SERULING GADING 1 2 3 4 5 6 7 8 9 6 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 JILID 1 Puncak Argadumilah menjulang tinggi diselimuti awan putih bergerombol seperti sekelompok domba berbulu putih bergerak perlahan, berarak ke arah selatan. Sinar matahari pagi mulai menerangi permukaan Gunung Lawu yang tanahnya subur dan hijau penuh pohon dan tumbuhan. Kinar matahari pagi yang lembut dan hangat itu masih belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang amat dingin bagi manusia itu. Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah. Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu. Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan A...
"Kalau begitu, mari kita mencari jalan yang paling baik untuk memanjat ke atas. Engkau mencari tebing sebelah sini, aku akan mencari yang di sebelah sana. Kita harus dapat keluar dari sini sebelum gelap, Dewi."
Mereka lalu berpencar dan mulai mencari bagian yang paling mudah untuk memanjat sampai ke atas. Bagus Sajiwo mencari di tebing sebelah sana. Bagian itu harus dipilih dan diperhitungkan agar jalan panjatan ke atas tidak putus di tengah jalan.
"Bagus...!!!"
Teriakan Maya Dewi ini mengejutkan Bagus Sajiwo.
Akan tetapi ketika dia menengok dan memandang, dia melihat tidak terjadi sesuatu pada Maya Dewi. Wanita itu sedang membungkuk dan agaknya memeriksa sesuatu pada dinding karang.
"Ada apakah, Dewi?"
Bagus bertannya, tanpa beranjak dari tempatnya karena dia sedang memperhitungkan tempat tanjakan yang sekiranya mudah membawanya terus ke atas.
"Bagus ke sinilah! Cepat...!!"
Kembali Maya Dewi berteriak dan sekali ini Bagus Sajiwo menjadi heran. Apakah yang terjadi? Dia melompat dan berlari menghampiri wanita itu.
"Ada apa, Dewi?"
"Lihat ini...!"
Kata Maya Dewi sambil menudingkan telunjuknya ke arah sebongkah batu yang bersandar pada dinding karang.
Bagus Sajiwo mengamati dan ternyata di atas batu itu terdapat coretan-coretan huruf seperti diukir di atas permukaan batu. Bagus Sajiwo membacanya. Itu adalah tulisan kuno, akan tetapi dia pernah belajar membaca dan mengartikan tulisan kuno jaman Mojopahit itu dari mendiang Ki Ageng Mahendra.
"Siapa yang berjodoh mendapatkan pusaka ini, harus bersumpah kepada Sang Hyang Widhi Wasa untuk mempergunakannya demi membela kebenaran dan keadilan dan menentang yang jahat."
"Bagus cepat singkirkan batu itu, kurasa di balik batu ini terdapat pusaka yang ampuh... ah, siapa tahu Jamur Dwipa Suddhi yang dicari-cari itu berada disini! Cepat singkirkan batu itu, Bagus!"
"Hemm, nanti dulu, Dewi. Engkau tadi sudah mendengar bunyi dan arti tulisan itu. Kita harus bersumpah lebih dulu seperti yang dituntut dia yang meninggalkan pusaka disini. Lupakah engkau bahwa kita harus selalu bersusila dalam setiap tindakan kita. Engkau tidak boleh melupakan hal itu, Dewi!"
Suara Bagus Sajiwo mengandung teguran.
Maya Dewi yang tadi lupa akan pelajaran itu saking tegang dan gembiranya menemukan tempat rahasia itu, segera menyadari dan ia berkata.
"Maafkan aku, Bagus."
"Baiklah, asalkan engkau tidak melupakan hal itu lagi. Nah, marilah kita berlutut sebagai penghormatan dan mengucapkan sumpah kita."
Bagus Sajiwo berlutut di depan batu itu. Maya Dewi berlutut di sampingnya. Kemudian Bagus Sajiwo mengucapkan sumpahnya.
"Hamba Bagus Sajiwo dan Maya Dewi bersumpah kepada Gusti Allah untuk mempergunakan pusaka yang diberikan kepada hamba demi membela kebenaran dan keadilan dan menentang yang jahat."
Setelah mengucapkan sumpahnya, Bagus Sajiwo menyembah dan menundukkan mukanya.
"Eh, Dewi, lihat ini!"
Katanya dan Bagus Sajiwo membersihkan permukaan batu yang berada di bawah batu besar bertulis itu dengan tangannya. Setelah tanah yang menutupi batu kecil itu disingkirkan, baru tampak jelas tulisan dengan huruf-huruf kecil di atas batu itu. Dia lalu membacanya.
"Dorong batu dari samping, jangan berdiri didepannya."
Bagus Sajiwo memegang tangan Maya Dewi dan menariknya sehingga wanita itu bangkit berdiri. Mereka lalu berdiri disamping batu bertulisdan Bagus Sajiwo mendorong batu itu sehingga tergulir ke samping. Ternyata di balik batu itu terdapat sebuah lubang dengan garis tengah sekitar dua jengkal. Tiba-tiba, begitu tergulir ke samping, terdengar bunyi menjepret dan dari dalam lubang itu menyambar keluar sebatang benda hitam. Sambaran itu cepat bukan main dan benda itu meluncur lewat.
Maya Dewi membelalakkan matanya.
"Wah, aku yakin benda runcing hitam tadi mengandung racun yang amat kuat! Dari baunya saja aku dapat mengenalnya. Racun ular-ular berbisa!"
Bagus Sajiwo mengangguk-angguk.
"Nah, sekarang engkau tahu betapa pentingnya bersikap hormat dan bersusila? Kalau kita tadi langsung menggulingkan batu, bagaimana kita dapat mengelak dari sambaran senjata rahasia yang meluncur dari jarak sedekat itu?"
Maya Dewi bergidik.
"Ah, hebat sekali dia yang menyembunyikan pusaka ini. Dia menghendaki agar pusaka terjatuh ke tangan orang yang bersusila dan berbudi luhur. Kalau penjahat yang menemukan, tentu dia akan tewas terpanah."
Mereka lalu menyingkirkan rumput-rumput kering dan daun-daun kering yang dijejalkan di mulut lubang itu. Maka tampaklah dua buah benda yang membuat mereka berdua tercengang.
"Jamur Dwipa Suddhi dan sebuah kitab!"
Maya Dewi berseru.
Mereka mengambil dua buah benda itu dengan hati-hati. Maya Dewi mengambil jamurnya dan Bagus Sajiwo mengambil kitabnya. Selain dua buah benda itu, tidak ada apa-apa lagi di dalam lubang itu.
