Langsung ke konten utama

SERULING GADIN

  SERULING GADING  1 2 3 4 5 6 7 8 9 6 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 JILID 1    Puncak Argadumilah menjulang tinggi diselimuti awan putih bergerombol seperti sekelompok domba berbulu putih bergerak perlahan, berarak ke arah selatan. Sinar matahari pagi mulai menerangi permukaan Gunung Lawu yang tanahnya subur dan hijau penuh pohon dan tumbuhan. Kinar matahari pagi yang lembut dan hangat itu masih belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang amat dingin bagi manusia itu. Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah. Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu.    Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan A...

BAGUS SAJIWO JILID 11

 

   "Bukk...!"

   Keras sekali pukulan itu.

   Ki Salmun mengaduh dan tubuhnya terpental kebelakang menabrak dinding.

   Tumenggung Jayasiran masih belum reda kemarahannya. Dia melompat lagi mendekati dan kakinya menendang, kini mengarah kepala.

   "Dess...!!"

   Tubuh Ki Salmun terlempar bergulingan dan dia rebah menelungkup, tidak mengeluarkan suara atau bergerak lagi.

   Neneng Salmah menjerit, meronta lepas dari pegangan Badrun dan gadis itu lari menghampiri Ki Salmun, lalu menjatuhkan diri berlutut dengan kedua tangan masih terikat di belakang tubuhnya.

   "Bapa...! Bapa...!"

   Ia menjerit-jerit dan menangis, akan tetapi Ki Salmun tidak dapat menjawab, bahkan tidak mendengar lagi karena dia telah tewas oleh tendangan yang mengenai kepalanya tadi.

   Melihat darah mengalir dari hidung, mulut dan telinga ayahnya, Neneng Salmah dapat menduga bahwa ayahnya telah tewas. Ia menjerit-jerit dan menangis.

   "Engkau telah membunuhnya...! Telah membunuhnya...!"

   Ia meraung-raung.

   "Bawa ia cepat ke kereta dan berangkatlah!"

   Kata Tumenggung Jayasiran kepada Badrun.

   Si Maung Sumedang ini menangkap kedua pangkal lengan Neneng lalu setengah menyeret gadis itu keluar ruangan itu, menuju ke kereta yang masih menanti di pekarangan gedung.

   Jatmika marah sekali akan tetapi dia cukup cerdik untuk tidak menuruti nafsu amarahnya. Dia tidak keburu menolong Ki Salmun karena dia sama sekali tidak mengira bahwa Tumenggung Jayasiran akan membunuh orang tua itu.

   Dia dapat melihat bahwa Ki Salmun sudah tak dapat ditolong lagi, sudah tewas. Kalau dia turun tangan di gedung itu, dia bukan saja tidak dapat menyelamatkan Neneng, sebaliknya dia malah terancam bahaya sendiri.

   Tumenggung Jayasiran itu seorang yang digdaya, hal ini diketahui dari gerakannya ketika menyerang Ki Salmun dan di tempat itu terdapat banyak perajurit pengawal, anak buah senopati itu.

Yang terpenting sekarang menyelamatkan Neneng Salmah. Setelah berpikir demikian, diapun menyelinap keluar dari pekarangan gedung itu melalui samping dan dia melompati pagar tembok yang mengelilingi pekarangan gedung. Dilihatnya Neneng Salmah diseret orang tinggi besar berkulit hitam itu memasuki kereta yang lalu dijalankan dengan cepat oleh sang kusir yang sejak tadi sudah siap.

   Neneng Salmah tidak berdaya. Ia meronta-ronta, akan tetapi tidak dapat melepaskan ikatan kedua lengannya yang terbelenggu di belakang tubuhnya. Bahkan rontaannya hanya

   membuat Ki Badrun mendapat alasan dan kesempatan untuk merangkulnya dengan kedua lengannya yang besar.

   "Lepaskan aku atau kelak akan kulaporkan kekurangajaranmu!"

   Kata Neneng Salmah dengan cerdik.

   Benar saja, ancamannya membuat Badrun ketakutan dan dia melepaskan rangkulannya.

   Neneng Salmah tidak meronta lagi, hanya duduk dan menangis perlahan. Ia diam-diam mencari akal bagaimana melepaskan diri. Akan tetapi dengan kedua tangan terbelenggu seperti itu, apa yang dapat ia lakukan?

   Apa lagi, ingatan tentang ayahnya yang menggeletak tewas dalam ruangan itu, membuatnya bersedih sekali dan seluruh tubuhnya menjadi lemas. Tidak ada jalan lain baginya. Ia akan diserahkan kepada Pangeran Jaka Bintara yang dibencinya itu dan kalau ia mendapatkan kesempatan lepas dari ikatannya, ia akan mengamuk atau kalau tidak berhasil lolos, ia akan bunuh diri. Lebih baik mati daripada menyerah dan dinodai seorang manusia iblis seperti pangeran itu!

   Kereta telah keluar dari kota Sumedang dan tiba di tepi sebuah hutan. Jalan itu memasuki hutan dan malam telah larut. Cuaca gelap sekali karena tidak ada bulan dan bintang-bintang terhalang mendung.

   "Kita berhenti disini dulu!"

   Kata Badrun kepada kusir.

   "Malam terlalu gelap untuk melakukan perjalanan dalam hutan. Kita tunggu sampai besok pagi baru melanjutkan

   perjalanan."

   Kereta berhenti dan kusir turun, melepaskan dua ekor kuda penarik kereta untuk memberi kesempatan kepada dua ekor kuda itu agar dapat beristirahat pula. Kusir itu duduk melenggut melepas lelah dan kantuk di bawah sebatang pohon.

   Badrun tidak berani tidur. Tadi dia melihat betapa dengan mudahnya Neneng Salmah merobohkan dua orang perajurit. Hal ini menunjukkan bahwa gadis waranggana itu bukan

   gadis yang lemah. Dia tidak ingin gadis itu dapat meloloskan diri karena dia akan celaka, kalau gadis itu sampai lolos.

   Dulu dia pernah tergila-gila kepada Neneng Salmah, akan tetapi sekarang dia menjadi pembantu Tumenggung Jayasiran. Dia sama sekali tidak berani mengganggu Neneng Salmah. Dia mendapat tugas untuk membawa gadis itu ke Banten dan menyerahkan kepada Raden Jaka Bintara pangeran Kerajaan Banten itu.

   Kalau tugas ini dapat dia laksanakan dengan baik, tentu dia akan mendapatkan hadiah besar dari Raden Jaka Bintara dan dari Tumenggung Jayasiran. Akan tetapi sebaliknya kalau sampai dia gagal, dia tentu akan mendapatkan hukuman berat dari sang tumenggung.

   Beberapa kali dia memeriksa kedalam kereta dan hatinya lega melihat Neneng Salmah tertidur pulas di tempat duduk mereka. Agaknya gadis itu kelelahan juga.

