Langsung ke konten utama

SERULING GADIN

  SERULING GADING  1 2 3 4 5 6 7 8 9 6 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 JILID 1    Puncak Argadumilah menjulang tinggi diselimuti awan putih bergerombol seperti sekelompok domba berbulu putih bergerak perlahan, berarak ke arah selatan. Sinar matahari pagi mulai menerangi permukaan Gunung Lawu yang tanahnya subur dan hijau penuh pohon dan tumbuhan. Kinar matahari pagi yang lembut dan hangat itu masih belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang amat dingin bagi manusia itu. Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah. Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu.    Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan A...

BAGUS SAJIWO JILID 15

    Sinar kebutan berbulu putih dan pedang di kedua tangan Candra Dewi bergulung-gulung dan menyambar-nyambar. Pekik dan jerit saling susul diikuti muncratnya darah dan robohnya para pengeroyok dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, dua belas orang pengeroyok muda sudah roboh semua!

   Tinggal Ki Kebondanu dan Kyai Jagalabilawa berdua yang masih bertahan. Tingkat kepandaian jagoan Surabaya dan tokoh Madiun ini memang cukup tinggi sehingga mereka berdua dengan kerja sama mampu mengimbangi sepak terjang Candra Dewi. Pecut di tangan Ki Kebondanu, walau pun ujungnya putus, masih berbahaya sekali dan Kyai Jagalabilawa yang dapat mengubah dirinya menjadi dua itupun merupakan lawan yang tangguh.

   Akan tetapi Candra Dewi sama sekali tidak gentar, bahkan ia bukan saja dapat menandingi pengeroyokan dua orang itu, melainkan perlahan-lahan dapat mulai mendesak mereka berdua dengan permainan kebutan dan pedangnya.

   Lewat lima puluh jurus mereka bertanding dan kini dua orang pengeroyok itu hanya mampu bertahan saja, tidak mendapat banyak kesempatan untuk membalas karena kedua senjata Candra Dewi sudah mendesak mereka.

"Tarrr...!"

   Ki Kebondanu masih mencoba biarpun terdesak untuk menyerangkan cambuknya ke arah kepala Candra Dewi. Akan tetapi Candra Dewi miringkan tubuhnya ke kanan dan pedangnya menyambar dengan tusukan ke arah dada jagoan Surabaya itu.

   "Singgg... cappp!"

   Pedang itu menembus dada Ki Kebondanu.

   Jagoan Surabaya ini terbelalak dan dia masih sempat menangkap pedang yang memasuki dadanya itu dengan kedua tangannya dan menarik sekuat tenaga.

   Tarikan pada saat terakhir itu kuat sekali sehingga Candra Dewi tidak mampu mempertahankan. Pedangnya terlepas dari pegangan dan Ki Kebondanu roboh terjengkang, terbanting ke atas tanah dalam keadaan telentang dan tewas seketika dengan pedang menembus dada dan kedua tangannya masih mencengkeram pedang itu sehingga kedua tangan itupun berdarah karena telapak tangannya robek!

   Kyai jagalabilawa menjadi ketakutan melihat semua orang roboh dan tewas, Tinggal dia sendiri yang menghadapi amukan iblis betina itu. Akan tetapi dia tidak dapat melarikan diri dan pada saat itu, kebutan bulu putih di tangan Candra Dewi menyambar ke arah bayangannya sebagai orang ke dua.

   Kyai Jagalabilawa menggunakan kesempatan ini untuk menyerang dengan kerisnya. Akan tetapi tiba-tiba Candra Dewi sudah memukul dengan dorongan tangan kanannya sambil memekik.

   "Aji Bajradenta...!"

   Tubuh Kyai Jagalabilawa yang aseli terlempar bagaikan daun kering tertiup angin ketika pukulan ampuh jarak jauh itu dengan telak menghantam dadanya. Dia terbanting roboh dan tewas dengan mata terbelalak, baju bagian dadanya koyak-koyak sehingga tampak dadanya yang berubah hitam seperti angus. Itulah akibat serangan Aji Bajradenta yang amat ampuh dan panas seperti api lahar!

   Kini Candra Dewi mengambil pedangnya yang menancap di dada Ki Kebondanu, membersihkan pedang itu pada pakaian korbannya lalu menyimpannya kembali di punggungnya. Ia berdiri dengan kebutan di tangan kiri dan tangan kanan bertolak pinggang, memandang ke sekeliling, ke arah mayat-mayat empat betas orang yang bergelimpangan dan ia tersenyum mengejek.

   "Huh, laki-laki tolol berani menentangku. Dasar sudah bosan hidup!"

   Ketika terdengar orang bertepuk tangan, Candra Dewi memutar tubuh dan ia melihat Pangeran Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra bertepuk tangan.

   "Hemm, kenapa andika berdua bertepuk tangan?"

   Tanya Candra Dewi dengan pandang mata menyeramkan.

   "Tentu saja kami berdua bertepuk tangan karena kagum dan bangga, Nyi Candra Dewi. Kagum melihat kesaktianmu dan bangga karena kita bertiga datang dari Banten!"

   "Aku tidak membutuhkan pujian andika berdua!"

   Kata Candra Dewi dengan angkuh.

   "Apakah andika berdua juga hendak mencari Jamur Dwipa Suddhi dan memperebutkannya dengan aku?"

   Pangeran Jaka Bintara tidak dapat menjawab dan menoleh kepada paman gurunya seolah minta bantuan. Kyai Gagak Mudra lalu tertawa.

   "Ha-ha-ha, Nyi Candra Dewi. Kita sama-sama orang Banten mengapa harus berebut? Aku kira andika sebagai seorang kawula Banten tentu suka menga-lah terhadap Pangeran Jaka Bintara dan suka meninggalkan daerah ini dan membiarkan sang pangeran mencari dan menemukan Jamur Dwipa Suddhi."

   Candra Dewi menggeleng kepalanya.

   "Aku sudah tiba disini dan siapapun tidak dapat mengusir aku pergi. Aku hanya akan mati atau pergi dari sini kalau ada yang dapat mengalahkan aku!"

   "Ah, diantara kita tidak mungkin harus saling serang. Akan ditertawakan orang seluruh nusantara, terutama oleh Mataram. Sekarang begini saja, Nyi Candra Dewi. Kita saling menguji kesaktian, andika melawan kami berdua. Kalau kami kalah, kami akan meninggalkan tempat ini dan andika boleh seorang diri tanpa saingan mencari Jamur Dwipa Suddhi sampai dapat. Akan tetapi sebaliknya kalau kami menang, kami berhak untuk mencari jamur pusaka itu dan harap andika yang meninggalkan tempat ini. Bagaimana, setujukah andika dengan peraturan ini?"

   Candra Dewi. mengerutkan alisnya. Kalau orang lain, yang membuat peraturan seperti itu, ia tentu akan langsung menyerang dan membunuh karena mereka berdua ia anggap menentang kehendaknya. Akan tetapi tentu saja ia tidak dapat berbuat sesukanya, apalagi membunuh Pangeran Jaka Bintara. Hal ini tentu akan mengakibatkan ia dimusuhi Kerajaan Banten dan tentu saja tak akan aman hidupnya kalau ia menjadi musuh dan orang buruan Kerajaan Banten.

