SERULING GADING 1 2 3 4 5 6 7 8 9 6 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 JILID 1 Puncak Argadumilah menjulang tinggi diselimuti awan putih bergerombol seperti sekelompok domba berbulu putih bergerak perlahan, berarak ke arah selatan. Sinar matahari pagi mulai menerangi permukaan Gunung Lawu yang tanahnya subur dan hijau penuh pohon dan tumbuhan. Kinar matahari pagi yang lembut dan hangat itu masih belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang amat dingin bagi manusia itu. Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah. Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu. Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan A...
Dengan suara tenang walaupun ia sendiri dalam keadaan lemah tak berdaya.
"Aku akan melindungimu!"
Kata Bagus Sajiwo dengan gagah.
"Dar-dar-darr!!"
Kembali terdengar ledakan-ledakan senjata api dan beberapa buah perabot dalam rumah itu pecah-pecah.
"Nyi Maya Dewi, pengkhianat rendah! Keluar dan menyerahlah sebelum kami bakar rumahmu! Kamu jadi tawanan Kumpeni!"
Terdengar teriakan dari luar.
Maya Dewi memegang tangan Bagus Sajiwo yang memapahnya dan mereka berindap-indap sembunyi di balik jendela, mengintai keluar. Mereka melihat dalam keremangan cahaya fajar ada lima orang serdadu membawa bedil dan tiga orang yang melihat pakaiannya seperti yang biasa dipakai para jagoan dari daerah Blambangan. Tiga orang tinggi besar berusia sekitar empat puluh tahun dan membawa senjata klewang (golok) besar.
"Hmm... kalau tak salah mereka itu adalah orang dari Blambangan bajak2 selat yang sakti."
Kata Maya Dewi "Siapa kira mereka agaknya telah diperalat Kumpeni Belanda!"
"Jadi mereka itulah orang-orang yang begitu hina memysuhi bangsa sendiri, menjual tanah air kepada Kumpeni Belanda?"
Kata Bagus Sajiwo.
"Dewi, biar kuhajar mereka itu!"
"Sstt, nanti dulu. Lihat....!"
Maya Dewi memegang lengan Bagus Sajiwo dan pemuda itu merasa heran karena jari-jari tangan wanita itu dingin dan menggigil seperti orang ketakutan.
Dia cepat memandang dan melihat sesosok bayangan putih berkelebat. Tahu-tahu disitu telah berdiri seorang wanita berpakaian sutera putih.
Wanita itu berusia sekitar empat puluh tahun, cantik sekali walaupun wajahnya tanpa gincu, pakaiannya seperti pakaian pendeta, tanpa perhiasan apapun. Rambutnya digelung ke atas, kakinya memakai sandal kayu dan tangan kanannya memegang sebuah kebutan berbulu putih. Sebatang pedang menempel dibelakang punggungnya.
Selain berwajah cantik manis, wanita itu memiliki bentuk tubuh yang indah, padat menggairahkan dengan lekuk-lengkung sempurna pada dada dan pinggang serta pinggul, seperti tubuh seorang dara belasan tahun saja! Ia berdiri tegak bagaikan area menghadapi tiga orang jagoan Blambangan dan lima orang serdadu itu, hanya menggoyang-goyangkan kebutannya.
"Heh, nyi sanak, siapa andika? pergilah, jangan mengganggu urusan kami!"
Bentak seorang di antara Tri Sadula, sedangkan lima orang serdadu sudah menodongkan senapan mereka.
Wanita baju putih itu menggerakkan kebutannya seperti gerakan orang menari. Wajahnya yang cantik tampak dingin, sedikitpun tidak mengandung senyuman atau kemarahan, dingin saja, dingin dan tidak acuh.
"Kalian mau apa menembaki rumah itu?"
Suaranya lembut dan merdu, akan tetapi mengandung kekuatan dan kedinginan yang menyeramkan, seolah suara yang keluar dari alam lain. Suara itu mengandung gema seperti bisikan yang mengikuti setiap suara dalam kata-katanya.
"Kami hendak menangkap Nyi Maya Dewi. Kalau ia tidak mau keluar, terpaksa kami akan membakar rumahnya dan membunuhnya!"
Kata seorang diantara Tri Sardula yang tadi menegur wanita baju putih itu.
"Pergilah dan jangan mencampuri urusan kami!"
