SERULING GADING 1 2 3 4 5 6 7 8 9 6 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 JILID 1 Puncak Argadumilah menjulang tinggi diselimuti awan putih bergerombol seperti sekelompok domba berbulu putih bergerak perlahan, berarak ke arah selatan. Sinar matahari pagi mulai menerangi permukaan Gunung Lawu yang tanahnya subur dan hijau penuh pohon dan tumbuhan. Kinar matahari pagi yang lembut dan hangat itu masih belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang amat dingin bagi manusia itu. Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah. Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu. Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan A...
Selowono mewakili mereka memberi hormat dan berkata.
"Kami seluruh keluarga warga empat buah dusun menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Den mas berempat sehingga kdmi dapat membebaskan enam orang gadis yang diculik para penjahat tadi. Kami sudah mengenal nama Denmas Tejomanik dan Masayu Retno Susilo, akan tetapi kami ingin mengetahui juga nama andika berdua yang baru datang dan yang menjadi penolong kami pula."
Parmadi tersenyum.
"Paman, kami hanya orang-orang biasa, sama seperti andika sekalian. Namaku Parmadi dan ini isteriku bernama Muryani."
Tejomanik lalu berkata dengan suara lantang.
"Para warga pedusunan daerah ini, dengarkan baik-baik! Kalau dusun-dusun andika sekalian diganggu orang-orang jahat, lakukanlah seperti yang kalian lakukan sekarang ini. Kalau kalian bersatu padu menentang penjahat, dengan ratusan orang seperti ini, kami yakin tidak akan ada penjahat berani mengganggu kalian!"
"Terima kasih, Denmas Tejomanik. Kami menyadari akan kebenaran itu. Sekarang, kami mohon sudilah Denmas ber-empat memberi kesempatan kepada kami untuk menyambut Denmas berempat sebagai tamu kehormatan dan untuk menyampaikan rasa terima kasih kami."
Kata Ki Lurah Selowono yang serempak di-ikuti oleh tiga orang lurah lainnya.
Parmadi mengerutkan alisnya dan hendak menolak. Apa yang mereka ber-empat lakukan adalah hal wajar saja dan sudah menjadi kewajiban mereka. Tidak perlu disanjung dan dipuji.
Akan tetapi Tejomanik memandang kepadanya dan berkata.
"Adimas Parmadi, kami perlu sekali bicara dengan mereka untuk bertanya tentang putera kami. Maka, marilah kita terima undangan mereka."
Parmadi mengangguk dan tersenyum. Mereka menerima undangan itu bukan karena ingin disanjung, melainkan karena ada hal yang perlu sekali ditanyakan oleh Ki Tejomanik.
Semua orang kini beramai-ramai turun dari puncak, dimana pondok itu masih terbakar. Tiga orang lurah dari dusun lain ikut pula ke rumah Ki Lurah Selowono untuk menyambut empat orang tamu kehormatan mereka itu.
Setelah dijamu dalam pesta makan bersama dengan empat orang lurah dan isteri mereka, dua pasang suami isteri itu lalu mengajak para lurah itu bercakap-cakap dan dalam kesempatan ini Tejomanik mulai dengan penyelidikannya.
"Paman Lurah Selowono, aku ingin sekali mendengar keterangan andika sekalian tentang seorang pertapa yang bertapa di Pegunungan Ijen ini. Namanya Ki Ageng Mahendra. Apakah andika sekalian mengenal nama itu dan mengetahui dimana tempat padepokannya?" '
Mendengar pertanyaan itu, empat orang kepala dusun itu saling pandang dan Ki Lurah Selowono menghela napas panjang.
"Justeru inilah yang membuat kami semua merasa berduka dan tidak berdaya. Kalau saja ada Ki Ageng Mahendra, tak mungkin ada manusia-manusia iblis datang mengganggu dan mengacau dusun-dusun kami."
"Andika mengenal beliau, Paman? Dimana padepokannya?"
Tejomanik didahului Retno Susilo yang sudah bertanya dengan suara mendesak.
"Tentu saja kami seluruh warga pedusunan di daerah ini mengenal Ki Ageng Mahendra. Akan tetapi sayang ... beliau telah wafat sekitar tiga empat tahun yang lalu."
Tejomanik dan isternya saling pandang dan merasa kecewa, lalu Tejomanik bertanya.
"Paman, apakah andika mengenal muridnya yang bernama Bagus Sajiwo?"
Empat orang lurah itu mengangguk-angguk. Ki Lurah Selowono cepat menjawab.
"Tentu saja kami mengenal Den Bagus dengan baik!"
"Ah, bagaimana keadaannya, Paman? Apakah Bagus Sajiwo sehat-sehat saja?"
Retno Susilo bertanya, wajahnya berseri, matanya bersinar.
"Hampir empat tahun yang lalu Den Bagus Sajiwo dalam keadaan baik-baik saja dan sehat, Masayu. Akan tetapi setelah Ki Ageng Mahendra wafat empat tahun yang lalu, dia pergi meninggalkan padepokan yang telah dibakarnya untuk memperabukan jenazah Ki Ageng Mahendra."
"Pergi? Kemana, Paman? Dimana dia sekarang?"
Retno Susilo mengejar.
Ki Selowono menggeleng kepalanya.
"Kami semua tidak tahu, Masayu. Ketika Ki Ageng Mahendra wafat, kami datang ke padepokannya untuk melayat. Akan tetapi Den Bagus Sajiwo tidak memberitahu kepada kami kemana dia pergi. Kami semua amat kehilangan Ki Ageng Mahendra, juga kehilangan Den Bagus Sajiwo."
"Ohhh...!"
Tak dapat ditahannya lagi, Retno Susilo menutupi mukanya dengan kedua tangan, akan tetapi semua orang mengetahui bahwa ia menangis. Biarpun ia menahan suara tangisnya, namun ia terisak dan air mata menetes keluar dari celah-celah jari tangannya.
Muryani segera menghampiri dan merangkul kakak seperguruannya itu. Tejomanik menghibur dan menepuk-nepuk pundaknya.
"Diajeng, mendengar bahwa dia sehat selamat saja, kita sudah bersyukur dan berterima kasih kepada Gusti Allah. Memang agaknya belum tiba saatnya kita berjumpa dengan dia, akan tetapi percayalah, Gusti Allah Maha Pengasih yang telah melindungi anak kita dengan selamat, pasti akan mempertemukan kita dengannya pada saatnya."
"Kakangmas Tejomanik berkata benar, Mbakayu. Saya juga merasa yakin bahwa Mbakayu kelak akan bertemu kembali dengan Bagus Sajiwo."
Mendengar ucapan dua orang satria itu, Retno Susilo merasa terhibur dan ia menghentikan tangisnya, mengusap air mata dari pipinya. Sementara itu, empat orang kepala dusun mendengar percakapan itu, tercengang dan saling pandang.
"Waduh, kiranya Denmas dan Masayu ini adalah ayah dan ibu dari Den Bagus Sajiwo? Sungguh kami merasa berbahagia sekali dapat bertemu dengan Denmas sekalian."
Kata Ki Lurah Selowono.