Maya Dewi mengamati benda yang ia kira pasti Jamur Dwipa Suddhi yang dicari banyak orang itu. Benda itu masih berbentuk jamur, seperti payung kecil, sebesar telapak tangan. Warnanya kehitaman dan ketika ia menciumnya, baunya harum akan tetapi aneh karena belum pernah ia mencium keharuman seperti itu.
Sebagai seorang yang ahli dalam soal racun, dan bau benda itu Maya Dewi mengerti bahwa benda itu tidak mengandung racun, akan tetapi mengandung unsur panas yang dapat ia rasakan dari melalui penciumannya.
Sementara itu Bagus Sajiwo mengamati kitab daun lontar itu. Masih baik dan utuh, tulisannya dalam bahasa Jawa Kuno juga jelas. Ternyata kitab itu bernama Kitab Aji Sari Bantala.
Di dalamnya terdapat gambar-gambar, pria dan wanita dalam berbagai kedudukan pasangan kuda-kuda dan gerakan silat yang aneh. Semua itu disertai keterangan tulisan yang jelas sekali. Bagus Sajiwo menjadi girang bukan main karena memandang secara sekilas saja tahulah dia bahwa kitab itu mengandung pelajaran ilmu silat yang amat tinggi.
"Bagus, apakah isi kitab itu?"
Tanya Maya Dewi kepada Bagus Sajiwo.
Bagus Sajiwo menyerahkan kitab itu kepada Maya Dewi, dan Maya Dewi sebaliknya menyerahkan jamur kering kepada Bagus Sajiwo.
Ketika melihat isi kitab itu, Maya Dewi menjadi girang bukan main. Melihat gambar-gambar yang terdapat dalam kitab itu saja tahulah ia bahwa kitab itu mengandung pelajaran ilmu kanuragan. Akan tetapi ia tidak begitu mengerti akan maksud tulisannya.
Bagus Sajiwo yang mengamati jamur di tangannya itu juga dapat merasakan bahwa yang dipegangnya adalah benda yang memiliki khasiat yang amat hebat.
"Bagus bagaimana bunyi tulisan dalam kitab ini? Ini merupakan pelajaran ilmu silat, bukan? Dan gambarnya ada dua orang, seorang pria dan seorang wanita. Bagaimana bunyinya? Tolong jelaskan, aku merasa sulit membaca tulisan kuno ini."
Bagus Sajiwo tertawa gembira.
"Ha-ha, Dewi. Sungguh kita beruntung sekali. Kitab itu adalah kitab yang mengandung pelajaran Aji Sari Bantala dan aji kesaktian itu hebat bukan main. Memang ajian itu digubah oleh pembuatnya untuk seorang pria dan pasangannya, seorang wanita."
"Ah, aku beruntung sekali kalau begitu, Bagus. Kita dapat melatih ilmu dari kitab itu disini agar tidak sampai ketahuan orang lain! Dan Jamur itu, aku yakin benar-benar Jamur Dwipa Suddhi yang dicari semua orang. Kita makan saja jamur itu, Bagus! Aku yakin khasiatnya untuk kita tentu luar biasa."
"Akan tetapi kita tidak boleh sembrono, Dewi. Bagaimana kalau jamur yang ratusan tahun umurnya itu mengandung racun?"
"Tidak, Bagus. Aku yakin tidak mengandung racun, melainkan mengandung khasiat yang luar biasa. Engkau tahu bahwa aku adalah seorang yang ahli tentang racun, bukan? Jamur ini tidak beracun, akan tetapi berkhasiat luar biasa. Mari, mari kita makan."
"Akan tetapi jamur ini kering dan keras seperti batu karang. Bagaimana dapat enak dimakan?"
"Aku tahu, bagus. Untuk mengembalikannya menjadi lunak, jamur ini harus direndam air selama satu malam."
Maya Dewi lalu sibuk membersihkan bagian lantai batu karang yang cekung dan mengambil air dari air muara yang masuk ke ruangan itu, mengisi cekungan yang cukup lebar itu dengan air lalu memasukkan jamur kering itu ke dalamnya.
"Kita tunggu sampai semalam, Bagus. Aku yakin jamur ini akan menjadi lunak dan dapat kita makan."
"Ah, Dewi, hari agaknya mulai menjelang sore. Cuaca disini mulai gelap dan kita belum menemukan jalan untuk memanjat ke atas!"
Seru Bagus Sajiwo.
"Kita tidak akan naik dulu, Bagus. Biar kita lewatkan malam ini disini dan mungkin akan tinggal disini untuk sementara waktu."
"Eh? Apa maksudmu?"
"Tenanglah, Bagus. Mana ketenanganmu yang biasa itu? Dengar, malam ini kita tinggal disini dan mengaso sambil membiarkan jamur ini terendam air sampai lunak. Besok pagi kita makan jamur ini. Kemudian, engkau boleh mencari jalan keluar dengan memanjat dinding tebing untuk membeli pakaian pengganti dan bahan makanan, kemudian engkau kembali lagi kesini. Kita tinggal d sini mempelajari ilmu dari kitab Sari Bantala (Inti Bumi) sampai dapat menguasainya, baru kita berdua akan keluar dari tempat ini."
"Wah, untuk apa kita bersusah payah dan tinggal di perut bukit seperti ini berlama-lama?"
Bagus Sajiwo berusaha menatap dengan tajam penuh selidik wajah Maya Dewi dalam cuaca yang mulai remang-remang itu.
"Dewi, apakah engkau memiliki pamrih menguasai ilmu yang hebat agar dapat menjagoi lagi di dunia ramai?"
Maya Dewi menghela napas.
"Bagus, kenapa engkau masih juga meragukan aku? Aku hanya ingin agar engkau tidak menjadi seorang laki-laki yang menjilat kembali ludah yang sudah kau keluarkan."
"Eh, Apa maksudmu dengan kata-kata itu?"
"Lupakah engkau akan janjimu, akan sumpahmu ketika engkau akan mengambil jamur dan kitab ini? Engkau bersumpah kepada Gusti Allah bahwa engkau akan mempergunakan pusaka ini demi membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Benarkah itu atau engkau sudah lupa?"
"Tentu saja aku tidak lupa."
"Nah, lalu bagaimana engkau akan dapat mempergunakan pusaka ini, yaitu jamur dan kitab ini, kalau engkau tidak makan jamurnya dan tidak mempelajari kitab ini, sampai engkau menguasai betul ilmu yang dikandungnya? Nah, jawablah! Apakah tidak berarti engkau mengingkari janji atau sumpahmu sendiri kalau engkau tidak makan jamur dan mempelajari kitab ini?"
Bagus Sajiwo menghela napas panjang.
