Langsung ke konten utama

SERULING GADIN

  SERULING GADING  1 2 3 4 5 6 7 8 9 6 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 JILID 1    Puncak Argadumilah menjulang tinggi diselimuti awan putih bergerombol seperti sekelompok domba berbulu putih bergerak perlahan, berarak ke arah selatan. Sinar matahari pagi mulai menerangi permukaan Gunung Lawu yang tanahnya subur dan hijau penuh pohon dan tumbuhan. Kinar matahari pagi yang lembut dan hangat itu masih belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang amat dingin bagi manusia itu. Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah. Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu.    Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan A...

BAGUS SAJIWO JILID 13

 


   Semua orang menanti dengan hati tegang dan ingin sekali mereka melihat siapa orangnya yang datang bersama Nyi Maya Dewi dan disebut Bagus Sajiwo oleh datuk wanita itu.

   Tak lama kemudian mereka melihat seorang pemuda melangkah santai menuju ke pondok itu dan mereka semua terheran-heran karena yang datang itu hanya seorang pemuda remaja yang tampak masih hijau, berpakaian sederhana dan sikapnya sama sekali tidak menunjukkan sikap seorang yang memiliki kepandaian tinggi.

   Bagus Sajiwo memasuki pondok itu, menoleh ke kanan kiri dengan keheranan melihat banyak orang berkumpul disitu. Kemudian ia melihat Nyi Maya Dewi dan wajahnya yang ganteng itu berseri dan dia melangkah lebar menghampiri Nyi Maya Dewi yang berada di tengah ruangan. Pandang matanya hanya tertuju kepada Maja Dewi dan dia tidak memperdulikan orang lain yang berada disitu.

   "Dewi, kenapa engkau berada disini? Mau apa engkau disini?"

   Tanya Bagus Sajiwo setelah berada dekat Maya Dewi.

   Wanita itu lalu menggandeng tangan pemuda itu, tanpa sungkan atau malu dia memegang tangan Bagus Sajiwo dan merapatkan tubuhnya, lalu berkata dengan wajah gembira.

   "Aku nonton keramaian disini, Bagus. Ternyata semua datuk dan tokoh persilatan berkumpul disini. Mereka semua tentu hendak mencari Jamur Dwipa Suddhi juga. Wah, akan ramai ini! Dan kau tahu siapa yang menjadi tuan rumah? Tentu engkau mengenal mereka. Itu lihat, mereka adalah Pangeran Raden Jaka Bintara dan paman gurunya Kyai Gagak Mudra, keduanya dari Banten. Dan lihat, yang duduk disana itu, dia adalah Wiku Menak Jelangger, seorang datuk dari Blambangan. Yang pakaiannya kuning dan mukanya pucat seperti mayat itu adalah Resi Sapujagad dari Gunung Merapi. Disebelahnya itu, yang gendut dan tersenyum-senyum, dia adalah Bhagawan Dewokaton dari Gunung Bromo dan yang tinggi besar itu adalah Ki Kebondanu tokoh dari Surabaya."

   Bagus Sajiwo tentu saja segera mengenal Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra sebagai dua orang yang setahun lebih yang lalu mengeroyok Maya Dewi di puncak Bukit Keluwung, akan tetapi yang lain-lain dia sama sekali tidak mengenalnya.

   "Dan yang berdiri di ujung kanan dan kiri, saling pandang dengan sikap marah itu siapa, Dewi?"

   Tanyanya.

   "O, itu? Yang berdiri di ujung kiri itu adalah Ki Sumali, pendekar Loano. Adapun yang berdiri di ujung kanan adalah Kyai Jagalabilawa, tokoh dari Madiun. Mereka sedang bertengkar karena Kyai Jagalabilawa menuduh Ki Sumali menjadi telik-sandi Mataram. Wah, kita dapat suguhan menarik, Bagus. Melihat mereka bertanding, sungguh menarik!"

   "Dewi, bukan urusan kita. Mari kita pergi."

   Kata Bagus Sajiwo sambil menarik tangan Maya Dewi.

   Akan tetapi Maya Dewi ingin nonton perkelahian, maka ia tidak mau dan terjadi tarik menarik. Semua orang melihat dengan geli.

   Kiranya teman Maya Dewi hanya seorang pemuda remaja dan sikap mereka berdua yang mesra itu membuat semua orang menyangka bahwa pemuda remaja itu tentu kekasih Nyi Maya Dewi!

   Akan tetapi karena nama besar Nyi Maya Dewi yang terkenal sebagai seorang datuk wanita yang kejam dan mudah main bunuh, para tamu muda hanya melihat dan tidak ada yang berani mencampuri.

   Sementara itu, Kyai Jagalabilawa melangkah ke tengah ruangan dan dia berkata dengan sikap hormat kepada Maya Dewi.

   "Nyi Maya Dewi, kuharap andika suka minggir dan memberi tempat kepadaku untuk menantang Ki Sumali si sombong itu! Aku yakin bahwa dia adalah telik sandi Mataram yang hendak menyelidiki tentang Jamur Dwipa Suddhi."

   Bagus Sajiwo menarik tangan Nyi Maya Dewi.

   "Hayolah, Dewi. Jangan ganggu urusan orang lain!"

   Sekarang Nyi Maya Dewi menurut, akan tetapi ia tidak mau keluar, melainkan mengajak Bagus Sajiwo ke pinggir dan duduk di atas bangku yang masih kosong. Mereka duduk bersanding dan Nyi Maya Dewi tidak pernah melepaskan tangan pemuda itu yang terus digandengnya dengan mesra.

   Kyai Jagalabilawa yang sudah berada di tengah ruangan itu, memandang kepada Ki Sumali dan berkata.

   "Ki Sumali, andika tadi menantangku. Hayo, majulah dan kita lihat siapa di antara kita yang lebih unggul!"

   Ki Sumali juga melangkah lebar menghampiri jagoan dari Madiun itu. Mereka kini saling berhadapan dalam jarak tiga meter.

   Ki Sumali berkata dengan suara tegas.

   "Kyai Jagalabilawa, aku tidak menantangmu. Aku hanya mengatakan bahwa kalau andika hendak membela mendiang Ki Singobarong yang jahat, aku siap melayanimu!"

   "Bagus, aku memang hendak membelanya dan aku ingin membasmi telik sandi Mataram yang hanya akan mengkhianati kami semua. Majulah, Ki Sumali!"

   "Hemm, Kyai Jagalabilawa, andika yang mencari gara-gara, andika yang hendak membela Ki Singobarong yang jahat, andika yang menantang. Karena Itu, hayo keluarkanlah semua kesaktianmu, hendak kulihat sampai dimana sih kehebatanmu!"

   Kata Ki Sumali.

   Biarpun tadi dia sudah menyaksikan jagoan ini mendemonstrasikan ilmunya dan memperlihatkan bagaimana dia dapat membuat tubuhnya menjadi dua namun dia tidak merasa gentar.

   "Babo-babo, Ki Sumali! Sumbarmu seperti geluduk di siang hari! Hai Adi Gagak Mudra, kalau dalam pertandingan ini aku merobohkan dan membunuh Ki Sumali yang sombong ini, jangan salahkan aku!"