   Melihat Neneng Salmah tidur pulas, Badrun menjadi lega dan dia duduk kembali ke bawah pohon. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Malam telah larut, bahkan sudah mendekati

   fajar. Kantuknya tak tertahankan lagi dan diapun melenggut.

   Tak jauh darinya terdengar dengkur kusir kereta.

   Neneng Salmah membuka kedua matanya. Tipuannya dengan berlagak tidur pulas tadi berhasil. Dengan hati-hati ia membuka pintu kereta dan mengintai keluar. Dalam

   keremangan malam yang sudah mendekati pagi itu ia dapat melihat dua sosok tubuh yang berada di bawah pohon.

   Kusir itu rebah meringkuk, tidur pulas mendengkur. Ia melihat pula Badrun bersandar pada batang pohon, tak bergerak agaknya tertidur pula. Dengan perlahan dan hati-hati Neneng Salmah turun dari kereta, lalu berjingkat-jingkat meninggalkan kereta, memasuki hutan.

   Cuaca masih gelap, akan tetapi remang-remang ada cahaya karena fajar mulai menyingsing, ada sinar matahari yang sudah menjenguk di balik bukit dan memberi sedikit penerangan.

   Setelah agak jauh dari kereta, Neneng Salmah mulai berlari! Akan tetapi karena cuaca masih gelap, dan karena kedua tangannya ditelikung ke belakang tubuhnya, sehingga larinya tidak tetap, kakinya tersandung akar pohon yang menonjol dan diapun jatuh terguling!

   Ia cepat merangkak bangkit kembali dan lari lagi. Akan tetapi kejatuhannya tadi otomatis diikuti suara seruannya dan ini yang menyadarkan Badrun yang hanya tidur

   ayam, tidak pulas benar.

   Dia membuka mata, menoleh kearah suara jeritan tadi akan tetapi tidak melihat sesuatu. Dia teringat akan tawanannya, maka cepat dia bangkit dan

   menghampiri kereta. Ketika menjenguk ke dalam dan tidak melihat Neneng Salmah di dalam kereta, tahulah dia bahwa tawanannya melarikan diri. Cepat dia lalu berlari mengejar kearah suara jeritan tadi.

   Fajar menyingsing, matahari naik semakin tinggi sehingga muncul dari balik bukit. Cahayanya memberi penerangan mengusir kegelapan sisa malam.

   Neneng Salmah masih berlari tersaruk-saruk. Tiba-tiba ia mendengar teriakan di

   belakangnya. Ia menoleh dan tampaklah Badrun mengejarnya.

   Neneng Salmah menjadi panik dan mempercepat larinya. Akan tetapi karena kedua tangannya terikat di belakang tubuhnya, tentu saja larinya tidak dapat cepat, apalagi kainnya menghalangi langkah kakinya.

   Ia sudah tiba di tempat terbuka, keluar dari hutan dan mengerahkan seluruh tenaga

   untuk berlari cepat. Akan tetapi justeru ini mencelakakannya karena kembali kakinya tersandung batu dan iapun terguling jatuh!

   "Neneng Salmah, engkau hendak lari kemana?"

   Teriak Badrun dan dia melompat lalu berlari cepat melakukan pengejaran.

   Mendengar teriakan ini, Neneng Salmah menjadi semakin panik, ia merangkak bangun. Lututnya berdarah dan ia lalu berlari lagi. Akan tetapi lututnya terasa nyeri dan ia hanya dapat lari terpincang-pincang, sedangkan pengejarnya, Badrun sudah berada dekat di belakangnya.

   Karena menengok kebelakang, kembali kakinya tersandung batu dan ia tentu akan

   terjatuh lagi kalau pada saat itu tidak ada orang yang menyambar lengannya dan menahan dirinya sehingga tidak sampai terguling.

   Neneng Salmah memandang dan ia terbelalak. Cuaca sudah mulai terang sehingga ia dapat

   melihat jelas siapa orangnya yang menolongnya sehingga tidak sampai terjatuh itu.

   "Akang Jatmika...!"

   Neneng Salmah berseru girang sekali.

   Jatmika membikin putus ikatan kedua lengan gadis itu dan berkata.

   "Minggirlah, Neneng. Biar kuhadapi jahanam itu."

   Neneng Salmah menggosok-gosok kedua pergelangan tangannya yang terasa nyeri karena diikat sejak sore tadi dan ia lalu mundur.

   Sementara itu Badrun yang sudah tiba di situ, mengerutkan alisnya melihat seorang pemuda berdiri menghadangnya. Dia juga melihat Neneng Salmah yang berdiri dibelakang pemuda itu telah terbebas dari belenggunya, maka dia menjadi marah sekali, maklum bahwa tentu pemuda itu yang telah melepas belenggu kedua tangan gadis itu.

   "Keparat! Berani engkau mencampuri urusan kami? Engkau telah melepaskan gadis yang menjadi tawanan Tumenggung Jayasiran! Minggir, kalau engkau tidak ingin mampus!"

   Bentak Badrun marah sekali dan dia sudah mencabut bedok (golok) yang tergantung di pinggangnya.

   Jatmika menghadapi Maung Sumedang itu dengan senyum mengejek.

   "Tikus busuk, engkau yang perlu dihajar!"

   "Eh, berani engkau? Aku adalah Maung Sumedang Badrun, makanlah bedog-ku ini!"

   Badrun lalu menyerang dan membacokkan goloknya ke arah leher Jatmika.

   Pemuda sakti ini dapat melihat bahwa lawannya adalah seorang jagoan yang hanya mengandalkan tenaga kasar, maka dia membiarkan saja golok itu menyambar ke arah lehernya.

   Golok itu tepat mengenai sasaran, yaitu leher sebelah kiri Jatmika.

   "Wuuutt... takk!"

   Badrun terbelalak, tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Goloknya mental ketika bertemu kulit leher pemuda itu! Akan tetapi pada saat itu, Jatmika sudah menggerakkan kakinya menendang. Badrun dengan cepat menangkis dengan tangan kiri dan goloknya.

   "Desss...!"

   Golok terpental dan tubuh Badrun terlempar ke belakang lalu jatuh terbanting ke atas tanah. Dia merasa kepalanya pening dan semua yang tampak berputaran, juga pinggulnya

   nyeri sekali karena tadi terbanting keras ke atas tanah.

   Selagi dia merangkak hendak bangun, Neneng Salmah yang marah sudah melompat dekat dan gadis itu melepaskan kejengkelannya dengan menendangi muka dan dada Badrun.

   Badrun mengaduh-aduh, jatuh bangun dan bergulingan. Akhirnya dia berhasil bangun, melompat dan melarikan diri dengan muka berdarah-darah yang keluar dari hidungnya, dan tubuhnya nyeri semua, pakaiannya yang mewah itu cabik-cabik dan kepalanya masih pening.

