Langsung ke konten utama

SERULING GADIN

  SERULING GADING  1 2 3 4 5 6 7 8 9 6 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 JILID 1    Puncak Argadumilah menjulang tinggi diselimuti awan putih bergerombol seperti sekelompok domba berbulu putih bergerak perlahan, berarak ke arah selatan. Sinar matahari pagi mulai menerangi permukaan Gunung Lawu yang tanahnya subur dan hijau penuh pohon dan tumbuhan. Kinar matahari pagi yang lembut dan hangat itu masih belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang amat dingin bagi manusia itu. Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah. Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu.    Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan A...

BAGUS SAJIWO JILID 3

    "Sebelum menjawab pertanyaan tadi, aku ingin tahu lebih dulu. Benarkah andika yang bernama Nyi Maya Dewi?"

   Maya Dewi terpaksa mengangguk.

   "Kalau benar, lalu engkau mau apa?"

   Jaka Bintara tersenyum.

   "Wah, sungguh senang sekali hatiku dapat bertemu denganmu, nimas. Kita ini bukan orang lain, karena aku adalah murid mendiang Kyai Sidhi Kawasa! Andika tentu mengenalnya dengan baik, bukan, ketika bersama-sama menentang Mataram?"

   Maya Dewi mengerutkan alisnya. Ia tidak suka mendengar tentang semua itu. Masa lalu itu baginya kini menjemukan.

   "Aku tidak ingin bicara tentang siapa-pun. Hayo katakan siapa kalian dan apa perlunya datang kesini, atau lebih baik kalian cepat pergi meninggalkan tempat ini!"

   Jawaban ketus ini tidak membuat Jaka Bintara mundur. Dengan wajah masih cerah tersenyum, dia berkata.

   "Nimas Maya Dewi, aku adalah seorang pangeran!"

   Dia berhenti, untuk melihat kesan yang didatangkan oleh pengakuan itu.

   Maya Dewi memang memandang heran, akan tetapi tidak terkejut. Bagi wanita yang sudah banyak pengalaman ini, tingginya kedudukan, banyaknya harta atau ketampanan wajah tidak lagi mempengaruhinya.

   "Hemm, pangeran? Pangeran dari mana?"

   Tanyanya, nadanya membayangkan tidak percaya.

   "Aku adalah Pangeran Raden Jaka Bintara dari kerajaan Banten! Dan ini adalah paman guruku, Kyai Gagak Mudra, adik seperguruan mendiang Kyai Sidhi Kawasa."

   "Perkenalkan, Nyi Maya Dewi."

   Kata kakek yang wajahnya penuh senyum tawa riang itu.

   "Aku mengenal baik Nyi Candra Dewi, bukankah ia kakakmu? Aku sudah mendengar tentang dirimu dari mendiang Kakang Sidhi Kawasa."

   Akan tetapi nama-nama itu tidak mengubah sikap Maya Dewi yang kaku.

   "Lalu, apa keperluan kalian datang kesini?"

   Tanyanya sambil menatap tajam wajah Jaka Bintara.

   Menghadapi sikap yang kaku dan suara ketus itu, diam-diam Jaka Bintara merasa penasaran dan tersinggung juga. Dia amat dipandang rendah. Betapa pun cantik menariknya Maya Dewi, akan tetapi kalau bersikap sedingin itu terhadap dirinya, maka keangkuhannya sebagai seorang pangeran tersinggung . sekali. Akan tetapi dia masih menekan perasaannya dan bersabar karena saat itu dia sudah tergila-gila akan kecantikan Maya Dewi.

   "Nimas Maya Dewi. Aku mendengar berita bahwa andika masih hidup sendiri, belum mempunyai suami. Kebetulan sekali akupun belum mempunyai garwa padmi. Oleh karena itu aku sengaja jauh-jauh datang ini untuk meminangmu menjadi isteriku. Marilah, nimas. Andika kuboyong ke Kerajaan Banten dan menjadi garwaku, hidup mulia, kaya raya, terhormat dan bahagia bersamaku disana."

   Maya Dewi tersenyum mengejek. Sudah lama wanita ini tidak tersenyum dan kalau sekarang ia tersenyum, adalah karena ia mendengar Jaka Bintara mengeluarkan kata "bahagia"

   Itu. Ia tersenyum mengejek, bukan senyum karena hatinya senang.

   "Bahagia? Hemm, aku tidak akan bahagia, bahkan semakin sengsara! Pergilah dan jangan ganggu aku. Aku tidak mau menjadi isterimu!"

   "Maya Dewi!"

   Jaka Bintara kini membentak.

   "Lupakah engkau lamaran siapa yang sekali ini kau tolak? Aku adalah pangeran Banten!"

   Maya Dewi juga menjadi marah dan ia bangkit berdiri dari tempat duduknya. Matanya mengeluarkan sinar kilat ketika ia membentak.

   "Tidak perduli engkau pangeran, atau dewa, atau setan, aku tidak sudi menjadi isterimu. Nah, pergilah dari tempatku ini!"

   Jari tangan kirinya menuding keluar untuk mengusir dua orang itu.

   Muka Jaka Bintara yang berwarna gelap itu menjadi semakin gelap. Tangan kanannya meraba gagang pedangnya dan dia membentak.

   "Keparat....!"

   Akan tetapi paman gurunya, Kyai Gagak Mudra segera menyentuh lengannya.

   "Sabarlah, raden! Bunga mawar indah berduri runcing, kuda yang baik berwatak liar, perempuan cantik yang galak dan panas semakin menggairahkan. Sebaiknya, pondong saja ia dan boyong ke Banten, raden."

   Jaka Bintara ingat bahwa dia datang bukan untuk membunuh Maya Dewi, melainkan untuk mempersuntingnya. Maka dia melepaskan lagi gagang pedangnya.

   "Nimas, kalau engkau menolak pinanganku secara halus, terpaksa aku akan membawamu dengan paksa!"

   Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja Jaka Bintara bergerak ke depan, menerkam ke arah Maya Dewi seperti seekor harimau menerkam kelinci.

   Maya Dewi terkejut juga. Ia memang sudah menduga bahwa laki-laki ini tentu saja tidak boleh dipandang ringan. Ia mengenal siapa Kyai Sidhi Kawasa yang sakti mandraguna. Laki-laki yang menjadi muridnya ini tentu saja memiliki kesaktian yang tidak dapat disamakan dengan para pria yang pernah datang mengganggunya selama ini. Laki-laki ini tentu merupakan lawan yang tangguh. Apa lagi paman gurunya yang pendek gendut itu. Akan tetapi ia tidak takut. Ia sudah mengambil keputusan bahwa mulai saat ia keluar dari pekerjaannya sebagai mata-mata Kumpeni, mulai saat ia menyadari bahwa jalan hidupnya yang lalu sama sekali tidak pernah mendatangkan kehidupan yang tenteram dan bahagia, ia tidak mau lagi menjadi permainan laki-laki, menjadi permainan nafsu-nafsunya sendiri.