Dua pasang suami isteri itu tinggal di rumah kepala dusun Krenting malam itu dan mereka mendengarkan para kepala dusun itu bercerita Ki Ageng Mahendra dan Bagus Sajiwo. Terutama sekali Tejomanik dan Retno Susilo, ingin menguras semua yang diketahui orang-orang itu tentang diri Bagus Sajiwo.
Mereka merasa senang dan bangga mendengar bahwa putera mereka telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, dan yang diakui oleh semua kepala dusun sebagai seorang pemuda yang ramah, rendah hati, dan baik budi, seringkali menolong para penduduk dusun dengan mengobati mereka yang sakit. Juga beberapa kali putera mereka itu menentang dan mengusir orang-orang jahat dari dalam dusun.
Pada keesokan harinya, Tejomanik dan Retno Susilo berdua naik ke puncak bukit yang pernah menjadi tempat tinggal Bagus Sajiwo dan Ki Ageng Mahendra, sedangkan Parmadi dan Muryani melanjutkan perantauan mereka.
Biarpun di puncak bukit itu kini telah sunyi dan pondok bekas padepokan Ki Ageng Mahendra telah lenyap dan hanya tinggal bekas-bekas puing sedikit saja karena menurut cerita para kepala dusun, puing-puing rumah itu bersama abu jenazah terbawa angin lesus dan menjadi hujan abu di permukaan bukit, namun hati kedua orang tua itu berdebar dan rasa haru menyelinapi perasaan mereka ketika mereka berdiri di bekas pondok yang terbakar itu dan memandang ke seliling. Di sinilah putera mereka, Bagus Sajiwo, tinggal selama sepuluh tahun! Sejak anak berusia enam tahun sampai menjadi seorang pemuda remaja berusia enam belas tahun! Seakan terasa oleh mereka disitu, seolah terdengar suara anak mereka diantara bisikan angin di dedaunan.
Tiba-tiba Tejomanik menyentuh pundak isterinya.
Retno Susilo memandang kepada suaminya dengan kedua mata basah dan melihat suaminya menuding ke kiri. Ia memandang dan melihat dua buah batu besar yang atasnya datar.
Mereka tanpa bicara, segera menghampiri. Dua bongkah batu itu yang satu lebih besar dafipada yang lain, permukaannya bersih dan licin. Tanpa bicara keduanya sudah dapat menduga bahwa tentu guru dan murid itu suka duduk di atas batu-batu ini yang memang diduduki untuk bersamadhi.
Langsung saja Retno Susilo mendekati batu yang lebih kecil dan meraba-raba, seolah membelai tubuh puteranya. Kemudian ia duduk bersila di atas batu itu. Tejomanik juga duduk di atas batu yang lebih besar, bersila dan suami isteri itu duduk bersamadhi.
Setelah beberapa lamanya bersamadhi dengan khusuk, mereka merasa betapa tenang dan tenteram hati mereka, penuh kedamaian dan lenyaplah segala perasaan haru dan kecewa.
Mereka membuka mata dan memandang ke sekeliling.
"Agaknya disini empat tahun yang lalu menjadi sebuah taman yang indah."
Kata Retno Susilo.
Suaminya mengangguk.
"Dan aku dapat membayangkan betapa Ki Ageng Mahendra memberi pelajaran dan wejangan kepada anak kita di atas batu ini. Lihat kesana, pemandangan dari tempat kita duduk ini begitu indah. Tempat ini memang cocok sekali untuk menjadi tempat padepokan seorang pertapa."
"Siapakah sebetulnya Ki Ageng Mahendra yang menjadi guru anak kita itu? Engkau belum menceritakan dengan jelas."
"Aku sendiri juga tidak tahu dengan jelas. Mendiang Eyang Guru Resi Limut Manik hanya pernah mengatakan bahwa beiiau mempunyai seorang adik seperguruan bernama Ki Ageng Mahendra yang sejak muda hanya bertapa dari gunung ke gunung, berbeda dengan Eyang Resi Limut Manik yang membangun perguruan Jatikusuma. Dan kebetulan sekali, guruku pertama, Bhagawan Sidik Paningal, pernah berguru kepada Resi Limut Manik Dengan demikian maka Resi Limut Manik adalah eyang guruku dan Ki Ageng Mahendra masih terhitung eyang guruku pula. Maka, kalau Bagus Sajiwo menceritakan siapa ayahnya kepada Ki Ageng Mahendra, tentu beliau mengetahui bahwa Bagus Sajiwo masih buyut muridnya sendiri!"
Retno Susilo menghela napas panjang, merasa lega bahwa puteranya menjadi murid seorang yang amat sakti mandraguna.
"Yang membuat aku merasa heran, kenapa Bagus tidak segera pulang ke Gunung Kawi setelah gurunya wafat? Kemana saja dia selama hampir empat tahun ini? Ah, dia tentu kini sudah berusia hampir dua puluh tahun!"
"Karena itulah, kita harus segera pulang ke Gunung Kawi, Diajeng. Mungkin saja sewaktu-waktu dia akan pulang dan bagaimana kalau dia mendapatkan rumah kosong?"
"Engkau benar, Kakangmas. Mari kita segera pulang. Siapa tahu dia sekarang sudah berada di rumah menanti kita!"
Suami isteri itu lalu turun dari bukit dan melakukan perjalanan ke barat, menuju pulang ke Gunung Kawi dengan hati penuh harapan untuk segera berjumpa dengan putera mereka.
- ooOoo -
Bagus Sajiwo duduk bersila di atas batu yang datar dan permukaannya halus. Kedua tangannya berada di pangkuan, tubuhnya tegak lurus dan kedua matanya terpejam.
Tak jauh dari situ, terpisah sekitar sepuluh meter, Maya Dewi juga duduk bersila di atas sebuah batu lain, dengan sikap yang sama dengan Bagus Sajiwo. Sinar matahari menerobos memasuki ruangan dalam perut bukit karang itu melalui celah-celah antara batu-batu karang di atas.
Sudah kurang lebih tiga tahun lamanya mereka berdua berada di dalam perut bukit karang itu, dalam ruangan yang luas. Mereka hidup seolah mengasingkan diri disitu untuk mempelajari isi kitab Aji Sari Bantala (Sari Bumi). Selain kitab itu memuat keterangan pelajaran dengan huruf-huruf kuno sehingga agak sukar dimengerti walaupun Bagus Sajiwo pernah mempelajari tulisan kuno dari Ki Ageng Mahendra, ditambah lagi dengan sulitnya mempelajari ilmu itu, maka setelah lewat tiga tahun baru mereka kini melatih bagian terakhir isi kitab itu.
Isi kitab itu terdiri dari dua tingkat. Tingkat pertama adalah cara berlatih pernapasan dan penguasaan atas tenaga sakti dahsyat yang berada dalam tubuh mereka berkat makan "Jamur Dwipa Suddhi".
Untuk melatih tingkat pertama ini saja mereka membutuhkan waktu setahun. Setelah melatih dengan tekun selama setahun, barulah mereka berhasil menguasai hawa yang dahsyat itu sehingga dapat dipergunakan sekehendak hati mereka.