   Setelah tiba di kereta, dia segera melompat ke dekat dua ekor kuda yang dilepas oleh

   kusir sambil meneriaki kusir agar bangun.

   Kusir terkejut, bangun dan membantu Badrun hendak memasang dua ekor kuda di depan kereta. Akan tetapi tiba-tiba muncul Jatmika dan Neneng Salmah.

   Dengan tendangannya, Neneng Salmah merobohkan kusir dan Jatmika juga melayangkan tamparan tangannya.

   Badrun mencoba untuk menangkis, akan tetapi tamparan tangan itu membuat tangkisannya bahkan membalik dan menghantam mukanya sendiri dan tubuh Badrun terpelanting keras. Badrun yang maklum bahwa tak mungkin dia dapat menang segera melarikan diri, diikuti oleh kusir yang tentu saja menjadi ketakutan melihat Badrun melarikan diri.

   Jatmika dan Neneng Salmah tidak mengejar. Mereka berdiri saling pandang, berhadapan dan saling pandang.

   Pertemuan yang tidak mereka sangka-sangka itu menimbulkan kenangan-kenangan masa lalu, mengingatkan mereka akan hubungan mereka dengan Sulastri dan Lindu Aji.

   Lalu tiba-tiba Neneng Salmah teringat akan semua yang terjadi dan bayangan ayahnya menggeletak berlumuran darah. Tiba-tiba ia menutupi mukanya dan menangis tersedu-sedu.

   Jatmika membiarkan gadis itu menangis sejenak. Dia tahu bagaimana perasaan gadis yang melihat ayahnya tewas dipukul Tumenggung Jayasiran dan dia merasa iba sekali.

   Setelah Neneng Salmah menangis sejenak menumpahkan kesedihannya, barulah dia berkata dengan lemah lembut dan dengan nada menghibur.

   "Neneng, sudahlah, jangan terlalu menuruti kedukaan hatimu. Segala sesuatu terjadi karena dikehendaki Gusti Allah, bahkan kita patut berterima kasih kepadaNya bahwa engkau dapat terhindar dari malapetaka yang menimpa dirimu."

   Neneng Salmah menahan isaknya, mengusap air matanya lalu memandang kepada Jatmika dengan matanya yang menjadi merah oleh tangis.

   "Akang' Jatmika, aku berterima kasih sekali kepadamu yang telah menyelamatkan aku dari tangan Si Badrun yang jahat tadi."

   "Mari kita berterima kasih kepada Gusti Allah, Neneng. Hanya Dialah Maha Penolong yang telah menolongmu melalui pilihanNya dan kebetulan aku yang dipilihNya untuk

   menolongmu."

   Sikap dan kata-kata Jatmika ini mengingatkan Neneng kepada sikap Lindu Aji dan ia merasa terharu sekali. Akan tetapi ingatan akan ayahnya membuat ia tiba-tiba mengepal

   tinju dan berkata.

   "Aku harus membunuh Tumenggung Jayasiran jahanam itu! Dia telah membunuh ayahku yang tidak berdosa! Aku harus membalasnya dan membunuh keparat

   itu!"

   "Tenanglah, Neneng. Memang tumenggung itu jahat sekali, akan tetapi kedudukannya kuat dan diapun seorang yang digdaya."

   "Aku tidak takut!"

   Kata Neneng Salmah yang tiba-tiba saja, karena teringat akan kematian ayahnya, mendadak kini bersikap gagah penuh semangat, tidak seperti biasanya yang lemah lembut.

   "Aku akan kesana sekarang juga dan membunuhnya. Kalau aku gagal, aku rela mati untuk membalaskan kematian ayahku!"

   Setelah berkata demikian, Neneng Salmah sudah bergerak hendak pergi, niatnya untuk kembali ke Sumedang dan mendatangi Tumenggung Jayasiran.

   Jatmika terpaksa menjulurkan tangan menangkap lengan gadis itu.

   "Neneng, harap jangan nekat begitu. Tekatmu itu sama dengan membunuh diri dan bunuh diri adalah perbuatan yang amat berdosa."

   "Tapi aku... aku... harus membalas dendam. Ayahku..."

   Kata gadis itu dan bibirnya mulai gemetar karena menahan tangis yang hendak meluap lagi.

   "Boleh saja, akan tetapi harus menggunakan perhitungan, Neneng. Kalau engkau masuk begitu saja, sebelum bertemu Tumenggung Jayasiran engkau akan ditangkap. Pula, apakah

   engkau tidak ingin mengurus jenazah ayahmu dulu? Marilah, mari kita lihat kesana dan kita urus jenazah ayahmu, baru nanti kubantu engkau untuk memberi hajaran kepada

   tumenggung kejam itu."

   Neneng Salmah merasa terharu sekali dan tak dapat lagi ia menahan diri. Tangisnya meledak dan ia sesenggukan.

   Jatmika merasa sangat kasihan, lalu ia merangkul pundak gadis itu.

   "Tenanglah, Neneng..."

   Dia menghibur. Neneng Salmah yang merasa putus harapan karena kini ia hidup seorang diri, sebatang kara setelah ditinggal mati ayahnya.

   Rangkulan dan hiburan Jatmika mendatangkan harapan baru sehingga ia menjadi semakin terharu, tangisnya semakin mengguguk dan ia merapatkan mukanya di dada pemuda itu dan menangis sepuasnya.

   Jatmika merangkul dan merasa betapa dia dan Neneng Salmah senasib sependeritaan, maka ia membiarkan gadis itu menangis sambil bersandar di dadanya sampai akhirnya Neneng Salmah dapat menguasai kembali hatinya.

   "Tenangkan hatimu dan mari kita ke Sumedang untuk mengurus jenazah ayahmu."

   Neneng Salmah agaknya baru menyadari bahwa ia menangis di dada pemuda itu, maka cepat ia merenggangkan mukanya dari dada itu dan agak tersipu.

   "...maafkan, akang

   Jatmika..."

   Ia memandang ke arah baju pemuda itu.

   "Maafkan kelemahanku, aku sudah membasahi bajumu..."

   Jatmika tersenyum.

   "Tidak mengapa, Neneng. Aku girang bahwa engkau sudah menyadari keadaan dan tidak nekat lagi. Mari kita pergi ke Sumedang. Kereta itu dapat kita

   pergunakan."

   Neneng Salmah mengangguk. Mereka lalu menghampiri kereta. Jatmika memasangkan kedua ekor kuda di depan kereta, membereskan kendali lalu dia naik ke tempat duduk kusir.

   Neneng Salmah juga naik dan tidak duduk di dalam kereta, melainkan disebelah Jatmika, di depan. Jatmika lalu menggerakkan kuda dan kereta itu lalu meluncur, kembali ke

   arah Sumedang.

