SERULING GADING 1 2 3 4 5 6 7 8 9 6 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 JILID 1 Puncak Argadumilah menjulang tinggi diselimuti awan putih bergerombol seperti sekelompok domba berbulu putih bergerak perlahan, berarak ke arah selatan. Sinar matahari pagi mulai menerangi permukaan Gunung Lawu yang tanahnya subur dan hijau penuh pohon dan tumbuhan. Kinar matahari pagi yang lembut dan hangat itu masih belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang amat dingin bagi manusia itu. Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah. Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu. Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan A...
Raden Kuncoro memandang kepada Sulastri dan Lindu Aji dan mengangguk-angguk penuh kagum.
"Hebat, di dusun sepi seperti ini terdapat sepasang orang muda yang sakti mandraguna! Pantas saja Juminten berani menolak maksud baikku, tidak tahunya mempunyai sanak keluarga yang boleh diandalkan."
"Kembali penilaian dan pendapat andika keliru, Raden Kuncoro. Bulik Juminten bukan semata-mata menolak karena mempunyai andalan, melainkan tidak dapat menerima maksud baik andika karena tidak mau menjadi selirmu, karena ia tidak mencintamu. Karena itu sadarlah, Raden, dan jangan melakukan tindakan maksiat memaksa wanita yang tidak mau untuk menjadi selirmu. Sebagai seorang priyayi dari kota raja, kiranya andika tentu menyadari bahwa Gusti Sultan Agung sendiri tidak akan suka melihat perbuatan maksiat itu."
Raden Kuncoro mengerutkan alisnya.
"Lindu Aji, kini engkau bersikap lancang. Apa yang diandalkan pemuda sepertimu ini, berani membawa-bawa nama Gusti Sultan Agung dalam urusan ini? Sombong sekali kau!"
Sebelum Lindu Aji menjawab, Sulastri sudah melangkah maju dan ia yang menjawab dengan suara lantang dan tegas.
"Raden Kuncoro, andika yang sombong, bukan kami! Dari sikapmu yang tidak mengenal Kakangmas Lindu Aji ia sudah dapat diketahui bahwa andika bukan orang yang ikut membela Mataram ketika melawan Kumpeni Belanda! Andika pasti bukan seorang priyayi yang setia membela Mataram. Dengarlah baik-baik. Kakangmas Lindu Aji ini pernah menerima keris pusaka Kyai Nagawelang dari Gusti Sultan Agung dan maju di garis depan bersama aku ketika Mataram berperang menyerbu Batavia! Andika tidak mengenal kami, terutama Kakangmas Lindu Aji, itu membuktikan bahwa ketika terjadi perang melawan Kumpeni Belanda, andika hanya enak-enak mengumbar kesenangan sendiri dalam gedung andika!"
Lindu Aji menyentuh lengan gadis itu agar Sulastri tidak melanjutkan ucapan yang mengandung pameran untuk diri mereka.
Akan tetapi mendengar itu wajah Raden Kuncoro berubah pucat, kemudian menjadi merah. Dia terkejut dan juga main.
"Bagaimana aku dapat percaya?"
Kata Raden Kuncoro ragu. Penampilan Lindu Aji demikian sederhana dan dia masih begitu muda, rasanya tidak mungkin menerima keris pusaka tanda kepercayaan dan kekuasaan yang dianugerahkan oleh Sang Prabu itu.
"Coba perlihatkan kepadaku Kyai Nagawelang itu!"
Lindu Aji menjawab tenang.
"Raden Kuncoro, setelah perang selesai, saya mengembalikan Kyai Nagawelang kepada Gusti Sultan Agung karena saya tidak ingin menjadi ponggawa kerajaan, saya ingin menjadi rakyat biasa saja."
"Hemm, bagaimana aku dapat percaya keteranganmu itu tanpa ada buktinya? Sekarang begini saja. Seorang yang menerima Kyai Nagawelang dari Gusti Sultan, syaratnya harus memiliki kesaktian yang tinggi dan harus pula berjasa terhadap Mataram. Nah, sekarang katakan jasa apa yang telah kau lakukan terhadap Mataram maka engkau menerima sebatang keris pusaka Kyai Nagawelang?"
"Sebetulnya itu bukan jasa besar, melainkan hanya merupakan tugas kewajiban saya. Ketika itu saya melihat Gusti Puteri Wandansari dikeroyok oleh Wiku Menak Koncar dan kawan-kawannya. Aku membantu sang puteri sehingga terlepas dari bencana. Nah, Gusti Puteri mengajak saya menghadap Gusti Sultan Agung dan saya menerima Kyai Nagawelang itu."
Raden Kuncoro mengangguk-angguk. Dia pernah mendengar akan hal itu, hanya tidak mengira bahwa penolong sang puteri itu adalah pemuda yang berada di depannya ini.
"Hemm, ceritamu mungkin benar, akan tetapi hal itu tidak dapat dibuktikan kecuali kalau aku mendengar sendiri dari Gusti Puteri Wandansari. Aku ingin melihat buktinya dan kalau engkau dapat membuktikan dengan kesaktianmu."
Lindu Aji mengerutkan alisnya.
"Maksudmu bagaimana, Raden Kuncoro?"
"Kalau engkau mampu menahan pukulan tenaga saktiku, baru aku percaya kepadamu, Lindu Aji!"
"Nanti dulu, Raden. Kalau andika sudah percaya, lalu bagaimana? Engkau berjanji untuk meninggalkan Bu-lik Juminten dan tidak akan mengganggunya lagi, tidak akan memaksanya untuk menjadi selirmu?"
Raden Kuncoro menghela napas panjang dan berkata.
"Baiklah, Lindu Aji. Kalau engkau mampu menahan pukulanku, aku percaya kepadamu dan aku bersumpah tidak akan mendekati Juminten lagi. Akan tetapi kalau engkau tidak mampu menahan pukulanku, engkau jangan mencampuri urusanku dengan Juminten."
"Baik, raden. Nah, sekarang lakukanlah pukulanmu itu!"
Kata Lindu Aji.
Raden Kuncoro menekuk sedikit kedua lututnya sehingga tubuhnya agak merendah, kemudian dia membuat gerakan silang tiga kali dengan kedua lengannya, lalu mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Lindu Aji sambil mengeluarkan bentakan lantang.
"Aji Klabangkolo!!"
Lindu Aji maklum bahwa lawannya menyerangnya dengan pukulan jarak jauh yang cukup dahsyat, maka diapun menyambut pukulan itu dengan pengerahan tenaga Aji Surya Candra yang dia pergunakan untuk melindungi diri saja, bukan untuk menyerang balik.
"Wuuuttt..., desss...!!"
Raden Kuncoro terlempar ke belakang. Tenaga pukulannya yang amat kuat itu. seolah membentur dinding baja dan membalik sehingga tubuhnya terlempar ke belakang, terjengkang dan roboh telentang!