   Kata Kyai Jagalabilawa dan kalimat terakhir itu dia tujukan kepada tuan rumah.

   Kyai Gagak Mudra yang diam-diam berpihak kepada Kyai Jagalabilawa karena diapun merasa tidak suka kepada Ki Sumali yang terkenal sebagai pendekar Loano yang setia kepada Mataram, tertawa dan berkata lantang agar terdengar semua orang.

   "Kakang Jagalabilawa, mengapa harus andika tanyakan lagi hal itu? Dalam dunia kita, semua ketidaksesuaian dan pertentangan memang harus diselesaikan dengan pertandingan dan terluka parah atau mati dalam setiap pertandingan adalah hal biasa. Mengapa harus diributkan? Silakan saja kalau kalian berdua sudah sepakat untuk bertanding dan saling bunuh, kami tidak akan mencampuri dan hanya menjadi saksi!"

   "Kyai Jagalabilawa, kita ini hendak bertanding ataukah hendak mengobrol? Kalau memang andika merasa jagoan dan hendak membunuhku, nah, maju dan seranglah, jangan banyak cakap lagi!"

   Kata Ki Sumali.

   Pendekar Loano ini maklum bahwa dia berada di kandang singa, tahu bahwa sebagian besar dari para tamu itu adalah orang-orang golongan hitam atau golongan sesat yang tentu akan condong berpihak kepada Kyai Jagalabilawa. Akan tetapi sebagai seorang pendekar yang selalu mempertahankan kebenaran dan keadilan, dia tidak dapat mundur dan harus berani menghadapi ancaman bahaya.

   Kyai Jagalabilawa juga maklum akan ketangguhan lawannya. Maka dia langsung mencabut kerisnya dan membentak nyaring.

   "Ki Sumali, sambutlah seranganku ini. Hyaaaaattt...!"

   Kakek dari Madiun itu menerjang dengan cepat dan kuat, menusukkan kerisnya ke arah lambung lawan dan tangan kirinya membentuk cakar mencengkeram ke arah leher Ki Sumali.

   "Cringgg... plakk!"

   Ki Sumali dengan cepat sudah mencabut keris Sarpo Langking (Ular Hitam) dari pinggangnya dan menangkis keris lawan dan ketika cengkeraman tangan kiri lawan meluncur dekat, dia miringkan tubuh ke kanan dan tangan kirinya menangkis.

   Pertemuan keris di tangan kanan dan tangan kiri itu membuat Kyai Jagalabilawa terjengkang dan terpaksa dia melompat ke belakang agar jangan sampai terjatuh.

   Maklumlah dia bahwa dalam hal tenaga dalam, agaknya dia masih kalah kuat. Maka dia tidak membuang waktu lagi, segera mengeluarkan bentakan lantang dan tiba-tiba dia bergerak cepat dan tubuhnya menjadi dua, keduanya kini menyerang Ki Sumali dengan keris!

   Ki Sumali sudah siap menghadapi ilmu yang aneh ini. Tadi ketika Kyai Jagalabilawa berdemonstrasi dan mengubah dirinya menjadi dua, dia telah mencoba untuk mengerahkan kekuatan batinnya dan berusaha agar pandang matanya tidak terpengaruh. Akan tetapi dia gagal dan tetap saja tubuh tokoh Madiun itu tampak dua olehnya. Maka dia mengerti bahwa ilmu yang mengandung sihir ini amat kuat dan dia tidak mampu memecahkannya. Karena itu, tangan kirinya cepat mencabut sulingnya dan dia lalui menghadapi "pengeroyokan"

   Dua orang Kyai Jagalabilawa itu dengan keris dan sulingnya.

   Ki Sumali memang tangkas sekali. Dengan suling dan kerisnya, bukan saja dia mampu melindungi dirinya dari serangan Kyai Jagalabilawa yang mengubah dirinya menjadi dua itu, bahkan dia mampu pula membalas dengan serangan-serangan dahsyat yang membuat "dua"

   Orang lawan itu terdesak mundur. Sulingnya yang digerakkan dengan tangan kiri mengeluarkan bunyi berdengung seperti ditiup.

   Kalau semua orang menonton pertandingan itu dengan hati tegang dan gembira karena mereka semua memang suka sekali menonton pertandingan adu kesaktian sehingga suasana menjadi hening, semua orang tidak ada yang mengeluarkan suara, sebaliknya Nyi Maya Dewi menonton sambil mengajak Bagus Sajiwo bercakap-cakap memberi komentar terhadap pertandingan itu.

   "Lihat, Bagus. Ilmu Kyai Jagalabilawa boleh jadi aneh dan juga hebat, akan tetapi agaknya dirinya yang menjadi dua itu tetap tidak akan mampu menang melawan Ki Sumali. Kalau saja dia mampu mengubah dirinya menjadi empat, atau sedikitnya tiga orang, mungkin baru dia akan mampu mengimbangi Ki Sumali pendekar Loano itu."

   Bagus Sajiwo menghela napas panjang "Dewi, aku sungguh tidak mengerti. Mereka itu memiliki kesaktian, setelah mengadakan pertemuan dan berpesta disini, mengapa kini mereka malah bertanding dan berusaha keras untuk saling membunuh?"

   Pemuda ini melihat jelas betapa baik Ki Sumali maupun Kyai Jagalabilawa memang berkelahi dengan sungguh-sungguh, mengeluarkan aji kesaktian dan menyerang dengan jurus-jurus maut untuk membunuh.

   "Ah, kenapa engkau merasa heran, Bagus? Begitulah watak semua orang yang menguasai aji kanuragan. Mereka selalu ingin menang sendiri, ingin dianggap paling jagoan sendiri. Aku dulu juga berpendirian sama seperti mereka, yaitu apa gunanya bertahun-tahun dengan susah payah mempelajari ilmu kanuragan kalau tidak dipergunakan untuk mencari kemenangan agar mendapatkan ketenaran dan nama besar sebagai jagoan tak terkalahkan?"

   "Hemm, mengerikan! Dan sekarang, bagaimana pendapatmu, Dewi? Apakah engkau masih berpendapat seperti mereka?"

   Tanya Bagus.

   Karena semua orang berdiam diri dan suasana menjadi hening, maka percakapan antara Bagus Sajiwo dan Nyi Maya Dewi dapat terdengar jelas oleh semua orang.

   "Tidak, Bagus. Aku melihat dengan jelas betapa pendapat itu salah sama sekali. Kalau ilmu kanuragan hanya dipergunakan untuk memukul orang, melukai atau membunuh, untuk memaksakan kehendak sendiri, maka lebih baik tidak pernah mempelajarinya sama sekali."