   Karena Jatmika ingin tiba di Sumedang diwaktu malam, maka dia sengaja menjalankan kereta perlahan-lahan.

   Kesempatan itu mereka pergunakan untuk bercakap-cakap.

   "Sungguh tidak kusangka kita akan dapat bertemu dalam keadaan seperti ini, Neneng. Malam tadi aku terkejut dan juga girang mendengar bahwa di tumenggungan diadakan pesta wayangan dengan dalangnya Paman Subali dan waranggananya engkau. Aku lalu menyelinap diantara penonton dan aku

   menjadi curiga melihat engkau dan Paman Salmun dipanggil sang tumenggung. Akan tetapi sayang aku tidak bertindak disana karena berbahaya sekali. Sungguh tidak pernah

   kusangka tumenggung itu demikian kejam membunuh ayahmu. Aku lalu mengikuti kereta yang membawamu."

   "Seperti kau katakan tadi, Akang Jatmika, semua telah terjadi atas kehendak Gusti Allah. Bagaimanapun juga, engkau tidak terlambat untuk menyelamatkan aku. O ya, sampai sekarang aku masih tidak mengerti mengapa ketika engkau berada di Dermayu dahulu itu, engkau pergi secara tiba-tiba tanpa pamit kepada siapapun. Mengapa begitu, Akang Jatmika? Kurasa itu bukan watakmu untuk pergi diam-diam seperti itu."

   Ditanya demikian, Jatmika menjadi tersipu, wajahnya memerah dan dia menghela napas panjang. Setelah berkali-kali menghela napas panjang, akhirnya dia berkata lirih.

   "Ah, tidak apa-apa, Neneng. Aku hanya ingin pergi pagi-pagi sekali dan tidak sempat pamit..."

   Neneng Salmah menoleh ke kanan memandang wajah pemuda itu akan tetapi Jatmika menundukkan mukanya yang tampak bersedih.

   "Aku tahu, Akang Jatmika. Kepergianmu itu ada hubungannya dengan Listyani... eh, maksudku Sulastri, bukan?"

   Jatmika kini menoleh ke kiri menatap wajah gadis itu penuh selidik.

   "Engkau tahu, Neneng? Apa yang kau ketahui?"

"Aku tahu bahwa engkau mencinta Sulastri, akan tetapi ia menolak cintamu karena ia sesungguhnya mencinta Akang Lindu Aji, bukan? Engkau menjadi patah hati lalu pergi tanpa pamit."

   Jatmika menghela napas panjang lagi.

   "Sudahlah, hal itu sudah lama berlalu. Akan tetapi engkau sendiri, Neneng. Engkau dan ayahmu sudah baik-baik tinggal di rumah Paman Subali, kenapa kini berada di Sumedang? Engkau juga meninggalkan Dermayu, bukan? Aku pernah mendengar bahwa engkau dan Lindu Aji saling mencinta. Kenapa engkau

   pergi meninggalkannya?"

   Kini Neneng Salmah yang menghela napas panjang. Sampai lama ia termenung, lalu menjawab lirih.

   "Nasib kita sama, Akang Jatmika. Ternyata Akang Lindu Aji tidak

   mencintaku seperti seorang pria mencinta seorang wanita, melainkan mencintaku seperti seorang kakak terhadap adiknya. Malah dia lalu mengangkat aku sebagai adiknya."

   Jatmika mengangguk-angguk.

   "Hemm, begitukah? Kalau begitu Lindu Aji dan Sulastri sungguh saling mencintai Semoga mereka kini telah menjadi suami isteri yang hidup

   berbahagia."

   Neneng Salmah menggeleng kepala dan menghela napas, wajahnya tiba-tiba tampak sedih sekali.

   "Sayang sekali tidak seperti yang kita harapkan, Akang Jatmika. Mereka tidak

   menjadi suami isteri, saling berpisah dan hal itu terjadi karena kita berdua! Kita berdua yang menjadi biang keladi sehingga dua orang yang saling mencinta itu tidak dapat berjodoh dan saling berpisah."

   Jatmika terkejut bukan main sampai dia menarik kendali dan dua ekor kuda itu berhenti dan Jatmika memandang Neneng Salmah dengan sinar mata penuh rasa kaget dan heran.

   "Neneng Salmah! Apa maksudmu berkata bahwa kita berdua yang menyebabkan gagalnya perjodohan antara mereka?"

   "Sesungguhnya mereka berdua adalah orang-orang yang budiman dan bijaksana, Akang Jatmika. Mereka saling mencinta sejak Sulastri belum kehilangan ingatannya. Setelah Sulastri kehilangan ingatannya, tentu saja ia lupa pula kepada Akang Lindu Aji. Akang Lindu Aji mengira bahwa Sulastri mencintamu, Akang jatmika, maka dia mengalah dan mengharapkan Sulastri menjadi jodohmu. Kemudian, Sulastri mendapatkan kembali ingatannya dan ia teringat dan menyadari bahwa ia mencinta Akang Lindu Aji sejak dahulu. Akan tetapi ia tahu bahwa aku jatuh cinta kepada Akang Lindu Aji. Hal ini kuceritakan kepadanya ketika ia masih merasa dirinya bernama Listyani dan ingatannya belum pulih. Maka, biarpun ingatannya telah pulih, Sulastri mengalah karena tahu bahwa aku mencinta Akang Lindu Aji. Ia pun mengalah dan mengharapkan Akang Lindu Aji berjodoh denganku. Jadi, kedua orang itu saling mengalah, walaupun mereka saling mencinta. Itulah sebabnya mengapa Sulastri menolak cintamu, dan Akang Lindu Aji menolak cintaku. Berarti kita berdua yang menjadi biang keladi atau penyebab gagalnya dua orang yang saling mencinta itu sehingga mereka saling berpisah."

   "Duh Gusti...!"

   Jatmika menutupi mukanya dengan kedua tangan.

   "Kenapa jadi begitu...?"

   Setelah membuka lagi kedua tangan dari mukanya, dia memandang Neneng Salmah dan berkata.

   "Aku menyesal sekali, Neneng. Menyesal sekali..."

   Neneng Salmah menaruh tangannya di atas paha Jatmika, sentuhan lembut terdorong keharuan hatinya.

   "Tidak hanya cukup untuk disesalkan, Akang Jatmika. Kita harus menebus kesalahan kita ini. Aku sekarang telah menjadi seorang gadis yatim piatu, bahkan tiada sanak kadang, hidup sebatang kara di dunia ini. Setelah urusanku di Sumedang beres, aku akan mencari mereka! Aku harus dapat menyatukan mereka kembali. Kasihan Akang Lindu Aji dan Sulastri."

   Jatmika mengangguk dan bangkit semangatnya.

