kedua tangannya pula.
"Wuuuttt..... plakkk!"
Dua pasang tangan itu saling bertemu di udara. akan tetapi pada saat itu, kaki Aji yang tadinya ada di atas itu turun dan dengan kecepatan kilat kedua kakinya menghantam kakek yang ada di bawahnya.
"Dessss.....!!"
Ki Harya Baka Wulung berteriak mengaduh dan tubuhnya terjengkang keras lalu terbanting ke atas tanah. Akan tetapi dia memang tangguh. Dia bergulingan lalu melompat bangkit berdiri lagi. Sekilas pandang tahulah dia bahwa keadaan teman-temannya juga dalam bahaya. Wiku Menak Koncar repot menghadapi Ratu Wandansari yang dibantu perwira pengawal, sais kereta dan dua orang prajurit pengawal. Datuk Blambangan itu hanya dapat memutar ruyungnya untuk menangkis serangan lima orang pengeroyoknya itu tanpa sempat membalas lagi. Juga lima orang warok itu kini tinggal tiga orang, yang dua orang sudah roboh. Tiga orang warok itu menghadapi pengeroyokan enam orang prajurit yang juga kehilangan empat orang rekan mereka yang sudah roboh dalam pertempuran itu.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan bahkan membahayakan dirinya sendiri itu, Ki Harya Baka Wulung maklum bahwa usahanya membunuh Ratu Wandansari telah gagal. Bahkan kalau dia tidak cepat melarikan diri, bukan mustahil kalau dia yang akan terbunuh. Ratu Wandansari dan pasukannya itu sudah tangguh, ditambah lagi munculnya pemuda yang mengaku sebagai Alap-alap Laut Kidul dan yang ternyata sakti mandraguna ini, maka keadaan pihak musuh terlalu kuat baginya.
Melihat Ki Harya Baka Wulung roboh oleh tendangannya tadi, sebuah jurus dari gerakan alap-alap, Aji menjadi girang sekali. Akan tetapi kakek itu bangkit kembali dengan cepat, maka diapun segera melangkah cepat menghampiri. akan tetapi tiba-tiba Ki harya Baka Wulung mempergunakan Aji Kukus Kangking. Begitu kedua tangannya bergerak mendorong, asap hitam tebal mengepul dan menyerang ke arah Aji. Pemuda ini cepat menghindar ke belakang dan kesempatan itu dipergunakan Ki Harya Baka Wulung untuk melompat dan melarikan diri, menghilang dalam hutan yang lebat. Dia tidak memperdulikan lagi teman-temannya yang masih bertempur! Dia tidak ingat lagi atau tidak mau perduli bahwa Wiku Menak Koncar dan lima orang warok itu bertanding mati-matian untuk membantunya!
Wiku Menak Koncar sedang terdesak hebat. Ilmu pedang Kartika sakti yang dimainkan Ratu wandansari memang ampuh sekali, apalagi sang puteri ini dibantu perwira dan sais yang memiliki kedigdayaan yang cukup tinggi, ditambah dua orang prajurit pengawal. Kalau saja sang puteri itu maju sendiri, tentu dia masih dapat menandinginya. kini dia terdesak hebat dan menjadi bingung. Apalagi ketika dia melihat Ki Harya Baka Wulung melarikan diri begitu saja tanpa memperdulikan dirinya! tiba-tiba tiga orang warok yang juga dikeroyok dan didesak, berturut-turut roboh. Tinggal dia seorang diri! Wiku menak Koncar mengeluarkan gerengan yang mengandung getaran hebat sehingga empat orang yang membantu Ratu Wandansari yang mengeroyoknya terhuyung ke belakang. Hanya sang puteri yang mampu bertahan terhadap serangan daya suara itu. Wiku Menak Koncar tidak berpikir panjang lagi. Dia sudah amat lelah dan panic, maka dia menggunakan kesempatan ini untuk melompat dan melarikan diri.
"Jahanam, hendak lari ke mana kau?"
Ratu Wandansari Membentak dan ia melakukan jurus serangan terakhir dari ilmu pedang Kartika Sakti. Ia mengerahka n tenaganya, dengan suara bentakan ia melontarkan pedangnya ke arah tubuh Wiku Menak Koncar yang melarikan diri. Bagaikan sebatang anak panah terlepas dari busurnya, pedang itu meluncur cepat sekali dan tepat mengenai punggung kakek itu.
"Capp.....!"
Pedang itu menusuk sampai setengahnya dan tubuh Wiku Menak Koncar roboh menelungkup dan tak bergerak lagi. Ratu Wandansari melompat ke dekat mayat itu dan mencabut pedangnya, lalu dibersihkannya pedang itu dengan mengusap-usapkannya pada pakaian lawannya yang telah tewas. Setelah menyarungkan kembali pedangnya, Ratu Wandansari menyapu keadaan sekitarnya dengan pandang matanya. Ia melihat betapa selain Wiku Menak Koncar, lima orang warok itupun sudah roboh dan tewas. Adapun di pihaknya, empat orang prajurit tewas dan dua orang lainnya terluka. Kemudian ia memandang ke arah Lindu Aji yang masih berdiri memandang ke arah para korban dengan mata terbelalak.
Dia merasa kagum kepada sang puteri, akan tetapi juga merasa ngeri. Baru dua kali selama hidupnya dia melihat orang terbunuh. Pertama kali ketika tiga orang penjahat yang mengganggu ibunya dikeroyok penduduk dusun dan dipukuli sampai mati dengan tubuh hancur. Ketika itupun dia sudah merasa ngeri. Dan sekarang, dia melihat sepuluh orang tewas dengan tubuh berlumuran darah. Pada saat itu, ia menoleh ke kiri dan bertemu pandang dengan Ratu Wandansari! Sinar mata wanita itu demikian tajam penuh wibawa dan Aji segera menundukkan pandang matanya karena merasa rikuh.
Ratu Wandansari melangkah menghampirinya. setelah saling berhadapan dan melihat pemuda itu menundukkan mukanya, wanita itu berkata.
"Ki sanak, aku berterima kasih sekali kepadamu yang telah membantuku menghadapi musuh yang berniat membunuhku. Kalau tidak ada andika yang membantu, kukira kami semua telah tewas oleh orang-orang jahat itu."
Aji teringat akan semua nasihat mendiang gurunya. Dia memberi hormat dengan sembah lalu berkata.
"Yang menolong paduka dan kita semua adalah Gusti Allah, dan kita semua hanya berusaha untuk melaksanakan kewajiban kita masing-masing sebaik mungkin, Gusti Puteri."
Ratu Wandansari melebarkan sepasang matanya yang jeli, merasa heran sekali mendengar ucapan itu keluar dari mulut
Setelah selesai perjamuan, mereka bercakap-cakap dalam sebuah ruangan tertutup karena Ki Harya Baka Wulung minta kepada bekas muridnya itu untuk membicarakan urusan penting secara rahasia. Setelah mereka bertiga duduk di ruangan tertutup Ki Harya Baka Wulung menceritakan rencananya, mengajak sang adipati untuk menghimpun kekuatan seluruh kabupaten di Madura untuk memerangi Mataram.