Dia menggertak, agak ragu karena dari sikap dan suaranya, dia dapat menduga bahwa wanita baju putih itu tentu bukan orang sembarangan.
Wanita baju putih itu mengeluarkan suara mendengung dari hidungnya seperti orang mengejek dan pandang matanya menyapu tiga orang Tri Sardula dan lima orang serdadu itu. Sepasang mata itu tampak mencorong seperti mata harimau di tempat gelap sehingga mengejutkan tiga orang jagoan Blambangan itu.
"Tak seorangpun di dunia ini boleh membunuh Maya Dewi kecuali aku! Kalian cepat menyingkir dari sini. Kalau kesabaranku hilang, kalian tidak akan sempat menyelamatkan diri lagi. Hayo pergi!"
Wanita itu menudingkan telunjuknya ke bawah puncak bukit.
Tri Sardula adalah tiga orang gemblengan dari Blambangan. Tentu saja mereka tidak takut menghadapi ancaman seorang wanita yang demikian cantiknya, apalagi disitu masih terdapat lima serdadu antek Belanda yang bersenjatakan lima buah senapan. Mereka marah sekali mendengar ucapan wanita baju putih itu yang meremehkan mereka.
"Tangkap wanita itu!"
Perintah pemimpin Tri Sardula kepada seorang serdadu yang bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat.
Mendapat perintah yang menyenangkan ini, serdadu itu memberikan bedilnya kepada seorang kawan, kemudian dia menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan sambil menyeringai lebar dia menghampiri wanita baju putih itu.
"Hayo, manis denok montok, mari kupondong tubuhmu yang denok itu!"
Dia mengembangkan lengannya hendak menangkap dan memondong wanita baju putih yang kecantikannya membuat empat orang kawannya yang lain iri hati kepadanya.
Akan tetapi, belum juga jari tangannya menyentuh tubuh wanita baju putih itu, wanita itu menggerakkan tangan kiri. Jari, telunjuknya seperti menusuk ke depan dan tampak sinar putih mencuat ke arah dada yang bidang itu.
"Wuuutt.... crottt....!"
Darah menyembur dan serdadu itu terjengkang roboh dan berkelojotan. Dari dadanya muncrat darah segar dan sebentar saja dia tewas.
Tri Sardula dan empat orang serdadu Kumpeni Belanda itu terkejut dan marah sekali.
"Bunuh iblis betina itu!"
Bentak tiga orang Tri Sardula yang sudah mencabut golok besar mereka.
"Dar-dar-dar-darrr....!"
Para serdadu segera menembakkan bedil mereka, akan tetapi tiba-tiba saja tubuh wanita itu lenyap.
Yang tampak hanya berkelebatnya bayangan putih dan tahu-tahu, bagaikan seekor burung garuda putih, wanita itu telah menyambar dari atas dan dengan gerakan cepat sekali kedua tangannya menampar. Terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya empat orang serdadu itu, dengan kepala retak dan mereka tewas seketika!
Tiga orang Tri Sardulo menjadi semakin marah. Mereka mengeluarkan pekik dahsyat dan menyerang dengan golok besar mereka sambil berlari mengejar ke arah wanita itu. Akan tetapi wanita baju putih itu tiba-tiba menekuk kedua lututnya, dengan tubuh agak merendah ia lalu mendorongkan kedua tangannya sambil berseru dengan suara melengking,
"Aji Bajradenta!!"
Dari kedua telapak tangan itu menyambar semacam sinar berkilat putih, menyambut tiga orang itu dan tiga orang itu benar-benar seperti disambar halilintar.
Tubuh mereka terpental kebelakang dan tewas dalam keadaan menyeramkan karena tubuh mereka berubah menghitam seperti hangus! Pada hal, tiga orang itu adalah jagoan-jagoan tangguh dari Blambangan!
Wanita itu mencabut kembali kebutan yang tadi diselipkan di pinggang ketika ia hendak menyambut tiga orang Tri Sardula dengan pukulan jarak jauh yang amat dahsyat dan ampuh itu, dan sambil menggoyang-goyang kebutannya ia melangkah, menghampiri pondok sambil mengeluarkan kata-kata yang terdengar jelas oleh Bagus Sajiwo.