   "Engkau benar, Neneng. Engkau benar dan aku akan membantumu. Kita berdua harus mencari dan menemukan mereka, lalu menjelaskan semua kesalah-pahaman ini dan membujuk mereka agar bersatu kembali. Nah, mari kita lanjutkan perjalanan kita ke Sumedang."

   Tiba-tiba Neneng Salmah yang memandang jauh ke depan itu memegang lengan Jatmika dan berbisik.

   "Lihat disana itu!"

   Jatmika memandang jauh ke depan. Disana, tampak serombongan orang berkuda membalapkan kuda mendatangi arah tempat mereka. Dari jauh saja sudah dapat diperkirakan bahwa jumlah mereka banyak sekali, tidak kurang dari lima puluh orang berkuda!

   "Hemm, mungkin sekali mereka itu pasukan dari Sumedang yang sengaja hendak mengejar dan mencari kita. Cepat turun dari kereta, Neneng. Kita bersembunyi. Tidak menguntungkan kalau harus melawan orang sebanyak itu, apalagi kalau Tumenggung Jayasiran sendiri berada diantara mereka!"

   Keduanya lalu turun dari atas kereta dan menyelinap diantara pohon-pohon, meninggalkan kereta di tepi jalan. Mereka pergi agak jauh dan mengintai dari kejauhan.

   Ketika rombongan itu sudah tiba dekat, Jatmika dan Neneng Salmah melihat bahwa yang memimpin pasukan itu bukan lain adalah Tumenggung Jayasiran sendiri! Dia tampak

   marah-marah ketika memerintahkan pasukannya berhenti dan cepat memeriksa kereta yang telah kosong.

   "Mereka telah lari. Kejar, cari sampai dapat!"

   Bentak Tumenggung Jayasiran.

   Para perajurit lalu berpencar untuk mencari dua orang buronan itu. Akan tetapi mereka mengejar ke depan, sama sekali tidak menduga bahwa yang dikejar berada tak jauh dari

   situ. Mereka mengira bahwa tentu dua orang itu melarikan diri menjauhi Sumedang.

   Kereta kosong itu lalu dijalankan menuju Sumedang dan Tumenggung Jayasiran duduk di dalamnya, dikawal tiga puluh orang perajurit, sedangkan perajurit lainnya ditugaskan mencari dua orang buronan itu.

   Tadi Tumenggung Jayasiran mendapat laporan Badrun bahwa Neneng Salmah lolos, ditolong oleh seorang pemuda yang sakti. Maka marahlah sang tumenggung dan dia melakukan pengejaran membawa lima puluh orang perajurit.

   Jatmika memasuki kota Sumedang pada sore hari itu bersama Neneng Salmah yang menyamar dengan pakaian pria sehingga dara ini tampak sebagai seorang pemuda yang tampan. Penjaga pintu gerbang tidak mengenalnya dan mereka berdua segera menuju ke rumah Ki Salmun.

   Jatmika yang tidak dikenal orang melakukan penyelidikan dan dia mendengar bahwa jenazah Ki Salmun oleh para tetangga telah dikuburkan dengan baik-baik. Mendengar ini, Neneng Salmah merasa berterima kasih dan mereka berdua berkunjung kemakam Ki Salmun bersujud sambil menangis sedih.

   Setelah puas berkabung, Neneng Salmah dan Jatmika kembali kerumah gadis itu. Beberapa orang tetangga yang menjaga rumah itu terkejut melihat munculnya dua orang pemuda,

   akan tetapi mereka girang ketika Neneng Salmah menanggalkan penyamarannya.

   Gadis itu lalu mengumpulkan barang-barangnya yang berharga, beberapa potong pakaian

   dan perhiasan, dibungkusnya menjadi buntalan kain, kemudian ia menyerahkan rumahnya kepada seorang tetangga yang sudah akrab dengannya. Rumah itu boleh ditempati oleh tetangga itu sampai ia pulang. Kemudian bersama Jatmika ia meninggalkan rumah.

   "Akang Jatmika, sebelum meninggalkan Sumedang, aku harus membunuh dulu tumenggung jahanam itu untuk membalaskan kematian ayahku!"

   Kata Neneng Salmah.

   "Aku akan membantumu, Neneng. Akan tetapi kita harus berhati-hati selain Tumenggung Jayasiran itu sendiri digdaya, dia juga mengandalkan pasukannya."

   Dengan hati-hati kedua orang muda itu berjalan menuju kearah gedung ke-tumenggungan. Dan ternyata Tumenggung Jayasiran agaknya sudah melakukan penjagaan yang amat

   kuat.

   Di luar gedung terdapat belasan orang penjaga dan Jatmika dapat menduga bahwa di sekeliling dan di dalam gedung itu tentu terdapat banyak perajurit pengawal.

   Tiba-tiba terdengar bunyi kentungan dipukul gencar. Bunyi kentungan itu tadinya terdengar dari luar kota, lalu menjalar dan kini terdengar di seluruh penjuru.

   Keadaan menjadi gempar. Tampak banyak perajurit berlarian di jalan-jalan raya.

   Penduduk menjadi panik. Tentu saja Jatmika dan Neneng Salmah juga terkejut.

   Ketika mereka bertanya-tanya, mereka berdua mendengar bahwa Sumedang dikepung bala tentara Mataram dan Cirebon yang mulai menyerang dari empat penjuru! Peperangan telah

   terjadi di luar kota dan pasukan Sumedang terdesak hebat.

   Pihak musuh makin mendekati kota!

   Terpaksa Neneng Salmah mengurungkan niatnya untuk mencari Tumenggung Jayasiran. Keadaan tidak memungkinkan. Banyak sekali perajurit berkumpul dipelataran gedung sang tumenggung dan Tumenggung Jayasiran sendiri memimpin pasukan untuk keluar dari kota

   dan membantu pasukan yang sedang menahan serangan para penyerbu.

   Apakah yang terjadi? Ternyata, sikap Adipati Sumedang yang tidak mengakui lagi kekuasaan Mataram membuat Sultan Agung menjadi marah sekali. Kadipaten Sumedang dianggap memberontak terhadap Mataram, maka Sultan Agung lalu mengerahkan pasukan Pasundan dan mengutus Tumenggung Singaranu untuk menyerang dan menundukkan Sumedang.

   Juga Sultan Agung mengirim utusan membawa perintahnya kepada Kadipaten Cirebon agar sang adipati membantu dan mengirim pasukan untuk menyerang Sumedang. Demikianlah,

   Sumedang dikepung dari empat jurusan oleh pasukan Mataram pimpinan Tumenggung Singoranu dan pasukan Cirebon dan malam itu Sumedang mulai diserang dari empat penjuru secara mendadak sehingga terjadi perang dan pertempuran yang kacau dan seluruh penduduk Sumedang menjadi panik dan geger.