   "Memang begitu, Dewi. Bukan ilmu kanuragan yang bersalah, atau yang sifatnya keras dan buruk, melainkan cara kita menggunakannya. Ilmu kanuragan sama saja dengan alat-alat yang kita pergunakan dalam kehidupan ini. Misalnya sebatang pisau. Kalau kita menggunakannya untuk menebang pohon, memotong kayu membuat segala macam prabot yang kita butuhkan, atau untuk memotong sayur-mayur yang akan dimasak dan untuk segala macam keperluan hidup lainnya, maka pisau itu akan menjadi alat yang amat berguna. Akan tetapi sebaliknya kalau kita pergunakan untuk melampiaskan dendam kebencian dan kemarahan untuk melukai atau membunuh orang, maka pisau itu akan menjadi alat yang teramat jahat pula. Demikian juga misalnya api. Kalau kita mempergunakan untuk menyalakan lampu, untuk memasak makanan, untuk mengusir hawa dingin dan sebagainya lagi demi memenuhi keperluan hidup, maka api itu menjadi alat yang amat berguna dan baik. Akan tetapi sebaliknya kalau kita pergunakan untuk membakar rumah orang misalnya atau hal lain sebagai pelampiasan kemarahan dan dendam kebencian, maka aplpun berubah menjadi alat yang merusak dan amat jahat. Aji kanuragan tidak ada bedanya. Kalau dipergunakan untuk olah raga menjaga kesehatan, diambil keindahannya sebagai seni tari, untuk menjaga dan membela diri dari ancaman bahaya kekerasan, kemudian dipergunakan untuk membela kebenaran dan keadilan, untuk menolong orang lain yang membutuhkan kekuatan, untuk membela nusa bangsa dan negara dari ancaman musuh, maka aji kanuragan tentu saja menjadi alat yang amat berguna dan baik. Akan tetapi kalau dipergunakan untuk memaksakan keinginan sendiri berlandaskan kekerasan, untuk mengumbar kesenangan, untuk mencari kemenangan guna ketenaran dan kesombongan, untuk menyiksa orang, untuk berkelahi melukai atau membunuh orang yang dianggap menghalangi niat buruknya, untuk menjadi tukang pukul atau pembunuh bayaran dengan aji kanuragan itu, untuk mencuri atau merampok, maka tentu saja aji kanuragan menjadi alat yang amat tidak baik."

   Orang-orang yang berada disitu, sambil menonton pertandingan, mau tidak mau ikut pula mendengarkan dan semua orang merasa heran dan juga geli. Bagaimana seorang pemuda remaja, seorang bocah hijau, mengeluarkan omongan seolah memberi wejangan kepada seorang datuk wanita seperti Nyi Maya Dewi?

   Mereka menduga bahwa datuk wanita itu temu akan mentertawakan bocah itu atau bahkan mungkin sekali marah karena datuk wanita itu terkenal sebagai seorang wanita yang galak, kejam dan sedikit-sedikit mudah membunuh orang!

   Akan tetapi apa yang mereka lihat dan dengar sungguh membuat mereka terheran-heran. Nyi Maya Dewi sama sekali tidak mentertawakan, apalagi marah kepada pemuda itu. Bahkan sebaliknya, ia memandang kagum dan berkata.

   "Bagus. kenapa tidak sejak dulu aku bertemu denganmu? Setiap ucapanmu bagaikan ratusan lampu yang menerangi kegelapan dalam batinku!"

   Dan wanita itu sambil memegang kedua tangan pemuda itu memandang dengan sinar mata penuh kagum, sinar mata yang jelas sekali membayangkan rasa kasih sayang yang amat besar!

   Bagus Sajiwo memandang ke arah pertandingan dan berkata.

   "Dewi, kurasa pertandingan itu tidak akan berlangsung lama lagi. Kuharap saja Ki Sumali itu benar-benar seorang pendekar dan tidak akan membunuh lawannya."

   Ki Sumali memang sedang mendesak Kyai Jagal-abilawa yang berubah menjadi dua orang itu. Suling dan kerisnya bergerak cepat dan setiap kali senjatanya berbenturan dengan senjata lawan, maka lawan yang menjadi dua badan itu terhuyung ke belakang.

   Kini pertandingan sudah meningkat dan Ki Sumali mendesak lawannya dengan hebat. Dia mendengar pula ucapan terakhir Bagus Sajiwo tadi yang memang menujukan suaranya sambil mengerahkan tenaga saktinya sehingga suara itu seolah memasuki telinga Ki Sumali.

   Pendekar ini seketika sadar bahwa sesungguhnya dia tidak mempunyai permusuhan apapun dengan Kyai Jagal-abilawa maka sungguh tidak perlu dan tidak baik kalau sampai dia membunuhnya dalam pertandingan ini. Seorang pendekar memang pantang membunuh lawan tanpa alasan yang kuat. Seolah menaati ucapan dan harapan pemuda teman Nyi Maya Dewi itu, Ki Sumali mengendurkan desakannya.

   Akan tetapi pada saat itu, dua orang tamu yang duduk di bagian orang muda berlompatan ke tengah ruangan. Mereka berusia sekitar tiga puluh tahun dan keduanya memegang sebatang pedang. Seorang diantara mereka berteriak lantang.

   "Bunuh telik-sandi Mataram!"

   Dua orang itu lalu menerjang ke depan dan menyerang Ki Sumali dengan pedang mereka!

   "Wah, ini tidak adil! Sama sekali tidak adil!"

   Tiba-tiba Nyi Maya Dewi sudah melompat ke depan dan tampak sinar keemasan berkelebat ketika ia menggerakkan Sabuk Cinde Kencana.

   Gulungan sinar keemasan itu menyambar dan menyerang ke arah dua orang muda yang mengeroyok Ki Sumali! Dua orang muda itu cepat menangkis dengan pedang mereka.

   "Wuuutt... prat-pratt!!"

   Biarpun ditangkis, namun sabuk panjang itu ujungnya masih sempat melecut pundak kedua orang itu dan dua orang muda itu terhuyung ke belakang sambil menangkis dan memegangi pundaknya.

   Akan tetapi melihat Nyi Maya Dewi membantu Ki Sumali, hal yang sungguh tidak pernah disangkanya karena keadaan datuk wanita itu sesungguhnya berlawanan dengan keadaan pendekar Loano,

   Jaka Bintara segera memberi isyarat kepada paman gurunya. Kyai Gagak Mudra lalu bangkit berdiri dan berseru lantang.

   "Para saudara yang menentang telik-sandi Mataram, mari maju dan binasakan telik-sandi itu agar tidak mengkhianati kita!"

   Setelah berkata demikian, dia dan Jaka Bintara sudah menyerbu ke tengah ruangan, bermaksud menyerang Ki Sumali.

   Akan tetapi Nyi Maya Dewi menjadi marah.

   "Curang! Curang sekali. Kalian berdua sebagai tuan rumah berat sebelah, tidak adil melakukan pengeroyokan!"

   Wanita itu cepat memutar Sabuk Cinde Kencana dan menyambut kedua orang dari Banten itu dengan serangan senjatanya.

   Akan tetapi, pada saat itu dari tempat duduk para tamu muda berlompatan tujuh orang yang ikut mengeroyok Ki Sumali!

   Ki Kebondanu yang sejak dulu menentang Mataram dan terpaksa menyimpan perasaan penasaran itu hanya karena Pangeran Pekik sudah menyerah kepada Mataram, bahkan menjadi mantu Mataram, kini bangkit rasa tak senangnya mendengar bahwa Ki Sumali adalah telik sandi Mataram yang dapat menghalang-halangi mereka semua mendapatkan Jamur Dwipa Suddhi. Maka dia lalu melolos pecutnya dan melompat ke tengah ruangan. Pecutnya meledak-ledak ketika dia menyerang Ki Sumali!