   Cepat ia mengelak ke kiri ketika Jaka Bintara menubruknya dan sambil memutar tubuhnya ia membalas serangan lawan dengan tamparan ke arah leher Jaka Bintara.

   "Wuuuutt.... plak!"

   Jaka Bintara menangkis dengan tangan kanan.

   Merasa betapa lengannya yang ditangkis itu tergetar, Maya Dewi penasaran. Ia mengerahkan Aji Wisa Sarpa (Pukulan Racun Ular) yang amat berbahaya karena pukulan ini memiliki hawa beracun yang berbahaya.

   Jaka Bintara sudah menyelidiki akan kesaktian wanita ini sebelum dia datang dan paman gurunya sudah mendengar dari mendiang Kyai Sidhi Kawasa tentang ilmu-ilmu yang dikuasai Maya Dewi. Maka menghadapi serangan pukulan beracun itu dia cepat menandinginya dengan Aji Hastanala (Pukulan Tangan Api) yang mengandung hawa panas sehingga hawa pukulannya mampu membakar dan memunahkan hawa beracun pukulan Wisa Sarpa.

   Kedua orang itu bertanding dengan seru dan Kyai Gagak Mudra hanya menjadi penonton, namun siap siaga untuk membantu apabila murid keponakannya nanti kalah.

   Maya Dewi juga menggunakan Aji Naka Sarpa (kuku ular) dan sepuluh buah kuku jari tangannya semua mengandung racun. Tergurat sampai luka sudah cukup untuk membahayakan nyawa lawan. Namun Jaka Bintara yang mengetahui akan ampuhnya kuku dan pukulan wanita cantik itu, bergerak cepat dan hati-hati dan selalu mengancam Maya Dewi dengan serangan pukulan apinya sehingga Maya Dewi juga tidak berani mendekat.

   "Syuutt.... tar-tar-tar....!"

   Sinar emas berkelebat dan menyambar-nyambar, mengeluarkan bunyi meledak-ledak.

   Itulah senjata sabuk Cinde Kencana, senjata yang amat diandalkan Maya Dewi. Bagaikan kilat menyambar-nyambar mengancam kepala serangan sabuk itu membuat Jaka Bintara terpaksa melompat jauh kebelakang untuk menghindarkan cambukan. Ketika Maya Dewi melompat mengejar, sinar hitam berkelebat dan pemuda pengeran Banten itu telah memegang sebatang pedang berwarna hitam.

   Dua orang itu cepat menggerakkan senjata masing-masing dan tampaklah gulungan sinar emas dan sinar hitam saling desak, diseling suara meledak-ledak pecut di tangan Maya Dewi.

   Pertandingan itu seru bukan main dan Maya Dewi harus mengakui bahwa semenjak ia meninggalkan perantauannya dan menetap di tempat sunyi itu, baru sekali ini dia bertemu tanding yang benar-benar tangguh. Mungkin beberapa tahun yang lalu ia akan merasa senang bersahabat dan bergaul dengan pria seperti pangeran ini. Akan tetapi sekarang ia merasa sebal karena tahu benar bahwa pangeran ini hanya membutuhkan tubuhnya yang cantik menarik. Buktinya sekarang, begitu keinginannya tidak dituruti, laki-laki ini menyerangnya mati-matian dan berusaha keras untuk merobohkannya. Bahkan serangannya mematikan!

   Agaknya, rasa sayang yang tadi diucapkannya, kini sudah berubah menjadi kebencian karena keinginannya tidak dituruti! Maka iapun melawan mati-matian dan merasa lebih baik roboh mati daripada menuruti kehendak Jaka Bintara untuk menjadi isterinya.

   "Hyaaaattt....!"

   Jaka Bintara membacokkan pedang hitamnya sambil mengerahkan seluruh tenaga.

   Serangan itu cepat dan kuat sekali sehingga Maya Dewi tidak sempat mengelak dan jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri hanya dengan jalan menangkis. Iapun menggerakkan sabuknya dengan pengerahan tenaga pula, menangkis sambaran pedang itu.

   "Cringgg....!"

   Tubuh Nyi Maya Dewi terhuyung ke belakang.

   Ternyata ia masih kalah kuat. Ketika ia terhuyung itu, Jaka Bintara mengejar dan menggerakkan pedang untuk memberi tusukan. Akan tetapi pada saat itu, Jaka Bintara menekuk lutut kanannya yang berada di depan dan dia terpelanting, hampir roboh. Dia cepat menjaga keseimbangan badan dan terhuyung ke kanan, Dengan sendirinya serangan kedua terhadap Maya dewi menjadi gagal sama sekali.

   Hanya dia yang tahu dan merasa bahwa ada sesuatu yang mengenai lutut kanannya, sesuatu yang membuat lututnya terasa ngilu dan lumpuh sesaat! Dia terkejut sekali dan cepat melompat ke belakang, ke dekat paman gurunya.

   Kyai Gagak Mudra terkejut melihat betapa murid itu terpelanting dan dia mengira bahwa Jaka Bintara memang mengalami kekalahan. Apalagi melihat Maya Dewi kini siap untuk menyerang.

   "Serang dengan Analabanu!"

   Serunya dan dia lalu bersama-sama Jaka Bintara mendorongkan tangan kirinya ke arah Maya Dewi yang berdiri dalam jarak lima meter di depan mereka.

   Dari telapak tangan dua orang itu menyambar sinar api ke arah Maya Dewi. Wanita itu maklum bahwa ia diserang dengan pukulan jarak jauh yang ampuh. Iapun cepat mendorongkan tangan kirinya sambil membaca mantera. Telapak tangan itu berubah menjadi merah dan mengepulkan asap.

   "Tapak Rudira (Tapak Darah) ....!"

   Ia berseru dan hawa yang kuat keluar dari telapak tangan kirinya itu, menyambut serangan kedua orang lawannya.

   Pada saat itu, Kyai Gagak Mudra berteriak dan tubuhnya terhuyung ke samping. Tadi, tenaga gabungan murid dan paman guru itu dengan kuatnya menggempur tangkisan Maya Dewi yang menggunakan Aji Tapak Rudira.

   "Blaaarrr....!!"

   Maya Dewi terkulai lemas dan roboh.

   Akan tetapi pada saat itu juga, Kyai Gagak Mudra berteriak dan tubuhnya terhuyung ke samping. Pinggangnya terasa ada yang menotok dan separuh tubuhnya lumpuh. Pada detik berikutnya kembali Jaka Bintara mengaduh dan dia jatuh terduduk, kakinya yang kanan juga tidak dapat digerakkan.

   Dua orang paman guru dan keponakan murid itu terkejut bukan main. Mereka tak pernah mengira bahwa Maya Dewi sedemikian kuatnya dan saktinya. Mereka hanya melihat wanita cantik itu roboh akan tetapi kini sudah bangkit lagi, kedua telapak tangan berlepotan darah dan mukanya yang elok itupun penuh darah yang keluar dari mulutnya sehingga tampak amat menyeramkan. Mata yang mencorong itu memandang kepada mereka dengan melotot buas!