"Tentu saja aku akan memenuhi sumpahku, akan tetapi tidak harus tinggal di tempat ini berlama-lama, Dewi. Kita dapat melaksanakan sumpah itu di atas bumi sana, bukan disini."
"Akan tetapi aku mau mempelajarinya disini, Bagus. Ingat, ketika bersumpah engkau menyebut nama kita berdua, berarti akupun ikut bersumpah. Aku tidak ingin terganggu orang-orang jahat itu pada saat mempelajari kitab Sari Bantala ini. Sudahlah, Bagus. Engkau yang pernah menemani aku tinggal di perut Bukit Keluwung yang panas sampai lama, kemudiap di puncak Gunung Wilis yang amat dingin, apakah kini engkau tidak mau menemani aku berlatih ilmu Sari Bantala di tempat ini?"
Bagus Sajiwo tersenyum dan iapun mengalah.
"Yah, baiklah kalau kehendakmu begitu. Aku tidak dapat berbantahan denganmu, Dewi."
Maya Dewi memegang tangan kanan Bagus Sajiwo dan mengikuti dorongan hatinya yang penuh kasih dan merasa bahagia, ia menciumi tangan pemuda itu.
"Terima kasih, Bagus. Aku tahu engkau memang amat baik, terlalu baik kepadaku. Aku rela mati untukmu, Bagus..."
"Hussh, siapa mau bicara tentang mati di tempat seperti ini? Nah, cuaca semakin gelap. Lebih baik kita mencari dan mempersiapkan tempat untuk mengaso dan tidur. Kalau sudah gelap kita tidak akan mampu melakukan apa-apa."
Maya Dewi lalu memilih dan membersihkan lantai batu yang agak halus dan datar. Malampun tiba dan dengan perut kosong mereka lalu duduk tepekur, kemudian setelah mengantuk, mereka tidur di atas lantai yang cukup dingin.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi setelah membersihkan tubuh dan muka dengan air muara yang masuk ke ruangan itu, Maya Dewi dan Bagus Sajiwo sudah duduk berhadapan. Jamur yang telah direndam semalam ternyata telah lunak dan berada di depan mereka, Dipegang oleh Maya Dewi dengan kedua tangannya.
Sinar matahari pagi hanya mendatangkan penerangan yang lemah di tempat itu, namun cukup jelas bagi mereka.
"Kita harus makan jamur ini sekarang,"
Kata Maya Dewi sambil menarik jamur itu menjadi dua potong. Melihat sinar mata Bagus Sajiwo tampak meragu, Maya Dewi berkata.
"Bagus, kau lihat, aku akan makan lebih dulu sehingga kalau terjadi sesuatu yang tidak baik, biarlah aku yang mengalaminya."
"Maya, jangan! Biar aku dulu!"
Bagus Sajiwo' mencegah akan tetapi Maya Dewi sudah dengan cepat mulai memasukkan jamur itu ke dalam mulut dan menggigitnya lalu mengunyahnya.
"Wah, sedap sekali, Bagus!"
Katanya dan benar-benar ia kelihatan menikmati makanan itu. Sebentar saja, separuh jamur itu telah lenyap ke dalam perutnya. Bagus Sajiwo hendak makan bagiannya, akan tetapi Maya Dewi cepat memegang lengannya.
"Jangan dimakan dulu, Bagus!"
"Kenapa? Engkau tidak merasakan sesuatu yang buruk, Dewi?"
Tanya Bagus khawatir.
Maya Dewi menggelengkan kepalanya.
"Tidak, atau lebih tepat lagi, belum! Karena itu, tunggulah sebentar, kita lihat dulu apa akibatnya dengan aku yang telah memakannya."
Bagus Sajiwo merasa terharu. Wanita ini benar-benar mengorbankan dirinya sendiri untuk mencoba terlebih dulu agar kalau akibatnya mencelakakan, ialah yang akan mengalami, bukan Bagus Sajiwo!
Tiba-tiba terasa hawa udara disitu menjadi panas dan Bagus Sajiwo melihat dengan mata terbelalak betapa uap mengepul dari tubuh Maya Dewi dan seluruh tubuh wanita itu berkeringat! Akan tetapi anehnya, Maya Dewi tersenyum dan tidak tampak kepanasan.
"Dewi! Apakah engkau merasa panas?"
Maya Dewi menggeleng kepalanya.
"Hanya terasa hangat dan nyaman, Bagus!"
Tiba-tiba terdengar suara berkerotokan di seluruh tubuh wanita itu, seolah-olah semua buku dan sambungan tulangnya bergerak. Maya Dewi bangkit dari duduknya dan tubuhnya terhuyung.
Bagus Sajiwo cepat memegang lengannya, akan tetapi Maya Dewi mengibaskan dan akibatnya, tubuh Bagus Sajiwo terlempar! Dari kibasan lengan itu timbul tenaga yang amat dahsyat!
Bagus Sajiwo cepat berjungkir balik dan membuat salto sampai lima kali, baru dia dapat turun dan berdiri tegak. Sepotong jamur tadi masih berada dalam genggaman tangannya. Dia memandang ke arah Maya Dewi yang terhuyung kedinding. Seperti orang mabok, Maya Dewi menggunakan tangan kiri untuk menahan tubuhnya pada dinding karang.
"Brakkkk!"
Batu dinding karang yang menonjol itu hancur terkena sentuhan jari-jari tangannya!
"Dewi cepat duduk bersila dan atur pemapasan!"
Teriak Bagus Sajiwo.
Suara pemuda itu agaknya dapat menembus kepeningan yang menyerang kepala Maya Dewi. Mendengar suara pemuda itu, dalam keadaan seperti mabok itupun Maya Dewi menaati dengan patuh. Ia lalu duduk dan bersila, berdiam diri menghentikan semua ulah hati akal pikiran, mengheningkan cipta sehingga dirinya kosong sama sekali tidak mengandung kehendak apapun dan pikiran apapun.
Hawa yang tadi meliar dalam tubuhnya dan menimbulkan tenaga dahsyat itu seperti mengendap dan menetap di pusarnya yang terasa hangat nyaman.
Bagus Sajiwo menghampiri dan memeriksa keadaan tubuh Maya Dewi. Tidak ada kelainan, tidak ada tanda-tanda bahwa Maya Dewi keracunan. Setelah merasa tenang, Maya Dewi membuka mata memandang Bagus Sajiwo dan tersenyum.
"Engkau tidak merasakan sesuatu yang tidak enak atau nyeri pada tubuhmu?"
Tanya Bagus Sajiwo.