"Jangan khawatir, Anakmas Adipati, Sang Adipati Blambangan juga sudah siap untuk membantu gerakan kita. Kalau seluruh kekuatan di Madura dihimpun, kemudian dibantu oleh pasukan Blambangan, mustahil kita tidak mampu mengalahkan Mataram."
Ki Harya Baka Wulung menutup bicaranya. Sejak tadi Pangeran Cakraningrat hanya mendengarkan saja. Walaupun hatinya merasa terkejut bukan main, namun dia bersikap tenang dan hanya mendengarkan sampai bekas gurunya itu berhenti bicara. Setelah itu baru dia berkata.
"Akan tetapi, Bapa Guru, itu berarti pemberontakan terhadap Mataram! Tidak mungkin saya memberontak terhadap Kanjeng Sultan Agung! Beliau tidak berniat menguasai Madura, melainkan hendak mempersatukan semua daerah untuk menghadapi Kumpeni Belanda. Untuk mempersatukan seluruh Madura beliau malah mengangkat saya menjadi Adipati Madura. Bagaimana sekarang Bapa Guru menganjurkan saya untuk memberontak terhadap Kanjeng Sultan Agung?"
"Heh-heh-heh!"
Ki Harya Baka Wulung memaksa diri tertawa sungguhpun di dalam hatinya dia marah mendengar ucapan bekas murid yang kini menjadi adipati itu.
"Anakmas Praseno! Semua itu hanya siasat licik Sultan Agung saja! Lupakah anakmas betapa banyaknya sanak keluarga kita yang tewas ketika Mataram datang menyerbu? Bukankah banyak para paman dan saudara anakmas yang juga terbunuh? Sultan Agung mengangkat anakmas sebagai adipati agar hanya anakmas melupakan semua itu! Lain waktu kalau saatnya tiba, tentu anakmas yang akan dibunuhnya. Lebih baik kita mendahului daripada didahului oleh raja Mataram yang kejam itu!"
Pangeran Cakraningrat menghela napas dalam.
"Bapa Guru, urusan ini bukanlah urusan kecil dan sepele. harus dipikirkan masak-masak dan disepakati oleh semua bupati. Saya kira tidak ada bupati yang akan menerima dan menyetujui pemberontakan, Bapa Guru. Maafkan saya, saya tidak mau menyengsarakan rakyat Madura dengan lain peperangan lagi. Kanjeng sultan Agung bukanlah musuh kita, melainkan pemimpin kita untuk menghadapi keserakahan Kumpeni Belanda."
Bukan main marahnya hati Harya Baka Wulung mendengar ucapan bekas muridnya itu. Dia masih mencoba untuk membujuk, dibantu oleh Wiku menak Koncar, akan tetapi sama sekali kesetiaan Pangeran Cakraningrat terhadap Sultan Agung tidak goyah. Dengan putus harapan dan marah Ki Harya Baka Wulung mengajak Wiku Menak Koncar untuk meninggalkan Sampang.
"Bagaimana kalau kita mencoba untuk membujuk Pangeran Pekik, adipati di Surabaya?"
Wiku Menak Koncar berkata kepada Ki Harya Baka Wulung ketika perahu mereka sudah meninggalkan pantai Madura dan memasuki selat Madura.
Ki Harya Baka Wulung yang muram wajahnya itu menjawab kesal.
"Pangeran Pekik? Seperti mengharapkan matahari bersinar di malam hari! Tidak mungkin sama sekali.
Setelah dia menikah dengan Ratu Wandansari, menjadi mantu Sultan Agung, mana mungkin dia diajak memberontak terhadap mertuanya?"
"Kalau begitu, apa yang akan andika lakukan sekarang, Kakang Harya? Kalau sudah tidak ada sesuatu lagi yang dapat kubantu, lebih baik aku kembali saja ke Blambangan,"
Kata Wiku Menak Koncar.
"Nanti duku, Adi Wiku,"
Kata Ki Harya Baka Wulung.
Dia tampak mengerutkan alisnya, termenung, termenung dan mengolah pikirannya. Kemudian dia mengepal tangan kanannya dan memukul pahanya sendiri.
"Ah, inilah jalan terbaik! Kita harus dapat memberi pukulan yang tepat sekali untuk menghancurkan hati Sultan Agung dan melemahkan kedudukannya, merenggangkan hubungan Mataram dengan Surabaya dan Giri! dengan demikian, kita dapat membalas dendam kepada Sultan Agung!"
"Bagaimana caranya?"
Tanya Wiku Menak Koncar, ingin tahu sekali.
"Kita harus membunuh Ratu Wandansari!"
"Membunuh Ratu Wandansari? Mengapa? Dan apa untungya bagi kita?"
"Adi Wiku, jatuhnya Surabaya dan Giri karena puteri Sultan Agung itu. Pangeran Pekik menjadi lemah dan perlawanannya berhenti karena dia dinikahkan dengan Ratu Wandansari. Kemudian Giri jatuh karena Ratu Wandansari yang menjadi senopati memimpin pasukan menyerbu Giri. Sekarang, hubungan antara Surabaya dan Mataram menjadi kuat karena ada Ratu Wandansari dan Giri juga tunduk karena melihat Surabaya juga tidak lagi memusuhi Mataram. Nah, kalau Ratu Wandansari dibunuh, selain hati sultan Agung menjadi hancur karena kehilangan puterinya yang amat dikasihi, juga Pangeran Pekik tidak terikat lagi kepada Mataram. Setelah begitu, tentu Surabaya dan Giri siap untuk menentang Mataram. Bukankah siasat ini baik sekali?"
Wiku Menak Koncar mengangguk-angguk dan memandang kepada sahabatnya dengan kagum.
"Hebat! Siasat itu memang bagus sekali, Kakang Harya. akan tetapi, bagaimana kita akan dapat membunuh Ratu Wandansari? Ia adalah seorang wanita sakti mandraguna."
Ki Harya Baka Wulung tersenyum lebar.
"Aku tahu bahwa Ratu Wandansari adalah murid mendiang Bhagawan Sindusakti yang dulu menjadi ketua perguruan silat Jatikusumo. Akan tetapi betapapun saktinya, tidak mungkin dia dapat mengalahkan andika atau aku, apalagi kalau kita berdua melawannya."
"Akan tetapi, Kakang Harya. Ia telah menjadi isteri Pangeran Pekik. Ia tentu berada di istana Kadipaten Surabaya dan terjaga kuat. Bagaimana kita mendekatinya, apalagi membunuhnya?"
"Inilah yang harus kita selidiki, Adi Wiku. Kita selidiki ke Surabaya dan begitu ada kesempatan, kita bertindak. Bagaimana? apakah andika masih mau membantuku?"
"Baiklah, aku akan membantumu, Kakang Harya."
"Bagus, terima kasih, Adi Wiku."
"Tidak perlu berterima kasih karena kalau usaha kita berhasil berarti suatu keuntungan besar pula bagi Kabupaten Blambangan."
Mereka lalu memerintahkan anak buah untuk mengarahkan perahu ke Surabaya.