   Melihat ini, Kyai Gagak Mudra membuka mulutnya dan terdengar dia berteriak parau, persis suara seekor burung gagak yang ketakutan.

   "Kraaaakkk.... gaaakkk.... gaaakkk....!"

   Suara ini menandakan bahwa datuk sakti ini dilanda ketakutan.

   Melihat keponakan muridnya belum juga dapat bangkit duduk, dia segera menyambar lengan Jaka Bintara, mengerahkan tenaganya dan segera menarik pangeran itu dan melarikan diri dengan cepat seolah terbang karena dia menduga bahwa kalau lebih lama dia tinggal disitu bersama keponakan muridnya, bukan hal yang mustahil kalau mereka berdua akan mati konyol oleh Maya Dewi yang demikian sakti mandraguna!

   Maya Dewi bangkit berdiri memandang ke arah larinya dua orang itu. Tubuhnya bergoyang-goyang, kedua tangan, muka, juga pakaiannya berlepotan darah segar. Setelah yakin bahwa dua orang penyerangnya sudah pergi jauh, ia terdesak, merintih, mulutnya menyeringai kesakitan, matanya terpejam dan iapun terkeilai roboh. Pingsan.

   Senja telah tiba. Cuaca remang. Tubuh Maya Dewi tergeletak miring. Rambutnya yang hitam panjang terurai lepas bagaikan selimut sutera tipis melindungi tubuhnya yang mandi darah. Suasana disekitar rumah mungil itu sunyi, seolah tidak ada seorangpun manusia yang tadi menyaksikan apa yang telah terjadi ditempat itu.

   Akan tetapi, tiba-tiba sesosok bayangan muncul dari balik batang pohon sawo yang tumbuh di pekarangan rumah Maya Dewi dan bayangan ini dengan langkah kaki tenang menghampiri tubuh wanita yang menggeletak itu.

   Bayangan seorang pemuda remaja. Kurang lebih enam belas tahun usianya. Melihat perawakannya, dia seperti sudah dewasa. Akan tetapi cahaya matahari senja masih sempat memperlihatkan wajahnya yang masih amat muda, walaupun ada sesuatu dalam pandang matanya yang mencorong membayangkan kematangan jiwa.

   Pemuda itu adalah Bagus Sajiwo. Seperti telah diceritakan di bagian yang lalu, pemuda ini ditinggal gurunya, Ki Ageng Mahendra yang wafat. Setelah jenazah gurunya diperabukan, dia lalu meninggalkan pegunungan Ijen, mengembara tanpa tujuan tertentu, berserah diri kepada Sang Hyang Widhi, mengikuti saja kemana suara kaki dan langkah kaki membawanya.

   Pada suatu hari menjelang sore, Bagus Sajiwo tiba di kaki pegunungan Wilis. Dari jauh dia melihat Bukit Keluwung di pegunungan itu. Hatinya tertarik oleh keindahan yang jarang dilihatnya. Pelangi beraneka warna melengkung di atas bukit, begitu cemerlang, begitu sempurna lengkungnya, begitu indah warnanya, sehingga teringatlah dia akan dongeng yang pernah didengarnya tentang "anda widadari" (tangga bidadari) yang menurut dongeng menjadi tangga dari mana para bidadari turun dari kahyangan menuju bumi untuk berbahagia menyebar keindahan dan kebaikan di antara manusia.

   Tiba-tiba lamunannya membuyar ketika dia melihat dua orang melarikan kuda tunggangan mereka mendaki Bukit Keluwung.

   Bagus Sajiwo tidak mengenal Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra yang mendaki Bukit Keluwung dengan kuda mereka itu dan kedua orang itupun tidak memperdulikan pemuda remaja sederhana seperti seorang dusun itu. Akan tetapi pada waktu itu Bagus Sajiwo sudah menyerap ilmu yang mendalam dari mendiang Ki Ageng Mahendra sehingga jiwanya peka sekali dan dia dapat merasakan adanya hawa panas daya rendah nafsu angkara mengudara dari dua orang itu. Hatinya merasa tidak tenang. Dia khawatir kalau-kalau keindahan pelangi melengkung di atas bukit itu akan menjadi rusak. Maka tanpa disengaja atau disadari, dia sudah bergerak melangkah, mendaki Bukit Keluwung membayangi dua orang penunggang kuda itu.

   Setibanya di puncak dia melihat betapa dua orang laki-laki penunggang kuda tadi sedang bertanding, mengeroyok seorang wanita yang dapat menandingi mereka dengan gigih. Bagus Sajiwo masih belum dewasa benar untuk dapat menilai secara mendalam daya tarik atau kecantikan wanita, akan tetapi apa yang dilihatnya pada diri Maya Dewi sungguh membuat dia terpesona, seolah melihat bentuk bidadari yang tadi dia bayangkan menuruni bumi melalui "tangga bidadari"

   Dari kahyangan .itu. Akan tetapi diapun merasa heran dan ngeri melihat sikap, terutama pandang mata bidadari itu. Demikian mengerikan!

   DIA tidak mengenal tiga orang yang berkelahi itu.

   Dia tidak tahu sebab perkelahian, siapa yang bersalah. Karena itu, teringat akan nasihat mendiang gurunya agar dia tidak sembarangan mencampuri urusan orang lain dan berpihak sebelum mengetahui benar duduk persoalannya, dia hanya bersembunyi di balik batang pohon sawo dan mengintai.

   Mula-mula dia memang tidak perduli dan tidak berpihak. Akan tetapi ketika melihat betapa wanita itu mulai terdesak dan terancam bahaya maut di tangan Jaka Bintara, jiwa satrianya tergerak. Tidak mungkin dia membiarkan seorang wanita terbunuh begitu saja di depan matanya tanpa dia melakukan sesuatu untuk mencegahnya.

   Maka, cepat dia mengambil sepotong kerikil dan sekali dia menyentilkan jari telunjuknya, kerikil itu meluncur dan menghantam lutut kanan Jaka Bintara sehingga pangeran itu terhuyung.

   Kemudian, melihat betapa dua orang pria itu menyerang Maya Dewi dengan aji pukulan jarak jauh yang amat ampuh dan wanita itu dengan nekat menyambut dengan aji pukulan jarak jauh Tapak Darah, Bagus Sajiwo merasa ngeri. Dia maklum benar bahwa nyawa wanita itu terancam maut. Maka, tanpa ragu lagi dia membantu dengan sentilan dua buah kerikil.

   Maya Dewi memang terluka parah, akan tetapi dua orang laki-laki itupun terpelanting dan terkejut, ketakutan lalu melarikan diri.

   Kini pemuda remaja itu menghampiri tubuh berlepotan darah itu. Sejenak dia mengamati dan hatinya merasa iba sekali.