"Sama sekali tidak, Bagus, bahkan rasanya hangat nyaman. Ada hawa yang tadi meliar dalam tubuhku, akan tetapi sekarang sudah dapat kukuasai dan berdiam di dalam pusar. Bagus, ini adalah tenaga sakti yang amat hebat, yang aku yakin datang karena khasiat jamur itu. Karena itu, makanlah jamurmu agar engkau dapat merasakan juga dan dapat membimbingku untuk menguasai tenaga dahsyat itu."
Setelah melihat bahwa Maya Dewi benar-benar sehat dan tidak keracunan, hati Bagus sajiwo menjadi lega. Mendengar desakan Maya Dewi, diapun segera makan jamur bagiannya.
Benar kata Maya Dewi tadi. Rasa jamur itu cukup enak, baunya harum. Dia makan jamur itu sampai habis, lalu dia duduk bersila di depan Maya Dewi karena dia dapat menduga bahwa sebentar lagi khasiat jamur itu akan bekerja dan dia harus siap menguasai hawa sakti yang dahsyat dan liar itu kalau menguasai dirinya.
Dia tidak menanti lama. Tubuhnya mulai terasa hangat dan tubuhnya mulai mengeluarkan uap panas! Benar saja, ada tenaga sakti yang bergerak-gerak dari dalam perutnya menjalar ke seluruh tubuhnya dan ketika memasuki bagian kepalanya dia merasa pening seperti orang mabok. Cepat Bagus Sajiwo mengerahkan tenaga dalamnya menyambut dan menguasai tenaga sakti liar itu. Rasanya seperti menunggang seekor kuda liar yang melompat-lompat dan meronta-ronta. Akan tetapi perlahan-lahan dia yang terus mengikuti gerakan tenaga sakti itu seperti dapat mengenal ulahnya dan dapat menyesuaikan diri sehingga dia dapat menguasainya.
Maya Dewi sejak tadi memperhatikan Bagus Sajiwo yang duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya. Kini melihat pemuda itu membuka mata.
Ia bertanya.
"Bagaimana, Bagus?"
"Dewi, sekarang biarkan tenaga sakti itu keluar dari pusar dan ikuti saja seperti engkau menunggang seekor kuda liar. Perhatikan ulah geraknya sehingga engkau dapat mengenal benar mulai dapat menyesuaikan diri dan mengendalikannya. Mari, coba, jangan ragu dan takut."
Maya Dewi menurut. Begitu tenaga itu lepas dan menjalar ke seluruh tubuh, tubuhnya bergoyang-goyang, termasuk kepalanya.
"Tenang... ikuti saja... perhatikan gerak geriknya dan engkau akan mengenalnya dan dapat mengendalikannya."
Kata Bagus Sajiwo.
Maya Dewi mengikuti petunjuk Bagus Sajiwo. Akan tetapi karena pada dasarnya ia tidak sekuat Bagus Sajiwo yang dalam waktu singkat dapat menguasai dan mengendalikan tenaga sakti itu, Maya Dewi membutuhkan waktu agak lama, ia harus sabar dan perlahan-lahan mencoba untuk menguasai tenaga liar itu.
"Latihlah terus, Dewi. Aku hendak naik ke atas dan mencari pakaian dan bahan makanan."
Kata Bagus Sajiwo.
Maya Dewi mengangguk.
"Ambil perhiasanku, di balik ikat pinggang ini."
Katanya tanpa berhenti melatih diri menguasai tenaga sakti yang liar itu.
Maklum bahwa kalau Maya Dewi menghentikan latihannya, tenaga sakti itu akan meliar dan mengamuk seperti tadi, Bagus Sajiwo menghilangkan rasa rikuh dan dia mengambil sebuah kantung merah kecil dari balik ikat pinggang Maya Dewi.
Kantung merah kecil itu berisi beberapa potong perhiasan yang mahal harganya. Dia mengambil sebuah gelang emas lalu mengembalikan kantung merah itu ke balik ikat pinggang Maya Dewi. Gelang itu disimpannya.
"Aku pergi, Dewi."
Katanya dan dia lalu memanjat tebing yang kemarin telah dipilihnya.
Bagus Sajiwo terperanjat dan terheran ketika mendapat kenyataan betapa mudahnya dia memanjat ke atas, bagaikan seekor cecak memanjat dinding saja! Dia merasakan betul bahwa tenaga saktinya bertambah, berlipat ganda dibandingkan biasanya. Tubuhnya dapat dibuatnya ringan sekali sehingga dia dapat bergerak cepat memanjat ke atas dan jari-jari dan telapak tangannya memiliki daya melekat pada dinding batu karang!
Dia yakin bahwa dalam keadaan biasa, tak mungkin dia dapat memanjat semudah dan secepat itu. Tentu saja dia menjadi girang sekali dan diapun mengerti bahwa ini tentulah daya yang ampuh dari khasiat jamur ajaib itu. Tentu saja dia merasa girang sekali, terutama girang karena Maya Dewi juga mendapatkan tenaga sakti yang ajaib itu.
Kini wanita itu tentu menjadi sakti mandraguna, jauh lebih sakti danpada dulu ketika ia masih menjadi seorang datuk sesat. Apalagi kalau mereka berdua sudah mempelajari kitab yang mereka temukan, yaitu kitab yang mengandung Aji Sari Bantala! Akan tetapi dia harus lebih tekun pula berusaha membelokkan jalan hidup Maya Dewi, kejalan yang lurus, jalan kebenaran dan kebajikan!
Dengan bekal gelang emas yang mahal harganya itu, mudah saja bagi Bagus Sajiwo untuk membeli beberapa potong pakaian lengkap untuk dia dan Maya Dewi. Juga ia membeli beras, bumbu-bumbu dan bahan makanan lain. Untuk semua belanjaannya ini, harga gelang itu masih lebih banyak sehingga dia membawa pula uang kembalinya. Tidak lupa dia membeli prabot untuk memasak dan ketika menuruni tebing, semua itu dimasukkan dalam sebuah karung besar yang dipanggulnya. Tidak lupa dia membawa pula alat pembuat api dan sebatang kayu besar untuk dibuat kayu bakar.
Hari telah siang ketika dia merayap turun melalui tebing itu, dari lereng bukit kapur. Dari atas hanya tampak celah-celah batu dan keadaan di bawah tidak tampak karena terhalang batu, bahwa di bawah sana terdapat ruangan luas dimana terdapat terowongan di bawah permukaan air menuju ke muara.-
Ketika akhirnya Bagus Sajiwo tiba di ruangan itu, dia melihat Maya Dewi sudah menanti dan memandang kepadanya dengan senyum mams dan mata bersinar, wajah berseri.