Tentu saja Ki Sumali menjadi repot dan terdesak mundur ketika Ki Kebondanu membantu Kyai Jagal-abilawa yang sudah didesaknya. Melawan pengeroyokan dua orang sakti itu dia merasa kewalahan juga.

   Dia memang masih lebih kuat dibandingkan Kyai Jagal-abilawa, akan tetapi tingkat kepandaian Ki Kebondanu hampir sama dengan tingkat datuk Madiun itu, maka dikeroyok dua, Ki Sumali menghadapi lawan-lawan yang amat berat. Terpaksa dia hanya menggerakkan keris hitam dan sulingnya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya dari serangan tiga orang, yaitu Kyai Jagal-abilawa yang berubah menjadi dua ditambah Ki Kebondanu!

   Nyi Maya Dewi sendiri juga repot menghadapi terjangan Jaka Bintara dan Kyai Cagak Mudra yang mengeroyoknya.

   Dulupun, setahun lebih yang lalu, ketika ia masih menguasai dua aji pamungkasnya yang ampuh, yaitu Aji Wisa Sarpa dan Aji Tapak Rudira, ia sampai terluka dan hampir saja tewas melawan pengeroyokan dua orang ini. Apalagi sekarang. Biarpun tenaganya sudah pulih, namun ia tidak lagi memiliki aji pamungkas atau pukulan yang mematikan. Untung baginya bahwa selama ini ia telah memperdalam ilmu silatnya, yaitu ilmu silat Singorodra. Bahkan Bagus Sajiwo telah membantunya menyempurnakan ilmu silat itu. Maka kini ia segera mempergunakan ilmu silat itu untuk membela diri terhadap pengeroyokan Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra. Kedua orang itu agaknya ingin membalas kekalahan mereka dahulu di puncak Bukit Keluwung, mengandalkan pengeroyokan.

   Ketika Kyai Gagak Mudra memberi isarat, Panca Warak yang sejak tadi sudah siap siaga, lalu berlompatan menyerbu dan mengeroyok Nyi Maya Dewi.

   Nyi Maya Dewi terdesak dan gawat sekali. Apalagi ketika tujuh orang tamu golongan muda yang tadinya mengeroyok Ki Sumali itu ditambah lima orang lagi!

   Diam-diam Ki Sumali juga merasa heran bukan main melihat Nyi Maya Dewi membelanya mati-matian dan kini, seperti juga dirinya, wanita itu menghadapi pengeroyokan banyak orang dan keadaannya terancam.

   "Hei, Tolol, apakah engkau akan membiarkan saja aku mampus?"

   Nyi Maya Dewi berteriak dan karena ia merasa mendongkol melihat Bagus Sajiwo belum juga bergerak menolongnya, ia menyebut pemuda itu Tolol.

   Bagus Sajiwo sejak tadi memang menonton perkelahian keroyokan itu dengan penuh perhatian. Terutama dia memperhatikan sepak terjang Nyi Maya Dewi dan hatinya girang melihat betapa dengan ilmu silat Singorodra yang sudah disempurnakan, kini Maya Dewi mampu membela diri dari pengeroyokan begitu banyak orang dengan baik walaupun tentu saja ia terdesak hebat.

   "Bagus, Dewi. Ilmu silatmu sudah maju pesat. Jangan khawatir, sekarang aku akan membantumu!"

   Setelah berkata demikian, tubuhnya bergerak ke depan.

   Dengan ilmu langkah ajaib Lintang Kemukus, dia menyelinap diantara para pengeroyok Maya Dewi dan terjadi kekacauan ketika dengan cepat sekali, satu demi satu lima orang Panca Warak itu terkulai roboh tidak dapat bergerak lagi, seperti mati! Kyai Gagak Mudra dan Jaka Bintara terkejut bukan main melihat lima orang pembantunya yang cukup tangguh itu roboh semua dan tampaknya seperti mati karena sama sekali tidak bergerak lagi. Mereka berdua terkejut dan juga marah.

   Kyai Gagak Mudra yang tadinya tertawa-tawa melihat Maya Dewi terdesak hebat, kini hilang tawanya dan dia berteriak nyaring dengan suara parau saking marah dan dia mendorongkan kedua tangannya yang mengandung hawa panas dan kedua telapak tangan itu membara dan menyala, ke arah Bagus Sajiwo.

   "Aarrrghhhhh!"

   Akan tetapi Bagus Sajiwo bersikap tenang. Dia mengebutkan tangan kanannya ke arah Kyai Gagak Mudra untuk menyambut serangan dahsyat itu.

   "Dessss...!"

   Kyai Gagak Mudra terpelanting dan terbanting jatuh. Tubuh yang pendek gemuk itu bergulingan sampai menabrak kursi dan dia merangkak bangkit, duduk sambil memegangi dadanya yang terasa sesak karena tenaga pukulannya sendiri membalik.

   Setelah kini Maya Dewi hanya menghadapi Jaka Bintara seorang, Bagus Sajiwo lalu menerjang ke arah para pengeroyok Ki Sumali.

   Pendekar Loano itu sudah terluka pundak dan paha kirinya, namun dengan gagah dia masih mengamuk. Begitu Bagus Sajiwo menerjang masuk, beberapa orang pengeroyok terkulai dan tidak dapat bergerak lagi. Mereka yang roboh di tangan Bagus Sajiwo dan seperti mati itu sesungguhnya sama sekali tidak tewas, bahkan terluka parah pun tidak. Akan tetapi jalan darah mereka tertotok, membuat mereka untuk beberapa lamanya tidak mampu bergerak seperti mati.

   Jaka Bintara menjadi gentar sekali ketika dia harus melawan Maya Dewi seorang diri saja. Pada hal, kalau dibuat perbandingan, saat itu tingkat kepandaiannya masih lebih kuat daripada Maya Dewi yang telah kehilangan ajian-ajiannya yang ampuh dan ganas. Akan tetapi, melihat betapa paman gurunya dan lima orang pembantunya sudah roboh semua, nyalinya menjadi kecil dan dia berteriak kepada para tamu kehormatan.

   "Paman Resi Sapujagad dan Paman Bhagawan Dewokaton, mohon bantuan paman berdua!"

   Dua orang pertapa dari Merapi dan Bromo itu saling pandang. Mereka merasa sungkan juga kepada Pangeran Jaka Bintara dari Banten kalau diam saja. Maka mereka berdua lalu bangkit berdiri dan siap melangkah ke arena pertempuran untuk membantu tuan rumah. Akan tetapi, tiba-tiba dari tempat duduknya Wiku Menak Jelangger berkata, lembut akan tetapi penuh wibawa.

   "Resi Sapujagad dan Bhagawan Dewokaton, kalau aku boleh menasehati, lebih baik andika berdua tidak mencampuri urusan ini. Apalagi melakukan pengeroyokan sungguh merupakan perbuatan amat memalukan dan tidak pantas dilakukan orang-orang yang melakukan tapa-brata."

   Dua orang pendeta atau pertapa itu menjadi sungkan, wajah mereka berubah merah dan mereka pun melangkah, akan tetapi tidak menuju ke arena pertempuran, melainkan ke pintu samping dan keluar meninggalkan pondok itu.