   Sebagai seorang yang sejak kecil mendalami ilmu pengobatan dari Ki Ageng Mahendra, dia mengetahui bahwa wanita itu menderita luka dalam yang amat berbahaya. Juga dia mencium bau darah yang amat amis dan keras, tanda bahwa darah itu mengandung racun! Tubuh itu harus dibersihkan dari semua darah. Kalau tidak, kulit tubuh itu dapat membusuk dan rusak.

   Tanpa ragu atau sungkan lagi, Bagus Sajiwo lalu membungkuk dan memondong tubuh Maya Dewi yang terkulai lemas. Dia melangkah memasuki pendopo mungil itu dengan maksud hendak mencarikan tempat di mana dia dapat merebahkan tubuh itu dan merawatnya.

   Senja belum gelap benar. Dia harus segera dapat menemukan dan menyalakan lampu di ruangan depan itu. Akan tetapi tiba-tiba tubuh Maya Dewi bergerak menggeliat. Wanita itu siuman dan ketika mendapatkan dirinya dipondong seorang laki-laki, ia menjadi marah, mengira bahwa laki-laki itu Jaka Bintara yang hendak berbuat tidak senonoh. Ia menggerakkan tangan lalu menyerang dengan tamparan tangannya ke dada Bagus Sajiwa.

   "Plak-plak!!"

   Dua kali tangannya menampar, akan tetapi karena tenaganya amat lemah dan dada Bagus Sajiwo amat kokoh kuat, tamparan itu sama sekali tidak terasa olehnya.

   "Lepaskan aku, jahanam busuk! Lepaskan tanganmu yang kotor, lelaki keparat, pencoleng, gentho cabul dan gila!"

   Maya Dewi dengan lemah meronta-ronta dan mencaci maki dengan kata-kata kotor yang membuat rona muka Bagus Sajiwo menjadi merah karena rikuh dan malu.

   "Tenanglah, mbakayu. Aku hanya Ingin menolongmu, lain tidak!"

   Dia membantah halus.

   "Menolong? Huh, engkau mau mencabuli aku, setan alas!"

   Maya Dewi meronta lagi.

   Bagus Sajiwo terkejut, tidak paham akan maksud kata-kata itu, akan tetapi merasa ngeri dan otomatis dia melepaskan tubuh yang dipondongnya itu.

   "Bruukk....!"

   Tak dapat dihindarkan lagi tubuh itu terjatuh dan terbanting ke atas tanah.

   "Aduh....!"

   Maya Dewi yang tubuhnya sudah lemah dan sakit semua itu menjerit karena pundaknya terbanting ke atas lantai.

   "Salahmu sendiri,"

   Bagus Sajiwo menegur, merasa kasihan.

   "Sudah kukatakan, aku hanya ingin menolongmu, kenapa engkau tidak percaya bahkan memukul aku?"

   Maya Dewi mulai menyadari bahwa ia salah menduga orang. Pemuda ini bukan musuh dan dari suaranya bahkan terdengar bahwa dia masih muda sekali. Diam-diam ia merasa heran. Dari mana datangnya bocah ini? Dan bagaimana mempunyai keberanian yang begitu besar? Juga gerak-geriknya, sikapnya, mengandung wibawa demikian besar!

   Maya Dewi bangkit duduk di atas lantai. Ia belum mampu bangkit berdiri. Cuaca mulai remang.

   "Heh, ujang (sebutan anak laki-laki)! Hayo nyalakan lampu gantung itu. Cepat!"

   Perintahnya.

   Bagus Sajiwo melaksanakan perintah itu. Hatinya mengomel.

   "Aduh galaknya! Ia ini bidadari atau wewe (setan betina) sih?"

   "Kamu ngomel apa, hah?"

   Maya Dewi membentak.

   "Apa? Ah, tidak apa-apa."

   Bagus Sajiwo menyalakan lampu dan ruangan itu menjadi terang.

   "Hayo engkau berdiri di bawah lampu itu. Angkat mukamu, aku ingin melihat mukamu!"

   "Perempuan aneh, aneh dan gila."

   Bagus Sajiwo mengomel dalam hatinya. Akan tetapi dia tidak membantah dan mengangkat mukanya ke atas sehingga cahaya lampu menyinari muka dan tubuhnya.

   Maya Dewi melihat sepotong wajah yang tampan gagah, akan tetapi baginya tampak tolol kekanak-kanakan. Hanya sepasang mata yang sinarnya mencorong itu saja yang masuk hitungan. Selebihnya "tidak ada apa-apanya"

   Bagi wanita itu.

   Sejenak mereka saling berpandangan. Akan tetapi di dalam pandang mata Bagus Sajiwo sama sekali tidak terdapat penilaian tentang keindahannya karena yang menjadi pusat perhatiannya adalah keadaan kesehatan tubuh wanita yang' berlumuran darah itu. Dia kini semakin yakin bahwa wanita itu sudah berada di ambang pintu maut! Maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu membungkuk dan memondong tubuh itu sedemikian ringannya seperti memondong tubuh seorang anak kecil saja.

   Maya Dewi terbelalak, meronta dan memaki kalang kabut.

   "Hei, lepaskan aku! Kamu munyuk monyet, lutung, celeng gotheng, tobil kadal anjing kucing tikus....!"

   Jari-jari tangan kanannya mencengkeram ke arah leher Bagus Sajiwo untuk menemukan dan menghancurkan otot besar.

   Akan tetapi, alangkah kaget dan herannya ketika ia merasa betapa jari tangannya itu tidak menemukan otot yang dicarinya. Tempat itu kosong, hanya ada kulit keras dan daging kenyal. Otot besar di leher anak itu seolah telah berpindah tempat atau bersembunyi entah kemana!

   Bagus Sajiwo membawa tubuh Maya Dewi keruangan dalam dan meletakkannya ke atas sebuah pembaringan. Karena tadi mengerahkan seluruh tenaga terakhir, Maya Dewi merasa tubuhnya lemas dan lemah lunglai. Ia rebah telentang, sama sekali tidak dapat bergerak.

   Ia hanya memandang bingung kepada Bagus Sajiwo yang sudah menyalakan lagi dua buah lampu gantung dalam ruangan itu. Melihat tubuh pemuda yang kokoh kuat itu kini datang menghampirinya membawa sebuah gentong air besar, Maya Dewi membelalakkan matanya, bertanya gemetar.

   "...Mau.... mau apa.... apa kau....?"

   Setelah meletakkan gentong air ke atas lantai, Bagus Sajiwo menjawab tenang.

   "Pertama, akan kucuci dan kubersihkan semua darah dari tubuhmu agar kulitmu tidak keracunan. Kemudian akan kubantu engkau mengusir hawa beracun dari tubuhmu karena kalau terlambat, nyawamu tidak akan dapat ditolong lagi. Setelah itu, aku akan berusaha mengobatimu dan akan kurawat engkau sampai sembuh."

   Sepasang mata yang indah namun suram cahayanya itu membelalak.

   "...Kau ....kau cuci.... tubuhku....?"

   Maya Dewi merasa heran luar biasa akan perasaan hati dan tubuhnya sendiri pada saat seperti itu.