"Wah, engkau membawa barang begitu banyak dan dapat menuruni tebing demikian cepatnya! Engkau hebat sekali, Bagus!"
"Bagaimana denganmu, Dewi? Apakah engkau sudah dapat menguasai tenaga sakti dari Jamur Dwipa Suddhi itu?"
"Sudah, Bagus. Bahkan aku sudah berlatih dengan tenaga itu."
Kata Maya Dewi sambil membantu Bagus Sajiwo menurunkan barang-barang belanjaannya.
"Mari kau lihat!"
Maya Dewi menghampiri tepi air muara yang masuk ke ruangan itu dan ia menggerakkan kedua tangannya mendorong ke arah air.
Air itu segera bergelombang seolah didorong angin atau tenaga yang amat kuat! Bagus Sajiwo mengangguk-angguk.
"Bagus sekali, Dewi. Aku tadipun sudah membuktikannya sendiri. Kita benar-benar menerima anugerah Gusti Allah, mendapatkan tenaga sakti yang luar biasa. Aku dapat memanjat tebing itu dengan amat mudahnya."
Mereka berdua menjadi girang dan Bagus Sajiwo mengajak Maya Dewi untuk berlutut dan berdoa kepada Gusti Allah, menghaturkan terima kasih atas berkahNya yang berlimpahan.
Setelah itu, mereka mulai sibuk membuat api dan hendak menanak beras. Maya Dewi girang bahwa Bagus Sajiwo tidak lupa membeli bumbu-bumbu, juga beberapa macam sayuran.
"Sayang aku tidak bisa menemukan orang menjual daging segar, maka aku hanya membeli daging kering yang di-asin."
Kata Bagus Sajiwo.
"Mengapa repot? Disini banyak terdapat ikan. Tadi aku melihat ikan-ikan lele dan bader yang cukup besar berenang di air. Biar aku tangkap beberapa ekor!"
Kata Maya Dewi dan seperti seorang anak kecil yang bergembira, ia berlari-lari menuju ke tepi sungai dalam perut bukit itu. Akan tetapi ia menahan jeritnya karena ketika melompat dan berlari, lompatannya amat jauh dan larinya seperti angin. Demikian ringan rasa tubuhnya.
"Hati-hati, Dewi. Jangan tergesa-gesa!"
Kata Bagus Sajiwo sambil tertawa.
SETELAH tiba di tepi sungai yang cukup dalam itu, Maya Dewi berdiri diam dan matanya memandang ke air, tak pernah berkedip dan waspada. Akhirnya ia melihat bayangan beberapa ekor ikan berenang di bawah permukaan air.
Cepat ia mengerahkan tenaga sakti ke tangan kanannya dan dipukulkannya ke depan. Hawa pukulan yang kuat menyambar ke arah bayangan ikan-ikan dalam air itu. Air pecah dan tiga ekor ikan kena dihantam hawa pukulan itu, mati seketika dan mengambang di atas air.
Maya Dewi cepat mengambilnya sebelum ikan-ikan itu diseret air yang selalu bergerak karena terdorong oleh air yang datang dari luar. Ia lalu berlari-lari menghampiri Bagus Sajiwo sambil membawa tiga ekor ikan dalam kedua tangannya. Ikan-ikan itu cukup besar, sebesar lengannya!
"Lihat ini hasil tangkapanku!"
Katanya bangga memperlihatkan tiga ekor ikan bader itu.
Bagus Sajiwo memandang dengan senyum lebar dan sinar mata kagum. Dari tempat ia duduk menjaga api yang menanak beras tadi dia dapat melihat apa yang dilakukan Maya Dewi. Wanita itu kalau sampai tersesat lagi, akan menjadi seorang yang amat berbahaya dan dapat menimbulkan banyak bencana di antara manusia, pikirnya.
Mereka lalu masak ikan-ikan itu dan tak lama kemudian, mereka sudah makan nasi dengan lauk sayur dan daging ikan, minum air teh dari cangkir-cangkir yang dibeli oleh Bagus-Sajiwo. Setelah makan, membersihkan prabot masak dan prabot makan, lalu berganti pakaian baru yang dibeli oleh Bagus Sajiwo, mereka duduk di atas batu, berdampingan karena ke-duanya bersama-sama memeriksa isi kitab Aji Sari Bantala.
Bagus Sajiwo membaca bagian pertama kitab itu dan menerangkan kepada Maya Dewi. Ternyata bagian pertama kitab itu adalah latihan pernapasan dan cara mengendalikan hawa sakti dalam tubuh, juga mengatur keseimbangan jalan darah sehingga tubuh akan tetap seimbang dan sehat.
"Untuk apa berlatih seperti itu? Kita sudah sejak dulu berlatih menghimpun tenaga sakti. Lebih baik teruskan baca bagian selanjutnya, Bagus."
Kata Maya Dewi.
"Bukan begitu caranya belajar sesuatu, Dewi. Orang harus mulai suatu perjalanan dengan langkah awal, langkah pertama. Kalau hendak mempelajari sebuah kitab, kita harus membacanya dari halaman pertama. Ketahuilah, petunjuk pertama dalam kitab ini adalah penting sekali, bukan sekedar pelajaran untuk menghimpun tenaga sakti seperti yang pernah engkau pelajari. akan tetapi ini merupakan pelajaran yang khusus untuk dapat mengendalikan secara sempurna tenaga sakti dahsyat dan liar yang baru saja kita terima melalui makan Jamur Dwipa Suddhi."
Maya Dewi tersenyum.
"Baiklah, baiklah, den bagus! Jangan ngotot dan galak, aku akan mentaatimu."
Bagus Sajiwo tersenyum dan dia melanjutkan dengan membuka dan memberi penjelasan tentang pelajaran tingkat pertama dari kitab yang mereka temukan itu.
Demikianlah, mulai hari itu, mereka mempelajari isi kitab dan melatih diri sesuai dengan petunjuk kitab itu. Akan tetapi temyata Aji Sari Bantala itu merupakan aji yang amat aneh dan juga tidak mudah.
Baru permulaannya saja ternyata tidak mudah, apalagi bagi Maya Dewi dan ternyata bagi mereka bahwa untuk menguasai pelajaran permulaan itu saja membutuhkan waktu sampai seratus hari lebih! Dengan tekun mereka mulai berlatih Aji Sari Bantala di ruangan dalam perut bukit karang itu. Untuk keperluan makan mereka, bergantian mereka keluar dari situ memanjat tebing dan pergi berbelanja ke dusun-dusun yang cukup jauh dari situ.