Kemudian barulah mereka mempelajari dan melatih pelajaran tingkat ke dua. Ini merupakan gerakan ilmu silat yang lambat namun yang bergerak dengan sendirinya, tidak direka-reka dan tidak dibuat atau disengaja. Pada mulanya gerakan mereka tidak karuan bahkan liar dan sifatnya merusak sehingga dinding batu karang disitu banyak yang pecah berantakan terkena tamparan tangan mereka. Akan tetapi setelah tekun berlatih selama dua tahun, barulah gerakan-gerakan mereka teratur dan indah seperti menari-nari, dan begitu lembut sehingga tampak tanpa tenaga.
Beberapa saat setelah Bagus Sajiwo dan Maya Dewi duduk bersila, mulailah ada tenaga menggetarkan seluruh jasmani mereka, dari ubun-ubun kepala sampai ke jari kaki dan perlahan-lahan getaran itu menggerakkan tubuh mereka.
Keduanya bangkit atau dibangkitkan oleh getaran tenaga itu dan mulailah mereka bersilat, menggerakkan kaki tangan seperti orang menari. Dalam setiap gerakan, mereka merasa seolah-olah tangan atau kaki yang bergerak itu berada dalam air, terasa nyaman dan gerakan itu menjadi gerakan sambung menyambung tiada hentinya. Pikiran mereka terasa tenang tapi terang penuh kesadaran, bukan seperti mimpi atau tidak sadar. Namun hati akal pikiran mereka tidak mengendalikan gerakan tubuh mereka.
Ada SESUATU yang lebih hebat, lebih dahsyat, lebih kuat dari hati akal pikiran yang menggerakkan seluruh tubuh. Hati akal pikiran hanya menyerah, hanyut, tanpa kehendak, tanpa pamrih. Untuk melatih ini, sungguh tidak mudah dan kini Bagus Sajiwo dan Maya Dewi sudah berhasil dengan latihan mereka. Itulah Aji Inti Bumi seperti yang diterangkan dalam kitab kuno itu.
Setelah bergerak sendiri-sendiri, membiarkan diri hanyut dalam gerakan otomatis itu, hati akal pikiran hanya menjadi saksi, maka keduanya lalu saling menghampiri dan mulailah mereka saling menyerang dalam latihan. Kini hati akal pikiran mereka bekerja, mengarahkan gerakan otomatis itu dalam pembelaan diri, kalau yang satu menyerang, yang lain mempertahankan diri. Sampai berjam-jam mereka bergerak-gerak, indah seperti dua orang penari ulung melakukan tari yuda (perang). Akhirnya mereka menghentikan gerakan itu, dan duduk bersila kembali mengatur pernapasan.
"Bagus, bukankah kita sudah selesai mempelajari Kitab Sari Bantala itu?"
Terdengar Maya Dewi bertanya, suaranya kini lembut dan tenang.
Wanita ini sudah berusia sekitar tiga puluh lima tahun, akan tetapi sungguh luar biasa, ia masih tampak seorang gadis berusia dua-puluh tahun saja! Kecantikannya wajar, tanpa ditambah pemutih atau pemerah muka, akan tetapi kulit mukanya begitu halus, putih kemerahan dan bibirnya merah basah dan segar tanda kesehatan yang sempurna.
Rambutnya yang hitam panjang itu digelung secara sederhana, seperti gelung perawan desa, namun kesederhanaan itu bahkan membuat kejelitaannya semakin menonjol. Ia pun mengenakan pakaian model wanita dusun, yang dibelinya di pedusunan di tepi pantai ketika ia mendapat giliran keluar dari ruangan perut bukit karang untuk mencari segala kebutuhan hidup mereka.
Bagus Sajiwo kini sudah tampak lebih dewasa. Usianya sudah hampir dua puluh tahun, tubuhnya tinggi tegap, jantan dan rambutnya yang hitam itu agak berombak, dahinya lebar, alisnya tebal hitam. Hidungnya mancung dan bibirnya selalu mengembangkan senyum, matanya lebar dan tajam lembut, penuh pengertian namun terkadang mencorong seperti hendak menjenguk ke dalam hati orang yang dipandangnya. Belahan di tengah dagu membuat dia tampak gagah berwibawa. Pemuda ini juga mengenakan pakaian seperti seorang pemuda dusun yang bersahaja.
Kecuali kecantikan dan ketampanan, sikap halus lembut dan tutur sapanya yang tertatur, tidak ada petunjuk lain yang menyatakan bahwa mereka itu bukan orang-orang dusun biasa. Apalagi sama sekali mereka tidak mempunyai ciri-ciri dua orang yang menguasai kepandaian tinggi membuat mereka menjadi sakti mandraguna.
"Benar, Dewi. Akan tetapi setelah melatih diri dengan Aji Sari Bantala, hanya engkau dan aku yang tahu karena mengalami sendiri bahwa yang terlatih adalah jiwa kita, bukan raga kita. Raga kita hanya mengikuti jiwa, walaupun ke-duanya itu kait-mengait dan saling menunjang."
"Coba jelaskan lagi, Bagus!"
"Dewi, asal engkau terus-menerus teringat kepada Gusti Allah dengan penyerahan diri sebulatnya, engkau tentu akan mengerti sendiri."
"Aku yakin akan hal itu seperti telah diajarkan dalam Aji Sari Bantala, Bagus. Akan tetapi, yang menyerat kita ke jalan penyelewengan adalah pikiran, karena itu aku membutuhkan penerangan darimu agar pikiranku mengerti benar karena pengertian itu menjadi sarana untuk menentukan langkah hidup, bukan?"
"Baiklah, Dewi. Seperti kita ketahui dari ajaran itu, dalam latihan kita mengalami pembersihan rohani dan jasmani. Akan tetapi, pembersihan dalam bentuk apapun juga, tetap dibayangi bahaya pengotoran kembali. Kalau yang dibersihkan setiap kali hanya setakar, lalu kita kotori sendiri dua takar, lalu kapan bersihnya? Pengotoran ini melalui hati akal pikiran yang membuahkan perbuatan. Apa artinya iman kepada Gusti Allah kalau tidak disertai perbuatan yang nyata, yang keluar dari hati pikiran? Iman itu percaya dan percaya yang benar itu berarti penyerahan diri sebulatnya. Menyerah berarti taat! Jadi, kita menyerahkan diri kepada kekuasaan Gusti Allah harus diikuti dengan ketaatan akan segala kehendakNya. Gusti Allah itu Maha baik, walaupun kita yang sudah menyerah kepadaNya juga harus selalu berbuat baik, menegakkan keadilan, membela kebenaran dan menjauhi perbuatan jahat. Kalau kita melangkah dalam hidup ini, melakukan segala hal menggunakan hati akal pikiran yang menuju kebaikan, sudah pasti kekuasaanNya akan selalu menuntun kita."
Maya Dewi mengangguk-angguk.
"Bagus, apakah ini berarti bahwa kita harus mematikan nafsu-nafsu kita karena nafsu yang menyeret kita ke dalam kesesatan?"
