Langsung ke konten utama

SERULING GADIN

  SERULING GADING  1 2 3 4 5 6 7 8 9 6 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 JILID 1    Puncak Argadumilah menjulang tinggi diselimuti awan putih bergerombol seperti sekelompok domba berbulu putih bergerak perlahan, berarak ke arah selatan. Sinar matahari pagi mulai menerangi permukaan Gunung Lawu yang tanahnya subur dan hijau penuh pohon dan tumbuhan. Kinar matahari pagi yang lembut dan hangat itu masih belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang amat dingin bagi manusia itu. Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah. Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu.    Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan A...

BAGUS SAJIWO JILID 19

  "Sarti dan Sarni...! Apa-apaan ini...?"

   Ki Lurah Selowono membentak kedua orang anaknya itu.

   "Bapak, kalau semua orang tidak mau membantu para penolong kita ini, lalu mereka pergi, bukankah kita akan terus terancam dua orang manusia iblis itu? Berilah kami kesempatan untuk membantu paman dan bibi yang mau menolong kami ini!"

   Kata Sarti, gadis berusia sekitar delapan belas tahun yang cukup manis dengan kulit putih mulus mengangguk-angguk.

   "

   "Denmas... mereka ini adalah dua orang puteri kami, hanya dua orang ini anak kami, bagaimana kalau sampai..."

   "Tenanglah, aku yang bertanggung jawab, Ki Lurah. Dua orang anakmu ini adalah gadis-gadis yang berhati harimau, tabah dan berani!"

   Kata Retno Susilo.

   "Mengingatkan aku ketika masih gadis! Hanya sayang, mereka adalah gadis-gadis lemah."

   "Bibi yang cantik dan gagah berani, yakinkah bibi akan dapat mengalahkan dua orang manusia iblis itu? Mereka kabarnya sakti mandraguna, dikeroyok tidak kalah, bahkan kabarnya kebal, tubuhnya keras seperti baja!"

   Kata Sarti kepada Retno Susilo.

   Mendengar ini Retno Susilo menghampiri sebuah patung terbuat dari besi yang berdiri di sudut pendopo itu. Dengan ringan diangkatnya patung yang berat itu, kemudian ia bertanya.

   "Apakah tubuhnya lebih kuat daripada besi ini?"

   Setelah berkata demikian, Retno Susilo mengeluarkan bentakan melengking, tangannya terbuka menghantam patung itu dan retaklah patung besi itu seolah dihantam palu godam yang kuat dan berat!

   Semua orang menahan napas melihat ini dan wajah mereka berseri penuh harapan. Kini Sarti dan Sarni menjadi semakin berani menjadi umpan untuk memancing munculnya Dwi Kala yang ditakuti itu.

   Sarti dan Sarni lalu mengenakan pakaian baru, berhias diri sehingga tampak manis dan segar bagaikan dua tangkai kembang yang sedang mekar. Mereka berdua kini duduk di atas bangku di gapura dusun dan disitu terdapat pula seekor domba gemuk dan seekor ayam. Sarti memangku sebuah kantung terisi uang.

   Penduduk mengintai dengan jantung berdebar penuh ketegangan, dari rumah-rumah yang berdekatan dengan pintu gapuro. Tejomanik dan Retno Susilo mengintai dari balik batang pohon besar yang tumbuh tak jauh dari pintu gapura.

   Setelah matahari berada tepat di atas kepala, tiba-tiba ada angin bertiup. Padahal tadinya tidak ada angin sama sekali. Tejomanik dan Retno Susilo dapat merasakan bahwa angin itu bukan angin sewajarnya, melainkan angin yang timbul dari kekuatan sihir! Diam-diam suami isteri ini waspada dan berhati-hati karena dari angin buatan sihir itu saja mereka berdua maklum bahwa tawan yang mereka hadapi bukan penjahat biasa, melainkan orang-orang sakti yang pandai pula menggunakan sihir yang kuat!

   Angin itu membuat daun-daun pohon tergetar dan ranting-ranting pohon naik turun menari-nari. Sarti dan Sarni tampak gemetar dan dengan mata terbelalak dan muka agak pucat mereka memandang ke arah pohon besar di balik mana suami isteri pelindung itu bersembunyi.

   Bagaimanapun juga, gadis-gadis dusun puteri Pak Lurah Selowono ini hanyalah gadis dusun yang sejak kecil percaya akan cerita tahyul tentang setan, iblis, gendruwo memedi, pocongan dan banyak lagi golongan setan yang menakutkan. Rambut mereka yang sudah digelung rapi itu kini tertiup angin, agak awut-awutan akan tetapi justeru menambah daya tarik dua orang gadis manis ini.

   "Hoa-ha-ha-ha, Kakang Kaladhama, pengantin-pengantin kita sudah menanti untuk kita jemput dan kita boyong, ha-ha-ha!"

   Suara itu parau dan dalam, juga lantang sekali sehingga terdengar menggelegar.

   "Hiya, Adi Kalajana! Wah, pengantin kita sekali ini malah paling bahenol diantara mereka yang terdahulu!"

   Terdengar suara kedua yang juga lantang dan mengandung getaran kuat.

   Tejomanik dan Retno Susilo maklum bahwa dua orang manusia iblis itu sengaja mengerahkan tenaga sakti ketika bicara agar terdengar lantang menyeramkan untuk menakut-nakuti warga dusun Krenting. Dan memang, semua warga, termasuk Ki Lurah Selowono, yang mengintai, ketika mendengar suara itu, mereka menggigil ketakutan dan dengan hati penuh ketegangan dan ketakutan mereka mengintai ke arah Sarti dan Sarni yang duduk di bangku dekat pintu gapura dusun itu.

   Tiba-tiba angin berhenti bertiup dan entah dari mana datangnya, tahu-tahu di dekat pintu gapura telah berdiri dua orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa.

   Yang seorang bermuka hitam, matanya besar melotot kedua lengannya yang kokoh dengan otot-otot menggelembung itu berbulu. Usianya sekitar empat puluh tahun. Pakaiannya mewah seperti pakaian seorang priyayi (bangsawan). Orang kedua juga sama tinggi besarnya, kokoh dan berbulu seperti orang pertama, akan tetapi mukanya burik (bopeng) sehingga tampak lebih jelek dan lebih menyeramkan daripada orang pertama. Orang kedua ini usianya lebih muda dua tiga tahun. Di pinggang dua orang ini tergantung senjata tak bersarung yang mengerikan, yaitu sebatang golok yang punggungnya merupakan gergaji! Kepala mereka memakai kain pengikat kepala model Blambangan.

   Melihat dua orang raksasa itu tiba-tiba muncul tak jauh di depan mereka, dalam jarak lima meter, Sarti dan Sarni menjadi pucat wajahnya dan tubuh mereka menggigil, kedua kaki mereka lemas sehingga mereka mencoba untuk bangkit berdiri dan melarikan diri, mereka terduduk kembali karena kedua kaki mereka tidak kuat berdiri!