Setelah meninggalkan dusun Gampingan, Aji berhenti di persimpangan jalan, meragu sejenak. Dia merasa bingung harus mengambil jurusan mana. Biarpun ia mengemban tugas untuk mencari putera mendiang gurunya yang berada di Banten, yaitu daerah yang menurut gurunya berada jauh di barat, juga keinginannya mencari Hasanudin putera ayahnya mengharuskan dia pergi ke daerah Galuh di utara lalu ke barat, namun keinginannya merantau dapat dilakukan ke arah mana saja. Tiba-tiba teringatlah dia akan burung alap-alap yang sering dilihatnya di atas pantai Laut Kidul. Teringat akan ini, langkahnya membawanya ke selatan, ke arah laut.
Tak lama kemudian Aji Sudah berdiri di atas pantai berpasir, memandang ke arah laut yang begelombang. Ombak besar bergulung-gulung, memanjang seperti naga, kepala ombak yang putih itu berkejaran, lalu bertumbukan dan pecah menimbulkan suara menggelegar. Air laut bergerak dan bergelora, siang malam tak pernah berhenti. Aji menengadah, memandang ke angkasa, mencari-cari. tiba-tiba dia tersenyum dan matanya bersinar-sinar karena dia melihat apa yang dicarinya. Titik hitam melayang-layang di antara awan itu.
Alap-alap Laut Kidul, demikian dia memberi nama burung yang telah menjadi kesayangannya itu. Titik hitam itu semakin membesar, semakin turun sehingga akhirnya dia dapat melihat dengan jelas. Alap-alap yang gagah perkasa, melayang-layang berputaran seolah-olah menyambutnya. Kemudian burung itu terbang pergi ke arah timur.
Aji mengangguk-angguk.
"Baiklah, Alap-alap Laut Kidul, aku akan mengikuti ke arah mana engkau terbang!"
Katanya. Burung itu seolah memberi prtunjuk kepadanya bahwa dia harus memulai perantauannya ke arah timur. Mulailah Aji dengan perjalanannya. Dia menuju ke timur. Naik turun bukit-bukit yang seolah tiada habisnya itu. Dari ketinggian bukit-bukit itu dia kadang dapat melihat Laut Kidul. Dari jauh tampak tenang membiru. Diam dan tenang. Pasahal dia tahu benar bahwa laut itu tidak pernah diam.
Berhari-hari Aji melakukan perjalanan melalui Pegunungan Kidul atau Pegunungan Seribu yang memanjang dari barat ke timur itu. Di waktu malam dia bermalam di dusun yang dilewatinya, kadang juga terpaksa harus bermalam di sebuah guha yang gelap. beberapa hari kemudian tibalah dia di sebuah dusun di tepi pantai. Dusun Wonocolo yang terletak di pantai teluk Panggul. Karena hari telah menjelang senja, Aji mengambil keputusan untuk bermalam di dusun itu.
Pada saat dia memasuki dusun itu, tiba-tiba tampaklah olehnya seekor burung alap-alap melayang-layang di angkasa. Aji merasakan jantungnya berdebar gembira. Entah bagaimana, setiap kali melihat burung alap-alap terbang di angkasa, penglihatan itu begitu akrab dalam hatinya. Penglihatan yang tidak asing. seolah-olah yang melayang-layang itu adalah alap-alap yang dulu juga, yang suka melayang di atas pantai berpasir di sebelah selatan dusun tempat lahirnya, alap-alap yang pernah dilihatnya berkelahi melawan ular dan memenangkan perkelahian itu. Alap-alap yang dengan perkelahian itu telah mengajarkan ilmu tata kelahi yang baru kepadanya. Dan kini alap-alap itu terbang pergi, menuju ke utara! Seolah menjadi pertanda baginya bahwa perjalanan selanjutnya adalah utara.
Demikianlah, setelah bermalam di rumah seorang petani tua di dusun Wonocolo itu selama satu malam, pada keesokan harinya Aji melanjutkan perjalanannya. Kini dia melakukan perjalanan ke arah utara! Dia merasa dirinya seekor burung alap-alap yang terbang bebas di udara, menuju ke manapun hati dan kakinya membawanya. Beberapa hari kemudian tibalah dia di daerah Caruban.
Pada saat itu matahari sedang panas-panasnya dan tepat beradadi atas kepala. Aji melepas lelah dan duduk di bawah sebatang pohon dadap. Tempat itu sejuk sekali karena terlindung banyak pohon yang tumbuh di tepi jalan. Agaknya dia telah tiba di jalan raya yang membentang dari timur ke barat. Simpang tiga itu berada di daerah berhutan dan keadaan di situ sepi, agaknya jauh dari dusun. Padahal perutnya sudah terasa lapar. Dia harus bisa menemukan sebuah dusun untuk dapat memperoleh makanan.
Tiba-tiba dia mendengar suara orang dari arah timur. Dia menoleh dan tak lama kemudian, dari jalan yang menikung itu muncul tujuh orang laki-laki yang sedang berjalan menuju ke barat. Entah mengapa, melihat tujuh orang laki-laki itu, timbul perasaan curiga dan tidak enak dalam hati Aji. Maka dia cepat bersandar ke batang pohon itu dan dia memejamkan kedua matanya, pura-pura tertidur. Dengan sedikit membuka matanya, melalui bulu matanya dia dapat memperhatikan mereka. Yang menarik perhatiannya adalah dua orang kakek yang berjalan di depan dalam rombongan tujuh orang itu.
Seorang kakek bertubuh tinggi besar seperti raksasa. Rambut dan brewoknay kaku seperti kawat, sudah berwarna dua. Matanya lebar dan liar. Kepalanya memakai kain pengikat kepala wulung. Kakek yang tampak gagah dan kokoh kuat ini walaupun usianya sudah hampir tujuh puluh tahun, membawa sebatang keris dengan warangka dan gagang terukir indah, terselip di pinggangnya. Kakek kedua yang berjalan di samping kakek pertama, juga menarik perhatian Aji. Usia kakek ini sebaya dengan kakek petama. tubuhnya sedang saja, akan tetapi kulitnya amat menarik perhatian karena kulit itu hitam sekali, seperti arang.
Pakaiannya mewah dan wajahnya buruk dengan matanya yang sipit, hidungnya yang pesek dan bibirnya yang tebal. Kakek ini membawa sebatang senjata ruyung atau penggada yang tergantung di pinggang kirinya. Juga kakek kedua ini, biarpun tubuhnya tidak sekokoh kakek pertama, menunjukkan kegagahan. Sikap dan pandang mata dua orang kakek yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun ini menunjukkan bahwa mereka "berisi", yaitu dua orang yang memiliki kesaktian.
Lima orang laki-laki yang berjalan di belakang mereka juga merupakan orang-orang yang bersikap gagah. Usia mereka dari empat puluh sampai lima puluh tahun dan Aji melihat keanehan pada pakaian mereka. Lima orang itu mengenakan baju dan celana hitam. Mereka membiarkan baju itu terbuka di bagian dada, dan celana hitam mereka sampai ke bawah lutut. Yang menarik adalah ikat pinggang mereka. Ikat pinggang itu merupakan kolor yang besar, hampir sebesar lengannya, panjang hampir menyentuh tanah dan bermacam-macam warnanya. Aji yang belum pernah keluar dari dusun tempat lahirnya, paling jauh dia hanya pergi ke tepi laut, dan sama sekali belum berpengalaman. sama sekali tidak tahu bahwa lima orang itu adalah para warok, yaitu jagoan dari daerah Ponorogo.