"Dewi, banyak orang berpendapat demikian dan aku yakin bahwa pendapat seperti itu sebenarnya keliru. Manusia hidup, ketika dilahirkan sudah disertai nafsu-nafsunya yang merupakan karunia Gusti Allah. Bagaimana mungkin dimatikan? Nafsu adalah alat, peserta, bahkan pelayan kita. Untuk dapat hidup di dunia, mencukupi sandang-pangan-papan, menurunkan manusia baru, mengusahakan segala sesuatu untuk menyejahterakan kehidupan di dunia ini, kita harus mempergunakan nafsu. Untuk dapat tetap tinggal hidup pun membutuhkan nafsu. Nafsu amat berguna karena itu adalah karunia Gusti Allah. Akan tetapi sayang, kuasa kegelapan atau iblis justeru menggunakan nafsu-nafsu kita untuk menyeret kita ke lembah dosa. Iblis yang memperkuat nafsu-nafsu kita sehingga keadaannya berbalik. Kita yang diperalat dan diperhamba oleh iblis melalui nafsu, dengan umpan yang serba enak, serba nikmat. Nah, kalau kita sudah dikuasai nafsu, kita menjadi manusia yang celaka, Dewi."
Maya Dewi mengangguk-angguk.
"Aku mengerti sekarang, Bagus. Justeru latihan Sari Bantala itu membuat kita penuh penyerahan kepada kekuasaan Gusti Allah sehingga kekuasaanNya saja yang dapat menundukkan merajalelanya nafsu yang dikemudi oleh iblis. Kalau dalam cerita pewayangan, Sang Dewa Ruci sudah masuk ke dalam pribadi Werkudara! Sari Bantala berarti bersikap seperti tanah, menyerah terhadap kekuasaan Gusti Allah, akan tetapi dengan demikian bahkan menguasai dan mengalahkan segala-galanya yang berada di atas permukaan Bumi. Memberi segala-galanya dan juga mengambil segala-galanya dan semua itu terjadi diluar kehendaknya, melainkan kehendak Gusti Allah." '
"Benar, Dewi. Akan tetapi kita harus ingat bahwa seperti juga tanah kita juga harus rendah hati, tidak pamer dan menyadari bahwa kita, raga kita ini, bukan apa-apa dan tidak berkuasa apa-apa. Selama jiwa kita berada dalam raga ini, kita selalu condong menjadi kotor dan lemah. Ingat bahwa bagaimana pun, betapa saktinya seseorang, dia tidak dapat menghindarkan diri dari kodrat. Badan manusia tidak kebal terhadap penyakit dan kematian. Kita juga dapat sakit, dapat mati. Karena itu, sadar akan hal ini, sudah sepatutnya kalau kita berserah diri kepada Gusti Allah, hanya Dia yang Maha Sempurna, Maha Baik, Maha Bisa, Maha Kuasa dan Maha Segalanya. Semoga saja Dia dengan kekuasaanNya akan selalu membimbing kita, seperti Werkudara yang selalu dibimbing oleh Dewa Ruci. Ruci itu berarti Roh Suci, Dewi."
"Amin-amin-amin. Bagus."
Sungguh amat luar biasa dan mengherankan sekali bagi orang yang pernah mengenal Maya Dewi kalau dia mendengarkan percakapan itu sekarang.
Dahulu, Maya Dewi dikenal sebagai "wanita iblis"
Yang menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginan nafsunya. Tidak ada kejahatan yang dipantang olehnya sehingga ia amat ditakuti dan dimana-mana ia dibenci dan dimusuhi orang-orang dari golongan pendekar. Akan tetapi, sekarang ia berubah sama sekali dan semua ini terjadi setelah bergaul dan hidup bersama Bagus Sajiwo, sejak pemuda itu masih remaja berusia enam belas tahun lebih sampai kini berusia hampir dua puluh tahun. Bahkan kelemahan utamanya, yaitu nafsu gairah berahi yang sudah memperbudak dirinya, kini tidak tampak bekasnya lagi!
Kini ia dapat melihat dengan mata terbuka semua kenyataan tentang kotornya ulah nafsu berahi kalau sudah menguasai manusia seperti menguasai dirinya dahulu. Perubahan ini membuktikan bahwa pada hakekatnya, manusia itu dilahirkan dalam keadaan baik dan sempurna jiwanya.
Sang Maha Pencipta adalah juga Maha Sempurna, maka segala ciptaanNya sudah pasti sempurna pula. Kalau ada ciptaanNya yang kemudian tidak sempurna, seperti kalau ada manusia yang berubah menjadi jahat dan sesat, hal itu terjadi karena keadaan yang sempurna itu menjadi tidak sempurna karena dosa. Akan tetapi bukan berarti kalau sudah berdosa dan menjadi jahat tidak dapat menjadi baik kembali! Gusti Allah itu selain Maha Pencipta, juga Maha Kuasa dan Maha Pengampun. Orang yang sesat dapat di-ampuni kalau saja dia mau bertaubat, tidak menjadi hamba nafsunya lagi, berserah diri kepada Gusti Allah.
Demikian pula dengan Maya Dewi. Sungguh merupakan hal yang hampir tidak masuk akal adanya kenyataan bahwa wanita ini tinggal dalam ruangan di perut bukit batu karang itu, berdua saja dengan seorang pemuda tampan gagah selama tiga tahun dan sama sekali ia tidak pernah terusik gairah berahinya! Hal ini bukan karena ia tidak mencinta Bagus Sajiwo. Maya Dewi amat mencintanya dan menyayangnya, mengaguminya, dengan cinta yang tulus dan bersih.
Biarpun batinnya telah dibersihkan dari pengaruh nafsu, namun Maya Dewi hanya seorang manusia biasa, maka akan bohonglah kalau sekali waktu tidak timbul gairahnya dan ingin menyatakan cintanya itu dengan kemesraan. Namun, bimbingan kekuasaan Tuhan telah membuat ia waspada dan peka kesadarannya sehingga ia dapat melihat bahwa gairah itu tidak baik dan tidak benar sehingga dengan mudah ia dapat menundukkan gairah nafsu itu. Tidak ada manusia yang sempurna diu dunia ini, akan tetapi kalau manusia selalu ingat dan dekat dengan Gusti Allah, maka Roh-Nya yang suci akan selalu membimbing dan menyadarkannya apabila iblis datang menggoda dan hendak menyeretnya ke dalam dosa.
Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali mereka menyatakan selamat tinggal kepada ruangan yang mereka huni selama tiga tahun itu. Biarpun cuaca masih gelap pekat karena sinar matahari belum memasuki ruangan itu lewat celah- celah batu karang, namun kini ke dua orang itu memiliki penglihatan yang seolah dapat menembus kegelapan. Mereka memanjat dinding karang dengan mudah dan cepat menuju ke atas.
Setelah tiba di atas mereka disambut pemandangan alam yang amat indahnya.
Matahari baru tersembul dari puncak bukit di timur, masih kemerahan namun sudah cukup menyilaukan dan cahayanya keemasan mulai menghidupkan seluruh permukaan bumi yang dapat menerima cahayanya.
Langit cerah berwarna biru, hanya dihias beberapa kelompok awan putih tipis seperti kapas. Burung-burung beterbangan, berkelompok sambil berceloteh riang. Burung gelatik dan burung pipit selalu terbang berkelompok, berbeda dengan burung prenjak dan burung kutilang yang hanya terbang berdua atau tidak lebih dari lima ekor. Burung gereja juga berkelompok, akan tetapi kelompoknya kecil dan mereka tidak suka terbang tinggi melainkan lebih suka berdekatan dengan tanah.