   Tejomanik dan Retno Susilo dapat melihat berkelebatnya tubuh dua orang itu ketika mereka datang. Suami isteri ini mencatat bahwa dua orang seperti raksasa itupun memiliki gerakan yang amat ringan dan cepat. Mereka berdua menjadi semakin waspada dan atas isyarat Tejomanik, mereka berdua segera melompat sambil mengerahkan kepandaian mereka.

   Tejomanik menggunakan Aji Harina Legawa (Kijang Tangkas) ketika melompat dan Retno Susilo mengerahkan Aji Ktywung Sakti (Pelangi Sakti). Ilmu meringankan tubuh dan kecepatan gerakan mereka itu membuat mereka meluncur cepat dan tahu-tahu mereka sudah berdiri berhadapan dengan dua orang raksasa itu, menghadang diantara dua orang manusia iblis itu dengan calon korban mereka.

   "Sarti dan Sarni, pergilah kalian, masuk ke rumah yang terdekat!"

   Kata Retno Susilo.

   Dua orang gadis puteri Ki Lurah itu mendapatkan kembali tenaga mereka ketika melihat dua orang pelindung mereka muncul. Mereka lalu bangkit dan berlari ke sebuah rumah terdekat, dimana ayah mereka juga bersembunyi.

   Pintu rumah segera dibuka dari dalam dan dua orang gadis itu menghilang kedalam rumah. Pintu rumah itu ditutup kembali. Tak seorang pun warga dusun tampak di luar rumah. Semua bersembunyi di dalam dan mengintai dengan jantung berdebar. Mereka semua ketakutan karena maklum bahwa kalau dua orang penolong mereka kalah, dua orang manusia iblis itu tentu akan mengamuk dan membunuhi warga dusun Krenting!

   Dua orang raksasa itu melotot marah melihat suami isteri itu menghalang di depan mereka dan dua orang gadis yang dipersembahkan kepada mereka itu melarikan diri. Mereka hampir tidak percaya ada orang-orang berani menentang mereka.

   "Heh, bojleng-bojleng Iblis Laknat! Siapa kalian berani mengganggu kami berdua?"

   Bentak yang bermuka hitam.

   "Kalian ini sudah bosan hidup! Siapakah kalian?"

   Tanya yang bermuka burik.

   Dengan sikap tenang Tejomanik menjawab.

   "Kami adalah..."

   Belum habis Tejomanik bicara, Retno Susilo sudah memotongnya dengan suara galak.

   "Kalian ini manusia-manusia iblis yang harus memperkenalkan nama lebih dulu kepada kami! Kalian berdua yang mengganggu warga dusun-dusun di daerah ini dan sudah menjadi kewajiban kami untuk membasmi iblis-iblis pengganggu manusia macam kalian!"

   "Babo-babo, perempuan sombong!"

   Bentak yang mukanya burik.

   "Ha-ha-ha, Adi Kalajana, perempuan ini hebat, jauh lebih cantik menarik daripada perawan-perawan dusun yang bodoh itu. Yang ini cocok untukku, sudah masak, tidak hijau seperti mereka. Hei, perempuan cantik jelita, aku adalah Ki Kaladhama dan ini adikku Ki Kalajana. Kami dikenal sebagai Dwi Kala, jagoan-jagoan tanpa tanding di Blambangan! Nah, lebih baik engkau menyerah saja kepadaku, manis dan engkau kuboyong ke Blambangan, hidup mulia dan bahagia sebagai isteriku!"

   Wajah Retno Susilo berubah merah sekali, akan tetapi selagi ia hendak memaki dan menerjang, suaminya memberi isarat kepadanya sehingga ia menahan kemarahannya dan berdiam diri.

   Ki Tejomanik lalu berkata kepada dua orang itu.

   "Dwi Kala, ketahuilah bahwa aku bernama Ki Tejomanik dan ini isteriku bernama Retno Susilo. Seperti dikatakan isteriku tadi, kami adalah orang-orang yang selalu menentang mereka yang berbuat jahat kepada orang lain dan kami membela mereka yang lemah tertindas. Andika berdua membuat kacau di pedusunan daerah ini, terpaksa kami harus menentangmu. Sadarlah akan kesalahan kalian, Dwi Kala, sebelum terpaksa kami mempergunakan kekerasan untuk membasmi kalian!"

   "Ha-ha-ha, Tejomanik. Sumbarmu seolah kalian dapat memindahkan gunung! Kalian mau membasmi kami?"

   Dua orang raksasa itu tertawa bergelak.

   "Lebih baik engkau yang cepat minggat dari sini dan tinggalkan isterimu karena aku menyukainya!"

   Kata Kaladhama yang bermuka hitam.

   "Jahanam kuantar engkau ke neraka jahanam!"

   Teriak Retno Susilo dan ia sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar kehijauan dan ia sudah menerjang dengan serangan pedangnya itu kepada Kaladhama.

   Biarpun pedangnya itu hanya pusaka Nogo Wilis tiruan karena yang aselinya ia berikan kepada Sulastri, namun pedang itupun terbuat dari baja yang baik dan ketika menyambar berubah menjadi sinar hijau yang berbahaya.

   "Huh, lumayan juga kepandaianmu!"

   Kaladhama berseru kaget dan cepat melompat ke belakang.

   Ketika Retno Susilo mengejar, raksasa muka hitam ini sudah mencabut senjatanya yang menyeramkan. Golok dengan punggung gergaji itu panjang, lebar dan tebal. Tentu berat sekali. Akan tetapi di tangan raksasa ini, golok itu tampak ringan saja ketika dia membabatkan golok itu ke arah leher Retno Susilo. Wanita perkasa itu tidak mengelak melainkan menangkis dengan pengerahan tenaga karena ia ingin membuat senjata lawan terpental dan terlepas.

   "Wuuuttt... trangggg...!!"

   Keduanya terkejut dan melompat kebelakang karena mereka merasakan betapa tangan mereka yang memegang gagang senjata tergetar hebat. Baik Retno Susilo maupun lawannya, Kaladhama tahu bahwa lawannya memiliki tenaga sakti yang kuat. Mereka lalu saling serang dengan dahsyat dan ternyata memang kepandaian mereka seimbang!

   Sementara itu, Kalajana juga sudah menyerang Tejomanik dengan golok gergajinya. Goloknya yang besar dan berat itu mengeluarkan suara berdengung-dengung ketika meayambar-nyambar ke arah tubuh Tejomanik.

   Orang gagah dari Gunung Kawi ini menggunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak kesana-sini, akan tetapi setelah dia tahu bahwa lawannya ini juga tangguh sekali dan akan berbahaya kalau dia hanya melawan dengan tangan kosong, dia lalu melolos pecutnya.

   "Tar-tar-tarrrr...!!"

   Cambuk Bajrakirana meledak-ledak dan menyambar-nyambar laksana kilat.

   Kalajana terkejut sekali dan sebentar saja dia kewalahan, hanya mampu melindungi dirinya dengan putaran goloknya agar jangan sampai tersengat ujung pecut itu. Dia teringat akan sesuatu dan segera melompat jauh ke belakang sambil berseru.