   Kenapa seluruh tubuhnya merasa menggelinjang, mengkirik (meremang) karena risi, sungkan dan malu membayangkan tubuhnya akan ditelanjangi dan dimandikan oleh jari-jari tangan laki-laki yang masih begitu muda belia seperti kanak-kanak? Ia bukan seorang perawan muda. Ia seorang wanita yang sudah iebih dari dewasa, bahkan sudah terlalu dewasa. Ia bukan gadis yang asing dengan pria. Bahkan ia sudah mengalami banyak pergaulan dengan pria, mempermainkan pria sesuka hatinya, tak pernah merasa rikuh atau malu terhadap pria. Akan tetapi mengapa kini ia menjadi malu-malu seperti seorang gadis remaja yang mentah dan hijau hanya menghadapi seorang pemuda remaja yang masih hijau?

   Ia hendak bangkit dan lari karena merasa tidak kuasa menggerakkan tenaga menyerang, akan tetapi ia terkulai kembali, bahkan mengerahkan tenaga paksaan ini membuatnya roboh pingsan!

   Bagus Sajiwo menggaruk-garuk belakang telinganya yang tidak gatal, menggeleng kepala dan mengomel.

   "Aneh... aneh... belum pernah aku melihat orang seaneh ini...!"

   Akan tetapi melihat pernapasan Maya Dewi terengah-engah tinggal satu-satu, dia melupakan semua keheranannya dan dia menggerakkan kedua tangannya, mulai sibuk bekerja.

   Disingkap dan disingkirkannya rambut hitam panjang sehalus sutera itu dari atas muka dan tubuh yang berlumuran darah. Kemudian, tanpa ragu-ragu lagi dia menanggalkan dan melepaskan semua pakaian yang menutupi tubuh itu sehingga tubuh Maya Dewi menjadi bugil, telanjang bulat bagai-kan seorang bayi yang baru dilahirkan.

   Namun, tidak pernah sedetikpun pandang mata Bagus Sajiwo tertarik oleh semua penglihatan yang bagi mata pria pada umumnya tentu memiliki daya tarik yang dapat menimbulkan rangsangan nafsu berahi. Hal ini terjadi bukan sekali-kali karena Bagus Sajiwo bukan seorang pemuda remaja yang normal. Sama sekali bukan.

   Melainkan karena pertama, dia seorang pemuda yang batinnya sudah ditempa dan digembleng sejak kecil oleh seorang arif bijaksana sehingga nafsu daya rendah dalam dirinya tidak liar. Ke dua, karena pada saat itu seluruh perhatiannya, seluruh panca-inderanya dicurahkan untuk menolong Maya Dewi dan mengobatinya sehingga kuasa kegelapan tidak sempat mempengaruhinya. Dan ke tiga, batinnya belum pernah mendapat kesempatan untuk berkenalan dengan apa yang disebut kenikmatan nafsu berahi. Maka, ketelanjangan tubuh wanita yang mulus itu dipandangnya sebagai suatu penglihatan yang wajar saja, seperti seorang menghadapi ketelanjangan seorang anak perempuan kecil. Segala bentuk nafsu itu didorong oleh keinginan menikmati pengalaman badani yang pernah dirasakan.

   Jari-jari tangan Bagus Sajiwo yang trampil dan ahli itu dengan amat cekatan mencuci, memandikan dan membersihkan seluruh anggauta tubuh Maya Dewi, dari rambutnya yang hitam panjang sampai ke telapak kakinya, tanpa kecuali sehingga semua darah yang mengotorinya tercuci bersih.

   Setelah merasa bahwa tubuh wanita itu benar-benar telah bersih dari semua darah, Bagus Sajiwo lalu menghampiri sebuah peti besar hitam yang berada di dalam sebuah kamar. Dia kagum ketika membuka tutup peti. Sinar lampu menimpa benda-benda emas permata yang berkilauan.

   Diambilnya sehelai kain dan seperangkat pakaian wanita, lalu dihampiri pula Maya Dewi yang masih menggeletak pingsan, telentang di atas pembaringan. Sebagian rambut hitam selembut sutera menutupi dada dan perutnya. Seluruh tubuh itu masih basah bekas dimandikan Bagus Sajiwo, tampak putih mulus berkilau tertimpa sinar lampu yang kesemuanya, sebanyak enam buah, telah dinyalakan Bagus Sajiwo. Muka yang elok itu kini tampak tenang, tidak lagi mengerikan seperti tadi, mengingatkan pemuda itu akan bayangan muka bidadari.

   Dengan hati-hati pemuda remaja itu mempergunakan kain kering bersih untuk mengeringkan tubuh yang basah itu, lalu dengan ngawur dan sekenanya dia mencoba untuk menggulung dan menyanggul rambut panjang itu sambil menanggalkan semua perhiasan yang menempel di tubuh Maya Dewi.

   Ketika jari-jari tangannya menyentuh tubuh itu, dia merasa betapa dinginnya tubuh itu. Dia terkejut. Tubuh itu dingin seperti mayat. Dirabanya dada Maya Dewi, di bawah payudara kiri. Detik jantungnya lemah sekali, tinggal satu-satu, dan di bagian itulah yang paling dingin.

   Celaka, pikir Bagus Sajiwo. Kalau tidak cepat ditolong, tentu nyawa wanita ini akan meninggalkan badannya. Dia lalu mengerahkan tenaganya dan mulai menggosok-gosokkan kain kering itu kuat-kuat ke seluruh tubuh, terutama dibagian-bagian terpenting seperti kepala, leher, dada, pungung dan perut. Karena Bagus Sajiwo menggosok dengan kuat, maka kulit yang tadinya putih dan agak pucat itu mulailah menjadi agak kemerahan, dan tubuh yang tadinya amat dingin itu mulai menjadi hangat.

   Melihat ini, legalah hati Bagus Sajiwo. Biarpun usahanya untuk melancarkan jalan darah itu hanya usaha sementara dan belum berarti penyembuhan, namun setidaknya dia sudah mengurangi ancaman bahaya maut.

   Dia lalu cepat mengenakan pakaian wanita itu, kembali sekenanya saja karena tentu saja dalam hal memasang pakaian wanita, apa lagi wanita dewasa, dia sama sekali belum biasa. Pokoknya asal tubuh itu tertutup dan tidak menjadi bugil seperti itu karena setelah tubuh itu dia gosok kuat-kuat dan menjadi putih kemerahan, mulailah matanya menemukan keindahan-keindahan yang dirasanya aneh, tidak dimengerti, namun yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat.

   Setelah pertolongan tahap pertama dilaksanakan dengan baik, kulit tubuh wanita itu kini telah terbebas dari ancaman darah yang mengandung racun tadi dan dia berhasil agak memperlancar jalan darah yang hampir membuat darah dalam tubuh Maya Dewi membeku, Bagus Sajiwo mulai dengan pertolongan tahap kedua.