Lindu Aji maju menghampiri dan menjulurkan tangan, membantu Raden Kuncoro bangkit berdiri.
"Maaf, Raden. Andika tidak terluka, bukan?"
Raden Kuncoro menghirup napas panjang dan menggeleng kepala.
"Hebat, andika sungguh hebat dan pantas pernah dianugerahi Kyai Nagawelang. Sekarang aku percaya, Lindu Aji, dan aku juga menyadari kesalahanku. Juminten dan dua orang anaknya, walaupun tidak hidup mewah, tampak berbahagia hidup di desa ini. Biarlah, aku akan berusaha sekuatku untuk mengubur rasa cintaku kepadanya. Seperti yang kujanjikan, aku tidak akan mendekatinya lagi."
Lindu Aji merasa kasihan. Dia pernah mengalami betapa nyerinya perasaan hati kalau harus berpisah dari orang yang dikasihinya, seperti yang pernah dia rasakan ketika dia terpaksa harus meninggalkan Sulastri yang dia kira mencinta orang lain.
"Raden, tentu saja andika boleh mencinta Bu-lik Juminten karena mencinta seseorang itu adalah hak pribadi. Akan tetapi, cinta bukan berarti harus menjadi suami isteri. Kalau andika mengubah pandangan terhadap diri Bu-lik Juminten, andika anggap ia sebagai seorang sahabat atau seorang adik, saya yakin bahwa cinta dalam hati andika itu masih hidup tanpa keinginan hendak menggmbilnya sebagai selir."
Raden Kuncoro mengangguk-angguk, lalu menoleh dan memandang kepada Juminten. Dia berkata dengan suara lirih, namun cukup dapat ditangkap Nyi Juminten.
"Juminten, maafkan sikapku yang sudah-sudah. Mulai sekarang kuanggap engkau sebagai adikku dan hatiku akan merasa berbahagia sekali kalau sewaktu-waktu aku mendapat kesempatan untuk mendidik anak-anakmu. Aku tidak mempunyai anak dan anak-anakmu akan kuanggap sebagai anak sendiri."
Kemudian dia menghadapi Lindu Aji.
"Aku berterima kasih kepadamu yang telah membebaskan aku dari himpitan nafsu berahi yang selama ini membuatku merasa sengsara. Selamat tinggal!"
Raden Kuncoro mengambil sepotong dinar emas dan menyerahkannya kepada Nyi Warsiyem.
"Ini untuk membayar makanan dan minuman kami tadi."
"Ah, ini terlalu banyak, Raden..."
Kata Warsiyem, tidak mau menerima uang emas itu.
Raden Kuncoro meletakkan uang itu di atas bangku warung dan berkata.
"Biarlah sisanya untuk anak-anak Juminten."
Setelah berkata demikian, dia keluar dari pekarangan warung, diikuti dua orang pengawalnya dan tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda mereka meninggalkan tempat itu.
Lindu Aji menghela napas panjang.
"Dia seorang yang baik,"
Katanya sambil memasuki warung lagi bersama Sulastri.
Nyi Warsiyem menyuruh Nyi Juminten menjaga warung dan ia lalu mengajak Lindu Aji dan Sulastri masuk ke dalam rumah di mana mereka bercakap-cakap dengan gembira.
Wanita itu minta kepada puteranya agar menceritakan semua pengalamannya sampai berjumpa dengan Sulastri. Ia merasa gembira bukan main karena akhirnya puteranya memperoleh jodoh, seorang gadis yang selain cantik jelita, juga gagah perkasa dan yang lebih penting lagi keduanya saling mencinta.
"Aku merasa berbahagia sekali kalau kalian segera menikah!"
Kata janda itu sambil merangkul Sulastri yang duduk disebelahnya.
"Untuk itu kita harus mengajukan pinangan. Maka, aku ingin mengajak ibu pergi ke Dermayu untuk meminang Sulastri kepada orang tuanya disana." .
Nyi Warsiyem menggeleng kepalanya, akan tetapi ia mengelus rambut kepala Sulastri dan tersenyum.
"Tidak perlu aku sendiri yang pergi meminang, Aji- Aku seorang wanita yang lemah, tidak kuat melakukan perjalanan begitu jauhnya. Akan tetapi kalau tidak dilakukan pinangan dengan sah, juga tidak baik. Karena itu, aku mewakilkan kepada Kang Parto saja untuk pergi bersama kalian ke Dermayu dan mengajukan pinangan. Bagaimana menurut pendapatmu, Aji dah Lastri?"
Sulastri tersenyum.
"Bagi saya, terserah kepada Mas Aji saja."
Lindu Aji mengangguk-angguk setuju. Dia mengenal dan tahu dengan baik siapa Parto. Tetangga itu adalah sahabat baik mendiang ayahnya dan hubungan mereka sudah seperti saudara saja. Memang, perjalanan ke Dermayu terlalu jauh bagi ibunya, seorang wanita lemah.
"Baik, ibu. Biar kuundang Paman Parto kesini agar dapat kita bicarakan masalah itu."
Lindu Aji lalu keluar dan tak lama kemudian dia kembali bersama Ki Parto, seorang duda berusia lima puluh tahun.
Ki Parto juga merasa gembira sekali dan dia segera menyanggupi untuk menjadi wakil Nyi Warsiyem dan menjadi wali Lindu Aji.
Setelah tinggal di Gampingan selama seminggu, Lindu Aji, Sulastri, dan Ki
Parto berangkat menuju Dermayu dengan menunggang kuda.
Dalam perjalanan itu mereka tidak mengalami gangguan atau hambatan dan beberapa hari kemudian tibalah mereka di Dermayu. Kedatangan mereka disambut oleh Ki Subali dan Nyi Subali dengan gembira sekali.
Nyi Subali sudah merangkul puterinya. Mereka menjadi lebih berbahagia melihat Sulastri pulang bersama Lindu Aji, pemuda yang mereka tahu menjadi pujaan hati puteri mereka. Apa-lagi setelah mendengar keterangan Lindu Aji dan Sulastri tentang keputusan mereka berdua untuk berjodoh, ditambah lagi kehadiran Ki Parto sebagai wakil ibu Lindu Aji dan juga menjadi walinya, Ki Subali dan isterinya menjadi gembira bukan main.
Maka, ketika Ki Parto memenuhi tugasnya, menyampaikan pinangan dari Nyi Warsiyem untuk melamar Sulastri menjadi isteri Lindu Aji, Ki Subali dan isterinya menerimanya dengan rasa sukur dan bahagia. Bahkan Nyi Subali tak dapat menahan tangisnya.
"Tidak perlu menunda terlalu lama!"
Kata Ki Subali dengan gembira.