Ketika dalam perjalanannya beberapa hari yang lalu dia melewati Ponorogo, dia juga melihat banyak kaum pria yang berpakaian seperti lima orang itu, akan tetapi karena tidak pernah terjadi sesuatu, diapun tidak tahu siapa mereka, sama sekali tidak mengira bahwa mereka adalah para jagoan dan bahwa kolor yang besar itu merupakan senjata mereka yang ampuh. Ketika rombongan itu tiba di dekat tempat Aji tersandar pada batang pohon, dua orang kakek itu menghentikan langkah mereka. Lima orang itupun berhenti dan mereka mengamati Ajim dengan penuh perhatian. Kemudian terdengar kakek berkulit hitam arang itu berkata dengan suara tinggi seperti suara wanita.
"Ah, untuk apa perhatikan dia? Dia hanya seorang bocah yang kelelahan dan mungkin kelaparan. Hayo jalan terus dan kita mencari tempat baik untuk menghadang."
Logat bicara kakek itu terdengar aneh bagi Aji, namun dia masih dapat mengerti artinya.
Tujuh orang itu melanjutkan perjalanan mereka. Hati Aji sudah tergerak dan dia tertarik sekali. Sikap mereka itu tidak seperti orang-orang biasa yang kebetulan lewat di jalan ini. Mereka tentu mempunyai niat tertentu. Kakek hitam tadi bicara tentang penghadangan! Jangan-jangan mereka mempunyai niat buruk terhadap orang yang akan dihadang!
Setelah rombongan itu menghilang di tikungan jalan, Aji cepat bangkit, menggendong lagi buntalan pakaiannya dan diapun menyelinap di antara pohon-pohon dan membayangi rombongan itu dari jarak agak jauh sambil bersembunyi di balik pohon-pohon. Setelah tiba di bagian hutan yang lebat, tujuh orang itu berhenti dan mereka lalu berpencar, bersembunyi di balik pohon besar atau semak-semak sehingga tidak tampak dari jalan. Melihat ini, berdebar rasa jantung Aji.
Dugannya tidak keliru. mereka itu tentu berniat buruk terhadap orang yang sedang mereka hadang. Dia pun bersembunyi di balik semak belukar dan melakukan pengintaian. Dua orang kakek itu bukan lain adalah Ki Harya Baka Wulung dan Wiku Menak Koncar.
Seperti kita ketahui, dua orang datuk dari Madura dan Blambangan ini telah gagal membujuk Pangeran Cakraningrat untuk memberontak terhadap Mataram. Akan tetapi Ki Harya Baka Wulung tidak putus asa. dendamnya terhadap Mataram sedemikian besarnya sehingga dia tidak akan berhenti sebelum dapat membalas dendam. Dia berhasil membujuk Wiku Menak koncar, untuk membantunya mencari kesempatan untuk membunuh Ratu Wandansari, puteri Sultan Agung atau isteri Pangeran Pekik dalam usahanya membalas kematian anaknya. Dengan membunuh Ratu Wandansari, dia dapat menghancurkan hati Sultan Agung dan sekaligus merenggangkan hubungan antara Mataram dan Surabaya, juga Giri.
Beberapa lamanya mereka menanti dan mengintai kesempatan dan sekarang kesempatan itu tiba! Dari beberapa orang anak buah yang mereka sebar di Kadipaten Surabaya untuk melakukan penyelidikan, mereka mendengar bahwa pada hari itu Ratu Wandansari akan melakukan perjalanan menuju Mataram, seorang diri, tidak dengan Pangeran Pekik. Dan seperti biasanya, puteri yang digdaya, sakti mandraguna dan memiliki kelebihan, mampu melindungi diri sendiri. Mendengar berita ini, Ki Harya Baka Wulung dan Wiku Menak Koncar menjadi girang bukan main. Saat yang ditunggu-tunggu selama berpekan-pekan itu akhirnya tiba.
Kesempatan itu akhirnya terbuka. Mereka cepat mendahului perjalanan sang puteri dan di daerah Madiun mereka berhasil menemui lima orang warok bersaudara yang terkenal sebagai Lima Macan Nganjuk. Lima orang jagoan bersaudara ini berasal dari Ponorogo dan dulu pernah memperdalam aji kanuragan dari Ki Harya Baka Wulung sehingga mereka boleh disebut murid-murid datuk ini, walaupun mereka tidak menyerap seluruh kepandaian Ki Harya Baka Wulung, melainkan hanya memperdalam ilmu mereka sendiri menurut petunjuk datuk itu. Akan tetapi hal ini sudah cukup untuk membuat mereka menaati perintah Ki Harya Baka Wulung yang mereka anggap sebagai guru mereka. Ketika datuk itu minta bantuan mereka, dengan senang hati lima orang warok itu menyanggupi dan berangkatlah mereka bersama dua orang datuk itu, mencari tempat penghadangan yang baik di dalam hutan daerah Caruban.
Demikianlah pada siang hari itu mereka menanti dan menghadang di dalam hutan sambil bersembunyi. Mereka telah memperhitungkannya dengan seksama bahwa kereta sang puteri pasti akan lewat di tempat itu pada siang hari ini. Mereka tahu dengan pasti bahwa perhitungan mereka tidak akan meleset dan Ki Harya Baka Wulung sudah menggosok-gosok kedua telapak tangannya membayangkan bahwa sebentar lagi dia akan berhasil membalas dendam kematian puteranya!
Kurang lebih satu jam kemudian, terdengarlah derap kaki kuda dan roda kereta datang dari arah timur. Aji yang berada di sebelah timur gerombolan yang menghadang kereta itu dapat melihat lebih dulu rombongan yang datang dari arah timur itu. Sebuah kereta yang ditarik empat ekor kuda berjalan di depan, kusirnya seorang laki-laki setengah tua yang mengenakan pakaian khas sais kadipaten. Yang duduk dalam kereta itu tidak tampak karena tirai pintu kereta itu tertutup. Di belakang kereta terdapat dua belas orang prajurit menunggang kuda. Rombongan itu berjalan sedang saja, tampaknya tidak tergesa-gesa. Mungkin perjalanan lambat itu dilakukan agar kereta tidak terlalu terguncang.
Aji memandang dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Dia tidak tahu siapa yang berada dalam kereta akan tetapi dapat menduga bahwa mungkin sekali rombongan inilah yang dihadang oleh tujuh orang itu. Bagaimanapun juga, hatinya merasa agak lega melihat bahwa kereta itu dikawal dua belas orang prajurit berkuda yang tampaknya gagah dan kuat. Dengan hati-hati dia menyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak untuk mendekat agar dapat melihat lebih jelas.