   "Tahan...Andika... Sutejo dan pecut itu Sang Bajrakirana...?"

   Mendengar seruan adiknya itu, Kaladhama juga terkejut dan diapun melompat ke belakang dan memandang ke arah Tejomanik dengan mata terbelalak.

   "Benarkah andika Sutejo, Sang Bajra-kirana?"

   Dia juga bertanya.

   Retno Susilo berdiri di dekat suaminya, tangan kanan masih memegang gagang pedangnya dan tangan kiri bertolak pinggang, merasa penasaran karena perkelahiannya melawan Kaladhama tadi masih berimbang. Tejomanik mengamati kedua orang itu dan merasa bahwa dia tidak pernah bertemu dengan dua orang Blambangan itu.

   "Benar, di waktu muda aku bernama Sutejo dan senjataku ini memang benar pusaka Bajrakirana. Mengapa engkau menghentikan pertandingan? Kalau kalian tidak mampu menandingi kami, bertaubatlah, bebaskan para gadis yang kalian tawan, kembalikan semua benda yang kalian rampas dan jangan melakukan kejahatan lagi karena lain kali kami tidak akan dapat mengampuni kalian!"

   Kaladhama tertawa bergelak. Mukanya menengadah dan perutnya terguncang ketika dia tertawa.

   "Ha-ha-ha, kau kira kami takut padamu? Kami hanya khawatir kalau kalian menggunakan warga dusun untuk mengeroyok kami! Maka, kami tantang kalian untuk datang ke pondok kami di puncak bukit sana, kalau kalian berani dan disana kita lihat siapa diantara kita yang lebih kuat!"

   Raksasa itu menuding ke arah puncak bukit yang tidak begitu jauh dari dusun di lereng itu.

   "Siapa takut kepada manusia iblis macam kalian?"

   Bentak Retno Susilo marah.

   "Tunggu saja, aku akan memecahkan kepala kalian!"

   "Ho-ho-ha-ha, bagus sekali! Kalau aku kalah, kepalaku boleh kau pecah, akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau akan menjadi isteriku, ha-ha-ha!"

   Setelah berkata demikian, kedua orang itu lalu berlompatan dan lari ke arah puncak.

   Gerakan mereka gesit sekali, tidak se-suai dengan tubuh mereka yang tinggi besar dan tampak lamban.

   "Jahanam!"

   Retno Susilo memaki.

   "Hayo kita kejar ke puncak, Kakang-mas!"

   Ia mengajak suaminya.

   Akan tetapi Tejomanik menggeleng kepalanya.

   "Lihat, Diajeng. Matahari mulai condong ke barat, tak lama lagi menjelang sore. Kalau mereka menantang kita untuk melanjutkan pertandingan di puncak, tentu mereka mempunyai alasan yang kuat untuk mendapatkan kemenangan dan bukan mustahil kalau mereka sudah mengatur perangkap untuk kita. Pergi kesana dan tiba di puncak setelah hari mulai gelap, amat berbahaya."

   "Hemm, akan tetapi mereka menantang! Kalau kita tidak kesana tentu dapat dianggap bahwa kita takut!"

   "Tentu saja kita harus kesana menyambut tantangan mereka, Diajeng. Akan tetapi tidak sekarang, melainkan besok pagi. Kalau siang hari dan cuaca terang, kita tidak takut akan perangkap mereka."

   Pada saat itu, pintu-pintu rumah terbuka dan Ki Lurah Selowono, diikuti kedua orang puterinya dan para warga dusun, berbondong-bondong keluar dengan wajah berseri. Mereka tadi mengintai dan melihat betapa dua orang raksasa yang mereka takuti itu benar-benar kalah dan melarikan diri setelah bertanding dengan hebat melawan suami isteri penolong mereka itu.

   Para warga dusun kini berjongkok menghadap suami isteri itu, dan Ki Lurah Selowono memberi hormat dengan sembah dan tubuhnya membungkuk.

   "Denmas berdua telah menyelamatkan kami warga sedusun, untuk itu kami menghaturkan terima kasih dan tidak akan melupakan budi kebaikan Denmas dan Masayu!"

   Tejomanik berkata dengan lantang agar terdengar semua warga dusun yang berjongkok di sekelilingnya.

   Lebih dari seratus orang berkumpul disitu dan suara mereka ramai membicarakan perkelahian dahsyat yang tadi terjadi. Ketika Tejomanik mengangkat kedua tangannya ke atas, semua orang berdiam untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan penolong mereka itu.

   "Saudara-saudara warga dusun Krenting, dengarlah baik-baik. Dua orang penjahat itu, Dwi Kala biarpun melarikan diri namun mereka belum menyerah dan ancaman mereka terhadap pedusunan di daerah ini masih tetap ada. Mereka menantang kami berdua untuk datang ke tempat tinggal di puncak bukit. Kami hanya ingin memperingatkan kepada andika semua bahwa sikap mengalah dan menuruti permintaan orang-orang jahat seperti mereka adalah sikap yang salah. Orang-orang jahat seperti mereka itu, makin diberi hati akan semakin murka. Kami yakin, kalau andika sekalian mau bersatu dengan para warga dusun-dusun lain di daerah ini, lalu bersatu padu melakukan perlawanan, dua orang jahat itu pasti tidak akan mampu mengalahkan ratusan orang. Nah, mudah-mudahan ini menjadi pelajaran bagi Andika sekalian. Bersatu dan bangkitlah untuk melawan para penjahat yang mengganggu ketenteraman dusun-dusun di daerah ini. Kami berdua besok pagi akan mendaki puncak untuk memenuhi tantangan mereka karena sekarang hari telah menjelang sore. Kami tidak ingin menghadapi mereka dan berada disana di waktu malam gelap."

Setelah Tejomanik menghentikan ucapannya, para warga dusun kembali menjadi bising, membicarakan usul atau peringatan yang diucapkan penolong mereka tadi.

   Ki Lurah Selowono lalu berkata kepada Tejomanik dan Retno Susilo.

   "Mari, Denmas dan Masayu, kami persilakan andika berdua untuk beristirahat di rumah kami."

   Tejomanik dan Retno Susilo tidak menolak dan mereka pun mengikuti ki lurah ke rumahnya.

   Para warga dusun bubaran untuk melakukan pekerjaan masing-masing dengan gembira karena dua orang suami isteri perkasa itu masih tinggal di dusun mereka, menjamin keselamatan mereka dari ancaman Dwi Kala.

   Ki Lurah Selowono menjamu tamunya dengan pesta keluarga yang cukup meriah. Isteri ki lurah dan dua orang puterinya melayani. Malam itu Tejomanik dan Retno Susilo bersamadhi dalam kamar mereka untuk menghimpun kekuatan karena besok mereka akan menghadapi lawan berat yang mungkin kini sedang mengatur diri agar lebih kuat menghadapi mereka besok. Dengan adanya urusan ini, keduanya menahan diri dan tidak bicara tentang Bagus Sajiwo dan Ki Ageng Mahendra yang menjadi tujuan utama kedatangan mereka di daerah Pegunungan Ijen ini.