"Aku akan mencari hari baik untuk melangsungkan pernikahan Sulastri!"
Setelah "dia menghitung-hitung, hari baik itu terjatuh pada Rebo Legi, empat belas hari lagi.
Waktu lima belas hari itu diperlukan untuk menyebar undangan. Sebagai seorang sasterawan dan dalang terkemuka, Ki Subali menyebar undangan sampai ke Cirebon dan Sumedang.
Sementara itu, sebuah kamar diperuntukkan Lindu Aji dan Ki Parto selama menanti datangnya hari pernikahan.
Menurut rencana yang disetujui kedua pihak, pernikahan dilangsungkan di Dermayu dan Ki Parto menjadi wali Lindu Aji. Setelah merayakan pernikahan di Dermayu, baru dua pekan kemudian Lindu Aji mengajak Sulastri ke Gampingan, dimana Nyi Warsiyem akan menyambut sepasang mempelai itu dengan perayaan sederhana yang dikunjungi para penghuni dusun Gampingan.
Tiga hari kemudian, pada suatu sore Lindu Aji dan Sulastri duduk di pendopo
rumah Ki Subali. Dua orang yang saling mencinta ini merasa berbahagia sekali. Kalau menurutkan gejolak hati mereka, keduanya tentu saja ingin sekali bermesraan, ingin menumpahkan rasa cinta masing-masing satu sama lain. Akan tetapi keduanya menahan gejolak hati, menekan gairah berahi demi kesusilaan.
Bagi mereka, duduk berdekatan saling berpandangan, saling memegang tangan, sudah merupakan peristiwa yang mendebarkan jantung dan membuat mereka merasa berbahagia sekali. Keduanya adalah orang-orang yang kuat lahir batin, bukan hanya badannya yang kuat oleh gemblengan dan latihan, namun batin mereka juga kuat.
Orang yang kuat batinnya tidak mudah terseret oleh gelombang nafsu. Batin tak mungkin dapat menjadi kuat oleh usaha akal pikiran kita. Hanya apabila Gusti Allah menurunkan KekuasaanNya ke dalam batin kita, maka batin kita menjadi bersih dan kuat. Batin tidak lagi menjadi hamba nafsu seperti yang tampak dalam kehidupan manusia pada saat ini, melainkan nafsu menjadi hamba, menjadi alat manusia untuk hidup di dalam dunia ini, sebagaimana kodratnya.
Manusia sendiri tidak mungkin memasukkan kekuasan Gusti Allah ke dalam hati sanubarinya kalau Gusti Allah tidak berkenan menganugerahkannya. Manusia hanya dapat menyerah dengan sabar, tawakal dan ikhlas akan semua anugerahNya, dan hanya dapat menerima. Kalau Gusti Allah berkenan segala hal pasti dapat. terjadi, termasuk masuknya Roh Suci atau Roh Illahi ke dalam hati sanubari manusia dan membimbingnya dalam kehidupan ini.
"SULASTRI kalau kita mengenang masa lalu, pertemuan kita yang pertama di Loano dahulu itu seperti baru terjadi kemarin dulu!"
Kata Lindu Aji.
"Memang benar, Mas Aji. Padahal, sejak itu, waktu telah lewat selama dua tahun lebih. Bahkan kalau kita mengenang kembali masa kanak-kanak kita yang telah lewat belasan tahun, rasanya seperti baru beberapa hari saja. Kenapa begitu, Mas Aji?"
"Itulah perbedaan antara kenyataan dan ingatan, Lastri. Kenyataan terisi ruang dan waktu, sehingga kalau kita menghadapi waktu saat ini, sebagai kenyataan, kita seperti menghitung dan memperhatikan detik demi detik maka tentu saja terasa lambat dan lama sekali. Sebaliknya masa lampau hanya hidup dalam kenangan atau ingatan, bukan kenyataan dan ingatan tidak mengenal ruang dan waktu. Karena itu jalannya ingatan lebih cepat dari lajunya kilat. Bagi ingatan yang bukan kenyataan, puluhan tahun dapat menjadi sebentar dan betapapun jauhnya menjadi dekat."
Sulastri diam sejenak mengunyah kembali apa yang diucapkan Lindu Aji tadi dalam pikiran untuk dapat memahami maksudnya. Karena ia diam dan Lindu Aji juga diam, maka suasana menjadi hening.
Beberapa saat kemudian, Sulastri berkata.
"Kata-katamu tadi membuat aku menyadari betapa sebagian besar waktu kita tenggelam ke dalam ingatan masa lalu, Mas Aji."
"Engkau benar, Lastri. Dan justeru kebiasaan tenggelam dalam masa lalu itulah yang membuat kehidupan manusia penuh dengan kesulitan. Ingatan akan masa lalu ingatan akan kejadian yang telah lewat itulah yang mendatangkan kemarahan, kebencian, ketakutan, kedukaan dan lain-lain. Bayangan-bayangan masa lalu itulah yang menyulut segala macam api perasaan itu, Lastri."
"Jadi kalau begitu, kita tidak boleh mengingat masa lalu karena hal itu hanya akan mendatangkan pertentangan ba-tin dan kesengsaraan, Mas Aji?"
Lindu Aji menghela napas panjang.
"Hal ini memerlukan penjelasan karena dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bukan berarti kita tidak boleh menggunakan pikiran untuk mengingat sesuatu, Lastri. Ingatan itu penting sekali bagi kita, yaitu untuk mengingat dan mencatat segala sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan perasaan hati (emosi) karena tanpa menggunakan ingatan itu kita tidak akan dapat bekerja, kita akan lupa segala dan menjadi orang tidak waras!"
"Aku memahami itu, Mas Aji. Lalu apa yang harus kita lakukan?"
"Justeru itu, kita tidak harus melakukan apa-apa. Kita hanya perlu mengerti akan kenyataan ini bahwa tenggelam ke dalam kenangan akan peristiwa yang telah lalu hanya akan menimbulkan dendam atau ketakutan dan duka. Ingatan hanya berguna kalau dipergunakan untuk mencatat segala hal yang menyangkut keperluan yang kita butuhkan untuk hidup. Seorang bijaksana tidak akan tenggelam ke dalam masa lalu, juga tidak akan mengejar-ngejar bayangan masa depan, melainkan selalu ingat dan waspada dalam saat-saat sekarang yang dihadapi. Menghadapi segala sesuatu tanpa bayangan masa lalu dan masa depan, menerima apa adanya sebagai apa adanya, itulah kewaspadaan. Hidup saat demi saat dengan selalu ingat dan waspada, ingat akan Gusti Allah yang mencipta dan menguasai seluruh alam maya pada dan isinya termasuk diri kita, dan waspada terhadap segala gerak-gerik hati akal pikiran, ucapan dan perbuatan kita, menjadikan kita sebagai seorang hamba Gusti Allah yang utuh."