   Keadaan yang kacau balau itu membuat Jatmika dan Neneng Salmah terpaksa bersembunyi di rumah Neneng Salmah.

   Untuk keluar dari kota Sumedang juga tidak mungkin karena di luar kota masih terjadi pertempuran dan kota sudah dikepung pasukan Mataram dan Cirebon. Mereka juga tidak

   mendapat kesempatan untuk mencari Tumenggung Jayasiran karena sang tumenggung sibuk mengatur pasukan untuk menyambut serangan pasukan Mataram dan Cirebon.

   Bahkan pada hari ke dua, mereka mendengar bahwa Tumenggung Jayasiran tewas dalam perempuran. Mendengar berita ini, Neneng Salmah menangis karena menyesal, ia ingin dapat membunuh sendiri orang yang telah memukul mati ayahnya itu.

   Jatmika menghiburnya.

   "Sudahlah, Neneng. Tak perlu disesalkan lagi, bahkan kita

   patut berterima kasih dan bersyukur kepada Gusti Allah yang agaknya memang mencegah engkau dan aku melakukan pembunuhan dengan dasar dendam dan kebencian karena

   perbuatan itu sesungguhnya berdosa dan tidak baik."

   "Akan tetapi, Akang Jatmika. Tumenggung Jayasiran itu telah membunuh ayahku yang tidak berdosa, tidak bersalah apa-apa kepadanya!"

   "Itu adalah pendapat kita, Neneng. Akan tetapi dia tentu mempunyai alasan lain. Dia menganggap ayahmu bersalah karena menghalangi kehendaknya menyerahkan engkau

   kepada pangeran Banten itu. Memang tentu saja perbuatannya itu sesat dan jahat."

   "Karena sesat dan jahat maka kita ingin mengadili dan menghukumnya, akang!"

   "Neneng, kita ini siapakah maka akan menghakimi dan menghukum orang lain? Hakim yang maha tinggi dan maha sempurna adalah Gusti Allah. Dia maha adil dan hukumannya

   tak dapat dihindarkan oleh siapapun juga. Dendam kebencian merupakan nafsu, bujukan iblis karena itu sesungguhnya pantang bagi seorang satria untuk melakukan perbuatan

   berdasar dendam kebencian. Kita memang berkewajiban menentang kejahatan, membela kebenaran dan keadilan, akan tetapi bukan berdasarkan dendam kebencian, karena kalau kita bertindak dengan dasar dendam kebencian, tidak ada bedanya antara kita dengan para penjahat, sama-sama menjadi alat setan. Karena itu, kita patut berterima kasih

   kepada Gusti Allah yang telah menjatuhkan hukum kematian kepada Tumenggung Jayasiran."

   Neneng Salmah menghela napas panjang. Tentu saja ia sudah pernah mendengar tentang pendapat seperti itu.

   "Engkau benar, Akang Jatmika. Aku telah mabok oleh kedukaan sehingga timbul kebencian dan dendam. Hati siapa yang tidak akan hancur dan merana? Kematian ayahku membuat aku menjadi sebatangkara, tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia yang penuh kepalsuan dan kejahatan ini."

   "Aeh, Neneng, mengapa engkau mempunyai perasaan seperti itu? Aku sendiri seorang yatim piatu, tiada sanak kadang, akan tetapi bukankah di dunia ini banyak terdapat

   manusia lain yang dapat kita anggap sebagai saudara? Disini ada aku yang siap untuk melindungimu dan membantumu, mengapa engkau bilang bahwa engkau tidak punya siapa-siapa lagi?"

   "Ah, maafkan aku, akang, tentu saja engkau merupakan penolongku, merupakan sahabatku yang telah melepas budi besar kepadaku...."

   "Cukup, Neneng, jangan menilai diriku terlampau tinggi. Anggap saja aku ini seorang yang senasib sependeritaan denganmu. Gusti Allah telah mempertemukan kita dalam

   keadaan seperti ini. Kita sama-sama menjadi sebab kesengsaraan Lindu Aji dan Sulastri, dan kita sama-sama mempunyai tugas untuk menyatukan mereka kembali."

   "Ah, aku merasa bahagia sekali, Akang Jatmika. Dalam keadaan seperti ini, Gusti Allah telah mengirim engkau untuk menjadi pelindungku, menjadi pembimbingku, menjadi sahabat baikku. Engkau begini sabar, bijaksana, dan pandai..."

   "Tidak ada manusia pandai atau bodoh di dunia ini, Neneng. Yang Maha Pandai hanyalah Gusti Allah. Manusia itu sama saja, tidak ada yang pandai bodoh."

   "Ah, kenapa begitu, akang? Aku melihat banyak orang pandai dan banyak orang bodoh."

   "Tidak, Neneng. Yang kau maksudkan pandai itu sebetulnya hanya karena dia sudah tahu, dan yang kau sebut bodoh itu hanya karena dia belum tahu. Pengetahuan itu didapat melalui belajar. Aku sudah mempelajari beberapa aji kanuragan, tentu saja aku tahu. Apakah itu dapat disebut pandai? Bukan, hanya tahu saja. Buktinya, kalau aku disuruh menyanyi atau menari seperti engkau, aku pasti tidak bisa karena aku belum mempelajari dan belum tahu. Sebaliknya engkau sudah mempelajari dan engkau sudah tahu maka bisa. Bukan berarti engkau pandai dan aku bodoh atau sebaliknya. Siapa sudah

   mempelajari dia pasti mengenal, tahu dan bisa. Bukan pandai. Siapa yang belum mempelajari pasti dia tidak mengenal, tidak tahu dan tidak bisa. Bukan bodoh!"

   Neneng Salmah tercengang. Belum pernah ia mendengar pendapat seperti itu. Ia membantah.

   "Akan tetapi, Akang Jatmika, ketika aku belajar menari dengan kawan-kawan,

   diantara mereka ada yang cepat hafal, ada yang pelupa, bukankah itu berarti bahwa diantara mereka ada yang pintar dan ada yang bodoh?"

   "Tidak juga, Neneng. Kalau ada perbedaan diantara mereka, yang berbeda itu adalah keadaan otak mereka. Yang sukar mengerti tentu ada sesuatu yang membuat otaknya

   tidak sehat sehingga terganggu kepekaannya. Kalau sama-sama sehat, maka tidak akan ada perbedaan. Juga bakal masing-masing mempengaruhi. Namun itu tidak berarti bahwa

   ada orang pandai dan ada orang bodoh. Seorang bangsawan tinggi yang dianggap cerdik pandai dan terpelajar sekalipun, dalam hal bertani dia boleh berguru kepada seorang petani yang sederhana dan yang dianggap bodoh. Seorang bangsawan Belanda yang tinggi pangkatnya dan dianggap pintar sekalipun, kalau dia belum pernah belajar bahasa Jawa, dia sama sekali tidak dapat berbahasa Jawa, kalah oleh seorang anak kecil bangsa Jawa yang fasih berbahasa Jawa. Apakah dapat dikata bahwa Belanda berpangkat tinggi itu bodoh dan anak itu pandai? Tidak, bukan? Yang ada bukan pandai dan bodoh, melainkan sudah mengenal maka bisa dan belum mengenal maka tidak bisa."