Perhitungan Ki Harya Baka Wulung dan kawan-kawannya tidaklah salah. Ratu Wandansari yang berada dalam kereta yang dikawal selosin prajurit itu. Siang itu hawanya panas sekali dan perjalanan jauh itu melelahkan, maka Ratu Wandansari yang duduk dalam kereta itu mengantuk dan melenggut. Sedikitpun ia tidak merasa khawatir akan menemui halangan dalam perjalanan. Ia adalah puteri Sultan Agung dan isteri Pangeran Pekik. Siapa yang akan berani mengganggunya? Pula, andaikata ada yang begitu berani mengganggu, ada selosin perajurit pilihan mengawalnya, dan dia sendiri tidak takut menghadapi lawan yang bagaimana tangguhpun.
Tiba-tiba sais kereta itu menahan empat ekor kuda penarik kereta. Karena dia menarik kendali secara mendadak, maka kereta berhenti dengan tiba-tiba pula dan hal ini membuat Ratu Wandansari tersentak bangun dari keadaan setengah tidur. Dua belas orang prajurit berloncatan turun dari atas kuda mereka dan berlari ke depan kereta untuk melindungim sang puteri. Mereka melihat tujuh orang tiba-tiba berloncatan dari kanan kiri jalan dan berdiri menghadang dengan sikap mengancam. Aji sudah menyelinap cukup dekat dan dia menonton dengan hati tegang. Dia menghadapi pertentangan, mungkin pertempuran kedua pihak yang tidak dikenalnya, tidak tahu siapa di antara kedua pihak itu yang benar atau salah, siapa yang harus dibantu atau ditentang.
Perwira pasukan pengawal itu, seorang laki-laki tinggi tegap berkumis tebal seperti Raden Gatutkaca, menghadapi tujuh orang itu dan berkata dengan suara lantang berwibawa.
"Siapa kalian, berani mati menghadang perjalanan rombongan kami! Apakah kalian tidak tahu siapa yang berada dalam kereta? Beliau adalah Gusti Ratu Wandansari, puteri dari Kanjeng Gusti Sultan Agung, garwa (isteri) Pangeran Pekik Adipati Surabaya!"
"Heh-heh-heh, perwira precil (anak katak)! Apakah matamu sudah buta sehingga tidak mengenal lagi siapa kami berdua?"
Ki Harya Baka Wulung membentak setelah tertawa mengejek. Sementara itu, dalam pengintaiannya, Aji terkejut bukan main ketika mendengar pengakuan perwira itu bahwa yang berada di dalam kereta adalah Ratu Wandansari, puteri Sultan Agung atau isteri Pangeran Pekik. Nama-nama ini sudah didengarnya baik-baik dari mendiang gurunya. bahkan gurunya juga memberitahu kepadanya bahwa yang namanya Ratu Wandansari itu adalah puteri Sultan Agung yang selain amat cantik, juga sakti mandraguna walaupun kesaktiannya tentu saja belum mampu menyamai kesaktian Sultan Agung sendiri.
Dan mendiang gurunya dulu memesan agar dia mengabdi dan membantu Sultan Agung. Dengan sendirinya sekarang dia harus pula membantu Ratu Wandansari kalau sekiranya puteri itu membutuhkan bantuan. Sekarang dia tahu di pihak siapa dia harus berdiri. Kini agaknya perwira pasukan pengawal itu baru mengenal dua orang datuk yang dulu pernah membantu Pangeran Pekik ketika Surabaya berperang melawan Mataram. Dia segera memberi hormat dengan membungkuk dan berkata kaget dan heran.
"Ah, kiranya Paman Harya Baka Wulung dan Paman Wiku Menak Koncar! Maafkan kalau saya tidak mengenal paman berdua tadi. Akan tetapi apa kehendak paman menghadang perjalanan kami yang mengawal Gusti Puteri Wandansari?"
"Sudah, minggirlah! Kami tidak ingin berbicara dengan orang-orang kecil macam kalian! Minggir! Kami hendak bicara langsung dengan puteri Wandansari!"
Kata Ki Harya Baka Wulung dengan lagak angkuh.
Pada saat itu, tirai kereta itu tersingkap dari dalam dan keluarlah seorang wanita dari dalam kereta. Aji memandang dengan mata terbelalak kagum. Belum pernah selama hidupnya dia melihat seorang wanita yang demikian anggun. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Pakaiannya indah. tubuhnya ramping padat. Kepala dan tubuhnya tegak ketika ia berdiri sehingga tampak gagah dan berwibawa. Rambutnya hitam panjang digelung dan dihias tusuk sanggul dari emas permata. Sepasang matanya tajam dan mengandung wibawa yang kuat. Sebatang pedang dengan sarung berukir indah tergantung di punggungnya, membuat wanita itu tampak semakin gagah. Aji yang selama ini hanya bertemu dengan wanita dusun yang sederhana, tentu saja kini merasa seolah-olah sedang bermimpi dan bertemu dengan seorang puteri kahyangan atau bertemu dengan tokoh Srikandi, wanita perkasa dalam cerita wayang!
Ketika wanita itu bicara, suaranya merdu namun lantang dan berwibawa.
"Kiranya Paman Harya Baka Wulung dan Paman Wiku Menak koncar yang menghadang perjalananku. Seingatku, kami tidak mempunyai urusan apapun dengan andika berdua! Ada kepentingan apakah paman berdua menghadang perjalananku?"
"Heh-heh-heh, Ratu Wandansari! Andika harus mati di tanganku untuk menebus dosa ayahmu, Sultan Agung!"
Setelah berkata demikian, Ki Harya Baka Wulung memberi isyarat kepada lima orang warok yang sudah siap siaga. Lima orang warok itu sambil memegangi kolor, memutar senjata itu dan menerjang maju. Akan tetapi perwira yang memimpin pasukan pengawal tidak tinggal diam. Dia meneriakkan aba-aba dan para perajurit segera menyambut terjangan lima orang warok itu, menggunakan pedang mereka. Pasukan pengawal yang terdiri dari tiga belas orang berikut perwira tadi memang merupakan pengawal istimewa yang bersenjatakan pedang.
Mereka rata-rata pandai bersilat pedang dan tangguh sehingga para warok itu bertemu dengan lawan yang cukup tangguh. Melihat ini, Wiku Menak Koncar mengambil ruyungnya dan dengan penggada ini dia membantu lima orang warok menghadapi pengeroyokan para perajurit pengawal.
"Ratu Wandansari, bersiaplah untuk mati di tanganku!"
Bentaknya sambil melompat ke depan puteri itu.
"Harya Baka Wulung keparat kau! Dahulu kanjeng rama masih mengampunimu, tidak membunuhmu dan membiarkan engkau lari dari Surabaya bersama Wiku Menak Koncar. Juga ketika aku memimpin pasukan menundukkan Giri, aku tidak menyuruh pasukan menangkapmu, membiarkan engkau melarikan diri mengingat engkau seorang tua yang dihormati di Madura! Akan tetapi hari ini engkau bertindak khianat dan curang, menghadangku di tengah hutan! Jangan mengira bahwa aku takut menghadapimu!"
"Babo-babo! Baru puas rasa hatiku kalau sudah dapat membunuhmu!"