   "Baiklah! Sekarang begini saja, agar aku tidak sampai kesalahan tangan membunuh kalian berdua, kalian boleh menahan tenaga seranganku dengan Aji Bajradenta. Kalau kalian dapat menahannya, anggap saja kalian menang dan aku akan pergi dari sini."

   Kata Candra Dewi dan dengan ucapan ini berarti ia yang mengatur pertandingan menguji kesaktian itu dan ia telah meremehkan mereka berdua.

   Kyai Gagak Mudra yang biasanya tertawa-tawa, kini tersenyum masam karena dia merasa betul betapa dia dipan-dang rendah. Akan tetapi dia tidak ingin memancing kemarahan wanita yang diju-luki lblis Betina Banten itu, maka dia tertawa.

   "Ha-ha-ha, baik sekali, Nyi Candra Dewi. Mari kita mengadu kekuatan tenaga sakti lewat pukulan jarak jauh. Kami berdua akan berusaha untuk menahan dorongan tenaga saktimu yang panas itu."

   Dia lalu menoleh kepada Jaka Bintara.

   "Pangeran, mari kita bersiap dan kerahkan Aji Ilastanala (Tenaga Api) untuk menyambut Aji Bajradenta dari Nyi Candra Dewi."

   Jaka Bintara mengangguk dan ia lalu memasang kuda-kuda. Kedua lutut ditekuk sehingga tubuhnya merendah dan setelah membaca mantra dan menggosok-gosok kedua tangan, maka kedua telapak tangannya mengepulkan asap dan kedua telapak tangan itu memerah seperti bara api!

   Kyai Gagak Mudra melakukan hal yang sama dan sudah memasang kuda-kuda, siap menyambut dorongan tangan ampuh Iblis Betina Banten itu.

   Melihat betapa dua orang lawannya sudah siap dengan Aji Hastanala yang dikenalnya sebagai pengerahan tenaga sakti yang Juga bersifat panas, Candra Dewi tersenyum mengejek. Dia lalu mengerahkan tenaga saktinya, menyalurkannya lewat kedua lengannya setelah ia menyelipkan kebutan di ikat pinggangnya kemudian dia berseru.

   "Sambutlah Aji Bajradenta!!"

   Tenaga sakti yang dahsyat menyambar dari kedua telapak tangan Candra Dewi yang terbuka dan didorongkan ke arah kedua orang itu.

   Dua orang itu menyambut sambaran hawa pukulan yang dahsyat itu.

   "Desss...!!"

   Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra terkejut bukan main ketika merasakan hawa yang amat dingin menyerang pertahanan mereka!

   Hawa dingin itu seolah air yang diguyurkan kepada api sehingga tenaga Hastanala mereka melemah dan tubuh merekapun terdorong ke belakang. Mereka terhuyung dan hampir jatuh. Demikianlah hebatnya Aji Bajradenta (Halilintar Putih) dari Candra Dewi itu. Dapat dikerahkan sesuka hatinya, disesuaikan keadaan lawan. Dapat menjadi tenaga yang berhawa panas dan sebaliknya dapat menjadi tenaga berhawa dingin.

   Candra Dewi berdiri tegak dan bertolak pinggang, mulutnya tersenyum mengejek.

   "Bagaimana, Kyai Gagak Mudra dan Pangeran Jaka Bintara?"

   Kyai Gagak Mudra lalu berkata.

   "Hemm, Nyi Candra Dewi memang sakti mandraguna. Kami berdua mengaku kalah dan kami akan kembali ke Banten. Kami harap saja andika akan dapat menemukan Jamur Dwipa Suddhi."

   "Terima kasih."

   Kata Candra Dewi dengan hati lega.

   Iapun merasa tidak enak kalau harus bermusuhan dengan mereka, terutama dengan Pangeran Jaka Bintara.

   Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra lalu meninggalkan tempat itu, adapun Candra Dewi masih berdiri memandang ke sekeliling. Akan tetapi, Pangeran Jaka Bintara teringat akan sesuatu dan dia menahan paman gurunya yang juga berhenti melangkah, Kemudian Jaka Bintara memutar tubuh menghampiri lagi Candra Dewi yang beium jauh dia tinggalkan.

   "Nyi Candra Dewi, aku ingin memberi tahukan sesuatu yang amat penting kepadamu!"

   Kata pangeran itu dan dia memandang kepada wajah yang jelita itu dengan kagum dan timbul gairah yang tampak pada pandang matanya.

   Melihat gairah membayang di mata pangeran itu, seperti yang sering dilihatnya pada pandang mata setiap pria yang bertemu dengannya, Candra Dewi mengerutkan alisnya. Biasanya, pandang mata seperti itu saja sudah cukup baginya untuk membunuh orang! Akan tetapi tentu saja ia tidak dapat menyamakan pria ini dengan pria-pria lainnya. Ini adalah seorang pangeran, pangeran Kerajaan Banten lagi!

   "Ada apa, pangeran?"

   Tanyanya.

   "Nyi Candra Dewi, kemarin adikmu, Nyi Maya Dewi, dibunuh orang di muara ini."

   Kata Jaka Bintara sambil menuding ke arah tengah muara.

   Sepasang mata yang indah namun pandangannya dingin membeku itu terbelalak.

   "Tidak mungkin! Pangeran Jaka Bintara, jangan andika mencoba untuk membohongi aku!"

   Bentaknya.

   "Aku tidak berbohong! Kalau tidak percaya, tanyakan saja kepada paman guru Kyai Gagak Mudra ini. Kami berdua menyaksikan sendiri pembunuhan itu."

   Nyi Candra Dewi memandang tajam penuh selidik kepada Kyai Gagak Mudra.

   "Benarkah andika juga melihat Maya Dewi dibunuh orang, Kyai Gagak Mudra?"

   Tokoh Banten itu mengangguk.

   "Benar, kami melihatnya sendiri."

   "Ahhh...!"

   Dua orang itu mengira bahwa seruan ini menunjukkan bahwa Candra Dewi merasa berduka, padahal sebenarnya tidak demikian.

   Tadinya ia merasa heran dan tidak percaya karena ia mengira bahwa Maya Dewi sudah mati tertimbun tanah di perut Bukit Keluwung bersama Bagus Sajiwo. Kalau begitu, mereka tidak mati tertimbun!

   "Pangeran, bagaimana terjadinya pembunuhan itu? Dan apakah Maya Dewi datang kesini seorang diri? Ceritakanlah yang jelas, pangeran!"

   "Kemarin aku dan paman guru mengundang para datuk yang datang untuk mencari Jamur Dwipa Suddhi ke pondok kami. Kami mengadakan pesta untuk mereka semua yang telah datang ke daerah muara ini. Kemudian muncul Maya Dewi dan ia membikin kacau dan keributan di pondok, berkelahi dengan kami berdua dan semua orang."