Sulastri tertegun, terpesona oleh ucapan kekasihnya itu. Kemudian, setelah menghela napas beberapa kali, gadis itu berkata.
"Alangkah bahagianya hidup seperti itu. Akan tetapi, Mas Aji, mampukah kita manusia berada dalam keadaan sempurna seperti itu?"
Lindu Aji tertawa dan menggenggam tangan Sulastri.
"Tidak ada manusia yang sempurna, Lastri. Akan tetapi berikhtiar menuju kebaikan adalah kewajiban manusia. Dengan ikhtiar sekuat kemampuan kita, didasari penyerahan dan kepasrahan kepada kekuasaan Gusti Allah, maka kalau Gusti Allah berkenan, kita akan menerima bimbinganNya. Akal pikiran tidak dapat memajukan rohani, hanya merupakan alat untuk keperluan hidup kita di atas bumi. Kemajuan rohani hanya mungkin terjadi kalau iman kita kokoh kuat dilandasi penyerahan kepada Gusti Allah. Akal pikiran selalu memperhitungkan untung rugi bagi diri sendiri."
Kembali Sulastri tepekur. Kemudian ia menggenggam kuat-kuat tangan kekasihnya seolah ia minta bimbingan calon suaminya untuk melanjutkan kehidupan yang penuh liku-liku ini.
Pada saat itu, dua orang memasuki pekarangan rumah itu. Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis.
Ketika memasuki pekarangan dan melihat Lindu Aji dan Sulastri sedang bercakap-cakap sambil saling berpegangan tangan, keduanya berhenti melangkah dan memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi wajah mereka berseri. Gadis itu tidak dapat menahan keharuan hatinya dan ia berseru lirih sambil terisak.
"Sulastri...!"
Biarpun ia berseru perlahan saja, namun cukup kuat untuk membuyarkan pasangan yang sedang tenggelam dalam perasaan dan percakapan mereka.
Lindu Aji dan Sulastri menoleh ke pekarangan dan mereka serentak bangkit berdiri.
"Neneng...!!"
Sulastri berseru.
"Kakang Jatmika...!"
Lindu Aji juga berseru girang.
Mereka lalu keluar dari pendapa dan lari menyambut mereka yang datang.
"Sulastri...!"
"Neneng...!"
Dua orang gadis itu saling berangkulan dan Neneng Salmah menangis.
"Lastri..., maafkan aku..."
Ia berbisik diantara tangisnya.
Sulastri mencium pipi Neneng Salmah yang basah air mata.
"Neneng, hentikan tangismu dan keringkan mukamu. Nanti engkau tampak jelek kalau matamu membengkak dan merah. Tidak ada yang perlu dimaafkan!"
Sementara itu, Jatmika dan Lindu Aji juga saling berpegang tangan dan menepuk pundak.
"Adi Lindu Aji, aku bersalah padamu, maafkan aku."
Lindu Aji tersenyum.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kakang Jatmika. Jatuh cinta bukan kesalahan, bahkan membahagiakan kalau datangnya dari kedua pihak, seperti... hemm, seperti andika dan Neneng..."
Wajah Jatmika berubah kemerahan dan dia memandang Lindu Aji dengan mata heran.
"Eh? Bagaimana engkau dapat tahu... eh... menduga begitu?"
Lindu Aji tertawa.
"Ha-ha! Neneng Salmah itu adik angkatku, ingat? Tentu saja aku mengenalnya dengan baik dan melihat wajah dan pandang matanya, aku tahu bahwa ia sedang jatuh cinta dan...kepadamu, kakang!"
"Hemm, bisa saja kau!"
Jatmika juga tertawa.
"Hei, apa yang kalian tawakan itu? Menertawakan kami, ya?"
Sulastri menegur sambil menggandeng tangan Neneng menghampiri dua orang pemuda itu.
Neneng Salmah melepaskan tangan Sulastri dan ia menghampiri Lindu Aji, berdiri memandang pemuda itu dengan sikap bimbang dan salah tingkah.
"Heeii! Neneng, kutahu engkau hendak mengatakan sesuatu. Nah, katakanlah, adikku yang manis!"
Kata Lindu Aji dengan wajah gembira dan suara wajar.
Kewajaran sikap Lindu Aji banyak menolong Neneng Salmah. Akan tetapi tetap saja ia tergagap ketika bicara.
"Kakang Aji..., engkau... sudah berbaik kembali dengan Sulastri...?"
Lindu Aji tersenyum dan mengangguk, wajahnya berseri dan senyumnya menyakinkan. Seakan terangkatlah beban berat yang menghimpit hati Neneng Salmah. Kedua matanya basah dan dua tetes air mata turun ke pipinya, akan tetapi mulutnya tersenyum.
"Ohh... Kang Aji, aku girang sekali... girang sekali...!"
Ia merangkul pinggang Lindu Aji dan pemuda itu merangkul lehernya. Neneng Salmah menangis di dada Lindu Aji.
Lindu Aji menepuk-nepuk pundak Neneng.
"Sudah, jangan menangis, Neneng. Lihat, Kakang Jatmika turut menangis melihat engkau menangis!"
Mendengar ini, Neneng Salmah cepat mengangkat mukanya dari dada Lindu Aji, membalikkan tubuh dan melihat ke arah Jatmika.
Lindu Aji dan Sulastri tertawa geli. Jatmika tersenyum dan dalam hatinya dia merasa kagum kepada Lindu Aji dan Sulastri. Mereka adalah dua orang yang sungguh baik budi, pikirnya. Cinta mereka murni siap untuk berkorban demi kebahagiaan orang lain. Begitu penuh pengertian. Sungguh pantas dijadikan sedulur sinarawedi (saudara sejati).
Neneng Salmah mengusap pipinya yang basah dan iapun ikut tertawa geli melihat Lindu Aji dan Sulastri tertawa. Hatinya berbahagia sekali, lenyap semua ganjalan dan kegelisahan.
Sulastri merangkulnya.
"Mari, Neneng, kita menghadap ayah dan ibu."
Lalu digandengnya sahabat yang sudah dianggap sebagai saudara sendiri itu memasuki rumah.
"Mari, Kakang Jatmika."
Kata Lindu Aji dan dua orang pemuda itupun mengikuti dua orang gadis itu memasuki rumah.
Ki Subali dan Nyi Subali menerima kedatangan Jatmika dan Neneng Salmah dengan gembira. Akan tetapi ketika mendengar bahwa Ki Salmun tewas terbunuh Tumenggung Jayasiran, Ki Subali dan Nyi Subali terkejut sekali. Nyi Subali segera merangkul Neneng Salmah dan Sulastri bangkit dari duduknya dengan tangan terkepal.
"Jahanam Tumenggung Jayasiran itu! Aku harus menghajarnya!"