   "Wah, pendapatmu itu tidak dapat dibantah, Akang Jatmika. Dan aku mengerti apa inti pelajaran dalam uraianmu itu."

   "Benarkah engkau mengerti? Lalu apa inti pelajaran itu, coba katakan."

   Kata Jatmika, senang melihat gadis itu mulai gembira, tidak selalu tenggelam dalam kedukaan karena

   kematian ayahnya, sehingga menimbulkan dendam kebencian.

   Dia sendiri pernah merasakan kedukaan dan dendam seperti itu ketika dia mendengar akan kematian ayahnya dan kakeknya, yaitu Ki Sudrajat dan Ki Tejo Langit yang terbunuh oleh Raden Banuseta dan para serdadu Belanda. .

   "Kalau aku tidak salah, kesimpulan dari pendapatmu tadi atau inti pelajarannya adalah jangan keminter (merasa diri pintar) karena kepandaianmu itu hanya hasil dari apa yang kau pelajari, dan jangan merasa bodoh karena sebetulnya engkau hanya belum mempelajari dan belum tahu. Merasa diri pintar hanya mendatangkan kesombongan dan merasa diri bodoh hanya mendatangkan rasa rendah diri. Keduanya sama tidak baiknya."

   Jatmika mengangguk-angguk.

   "Wah, engkau sungguh hebat, Neneng. Engkau memang pandai!"

   Neneng Salmah tersenyum geli.

   "Lho, mengapa engkau menyebut aku pandai, akang? Aku tidak pandai, hanya aku sudah banyak belajar dan tahu tentang kehidupan."

   Jatmika tertawa.

   "Ha-ha, memang sukar menghilangkan sebutan pandai dan bodoh, sudah menjadi kata-kata yang sukar dihapuskan dalam bahasa percakapan kita. Biarlah, asal

   kita tahu makna yang sebenarnya saja."

   "Akang Jatmika, setelah sekarang Tumenggung Jayasiran tewas dalam pertempuran dan aku melihat bahwa jenazah ayahku sudah terkubur baik, lalu kemana kita akan mencari

   Akang Lindu Aji dan Sulastri?"

   "Kita tunggu sampai pertempuran selesai dan keadaan menjadi aman, lalu kita keluar dari Sumedang dan mulai perjalanan kita mencari mereka."

   Jatmika berhenti sebentar,

   berpikir, lalu melanjutkan.

   "Bagaimana kalau kita pergi ke Dermayu mencari Sulastri lebih dulu?"

   Neneng Salmah menggeleng kepalanya.

   "Tidak ada gunanya. Aku sudah bertanya kepada Paman Subali ketika dia mendalang di Kadipaten dan dia mengatakan bahwa Sulastri

   belum kembali, bahkan sama sekali tidak ada kabar darinya."

   "Kalau begitu kita pergi ke timur, mencari Lindu Aji ditempat tinggal ibunya. Dia pernah menceritakan kepadaku bahwa ibunya tinggal di dusun Campingan, di daerah Gunung Kidul dekat pantai Laut Selatan."

   "Baiklah, akang. Kita menanti sampai keadaan menjadi aman."

   Ternyata perang itu tidak berlangsung lama Beberapa hari kemudian, pasukan Mataran dan Cirebon sudah menghancurkan pasukan Sumedang dan Adipati Ukur menjadi tawanan.

   Setelah keadaan aman kembali, Jatmika dan Neneng Salmah keluar dari Sumedang melakukan perjalanan ke timur.

   Rumah itu masih baru dan cukup besar sehingga tampak aneh ada orang membangun rumah di dekat muara Sungai Lorong, tepi Laut Kidul yang sunyi itu.

   Di sekitar tempat itu hanya ada bukit-bukit Pegunungan Kidul, dan sejauh puluhan kilometer di sekitar daerah itu tidak ada dusun. Tanah disitu berkapur sehingga tidak layak untuk ditanami. Lautnya pun ganas dengan ombak-ombak besar dan di tepinya banyak terdapat batu-batu karang sehingga amat berbahaya bagi perahu. Maka, untuk mencari makan dengan mencari ikan dilaut pun tempat itu tidak layak, terlampau berbahaya.

   Oleh karena itu, maka tempat di sekitar pantai itu sepi. Tidak ada orang tinggal disitu karena sukar mendapatkan nafkah. Maka, amat mengherankan kalau kini ada orang membangun rumah yang cukup besar di dekat muara Sungai Lorong itu.

   Akan tetapi keheranan itu akan sirna kalau orang mengetahui siapa yang membangunnya dan mengapa dia membangun rumah besar di tempat itu.

   Yang membangun adalah Raden Jaka Bintara, seorang pangeran dari Banten yang tentu saja kaya raya. Dengan uangnya dia dapat mengerahkan penduduk dusun yang jauh dari situ untuk membangun sebuah pondok kayu yang cukup besar dan kokoh kuat, sungguhpun sederhana karena memang pondok itu bukan dimaksudkan untuk menjadi tempat tinggal tetap.

   Pondok itu dibangun untuk tempat tinggal sementara sewaktu Raden Jaka Bintara berusaha untuk mendapatkan kitab kuno yang menjadi rahasia untuk mendapatkan Jamur Dwipa Suddhi.

   Dia dibantu oleh Kyai Gagak Mudra, paman gurunya yang sakti mandraguna dan masih ada lagi lima orang jagoan yang terkenal di Banten. Mereka dikenal sebagai Panca Warak

   (Lima Badak), tokoh-tokoh besar dari perkumpulan pencak silat Warak Sakti.

   Lima orang ini menjadi pengikut Raden Jaka Bintara yang merupakan orang yang mendukung dan membeayai perkumpulan olah kanuragan itu.

   Baru saja pondok itu jadi dan Raden Jaka Bintara dan paman gurunya, Kyai Gagak Mudra bersama kelima Panca Warak tinggal di pondok selama dua hari dilayani oleh tiga

   orang penduduk dusun yang jauh dari situ dan dijadikan pelayan dengan upah tinggi, bermunculan tokoh-tokoh sakti dan datuk-datuk dari berbagai perkumpulan olah kanuragan ditempat itu.

   Ternyata berita tentang Jamur Dwipa Suddhi itu telah tersebar luas diseluruh nusantara sehingga memancing datangnya orang-orang sakti untuk memperebutkannya.