   "Ia datang seorang diri?"

   Candra Dewi memotong.

   "Tidak, ia datang bersama seorang pemuda remaja yang ternyata sakti mandraguna sehingga semua yang mengeroyok mereka terpaksa melarikan diri meninggalkan mereka berdua di pondok."

   "Ahhh...!"

   Seruan ini mengandung kegirangan besar.

   Memang hati Candra Dewi bersorak. Bagus Sajiwo masih hidup Suaminya masih hidup! Ia sudah menganggap pemuda itu sebagai suaminya, karena dialah satu-satunya pria yang pernah menjamah tubuhnya, pernah menggigit dan merasakan darahnya.

   "Lalu bagaimana?"

   Ia ingin tahu sekali apa yang terjadi selanjutnya.

   "Kemudian kami melihat mereka berdua meninggalkan pondok dan menghampiri muara. Pada saat itu muncul delapan orang dan mereka menghujani Maya Dewi dan pemuda remaja itu dengan tembakan dari senapan mereka."

   "Siapa jahanam-jahanam itu?"

   Tanya Candra Dewi.

   "Tidak tahu, akan tetapi mungkin sekali mereka itu mata-mata kaki tangan Kumpeni Belanda karena mereka semua membawa senjata api."

   "Dan tembakan-tembakan itu mengenai Maya Dewi dan... pemuda itu?"

   "Entah, kami tidak melihat dengan jelas. Akan tetapi Maya Dewi dan pemuda itu terjatuh ke dalam muara dan tidak pernah muncul lagi. Mungkin sekali mereka tewas terkena tembakan delapan orang itu."

   "Keparat jahanam!"

   Candra Dewi menjerit dan ia mencabut pedang dengan tangan kanan dan mengambil kebutan dengan tangan kiri.

   "Akan kubunuh mereka! Dimana delapan orang itu? Mereka harus mampus di tanganku!"

   Wanita itu tampak marah sekali.

   Jaka Bintara dan paman gurunya tentu saja mengira bahwa Candra Dewi marah mendengar adiknya, Maya Dewi, dibunuh orang-orang yang membawa senapan. Akan tetapi sebetulnya Candra Dewi marah karena mendengar Bagus Sajiwo dibunuh orang, bukan karena Maya Dewi yang dibunuh.

   Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra merasa gentar melihat Candra Dewi marah sekali dan mereka juga terheran-heran melihat betapa kini kedua mata wanita itu mengeluarkan air mata yang menetes-netes di atas kedua pipinya. Betapa besar rasa sayang iblis betina ini kepada adiknya, pikir mereka.

   "Kami juga tidak tahu. Tadinya mereka berada di tepi muara, agaknya menjaga kalau-kalau Maya Dewi dan pemuda temannya itu muncul kembali. Akan tetapi setelah menunggu lama kedua orang itu tidak muncul, maka mereka lalu pergi meninggalkan tempat ini, entah kemana perginya."

   Kata Jaka Bintara.

   "Siapa nama mereka? Beritahukan kepadaku!"

   Candra Dewi membentak.

   "Kami juga tidak tahu dan tidak mengenal mereka. Mereka berpakaian seperti penduduk biasa, usia mereka antara sekitar dua puluh lima sampai empat puluh tahun. Sudah, Nyi Candra Dewi, kami hendak pergi sekarang."

   Pangeran dari Banten dan paman gurunya itu lalu pergi meninggalkan Candra Dewi yang masih memegang kebutan dan pedang.

   Setelah dua orang tokoh Banten itu tidak tampak lagi, Candra Dewi mengeluarkan pekik melengking berulang-ulang dan ia lalu mengamuk. Ia menggunakan pedangnya dan kebutannya menyerang

   apa saja yang berada di depannya. Batu-batu karang pecah berantakan, lalu ia berlari dan mendaki bukit sambil tetap membacoki apa saja yang berada di depannya dengan pedang. Kebutannya juga menyambar-nyambar dahsyat dan setiap kali mengenai batu karang, terdengar ledakan dan batu karang itu pecah berhamburan!

   Ia marah, penasaran dan kecewa sekali. Bagus Sajiwo yang telah ia tetapkan menjadi suaminya itu ternyata tidak mati tertimbun batu di perut Bukit Keluwung, akan tetapi baru saja mendengar pemuda yang ia anggap sebagai suaminya itu masih tetap hidup, lalu mendengar pula bahwa pemuda itu tewas tertembak dan tenggelam ke dalam muara Sungai Lorog!

   Tiba-tiba Candra Dewi melihat bayangan orang di atas bukit karang. Kalau wanita ini sedang marah, maka siapapun yang dijumpainya akan menjadi korban pelampiasan kemarahannya. Apalagi ketika itu begitu melihat bayangan orang, ia mengira bahwa orang itu tentu seorang diantara para pembunuh Bagus Sajiwo.

   Maka ia lalu berlari secepat terbang mendaki bukit, mengejar bayangan orang itu.

   Akan tetapi setelah dekat, ia merasa kecewa sekali melihat dari belakang bahwa orang itu adalah seorang wanita Rambut hitam lebat itu digelung dan ada ronce-ronce kembang melati menghias sanggul wanita itu.

   Kekecewaannya mendapat kenyataan bahwa orang itu jelas bukan seorang diantara para pembunuh Bagus Sajiwo membuat kemarahannya semakin berkobar. Ia melompat ke depan, menerjang dan memukul kepala wanita itu dari belakang, yakin bahwa kepala wanita itu akan pecah dan hancur berantakan terkena tamparan tangannya yang dahsyat!

   "Wuuuttt... plakkk!"

   Wanita itu telah membalikkan tubuhnya dan tangan kanannya menangkis dari samping.

   Pertemuan kedua tangan yang sama mungil, lembut dan berkulit putih mulus itu hebat bukan main dan keduanya tergetar dan terdorong ke belakang beberapa langkah. Candra Dewi terkejut bukan main. Ia memandang wanita di depannya dengan alis berkerut.

   Ternyata wanita itu adalah seorang gadis yang usianya sekitar dua puluh satu tahun, cantik jelita, terutama mata dan mulutnya amat indah dan memiliki daya tarik yang kuat. Rambutnya yang disanggul rapi itu dihias untai kembang melati sehingga keharumannya dapat tercium oleh Candra Dewi.

   "Siapa engkau?"

   Bentak Candra Dewi dengan bermacam perasaan mengaduk hatinya. Terkejut, heran, penasaran dan marah.

   Gadis itu bukan lain adalah Sulastri yang kini menggunakan nama Ni Melati Puspa, ketua dari perkumpulan Melati Puspa.

   Seperti kita ketahui, ia meninggalkan Gunung Liman dimana perkumpulannya berada, dengan niat untuk merantau karena ia sudah mulai merasa bosan berdiam diri di Gunung Liman. Ia ingin mencari Lindu Aji. Akan tetapi dalam perjalanannya, ia mendengar pula tentang Jamur Dwipa Suddhi yang kabarnya berada di Muara Sungai Lorog, maka iapun segera membelokkan perjalanannya dan menuju ke daerah itu untuk ikut mencari jamur ajaib yang kabarnya mempunyai khasiat yang amat luar biasa dapat menguatkan tubuh itu.