"Kukira hal itu tidak perlu lagi,"
Kata Jatmika.
"karena dia telah tewas ketika terjadi pertempuran antara pasukan Mataram dan Pasukan Sumedang."
Ki Subali menghela napas panjang.
"Ah, siapa kira dia telah tewas. Pada hal baru saja kami bertemu di Sumedang ketika aku mendalang dan dia memimpin para penabuh gamelan dan Neneng yang menjadi waranggana. Setelah wayangan itu usai, aku terus pulang kesini, jadi tidak tahu bahwa malapetaka menimpa Ki Salmun dan Neneng."
"Kang Jatmika yang menolong saya, paman."
Kata Neneng Salmah dan ia menceritakan pengalamannya dan Jatmika.
Ketika ia menceritakan tentang pengalamannya menyamar sebagai Jaka Salman, kemudian ditawan Muntari dan hendak dipaksa menjadi suami gadis puteri kepala bajak dan perampok Sungai Cimanuk, meledaklah suara tawa yang mendengarkan. Sulastri terkekeh-kekeh, bahkan ibunya terpingkal-pingkal sampai keluar air mata!
"Ha-ha-ha, untung yang tergila-gila padamu seorang perempuan, Neneng. Coba dia seorang laki-laki, tentu Kakang Jatmika menjadi panas dingin!"
Ucapan Lindu Aji ini kembali memancing tawa dan diam-diam Neneng Salmah merasa heran mengapa jalan pikiran Lindu Aji sama benar dengan jalan pikiran Jatmika yang dulu juga berkata demikian kepadanya.
Setelah Neneng Salmah berhenti bercerita, Ki Subali lalu berkata.
"Cukuplah semua cerita yang lucu-lucu ini. Sekarang kita bicara tentang hal yang serius. Anakmas Jatmika, setelah kini Ki Salmun meninggal dunia, berarti Neneng tidak mempunyai keluarga lain. Sejak dulu kami berdua sudah menganggap Neneng Salmah sebagai anak sendiri, oleh karena itu, kini yang mengurus perjodohan Neneng adalah tanggung jawab kami. Jadi kalau andika hendak mengajukan pinangan atas diri Neneng Salmah, pinangan itu harus ditujukan kepada kami sebagai orang tua angkatnya."
Neneng Salmah merasa terharu, hanya dapat merangkul Nyi Subali yang sudah dianggap ibu sendiri sejak ia bersama ayahnya dulu tinggal mondok di rumah itu.
Jatmika yang mendengar ucapan Ki Subali itu, sejenak tertunduk dan wajahnya membayangkan kemuraman. Hatinya risau dan sejenak dia tidak mampu bicara. Lindu Aji yang mengetahui bahwa Jatmika juga seorang yatim piatu yang sebatang kara, segera membantunya.
"Bapa dan ibu,"
Kini dia menyebut Ki Subali dan isterinya bapa dan ibu? "agar diketahui bahwa Kakang Jatmika juga seperti Neneng, yatim piatu dan tidak mempunyai sanak kadang sama sekali. Saudaranya adalah saya dan Sulastri yang masih terhitung saudara seperguruan."
Ki Subali dan isterinya saling pandang, kemudian Ki Subali memandang wajah Jatmika yang menunduk itu dan bertanya.
"Benarkah itu, Anakmas Jatmika?"
"Apa yang dikatakan Adi Lindu Aji benar, paman. Saya adalah seorang yatim piatu yang miskin dan papa, sesungguhnya saya merasa sungkan dan malu untuk meminang Neneng, karena saya... tidak pantas..."
"Wah, Kakang Jatmika! Kenapa engkau berpendapat sepicik itu? Saudaraku Neneng ini seorang wanita utama, cinta-kasihnya sama sekali tidak memandang harta atau kedudukan!"
Kata Sulastri agak ketus karena ia marah melihat Neneng Salmah menangis ketika mendengar ucapan Jatmika tadi.
"Sudahlah...!"
Kata Ki Subali.
"Anak-mas Jatmika hanya berkata demikian karena dia rendah hati. Kami semua percaya bahwa kalau Anakmas Jatmika mau mencari harta dan kedudukan, sudah lama ia mendapatkannya karena diapun berjuang keras dan berjasa terhadap Mataram. Kalau dia mau, Gusti Sultan Agung pasti akan memberi anugerah kedudukan dan harta."
Mendengar omelan Sulastri tadi, Jatmika memandang kepada Neneng Salmah dan melihat gadis itu menangis, dia segera menyadari bahwa ucapannya tadi, tanpa disengaja telah mendatangkan kesedihan di hati kekasihnya.
"Neneng, maafkan aku... bukan... bukan maksudku untuk menyakiti hatimu... ah, maafkan aku..."
Neneng Salmah menghampiri Jatmika lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pemuda itu.
"Akang Jatmika... jangan merendahkan diri seperti itu... akang, akupun seorang yang tak berharga... akulah yang tidak pantas untuk menjadi isteri seorang satria sepertimu..."
"Neneng...!"
Jatmika merangkul gadis itu dan mengangkatnya berdiri. Neneng Salmah menangis di dada Jatmika.
Sulastri menyentuh tangan Lindu Aji yang menoleh kepadanya, keduanya saling berpandangan dan tersenyum bahagia.
Lindu Aji memberi isarat dengan matanya dan Sulastri maklum, lalu ia menghampiri Neneng Salmah dan merangkul Neneng, diajaknya duduk kembali. Lindu Aji juga memegang tangan Jatmika dan diajaknya duduk menghadapi meja.
"Neneng, engkau tidak boleh merendahkan diri seperti itu! Akang Jatmika memang seorang pemuda pilihan, akan tetapi engkau pun seorang gadis pilihan. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah diantara kalian! Kalau kalian saling mencinta seharusnya berdiri sama tinggi dan dyduk sama rendah!"
Kata Sulastri.
"Kakang Jatmika, mengapa engkau merendahkan diri seperti tadi? Kalau engkau merasa rendah diri, bagaimana engkau akan dapat menjadi kepala rumah tanggamu? Engkau harus berdiri tegak dan siap mendayung biduk rumah tanggamu bersama Neneng Salmah, harus berani bertanggung-jawab sebagai seorang suami dan kelak sebagai seorang ayah! Benar kata Sulastri tadi, dua orang yang saling mencinta dan bersepakat untuk hidup sebagai suami isteri, haruslah hidup bahu-membahu, bekerja sama, senasib sependeritaan, ringan sama dijinjing berat sama dipikul, senang sama dinikmati susah sama ditanggung. Bukankah begitu, bapa dan ibu?"
Kata Lindu Aji.
Ki Subali dan isterinya saling pandang dan tertawa.