Terdengar pula ayam jantan berkokok, namun tidak seramai pagi tadi sebelum matahari terbit atau menjelang terbit seolah mereka tahu bahwa tidak perlu lagi berkeruyuk membangunkan semua mahluk karena kini mereka semua telah terbangun dari tidurnya.
Dari lereng itu tampak beberapa orang bapak tani jalan beriringan, memanggul pacul menuju ke sawah ladang. Terdengar pula' sayup-sayup bunyi kambing mengembik dan ayam betina berkotek memanggil anak-anaknya. Angin berhembus sepoi-sepoi semilir menyegarkan badan.
Bagus Sajiwo dan Maya Dewi menghirup napas dalam-dalam, merasa betapa sedapnya hawa udara yang memasuki paru-paru mereka.
Dengan suara penuh hormat dan kagum Bagus Sajiwo berkata perlahan.
"Alangkah maha besar kekuasaan Gusti Allah dan alangkah maha indah ciptaanNya. Puji syukur kepadaNya yang melimpahkan berkahNya kepada kita semua!"
Maya Dewi juga memandang ke bawah dengan kagum.
"Betapa besar kasih dan karunia yang diberikan kepada kita. Sudah sepatutnya kalau kita berbahagia karenanya. Akan tetapi mengapa begitu banyak terjadi kesengsaraan dan duka nestapa di antara manusia?"
Kedua orang itu saling pandang. Ketika masih berada di ruangan dalam perut bukit batu karang, cahaya tidak pernah terang sekali sehingga setelah kini saling berhadapan di alam terbuka, mereka dapat saling pandang dengan sejelas-jelasnya.
Maya Dewi memandang kagum! Pemuda remaja dahulu itu kini telah menjadi seorang pria dewasa yang ganteng dan sinar matanya itu membuat orang merasa tenang dan sungkan, bukan takut. Ada sesuatu dalam sinar mata pemuda itu yang membuat orang merasa bersalah dan tunduk. Betapa kekasihnya, demikianlah ia selalu menganggap Bagus Sajiwo, orang yang paling dikasihinya di dunia ini, kini menjadi seorang pria dewasa yang sederhana dan pandang matanya lembut, namun memiliki wibawa yang amat kuat,
Sebaliknya Bagus Sajiwo juga kagum dan senang melihat Maya Dewi. Wanita ini seolah tidak berubah setelah usianya bertambah tiga tahun. Masih seperti dulu. Masih cantik jelita penuh daya tarik, akan tetapi sekarang keliaran yang tampak pada sinar mata dan gerak-geriknya dahulu itu telah lenyap, sinar matanya tenang bercahaya mengandung kebahagiaan, gerak-geriknya juga lembut. Hal ini bahkan menambah daya tariknya menjadi ayu manis merak ati (cantik manis memikat hati).
Dia tahu bahwa daya tarik jasmaniah yang amat kuat ini tentu akan membuat banyak pria tergila-gila. Akan tetapi dia sendiri, sejak pertemuan pertama, tidak terpengaruh oleh daya tarik kecantikan Maya Dewi. Yang ada dalam hatinya adalah kasih sayang yang menimbulkan perasaan belas kasih dan setia-kawan. Dia hanya ingin membimbing wanita itu kembali ke jalan kebenaran, ingin membela dan rasa kasih sayangnya itu seperti kasih sayang seorang saudara.
"Bagus, kita sekarang hendak pergi kemana?"
Bagus Sajiwo tersenyum.
"Dan eng
kau sendiri, Dewi?"
"Sudah kukatakan sejak dulu, Bagus. Aku sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi, tidak ada tempat yang kutuju, maka aku akan pergi kemana engkau pergi."
"Akan tetapi, Dewi, kita tidak mungkin begini terus, melakukan perjalanan bersama selalu. Engkau tentu tahu, ada waktunya bertemu, ada waktunya berkumpul, ada pula waktunya untuk berpisah. Dengan bekal kemampuan yang kau miliki, kukira engkau akan mampu hidup seorang diri dengan aman, asal engkau selalu berpijak pada jalan kebenaran."
"Aku tahu, Bagus. Akan tetapi aku belum merasa bisa untuk kau tinggaikan. Dahulu, sebelum bertemu denganmu, aku merasa seolah hanyut dalam samudra kehidupan yang penuh gelombang dahsyat yang menyeret dan hendak menenggelamkan aku. Aku merasa tidak berdaya, merasa sengsara, tidak mengenal kebahagiaan, hanya mabok dengan kesenangan jasmani yang berakhir dengan kebosanan, kekecewaan dan duka nestapa. Lalu engkau muncul. Aku merasa seolah aku menemukan sepotong papan yang kuat untuk kupegang dan menjadi tempat aku bergantung agar tidak terus hanyut dan tenggelam. Kalau sekarang engkau hendak meninggalkan aku dan kita harus berpisah, aku akan kehilangan pegangan dan aku takut akan hanyut kembali, Bagus. Aku takut!"
"Dewi, kenapa mesti takut? Engkau harus mempunyai kepercayaan kepada dirimu sendiri. Ingat bahwa engkau telah membuka hatimu terhadap Gusti Allah dan dengan sepenuh jiwa raga berserah diri kepadaNya. Itu berarti bahwa kekuasaan Gusti Allah selalu mendampingimu, selalu membimbingmu. Apalagi yang perlu kau takuti kalau kekuasaanNya berada dalam dirimu? Aku ini hanya manusia biasa seperti juga dirimu, dengan segala kelemahanku. Aku juga hanya merasa kuat karena yakin bahwa Gusti Allah menyertaiku."
"Bagus, tolonglah, Bagus. Aku bukan takut akan ancaman bahaya dari luar, melainkan terhadap diriku sendiri. Aku... aku... aku cinta padamu, aku menyayangmu, aku tidak tahan untuk berpisah darimu, Bagus. Engkaulah satu-satunya manusia di dunia ini yang kukasihi, yang kupercaya, yang akan kubela sampai mati karena aku yakin bahwa engkau pun selalu melindungiku dan membelaku, selalu memberi tuntunan kepadaku. Bagus, demi Gusti Allah, jangan tinggalkan aku, Bagus..."
Maya Dewi tak dapat menahan keharuan dan kesedihan hatinya membayangkan betapa ia akan hidup seorang diri seperti dulu lagi, kehilangan Bagus Sajiwo yang amat dipuja dan dicintanya sehingga ia tak dapat menahan jatuhnya air mata yang menetes-netes dari kedua matanya.
Bagus Sajiwo menghela napas panjang. Dia merasa iba kepada wanita itu dan merasa tidak tega untuk memaksakan perpisahan antara mereka.
"Dewi, engkau tentu tahu bahwa akupun amat menyayangmu dan aku merasa berbahagia sekali melihat engkau dapat menyadari akan kesalahanmu yang sudah-sudah, mau bertaubat dan mengubah jalan hidupmu. Aku tadi hanya ingin menjelaskan kepadamu bahwa ada waktunya bertemu, berkumpul kemudian berpisah. Perpisahan tidak dapat kita hindarkan, Dewi."
"Bagus, sekali lagi kuminta padamu, biarkan aku mengikutimu, berilah aku waktu sampai aku merasa kuat untuk hidup seorang diri. Kasihilah aku, Bagus."