Kita tinggalkan dulu Bagus Sajiwo dan Maya Dewi yang sedang tekun mempelajari ilmu yang tinggi dan sukar di dalam ruangan tersembunyi itu untuk melihat para tokoh dan datuk persilatan yang cerai berai meninggalkan pondok milik Pangeran Jaka Bintara dan paman gurunya, yaitu Kyai Gagak Mudra. Mereka semua meninggalkan Pondok, akan tetapi ternyata tidak meninggalkan daerah Muara Sungai Lorog.
Diantara mereka yang muda ada beberapa orang yang sempat melihat ketika Bagus Sajiwo dan Maya Dewi diserang delapan orang dengan tembakan sehingga dua orang yang digdaya dan tadi mengamuk dalam pondok tercebur dalam muara yang dalam. dan agaknya tewas dan tenggelam karena tidak tampak muncul lagi.
Mereka tidak berani mengganggu rombongan mata-mata Kumpeni yang dipimpin Tatang dan Wirya itu.
Setelah menunggu sampai lama tidak tampak dua orang itu muncul kembali dari dalam muara, Tatang dan Wirya merasa yakin bahwa mereka tentu tewas dan tenggelam. Maka mereka segera meninggalkan tempat itu dengan hati girang untuk melapor kepada Kumpeni bahwa mereka telah berhasil membunuh Nyi Maya Dewi yang dianggap berkhianat oleh Kumpeni Belanda.
Berita tentang kematian Bagus Sajiwo dan Maya Dewi itu segera tersiar luas dan terdengar oleh para datuk yang sedang berusaha mencari Jamur Dwipa Suddhi di sekitar muara itu.
Mereka menjadi besar hati karena menganggap bahwa saingan berat itu telah tewas. Hanya tiga orang pertapa yang tidak ikut mengeroyok Maya Dewi dan Bagus Sajiwo yang menerima berita itu dengan tenang saja, bahkan dalam hati mereka menyayangkan bahwa seorang pemuda remaja yang demikian sakti mandraguna tewas secara menyedihkan, ditembak oleh kaki tangan Kumpeni Belanda.
Mereka bertiga ini adalah Wiku Menak Jelangger, pertapa dari Blambangan, Resi Sapujagad pertapa Gunung Merapi, dan Bhagawan Dewokaton pertapa Gunung Bromo. Mereka bertiga mencari jamur yang diperebutkan itu dengan cara bersamadhi di tepi muara, di tempat terpisah, untuk mohon petunjuk para dewa dimana adanya Jamur Dwipa Suddhi yang dicari-cari itu.
Sementara itu, mereka yang tadi mengeroyok Maya Dewi, Bagus Sajiwo, dan Ki Sumali dan kemudian melarikan din cerai berai, tentu saja menjadi girang mendengar akan tewasnya Nyi Maya Dewi dan kawan-kawannya, seorang pemuda remaja yang sakti mandraguna itu.
Mereka lalu melanjutkan niat mereka untuk mencari Jamur Dwipa Suddhi di sekitar Muara Sungai Lorog secara berpen-caran, ada yang sekelompok, ada pula yang sendiri-sendiri.
Ki Kebondanu jagoan Surabaya yang tinggi besar itu mencari-cari di tepi muara, terkadang mencongkel-congkel pasir atau menggulirkan batu-batuan yang berada di tepi muara.
Jagalabilawa meneliti tebing karang, mencari-cari dan kalau menemukan celah lalu dirogoh dan diperiksanya, kalau menemukan guha lalu dimasukinya dan diperiksanya dengan teliti.
Pangeran Banten, Raden Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra juga tidak kalah sibuknya. Mereka bahkan mendaki tebing dan mencari-cari.
Para pencari muda Juga tersebar di daerah itu dan seolah menyusuri pantai Laut Selatan untuk mencari pusaka yang amat diinginkan itu. Kalau sudah bosan mencari ke atas tebing karena tidak menemukan sesuatu, mereka lalu turun dan mencari di tepi muara.
Sampai matahari terbenam semua orang mencari namuh belum ada yang menemukan pusaka yang dicari dan terpaksa menghentikan pencarian itu karena cuaca mulai gelap sehingga tidak memungkinkan mereka mencari.
Mereka melewatkan malam di dalam pondok milik Pangeran Raden Jaka Bintara yang tadi ditinggatkan, kecuali tiga orang pertapa yang masih melanjutkan samadhi mereka menunggu wangsit (petunjuk gaib).
Tiga orang pertapa itu, Wiku Menak Jelangger dari Blambangan, Resi Sapujagad dari Gunung Merapi, dan Bhagawan Dewokaton dari Gunung Bromo, adalah orang-orang yang gentur tapa (tekun bertapa) dan mereka telah mendapatkan kepekaan batin.
Setelah sehari semalam, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka bertiga, seolah dikomando, bangkit dari pertapaan mereka.
Sang Wiku Menak Jelangger berkata kepada Darun dan Dayun, dua orang cantriknya yang dengan setia menunggunya selama dia bersamadhi, dengan suara tenang namun pasti.
"Darun dan Dayun, mari kita pulang. Pusaka yang dicari itu sudah tidak ada lagi."
Darun dan Dayun saling berpandangan. Mereka tidak merasa ragu lagi. Kalau sang wiku sudah berkata demikian, mereka berduapun percaya bahwa Jamur Dwipa Suddhi pasti benar-benar sudah tidak ada lagi sehingga akan sia-sia dan membuang-buang waktu saja kalau dicari. Mereka bertiga lalu meninggalkan tepi muara itu.
Selagi mereka berjalan, mereka berpapasan dengan Resi Sapujagad dan Bhagawan Dewokaton yang berjalan berdampingan dan agaknya sedang bercakap-cakap.
Melihat Wiku Menak Jelangger, Resi Sapujagad memberi salam.
"Selamat pagi, Kakang Wiku."
Bhagawan Dewokaton juga memberi salam yang sama.
"Selamat pagi, Adi Resi Sapujagad dan Adi Bhagawan Dewokaton!"
Resi Menak Jelangger menjawab sambil tersenyum.
"Sepagi ini andika berdua sudah berjalan. Hendak kemanakah?"
"Kami berdua mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat ini, pulang ke padepokan kami masing-masing."
Kata Resi Sapujagad.
"Tidak ada gunanya lagi melanjutkan pencarian itu, Kakang Wiku Menak Jelangger."
Sambung Bhagawan Dewokaton.
Sang Wiku dari Blambangan itu tersenyum lebar.
"Hemm, kiranya andika berdua juga sudah mengetahui kenyataan itu? Memang benar, Jamur Dwipa Suddhi memang sudah tidak ada lagi di daerah ini."
"Begitulah yang kami berdua menerimanya. Kalau begitu, haruskah kita memberitahukan mereka yang masih sibuk mencarinya?"