   Wiku Menak Jelangger tersenyum dan mengangguk-angguk, memberi isarat kepada Darun dan Dayun, dua orang cantriknya dan mereka bertiga juga meninggalkan pondok melalui pintu samping.

   Setelah melihat betapa dua orang pertapa itu tidak mau membantunya malah pergi meninggalkan pondok, Jaka Bintara menjadi ketakutan dan dia melompat jauh kebelakang meninggalkan Maya Dewi. Kebetulan Kyai Gagak Mudra juga sudah bangkit berdiri maka ke-dua orang ini lalu melarikan diri keluar pondok, takut kalau-kalau Maya Dewi dan temannya, pemuda remaja yang ternyata sakti mandraguna itu, akan mengejar mereka.

   Setelah ditinggal lawannya, Maya Dewi lalu mengamuk dan membantu Bagus Sajiwo yang menolong Ki Sumali. Masuknya Maya Dewi dengan Sabuk Cinde Kencananya membuat para pengeroyok kocar-kacir.

   Bahkan Ki Kebondanu dan Kyai Jagalabilawa yang tadi sudah mendesak Ki Sumali dan berhasil melukainya, menjadi gentar dan merekapun melarikan diri cerai berai.

   Para tamu yang melakukan pengeroyokan dan belum roboh, melihat betapa para tokoh besar yang mereka bantu melarikan diri, tentu saja menjadi gentar dan mereka pun melarikan diri tunggang langgang tanpa diperintah lagi!

   Mereka yang tadi roboh terluka, juga mereka yang tadi roboh tertotok dan kini sudah dapat bergerak lagi, merangkak bangkit, saling bantu dan merekapun terpincang-pincang meninggalkan pondok itu.

   Tanpa ada yang mengetahui, dua orang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang tadi juga duduk diantara para tamu muda, tidak ikut berkelahi, diam-diam meninggalkan pula tempat itu dan dua orang ini lalu menuju ke tebing sebelah barat.

   Setelah tiba disitu mereka mengeluarkan suara bersuit! lalu bermunculan enam orang laki-laki yang sebaya dengan mereka. Mereka semua berpakaian seperti penduduk biasa, padahal sebetulnya delapan orang ini adalah orang-orang yang menjadi antek bayaran Kumpeni Belanda dan dikirim kesitu untuk menjadi mata-mata dan mengamati gerakan para tokoh duma persilatan, para orang-orang sakti itu. Dua orang yang tadi bertugas memata-matai pertemuan itu bernama Tatang dan Wirya. Kedua orang ini menjadi pimpinan diantara delapan orang itu.

   "Ada orang-orang yang membela Mataram disini. Mereka harus dibinasakan. Kita bersiap!"

   Kata Tatang yang bertubuh jangkung.

   "Dan kita tidak boleh melepaskan Maya Dewi, kalau kita dapat membunuh pengkhianat itu, Mayor Yakuwes tentu akan memberi hadiah besar kepada kita."

   Kata Wirya yang matanya juling sambil meraba pistol yang disembunyikan di balik bajunya.

   Demikianlah, delapan orang itu lalu melakukan pengintaian dari jauh, memandang ke arah pondok dimana Maya Dewi dan Bagus Sajiwo, juga Ki Sumali masih berada, setelah ditinggalkan semua orang.

   Maya Dewi berdiri dengan kedua kaki terpentang, tangan kanan memegang Sabuk Cinde Kencana dan tangan kiri bertolak pinggang, memandang kesekeliling.

   Ruangan itu telah ditinggalkan semua tamu, yang berada disitu hanya Maya Dewi, Bagus Sajiwo, dan Ki Sumali. Semua orang yang tadi melakukan pengeroyokan telah pergi, meninggalkan ruangan yang dipenuhi meja kursi yang porak poranda, berserakan.

   "Hi-hi-hi-hi...!"

   Maya Dewi tertawa cekikikan, sambil menggunakan tangan kiri untuk menutupi mulutnya.

   Pemandangan ini bagi yang sudah mengenal Maya Dewi sungguh aneh dan mengherankan. Dulu, Maya Dewi terkenal sebagai seorang wanita yang berwatak liar, kalau tertawa terkekeh dan terbahak dengan bebas, kini ia tidak berani tertawa keras, hanya cekikikan dan masih menutupi mulutnya dengan tangan pula, gaya tawa seorang wanita yang bersusila! Betapa banyak perubahan terjadi pada diri Maya Dewi dalam waktu setahun lebih ini!

   Ki Sumali sendiri merasa terheran-heran melihat sikap Nyi Maya Dewi. Dia tahu betul siapa Nyi Maya Dewi, puteri mendiang Resi Koloyitmo ini. Dia tahu bahwa Nyi Maya Dewi adalah seorang datuk wanita yang sesat, liar dan kejam, bahkan menjadi mata-mata Kumpeni Belanda, bergabung dengan para datuk sesat dan namanya tersohor sebagai seorang jahat sekali.

   Akan tetapi kenapa sekarang muncul sebagai seorang yang menolong dan membelanya mati-matian, menentang para datuk sesat yang menentang Mataram? Bukankah dahulu Maya Dewi ini seorang yang membenci Mataram? Kenapa sekarang malah membelanya? Dan perhatiannya tertuju kepada pemuda remaja itu.

   Dia tadi melihat betapa dengan amat mudahnya pemuda yang Usianya paling banyak tujuh belas tahun itu telah merobohkan tokoh-tokoh yang digdaya. Siapakah pemuda remaja yang agaknya akrab sekali dengan Maya Dewi ini? Apakah pemuda ini yang membuat Maya Dewi kini berubah seperti itu? Betapapun heran hatinya, Ki Sumali teringat bahwa dua orang inilah yang telah menyelamatkannya. Kalau tidak dibantu dua orang ini, tentu dia telah tewas dikeroyok mereka yang memusuhi Mataram itu. Maka dia cepat menghadapi Maya Dewi dan Bagus Sajiwo, membungkuk dan menyembah dengan kedua tangan depan dada.

   "Saya mengucapkan terima kasih atas pertolongan andika berdua."

   Katanya dengan singkat dan agak gagap karena dia masih terheran-heran melihat sikap Nyi Maya Dewi.

   Tentu saja dia merasa salah tingkah karena dulu dia bahkan pernah bentrok dengan Nyi Maya Dewi dan kawan-kawannya ketika wanita itu masih menjadi mata-mata Kumpeni, walaupun bukan dia yang melawan Maya Dewi, melainkan Lindu Aji.

   Nyi Maya Dewi tersenyum manis.

   "Ki Sumali, berterima kasihlah kepada Gusti Allah yang masih melindungi kita. Kami berdua hanya melaksanakan tugas menentang mereka yang jahat!"

   Ki Sumali terbelalak mendengar ucapan wanita itu. Benarkah ini Maya Dewi yang dulu itu? Perasaan hatinya yang penuh keharuan itu tanpa disadarinya terucapkan dalam kata-kata pertanyaan.

   "Benarkah andika ini Maya Dewi?"

   Maya Dewi kembali tersenyum dan memandang wajah pendekar Loano itu dengan sinar mata penuh keterbukaan.