Bagus Sajiwo tidak dapat membantah lagi. Dia mengangguk dan tersenyum memandang wajah wanita itu.
"Baiklah, Dewi, kalau itu yang kau kehendaki."
"Ah, Bagus! Terima kasih, Bagus, terima kasih!"
Maya Dewi berseru dengan gembira sekali, wajahnya berseri-seri, matanya yang masih basah itu berbinar-binar dan mulutnya tersenyum lebar.
"Nah, mari kita lanjutkan perjalanan kita ini."
Ajak Bagus Sajiwo dan dengan gembira Maya Dewi melangkah di samping pemuda itu sambil memegang tangan Bagus Sajiwo.
Mereka berjalan sambil bergandengan tangan menuruni bukit karang dan Bagus Sajiwo tidak merasa sungkan atau aneh bergandengan tangan seperti ini karena dia memang sudah merasa akrab sekali dengan wanita itu yang dia anggap sebagai seorang saudara sendiri.
"Kita sekarang menuju kemana, Bagus?"
Tanya Maya Dewi.
"Aku akan ke Gunung Kawi, dimana ayah ibuku tinggal."
"Kenapa baru sekarang setelah engkau berusia dua puluh tahun engkau boleh kembali ke rumah orang tuamu? Kenapa gurumu mengadakan peraturan yang begitu aneh?"
"Entahlah, Dewi. Mendiang Eyang Guru adalah seorang yang arif bijaksana, tentu beliau memberi pesan itu demi kebaikanku, atau kebaikanmu?"
"Eh, mengapa demi kebaikanku?"
Bagus Sajiwo tersenyum.
"Aku tiba-tiba teringat akan peristiwa yang kita alami. Andaikata eyang guru tidak berpesan seperti itu, tentu tiga tahun lebih yang lalu, begitu meninggalkan Pegunungan Ijen, aku langsung saja pulang ke rumah orang tuaku di Gunung Kawi dan aku tidak akan bertemu denganmu, Dewi. Bukankah itu semua telah diatur demi kebaikan termasuk kebaikan untuk dirimu?"
"Ah, kalau direnungkan, benar juga ucapanmu itu, Bagus. Karena itu, aku berterima kasih kepadamu, berterima kasih pula kepada mendiang Eyang Ki Ageng Mahendra, gurumu yang bijaksana itu."
"Engkau lupa, Dewi. Semestinya engkau mengucap syukur dan terima kasihku kepada Gusti Allah, karena sesungguhnya segala pertolongan itu datang dari Gusti Allah. Dalam keadaanmu, pertolongan Gusti Allah padamu itu hanya melalui aku dan mendiang Eyang Guruku."
Maya Dewi mengangguk-angguk.
"Aku tidak lupa, Bagus. Sejak engkau menyadarkan aku akan keberadaan Gusti Allah Yang Maha Kuasa, Maha Sempurna. Maha Kasih dan Maha pengampun, aku tidak pernah melupakanNya dan setiap saat aku bersyukur dan berterima kasih kepadaNya, doaku kupanjatkan tiada hentinya sehingga pernapasanku seolah telah menjadi doaku yang selalu mohon pengampunan atas dosa-dosaku dan berterima kasih atas segala berkat yang dilimpahkan kepada diriku yang kotor dan hina ini. Semoga semua doaku itu diterimaNya, Bagus."
"Amin-amin-amin."
Kata Bagus Sajiwo, hatinya merasa bahagia sekali mendengar ucapan dan melihat sikap Maya Dewi itu.
Kalau dia ingat pertemuannya pertama kali dengan Maya Dewi, pada tiga tahun lebih yang lalu, dia masih bergidik. Ketika itu Maya Dewi merupakan seorang manusia yang kejam, liar dan sesat.
- ooOoo -
Kerajaan Blambangan merupakan kerajaan sejak jaman Mojopahit tak pernah mau tunduk terhadap Kerajaan Mojopahit dan sampai Sekarang, pada masa jaya-jayanya Kerajaan Mataran di bawah pemerintahan Sultan Agung, Blambangan tetap merupakan kerajaan atau kadipaten yang belum ditundukkan oleh Kerajaan Mataram yang pada waktu itu sudah menundukkan hampir semua kadipaten termasuk Madura dan Surabaya. Bahkan Kadipaten Blambangan semakin memperkuat diri karena selain sejak dulu Blambangan diperkuat dukungan Kerajaan. Bali, juga setelah Mataram menundukkan Kadipaten-kadipaten lain, mereka yang tidak mau tunduk, orang-orang yang sakti, para jagoan, semua melarikan diri ke Blambangan yang masih merupakan kadipaten yang berdiri tegak tidak mengikuti kekuasaan Mataram.
Memang, menurut catatan sejarah, pada permulaan abad ke tujuh belas, Blambangan diserang dan kemudian diduduki Kadipaten Pasuruan. Akan tetapi kekuasaan Kadipaten Pasuruan atas Blambangan hanya berlangsung selama belasan tahun saja karena setelah Sultan Agung di Mataram menyerang dan menundukkan Pasuruan pada tahun 1617, Blambangan pun melepaskan diri dari Kadipaten Pasuruan dan kembali Blambangan bangkit dan dengan dukungan Bali menjadi kuat kembali.
Pada waktu kisah ini terjadi, Blambangan dipimpin oleh seorang Adipati yang menggunakan nama Adipati Santa Guna Alit, cucu dari Raja Santa Guna yang dulu pernah memimpin Blambangan dan menjadikan Blambangan sebuah kerajaan yang kuat.
Raja kecil atau Adipati Santa Guna Alit merasa dirinya cukup kuat, namun tetap saja dia merasa khawatir Kalau-kalau Mataram akan mengirim pasukan besar untuk menaklukkan Blambangan. Karena itu, dalam usahanya untuk mempertahankan Blambangan, dia menjalin hubungan yang lebih erat dengan para raja di Bali, terutama Kerajaan Bali Selatan.
Para raja di Bali siap membantu Blambangan menghadapi ancaman Mataram karena Blambangan merupakan benteng pertama untuk menentang gerakan pasukan Mataram kalau Mataram berniat menyerang Bali.
SELAIN mempererat hubungan dengan para raja di Bali, juga Adipati Blambangan mengumpulkan para datuk yang sakti mandraguna untuk memperkuat kadipatennya.
Dulu, ketika Mataram menyerang daerah Jawa Timur, dia mengirim datuk yang menjadi kepercayaannya, yaitu Wiku Menak Koncar, untuk membantu daerah-daerah yang diserang Mataram. Akhirnya Wiku Menak Koncar tewas di tangan Ratu Wandansari yang dibantu oleh Lindu Aji.
Sang Adipati lalu mengundang para pertapa dan para orang sakti untuk membantu dia dalam menyusun kekuatan untuk membela Kadipaten Blambangan kalau sewaktu-waktu diserang oleh pasukan Mataram.