Tanya Resi Sapujagad.
"Akan sia-sia saja, Adi Resi. Mereka tidak akan mau percaya, bahkan mungkin saja mereka mengira kita membohongi mereka agar mereka pergi dan kita bertiga dapat mencari sendiri tanpa gangguan"
Kata Wiku Menak Jelangger.
"Kakang Wiku benar!"
Kata Bhagawan Dewokaton.
"Mereka berdatangan dari tempat jauh, mana mungkin mau percaya kepada kita? Lebih baik kita pulang saja, Kakang Resi."
Mereka bertiga lalu saling memberi salam dan meninggalkan tempat itu, hendak pulang ke tempat asal mereka masing-masing.
Sementara itu, begitu terang tanah, semua orang yang melewatkan malam di pondok milik Pangeran Jaka Bintara, sudah keluar dari pondok dan melanjutkan pencarian mereka dengan lebih bersemangat.
Beberapa jam lamanya mereka mencari-cari dan setelah matahari naik agak tinggi, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan, baik dari mereka yang mencari di tepi pantai Laut Selatan, di tepi muara, maupun di bawah tebing. Terjadi keributan dan agaknya dari tiga tempat itu ada seorang berlarian, dikejar oleh yang lain!
"Ini hakku! Aku yang menemukan Jamur Dwipa Suddhi!"
Teriak seorang laki-laki muda yang lari dari pantai laut, dikejar-kejar oleh orang-orang lain.
Yang dikejar itu memegang sebuah benda kehitaman, berbentuk jamur.
"Ini punyaku, aku yang menemukan! Jangan direbut!"
Teriak seorang laki-laki muda lain sambil lari dikejar orang-orang lain.
Dia lari dari tepi muara sambil mengacungkan sebuah benda ke atas, benda yang berbentuk jamur pula berwarna kemerahan.
"Jangan coba rebut, ini milikku, aku yang menemukan !"
Teriak orang ke tiga, juga dikejar orang-orang tain dan dia memegang sebuah benda berbentuk jamur yang berwarna putih.
Mereka bertiga bertemu di depan pondok dan tidak dapat lari lagi karena dikepung banyak orang.
"Serahkan jamur-jamur itu! Atau kami akan menggunakan kekerasan untuk merampasnya!"
Bentak Raden Jaka Bintara.
"Berikan saja, nanti kalian akan mendapatkan hadiah besar!"
Kata pula Kyai Gagak Mudra.
"Berikan padaku saja, nanti kutukar dengan pusakaku yang ampuh ini!"
Kata Ki Kebondanu sambil mengacungkan pecutnya.
"Sebaiknya berikan padaku, nanti kutukar keris keris pusakaku dan sejumlah uang dinar emas!"
Teriak Kyai Jagalabilawa.
Melihat diri mereka dikepung, tiga orang yang menemukan jamur itu tahu bahwa mereka tidak mungkin mempertahankan pusaka penemuan mereka. Maka dengan cepat mereka lalu memasukkan jamur itu ke dalam mulut mereka, mengunyah cepat dan menelannya!
Semua orang tercengang melihat ini dan banyak tangan dijulurkan untuk menangkap tiga orang itu dan untuk memaksa mereka memuntahkan kembali jamur yang diperebutkan itu.
Pada saat itu terdengar pekik melengking tinggi menusuk telinga dan menggetarkan jantung.
Semua orang menengok dan tampaklah seorang wanita cantik jelita berdiri dekat pondok, di atas sebuah batu besar. Tangan kirinya memegang sebuah kebutan berbulu putih dan di pungungnya tergantung sebatang pedang. Wanita cantik itu mengenakan pakaian dari sutera putih yang mengkhilap tertimpa sinar matahari.
"Kalian semua lelaki tolol!"
Terdengar wanita itu berkata dengan nyaring penuh ejekan, akan tetapi mengandung kedinginan yang merendahkan dan menghina.
Dalam suaranya itu saja dapat dirasakan bahwa wanita cantik berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu mempunyai perasaan yang penuh kebencian.
Semua orang yang memandang menjadi terkejut, apalagi ketika mendengar Pangeran Raden Jaka Bintara berseru.
"Nyi Candra Dewi...!"
Semua orang pernah mendengar nama ini, sebuah nama yang tersohor dengan julukan Iblis Betina dari Banten! Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan mengaduh dan tiga orang yang tadi menemukan Jamur Dwipa Suddhi dan memakannya karena hendak dirampas orang-orang lain itu jatuh bergulingan dan berkelojotan di atas tanah, lalu diam tak bergerak lagi.
Mereka bertiga tewas dalam keadaan mengerikan sekali karena wajah ketiganya berubah menghitam, tanda bahwa mereka keracunan hebat!
Kiranya benda-benda yang mereka kira Jamur Dwipa Suddhi itu mengandung racun yang amat ganas, maka begitu tiga orang itu memakannya, mereka lalu tewas.
"Hemm, Pangeran Jaka Bintara! Andika juga ikut-ikutan memperebutkan Jamur Dwipa Suddhi? Masih baik bahwa bukan andika yang begitu bodoh untuk makan racunku, kalau andika yang menemukan dan memakannya, Kerajaan Banten akan kehilangan salah seorang pangerannya!"
Kata wanita cantik itu yang bukan lain adalah Candra Dewi.
"Ah, Nyi Candra Dewi, kiranya andika yang sengaja memasang umpan dengan jamur-jamur palsu yang mengandung racun itu?"
Tanya Jaka Bintara yang pernah tergila-gila kepada Candra Dewi yang merupakan tokoh terkenal dari Banten itu akan tetapi tidak berani memaksakan keinginannya terhadap wanita itu karena maklum betapa saktinya Candra Dewi.
"Benar, akulah yang menyebar jamur-jamur palsu beracun itu!"
Wanita itu mengaku dengan jujur sambil tersenyum.
Baru sekarang tampak Candra Dewi tersenyum. Sebetulnya senyuman itu membuat wajahnya menjadi semakin cantik manis dan menarik, akan tetapi matanya tidak ikut tersenyum, melainkan memandang dengan sinar mata dingin sekali.
"Akan, tetapi kenapa? Kenapa andika melakukan itu, Nyi Candra Dewi?"
Tanya pangeran Banten itu dengan suara mengandung penasaran karena perbuatan datuk wanita itu sungguh amat berbahaya, bagi dia juga.
Andaikata dia yang menemukan Jamur palsu itu dan memakannya, bukankah dia yang akan mati mengerikan seperti tiga orang itu?