   "Tentu saja aku Maya Dewi! Badanku adalah Nyi Maya Dewi yang dulu, akan tetapi batinku telah diperbaharui, Ki Sumali, berkat bimbingan Bagus Sajiwo ini."

   Maya Dewi menuding kepada Bagus Sajiwo.

   Ki Sumali semakin heran. Bocah ini yang dapat mengubah watak yang liar jahat itu menjadi baik? Dia tertarik sekali dan kini dia memandang kepada Bagus Sajiwo dengan penuh perhatian.

   Seorang pemuda remaja, masih amat muda dan tampaknya seperti masih hijau. Akan tetapi sepasang mata itu! Sinarnya demikian tajam, penuh wibawa, penuh pengertian. Dan pemuda ini tadi dengan kata-katanya yang berdengung ditelinganya telah menyadarkannya bahwa dia tidak boleh membunuh lawannya!

   "Andika orang muda yang sakti mandraguna, Bolehkah saya mengetahui siapa nama andika?"

   Tanya Ki Sumali dengan sikap hormat.

   Melihat sikap dan mendengarkan pertanyaan itu, Bagus Sajiwo tersenyum dan mukanya berubah kemerahan.

   "Ah, paman, harap jangan terlalu memuji..."

   Katanya tersipu.

   "Hi-hi, Ki Sumali, dia menjadi bingung dan malu kalau dipuji-puji. Bagus, ini adalah Ki Sumali, seorang pendekar yang terkenal dengan sebutan Pendekar Loano, tinggal di Loano dan dialah seorang yang setia kepada Mataram. Ki Sumali, ini adalah... sahabatku, juga pembimbingku, namanya Bagus Sajiwo."

   Nyi Maya Dewi memperkenalkan dengan nada suara bangga.

   Untung ia masih dapat segera menyadari dan menahan diri, hampir saja tadi ia memperkenalkan Bagus Sajiwo sebagai suaminya! Kata-kata suamiku yang sudah berada di ujung lidah, masih sempat diubahnya menjadi sahabatku.

   "Anakmas Bagus Sajiwo, sungguh aku merasa kagum sekali. Masih begini muda namun andika sudah memiliki kepandaian yang amat tinggi. Bolehkah aku mengetahui, siapa guru andika?"

   "Guru saya adalah mendiang Ki Ageng Mahendra, paman."

   Jawab Bagus Sajiwo singkat.

   Ki Sumali mengerutkan alisnya. Banyak tokoh sakti, para datuk yang dikenalnya, baik mengenal wajahnya atau setidaknya mengenal namanya. Namun nama Ki Ageng Mahendra belum pernah didengarnya. Namun dia tahu bahwa dunia ini amat luas dan banyak orang pandai yang tidak dikenal orang. Bahkan kabarnya orang-orang yang amat sakti mandraguna lebih suka mengasingkan diri dan tidak dikenal di dunia ramai.

   "Ki Sumali, apakah engkau datang ke muara Sungai Lorog ini juga untuk mencari dan memperebutkan Jamur Dwipa Suddhi seperti orang-orang tadi?"

   Tanya Nyi Maya Dewi.

   Wanita ini masih tetap lincah, walaupun kini kelincahannya itu penuh keterbukaan dan kewajaran, tidak palsu dan menyembunyikan pamrih pribadi seperti dulu sebelum bertemu Bagus Sajiwo.

   Ki Sumali menghela napas dan menjawab sejujurnya.

   "Tidak kusangkal lagi. Memang tadinya aku tertarik mendengar tentang Jamur Dwipa Suddhi. Akan tetapi melihat betapa banyaknya orang yang datang di tempat ini untuk memperebutkannya, hatiku menjadi tawar dan aku tidak ingin lagi mencarinya, Nyi Maya Dewi. Aku hendak pulang saja ke Loano."

   "Memang lebih baik begitu,"

   Kata Bagus Sajiwo lirih seperti bicara kepada diri sendiri.

   "Memperebutkan sesuatu hanya mendatangkan permusuhan, padahal yang diperebutkan itu belum diketahui berada dimana."

   Ki Sumali menghela napas.

   "Benar sekali. Tadinya aku hanya tertarik dan ingin melihat-lihat, tidak tahunya sampai disini malah terlibat dalam pertempuran yang hampir saja merenggut nyawaku. Sekali lagi terima kasih atas pertolongan andika berdua, aku hendak pulang sekarang."

   "Selamat jalan, Ki Sumali."

   Kata Maya Dewi.

   "Semoga Gusti Allah selalu melindungimu, Paman Sumali."

   Kata Bagus Sajiwo.

   Ki Sumali memandang kagum, kemudian meninggalkan pondok itu.

   Setelah kini tinggal mereka berdua dalam pondok itu, Maya Dewi menghampiri Bagus Sajiwo dan memegang tangannya.

   "Sekarang kita mulai mencari Jamur Dwipa Suddhi itu, Bagus."

   "Kemana kita harus mencarinya, Dewi? Kita tidak tahu dimana adanya pusaka itu."

   "Tidak ada yang tahu tepatnya dimana benda itu berada, Bagus. Akan tetapi, menurut dongeng, peristiwa penemuan Jamur Dwipa Suddhi sampai hilangnya karena disembunyikan oleh pertapa yang menemukannya sebelum dia meninggal dunia, terjadi di muara Sungai Lorog, yaitu disini. Maka untuk mencarinya, kemana lagi kalau bukan sekitar daerah ini? Hayolah, kalau kita berdiam saja di dalam pondok ini, bagaimana kita dapat menemukannya? Dan orang-orang tadi tentu juga sedang mencarinya. Hayolah, jangan sampai kita ketinggalan dan Jamur Dwipa Suddhi itu ditemukan orang lain!"

   Bagus Sajiwo tersenyum dan mereka berdua lalu keluar dari dalam pondok sambil bergandeng tangan. Dari situ mereka langsung menuju ke muara Sungai Lorog yang tak jauh dari pondok itu. Muara ini cukup lebar dan air sungai itu bergerak perlahan-lahan menuju ke laut selatan. Terkadang, kalau ombak laut besar, air laut dari Laut Kidul memasuki muara, bertemu dengan air sungai.

   Di sebelah kanan muara terdapat tebing batu karang yang cukup tinggi, merupakan bukit kapur atau karang yang tandus.

   Setelah tiba ditepi muara, mereka memandangi air dari lautan yang datang menyerbu ke muara, seolah air lautan menyambut datangnya air sungai, seperti saudara yang menyambut kerabatnya yang sudah lama berpisah dan baru sekarang kembali ke kampung halamannya.

   Bertemunya air laut dengan air sungai dan dengan batu karang menimbulkan suara berdebur dan bergerisik, terkadang amat dahsyat, terkadang lembut seperti bisikan para bidadari.

   Bagus Sajiwo dan Maya Dewi terpesona oleh keagungan, kebesaran dan keindahan alam itu. Mereka berdua merasa betapa kecil tak berarti adanya mereka, dan betapa mereka hanyut dan merupakan sebagian dari alam yang amat besar itu.

   "Daerah muara Kali Lorog ini begini luas, dan disana ada bukit karang begitu besar. Kemana kita harus mencari pusaka itu, Dewi?"