"Tidak ada yang boleh membunuh Maya Dewi. Aku sendiri yang hendak menghukum dan membunuh adik yang murtad dan menjadi tersesat dan kotor itu. Hina dan rendah sekali!"
Melihat kehebatan dan keganasan wanita baju putih itu melakukan pembunuhan, Bagus Sajiwo juga terkejut, lebih lagi ketika tadi Maya Dewi berbisik.
"Itulah kakak tiriku, Mbakayu Candra Dewi...."
Kini, mendengar Candra Dewi menghampiri pondok dan mengancam hendak membunuh adik tirinya sendiri dan mengatakan bahwa Maya Dewi murtad dan tersesat, bahkan hina dan rendah, Bagus Sajiwo segera bergerak hendak keluar. Tangan Maya Dewi memegang lengannya, akan tetapi Bagus Sajiwo yang bertekad hendak melindunginya, sudah merenggut lengannya dan dia melompat keluar, menghadapi Candra Dewi!
Candra Dewi menghadapi Bagus Sajiwo yang berdiri di depannya dengan alis berkerut. Bocah remaja itu tampaknya begitu berani, menentang pandang matanya dengan sinar tajam, sedikitpun tidak tampak takut.
"Hemm, siapa engkau?"
Tanyanya singkat.
"Namaku Bagus Sajiwo. Mbakayu Candra Dewi...."
"Huh, bagaimana engkau bisa mengetahui namaku?"
Wanita itu memandang tajam penuh selidik dan kebutan dalam tangannya menggetar.
"Aku tahu dari Dewi. Aku sengaja bertemu denganmu untuk memberitahu bahwa Maya Dewi adalah seorang wanita berhati mulia, sama sekali tidak murtad atau sesat, bahkan kini dalam keadaan sakit berat. Karena itu engkau tidak semestinya mengancam hendak membunuhnya."
"Lancang benar engkau!"
"Mbakayu Candra Dewi, engkau salah duga. Bukankah Maya Dewi itu adikmu sendiri? Mengapa engakau hendak tega membunuhnya?"
"Tutup mulutmu!"
"Mbakayu Candra Dewi, aku melihat tadi betapa engkau menentang orang-orang jahat. Melihat tindakanmu dan melihat sikap dan pakaianmu, aku dapat menduga bahwa engkau tentulah seorang pendekar wanita yang menuntut kehidupan suci. Mengapa engkau hendak berbuat kejam membunuh adik sendiri?"
Kini Candra Dewi menjadi marah. Kulit pipinya yang putih halus itu menjadi kemerahan seperti buah tomat masak. Matanya yang jeriiih tajam itu kini seperti mengeluarkan kilat.
"Bocah setan! Kalau aku mau membunuhnya, lalu engkau mau apa!?"
"Mbakayu Candra Dewi, kalau engkau nekat hendak berbuat jahat membunuh Maya Dewi, akupun terpaksa nekat hendak berbuat baik menentang kejahatan dan melindungi Maya Dewi!"
Candra Dewi begitu heran mendengar ucapan dan melihat sikap pemuda remaja itu kepadanya.
"Kau....? Kau hendak berlagak menjadi pendekar dan hendak melawan aku?"
"Ya benar, mengapa tidak? Sudah menjadi tugasku untuk menentang perbuatan jahat!"
Jawab Bagus Sajiwo dengan tegas dan sejujurnya.
"Ha-ha-heh-heh-heh-hi-hik....!"
Candra Dewi tertawa terkekeh-kekeh karena merasa lucu, akan tetapi suara tawanya itu makin melengking dan Bagus Sajiwo merasa betapa suara tawa itu mengandung serangan hawa sakti yang amat hebat, menggetarkan jantungnya dan kalau dia tidak cepat melawannya, dia khawatir Maya Dewi yang sedang terluka itu akan tidak kuat bertahan mendengarnya.
Serangan suara tawa itu demikian dahsyatnya sehingga dapat menulikan telinga atau bahkan mengguncang jantung menyebabkan kematian!
Bagus Sajiwo lalu mengerahkan tenaga sakti dari pusar dan mengeluarkannya melalui suara jeritan melengking yang amat dahsyat. Itulah Aji Jerit Nogo yang amat hebat. Suara jeritan melengking itu seolah menjadi perisai yang amat kuat sehingga daya serang suara tawa Candra Dewi terbendung dan getarannya membalik!