   Tadi, ketika ia tiba di bukit karang tentu saja ia mengetahui bahwa ada orang mengejarnya. Ia sengaja berpura-pura tidak tahu. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba pengejarnya yang sudah berada di belakangnya itu menyerangnya dengan tamparan tangan yang mengandung hawa pukulan amat dahsyat. Ia cepat memutar tubuh dan menangkis yang mengakibatkan ia dan penyerangnya terdorong mundur.

   Ketika melihat penyerangnya, seorang wanita berpakaian sutera putih, membawa pedang di punggung dan kebutan di pinggang, tahulah Ni Melati Puspa bahwa wanita inilah yang diceritakan oleh Jayeng, wanita yang mengamuk menghancurkan batu-batu dan menumbangkan pohon-pohon lalu membakar rumah yang tadinya menjadi tempat tinggal Maya Dewi.

   "Aha, kiranya. engkau yang dulu mengamuk, memukuli batu dan pohon, membakar rumah, seperti orang sinting itu? Dan ternyata engkau benar-benar sinting, buktinya tiada hujan tiada angin engkau menyerangku dan belakang. Eh, sobat, sayang sekali, engkau cukup cantik kenapa menjadi gendheng (idiot)? Apakah engkau ditinggal pacarmu?"

   Ni Melati Puspa menggoda.

   Setelah meninggalkan perkumpulan Melati Puspa dimana ia menjadi ketuanya, dan melanjutkan perjalanan merantau, muncul kembali watak aseli Sulastri yang jenaka, gagah dan suka berkelakar.

   "Keparat! Sebelum mati di tanganku, katakan dulu siapa namamu agar engkau tidak mampus tanpa nama!"

   Bentak Candra Dewi galaK.

   "Engkau benar! Tidak baik mati tanpa diketahui namanya, karena itu katakan dulu siapa namamu karena mungkin sekali engkau yang akan mati."

   Candra Dewi menjadi semakin marah. Akan tetapi iapun tahu bahwa gadis di depannya ini bukan orang sembarangan dan akan merupakan seorang lawan yang cukup tangguh.

   "Katakan dulu siapa namamu, baru aku akan memperkenalkan nama!"

   Kembali Candra Dewi membentak dengan ketus.

   "Wah, engkau ini sungguh tidak mengenal sopan santun. Engkau yang lebih dulu bertanya, engkau pula yang lebih dulu menyerang. Sudah sepantasnya engkau pula yang lebih dulu memperkenalkan nama!"

   Candra Dewi bukan seorang yang pandai bicara. Dikocok dengan kata-kata seperti itu oleh Ni Melati Puspa, wajahnya berubah kemerahan dan matanya seperti berapi.

   "Keparat, dengarkan baik-baik, aku adalah Nyi Candra Dewi, Iblis Betina dari Banten!"

   Kata-kata ini diucapkan dengan nada suara nyaring berwibawa karena Candra Dewi yakin bahwa namanya akan membuat gadis di depannya itu menjadi kuncup hatinya dan surut nyalinya.

   Akan tetapi ia salah sangka. Ni Melati Puspa sama sekali tidak terkejut karena ia memang belum pernah mendengar nama datuk wanita Banten itu. Ia malah tersenyum manis sekali, lalu membusungkan dadanya yang indah lekuk lengkungnya, menegakkan kepalanya, dan berkata dengan suara dibuat seangker mungkin.

   "Sekarang buka telinga dan matamu lebar-lebar, jangan sampai kaget dan mati berdiri mendengar namaku. Aku adalah Ni Melati Puspa dan julukanku... hemm, julukanku Si Pembasmi Iblis Betina!"

   Tentu saja ia sengaja memakai nama julukan ini hanya untuk membuat wanita galak itu menjadi semakin marah.

   Benar saja, mendengar kata-kata yang amat mengejek dan menghinanya itu, Candra Dewi memuncak kemarahannya. Kedua tangannya membentuk cakar dan dari kedua telapak tangannya mengepul asap! Melihat ini, Ni Melati Puspa diam-diam bersiap siaga karena maklum bahwa lawannya amat berbahaya.

   "Sambut Aji Bajradenta ini!"

   Candra Dewi berseru dan ketika kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka didorongkan ke arah Ni Melati Puspa, hawa panas sekali menyambar dengan dahsyatnya.

   Ni Melati Puspa mengenal pukulan maut yang ampuh sekali, maka ia tidak berani sembrono menyambut pukulan jarak jauh itu dan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya untuk mengelak dengan cepat ke samping. Hawa pukulan panas itu lewat di samping tubuhnya dan Ni Melati Puspa segera membalas dengan pukulan jarak jauh pula, yaitu Aji Margopati.

   "Wuuuttt... desss!!"

   Candra Dewi sudah menarik kedua tangannya yang luput memukul, lalu menyambut pukulan Aji Margopati itu dengan tangan kirinya sehingga telapak tangan kirinya bertemu dengan telapak tangan kanan Ni Melati Puspa.

   Hebat sekali pertemuan kedua telapak tangan itu. Keduanya terpental ke belakang dan terhuyung. Akan tetapi kalau Ni Melati Puspa terdorong mundur lima langkah, Candra Dewi hanya terdorong mundur tiga langkah. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa Melati Puspa masih kalah kuat tenaga saktinya!

   Diam-djam Ni Melati Puspa terkejut. Ia tahu benar bahwa lawannya memiliki kesaktian yang tidak boleh dipandang ringan, akan tetapi tidak disangkanya bahwa tenaga sakti Candra Dewi sedemikian kuatnya. Maklum bahwa ia tidak akan menang kalau mengandalkan adu tenaga sakti,

   Ni Melati Puspa segera mencabut pedang dari punggungnya. Tampak sinar hijau berkelebat ketika Kyai Naga Wilis terhunus dari sarungnya yang terukir bunga melati.

   "Singgg...!"

   Sinar hijau yang menyilaukan mata itu membuat Candra Dewi terkejut juga.

   Ia mengenal pusaka ampuh maka iapun cepat mencabut pedang dengan tangan kanan dan kebutan berbulu putih dengan tangan kiri. Dua orang wanita yang sama cantiknya itu kini saling berhadapan dengan senjata di tangan, mata mereka mencorong dan mudah diduga bahwa mereka akan bertanding mati-matian melawan musuh yang sakti mandraguna!

   "Hyaaaattt...!"

   Ni Melati Puspa menyerang.

   Sinar hijau meluncur ke arah tenggorokan Candra Dewi, bagaikan bintang jatuh. Candra Dewi tidak berani menyambut langsung dengan pedang atau kebutannya karena ia maklum bahwa pedang bersinar hijau itu amat berbahaya. Maka ia dengan cepat mengelak, tubuhnya bergerak ke kiri dan ketika sinar hijau itu masih menyambarnya, ia memutar tubuh dan menggunakan kebutannya untuk mengebut sinar hijau itu. Walau-pun bukan pedangnya yang langsung menyerang, namun sinar pedang itu masih dapat melukainya, setidaknya dapat merobek bajunya.