   Sementara itu, diam-diam Ki Lurah Selowono mengumpulkan para pemuda dusun dan mengadakan hubungan dengan dusun-dusun lain di daerah itu.

   Pada keesokan harinya, setelah matahari muncul dari balik puncak sehingga seluruh permukaan bukit menjadi terang, Tejomanik dan Retno Susilo berangkat mendaki puncak. Mereka berdua diantar oleh para warga dusun yang dipimpin Ki Lurah Selowono, akan tetapi mereka tidak melihat para pemuda dusun diantara mereka yang mengantar sampai ke pintu gerbang dusun Krenting. Akan tetapi suami isteri itu tidak mau bertanya dan mengira bahwa mereka tentu pagi-pagi sekali sudah berangkat ke sawah ladang.

   Setelah meninggalkan dusun Krenting dan mulai mendaki ke arah puncak, suami isteri itu bergerak dengan hati-hati sekali karena mereka menduga bahwa dua orang raksasa itu mungkin saja memasang perangkap. Dengan penuh kewaspadaan mereka mendaki, menggunakan aji meringankan tubuh sehingga mereka dapat mendaki dengan gesit dan ringan.

   Dalam keadaan seperti itu, mereka tidak saling bicara, tidak mau memecah perhatian. Kewaspadaan mereka membuat mereka peka sekali. Ada suara yang tidak wajar sedikit saja pasti akan dapat mereka tangkap dengan pendengaran mereka. Andaikata mereka diserang secara tiba-tiba, mereka tentu akan dapat menghindarkan diri karena seluruh panca indera mereka sudah siap dalam keadaan peka sekali.

   Akan tetapi tidak terjadi sesuatu. Perjalanan mereka lancar tidak mengalami gangguan sama sekali. Matahari naik semakin tinggi dan akhirnya mereka tiba di puncak.

   Di puncak bukit itu terdapat bagian yang datar dan di tengah tengah dataran padang rumput itu berdiri sebuah pondok kayu yang kokoh. Suami isteri itu merasa heran. Mereka tiba di puncak dan dalam pendakian itu mereka sama sekali tidak menemui rintangan apa pun! Mereka menjadi curiga. Apakah Dwi Kala diam-diam melarikan diri? Karena dalam pertandingan di dusun kemarin dua orang raksasa itu terdesak lalu memakai alasan menantang agar mereka mendapat kesempatan melarikan diri?

   Tejomanik dan Retno Susilo berhenti melangkah dan berdiri di depan rumah itu, dalam jarak belasan tombak. Tejomanik lalu mengerahkan tenaga sakti dan berseru lantang sehingga suaranya menggema disekitar puncak.

   "Dwi Kala, keluarlah! Kami sudah datang memenuhi tantangan kalian!"

   Hanya gema suara itu yang menjawab. Selagi Tejomanik hendak mengulang teriakannya, tiba-tiba mereka mendengar bunyi mendesis-desis dan tercium bau amis. Ketika mereka memandang kebawah, Retno Susilo menutup mulutnya agar jangan menjerit karena ia jijik sekali melihat puluhan ekor ular berlenggak-lenggok cepat menghampiri ke arah mereka!

   Bau yang amis itulah yang amat mengganggu Retno Susilo yang merasa jijik sehingga ia merasa napasnya sesak. Melihat ini Tejomanik berbisik.

   "Jangan panik, kita basmi ular-ular itu. Pasti ini kiriman mereka!"

   Setelah berkata demikian, dia melolos pecut sakti Bajrakirana.

   Begitu menggerakkan pecutnya, terdengar suara ledakan bertubi-tubi. Ular yang terkena lecutan ujung cambuk itu putus menjadi dua. Akan tetapi tubuh ular itu tidak mengeluarkan darah, bahkan potongan tubuh itu tiba-tiba lenyap. Ular-ular yang lain terus merayap hendak menyerbu.

   "Hemm, hanya ular jadi-jadian!"

   Kata Retno Susilo melihat ini dan iapun mengamuk dengan pedangnya, membabati ular-ular itu sampai akhirnya pecut suaminya dan pedang di tangannya membabat habis ular-ular itu yang begitu terbabat lalu menghilang.

   Baru saja puluhan ekor ular itu dapat dibasmi, terdengar bunyi bercicitan dan kelepak sayap. Ketika suami isteri itu memandang ke atas, mereka terkejut melihat puluhan ekor kelelawar hitam beterbangan menuju ke arah mereka, mengeluarkan bunyi dan mata mereka yang merah itu amat menyeramkan. Hemm, mana mungkin ada kelelawar muncul di siang hari, pikir Tejomanik.

   "Hajar mereka, Diajeng. Inipun hanya kelelawar jadi-jadian. Kelelawar tidak dapat berkeliaran di siang hari!"

   Kembali suami isteri itu mengamuk, menggunakan senjata mereka untuk menyambut puluhan ekor kelelawar yang beterbangan menyambar-nyambar menyerang mereka itu. Dan setiap ada kelelawar terkena sabetan pecut atau bacokan pedang, binatang itu jatuh ke atas tanah dan hilang!

   Setelah semua kelelawar itu musnah, Ketno Susilo berseru dengan suarg melengking nyaring.

   "Jahanam busuk Dwi Kala! Kalau memang berani keluarlah terima kematian, jangan menggunakan ilnlu setan yang tidak ada gunanya!"

   Tiba-tiba dari dalam pondok terdengar suara tawa yang bergelombang, naik turun seperti suara tawa iblis sendiri. Suara itu mengandung getaran jang amat kuat sekali sehingga suami isteri itu merasakan guncangan pada jantung mereka!

   Cepat mereka mengatur pernapasan dan mengerahkan tenaga batin untuk melindungi diri sehingga suara tawa itu lewat begitu saja tanpa mendatangkan akibat buruk pada mereka. Akan tetapi mereka harus mengakui bahwa serangan dengan suara tawa itu sungguh dahsyat dan orang yang mengeluarkan suara tawa seperti itu pasti memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam mereka merasa heran. Dwi Kala pernah bertanding dengan mereka dan agaknya dua orang itu tidak akan mampu mengeluarkan suara tawa sehebat itu! Mereka berdua makin waspada.

   ketika suara tawa itu berhenti, daun pintu pondok terbuka dan muncullah Dwi Kala. Mereka menyeringai dan senjata golok gergaji sudah berada di tangan kanan mereka, sedangkan tangan kiri mereka memegang sebatang dupa biting yang kini mereka tancapkan di balik kain putih yang diikatkan di kepala mereka!

   Tejomanik yang sudah mempunyai banyak pengalaman itu maklum apa artinja itu. Dua orang raksasa itu menggunakan ilmu sihir dan dupa membara yang mengeluarkan asap putih menghubungkan mereka berdua dengan sumber kekuatan setan, atau orang yang mampu mempergunakan kesaktian setan! Akan tetapi dia tidak takut dan berbisik kepada isterinya.