Bukan main kagetnya hati Candra Dewi. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pemuda remaja yang tampaknya masih hijau itu memiliki tenaga sakti yang demikian dahsyat sehingga dapat menangkal serangan suara tawanya dengan pekik yang demikian kuatnya. Tentu saja ia menjadi penasaran sekali.
Kegagalan serangannya melalui suara tawanya tadi sungguh amat memalukan! Ia lalu melompat ke depan dengan muka merah dan tangan kiri menampar. Tamparan ini kelihatan biasa saja, namun karena ia menggunakan aji pukulan yang mengandung hawa beracun, sekali mengenai kepala atau dada, cukup untuk membuat lawan terkapar dan tewas seketika.
"Wuuuuttt.... dukk!"
Bagus Sajiwo menangkis dengan tangan kanannya dan ketika kedua lengan bertemu, kembali Candra Dewi dibuat terkejut bukan main.
Bukan saja lengan pemuda remaja itu mampu menangkis dan menandingi tenaga saktinya, bahkan hawa beracun pukulannya itu agaknya tidak mengganggu sedikitpun pemuda itu.
Dengan gemas ia melanjutkan serangannya dengan tamparan bertubi-tubi, akan tetapi dengan gesitnya Bagus Sajiwo memainkan ilmu silat tangan kosong Bajrakirana sehingga semua tamparan Candra Dewi itu dapat dielakkan atau ditangkisnya dengan baik. Sampai belasan jurus, semua serangan Candra Dewi gagal, bahkan kini Bagus Sajiwo mulai dapat membalas dengan tamparan yang tidak kalah dahsyatnya.
"Bocah setan!"
Candra Dewi yang sudah memuncak rasa penasaran dan kemarahannya, kini melompat kebelakang, menekuk kedua lututnya sehingga tubuhnya merendah, lalu ia melancarkan pukulan jarak jauh yang menjadi aji, pamungkasnya.
"Aji Bajradenta...!!"
"Bagus! Awas....!"
Terdengar suara Maya Dewi menjerit dari dalam pondok dan wanita itu sudah melompat keluar dari pintu pondok.
Bagus Sajiwo terkejut mendengar teriakan Maya Dewi, akan tetapi dia masih sempat menyambut aji pukulan jarak jauh yang amat dahsyat dari lawannya itu dengan Aji Bromokendali.
"Wuuuttt.... bresss....!!"
Dua tenaga sakti yang dahsyat bertubrukan di udara dan karena Bagus Sajiwo tidak berniat buruk maka dia tadi mengerahkan tenaga hanya untuk melindungi dirinya, maka tubuhnya terpental ke belakang sehingga dia terbanting jatuh bergulingan namun sedikitpun tidak menderita luka luar maupun dalam.
Tubuh Candra Dewi juga terguncang hebat karena daya pukulannya bertemu dengan tenaga yang amat kuat. Akan tetapi ia mendengus dan mengejek melihat lawannya terbanting dan terguling-guling. Ia mengira bahwa pemuda remaja itu tentu terluka dalam yang parah atau sudah mati!
"Bagus....!!"
Maya Dewi berlari menghampiri Bagus Sajiwo dan berjongkok untuk memeriksa keadaan pemuda remaja itu yang disangkanya terluka parah karena ia melihat betapa tubuh pemuda itu terpental dan terbanting jatuh lalu terguling-guling.
Ia merangkul pemuda itu dengan hati amat khawatir. Akan tetapi, Bagus Sajiwo tersenyum kepadanya dan bergerak bangkit duduk yang segera dibantu oleh Maya Dewi yang merangkulnya.
Melihat betapa mesranya Maya Dewi merangkul Bagus Sajiwo, sepasang mata Candra Dewi berkilat dan alisnya berkerut, tanda bahwa ia marah sekali.
"Dewi, jangan khawatir, aku tidak apa-apa. Mbakayumu itu memiliki pukulan yang hebat bukan main."
Kata Bagus Sajiwo.
Ucapannya ini sungguh-sungguh, akan tetapi Candra Dewi menganggapnya lain. Ia menganggap bahwa pemuda remaja itu mengejeknya karena pukulannya ternyata tidak melukai pemuda itu!
Candra Dewi membentak.
Dengan tangan kiri masih merangkul pundak Bagus Sajiwo, Maya Dewi menoleh kepada kakak tirinya itu.