   "Prat!"

   Kebutan berhasil menghalau sinar hijau, akan tetapi beberapa helai bulunya rontok!

   Candra Dewi terkejut dan marah sekali. Dugaannya benar. Pedang lawan yang bersinar hijau itu ampuhnya bukan main. Maka iapun cepat membalas dengan serangan bertubi, menggunakan pedang dan kebutannya.

   Terjadilah saling serang yang seru. Keduanya mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaga. Akan tetapi, setelah saling serang selama hampir seratus jurus, dimana Ni Melati Puspa mengerahkan seluruh kemampuannya untuk melindungi dirinya, akhirnya dia terdesak hebat oleh kebutan dan pedang Candra Dewi yang memang tangguh sekali itu.

   Sebetulnya, tingkat ilmu yang mereka kuasai tidak banyak selisihnya, akan tetapi Candra Dewi menang pengalaman dan juga tokoh sesat yang dijuluki Iblis Betina dari Banten ini menguasai banyak jurus-jurus yang licik dan curang di samping keganasannya yang membuat setiap serangannya merupakan ancaman maut bagi lawannya.

   Biarpun Ni Melati Puspa didesak hebat, namun gadis ini masih dapat mempertahankan dirinya sehingga belum terkena sepasang senjata lawannya yang sakti mandraguna itu. Diam-diam Ni Melati Puspa penasaran juga. Ia tadi sudah mengeluarkan semua ajinya, termasuk Aji Margopati dan Aji Guruh Bumi yang hebat. Namun semua serangannya dengan ajian yang ampuh itu dapat dipunahkan lawan. Dan kini lawannya mendesak dengan hebat. Ni Melati Puspa hanya mampu melindungi dirinya dengan keampuhan pedang Naga Wilis yang dimainkannya dengan ilmu pedang yang didasari ilmu silat Sunya Hasta.

   Nyi Candra Dewi juga amat penasaran. Selama ini, jarang sekali ia menemui tanding, bahkan selama hidupnya baru sekali ia dikalahkan orang, yaitu ketika ia bertemu dengan Resi Tejo Wening yang dulu bertapa di Gunung Sanggabuwana di Banten. Ia merupakan datuk wanita yang sukar ditandingi di Banten. Akan tetapi kini, di daerah Mataram, kalau tadi ia mengamuk membunuh banyak orang dan tidak menemukan lawan yang dianggap berat, kini melawan seorang gadis muda saja sampai seratus jurus ia belum mampu merobohkannya!

   Lawannya benar-benar memiliki ilmu silat yang hebat dan pedang yang ampuh sekali sehingga ia hanya mampu mendesak dan sebegitu jauh belum juga mampu merobohkannya. Ia telah mengeluarkan jurus-jurus simpanan yang penuh tipu daya, namun pertahanan lawan sungguh kuat dan rapat. Pedang ditangan lawan itu lenyap, berubah menjadi gulungan sinar hijau yang menyelimuti tubuhnya sehingga sukar sekali bagi kebutan dan pedangnya untuk mengenai tubuh lawan yang dapat bergerak demikian ringan dan lincahnya.

   Candra Dewi adalah seorang yang cerdik dan banyak pengalaman. Ia segera teringat betapa lawannya kalah banyak dalam tenaga sakti ketika mereka tadi mengadu kekuatan. Dengan kelebihan tenaga sakti inilah ia akan mampu merobohkan dan membunuh lawan yang ulet ini, pikirnya.

   Maka ia lalu mengubah serangannya. Kini tidak menyerang ke arah tubuh Ni Melati Puspa, melainkan menyerang ke arah pedangnya yang bersinar hijau! Ia sengaja mengerahkan tenaga sakti untuk mengadu pedangnya dengan pedang lawan. Juga kebutannya mengeroyok dan menyerang pedang lawan!

   Terdengar bunyi berdentangan bertubi-tubi. Ni Melati Puspa terkejut sekali. Setiap kali mereka mengadu kekuatan lewat pedang, tangannya tergetar hebat.

   Lawannya terus saja menyerang ke arah pedangnya. Memang bulu kebutan itu banyak yang rontok dan ujung pedang ditangan Candra Dewi bahkan pa ah. Akan tetapi di lain pihak, Ni Melati Puspa merasa lengan kanannya pegal dan lelah, telapak tangannya yang memegang pedang terasa panas dan perih!

   Melihat hasil siasatnya, Candra Dewi merasa girang dan ia lalu mengerahkan seluruh tenaganya, menggerakkan kebutan di tangan kirinya. Kebutan itu menyambar ke depan melibat pedang Naga Wilis, lalu pedangnya menyambar, menghantam pedang Naga Wilis dengan kuatnya.

   "Tranggg."!!"

   Pedang di tangan Candra Dewi patah tengahnya menjadi dua potong, akan tetapi pedang Naga Wilis terlepas dari tangan Ni Melati Puspa dan terenggut oleh kebutan.

   Candra Dewi lalu menyambar pedang lawan itu setelah membuang gagang pedangnya sendiri.

   Ni Melati Puspa terkejut bukan main. Tadi ia tidak kuat lagi mempertahankan pedangnya karena hantaman pedang lawannya membuat pedangnya terpental dan jari-jari tangannya tidak dapat mempertahankan karena seperti lumpuh tak bertenaga. Ia melompat ke belakang dan memandang dengan mata terbelalak betapa pedang Naga Wilis telah terampas lawan.

   Dengan mengeluarkan pekik melengking Candra Dewi melompat ke depan dan menyerang Ni Melati Puspa dengan sepasang senjatanya.

   Sinar hijau menyambar ketika pedang Naga Wilis yang telah berpindah tangan itu menyambar dengan tebasan ke arah leher pemiliknya. Ni Melati Puspa yang sudah tidak memegang senjata lagi, cepat mengelak ke belakang. Akan tetapi sinar putih kebutan menyambar, bulu-bulu kebutan itu menjadi kaku karena terisi tenaga sakti, menotok ke arah dada Ni Melati Puspa.

   Gadis ini sekali lagi mengelak ke kiri dan kakinya mencuat, menendang ke arah perut Candra Dewi. Akan tetapi ia harus cepat mengurungkan tendangannya karena Candra Dewi mengelebatkan pedangnya sehingga kalau tendangan tadi dilanjutkan, kaki kiri Ni Melati Puspa tentu akan menjadi buntung bertemu dengan Kyai Naga Wilis!

   Nyi Candra Dewi kini menyerang lagi dengan ganas dan dahsyatnya Ni Melati Puspa hanya dapat menghindarkan diri dengan gerakan silat Sunya Hasta.

   Untung ia telah menguasai ilmu silat tangan kosong ini dengan baik. Ilmu silat ini memiliki gerakan lincah dan langkah-langkahnya aneh, namun selalu dapat menghindarkan diri dari serangan lawan. Ni Melati Puspa tidak melihat lubang atau kesempatan untuk melarikan diri lagi, maka ia hanya mengandalkan kelicahannya untuk menyelamatkan diri dari sambaran kedua senjata lawan yang ampuh itu.