   "DIAJENG, biarkan aku yang menghadapi Si Muka Hitam karena dia lebih tangguh."

   Retno Susilo mengangguk dan iapun sudah memegang pedangnya, siap menyambut serangan lawan. Sedikitpun wanita gagah perkasa dan pemberani ini tidak merasa gentar walaupun ada hawa aneh menyeramkan, seperti kalau berada seorang diri di tanah kuburan, terbawa oleh munculnya dua orang raksasa itu. Apalagi bau dupa itu, mengingatkan ia akan "makanan"

   Setan yang sering dihidangkan oleh mereka yang memujanya.

   Kini dua orang Dwi Kala telah melangkah menghampiri mereka dan telah berhadapan dengan suami isteri itu dalam jarak dua tombak. Mereka saling pandang dengan sinar mata mencorong, seperti hendak menjajaki kemampuan masing-masing.

   "Bojleng-bojleng Iblis Laknat!"

   Kata Kalajana.

   "Kalian berani datang juga untuk menyerahkan nyawa?"

   "Ha-ha-ha! Adi Kalajana, yang ini bukan menyerahkan nyawa saja, akan tetapi juga badannya yang denok ayu!"

   Kata Kaladhama sambil memandang kepada Retno Susilo.

   Wanita ini bergidik dan marah sekali karena pandang mata raksasa muka hitam itu seolah menelanjangi dan menggerayangi seluruh tubuhnya!

   "Tidak perlu banyak cakap, Dwi Kala. Mari kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul!"

   Kata Tejomanik yang sudah siap dengan pecut sakti Bajrakirana.

   "Ha-ha-ha, Tejomanik! Engkau yang harus mati di tangan kami untuk menenangkan arwah paman-paman guru Ki Klabangkolo dan Resi Menak Koncar!"

   Kata Kaladhama.

   Tejomanik mengerutkan alisnya.

   "Hemm, jadi kalian ini murid-murid keponakan mendiang Ki Klabangkolo dan Resi Menak Koncar?"

   "Juga untuk membalaskan kematian mendiang Kyai Sidhi Kawasa, sahabat baik guru dan para paman guru kami! Tejomanik atau Sutejo, kami tak pernah dapat melupakan dendam ini. Selama bertahun-tahun kami mempelajari ilmu untuk mencari Sutejo, si pemegang pecut sakti Bajrakirana! Paman Guru Klabangkolo tewas di tangan ayahmu, Ki Harjodento, dan Kyai Sidhi Kawasa tewas di tanganmu! Maka, hari ini engkau harus mati dan isterimu yang denok ayu ini akan menjadi milikku!"

   Kata Kaladhama dan tiba-tiba saja dia dan adiknya, Kalajana sudah menerjang ke arah Tejomanik dengan menggunakan senjata mereka yang menggiriskan, yaitu golok be-sar yang punggungnya berbentuk gergaji.

   Tejomanik cepat menggerakkan pecut sakti Bajrakirana yang meledak-ledak dan ujungnya mengeluarkan kilatan api, menangkis serangan dua orang lawan yang tangguh itu. Ketika mereka hendak menerjang lagi, Retno Susilo sudah maju menyerang ke arah Kalajana dengan pedangnya. Raksasa ini menangkis lalu balas menyerang.

   Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Diam-diam Tejomanik dan Retno Susilo terkejut bukan main karena terasa oleh mereka betapa dua orang lawan itu lebih tangguh daripada kemarin!

   Selain tenaga sakti mereka seolah bertambah kuat dan besar sekali, juga bau dupa yang mengepul dari kepala mereka itu benar-benar membikin pusing! Setelah lewat puluhan jurus, hanya berkat kehebatan pecut sakti Bajrakirana Saja mereka masih mampu bertahan. Dengan gulungan sinar pecutnya, Tejomanik bukan saja mampu melindungi dirinya, akan tetapi juga mampu membantu isterinya yang terdesak oleh Kalajana!

   Kemudian, ledakan-ledakan pecut sakti yang disertai api pada ujungnya memiliki tenaga yang mampu melawan bau dupa yang mengandung pengaruh kuat membuat mereka pusing itu.

   Akan tetapi pertahanan yang kokoh kuat dari Tejomanik dengan pecut saktinya itu, tidak dapat berlangsung lama karena tiba-tiba saja datang angin besar seperti badai! Anehnya, dua orang Kala itu tidak terpengaruh, akan tetapi suami isteri itu diterpa angin yang membuat gerakan mereka menjadi tidak tetap. Bahkan angin itu mulai berputar dan terjadilah angin lesus (pusaran angin) yang menyerang suami isteri itu, padahal kedua raksasa itu sama sekali tidak terpengaruh!

   Retno Susilo terhuyung. Tejomanik maklum bahwa mereka diserang ilmu sihir yang amat kuat. Dia mengerahkan seluruh tenaga batinnya dan memutar pecut sakti Bajrakirana untuk melindungi diri sendiri dan isterinya.

   Mendadak, dalam angin lesus itu terdengar suara yang menyeramkan, seolah suara dari neraka, suara setan-setan. Ada suara tangis ada tawa, ada yang berteriak-teriak, memaki-maki, merintih, dan suara itu benar-benar mengguncangkan hati.

   Retno Susilo hanya dapat memutar pedangnya melindungi dirinya dengan lemah saja. Untung pecut Bajrakirana masih menjadi gulungan sinar yang melindunginya, kalau tidak tentu ia sudah dapat ditangkap Kaladhama yang ingin sekali menangkap dan memeluknya.

   Kemudian, terdengar suara orang bicara. Suara itu tinggi kecil seperti suara wanita, melengking dan menggetar penuh wibawa.

   "Tejomanik dan Retno Susilo, kalian tidak mampu menguasai diri dan harus menurut semua perintahku! Lepaskan senjata kalian! Tejomanik, Retno Susilo, lepaskan senjata kalian kataku! Hayo, lepaskan!!"

   Pengaruh yang amat kuat mendorong suami isteri itu untuk melepaskan senjata mereka. Tejomanik mengerahkan tenaga dan dia berhasil mempertahankan senjata dan memutar pecut sakti Bajrakirana untuk melindungi dirinya dan isterinya.

   Akan tetapi Retno Susilo tidak mampu lagi mempertahankan diri. Ia melepaskan pedang dari tangannya dan berdiri seperti patung yang kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa! Kaladhama girang sekali dan hendak menubruknya, akan tetapi gulungan sinar pecut Bajra-kirana menghalanginya. Dia menjadi marah dan tahu bahwa sebelum dia dan adiknya merobohkan Tejomanik, akan sukarlah dia dapat merangkul Retno Susilo! Maka dia lalu bersama adiknya menerjang dan mengeroyok Tejomanik yang pertahanannya agak goyah karena dia harus mempertahankan diri terhadap ilmu sihir yang mendatangkan angin lesus dan suara-suara mengerikan itu.

   Terdengar pula suara tinggi melengking itu, menembus sampai ke telinga Retno Susilo.