"Mbakayu Candra, Bagus Sajiwo tidak bersalah apa-apa kepadamu, mengapa engkau menggunakan Aji Bajradenta untuk membunuhnya?"
"Tak tahu malu! Engkau masih berani membela bocah setan ini dihadapanku? Aku memang datang untuk menghukummu, dan sekarang aku akan membunuhmu bersama kekasihmu, perempuan tak tahu malu!"
Setelah berkata demikian, ia melangkah maju menghampiri.
"Bocah setan ini akan kubunuh lebih dulu di depan matamu!"
Setelah berkata demikian, Candra Dewi menggerakkan kebutannya.
"Tar-tar-tarrr....!"
Ujung kebutan berbulu itu menyambar-nyambar ke arah kepala Bagus Sajiwo. Akan tetapi Maya Dewi cepat bangkit berdiri dan maju menyambut sambaran kebutan itu dengan tangannya.
"Wuuuttt.... prat-prattt....!"
Lengan Maya Dewi luka-luka berdarah seperti disayat pisau tajam ketika menangkis ujung bulu kebutan itu.
Ia yang memang sudah terluka dalam dan keadaannya lemah terhuyung kebelakang. Namun Candra Dewi yang marah melihat betapa Maya Dewi nekat melindungi Bagus Sajiwo bahkan mengorbankan diri untuk menyelamatkan pemuda remaja itu, menjadi marah sekali.
"Baiklah, engkau yang akan kuhukum dan siksa lebih dulu!"
Teriak Candra Dewi dan kebutannya kini mengejar dan menyambar-nyambar ke arah Maya Dewi dengan bunyi ledakan-ledakan itu.
Kini tubuh Maya Dewi dihajar dan ujung kebutan itu menyayat pakaian Maya Dewi sehingga robek-robek dan juga kulit tubuh wanita itu ikut tersayat dan berdarah.
Melihat ini, Bagus Sajiwo marah bukan main. Akan tetapi dia tahu betapa saktinya Candra Dewi dan dia tidak ingin melancarkan pukulan mematikan dari belakang, maka diapun melompat dan menerkam tubuh Candra Dewi dari belakang, merangkul dan memegangi kedua lengannya dari belakang agar Candra Dewi tidak dapat menyerang Maya Dewi lagi. Dengan demikian, dia menempel ditubuh belakang Candra Dewi seperti digendong dan kedua lengannya tmelalui atas pundak memegangi kedua lengan wanita itu. Dengan demikian, tubuhnya menempel ketat dengan tubuh Candra Dewi.
Candra Dewi adalah seorang wanita cantik jelita, akan tetapi aneh. Sejak kecil dia membenci pria, terutama sekali setelah ayah tirinya, Resi Koloyitmo, pernah hendak memaksanya menjadi isterinya. Ia bersumpah untuk tidak menikah, bahkan tidak suka bersentuhan dengan tubuh laki-laki. Kalau ada laki-laki berani menyentuhnya, berarti laki-laki itu tentu akan mati dibunuhnya!
Maka, ketika mendengar dari Jaka Bintara, pangeran Banten itu tentang diri Maya Dewi yang suka bergaul dengan banyak pria, ia menjadi marah dan malu, lalu mencari adik tirinya itu untuk dihukum. Kebetulan sekali, di kaki Bukit Keluwung ia bertemu dengan Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra dan mendengar dari mereka bahwa Maya Dewi berada di puncak bukit itu, maka ia cepat mendaki bukit itu.
Kini, merasa betapa tubuh bagian belakangnya didekap ketat oleh Bagus Sajiwo, merasa betapa tubuh laki-laki menempel ketat, ia merasa ngeri bukan main. Seluruh tubuhnya merinding dan geli sehingga ia tidak melanjutkan pengejarannya terhadap Maya Dewi, melainkan dengan menahan tubuhnya yang mengkirik kegelian ia mengerahkan tenaga untuk meronta agar pemuda itu terlepas dari gendongannya.
Akan tetapi Bagus Sajiwo yang mengkhawatirkan keselamatan Maya Dewi, mendekapnya lebih kuat lagi dan tidak mau melepaskan kedua lengan wanita itu yang dipegangnya. Terjadilah betot membetot, tarik menarik, namun tubuh pemuda itu menempel di tubuh belakang Candra Dewi seperti seekor lintah!