"Heh-heh, anak sekarang pintar-pintar, ya pak? Di jaman aku muda, seorang isteri hanyalah menjadi pelayan, melayani suami, melakukan semua pekerjaan rumah tangga, lalu mengandung dan melahirkan disambung dengan momong anak dan momong bapaknya juga. Pendeknya seorang isteri harus tunduk dan taat sepenuhnya kepada suaminya, nasibnya berada di tangan suami, swarga nunut neraka katut (ke Sorga ikut ke neraka terbawa)!"
"Ha-ha-ha!"
Ki Subali tertawa mendengar ucapan isterinya, lalu memandang isterinya sambil tersenyum dan bertanya.
"Ibunya Lastri, apakah aku juga memperlakukanmu sebagai seorang pelayan?"
"Hemm, kalau engkau sih tidak! Akan tetapi berapa banyaknya suami sebaik engkau?"
Kata isterinya sambil tersenyum bangga.
"Wah, sekarang sih bukan jamannya lagi, ibu! Suami isteri harus bekerja sama dan sama-sama berjuang untuk mencari kebahagiaan sekeluarga, baik kebahagiaan di dunia maupun kebahagiaan di sorga!"
Kata Sulastri.
"Aduh, siapa yang mengajarkan semua itu kepadamu, Lastri?"
Tanya Nyi Subali kepada puterinya.
Dengan manja Sulastri menudingkan telunjuknya kepada Lindu Aji.
"Siapa lagi yang mengajarkan kalau bukan dia, ibu?"
Semua orang tertawa dan Neneng Salmah yang tadi menangis karena terharu, kini juga sudah tersenyum manis.
"Cukup semua gurauan ini, sekarang kita bicara serius!"
Kata Ki Subali.
"Anakmas Jatmika, karena engkau tidak mempunyai sanak keluarga lagi dan yang ada hanya saudara-saudara seperguruanmu, yaitu Lindu Aji dan Sulastri, apakah mereka berdua yang menjadi wali-mu dan mengajukan pinangan kepada kami untuk menjodohkan anak angkat kami Neneng Salmah denganmu? Akan tetapi, mereka berdua itu adalah anak dan mantu kami! Bagaimana ini?"
Biarpun keadaannya lucu, akan tetapi Ki Subali bicara serius dan mengerutkan alisnya.
"Bagaimana kalau diatur begini, bapa? Ibu kandung saya sendiri mengajukan pinangan atas diri Sulastri dengan mengirim wakilnya yang sekaligus menjadi wali dalam pernikahan saya dengan Sulastri. Bagaimana kalau sekarang saya dan Lastri juga mewakilkan kepada seseorang yang sekaligus juga menjadi wali dari Kakang Jatmika?"
Kata Lindu Aji.
Ki Subali mengangguk-angguk "Hemm, gagasan itu baik sekali. Tentu saja boleh mengirim seorang wakil yang juga menjadi wali Anakmas Jatmika. Akan tetapi siapa yang akan menjadi wakilmu sebagai wali Anakmas Jatmika yang akan mengajukan pinangan itu?"
"Siapa lagi kalau bukan Paman Parto, orang kepercayaan ibu dan saya? Biarlah dia sekalian menjadi wali saya dan wali Kakang"
Jatmika."
Kata Lindu Aji.
"Wah, bagus sekali! Mari, Mas Aji, kita cari Paman Parto!"
Kata Sulastri dan dia sudah menarik tangan Lindu Aji diajak ke belakang mencari Ki Parto. Jatmika dan Neneng Salmah juga mengikuti mereka ke belakang.
Setelah menemukan Ki Parto, Aji lalu mengutarakan permintaan tolong mereka agar Ki Parto suka pula menjadi wali Jatmika dan melamarkan Neneng Salmah kepada Ki Subali dan isterinya untuk Jatmika. Dengan senang hati ki Parto memenuhi permintaan itu dan pada hari itu juga, secara "resmi", disaksikan oleh beberapa orang tetangga yang sudah tua, Ki Parto mengajukan pinangan atas diri Neneng Salmah sebagai anak angkat Ki Subali dan isterinya kepada kedua orang tua angkat itu sebagai wakil dari keluarga Jatmika, yaitu Lindu Aji dan Sulastri! Pinangan diterima dengan baik dan diambil keputusan bahwa pernikahan antara Jatmika dan Neneng Salmah dilaksanakan perayaannya berbareng dengan pernikahan Lindu Aji dan Sulastri.
Demikianlah pada hari yang telah ditentukan, upacara pernikahan dua pasang pengantin itu dilaksanakan dan diadakan perayaan yang cukup meriah oleh Ki Subali dan isterinya.
Dua pasang pengantin itu tenggelam ke dalam kebahagiaan berbulan madu. Lindu Aji dan Sulastri tinggal di rumah Ki Subali, sedangkan Jatmika mengajak Neneng Salmah ke pantai laut di sebelah utara Dermayu, mengunjungi dua makam kakek dan ayahnya yang berada di belakang pondok.
Pondok itu masih kokoh walaupun kotor karena lama tidak ditinggali orang. Jatmika dan Neneng Salmah membersihkan pondok itu dan mereka melewatkan bulan madu mereka di pondok tepi pantai lautan itu.
Setelah bersenang-senang sebagai pengantin baru selama dua minggu, karena maklum bahwa setelah dua minggu Lindu Aji dan Sulastri akan pergi ke rumah ibu Aji di Gampingan, Jatmika dan Neneng Salmah kembali ke rumah Ki Subali.
Sedih juga rasa hati Neneng Salmah harus berpisah dari Sulastri yang ia anggap sebagai saudara sendiri dan dari Ki dan Nyi Subali yang ia anggap sebagai pengganti ayah ibunya.
"Jangan bersedih, Neneng,"
Kata Sulastri ketika mereka saling berangkulan.
"Mulai saat pernikahan dua minggu yang lalu, engkau adalah isteri Kakang Jatmika dan kemana pun dia pergi, engkau harus ikut. Demikian pula aku, sebagai isteri Mas Aji, kemana pun dia pergi, ke sana pula aku pergi. Kelak, lain waktu kita pasti dapat saling berjumpa kembali."
Lindu Aji bercakap-cakap dengan Jatmika.
"Kakang Jatmika, aku dan Lastri akan pergi ke Gampingan dan akan tinggal di sana bersama ibu. Dan engkau akan tinggal dimana?"
"Aku dan Neneng sudah bersepakat untuk pergi ke Sumedang."
"Kenapa engkau hendak pergi ke Sumedang, Jatmika? Kenapa tidak tinggal disini saja dan mencari pekerjaan disini?"
Tanya Ki Subali.
"Benar, Jatmika. Sulastri akan pergi ke Gampingan bersama suaminya. Kalau Neneng juga pergi bersamamu ke Sumedang, aku akan kehilangan kedua anakku dan akan merasa kesepian."