   "Retno Susilo, bagus andika sudah menurut kepadaku, sekarangj kesinilah, Retno Susilo. Andika tidak dapat menolak, tidak dapat menguasai kaki sendiri. Melangkahlah kesini, Retno Susilo!"

   Bagaikan dalam mimpi, Retno Susilo tidak mampu mempertahankan kedua kakinya yang mulai bergerak, melangkah ke arah pondok! Melihat ini, Tejomanik menjadi khawatir sekali.

   "Diajeng Retno, jangan pergi kesana! Berhentilah!"

   Agaknya suara suaminya ini membuat Retno Susilo meragu sehingga sejenak ia berhenti. Akan tetapi suara yang memanggil-manggil itu membuat kedua kakinya bergerak sendiri. Hatinya menahan, akan tetapi pertahanannya itu hanya membuat langkahnya perlahan-lahan dan pendek-pendek.

   Tejomanik menjadi khawatir dan kebingungannya ini membuat pertahanannya kacau sehingga dia mulai terdesak hebat oleh pengeroyokan dua orang raksasa yang tangguh itu.

   "Sambutlah Aji Kalabendu!!"

   Kala-dhama membentak dan tangan kirinya memukul dengan tangan terbuka.

   Angin dahsyat menyambar dan tahu bahwa dia diserang pukulan sakti, Tejomanik juga mendorongkan tangan kiri dengan menggunakan Aji Bromokendali untuk menyambut serangan lawan.

   "Blarrr...!!"

   Dua hawa sakti bertemu dengan hebatnya dan tubuh Kaladhama terpental ke belakang.

   "Aji Tatit Geni!"

   Bentak Kalajana yang juga menyerang dengan tangan kirinya. Tampak kilatan api menyambar dari tangan kirinya.

   Kembali Tejomanik menyambut dengan Bromokendali dan tubuh Kalajana juga terhuyung. Dalam adu tenaga sakti ini ternyata Tejomanik masih lebih kuat. Akan tetapi dua orang lawannya itu juga hebat. Serangan mereka yang tertangkis dan gagal itu tidak membuat mereka terluka dan kini mereka mengeroyok dengan senjata mereka.

   Kalau dibuat perbandingan, Tejomanik memiliki tingkat kepandaian yang lebih kuat dibanding Kaladhama atau Kalajana. Akan tetapi dua orang raksasa itu maju bersama dan mereka dibantu oleh kekuatan sihir yang amat kuat, yang sampai sekarang penyerangnya belum memperlihatkan diri.

   Semua itu ditambah lagi dengan kekhawatirannya melihat betapa Retno Susilo sudah terpengaruh sihir yang kuat dan kini isterinya itu menghampiri pondok perlahan-lahan. Bahkan bentakannya tadi pun tidak dapat menyadarkan Retno Susilo. Tentu saja dia menjadi gelisah dan hal ini semakin memperlemah pertahanannya.

   Dia kini mengamuk dan menggunakan tangan kiri membantu pecutnya, mengirim pukulan Gelap Musti dan Bromo-kendali berganti-ganti. Aji pukulan yang dua ini hebatnya bukan main. Akan tetapi dua orang lawannya itu bukan hanya sakti, melainkan juga cerdik dan mereka tidak mau menyambut pukulan-pukulan yang mengandung tenaga sakti amat kuat itu. Mereka kini bergerak cepat sekali, menyerang dengan golok gergaji di tangan kanan dan melancarkan serangan pukulan sakti dengan tangan kiri.

   Karena perhatian Tejomanik terpecah, sebagian memperhatikan Retno Susilo yang kini sudah tiba dekat pondok, dia menjadi lengah.

   "Wuuuttt... desss...!"

   Sebuah pukulan tangan kiri Kaladhama mengenai pundaknya. Pukulan itu menggunakan Aji Kala-bendu yang mengeluarkan hawa panas.

   Tubuh Tejomanik terpelanting. Untung dia memiliki Aji Kekebalan Kawoco sehingga tidak terluka, namun karena terpelanting roboh pertahanannya menjadi semakin lemah. Kedua orang raksasa itu dengan girang melompat ke depan dan menggerakkan golok mereka menyerang.

   "Singgg... trang-tranggg...!"

   Pecut sakti Bajrakirana dapat menangkis dan Tejomanik sudah melompat berdiri lagi.

   Akan tetapi tiba-tiba datang angin lesus dibarengi suara-suara yang mengerikan itu, membuat Tejomanik merasa kepalanya pusing dan jantungnya tergetar karena guncangan yang diakibatkan suara-suara setan itu.

   Karena angin lesus itu agaknya tidak mampu membuat satria yang gagah perkasa itu terseret, agaknya si pelepas kekuatan sihir lalu mengubah sihirnya dan tiba-tiba datang asap hitam menggelapkan pandang mata Tejomanik.

   Cuaca menjadi gelap pekat dan suara itu semakin mengerikan. Dua orang lawannya menyerang dengan dahsyat dari kanan kiri. Tejomanik tidak dapat melihat mereka, hanya dapat menangkap gerakan penyerangnya itu dengan pendengarannya yang juga dikacau oleh suara-suara itu.

   Dia lalu memutar pecut saktinya. Pecut Bajrakirana menjadi gulungan sinar yang melindungi tubuhnya sehingga semua serangan kedua golok gergaji itu tertangkis oleh sinar pecut. Bagaimanapun keadaan Tejomanik gawat sekali. Apalagi Retno Susilo yang sudah sampai di depan pondok, maju perlahan sekali seperti orang linglung!

   Tiba-tiba terdengar suara tiupan seruling. Suara itu merdu sekali, melengking-lengking dengan nada yang aneh, mengalunkan lagu yang aneh pula.

   Akan tetapi lengkingan suara seruling itu membawa getaran yang amat lembut dan asap hitam itu segera menghilang!

   Semua suara setan itu pun berhenti sehingga Tejomanik dapat melihat dua orang lawan-nya dengan baik. Kepalanya tidak terasa pusing lagi. Yang membuat hatinya girang, Tejomanik melihat betapa isterinya, yang tadi telah tiba di depan pondok, tiba-tiba berseru keras dan melompat ke tempat perkelahian, mengambil pedangnya yang tadi ia lepaskan lalu menerjang lawan, membantunya menghadapi Dwi Kala!

   "Uh-uh-uh... siapa berani memunahkan ajianku...?"

   Terdengar suara serak

   dan seorang kakek berusia kurang lebih tujuh puluh lima tahun muncul dari pintu pondok.

   Kakek itu bertubuh kurus kering dan bongkok, pakaiannya dari kain hitam yang dilibat-libatkan di tubuhnya yang kurus, mukanya tampak tua sekali dan kurus seperti tengkorak terbungkus kulit, matanya mencorong seperti mata kucing di tempat gelap dan tangannya memegang sebatang tongkat kayu cendana.

   "Kakek iblis, ilmu setanmu tidak akan dapat mengalahkan manusia baik-baik yang dilindungi Kekuasaan Gusti Allah!"