   Maya Dewi memandang ke sekelilingnya.

   "Rasanya tidak mungkin kalau disembunyikan di tempat yang tidak terlindung, karena baik jamur yang dikeringkan maupun kitab tentu akan rusak kalau setiap hari terkena panas dan hujan. Juga kalau dekat muara, terancam air kalau air laut sedang pasang, atau kalau sungai sedang banjir. Andaikata engkau yang hendak menyembunyikan pusaka itu, tempat mana yang akan kau pilih dan kau anggap paling aman?"

   Mendengar pertanyaan ini, Bagus Sajiwo lalu mengerutkan alisnya, memandang ke sekeliling dan berpikir.

   Mula-mula dia memandang ke arah depan, diseberang muara dimana terdapat pantai berpasir yang amat luas dan jajaran bukit berdiri agak jauh di sebelah utara. Lalu dia menengok ke belakang dimana terdapat tebing-tebing curam dari bukit karang. Setelah itu dia termenung memandang ke arah air muara di depan kakinya.

   "Hemm, dimana-mana serba terbuka dan pasti akan dapat ditemukan orang. Agaknya tak mungkin kalau selama ratusan tahun dapat tersimpan aman kalau benda itu disembunyikan di atas daratan."

   Demikian dia berkata sungguh-sungguh.

   "Wah, engkau ini aneh, Bagus. Tentu saja disimpan di darat apa kaupikir benda itu disimpan dalam air?"

   Maya Dewi tertawa.

   "Kalau dapat disimpan dalam muara ini, tentu aman."

   Kata Bagus Sajiwo sambil termenung, suaranya lirih dan kata-katanya keluar seperti tanpa disadarinya atau seperti dalam mimpi.

   "Engkau memang tolol, Bagus!"

   Seru Maya Dewi, setengah geli setengah dongkol.

   "Mana mungkin disimpan dalam muara? Baru sehari saja tentu jamur dan kitab itu akan hancur!"

   "Dar-dar-dar-darrr...!!"

   Tiba-tiba terdengar letusan bertubi-tubi.

   Tiga butir peluru mengenai punggung Bagus Sajiwo, akan tetapi hanya baju pemuda itu yang hangus dan robek, akan tetapi kulitnya tidak terluka dan peluru-peluru itu jatuh ke atas tanah. Akan tetapi Maya Dewi mengeluh dan ia roboh dengan pundak kiri mengucurkan darah!

   Bagus Sajiwo cepat memutar tubuhnya dan dia melihat delapan orang berlomba lari dari balik tebing dan mereka semua membawa senapan.

   Bagus Sajiwo sudah banyak mendengar tentang senjata api yang berbahaya itu. Tadipun dia sudah merasakan serangan senjata itu yang mengenai punggungnya. Akan tetapi dia tidak terluka dan hal ini hanya karena dirinya telah mendapat perlindungan Gusti Allah saja maka kekuasaanNya yang menjadi perisai sehingga peluru-peluru itu tidak menembus kulitnya.

   Akan tetapi Maya Dewi terkena tembakan dan terluka. Kalau dia melawan delapan orang itu, tentu keselamatan Maya Dewi terancam maut. Maka, setelah sekilas pikirannya bekerja, dia lalu menyambar tubuh Maya Dewi dan tnelompat ke air muara.

   "Byuurrr...!"

   Air muncrat dan Bagus Sajtwo menyelam sambil merangkul tubuh Maya Dewi yang pingsan.

   Delapan orang itu adalah Tatang dan Wirya bersama enam orang anak buahnya yang menyerang Bagus Sajiwo dan Nyi Maya Dewi dengan senapan mereka.

   Melihat Maya Dewi roboh dan pemuda itu membawa wanita itu melompat ke dalam muara, mereka cepat berlari menghampiri. Akan tetapi, mereka tidak dapat melihat mereka berdua lagi. Dengan harapan bahwa kalau masih hidup tentu dua orang itu akan muncul di permukaan air, mereka lalu berjaga-jaga di tepi muara dengan senjata api siap ditembakkan.

   Bagus Sajiwo merasa bersyukur bahwa dulu dia pernah belajar renang di sebuah telaga tak jauh dari padepokan Ki Ageng Mahendra dipegunungan Ijen sehingga dia pandai renang dan dapat menyelam.

   Akan tetapi tentu saja dia tidak akan kuat berdiam di air terlalu lama, juga Maya Dewi tidak akan kuat. Kalau dia muncul ke permukaan air, tentu delapan orang itu sudah berada disana dan siap menembaknya. Maka dia segera berenang dalam air hendak menjauh.

   Dia mendekati tepi dimana terdapat tebing tinggi dan ketika meraba-raba, dia menemukan terowongan varig besar, tidak kurang dari dua meter garis tengahnya. Dengan nekat dia berenang memasuki terowongan itu, terus masuk ke dalam. Dia merasa betapa tubuh Mava Dewi meronta-ronta, tanda wanita itu telah siuman dan kini meronta hendak melepaskan diri atau tentu ia mendapat kesukaran dengan pernapasannya.

   Dia sendiri pun merasa betapa dadanya terasa sesak seperti akan meledak! Akan tetapi tiba-tiba dia melihat di atas kepalanya tidak hitam lagi. Ada sinar terang di atas kepalanya! Dia lalu menggerakkan kakinya dan tubuh mereka meluncur ke atas dan... kepalanya tersembul ke permukaan air!

   Maya Dewi terbatuk-batuk dan terengah-engah menghirup udara dan mulutnya. Dia sendiri cepat mengambil napas. Udara segar memasuki dadanya melalui hidung, terasa nyaman bukan main. Setelah dia memperhatikan, ternyata terowongan di bawah permukaan air itu membawanya ke sebuah ruangan bawah tanah dan sinar matahari masuk melalui lubang dan celah-celah antara batu-batu bukit karang yang dari situ tampak tinggi sekali!

   Ruangan itu luas sekali, merupakan ruangan di perut bukit karang. Kalau dilihat dari atas tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa di bawah celah-celah bukit karang, diantara batu-batu itu, tersembunyi ruangan yang demikian luasnya. Air hujan yang turun tentu akan masuk ke air muara yang sampai dan berhenti disitu.

   Bagus Sajiwo tidak memeriksa lebih lanjut. Yang terpenting adalah menolong Maya Dewi yang masih dirangkulnya. Setelah terbatuk-batuk dan pernapasannya pulih dan biasa lagi, wanita itu mengeluh.

   "Aduh... pundakku terluka, Bagus."

Bagus Sajiwo memeriksanya dan menjadi lega. Ternyata peluru itu hanya menyerempet saja dan menggores pangkal lengan. Hanya kulit dan sedikit daging yag terluka dan tidak berbahaya.

   "Tahankan rasa nyeri sedikit, Dewi. Aku harus menjaga agar sedikit luka ini tidak sampai tercemar dan menjadikan bengkak. Karena disini tidak ada daun obat, satu-satunya jalan hanya mengisap dan menjilat."

   Setelah membuka baju bagian dalam Maya Dewi, tanpa ragu-ragu dan tanpa rasa jijik sedikitpun, Bagus Sajiwo lalu... mengisap dan menjilati luka di pangkal lengan Maya Dewi!