Hampir pingsan Candra Dewi saking geli dan ngerinya. Ia bahkan menjatuhkan dirinya bergulingan di atas tanah agar Bagus Sajiwo terlepas, namun pemuda itu tetap saja menempel di punggungnya. Bahkan karena wanita itu meronta semakin kuat dan dia sendiri tidak dapat menggunakan kedua tangan untuk menyerang, tahu bahwa sekali dia melepaskan pegangannya, tentu wanita itu akan menggunakan tangan yang bebas untuk memberi pukulan maut kepadanya, Bagus Sajiwo teringat betapa tubuh Maya Dewi menderita luka-luka berdarah oleh sayatan cambuk, maka dia lalu menundukkan mukanya.... dan.... digigitnya leher yang berkulit putih mulus itu kuat-kuat!
Mulutnya merasakan darah yang asin, akan tetapi dia menggigit terus, tak mau melepaskan dan ada rasa puas bahwa dia telah dapat membalaskan Maya Dewi dengan membuat wanita ini terluka berdarah!
Merasa lehernya digigit, Candra Dewi tidak memikirkan nyerinya, melainkan matanya terbelalak membayangkan lehernya "dicium"
Mulut laki-laki! Saking ngerinya, ia mengeluarkan jerit melengking dan tiba-tiba saja kekuatannya menjadi berlipat ganda dan begitu ia meronta, Bagus Sajiwo tidak mampu bertahan lagi dan tubuhnya terpental jauh!
"Bagus....!"
Maya Dewi lari terhuyung menghampiri Bagus Sajiwo yang tidak terluka apa-apa.
Mereka berdua memandang ke arah Candra Dewi. Terjadi keanehan pada diri wanita cantik berpakaian putih ini. Pakaiannya ada noda-noda merah dari darah yang menetes dari lehernya yang terluka. Ia terbelalak, kemudian ia menangis.
"Hu-hu-huuu.... terkutuk.... kau.... telah membuyarkan sumpahku.... hu-hu-huuuu...."
Wanita itu jatuh terduduk di atas tanah lalu menangis tersedu-sedu, menangis mengguguk seperti anak kecil dan memukul-mukulkan kebutannya pada tanah sehingga debu dan batu-batu berhamburan!
"Cepat...., Bagus...., cepat kita lari. Hayo....!"
Seru Maya Dewi.
"Akan tetapi kasihan ia.... aku harus minta maaf...."
Kata Bagus Sajiwo ragu sambil memandang ke arah Candra Dewi yang masih menangis.
"Sudahlah, hayo cepat lari selagi ada kesempatan!"
Maya Dewi yang amat mengkhawatirkan keselamatan Bagus Sajiwo, biarpun tubuhnya terasa pedih dan nyeri oleh cambukan-cambukan tadi dan pakaiannya koyak-koyak, ia mengumpulkan sisa tenaganya dan menarik tangan Bagus Sajiwo diajak melarikan diri.
Bagus Sajiwo tidak tega menolak dan mereka berlari memasuki pondok.
"Cepat kumpulkan pakaian!"
Kata Maya Dewi. Ia mengumpulkan pakaian dan menyuruh Bagus Sajiwo membawa peti perhiasannya. Kemudian, ia mengajak Bagus Sajiwo berlari ke belakang pondok, melalui taman bunga dan tiba di depan sebuah guha.
Bagus Sajiwo menurut saja ketika diajak masuk guha yang ternyata merupakan guha terowongan yang amat dalam. Setelah masuk terowongan beberapa puluh meter dalamnya, Maya Dewi berhenti lalu menarik sebuah kaitan besi. Agaknya tubuhnya yang lemah tidak mampu.
"Bagus, cepat tarik kaitan ini kuat-kuat. Inilah tempat persembunyian yang telah kupersiapkan, tempat ini menuju ke pusat panas bumi yang kumaksudkan."
Bagus Sajiwo menarik kaitan itu dan .... terdengar bunyi berdentang ketika sebuah pintu baja yang tebal meluncur dari atas dan menutup terowongan itu. Mereka kini berada di sebelah dalam dan begitu terowongan tertutup pintu baja, cuaca menjadi gelap pekat.