   Pertolongan ke dua ini penting sekali karena dia harus dapat mengeluarkan hawa beracun yang mengeram di dalam tubuh wanita itu. Dia tahu bahwa wanita itu tadi terkena serangan tenaga pukulan jarak jauh yang amat ampuh dan yang mengandung hawa beracun keji sekali. Dia lalu membantu Maya Dewi yang masih lunglai itu duduk, mengatur kedua kaki wanita itu sehingga duduk dengan sikap Bunga Teratai, yaitu kedua kaki bersilang dan masing-masing kaki di atas paha. Akan tetapi setelah kedua kaki itu bersila dalam bentuk Bunga Teratai dan dia melepaskannya, tubuh yang lemah lunglai itu terkulai dan tergelimpang miring!

   Bagus Sajiwo menangkap kedua pundak Maya Dewi dan menahannya, akan tetapi setiap kali dilepas, terkulai lagi. Terpaksa dia lalu menarik tubuh itu sehingga punggungnya bersandar pada dinding dibelakang pembaringan.

   Setelah wanita itu dapat duduk bersandar, mulailah dia mengerahkan tenaga sakti, menyalurkan tenaga itu ke arah kedua telapak tangannya, kemudian dia menempelkan kedua telapak tangannya yang kiri ke pusar dan yang kanan ke ulu hati. Lalu mulailah dia dengan usaha pengusiran hawa beracun dari tubuh wanita itu. Hawa yang hangat menjalar keluar dari kedua tangannya, mula-mula hangat lalu mulai menjadi semakin panas sampai tampak uap putih mengepul diantara pertemuan telapak tangan dan kedua bagian tubuh Maya Dewi itu.

   Hawa beracun dingin yang mengeram dalam rubuh Maya Dewi mulai terbakar dan menguap digempur hawa murni yang panas dari tenaga sakti Bagus Sajiwo. Inilah tenaga inti Bromokendali yang amat ampuh, satu diantara aji kesaktian yang amat luar biasa yang dia dapatkan dari mendiang Ki Ageng Mahendra.

   Kurang lebih setengah jam kemudian, tubuh Maya Dewi mulai bergoyang-goyang dan menggigil. Kini dari seluruh tubuhnya membubung uap dingin yang keluar. Lambat laun uap yang keluar itu semakin menipis dan akhirnya wanita itu menghela napas panjang, mulutnya gemetar, bibir yang mulai tampak merah itu bergerak-gerak, lalu kedua matanya terbuka.

   Sejenak ia nanar. Ketika pandang matanya mulai dapat melihat nyata, ia melihat betapa dirinya duduk bersila di atas pembaringan bersandarkan dinding, sedangkan di depannya, dekat sekali, duduk pemuda tadi, bersila dan tangan pemuda itu menempel pada pusarnya, sedangkan tangan kanannya menempel pada ulu hatinya, diantara kedua payudaranya.

   Iapun menyadari bahwa kini ia telah berpakaian, walaupun letak pakaiannya itu tidak karuan, terbolak-balik sama sekali. Alisnya mulai berkerut dan kembali wataknya yang liar timbul.

   Sejak kecil Maya Dewi memang terdidik dalam dunia sesat. Apalagi setelah dewasa ia menjadi seorang datuk sesat dan belum pernah selama hidupnya ia mempercayai orang! Semua orang dianggapnya palsu belaka dan selalu mementingkan diri sendiri, siap mencelakai orang lain seperti juga wataknya sendiri. Itulah sebabnya mengapa ia yang sudah mendapat bukti kebaikan Bagus Sajiwo yang menolongnya, setelah kini siuman dan sudah mulai terusir hawa beracun dari dalam tubuhnya, mulai merasa curiga kembali!

   Kecurigaannya ini bertambah ketika ia melihat kenyataan betapa pemuda yang masih remaja itu telah mampu mengerahkan tenaga sakti yang demikian hebatnya! Tenaga sakti panas yang mampu menggempur hawa beracun dingin yang tadi mengancam nyawanya.

   Pemuda ini berbahaya, pikirnya. Kalau tidak. cepat disingkirkan, siapa tahu kelak dapat mencelakakannya!
I
a memperhatikan dan melihat betapa pemuda itu sedang mencurahkan segenap perhatiannya kepada apa yang sedang dilakukan. Tangan kanannya menempel pada ulu hati dan tangan kirinya menempel pada pusarnya. Kedua matanya setengah terpejam. Saat yang amat baik untuk menyerangnya!

   Setelah kini hawa beracun meninggalkan tubuhnya, Maya Dewi mulai mengumpulkan tenaga saktinya. Ia seorang wanita yang sakti. Sekali pukul saja ia akan mampu membunuh orang ini!

   Diam-diam ia mengumpulkan tenaga pada dua jari tangan kanannya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah lalu memandang wajah Bagus Sajiwo. Mana yang akan diserangnya? Dua matanya? Seketika mata itu akan buta, biji matanya akan hancur! Atau di titik pusat antara kedua matanya? Akibatnya, pemuda itu akan kehilangan ingatannya dan akan menjadi gila! Atau dilehernya, di atas kalamenjingnya? Akan putus otot pernapasannya dan akibatnya mati!

   Maya Dewi menimbang-nimbang. Bagaimanapun juga, kesehatannya belum pulih sepenuhnya. Dan pemuda ini memiliki kepandaian dan tenaga lumayan. Masih dapat ia pergunakan! Kalau dibunuh, selain tidak ada gunanya lagi, juga merepotkan. Ia harus menyingkirkan mayatnya!

   Ia lalu mendapatkan akal yang dianggapnya terbaik. Ia akan membikin pemuda ini menjadi budaknya. Dengan paksa! Dan hal itu akan berhasil kalau ia membuat pemuda ini menjadi manusia cacat yang tidak berbahaya.

   Pertama-tama harus ia buat tidak berdaya lebih dulu dengan jalan menotok jalan darah sehingga lumpuh. Pikiran ini dianggapnya begitu sempurna dan cerdik sehingga bibirnya tersenyum manis sekali. Ia harus berhati-hati sekali. Syarafnya harus tenang. Sedikit saja menegang pemuda itu akan merasakan dan menjadi curiga.

   Maya Dewi tidak tahu bahwa biarpun Bagus Sajiwo telah menguasai aji kesaktian yang luar biasa, namun dia adalah seorang pemuda yang masih remaja sekali belum ada pengalaman di dunia persilatan, apa lagi di dunia sesat. Baginya, semua manusia itu baik dan dapat dipercaya! Maka, saat itu dia mencurahkan seluruh perhatian pada pengobatannya, tak tahu akan bahaya mengancam di depan mata!

   Tiba-tiba bagaikan dua ekor ular kobra menyambar, dua lengan Maya Dewi meluncur ke depan dan dua jari kedua tangannya sudah menotok ke arah kedua pundak Bagus Sajiwo.

   "Syuuuutt.... tuk-tuk....!"

   Tubuh Bagus Sajiwo yang duduk bersila di tepi pembaringan itu tiba-tiba terdorong ke belakang dan dia terguling jatuh ke atas lantai, rebah telentang tak mampu bergerak lagi, hanya memandang terbelalak ke arah Maya Dewi yang sudah meloncat turun dan berdiri sambil tertawa cekikikan karena senang dan geli.