Kata Nyi Subali dengan suara sedih.
"Ah, jangan berpikir seperti itu, ibunya Lastri! Anak-anakmu sudah bukan kanak-kanak yang membutuhkan pemeliharaanmu lagi. Mereka sudah menikah, sudah mempunyai suami. Mana mungkin kita tahan saja untuk tetap tinggal bersama kita? Tentu saja mereka harus mengikuti suami mereka kemana suami mereka pergi, seperti yang dikatakan Sulastri. Setiap orang tua harus siap menghadapi perpisahan dengan anak perempuannya kalau mereka sudah menikah. Aku hanya ingin tahu apa yang akan dikerjakan Jatmika di Sumedang?"
"Begini, Bapa. Kami akan pergi ike Sumedang dan tinggal disana karena selain rumah Neneng disana masih ada, juga sekarang keadaan Sumedang sudah berubah. Sudah dipimpin oleh seorang adipati baru yang ditunjuk oleh Gusti Sultan Agung. Saya dapat mencari pekerjaan disana."
Kata Jatmika.
"Baiklan, kalau begitu, kami orang tua hanya membekali doa restu semoga kalian dua pasang anak-anakku menemukan kebahagiaan dimanapun kalian berada, menjunjung tinggi dan memuliakan asma (nama) Gusti Allah dengan hidup yang baik dan benar sehingga kalian akan selalu diberkahi ketenteraman dan kebahagiaan."
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dua pasang pengantin baru itupun berangkat meninggalkan rumah Ki Subali di Dermayu. Lindu Aji dan Sulastri, di-ikuti Ki Parto, pergi menuju Gampingan dan Jatmika berdua Neneng Salmah pergi ke Sumedang.
Ki Subali dan Nyi Subali mengantar sampai ke pintu halaman rumah mereka, melambaikan tangan sampai kedua pasangan itu tak tampak lagi. Setelah mereka tak tampak, barulah Nyi Subali melepaskan kepedihan hatinya dengan tangis. Ki Subali merangkul pundaknya dan mengajaknya masuk ke rumah, menghiburnya.
"Mereka itu, anak-anak kita, berbahagia. Mengapa engkau menangis? Sudahlah, kita doakan saja semoga mereka itu hidup berbahagia dan... segera mendapat momongan. Aku sudah ingin sekali menimang cucu-cucuku!"
Terhibur juga hati Nyi Subali membayangkan cucu-cucunya yang mungil lucu.
- ooOoo -
Ki Tejomanik atau yang waktu mudanya terkenal dengan nama Sutejo berjalan bersama Retno Susilo, isterinya di kaki Pegunungan Raung. Dataran tinggi Ijen sudah dekat dengan Gunung Raung. Tujuan mereka adalah dataran tinggi Ijen untuk mencari Ki Ageng Mahendra yang menurut keterangan Wiku Menak Jelangger telah merampas putera mereka, Bagus Sajiwo, dari tangan mendiang Wiku Menak Koncar yang menculik putera mereka itu.
Biarpun Sutejo sudah berusia empat puluh tahun lebih dan Retno Susilo hampir empat puluh tahun, namun suami isteri ini masih tampak jauh lebih muda dan orang-orang akan merasa kagum dan heran kalau melihat mereka berlari cepat bagaikan sepasang kijang melalui daerah pegunungan itu. Akan tetapi yang sudah mengenal sepasang suami isteri pendekar ini, tidak akan merasa heran karena mereka berdua memang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di daerah Pegunungan Ijen yang mempunyai banyak bukit-bukit penuh dengan hutan lebat.
"Ah, perutku terasa lapar sekali!"
Kata Retno Susilo.
"Pagi tadi hanya sarapan sedikit ketan. Mari kita mencari dusun untuk membeli makanan, kakang-mas."
Tejomanik tersenyum dan menoleh kepada isterinya.
"Kasihan perutmu, di-ajeng. Biar kulihat dari atas dimana ada dusun terdekat."
Katanya dan dia sudah melompat dan memanjat pohon besar. Setelah tiba di cabang tertinggi, dia melihat ke sekeliling. Lalu dia melompat ke bawah.
"Adakah tampak dusun terdekat?"
Tanya Retno Susilo.
"Ada, tak berapa jauh disana!"
Kata Tejomanik sambil menunjuk ke arah timur.
Mereka lalu berlari lagi dengan cepat dan benar saja, tak lama kemudian mereka melihat sebuah dusun yang cukup besar di lereng bukit. Mereka memasuki dusun itu dan merasa heran mengapa di luar dusun, dimana terdapat sawah ladang. yang cukup luas dan subur, tidak tampak seorangpun. Tidak ada yang bekerja di ladang, juga tidak ada yang berlalu-lalang.
Suami isteri itu saling pandang dan tanpa sepatah kata pun mereka sudah saling mengerti dan keduanya memasuki dusun itu dengan hati-hati dan waspada karena mereka merasa bahwa tentu terjadi sesuatu di dusun itu. Apalagi ketika pendengaran mereka yang peka mendengar gerakan orang dalam rumah-rumah yang daun pintu dan jendelanya tertutup rapat. Penduduk dusun itu bersembunyi di dalam rumah mereka, seolah-olah takut akan sesuatu sehingga tidak berani membuka pintu dan keluar dari rumah.
Tejomanik mencoba untuk mengetuk daun pintu dari rumah ke rumah, namun seperti yang telah mereka duga, tak seorang pun berani membuka pintu. Karena menduga bahwa penduduk dusun itu tentu takut akan sesuatu yang merupakan ancaman bagi mereka semua dan kalau dia dan isterinya mengetuk daun pintu mereka itu bisa salah duga mengira yang datang itu yang mengancam mereka, maka Tejomanik lalu berseru lantang sambil mengerahkan tenaga saktinya sehingga suaranya terdengar oleh seluruh penduduk yang bersembunyi dalam rumah masing-masing.
"Haili! Saudara-saudara warga dusun! Ketahuilah bahwa kami suami isteri bukan penjahat, bukan musuh kalian. Bahkan kalau ada sesuatu yang mengancam andika sekalian, kami berdua sanggup melindungi dan menolong kalian!"
"Bukalah pintu dan temui kami, saudara sekalian!"
Retno Susilo juga berseru lantang, suaranya bergema sampai ke ujung dusun.
"Jangan takut, biar penjahat maupun iblis yang berani mengganggu kalian, akan kami binasakan!"
Agaknya para penduduk yang rumahnya berdekatan dengan suami isteri itu, mengintai dari dalam rumah dan melihat suami isteri yang tampan dan cantik dengan sikap gagah perkasa, timbul kepercayaan mereka dan satu demi satu daun pintu rumah-rumah itu dibuka dari dalam. Mula-mula mereka berindap keluar dengan takut-takut, akan tetapi setelah melihat sikap suami isteri yang tersenyum ramah itu, mereka berani mendekat dan sebentar saja Tejomanik dan Retno Susilo sudah dirubung banyak orang, tua muda, laki perempuan. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun membuka jalan diantara orang-orang. itu dan dia menghadapi Tejomanik dan Retno Susilo, memberi salam dengan hormat.