   Bagaimanapun lincahnya Ni Melati Puspa, namun berkelahi hanya mengandalkan kemampuan mengelak tanpa membalas serangan lawan yang bertubi-tubi tak mungkin dapat dipertahankan terlalu lama. Apalagi yang ia hadapi bukan lawan biasa, melainkan Candra Dewi yang memiliki kesaktian yang tinggi.

   Akhirnya, dalam suatu kesempatan baik, kebutan Nyi Candra Dewi berkelebat dan bulu-bulu kebutan berhasil membelit betis Ni Melati Puspa dan sekali sendal (tarik kuat-kuat secara mendadak), tak dapat dihindarkan lagi tubuh Ni Melati Puspa terguling roboh telentang!

   "Mampuslah!"

   Nyi Candra Dewi berseru dan ia mengangkat pedang Naga Wilis ke atas untuk dibacokkan ke arah kepala Ni Melati Puspa.

   Ni Melati Puspa tidak dapat mengelak lagi. Satu-satunya jalan hanyalah menangkis dengan lengannya. Namun, ia tahu bahwa walaupun ia akan melindungi lengannya dengan tenaga sakti, tidak mungkin kekebalan lengannya dapat menahan keampuhan Pedang Naga Wilis.

   Daripada lengannya buntung dan akhirnya iapun akan mati, lebih baik langsung mati tanpa mengalami siksaan dulu. Maka, Ni Melati Puspa membuka mata lebar-lebar, siap menerima bacokan pedangnya sendiri yang akan menamatkan r-wayatnya. Ia ingin mati dengan mata terbuka menanti datangnya tangan maut, mati sebagai seorang gagah perkasa!

   Akan tetapi, pada saat yang amut gawat bagi keselamatan Ni Melati Puspa itu, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dan pedang Naga Wilis yang sudah membacok ke bawah itu tertangkis oleh sesuatu.

   "Tranggg...!!"

   Pedang itu terpental dan Candra Dewi cepat melompat ke belakang dengan hati terkejut bukan main.

   Pedang itu tertangkis oleh benda keras yang amat kuat, yang membuat lengan kanannya seperti lumpuh dan tergetar hebat!

   Ketika ia memandang, ia menjadi seniakin kaget dan heran karena yang menangkisnya itu adalah seorang pemuda yang memegang sebatang ranting pohon dan kayu sebesar lengan itu masih basah, bahkan ada beberapa helai daun masih menempel pada ranting itu!

   Bagaimana mungkin? Hanya sebatang ranting pohon dapat menangkis pedang pusaka itu dan hampir saja membuat ia melepaskan pedang? Ia merasa penasaran dan marah, cepat ia menerjang kedepan, menusukkan pedangnya ke arah dada pemuda itu. Pemuda itu menggerakkan rantingnya menangkis.

   "Tranggg...!"

   Kembali Candra Dewi merasa tangannya tergetar hebat sehingga ia cepat melompat ke belakang.

   Sementara itu, Ni Melati Puspa yang tadi sudah menanti datangnya maut, merasa seperti bermimpi ketika ia tidak jadi mati. Apalagi ketika ia melihat pemuda yang telah menolongnya.

   "Kakangmas Aji...!!"

   Sulastri berseru sambil melompat berdiri.

   Melihat betapa saktinya pemuda itu dan tampaknya Ni Melati Puspa mengenal baik pemuda itu, Candra Dewi menjadi gentar. Ia maklum bahwa melawan pemuda itu saja sudah merupakan lawan yang amat berat, apalagi kalau ia dikeroyok oleh pemuda itu dan Ni Melati Puspa. Akan celakalah dirinya! Maka, ia lalu melompat jauh dan melarikan diri seperti terbang cepatnya meninggalkan tempat itu.

   Sambil berlari cepat, Candra Dewi marah sekali kepada dirinya sendiri. Ia merasa malu kepada dirinya sendiri. Belum pernah selama hidupnya ia melarikan diri ketakutan seperti itu! Akan tetapi ia yakin betul bahwa kalau ia tidak lari, bukan saja ia akan kehilangan pedang pusaka ampuh yang berada di tangannya, bahkan sangat besar kemungkinannya, ia akan kehilangan nyawanya pula.

   Ni Melati Puspa yang juga keras hati dan galak itu pasti tidak akan mau memaafkannya. Maka terpaksa ia melarikan diri, walaupun hal itu amat berlawanan dengan keangkuhan dan kesombongannya yang merasa bahwa dirinya merupakan orang yang paling sakti mandraguna dan tidak ada tandingannya!

   Sementara itu, pemuda itu yang bukan lain adalah Lindu Aji, berdiri tertegun memandang Sulastri atau Ni Melati Puspa. Gadis itupun memandang kepadanya dan tak tertahankan lagi, kegembiraan bercampur keharuan membuat kedua mata gadis itu basah dan akhirnya air matanya menetes-netes ke atas sepasang pipinya.

   "Engkau... engkau... Sulastri...?!?"

   Lindu Aji berkata seperti dalam mimpi.

   "Mas Aji...!"

   Sulastri menjerit dan menangis. Entah siapa yang lebih dulu bergerak, akan tetapi keduanya maju dan saling tubruk, saling rangkul dan Sulastri menangis di atas dada Lindu Aji. Tangisnya sesenggukan, mengguguk sampai mingsek-mingsek dan suara yang terdengar dari mulutnya hanya lirih.

"Mas Aji... Mas Aji...!"

   Lindu Aji mendekap kepala itu ke dadanya, seolah ingin membenamkan kepala itu ke dalam dadanya agar tidak berpisah lagi. Dia seolah menemukan kembali mustika yang selama ini hilang. Dia menggunakan jari-jari tangannya yang gemetar untuk mengelus rambut hitam lebat yang berbau harum melati itu, membiarkan gadis itu menangis sepuasnya agar semua perasaan yang menguasai hatinya tertumpahkan dan mencair.

   Hanya tangis dan membanjirnya air mata yang dapat menghapus segala maram perasaan yang menghimpit hati. Dada Lindu Aji sampai basah oleh air mata yang menembus bajunya.

   Air mata itu terasa hangat, menghangatkan hatinya. Setelah agak lama menangis sambil menyandarkan mukanya di dada yang bidang itu sehingga air matanya terkuras habis, tangis Sulastri mereda.

   Semua rasa rindu dan kasih sayang ditumpahkan dalam saat-saat yang asyik masyuk itu, ketika keduanya saling rangkul.

   "MAS AJI..."

   Akhirnya Sulastri berkata lirih.

   "Ada apa, Lastri?"

   Jawab Lindu Aji, lirih pula dan suaranya mengandung kasih sayang yang menggetar.

   "Mas Aji, kenapa... kenapa... engkau dahulu menyuruh aku... menikah dengan Kakangmas Jatmika? Kenapa...?"