Diantara para datuk itu terdapat Bhagawan Kala-srenggi dan dua orang muridnya yang juga sakti mandraguna, yaitu Kalajana dan Kaladhama, Sang Wiku Menak Jelangger adik seperguruan mendiang Wiku Menak Koncar. Biarpun Wiku Menak Jelangger termasuk orang baik budi, akan tetapi sebagai warga atau kawula Kadipaten Blambangan, dia tidak dapat menolak ketika diajak membela negaranya. Bahkan Adipati Blambangan berhasil pula membujuk Resi Sapujagad pertapa Gunung Merapi dan Bhagawan Dewokaton pertapa Gunung Bromo untuk membantunya dengan menjanjikan imbalan tanah dan harta-benda.
Tidak hanya sampai disitu saja usaha Adipati Blambangan untuk memperkuat diri. Selain mengumpulkan para datuk sakti, dia pun mengadakan kontak dengan Kumpeni Belanda.
Ketika sebuah kapal Kumpeni singgah di Blambangan, dipimpin oleh Kapten Van Klompen, Adipati Blambangan menyambutnya dengan baik. Kumpeni Belanda yang memang merasa terancam oleh Mataram, merasa senang melihat betapa Blambangan memperkuat diri dan dibantu pula oleh Bali untuk menentang Mataram.
Memang sudah menjadi siasat Kumpeni sejak semula untuk mengadu domba semua kadipaten yang ada melawan Mataram. Dengan cara mengadu domba berarti melemahkan kedudukan para penguasa pribumi.
Para kadipaten itu akan menderita rugi besar karena perang antara bangsa sendiri dan yang untung besar adalah Kumpeni!
Maka ketika Adipati Blambangan menjamu Kapten Van Klompen dan para pembantunya dan Sang Adipati minta bantuan untuk menghadapi Mataram, Kapten Van Klompen menjanjikan bantuan itu. Akan tetapi Kumpeni Belanda amatlah cerdiknya. Kapten Van Klompen mengatakan bahwa tidak bisa membantu dengan pasukan Kumpeni, melainkan akan mengirim beberapa orang sakti dari Banten yang juga memusuhi Mataram untuk membantu Blambangan dan Kumpeni sendiri membantu dengan beberapa ratus buah senapan.
Agaknya Belanda masih merasa ngeri untuk secara terang-terangan memusuhi Mataram yang pernah menyerbu Batavia sampai dua kali. Biarpun Belanda dapat mengalahkan pasukan Mataram dalam perang itu, namun mereka juga telah kehilangan banyak perajurit. Maka, bantuan itu diberikan secara gelap.
Demikianlah, pada suatu hari yang telah ditentukan, Sang Adipati Santa Guna Alit mengadakan pertemuan dengan para pembantunya.
Sejak pagi para datuk yang diundang berdatangan dan diterima di kadipaten dengan ramah dan dianggap sebagai tamu kehormatan. Berturut-turut mereka berdatangan dan berkumpul di sebuah ruangan luas yang tertutup dalam gedung Kadipaten Blambangan. Sebelum Sang Adipati sendiri keluar menyambut para orang sakti yang menjadi tamu dan pembantu, Bhagawan Kalasrenggi mewakilinya karena kakek ini memang sudah diangkat menjadi penasehat Sang Adipati.
Bhagawan Kalasrenggi dibantu oleh dua orang muridnya, Kaladhama dan Kalajana, menyambut para tamu yang berdatangan dengan hormat dan mempersilakan mereka memasuki ruangan itu dan segera hidangan disuguhkan kepada mereka secara royal sekali.
Bhagawar. Kalasrenggi yang sudah berusia tujuh puluh lima tahun itu pun hanya duduk dalam ruangan khusus itu dan hanya membalas salam para tamu dengan merangkap kedua tangan di depan dada sambil terkekeh-kekeh seperti kebiasaannya. Yang menyambut tamu adalah dua orang muridnya, Kaladhama dan Kalajana.
Tamu pertama yang datang adalah Wiku Menak Jelangger, diantar oleh Kaladhama dan Kalajana memasuki ruangan itu. Tentu saja Wiku Menak Jelangger dapat datang paling dulu karena dia pun tinggal di daerah Blambangan, di pantai Selat Bali.
Kakek berusia enam puluh satu tahun ini, biarpun menjadi saudara seperguruan mendiang Wiku Menak Koncar dan mendiang Resi Wisangkolo yang keduanya sesat, adalah seorang pertapa yang baik budi. Tubuhnya sedang, agak kurus, gerak-gerik dan sikap serta budi bahasanya lembut, pakaiannya juga sederhana namun bersih.
Wiku Menak Jelangger adalah seorang yang sakti biarpun tampaknya lemah lembut namun sesungguhnya dia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Seperti juga mendiang Wiku Menak Koncar, saudara seperguruannya, dia memiliki dua macam aji pamungkas yang ampun, yaitu Aji Bayu Bajra (Angin Ribut) dan Aji Nandaka Kroda (Banteng Mengamuk).
Karena mendengar bahwa Wiku Menak Jelangger terkenal sebagai seorang pertapa alim yang menentang kejahatan dan tidak suka keluar di dunia ramai dan kini mau memenuhi undangan Adipati Blambangan hanya karena merasa wajib sebagai kawula Blambangan, maka Bhagawan Kalasrenggi menyambut kedatangan Sang Wiku dengan dingin saja.
Akan tetapi Wiku Menak Jelangger juga tidak mengacuhkannya. Dia sudah tahu bahwa kakek tua renta yang memakai julukan Bhagawan ini adalah seorang datuk sesat yang bahkan diusir ke luar dari Bali-dwipa karena kesesatannya yang dilakukan bersama dua orang muridnya itu.
Ketika dipersilakan duduk oleh Dwi Kala (Dua Kala), yaitu dua orang murid Bhagawan Kalasrenggi, Wiku Menak Jelangger memilih kursi yang paling pinggir, lalu duduk bersila di atas kursi dan bersamadhi, duduk tepekur sambil menanti datangnya para undangan lainnya.
Tak lama kemudian Resi Sapujagad dan Bhagawan Dewokaton muncul diantar oleh Dwi Kala. Resi Sapujagad, pertapa Merapi itu berusia enam puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka pucat, pakaiannya serba kuning dan tangannya memegang seuntai tasbeh merah dan sebatang keris terselip di pinggangnya.
Adapun Bhagawan Dewokaton, pertapa Gunung Bromo itu berusia sekitar lima puluh lima tahun, tubuhnya gemuk, mukanya selalu menyeringai seperti hendak tertawa sehingga muka yang bulat itu tampak lucu. Pakaiannya serba putih dan dia mempunyai sebatang pedang yang tergantung di pinggangnya. Mereka berdua inipun terkenal sebagai dua orang pertapa yang sakti.
Resi Sapujagad mempunyai senjata pamungkas, yaitu Aksa-mala Rakta (Tasbeh Merah) dan Bhagawan Dewokaton terkenal dengan senjata pamungkasnya, yaitu Candrasa Langking (Pedang Hitam). Selain itu, juga mereka memiliki tenaga sakti yang kuat.
Kedua orang pertapa adalah dua orang yang biarpun sudah puluhan tahun bertapa, namun mereka bertapa dengan pamrih kesenangan duniawi. Selain memperdalam dan memperkuat aji kesaktian, mereka pun mendambakan kedudukan dan harta benda. Oleh karena itu, mereka tertarik oleh ajakan Adipati Blambangan, dan seperti seringkali terjadi, manusia yang menjadi hamba nafsunya mengejar nafsu keinginan untuk menyenangkan diri dengan menghalalkan segala cara!