   Terdengar suara lembut namun berwibawa.

   Kakek tua renta itu memandang dan tahu-tahu disitu telah muncul dua orang yang menentangnya dengan pandang mata tajam.

   Yang seorang adalah pria berusia kurang lebih tiga puluh tiga tahun, wajahnya tampan matanya lembut, wajah yang cerah dan selalu tersenyum. Tubuhnya sedang saja namun pembawaannya menunjukkan bahwa dia memiliki kekuatan tersembunyi yang amat kuat.

   Adapun orang kedua adalah seorang wanita, sekitar tiga puluh satu tahun usianya. Cantik dan gerak-geriknya juga lembut namun sinar matanya dapat mencorong galak. Wajahnya bulat dengan dagu runcing, matanya seperti bintang, hidung mancung dan mulutnya memiliki sepasang bibir yang menggairahkan.

   Mereka adalah sepasang suami isteri. Yang pria bernama Parmadi, seorang satria dan pendekar ternama yang juga banyak berjasa terhadap Mataram, akan tetapi menolak pemberian kedudukan oleh Sultan Agung dan kini tinggal di Pasuruhan.

   Dia pendekar yang terkenal dengan julukan Seruling Gading karena itulah senjatanya yang amat ampuh. Adapun wanita itu, isterinya, bernama Muryani, juga seorang wanita gagah perkasa yang dulu menjadi murid Nyi Rukmo Petak. Bersama suaminya, ia membantu bala tentara Mataram ketika berperang melawan Kumpeni Belanda. Suami isteri ini sudah sepuluh tahun menikah, namun mereka belum dikaruniai anak. Inilah yang membuat mereka tidak merasa betah tinggal di rumah dan mereka berdua banyak merantau dan dimanapun mereka berada, mereka selalu melaksanakan tugas sebagai pendekar. Mereka menegakkan keadilan, membela kebenaran yang berada di pihak tertindas, dan menentang semua pelaku-pelaku kejahatan.

   Tadi Parmadi meniup seruling gadingnya meniupkan nada-nada dari Aji Sunyatmaka lewat suara suling.

   Aji Sunyat-maka (Jiwa Bebas) merupakan keadaan jiwa yang bebas dan menyerah kepada Gusti Allah sehingga kekuasaanNya yang membimbing dan melindungi. Kalau kekuasaan ini melindungi seseorang, segala macam ilmu yang datangnya dari Kuasa Kegelapan (Setan) akan mundur ketakutan. Maka ketika dia meniup sulingnya, semua kekuatan sihir yang dilepas kakek tua renta itu yang sejak tadi tinggal di dalam pondok, menjadi buyar.

   Siapakah kakek tinggi kurus dan bongkok itu? Dia bernama Bhagawan Kolasrenggi, seorang pertapa yang berasal dari Blambangan dan tinggal di Bali, akan tetapi yang kini pindah dan kembali ke Blambangan, bertapa di sebuah bukit di Semenanjung Blambangan.

   Dia adalah kakak seperguruan dari Wiku Menak Jelangger dan Wiku Menak Koncar. Watak kakek ini sama sekali berbeda dengan watak Wiku Menak Jelangger yang baik budi, dan bahkan lebih tersesat dibandingkan mendiang Wiku Menak Koncar yang menyeleweng dari jalan kebenaran.

   Selama tinggal puluhan tahun di Bali, dia telah memperdalam ilmu-ilmunya, terutama sekali ilmu sihir, tenung, santet dan sebagainya. Sang bhagawan ini pindah ke Blambangan membawa dua orang muridnya dari Bali, yaitu Dwi Kala, yang selalu melayani dan mencukupi segala kebutuhannya.

   Dwi Kala ini juga merupakan orang-orang sesat dan terkenal sebagai pelaku-pelaku kejahatan di Bali, maka mereka dan guru mereka dimusuhi para pendekar di Bali. Bahkan Raja Klungkung di Bali juga mengerahkan pasukannya yang bersama para pendekar lalu memusuhi Bhagawan Kalasrenggi dan Dwi Kala sehingga akhirnya mereka bertiga melarikan diri menyebrangi Selat Bali dan kembali ke Blambangan.

   Setelah tiba di Blambangan, Bhagawan,. Kalasrenggi mendengar akan kematian adik seperguruannya, yaitu Wiku Menak Koncar dan juga adik seperguruannya yang lain, yaitu Ki Klabangkolo. Marahlah dia dan mendengar Kyai Sidhi Kawasa yang dulu menjadi sahabatnya juga tewas, dia lalu menganggap Sutejo atau Tejomanik dan para satria Mataram sebagai musuh besarnya.

   Itulah sebabnya mengapa Kaladhama dan Kalajana, ketika merasa tidak mampu mengalahkan Tejomanik dan Retno Susilo, lalu menantang suami isteri itu ke pondok mereka dengan maksud agar guru mereka membantu mereka merobohkan satria yang dianggap musuh besar mereka itu.

   Akan tetapi setelah dua orang Dwi Kala dan guru mereka sudah hampir berhasil merobohkan Tejomanik dan menawan Retno Susilo, tanpa mereka sangka-sangka, muncul suami isteri lain yang juga amat digdaya, bahkan yang pria dengan tiupan seruling gadingnya mampu membuyarkan semua pengaruh ilmu sihir Bhagawan Kalasrenggi!

   Bhagawan Kalasrenggi merasa penasaran sekali dan ia keluar dari pintu pondok untuk melihat siapa orangnya yang telah membuyarkan ilmu sihirnya.

   Dia hampir tidak percaya kalau yang mampu membuyarkan ilmu hitam yang dipelajari selama berpuluh tahun itu hanyalah seorang laki-laki yang masih muda, baru tiga puluh tahun lebih usianya!

   "Babo-babo, orang muda sombong. Ubun-ubunmu masih bau kencur, engkau berani menantang aku? Sambut ini, baru engkau mengenal siapa Bhagawan Kala srenggi!!"

   Kakek itu menodongkan tongkatnya dan dari ujung tongkat itu keluar asap putih bergulung-gulung dan asap itu membentuk wujud yang mengerikan.

   Seorang mahluk seperti setan, bertaring, matanya melotot besar, lidahnya terjulur keluar dan dari mulutnya tampak api bernyala-nyala. Mahluk itu lalu menyemburkan bola-bola api ke arah Parmadi dan Muryani. Maklum akan kedahsyatan ilmu setan ini, Muryani cepat menyelinap ke belakang tubuh suaminya.

   Parmadi tidak mengelak, juga tidak menangkis, melainkan segera meniup dan memainkan sulingnya.

   Kembali terdengar alunan nada aneh keluar dari seruling gading itu, nadanya mengalun syahdu, mendatangkan rasa tenang di hati para pendengarnya. Bola-bola api yang disemburkan jejadian itu menyambar, akan tetapi anehnya, sebelum mengenai tubuh Parmadi, dalam jarak sejengkal, bola-bola api itu rontok dan jatuh ke atas tanah!