Teriak Ki Harya Baka Wulung sambil menyerang dengan tusukan kerisnya. Serangannya dahsyat bukan main karena tenaga tusukannya diperkuat tenaga sakti, didorong gerengan seperti seekor katak buduk.
Akan tetapi dengan gerakan tangkas sekali, Ratu Wandansari sudah melompat ke belakang dan begitu tangan kanannya meraba punggung, tampak sinar berkelebat dan tahu-tahu ia sudah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar mengkilap. Ki Harya Baka Wulung menerjang lagi, menyerang dengan kerisnya. Sekali ini, Ratu Wandansari menggerakkan pedangnya menangkis.
"Wuuuutttt ...... trang.....!"
Pedang bertemu keris. Bunga api berpijar menyilaukan mata akibat benturan dua senjata yang didorong tenaga sakti dahsyat itu membuat sang puteri terhuyung ke belakang. Ternyata ia masih kalah kuat! Akan tetapi gerakannya trengginas sekali sehingga ketika Ki Harya Baka Wulung mendesak, ia sudah mampu mengendalikan diri dan mempergunakan kegesitannya dan menghindarkan serangan susulan. Mulailah puteri perkasa ini bersilat dengan ilmu pedang Kartika Sakti, sebuah ilmu pedang yang amat ampuh, yang dipelajarinya dari mendiang Resi Limut Manik, pertapa di puncak Semeru. Terjadilah pertempuran yang amat hebat antara Ki Harya Baka Wulung itu melawan Ratu Wandansari. Sebetulnya, sang puteri masih kalah dalam hal tenaga sakti dan pengalaman bertanding, akan tetapi karena ia memiliki ilmu pedang yang amat ampuh itu, maka untuk sementara ia mampu mengimbangi serangan datuk dari Madura itu.
Aji menonton pertempuran dengan hati tegang. Dia melihat betapa tiga belas orang prajurit, dibantu pula oleh sais kereta yang ternyata juga seorang yang digdaya, menggunakan cambuknya sebagai senjata, tetap saja mereka kewalahan menghadapi Wiku Menak Koncar dan lima orang warok. Terutama sekali Sang Wiku amat hebat sepak terjangnya.
Penggada di tangannya itu amat ampuh. setiap kali ada perajurit berani menangkis sambaran ruyungnya, perajurit itu tentu terpental dan terpelanting! Juga amukan lima orang warok itu amat ganas. Untung bahwa para perajurit itu merupakan pasukan yang dapat bekerja sama dengan baik karena terlatih sehingga mereka dapat saling bantu dan sebegitu lama masih mampu menandingi amukan Wiku Menak Koncar dan lima orang warok itu. Akan tetapi menurut pandangan Aji, kalau pertempuran itu dilanjutkan, akhirnya tentu para perajurit akan kalah. Demikian pula, sang puteri agaknya akan sulit mengalahkan kakek tinggi besar yang amat tangguh itu. Akan tetapi dia masih merasa ragu untuk keluar membantu puteri itu. Gurunya pernah menasihatinya agar dia tidak sembarangan mencampuri urusan orang lain dan juga banyak pendekar atau kesatria yang merasa tidak senang dibantu dalam perkelahian, apalagi kalau dia belum terancam oleh lawan.
Pada saat itu terdengar seruan-seruan lantang dan penuh daya getaran. Ki Harya Baka Wulung dan Wiku Menak Koncar mengeluarkan ilmu mereka yang dahsyat. Datuk Madura itu dalam keadaan tubuh direndahkan mengembangkan kedua lengannya lalu mendorong ke depan. Dari gerakannya itu tiba-tiba saja tampak asap hitam mengepul tebal menyerang ke arah sang puteri. Itulah Aji Kukus Langking yang amat hebat. Ratu Wandansari adalah seorang wanita yang sakti mandraguna. Ia maklum akan bahayanya serangan yang menggunakan tenaga sakti dan kekuatan sihir itu. Iapun lalu mengerahkan tenaga sakti dan mendorong dengan kedua tangannya, menggunakan Aji Gelap Musti.
"Aji Kukus Langking.....!"
Ki Harya Baka Wulung berseru dan memperkuat tenaga.
"Aji Gelap Musti!"
Ratu Wandansari juga berteriak melengking. Dua tenaga sakti bertemu dan akibatnya, sang puteri terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung. Jelas bahwa ia kalah kuat dalam pertandingan adu tenaga sakti ini. Sementara itu, dalam saat yang hampir bersamaan, Wiku Menak Koncar juga mendorongkan kedua tangannya ke depan sambil berseru nyaring.
"Aji Bayu Bajra.....!"
Begitu dia berseru dan kedua tangannya mendorong, ada angin yang amat kuat menyambar ke arah para perajurit pengawal. Demikian kuatnya dorongan angin ini sehingga lima orang perajurit terpelanting dan terguling-guling! Tentu saja rekan-rekannya menjadi panik sehingga mereka terdesak mundur.
Melihat Ratu Wandansari terhuyung, Ki Harya Baka Wulung menjadi girang sekali. Saatnya tiba baginya untuk membunuh sang puteri. Dia sudah menyarungkan kerisnya kemudian dia melompat ke depan, berjongkok dan mendorongkan kedua tangan ke arah Ratu Wandansari, dari dalam perutnya yang menjadi gendut sekali itu keluar bunyi.
"kok-kok-kok!"
Nyaring sekali dan mulutnya berteriak nyaring lagi.
"Aji Cantuka Sakti.....!!"
Melihat hawa pukulan menyambar dahsyat, Ratu Wandansari kembali menyambut dengan Aji Gelap Musti, akan tetapi tubuhnya masih terhuyung.
"Wuuuutttt....., blarrrr.....!!"
Tubuh Ki Harya Baka Wulung terpental ke belakang. Dia terbelalak kaget melihat betapa pukulan mautnya tadi disambut sepasang tangan yang amat kuat. Ketika dia memandang, dia melihat seorang pemuda berpakaian seperti seorang petani dusun berdiri di depannya. Akan tetapi pemuda yang tadi menangkis pukulannya itu seperti tidak memperdulikannya. Pemuda itu bahkan menghadapi Ratu Wandansari dan berkata dengan sikap hormat.
"Maafkan kalau saya mengganggu dan terpaksa mencampuri, Gusti Puteri. Saya tidak mungkin membiarkan kakek itu membunuh paduka."
Ratu Wandansari memandang heran dan kagum, kemudian ia melirik ke arah pasukan pengawal yang terdesak oleh Wiku Menak Koncar dan lima orang warok setelah datuk Blambangan itu mengeluarkan ajinya yang mendatangkan angin kuat.
"Ki sanak, andika berani melawan Ki Harya Baka Wulung?"
Tanyanya cepat.
"Saya berani!"
Jawab Aji.
"Kalau begitu, wakili aku dan lawanlah. Aku harus membantu pasukan pengawal."
"Silahkan, Gusti Puteri!"