   "Hi-hi-hi-hik.... heh-heh.... bocah tolol gudel (anak kerbau) goblok!"

   Ia tertawa mengejek dan memaki.

   Totokan tadi sebetulnya hebat sekali. Kalau yang ditotok kurang kuat, dapat mengakibatkan kelumpuhan seumur hidup!

   Akan tetapi tubuh Bagus Sajiwo sudah terisi hawa sakti yang amat kuat sehingga dia hanya menjadi lumpuh sementara saja. Itupun yang tak dapat dia gerakkan hanya kedua kaki tangan. Dia masih mampu mengerjakan semua inderanya, termasuk berpikir dan berbicara. Dia sungguh terkejut dan terheran-heran melihat apa yang dilakukan wanita itu kepadanya. Dia bersungguh-sungguh berusaha untuk mengobati wanita itu. Kenapa ia malah membalasnya dengan serangan sehebat itu? Dia tahu bahwa totokan itu membuat ia lumpuh. Dan kini wanita itu tertawa-tawa dan menghinanya!

   Perempuan macam apakah ini? Akan tetapi ia melihat wajah cantik itu tertawa-tawa seperti topeng saja. Dia melihat bayangan duka yang amat mendalam di balik topeng tawa itu.

   "Mbakayu...."

   "Sejak kapan aku jadi mbakayumu? Aku tidak sudi punya adik macam kamu! Aku Maya Dewi, kalau mau sebut, panggil saja Dewi!"

   "Dewi, kenapa kau memukul aku?"

   "Aku ingin kau jadi pembantuku. Aku mau pukul, mau bunuh, sesuka hatiku!"

   "Tidak perlu kau pukul, aku memang sejak tadi sudah berniat membantumu...."

   "Cerewet amat sih kamu! Kuhajar mulutmu baru kapok!"

   Maya Dewi melangkah maju, membungkuk dan menggerakkan tangan kiri hendak menampar.

   Bagus Sajiwo tak mampu mengelak, tak mampu bergerak, menerima saja dengan kedua mata tak berkedip.

   "Plak! Plak!"

   Kedua pipi pemuda itu terkena tamparan yang cukup kuat sehingga kulit pipi itu menjadi bengkak dan merah kebiruan!

   Akan tetapi, ketika menampar tadi Maya Dewi telah mengerahkan terlalu banyak tenaga, padahal disebelah dalam dirinya masih terluka parah. Maka, begitu menampar dua kali pipi Bagus Sajiwo, ia tertawa lagi terkekeh-kekeh dan tiba-tiba mulut yang tertawa itu berubah. Mukanya pucat sekali, mulutnya menyeringai, lalu terbuka dan terbatuk-batuk. Darah mengalir dari ujung bibirnya dan pernapasannya terengah-engah.

   Bagus Sajiwo sudah melupakan rasa nyeri pada mukanya.

   "Dewi! Cepat! Gunakan dua jari tangan kananmu untuk menotok jalan darah di pundak kirimu! Lalu tahan napas dan pergunakan ibu jari tangan kirimu untuk menekan ulu hatimu! Cepat sebelum terlambat!"

   Dalam keadaan menderita nyeri luar biasa itu Maya Dewi tidak dapat berpikir kecuali menurut petunjuk Bagus Sajiwo yang lumpuh itu. Petunjuk itu bukan ngawur, melainkan merupakan suatu ilmu menotok dan menekan jalan darah untuk melancarkan jalan darah yang terganggu. Begitu Maya Dewi melaksanakan petunjuk itu pernapasan Maya Dewi menjadi normal kembali, darah berhenti keluar dari mulutnya dan rasa nyeri tadipun lenyap.

   Maya Dewi menghela napas panjang lalu duduk di atas dipan. Ia memandang Bagus Sajiwo. Kembali pemuda itu menyelamatkannya. Bahkan pandang mata pemuda itu kepadanya sama sekali tidak membayangkan kebencian, bahkan mengandung perasaan iba. Padahal ia sudah memaki, menghina, dan memukulnya, bahkan dengan maksud membunuhnya! Anak macam apakah ini? Dewakah?

   "Eh, siapa namamu?"

   Akhirnya ia bertanya.

   "Namaku Bagus Sajiwo."

   "Hemm....? Bagus?"

   Maya Dewi memandang wajah yang bengkak-bengkak itu.

   "Engkau tidak bagus tapi jelek dan tolol. Aku akan panggil engkau Tolol saja."

   "Terserah kepadamu, Dewi."

   "Sebetulnya dari mana kau bisa mengobati?"

   "Aku pernah belajar dari guruku."

   "Hemm, kalau menurut engkau, bagaimana keadaan diriku sekarang ini?"

   "Aku baru dapat mengatakan setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti. Akan tetapi kaki tanganku kau lumpuhkan."

   "Kalau kubebaskan engkau, bagaimana kalau engkau lalu menyerangku selagi aku terluka parah begini?"

   "Itu tak mungkin sama sekali Dewi!"

   "Bersumpahlah dulu!"

   "Bersumpah? Apa itu dan bagaimana itu? Aku tidak bisa."

   "Tirukan kata-kataku! Aku, Bagus Sajiwo!"

   "Aku Bagus Sajiwo!"

   Bagus Sajiwo menirukan.

   "Eh, bukan! Aku, Si Tolol!"

   "Namaku bukan Si Tolol!"

   Bagus Sajiwo membantah.

   "Cerewet! Tirukan saja!"

   "Baiklah."

   Pemuda itu menghela napas panjang "Aku, Si Tolol!"

   "Bersumpah bahwa kalau aku sudah dibebaskan dari totokan, aku akan menurut dan tidak melawan. Kalau aku melanggar sumpahku, biar aku disambar geledek tujuh kali!"

   Bagus Sajiwo merasa geli dan ingin tertawa, akan tetapi ditahannya dan dia mengulang kata-kata itu. Setelah mengulang, dia berpikir, masa bodoh amat, selain aku tidak ingin memusuhi perempuan ini, yang disambar geledek sampai tujuh kali toh bukan dia, melainkan Si Tolol dan dia bukan Si Tolol, melainkan Bagus Sajiwo!

   Setelah pemuda itu mengucapkan sumpah, Maya Dewi segera menghampiri tubuh yang masih menggeletak di atas lantai itu. Padahal, saat itu pengaruh totokan sudah menipis, tidak kuat berlama-lama menguasai tubuh yang kuat itu.

   Bagus Sajiwo maklum bahwa perempuan itu masih lemah, maka ketika jari-jari tangan Maya Dewi membuka totokan diam-diam dia mengerahkan tenaga yang bangkit dari pusarnya dan seketika kaki tangannya dapat bergerak kembali.

   Ketika Bagus Sajiwo bangkit berdiri, tiba-tiba berkelebat sinar keemasan.

   "Tarrr....!"