   Melihat ini, Maya Dewi terbelalak. Ia melihat betapa Bagus Sajiwo mengisap dan menjilati luka di pangkal lengannya yang kini masih mengeluarkan sedikit darah.

   "Tolol, apa yang kau lakukan ini?"

   Serunya sambil berusaha menarik lengannya.

   Akan tetapi Bagus Sajiwo memegangi lengan itu dengan kuat. Dia melanjutkan menjilati luka itu sampai merasa bahwa luka itu bersih betul, barulah dia menghentikan perbuatannya dan memandang kepada Maya Dewi sambil tersenyum.

   "Dewi jangan heran dan kaget. Mendiang guruku yang mengajarkan cara membersihkan luka agar jangan sampai menjadi parah, dengan cara begini."

   "Tapi... tapi..."

   Maya Dewi tak dapat menahan rasa harunya dan kedua matanya sudah menjadi basah dan air matanya turun membasahi kedua pipinya.

   "Tapi... itu... tidakkah engkau merasa jijik?"

   "Kenapa jijik, Dewi? Luka itu baru saja terjadi. Kalau luka itu mengandung racun, harus diisap keluar racunnya. Akan tetapi kalau tidak, dengan cara mengisap dan menjilati, maka luka itu akan bersih dan tanpa diobatipun akan cepat sembuh. Percayalah, Dewi. Tahukah engkau bagaimana semua mahluk hidup, seperti semua binatang, menjilati luka dan luka itu akan sembuh tanpa di-obati seperti yang dilakukan manusia? Kalau disini ada daun-daun obat, tentu engkau akan kuobati. Akan tetapi disini tidak ada apa-apa, maka aku mempergunakan pengobatan cara alami seperti yang dilakukan semua mahluk hidup. Bukankah engkau juga akan melakukan hal yang sama kepadaku, kalau aku yang terluka? Ataukah engkau akan merasa jijik?"

   Sambil terisak Maya Dewi merangkul Bagus Sajiwo dan menangis di dada pemuda remaja itu.

   "Tentu saja tidak, Bagus. Aku... aku akan melakukan apapun juga untukmu... aku siap mempertaruhkan nyawaku untukmu..."

   Bagus Sajiwo membiarkan Maya Dewi menangis sejenak, kemudian dengan lembut dia melepaskan rangkulan wanita itu dan berkata.

   "Dewi, kita perlu mengeringkan pakaian kita yang basah kuyup ini terlebih dulu agar jangan menjadi sakit. Kita dapat menjemur pakaian kita selagi sinar matahari masih memasuki tempat ini. Nanti kita pikirkan apa yang dapat kita lakukan lebih lanjut. Nah, engkau disini dan jemur pakaianmu aku akan ke bagian sana untuk menjemur pakaianku."

   "Bagus, mengapa engkau harus pergi kesana? Apakah diantara kita masih harus saling merasa malu?"

   Tanya Maya Dewi.

   Bagus tersenyum.

   "Dewi, lupakah engkau akan kesusilaan seperti yang sering kujelaskan kepadamu? Kesusilaan merupakan bagian dan kebudayaan, dan kebudayaanlah yang membedakan kita semua dan mahluk hidup yang lain. Kalau manusia kehilangan kesusilaannya, maka dia lebih mendekati binatang. Kita tidak mau disamakan dengan binatang, bukan?"

   "Sudahlah, pergi Sana!"

   Kata Maya Dewi agak dongkol.

   Bagus Sajiwo lalu pergi kesebelah depan dan menghilang di balik batu besar yang banyak terdapat di ruangan dalam bukit batu karang itu. Di bagian itu juga masih terdapat sinar matahari. Mereka lalu menanggalkan pakaian yang basah kuyup, memeras pakaian itu lalu menjemurnya di tempat yang terdapat sinar matahari.

   Karena mereka memeras dengan pengerahan tenaga sehingga pakaian itu hanya tinggal basah sedikit, maka setelah dijemur, tak lama kemudian pakaian itu menjadi kering dan mereka memakainya kembali.

   "Bagus! Aku sudah selesai!"

   Teriak Maya Dewi ke arah batu besar.

   Bagus Sajiwo muncul dan diapun sudah mengeriskan pakaiannya yang menjadi kering.

   Keduanya lalu duduk di atas batu. saling berhadapan.

   "Sekarang, apa yang harus kita lakukan, Bagus?"

   "Mari kita pertimbangkan keadaan kita, Dewi. Atas kemurahan Gusti Allah kita dilindungi dan selamat dari ancaman maut walaupun engkau mengalami luka yang tidak berbahaya di pangkal lenganmu. Kita sekarang berada di ruangan ini dan sementara kita aman dari orang-orang yang bersenjata senapan itu."

   "Hemm, mereka itu tentu anak buah Mayor Jakuwes, bekas atasanku yang menyuruh orang-orangnya mencari dan membunuh aku karena aku meninggalkan Kumpeni."

   Kata Maya Dewi gemas.

   "Kukira ruangan ini merupakan sebuah terowongan guha, di dalam bukit karang. Biarpun kita aman disini, akan tetapi kita kehilangan bekal pakaian..."

   "Sabuk Cinde Kencanaku masih ada!"

   Potong Maya Dewi.

   "Kita tidak mungkin bisa mendapatkan makanan di tempat ini. Karena itu, kita harus mencari jalan keluar."

   Sambung Bagus Sajiwo.

   "Wah, berenang dan menyelam seperti tadi? Aku dapat juga berenang, akan tetapi kalau harus melalui jalan seperti kita masuk kesini tadi, rasanya ngeri!"

   "Kita tidak dapat mengambil jalan itu, Dewi. Orang-orang itu mungkin masih berada disana dan begitu kita muncul, mereka akan menyerang kita dengan tembakan senapan mereka. Kita harus mencari jalan keluar. Mungkin kita dapat memanjat ke atas sana."

   Bagus Sajiwo menunjuk ke atas dimana tampak celah-celah besar diantara batu-batu.

   "Hehehe, mungkin engkau benar, Bagus. Rasanya tidak akan begitu sukar memanjat ke atas melalui batu dan dinding karang yang kasar itu."

   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAGUS SAJIWO

BAGUS SAJIWO BAGUS SAJIWO JIL ID 01 BAGUS SAJIWO JIL ID 02 BAGUS SAJIWO JIL ID 03 BAGUS SAJIWO JIL ID 04 BAGUS SAJIWO JIL ID 05 BAGUS SAJIWO JIL ID 06 BAGUS SAJIWO JIL ID 07 BAGUS SAJIWO JIL ID 08 BAGUS SAJIWO JIL ID 09 BAGUS SAJIWO JIL ID 10 BAGUS SAJIWO JIL ID 11 BAGUS SAJIWO JIL ID 12 BAGUS SAJIWO JIL ID 13 BAGUS SAJIWO JIL ID 14 BAGUS SAJIWO JIL ID 15 BAGUS SAJIWO JIL ID 16 BAGUS SAJIWO JIL ID 17 ...

ALAP-ALAP LAUT KIDUL

JILID 1 JILID 2 JILID 3 JILID 4 JILID 5 JILID 6 JILID 7 JILID 8 JILID 9 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33