   Melihat serangannya gagal, Bhagawan Kalasrenggi menyimpan kembali mahluk itu dan kini dia menancapkan tongkatnya di depan tubuhnya, lalu mendorongkan kedua tangannya ke arah Parmadi.

   Melihat serangan yang mengandung hawa pukulan tenaga sakti yang kuat itu, Parmadi menyambutnya dengan dorongan kedua tangan pula setelah menyelipkan seruling gading di pinggangnya.

   Muryani tadi tidak dapat membantu ketika suaminya bertanding menghadapi sihir kakek itu. Akan tetapi begitu melihat kakek itu menyerang dengan pukulan jarak jauh, iapun membantu suaminya ikut menyambut dengan mendorongkan kedua tangan dan mengerahkan Aji Bromo Latu yang mengandung hawa panas.

   "Wuuutt... blarrr...!"

   Tenaga gabungan suami isteri itu bertemu dengan tenaga sakti Bhagawan Kalasrenggi.

   Demikian dahsyat pertemuan tenaga itu sehingga tanah di sekitarnya tergetar. Suami isteri itu mundur tiga langkah, akan tetapi kakek tua renta itu terhuyung ke belakang.

   Biarpun kakek sakti mandraguna itu tidak terluka, namun dia tahu bahwa mengadu tenaga sakti melawan dua orang itu, dia kalah kuat.

   Pada saat itu, terdengar sorak sorai dan ratusan orang warga pedusunan daerah itu berlari-larian mendaki puncak bukit. Melihat ini, gentarlah hati Bhagawan Kalasrenggi. Dia lalu mengacungkan tongkat yang sudah dia cabut dari atas tanah, membaca mantra dan menggoyang-goyangkan tongkat itu. Angin besar datang bertiup dan muncul asap hitam yang amat tebal, membuat cuaca menjadi gelap.

   Kaladhama dan Kalajana yang sudah terdesak sekali melawan Tejomanik dan Retno Susilo, menjadi terkejut dan panik melihat munculnya ratusan orang yang mengacung-acungkan senjata golok, linggis, cangkul dan lain-lain.

Maka, begitu melihat asap hitam, mereka maklum bahwa guru mereka mengajak mereka melarikan diri. Cepat mereka melompat kebelakang dan menghilang dalam asap hitam, mengikuti guru mereka.

   Terdengar suling mendayu-dayu ketika Parmadi meniup serulingnya dan perlahan-lahan asap hitam dan angin ribut menghilang. Akan tetapi tiga orang itu telah lenyap dari situ.

   Ratusan orang warga pedusunan itu tercengang dan berhenti ketika melihat asap hitam. Akan tetapi setelah asap hitam menghilang, mereka bersorak lagi dan berlari-larian menghampiri. Mereka langsung menyerbu ke dalam pondok dan berhasil menemukan enam orang gadis yang diculik oleh Dwi Kala, juga menemukan uang yang juga secara terpaksa ! karena takut diserahkan oleh warga dusun. Mereka menyelamatkan semua itu, kemudian ramai-ramai membakar pondok.

   Sementara itu dua pasang suami isteri yang sudah saling mengenal itu ber-cakap-cakap. Mereka berempat pernah sama^sama membantu pasukan Mataram ketika Mataram menyerang Kumpeni Belanda di Batavia.

   "Wah, berbahaya sekali Bhagawan Kalasrenggi itu! Dia sakti mandraguna, sayang sekali kesaktiannya dipergunakan untuk berbuat jahat!"

   Kata Parmadi sambil menghela napas panjang.

   "Mungkin yang jahat itu dua orang muridnya, Dwi Kala itu, dan dia hanya membantu murid-muridnya. Sungguh mengherankan, bagaimana ada orang-orang sesat yang begitu sakti berada disini? Adi Parmadi, untung andika berdua muncul, kalau tidak, kami berdua sudah terancam bahaya besar tadi. Terima kasih!"

   Kata Tejomanik.

   "Ah, Kakangmas berdua tentu akan melakukan hal yang sama sekiranya melihat kami berdua diancam bahaya! Kita patut berterima kasih kepada Gusti Allah sehingga mampu mengusir tiga orang manusia iblis tadi."

   Kata Parmadi.

   Retno Susilo sudah saling rangkul dengan Muryani. Mereka adalah kakak beradik tunggal guru walaupun mereka baru saling bertemu satu kali ketika sama-sama membantu pasukan Mataram. Dua orang wanita ini adalah murid mendiang Nyi Rukmo Petak.

   "Muryani, bagaimana engkau dan suamimu dapat muncul pada saat yang sangat tepat? Kalian hendak pergi kemana?"

   Tanya Retno Susilo.

   "Mbakayu Retno Susilo, kami berdua sedang melakukan perjalanan merantau dan di lereng bukit tadi kami melihat ratusan orang berbondong-bondong mendaki puncak. Karena ingin tahu apa yang terjadi, kami bertanya dan mereka mengatakan bahwa mereka sedang hendak menyerang dua orang manusia iblis berwujud raksasa di puncak. Mendengar keterangan mereka bahwa Kakangmas Tejomanik dan Mbakayu Retno Susilo sudah lebih dulu naik ke puncak untuk membasmi para penjahat, kami berdua segera menyusul kesini."

   Kata Muryani.

   Mereka berempat bercakap-cakap dengan gembira karena tidak disangka-sangka dapat saling bertemu dan bekerja sama menghadapi Dwi Kala dan guru mereka yang sakti mandraguna, tidak memperdulikan para warga dusun yang mengobrak-abrik isi pondok bahkan lalu membakar pondok itu.

   Setelah para warga pedusunan disekitar bukit itu melampiaskan kemarahan mereka dan menyelamatkan enam orang gadis, kini mereka, dipimpin Ki Lurah Selowono, lalu berlutut menghadap ke arah empat orang penolong mereka.

   Empat orang kepala dusun maju menghampiri dua pasang suami isteri pendekar itu dan Ki Lurah

   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAGUS SAJIWO

BAGUS SAJIWO BAGUS SAJIWO JIL ID 01 BAGUS SAJIWO JIL ID 02 BAGUS SAJIWO JIL ID 03 BAGUS SAJIWO JIL ID 04 BAGUS SAJIWO JIL ID 05 BAGUS SAJIWO JIL ID 06 BAGUS SAJIWO JIL ID 07 BAGUS SAJIWO JIL ID 08 BAGUS SAJIWO JIL ID 09 BAGUS SAJIWO JIL ID 10 BAGUS SAJIWO JIL ID 11 BAGUS SAJIWO JIL ID 12 BAGUS SAJIWO JIL ID 13 BAGUS SAJIWO JIL ID 14 BAGUS SAJIWO JIL ID 15 BAGUS SAJIWO JIL ID 16 BAGUS SAJIWO JIL ID 17 ...

ALAP-ALAP LAUT KIDUL

JILID 1 JILID 2 JILID 3 JILID 4 JILID 5 JILID 6 JILID 7 JILID 8 JILID 9 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33