Kata Aji dengan nada suara gembira. Ratu Wandansari mengangguk dan ia lalu memutar pedangnya dan menerjang ke arah Wiku Menak Koncar yang sedang dikeroyok perwira pasukan pengawal, sais kereta dan beberapa orang prajurit. Sambaran pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar itu mengejutkan Wiku menak Koncar dan terpaksa dia memutar ruyungnya untuk melindungi dirinya.
Ki Harya Baka Wulung marah bukan main ketika mengenal Aji sebagai pemuda yang tadi dilihatnya tidur bersandar batang pohon. Dia telah gagal membunuh Ratu Wandansari karena dihalangi dan ditangkis pemuda ini!
"Heh, bocah keparat! Siapakah engkau, berani mencampuri urusan kami?"
Pada saat itu, entah mengapa, mungkin karena dia merasa gugup berhadapan dengan keadaan yang menegangkan seperti itu, juga karena dia tidak ingin memperkenalkan diri, Aji teringat kepada alap-alapnya. Dia merasa bahwa keadaannya seperti alap-alap itu, maka begitu saja keluar pengakuan dari mulutnya.
"Aku? Aku Alap-alap dari Laut Kidul!"
Dia sendiri terkejut dan heran atas pengakuannya itu, akan tetapi juga geli sendiri sehingga dia tersenyum memandang kepada Ki Harya Baka Wulung. Datuk Madura itu mengerutkan alisnya. Dia menjadi semakin marah karena merasa dipermainkan. Diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihir pada pandang mata dan dalam suaranya. Matanya mencorong menatap wajah Aji, kemudian terdengar suaranya menggelegar.
"Orang muda! Aku Ki Harya Baka Wulung adalah sesembahanmu! Berlutut dan menyembahlah kepadaku!"
bentakan ini mengandung kekuatan sihir amat kuat. Lawan biasa saja pasti tidak akan kuat bertahan dan terpaksa menjatuhkan diri berlutut dan menyembah. Akan tetapi Aji sudah siap siaga. Dia tahu bahwa kakek ini sakti mandraguna, maka sejak tadi dia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi segala macam penyerangan. Begitu dia merasa adanya daya kekuatan dalam sinar mata kakek itu, dia sudah cepat melindungi dirinya dengan Aji Tirta Bantala. Dengan ilmu ini dirinya mempunyai sifat seperti tirta (air) dan bantala (tanah) yang dapat menerima dan menyerap segala macam serangan tanpa perlawanan. Serangan itu akan lewat begitu saja.
"Orang tua, sesembahanku hanyalah Gusti Allah. Orang yang mengandalkan ilmunya untuk melakukan kejahatan tidak patut dihormati. Sadarlah, sadarlah dan hentikan perbuatanmu yang sesat!"
Ki Harya Baka Wulung terkejut. Sihirnya sama sekali tidak mempengaruhi pemuda itu! Pada hal pemuda itu tidak melakukan apa-apa untuk menangkis serangan sihirnya. Belum pernah dia menghadapi lawan seperti ini. Apakah kekuatan sihirnya yang sudah punah? Dia berkemak-kemik membaca mantera, lalu membentak lagi.
"Orang muda, kedukaan hebat mencengkeram hatimu. menangislah engkau!"
Akan tetapi pemuda itu malah tersenyum geli.
"Orang tua, apakah engkau sudah menjadi pikun? Ataukah pikiranmu sudah tidak waras lagi?"
Wajah Ki Harya Baka Wulung menjadi merah sekali, merah karena malu dan terutama karena marah. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu berjongkok dan menyerang dengan dorongan pukulan kedua telapak tangannya sambil membentak.
"Aji Cantuka Sakti.....!"
Dari perutnya terdengar bunyi nyaring. Serangkum hawa panas yang berbau amis menyambar keluar dari kedua telapak tangannya, menyerang ke arah Aji.
Biarpun dia belum mempunyai banyak pengalaman dalam perkelahian, namun Aji sudah seringkali mendengar penjelasan dari mendiang gurunya, maka dia selalu waspada. Maka ketika kakek itu melancarkan pukulannya, dia sudah bergerak cepat dan mengelak dengan gerakan seperti seekor kera karena memang dia memainkan ilmu silat Wanara Sakti. Melihat pukulan mautnya luput, Ki Harya Baka Wulung menjadi penasaran dan mendesak terus dengan serangkaian serangan.
Tubuhnya melompat-lompat dalam kedudukan berjongkok dan setiap kali memukul, dia mendorongkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka dan dari perutnya keluar suara berkokok nyaring. Aji mempergunakan kecepatan gerakannya untuk selalu menghindar, kadang membalas serangan lawan dengan tamparan-tamparan yang mengandung tenaga sakti Aji Surya Candra yang kuat. Dari sambaran angin pukulan berupa tamparan ini, maklumlah Ki Harya Baka Wulung bahwa tamparan pemuda itupun ampuh sekali maka dia tidak berani menerimanya dengan mengandalkan ilmu kebalnya. Terjadi pertandingan yang hebat antara kedua orang ini. Kakek itu bergerak seperti seekor katak raksasa dan Aji bergerak lincah tiada ubahnya seekor kera, atau seperti tarian Sang Hanoman di kera putih dalam kisah Ramayana.
Ilmu silat Wanara Sakti yang diajarkan oleh mendiang Ki Tejobudi kepada Aji lebih merupakan ilmu silat untuk menghindarkan diri dari serangan lawan. Ilmu ini memang ampuh untuk menyelamatkan diri karena gerakannya yang gesit dan penuh dengan gerakan menghindar sehingga sukar sekali terkena serangan lawan. Akan tetapi ilmu silat ini kurang ampuh dalam penyerangan, hanya berupa tamparan-tamparan saja yang dilakukan cepat pula, inipun tidak mengesampingkan data pertahanannya. Kalau saja tamparan itu tidak disertai Aji Surya Chandra, tentu hanya merupakan tepukan-tepukan main-main saja.
Akan tetapi melihat kenyataan betapa dengan ilmu silatnya ini dia dapat membela diri dengan baik, Aji merasa gembira sekali. Tak disangkanya bahwa ilmunya ini dapat ia pergunakan untuk menandingi orang yang sakti mandraguna seperti kakek itu. Timbul kegembiraannya dan dia lalu mencoba untuk mempraktekkan ilmu silat yang dia rangkai sendiri berdasarkan gerakan burung alap-alap dan ular ketika kedua binatang itu berkelahi. Dia mengubah gerakan kera itu menjadi gerakan alap-alap dan ular yang selain kuat dalam bertahan juga kuat pula serangan-serangannya. Bagaikan ular menggeliat dan kadang seperti gerakan alap-alap terbang meliuk, dia dapat menghindarkan serangan-serangan Ki Harya Baka Wulung.
Tiba-tiba Aji mengeluarkan pekik yang ditirunya dari suara alap-alap ketika melayang-layang di atas Laut Kidul dan tubuhnya yang meliuk ke kiri menghindarkan pukulan lawan mendadak melompat seperti terbang ke atas! Datuk Madura itu terkejut dan dia tidak berjongkok dan mengerahkan tenaga sakti Cantuka Sakti membuat dia lelah bukan main. Akan tetapi baru saja dia bangkit berdiri dan memandang ke atas, dia melihat pemuda itu sudah menukik ke bawah bagaikan seekor alap-alap (elang) menyambar ke arah kepalanya! Kedua tangan pemuda itu menyerang dengan membantuk cakar, mencengkeram ke arah kedua pelipis kepalanya! Ki Harya Baka Wulung mengenal serangan maut ini. Karena serangan itu datangnya cepat sekali, maka tidak ada jalan lain baginya kecuali menyambut serangan itu dengan kedua tangannya pula.