"Kenapa? Tentu saja agar andika sekalian pergi dari sini karena hanya aku yang berhak mendapatkan Jamur Dwipa Suddhi dan hanya aku seorang yang boleh mencarinya di daerah ini. Karena itu, pergilah kalian dari sini kalau tidak ingin mati seperti tiga orang itu!"
Ucapan dan pengakuan Candra Dewi itu tentu saja membuat semua orang menjadi marah sekali. Perbuatan wanita itu sungguh telah membuat mereka tadi terancam bahaya maut! Mereka yang muda biarpun marah, tidak berani menyatakan karena mereka merasa jerih terhadap datuk wanita yang namanya tersohor itu.
Akan tetapi para datuk besar seperti Ki Kebondanu, Kyai Jagal-abilawa, Kyai Cagak Mudra bersama Jaka Bintara tidak takut. Ki Kebondanu, jagoan Surabaya yang bertubuh tinggi besar dan berwatak brangasan (pemarah) itu segera melangkah maju menghadapi Candra Dewi.
"Nyi Candra Dewi, engkau perempuan sombong! Biarpun namamu terkenal sebagai Iblis Betina dari Banten, Jangan mengira bahwa aku Ki Kebondanu takut padamu! Aku juga berhak mencari Jamur Dwipa Suddhi di daerah ini dan tidak seorangpun, termasuk engkau boleh mengusirku!"
Setelah berkata demikian, Ki Kebondanu sudah mengambil pecutnya dari ikat pinggang, memegang gagang dan gulungan pecut itu dengan sikap menantang.
"Hemm, inikah Ki Kebondanu jagoan Surabaya itu? Yang sudah keok (kalah) melawan Mataram? Namamu Kebondanu dan memang engkau goblok seperti kerbau, berani menantangku. Kakek busuk, bersiaplah untuk mampus!"
Candra Dewi menggerakkan kebutan di tangan kirinya sambil mengeluarkan pekik melengking.
Suara pekik melengking itu saja sudah hebat bukan main. Mereka yang muda-muda dan kurang tinggi kepandaiannya, cepat menutupi kedua telinga mereka dengan tangan, bahkan ada yang sudah terpelanting diserang getaran suara yang amat hebat itu.
Kebutan Candra Dewi menyambar, mengeluarkan suara berdesing nyaring, bagaikan kilat menyerang ke arah kepala Kebondanu.
Ki Kebondanu yang sudah marah sekali karena dimaki dan dihina, menyambut serangan kebutan itu dengan pecutnya. Sekali menggerakkan gagang pecut dan melepaskan gulungan, pecut yang panjangnya sekitar dua meter itu melecut dan menyambut sambaran kebutan.
"Tarrr...!"
Terdengar ledakan ketika ujung pecut bertemu dengan bulu kebutan berbulu putih. Serangan kebutan itu tertangkis, akan tetapi Ki Kebondanu terkejut bukan main karena ujung pecutnya putus sekitar dua jengkal ketika bertemu bulu kebutan! Pecutnya bukan sembarang pecut, melainkan pecut pusa-ka yang terbuat dari serat pilihan, sudah "diisi"
Dengan mantra dan merupakan senjata pusaka ampuh.
Batu karang akan hancur disambar ujung pecutnya, akan tetapi sekali ini begitu bertemu kebutan wanita itu, ujung pecutnya putus! Dia menjadi semakin marah akan tetapi diam-diam juga agak gentar karena dia maklum bahwa tenaga dan kepandaian Iblis Betina Banten ini benar-benar amat tinggi dan kuat.
Ki Kebondanu lalu menyerang dengan nekat, menggunakan pecutnya yang ujungnya telah putus. Walaupun pecut itu telah putus ujungnya, namun serangannya masih dahsyat dan ujung pecut itu masih meledak-ledak ketika menyambar-nyambar ke arah tubuh Candra Dewi.-
Semua orang yang berada di situ merasa marah kepada Candra Dewi.
Tiga orang di antara mereka telah tewas secara mengerikan karena makan jamur palsu yang beracun dan jamur beracun itu ditujukan untuk mengusir mereka semua. Tentu saja mereka semua menganggap Candra Dewi sebagai musuh.
Biarpun ada sebagian dari mereka yang telah meninggalkan daerah itu seperti Wiku Menak Jelangger, Resi Sapujagad, dan Bhagawan Dewokaton, namun jumlah mereka masih ada belasan orang.
Melihat betapa Ki Kebondanu sudah berani menantang Candra Dewi dan kini keduanya sudah bertanding, Kyai Jagalabilawa juga telah mencabut kerisnya dan melompat ke depan membantu Ki Kebondanu mengeroyok Candra Dewi.
Melihat ini, dua belas orang yang lebih muda sudah mencabut senjata masing-masing dan mereka juga membantu kedua orang datuk itu mengeroyok wanita yang mereka anggap seperti iblis yang mengancam keselamatan mereka semua.
Kini Candra Dewi dikeroyok oleh empat belas orang! Wanita itu kembali mengeluarkan pekik melengking dan mengamuk, kini bukan hanya dengan kebutan berbulu putih di tangan kirinya, juga ia telah mencabut pedang dengan tangan kanannya dan memainkan pedang itu dengan hebat.
Kalau kebutannya berubah menjadi gulungan sinar putih, maka pedangnya bagaikan kilat menyambar-nyambar dan segera terdengar pekik-pekik kesakitan ketika para pengeroyok yang muda satu demi satu roboh dan tewas seketika disambar pedang atau kebutan!
Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra hanya menonton. Bagaimanapun juga, Candra Dewi adalah seorang tokoh Banten, maka mereka merasa tidak enak kalau harus ikut mengeroyoknya. Maka, hanya menonton saja dari pinggiran dan diam-diam mengagumi sepak terjang Candra Dewi yang demikian ganas dan dahsyatnya.
Perkelahian itu memang hebat sekali, seru dan mengerikan. Perkelahian ini membuktikan betapa dahsyatnya Candra Dewi yang sakti mandraguna dan juga kejam bukan main.
Kebenciannya terhadap kaum pria terbukti lagi dengan pembantaian yang dilakukan di tepi Muara Sungai Lorog ini.
Kebenciannya terhadap pria itu agaknya bertambah hebat karena satu-satunya pria di dunia ini yang telah ia putuskan untuk menjadi suaminya karena pria itu telah menjamahnya, yaitu Bagus Sajiwo, telah mati terpendam di perut Bukit Keluwung di Pegunungan Wilis. Karena pemuda itu tewas, ia menjadi begitu kecewa, menyesal dan penasaran sehingga timbul kebenciannya yang lebih hebat kepada kaum pria!
Komentar
Posting Komentar