   Lindu Aji mencium rambut yang masih semerbak harum melati itu walaupun kini roncean melatinya sudah tidak ada, semua rontok ketika Sulastri bertanding mati-matian melawan Candra Dewi tadi.

   "Pertanyaanmu itu sama dengan per-tanyaanku yang selama ini selalu menggoda hatiku, yaitu, kenapa engkau dahulu itu mendesak aku untuk menikah dengan Neneng Salmah, Lastri?"

   Lindu Aji menjawab pertanyaan dara itu dengan pertanyaan pula.

   "Karena aku tahu betul betapa Neneng sangat mencintamu, Mas Aji dan kukira ... kusangka bahwa engkau juga mencintanya."

   "Hemm, sungguh aneh. Jawabanku juga sama dengan jawabanmu, Lastri. Aku menganjurkan engkau menikah dengan Kakangmas Jatmika karena aku tahu bahwa dia amat mencintamu, dan kukira bahwa engkau, sejak engkau kehilangan ingatan dan berubah menjadi Listyani, engkau sudah melupakan aku dan jatuh cinta kepadanya."

   "Jadi, engkau mengalah dan mengorbankan diri?"

   "Sama dengan engkau."

   "Dan engkau tidak mencinta Neneng Salmah, mas?"

   "Aku sayang Neneng seperti adikku sendiri, dan aku sudah mengangkat ia sebagai adikku. Cintaku hanya padamu, Lastri. Tidak ada wanita lain di dunia ini yang kuinginkan menjadi jodohku."

   "Mas Aji...!"

   Sulastri merangkul pinggang pemuda itu dan merapatkan kembali pipinya ke dada Lindu Aji.

   "Akupun demikian, betapa sengsara hatiku selama ini, betapa rinduku kepadamu, aku... aku ... hanya engkau yang kucinta..."

   Lindu Aji merasa demikian bahagia hatinya.

   "Sulastri!"

   Dia mengangkat muka gadis itu dengan memegang kedua pipinya lalu dia menciumnya dengan sepenuh perasaan kasihnya. Sulastri pun menyambut dengan penuh kepasrahan dan kecintaan.

   "Nah, sekarang ceritakan mengapa engkau tadi berkelahi dengan wanita itu dan siapa ia yang begitu sakti sehingga dapat nyaris membunuhmu?"

   Lindu Aji menggandeng tangan Sulastri dan diajaknya duduk di atas batu. ,

   Baru saja Sulastri duduk berdampingan dengan Lindu Aji, tiba-tiba ia bangkit berdiri seperti orang terkejut.

   "Wah, celaka! Aku baru ingat sekarang. Iblis betina itu telah merampas Naga Wilis! Mas Aji, mari kita kejar!"

   Lindu Aji memegang tangan gadis itu dan menariknya perlahan, diajaknya duduk kembali.

   "Tenang, Lastri. Tidak ada gunanya kita mengejarnya sekarang. Ia telah berlari jauh sekali dan kita tidak tahu ke arah mana ia pergi. Sebaiknya kau ceritakan semua. Kalau aku sudah tahu siapa wanita itu, kelak mudah kita mencarinya dan merampas kembali pedangmu."

   Mendengar ini, Sulastri menjadi tenang kembali. Ia mengerti bahwa apa yang dikatakan Lindu Aji itu benar. Mereka tidak tahu kemana Candra Dewi melarikan diri, bagaimana mereka dapat mengejar dan menyusulnya? Maka ia lalu duduk kembali.

   Kemudian ia mulai bercerita. Ia menceritakan sejak ia berpisah. dengan Lindu Aji. Betapa ia merantau dan akhirnya menjadi ketua perkum-pulan Melati Puspa dan memakai nama baru Ni Melati Puspa.

   "Wah, engkau mengubah namamu lagi, Lastri?"

   Tanya Lindu Aji tersenyum.

   "Aku tidak ingin diketahui siapa aku sebenarnya, mas. Aku hanya ingin mengasingkan diriku untuk menghibur hati melupakan semua peristiwa yang menyengsarakan hatiku. Akan tetapi aku gagal, mas. Aku... aku tidak bisa melupakanmu!"

   "Beberapa kalipun engkau mengubah nama, engkau tetap Lastri bagiku, Lastri-ku, Sulastri yang kukenal pertama kali di Loano, di tempat tinggal Paman Sumali. Lanjutkan ceritamu, Lastri. Engkau sudah menjadi ketua perkumpulan Melati Puspa, lalu bagaimana engkau sekarang berada di sini dan berkelahi dengan wanita tadi?"

   "Aku mulai tidak betah dan bosan tinggal di lereng Gunung Liman dimana markas Perkumpulan Melati Puspa berada. Kutinggalkan pimpinan kepada seorang anggauta dan aku lalu turun gunung. Aku bermaksud mencarimu di dusun Gampingan, kampung halamanmu. Akan tetapi dalam perjalanan itu aku mendengar tentang Jamur Dwipa Suddhi yang kabarnya disembunyikan di daerah muara Sungai Lorog ini. Maka aku lalu singgah di tempat ini lebih dulu. Tadi, ketika aku berjalan disini, tiba-tiba saja aku diserang wanita gila itu. Aku melawan mati-matian, akan tetapi ternyata ia sakti mandraguna dan setelah bertanding seratus jurus lebih, akhirnya pedangku terampas olehnya dan aku nyaris tewas kalau tidak ada engkau yang tiba-tiba muncul, Mas Aji."

   "Siapa nama wanita itu dan mengapa ia menyerangmu?"

   "Ia mengaku bernama Candra Dewi, berjuluk Iblis Betina dari Banten. Ia tidak mengatakan mengapa ia menyerang dan hendak membunuhku, padahal aku belum pernah mengenalnya dan sama sekali tidak mempunyai urusan dengannya, apalagi permusuhan. Agaknya ia seorang yang miring otaknya, Mas Aji."

   "Candra Dewi? Hemm, rasanya aku pernah mendengar nama itu. Iblis Betina dari Banten? Ya, tidak salah lagi. Engkau masih ingat kepada Nyi Maya Dewi, Lastri?"

   "Tentu saja, perempuan hina antek Kumpeni Belanda itu!"

   "Aku ingat bahwa Nyi Candra Dewi adalah kakak Nyi Maya Dewi! Aku pernah mendengar namanya. Akan tetapi kabarnya ia tidak pernah keluar dari Banten dan tidak pernah mencampuri urusan perang antara Mataram dan Kumpeni Belanda. Aneh sekali, kenapa sekarang ia muncul dan tanpa sebab hendak membunuhmu dan merampas pedangmu? Apakah ini ada hubungannya dengan Nyi Maya Dewi?"

   Lindu Aji mengerutkan alisnya, berpikir-pikir.

   "Ah, aku ingat sekarang! Mas Aji, Nyi Maya Dewi telah mati dan kukira yang membunuhnya adalah Iblis Betina dari Banten itu juga!"