Manusia sebagai ciptaan Gusti Allah Yang Maha Sempurna, terlahir dalam keadaan sempurna pula, akan tetapi roh yang sempurna itu mengenakan jubah jasmani yang sudah disertai nafsu-nafsu daya rendah yang teramat kuat. Kalau dia tetap dekat dengan Gusti Allah, maka nafsu daya rendah pun akan menjadi alat yang baik dan berguna bagi kehidupan. Akan tetapi kalau dia lengah, jauh dari Gusti Allah, maka iblis akan mendekatinya dan iblis akan menggunakan nafsu-nafsu daya rendah manusia itu sendiri untuk membuat dia menjadi hambanya.
Dalam mengejar nafsu keinginannya yang berki-lauan dan tampak menyenangkan itulah manusia terseret ke dalam perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan seorang manusia, ciptaan Gusti Allah yang paling baik dan paling sempurna. Dia akan menjadi hamba iblis yang tidak segan melakukan kejahatan apa pun demi memperoleh kesenangan du-niawi, kenikmatan daging yang dikejarnya.
"Heh-heh-heh, Resi Sapujagad dan Bhagawan Dewokaton, selamat datang! Kami girang sekali Andika berdua datang memenuhi undangan Sang Adipati Blambangan!"
Kata Bhagawan Kalasrenggi menyambut mereka berdua dengan gembira.
Dia tahu bahwa dua orang pertapa ini patut diajak berkawan karena sepaham atau setidaknya, mereka berdua bukan orang yang bersikap alim seperti Menak Jelangger!
"Ha-ha-ha-heh-heh-heh! Tentu saja kami datang, Kakang Bhagawan Kalasrenggi! Kami juga sudan lama merasa tidak suka kepada Mataram!"
Kata Bhagawan Dewokaton sambil menyeringai lebar.
"Kami juga sudah bosan bertapa di tempat sepi dan ingin mencicipi kemuliaan dan kesenangan!"
Kata Resi Sapujagad sambil memutar-mutar biji tasbeh dengan jari-jari tangannya.
"Heh-heh-heh, bagus-bagus! Andika berdua adalah orang-orang jujur dan tidak berpura-pura alim. Sikap begini yang kusuka, heh-heh-heh!"
Kata Bhagawan Kalasrenggi.
Sungguhpun sikapnya tidak menunjukkan sesuatu, namun Wiku Menak Jelangger merasa bahwa kakek tua renta itu menyindirnya. Namun dia hanya tersenyum penuh kesabaran, maklum bahwa Bhagawan Kalasrenggi berbeda pendapat dengannya.
Dua orang pertapa itu pun mengerti kemana arah ucapan Bhagawan Kalasrenggi ketika mereka melihat Wiku Menak Jalangger duduk bersila di atas kursi paling ujung. Karena Sang Wiku duduk bersila memejamkan mata, keduanya tidak mau mengganggu dan mengambil tempat duduk di dekat Bhagawan Kalasrenggi.
Berturut-turut para datuk yang diundang itu pun berdatangan karena pagi hari itulah yang ditentukan untuk berkumpul dan mengadakan perundingan dengan Sang Adipati Blambangan. Tidak kurang dari sepuluh orang jagoan dari sekitar daerah Blambangan berdatangan dan disambut oleh Bhagawan Kalasrenggi dengan ramah.
Ketika Bhagawan Kalasrenggi dan Dwi Kala bangkit dari duduk mereka untuk menyambut kehadiran Sang Adipati Santa Guna Alit dan Sang Bhagawan mengumumKannya dengan suaranya yang tinggi seperti suara wanita, belasan orang yang menjadi tamu itu pun bangkit berdiri untuk menghormati Sang Adipati.
Dengan diiringkan selosin perajurit pengawal, Adipati Santa Guna Alit memasuki ruangan itu.
Para pengawal itu setelah mengiringkan Sang Adipati memasuki ruangan, lalu keluar dan menjaga diluar ruangan.
Adipati Santa Guna Alit yang bertubuh tinggi besar, mukanya brewok dan kulit mukanya merah itu berusia sekitar empat puluh lima tahun. Dengan langkah tegap berwibawa dia memasuki ruangan dan mengambil tempat duduk di atas sebuah kursi kebesaran dan mengangkat tangan kanan sebagai salam kepada semua yang hadir.
Setelah dia duduk, semua orang lalu duduk kembali dan Sang Adipati menoleh ke pintu. Dari luar ruangan masuklah dua orang pria muda, berusia kurang lebih dua puluh dua tahun. Mereka itu bertubuh tinggi besar dan gagah, dan yang menyolok adalah persamaan diantara mereka. Wajah sama, sikap sama, bahkan pakaian mereka serupa sehingga bagi yang belum mengenal mereka tentu akan merasa heran dan menjadi bingung karena tidak dapat membedakan mana yang satu dan mana yang lain. Akan tetapi bagi mereka yang sudah mengenal, tahu bahwa mereka adalah sepasang anak kembar dari Sang Adipati.
Mereka bernama Dhirasani dan Dhirasanu dan di antara mereka ada sebuah tanda kelahiran yang membuat orang dapat mengetahui perbedaan di antara mereka, yaitu sebuah tembong (tanda hitam) selebar ibu jari di kulit leher sebelah kanan dari Dhirasani.
Sepasang pemuda kembar ini selain ganteng dan gagah, juga mereka berdua memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti mandraguna karena mereka adalah murid-murid Sang Bhagawan Ekabrata yang bertapa di Gunung Agung yang berada di Bali-dwipa.
Baru setahun mereka pulang ke Kadipaten Blambangan dari Bali dan karena kesaktian mereka maka ayah mereka lalu mengangkat mereka menjadi senopati-senopati muda yang bekerja sama dengan Bhagawan Kalasrenggi dan kedua orang muridnya.
Dua orang muda itu mengambil tempat duduk di sebelah kanan ayah mereka. Adipati Santa Guna Alit tersenyum kepada dua orang puteranya yang dibanggakan lalu bertanya.
"Kenapa kalian datang berdua saja? Mana Anakmas Tejakasmala yang kalian tunggu-tunggu?"
Dhirasani menjawab.
"Kakang Tejakasmala belum juga datang, Kanjeng Rama, maka kami tinggal masuk dan sudah kami pesan para pengawal kalau dia datang agar langsung diantar masuk kesini."
Dhirasanu juga berkata.
"Harap Kanjeng Rama tidak khawatir. Kakang Tejakasmala pasti datang dan kalau tidak salah, dia akan datang sebagai utusan dari Raja Dewa Agung di Klungkung bersama rombongan dari Bali."
Baru saja ayah dan dua orang anaknya itu berhenti bicara, seorang pengawal melaporkan bahwa rombongan dari Bali-dwipa sudah tiba.
Pemuda kembar Dhirasani dan Dhirasanu dengan wajah berseri bangkit dan keluar dari ruangan untuk menyambut kedatangan kakak seperguruan mereka yang mereka duga pasti datang bersama rombongan dari Bali itu.
Dugaan mereka benar. Rombongan yang terdiri dari tiga orang yang dikawal dua losin perajurit
Komentar
Posting Komentar