   Karena menurut dongeng, Jamur Dwipa Suddhi adalah sebuah benda amat langka yang khasiatnya hebat bukan main dapat membuat tubuh orang yang memakannya menjadi kuat dan khasiat jamur itu dapat membangkitkan tenaga sakti yang dahsyat, juga jamur langka itu dapat menyembuhkan segala macam penyakit, maka tentu saja semua datuk persilatan amat tertarik untuk mendapatkan dan memilikinya.

   Jamur itu kabarnya tumbuh di tubuh naga laut, maka tentu saja amat sukar didapatkan. Dan menurut dongeng, di jaman Mojopahit, seorang pertapa sakti menemukan, jamur itu dan disembunyikan di suatu tempat di daerah itu sebelum dia wafat. Jamur itu tidak akan dapat rusak biar disimpan sampai ratusan tahun.

   Menurut dongeng, peristiwa ditemukan jamur itu di daerah kerajaan Wengker jaman Mataram Lama dahulu, maka kini orang-orang berdatangan ke daerah yang diperkirakan menjadi tempat disimpan atau disembunyikannya Jamur Dwipa Suddhi itu.

   Ketika para datuk itu bermunculan di daerah itu, mereka melihat pondok besar yang berdiri di tepi muara sungai. Mereka lalu berdatangan mengunjungi.

   Sebagai seorang datuk dari Banten, Kyai Gagak Mudra mengenal banyak diantara mereka dan atas persetujuan Raden Jaka Bintara, Kyai Gagak Mudra menyambut dan mengundang mereka untuk berkunjung sebagai tamu.

   Banyak tokoh dunia persilatan hadir dalam pertemuan dipondok yang besar itu, diantara mereka terdapat orang-orang yang memiliki kesaktian tingkat tinggi, seperti Ki Sumali, pendekar Loano Resi Sapujagad pertapa dari Gunung Merapi, seorang pertapa dari Gunung Bromo yang menamakan dirinya Bhagawan Dewo-katon bersama tiga orang cantriknya, Ki Kebondanu, seorang jagoan dari Surabaya, Kyai Jagalabilawa dari daerah Madiun, dan masih banyak lagi.

   Jumlah mereka sekitar dua puluh orang, kesemuanya merupakan ahli-ahli olah kanuragan yang sakti.

   Suasana dalam pondok itu seperti pesta. Memang Raden Jaka Bintara menyambut mereka dengan pesta makan minum karena selain dia hendak mencari ketenaran diantara para datuk itu, juga dia ingin menanam pengaruhnya diantara mereka.

   Siapa tahu mereka nanti akan tunduk kepadanya dan andaikata seorang diantara mereka beruntung bisa mendapatkan kitab tentang jamur Dwipa Suddi, dia akan dapat mempengaruhinya tintuk memberikan kepadanya, tentu saja dengan imbalan harta! Maka, suasananya gembira sekali.

   Semua orang yang sudah merasa lelah itu mendapatkan makanan dan minuman gratis yang serba royal pula. Daging ayam, domba dan lembu berlimpahan, juga arak, tuwak dan

   badeg.

   Selain untuk mencari pengaruh dan ketenaran, juga Jaka Bintara memenuhi kehendak paman gurunya, Kyai Gagak Mudra yang hendak mempergunakan kesempatan itu untuk

   memancing agar para datuk itu memperlihatkan kesaktian mereka masing-masing sehingga dia akan dapat menilai sampai dimana kekuatan mereka. Betapapun juga, mereka semua mempunyai keinginan yang sama, yaitu memperebutkan kitab Jamur Dwipa Suddhi.

   Mereka adalah saingan dan mungkin akan terjadi perebutan yang mengandalkan aji kesaktian, maka dia ingin menilai sampai dimana kekuatan mereka masing-masing.

   Agaknya memang Raden Jaka Bintara sudah memperhitungkan kehadiran banyak orang itu, maka dipondoknya telah tersedia kursi yang cukup untuk tempat duduk para tamunya.

   Selagi semua orang dipersilakan duduk dan hidangan mulai dikeluarkan, tiba-tiba muncul seorang lakilaki tua berusia enam puluh tahun lebih sikapnya anggun dan.

   lembut dan dia datang diikuti dua orang cantriknya yang berusia tiga puluh tahun lebih.

   Melihat kedatangan kakek itu, Kyai Gagak Mudra datuk Banten itu segera bangkit dan

   membisiki Raden Jaka Bintara.

   "Mari kita sambut, dia itu adik seperguruan mendiang Menak Koncar!"

   Mendengar disebutnya nama Menak Koncar, Raden Jaka Bintara cepat bangkit berdiri dan bersama paman gurunya dia keluar menyambut kedatangan Wiku Menak Jelangger dan dua orang cantriknya, itu Darun dan Dayun. Wiku Menak Jelangger yang biasanya hanya bertapa di pantai selat Bali dan tidak mencampuri urusan dunia, kini jauh-jauh datang ketempat itu. Sungguh mengherankan sekali!

   Sesungguhnya, pertapa ini sama sekali tidak ingin memperebutkan Jamur Dwipa Suddhi untuk dirinya sendiri. Dia diminta oleh Adipati Blambangan untuk mencarikan jamur ajaib itu untuk mengobati putera ke tiga dari sang adipati.

   Putera ketiga yang berusia lima tahun itu sakit keras dan sudah diusahakan pengobatan oleh para ahli, namun tidak ada yang dapat menyembuhkannya. Oleh karena itu, mendengar kabar tentang Jamur Dwipa Suddhi, sang adipati lalu minta tolong kepada Wiku Menak Jelangger untuk mencarikan jamur ajaib itu.

   Sang Wiku tidak dapat menolak permintaan tolong, apalagi yang minta tolong adalah Adipati Blambangan, maka berangkatlah dia, mengajak dua orang cantriknya yang setia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAGUS SAJIWO

BAGUS SAJIWO BAGUS SAJIWO JIL ID 01 BAGUS SAJIWO JIL ID 02 BAGUS SAJIWO JIL ID 03 BAGUS SAJIWO JIL ID 04 BAGUS SAJIWO JIL ID 05 BAGUS SAJIWO JIL ID 06 BAGUS SAJIWO JIL ID 07 BAGUS SAJIWO JIL ID 08 BAGUS SAJIWO JIL ID 09 BAGUS SAJIWO JIL ID 10 BAGUS SAJIWO JIL ID 11 BAGUS SAJIWO JIL ID 12 BAGUS SAJIWO JIL ID 13 BAGUS SAJIWO JIL ID 14 BAGUS SAJIWO JIL ID 15 BAGUS SAJIWO JIL ID 16 BAGUS SAJIWO JIL ID 17 ...

ALAP-ALAP LAUT KIDUL

JILID 1 JILID 2 JILID 3 JILID 4 JILID 5 JILID 6 JILID 7 JILID 8 JILID 9 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33