   Dan tahu-tahu ujung sabuk Cinde Kencana sudah melingkari lehernya! Kiranya Maya Dewi yang sudah siap siaga telah menodongkan dengan senjata ampuh itu.

   "Dewi, tidak ada gunanya engkau menggunakan senjatamu ini. Tubuhmu luka parah, kalau engkau menarik senjata ini, bukan aku yang mati, melainkan engkau akan terpukul tenagamu sendiri sehingga membahayakan nyawamu! Pula, aku tidak akan melawanmu, mengapa engkau kejam hendak membunuhku?"

   Mendengar ini, Maya Dewi mencoba mengerahkan tenaga akan tetapi ia mengeluh, melepaskan sabuk Cinde Kencana lalu terkulai ke atas pembaringan, tangan kiri mendekap dada, napasnya terengah-engah.

   "Tolol.... tolong.... periksa...."

   Ia berkata, suaranya berubah sama sekali, penuh permohonan, penuh harapan, penuh duka yang mendalam.

   Bagus Sajiwo cepat menghampiri dan meraba nadi di leher dan dada. Dia terkejut sekali.

   Tubuh itu panas seperti ada api besar bernyala dalam tubuh itu. Maya Dewi mendesis-desis kepanasan, uap mengepul dari seluruh tubuhnya. Bagus Sajiwo cepat mengerahkan tenaga sakti dingin untuk melawannya. Dalam beberapa detik saja terjadi perubahan hebat. Tubuh itu kini berubah dingin sekali, lebih dingin dari air yang keluar dari puncak Gunung Wilis.

   Maya Dewi kini menggigil kedinginan, seluruh tubuhnya membiru seolah-olah semua cairan dalam tubuhnya membeku. Bagus Sajiwo cepat mengubah sifat hawa saktinya menjadi panas. Ketika kembali tubuh Maya Dewi berubah panas, dia lalu membagi tenaga saktinya, yang kiri dingin yang kanan panas sehingga terdapat keseimbangan dalam tubuh Maya Dewi.

   Maya Dewi menjadi tenang kembali. Ia kini memandang kepada pemuda itu. Pandang mata yang berubah sama sekali. Tidak liar, akan tetapi ada keheranan, kekaguman dan keharuan.

   "Bagus...."

   Katanya lirih.

   "bagaimana....?"

   Perubahan panggilan itu menyejukkan hati Bagus Sajiwo.

   "Dewi, engkau terkena serangan pukulan hebat yang memporak-porandakan aji-aji yang pernah kau latih dan kau kuasai. Sayang latihanmu itu mengandung kesesatan sehingga kini berakibat seperti ini. Engkau tentu pernah melatih aji pukulan yang mengandung hawa beracun amat panas, bukan?"

   Sambil rebah telentang, Maya Dewi mengangguk.

   "Aku melatih aji pukulan beracun panas, yaitu Tapak Rudira."

   "Hemm..... kalau engkau ingin aku mengobatimu, ceritakan cara engkau melatihnya."

   "Aku.... aku mengorbankan banyak anak laki-laki untuk kuambil sari darahnya, dan kulatih dalam panas bumi untuk menyerap hawa panasnya."

   "Duh Gusti, ampunilah kiranya dosa Dewi."

   Bagus Sajiwo bergumam lirih dengan hati ngeri.

   "Kau bilang apa tadi?"

   Maya Dewi bertanya.

   "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin kepastian apakah dulu engkau pernah melatih diri dengan aji pukulan beracun dingin?"

   "Benar. Aku berlatih aji pukulan Wisa Sarpa (Racun Ular) dengan mengambil inti racun selaksa ular berbisa dan untuk memperoleh hawa dingin aku berlatih di puncak-puncak gunung yang paling dingin di daerah Parahyangan."

   Bagus Sajiwo mengangguk-angguk.

   "Sudah kuduga demikian, Dewi. Dua tenaga sakti sesat yang saling bertentangan dan sudah porak peranda itu kini menyerang dirimu sendiri dan keadaan ini sungguh berbahaya sekali!"

   Maya Dewi bangkit dengan lemas dan Bagus Sajiwo cepat membantunya.

   "Bagus, apa.... apa.... keadaanku tidak ada harapan lagi? Apa engkau tidak dapat menyembuhkan aku?"

   Bagus Sajiwo duduk ditepi pembaringan.

   "Aku pernah mempelajari dua macam aji yang dapat meredakan amukan dua hawa berlawanan dalam tubuh itu, Dewi. Akan tetapi untuk menghilangkan sama sekali, akan sukar dan makan waktu lama, mungkin sampai berbulan bahkan bertahun-tahun! Akan tetapi kalau pengobatan dilakukan di tempat yang berhawa panas dan dingin seperti ketika engkau melatihnya, mungkin akan cepat berhasil."

   "Ah, tempat-tempat seperti itu ada disini, Bagus! Sengaja kubuat untuk tempat latihan dan tempat sembunyi!"

   "Tempat sembunyi?"

   "Musuh-musuhku banyak sekali dan mereka itu orang-orang sakti mandraguna, sewaktu-waktu mungkin aku harus berlindung dari mereka di tempat sembunyi yang aman."

   Sementara itu, waktu berjalan cepat. Peristiwa tadi terjadi selama semalan dan tiba-tiba terdengar kokok ayam hutan saling sahut dengan kicau burung. Mereka melihat keluar dan kegelapan malam telah diusir sinar matahari fajar.

   Bagus Sajiwo bangkit berdiri dan memadamkan lampu-lampu gantung itu. Tiba-tiba, ketika lampu yang belum padam tinggal sebuah, terdengar bunyi ledakan.

   "Darrrr....!"

   Dan lampu itu pecah dan padam.

   Bagus Sajiwo terkejut dan cepat melompat mendekati pembaringan untuk melindungi Maya Dewi.

   "Sudah kukatakan, musuhku banyak dan ini agaknya kaki tangan Kumpeni Belanda."

   Kata wanita itu

   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAGUS SAJIWO

BAGUS SAJIWO BAGUS SAJIWO JIL ID 01 BAGUS SAJIWO JIL ID 02 BAGUS SAJIWO JIL ID 03 BAGUS SAJIWO JIL ID 04 BAGUS SAJIWO JIL ID 05 BAGUS SAJIWO JIL ID 06 BAGUS SAJIWO JIL ID 07 BAGUS SAJIWO JIL ID 08 BAGUS SAJIWO JIL ID 09 BAGUS SAJIWO JIL ID 10 BAGUS SAJIWO JIL ID 11 BAGUS SAJIWO JIL ID 12 BAGUS SAJIWO JIL ID 13 BAGUS SAJIWO JIL ID 14 BAGUS SAJIWO JIL ID 15 BAGUS SAJIWO JIL ID 16 BAGUS SAJIWO JIL ID 17 ...

ALAP-ALAP LAUT KIDUL

JILID 1 JILID 2 JILID 3 JILID 4 JILID 5 JILID 6 JILID 7 JILID 8 JILID 9 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33