"Wuuuttt..... plakkk!"
Dua pasang tangan itu saling bertemu di udara. akan tetapi pada saat itu, kaki Aji yang tadinya ada di atas itu turun dan dengan kecepatan kilat kedua kakinya menghantam kakek yang ada di bawahnya.
"Dessss.....!!"
Ki Harya Baka Wulung berteriak mengaduh dan tubuhnya terjengkang keras lalu terbanting ke atas tanah. Akan tetapi dia memang tangguh. Dia bergulingan lalu melompat bangkit berdiri lagi. Sekilas pandang tahulah dia bahwa keadaan teman-temannya juga dalam bahaya. Wiku Menak Koncar repot menghadapi Ratu Wandansari yang dibantu perwira pengawal, sais kereta dan dua orang prajurit pengawal. Datuk Blambangan itu hanya dapat memutar ruyungnya untuk menangkis serangan lima orang pengeroyoknya itu tanpa sempat membalas lagi. Juga lima orang warok itu kini tinggal tiga orang, yang dua orang sudah roboh. Tiga orang warok itu menghadapi pengeroyokan enam orang prajurit yang juga kehilangan empat orang rekan mereka yang sudah roboh dalam pertempuran itu.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan bahkan membahayakan dirinya sendiri itu, Ki Harya Baka Wulung maklum bahwa usahanya membunuh Ratu Wandansari telah gagal. Bahkan kalau dia tidak cepat melarikan diri, bukan mustahil kalau dia yang akan terbunuh. Ratu Wandansari dan pasukannya itu sudah tangguh, ditambah lagi munculnya pemuda yang mengaku sebagai Alap-alap Laut Kidul dan yang ternyata sakti mandraguna ini, maka keadaan pihak musuh terlalu kuat baginya.
Melihat Ki Harya Baka Wulung roboh oleh tendangannya tadi, sebuah jurus dari gerakan alap-alap, Aji menjadi girang sekali. Akan tetapi kakek itu bangkit kembali dengan cepat, maka diapun segera melangkah cepat menghampiri. akan tetapi tiba-tiba Ki harya Baka Wulung mempergunakan Aji Kukus Kangking. Begitu kedua tangannya bergerak mendorong, asap hitam tebal mengepul dan menyerang ke arah Aji. Pemuda ini cepat menghindar ke belakang dan kesempatan itu dipergunakan Ki Harya Baka Wulung untuk melompat dan melarikan diri, menghilang dalam hutan yang lebat. Dia tidak memperdulikan lagi teman-temannya yang masih bertempur! Dia tidak ingat lagi atau tidak mau perduli bahwa Wiku Menak Koncar dan lima orang warok itu bertanding mati-matian untuk membantunya!
Wiku Menak Koncar sedang terdesak hebat. Ilmu pedang Kartika sakti yang dimainkan Ratu wandansari memang ampuh sekali, apalagi sang puteri ini dibantu perwira dan sais yang memiliki kedigdayaan yang cukup tinggi, ditambah dua orang prajurit pengawal. Kalau saja sang puteri itu maju sendiri, tentu dia masih dapat menandinginya. kini dia terdesak hebat dan menjadi bingung. Apalagi ketika dia melihat Ki Harya Baka Wulung melarikan diri begitu saja tanpa memperdulikan dirinya! tiba-tiba tiga orang warok yang juga dikeroyok dan didesak, berturut-turut roboh. Tinggal dia seorang diri! Wiku menak Koncar mengeluarkan gerengan yang mengandung getaran hebat sehingga empat orang yang membantu Ratu Wandansari yang mengeroyoknya terhuyung ke belakang. Hanya sang puteri yang mampu bertahan terhadap serangan daya suara itu. Wiku Menak Koncar tidak berpikir panjang lagi. Dia sudah amat lelah dan panic, maka dia menggunakan kesempatan ini untuk melompat dan melarikan diri.
"Jahanam, hendak lari ke mana kau?"
Ratu Wandansari Membentak dan ia melakukan jurus serangan terakhir dari ilmu pedang Kartika Sakti. Ia mengerahka n tenaganya, dengan suara bentakan ia melontarkan pedangnya ke arah tubuh Wiku Menak Koncar yang melarikan diri. Bagaikan sebatang anak panah terlepas dari busurnya, pedang itu meluncur cepat sekali dan tepat mengenai punggung kakek itu.
"Capp.....!"
Pedang itu menusuk sampai setengahnya dan tubuh Wiku Menak Koncar roboh menelungkup dan tak bergerak lagi. Ratu Wandansari melompat ke dekat mayat itu dan mencabut pedangnya, lalu dibersihkannya pedang itu dengan mengusap-usapkannya pada pakaian lawannya yang telah tewas. Setelah menyarungkan kembali pedangnya, Ratu Wandansari menyapu keadaan sekitarnya dengan pandang matanya. Ia melihat betapa selain Wiku Menak Koncar, lima orang warok itupun sudah roboh dan tewas. Adapun di pihaknya, empat orang prajurit tewas dan dua orang lainnya terluka. Kemudian ia memandang ke arah Lindu Aji yang masih berdiri memandang ke arah para korban dengan mata terbelalak.
Dia merasa kagum kepada sang puteri, akan tetapi juga merasa ngeri. Baru dua kali selama hidupnya dia melihat orang terbunuh. Pertama kali ketika tiga orang penjahat yang mengganggu ibunya dikeroyok penduduk dusun dan dipukuli sampai mati dengan tubuh hancur. Ketika itupun dia sudah merasa ngeri. Dan sekarang, dia melihat sepuluh orang tewas dengan tubuh berlumuran darah. Pada saat itu, ia menoleh ke kiri dan bertemu pandang dengan Ratu Wandansari! Sinar mata wanita itu demikian tajam penuh wibawa dan Aji segera menundukkan pandang matanya karena merasa rikuh.
Ratu Wandansari melangkah menghampirinya. setelah saling berhadapan dan melihat pemuda itu menundukkan mukanya, wanita itu berkata.
"Ki sanak, aku berterima kasih sekali kepadamu yang telah membantuku menghadapi musuh yang berniat membunuhku. Kalau tidak ada andika yang membantu, kukira kami semua telah tewas oleh orang-orang jahat itu."
Aji teringat akan semua nasihat mendiang gurunya. Dia memberi hormat dengan sembah lalu berkata.
"Yang menolong paduka dan kita semua adalah Gusti Allah, dan kita semua hanya berusaha untuk melaksanakan kewajiban kita masing-masing sebaik mungkin, Gusti Puteri."
Ratu Wandansari melebarkan sepasang matanya yang jeli, merasa heran sekali mendengar ucapan itu keluar dari mulut
Komentar
Posting Komentar