"Denmas dan Masayu, benarkah andika berdua hendak menolong kami warga dusun Krenting ini?"
Tanya orang itu. '
"Tentu saja kalau memang andika sekalian terancam bahaya. Akan tetapi bahaya apakah yang mengancam andika sehingga semua penghuni dusun menjadi ketakutan seperti ini?"
Tanya Tejomanik.
"Mari, mari masuk ke rumah kami, Denmas. Saya adalah Ki Selowono, kepala dusun Krenting ini. Mari silakan."
Tejomanik dan isterinya mengikuti Ki Lurah Selowono memasuki rumah yang terbesar di antara rumah-rumah di dusun itu.
Semua orang mengikuti mereka dan berkumpul di pekarangan rumah itu. Agaknya mereka ketakutan dan menggantungkan harapan mereka kepada suami isteri yang berjanji hendak melindungi mereka itu.
Suami isteri itu dipersilakan duduk di atas kursi, di pendopo rumah. Orang-orang yang memenuhi pendopo dan pekarangan tidak ada yang mengeluarkan suara karena mereka semua ingin dapat mendengarkan percakapan antara lurah mereka dan suami isteri itu.
"Sebelumnya kami ingin mengetahui, siapakah nama denmas dan masayu yang terhormat dan andika berdua datang dari mana?"
"Ki Lurah, aku bernama Tejomanik dan ini isteriku bernama Retno Susilo. Kami tinggal di lereng Gunung Kawi dan kini sedang melakukan perantauan sampai disini. Ceritakanlah, Ki Lurah, apa yang menyebabkan kalian ketakutan ini?"
Kata Tejomanik dan sengaja dia bicara kuat-kuat agar mereka yang berada di pekarangan rumah itu dapat mendengarnya karena dia tahu bahwa mereka semua ingin. sekali mendengarnya.
"Untuk menceritakan juga kami takut ..."
Kata Ki Lurah dengan wajah pucat dan tubuhnya gemetar.
Retno Susilo mengerutkan alisnya dan berkata marah.
"Kenapa begini ketakutan, Ki Lurah? Jangan takut, biar iblis setan brekasakan, akan kuhajar kalau berani mengganggu penduduk dusun!"
"Ceritakanlah, Ki Lurah dan jangan takut."
Kata Tejomanik.
"Ceritakan, Ki Lurah, ceritakan."
Beberapa suara penduduk mendesak lurah mereka.
Ki Lurah Selowono menoleh ke kanan kiri, lalu bercerita dengan suara lirih.
"Telah hampir sebulan ini, di daerah ini muncul... sepasang manusia iblis yang mengaku bernama Kaladhama dan Kala-jana. Mereka adalah dua orang yang bertubuh tinggi besar berbulu seperti raksasa. Mereka telah merajalela di pedusunan daerah ini. Setiap kali mereka minta disediakan dua orang anak gadis tercantik dari dusun berikut domba dan sekantung uang. Kalau permintaan itu tidak dipenuhi mereka lalu mengamuk, membunuh beberapa orang lalu menculik wanita muda. Beberapa dusun sudah berusaha untuk mengumpulkan para pemuda dan mengeroyok dua orang manusia iblis yang menyebut diri sebagai Dwi Kala itu, akan tetapi puluhan orang pemuda masih tidak mampu mengalahkan mereka, bahkan setiap dikeroyok, belasan orang pemuda tewas secara mengerikan. Dua orang itu selain digdaya, juga berracun. Mereka yang terluka pasti tewas karena lukanya menjadi kehitaman seperti digigit ular berbisa. Dan pagi tadi... dusun kami mendapat giliran. Mereka minta disediakan dua orang gadis cantik kambing, dan sekantung uang. Maka, sejak pagi tadi, kami semua ketakutan dan menutupkan pintu dan jendela, Denmas..."
"Hemm, bagaimana cara mereka minta semua itu? Apakah mereka muncul disini?"
Tanya Tejomanik.
"Tidak, Denmas. Yang terdengar hanya suara mereka saja, seperti geledek, mengajukan permintaan itu pagi tadi. Mereka bilang bahwa kalau sampai tengah hari permintaan mereka belum disediakan di pintu gapura dusun, mereka akan membunuhi penduduk dusun ini!"
"Keparat!"
Tiba-tiba Retno Susilo berseru marah, matanya mencorong dan alisnya berkerut.
"Dan kalian sudah menyediakan permintaan iblis keparat itu?"
"Tidak, masayu. Tidak ada orang"
Tua yang mau menyerahkan anak gadisnya kepada mereka. Kalau yang diminta hanya kambing dan ayam tentu akan kami berikan. Akan tetapi dua orang gadis..."
Ki Selowono memandang keluar lalu melanjutkan.
"dan sekarang... sekarang hampir tengah hari, denmas... kami takut..."
"Jangan takut. Kami akan menghadapi dua orang setan itu. Akan tetapi kalian harus memenuhi permintaan kami dan menurut petunjuk kami."
Kata Tejomanik.
"Tentu saja, denmas. Apa yang andika perlukan?"
"Begini, sediakan dua orang gadis, seekor kambing, seekor ayam dan sekantung uang..."
Terdengar seruan dari banyak mulut dan orang-orang itu mundur dengan muka pucat, mengira bahwa Tejomanik mengulangi permintaan Dwi Kala itu. jangan-jangan suami isteri ini penjelmaan dua orang manusia iblis itu!
Tejomanik tersenyum geli.
"Dengarkan dulu kata-kataku. Aku minta itu semua agar disediakan di gapura, untuk memancing datangnya dua jahanam itu. Percayalah, dua orang gadis itu hanya menjadi umpan, kami yang menanggung bahwa mereka tidak akan ada yang mengganggu!"
Biarpun Tejomanik berkata demikian, orang-orang itu menggeleng kepala dan tidak ada seorang pun mau memberikan gadis mereka menjadi umpan! Melihat semua orang tampak menggeleng kepala ketakutan, Retno Susilo menjadi marah.
"Kalian ini semua orang-orang pengecut! Kami berani menjamin bahwa dua orang gadis itu tidak ada yang mengganggu, kenapa masih juga ketakutan? Kalau begitu, kalian tidak mau membantu kami yang bermaksud menolong kalian dan membinasakan dua orang manusia iblis itu?"
Tiba-tiba dua orang gadis berlari keluar dari dalam dan memasuki pendopo itu.
"Kami berdua mau menjadi umpan!"
Komentar
Posting Komentar