   Lindu Aji tidak terkejut mendengar akan kematian Nyi Maya Dewi. Wanita itu memang tersesat jauh sekali dan tidaklah aneh kalau ia mati dibunuh orang. Akan tetapi dia merasa heran dan tertarik mendengar bahwa yang membunuh Nyi Maya Dewi adalah kakaknya sendiri!

   "Dimana hal itu terjadi, Lastri, dan kenapa Nyi Candra Dewi membunuh adiknya sendiri?"

   "Aku juga tidak tahu, mas. Mungkin memang iblis betina itu sudah gila. Aku mengetahuinya hanya secara kebetulan saja. Ketika itu, ada seorang pemuda desa berlari-larian memasuki daerah kekuasaan kami. Tentu saja dia kami tangkap dan menurut pengakuannya, dia dikejar-kejar seorang wanita yang seperti gila dan mengamuk. Aku tertarik dan aku pergi ke Bukit Keluwung, tempat yang diceritakan pemuda itu. Aku sama sekali tidak tahu bahwa Nyi Maya Dewi tinggal di puncak Bukit Keluwung. Setelah tiba di puncak bukit itu, aku melihat puing-puing sebuah rumah dan batu-batu pecah berantakan, pohon-pohon tumbang. Agaknya diamuk wanita gila seperti yang diceritakan pemuda itu. Ketika aku memeriksa lebih teliti, dibelakang rumah itu di dinding bukit, terdapat sebuah guha yang merupakan terowongan. Aku memeriksanya dan terhalang tumpukan batu yang agaknya longsor menutup terowongan itu. Ketika aku keluar lagi, aku menemukan goresan tulisan pada batu di depan guha, bunyinya:

   Kuburan Maya Dewi dan Bagus Sajiwo. Begitulah ceritanya, Mas Aji. Rasanya aku pernah mendengar nama Bagus Sajiwo, akan tetapi lupa lagi entah dimana. Aku lalu turun gunung memulai perantauanku."

   "Bagus Sajiwo? Bagus Sajiwo..., Lastri, apakah engkau tidak ingat? Bagus Sajiwo adalah putera Paman Tejomanik yang kabarnya hilang diculik orang!"

   "Ah, benar! Bagus Sajiwo...ya, ya, sekarang aku ingat. Aduh, kasihan sekali Paman Tejomanik dan Bibi Retno Susilo. Bertahun-tahun mereka mencari putera mereka yang hilang dan kini, tahu-tahu Bagus Sajiwo telah mati terkubur dalam terowongan Bukit Keluwung."

   Lindu Aji menghela napas panjang.

   "Demikianlah kehidupan manusia di dunia ini, Lastri. Terombang-ambing oleh keadaan yang sering kali berlawanan dengan apa yang kita inginkan. Suka dan duka silih berganti, dan semakin banyak keinginan kita, semakin banyak pula muncul keadaan yang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan sehingga timbullah duka. Tidak ada sikap yang lebih baik daripada berdaya upaya sekuat tenaga dengan didasari penyerahan terhadap Kekuasaan Gusti Allah sepasrah mungkin dan menyukuri apa saja yang kita terima sebagaimana adanya. Berdaya upaya atau bekerja dengan landasan kepasrahan, percaya sepenuhnya bahwa apa yang terjadi di luar kemampuan kita untuk mengubahnya adalah Kehendak Gusti Allah dan kejadian apapun yang menimpa diri kita seperti yang dikehendakiNya sudah pasti merupakan yang terbaik bagi kita dan sudah seharusnya kita sukuri."

   "Semoga aku akan dapat selalu bersikap seperti itu, Mas Aji. Akan tetapi engkau belum menceritakan bagaimana engkau tiba-tiba berada disini. Andaikata aku langsung mencarimu di Gampingan tentu kita malah tidak akan saling bertemu."

   "Setelah kita saling berpisah dulu, aku pulang ke Gampingan. Kuceritakan kepada ibuku tentang dirimu dan tentang apa yang terjadi dengan kita, perpisahan di Dermayu. Ibu lalu mengingatkan aku agar mencarimu dan menanyakan kepastian kepadamu siapa sesungguhnya yang kau cinta. Aku lalu pergi ke Dermayu dan dari ibumu aku mendengar tentang engkau, tentang Neneng Salmah dan tentang Kakangmas Jatmika. Baru aku menyadari bahwa engkau tidak menikah dengan Kakangmas Jatmika, bahkan tidak mencintanya. Aku lalu mulai mencarimu. Aku tiba di Loano dan bertanya tentang dirimu kepada Paman Sumali."

   Lindu Aji lalu bercerita tentang Winarsih yang diculik oleh Ki Singobarong dan bagaimana dia dan Ki Sumali datang ke Nusakambangan dan berhasil menyelamatkan Winarsih.

   "Aku mendengar keterangan Paman Sumali tentang engkau yang singgah di Loano dan melanjutkan perjalananmu ke timur, maka aku lalu mencarimu ke timur. Aku juga mendengar tentang Jamur Dwipa Suddhi, dan aku menduga bahwa mungkin engkau juga mendengar dan datang pula ke daerah Sungai Lorog ini, maka aku lalu menuju kesini. Aku melihat ketika Candra Dewi hendak membunuh seorang wanita. Aku tidak mengira bahwa engkau yang hendak dibunuhnya, dan aku juga tidak tahu bahwa pedangmu berada di tangannya. Kalau aku tahu, tentu aku akan berusaha merampasnya tadi."

   Sulastri memandang wajah Lindu Aji dan tangan kanannya menangkap tangan kiri pemuda itu.

   "Mas Aji, kalau saja aku tidak bertemu denganmu, kehilangan Naga Wilis itu tentu akan membuat aku merasa sedih sekali. Akan tetapi, aku telah bertemu denganmu dan lebih membahagiakan lagi, kita telah menyambung kembali cinta kasih di antara kita. Ah, betapa bahagia rasa hatiku, mas. Untuk kebahagiaan ini, jangankan baru kehilangan Pedang Naga Wilis, bahkan kehilangan kedua tanganku pun aku akan rela!"

   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAGUS SAJIWO

BAGUS SAJIWO BAGUS SAJIWO JIL ID 01 BAGUS SAJIWO JIL ID 02 BAGUS SAJIWO JIL ID 03 BAGUS SAJIWO JIL ID 04 BAGUS SAJIWO JIL ID 05 BAGUS SAJIWO JIL ID 06 BAGUS SAJIWO JIL ID 07 BAGUS SAJIWO JIL ID 08 BAGUS SAJIWO JIL ID 09 BAGUS SAJIWO JIL ID 10 BAGUS SAJIWO JIL ID 11 BAGUS SAJIWO JIL ID 12 BAGUS SAJIWO JIL ID 13 BAGUS SAJIWO JIL ID 14 BAGUS SAJIWO JIL ID 15 BAGUS SAJIWO JIL ID 16 BAGUS SAJIWO JIL ID 17 ...

ALAP-ALAP LAUT KIDUL

JILID 1 JILID 2 JILID 3 JILID 4 JILID 5 JILID 6 JILID 7 JILID 8 JILID 9 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33