Dengan tangan kiri menjinjing buntalan pakaian, tangan kanan Maya Dewi menggandeng tangan kiri Bagus Sajiwo yang tangan kanannya memanggul peti perhiasan, Maya Dewi melangkah perlahan di tempat gelap, masuk terowongan yang amat panjang itu. Ia agaknya hafal akan jalan gelap itu dan berkali-kali memberi peringatan kepada Bagus Sajiwo untuk merendahkan diri agar kepalanya tidak terbentur batu-batu yang bergantungan rendah. Terkadang mereka harus melangkahi batu yang menonjol agak tinggi agar jangan tersandung.
"Kenapa gelap begini....?"
Akhirnya Bagus Sajiwo bertanya karena dia merasa bingung tidak mampu melihat apa-apa kecuali kegelapan yang menghitam.
"Disana terang, lihat sudah tampak cahayanya."
Kata Maya Dewi.
Bagus Sajiwo memandang ke depan dan hatinya merasa gembira. Benar saja, di depan sana tampak ada cahaya sehingga kekhawatirannya bahwa sepasang matanya telah menjadi buta lenyap. Makin lama cahaya itu menjadi semakin terang dan akhirnya terasa ada hawa yang panas menyambut mereka.
"Hawanya panas sekali!"
Kata Bagus Sajiwo dan dia mulai berkeringat.
"Kita sudah hampir tiba di ruangan tempat aku latihan, ruangan yang kunamakan Ruangan Pusat Panas Bumi!"
Tak lama kemudian tibalah mereka di sebuah ruangan bawah tanah yang cukup luas. Di bagian atasnya terdapat lubang-lubang cukup lebar sehingga ada sinar matahari menerobos masuk membuat ruangan itu cukup terang.
Di tengah ruangan bundar yang garis tengahnya kurang lebih lima puluh meter itu, terdapat sumur yang sebetulnya adalah sebuah kawah yang mengeluarkan uap panas sekali, berikut sedikit asap berbau belerang yang membubung ke atas dan keluar dari lubang-lubang di atas itu.
"Inilah tempat kuberlatih, inilah Ruangan Pusat Panas Bumi itu!"
Kata Maya Dewi dan ia tampak lelah sekali. Ia melepaskan buntalan pakaian lalu terkulai ke atas tanah yang kering kerontang.
"Aku.... aku.... lemas sekali...."
Ia mengeluh.
Bagus Sajiwo juga sudah menaruh peti di atas tanah. Dia cepat memeriksa keadaan Maya Dewi.
"Tempat beginilah yang kumaksudkan,"
Katanya.
"Hawa disini cukup panas untuk mengusir hawa beracun dingin dari tubuhmu dengan cepat. Mari kita mulai, Dewi. Duduklah bersila dan pusatkan seluruh perhatianmu untuk menyerap hawa panas dalam ruangan ini sehingga dapat menggempur hawa dingin Aji Wisa Sarpa yang kau latih secara sesat. Aku akan membantumu dengan penyaluran hawa sakti. Mari kita mulai agar engkau dapat cepat terbebas dari luka dalam tubuhmu yang disebabkan oleh kedua ajimu yang membalik itu."
Maya Dewi yang sudah lemah itu mengangguk. Mereka lalu duduk bersila. Bagus Sajiwo duduk di belakang wanita itu, menjulurkan tangan kanannya menempel pada pungung Maya Dewi, sedangkan Maya Dewi duduk bersila, kedua tangan menyembah dan diletakkan di pusar. Ia merasa betapa hawa yang hangat lembut mengalir masuk melalui telapak tangan pemuda itu ke dalam tubuhnya.
Sementara itu, hawa panas dari kawah itupun m'enerpanya dari luar. Ia mencurahkan perhatiannya untuk menyerap hawa panas dari luar itu, membiarkan hawa itu berputaran dalam tubuhnya, dibantu oleh hawa dari tangan Bagus Sajiwo yang kini menjadi semakin panas.
Kurang lebih sejam kemudian, hawa panas yang hebat telah membakar tubuhnya, keringat bercucuran, perut dan kepalanya serasa mau meledak.
"Maya Dewi keluarlah atau kuhancurkan pintu ini! Bukakan pintu!"
Terdengar gema suara yang datangnya dari jauh, namun jelas terdengar oleh mereka.
Suara ini membuat perhatian Maya Dewi terpecah sehingga hawa panas yang membakar itu menurun, bahkan ada hawa dingin menyerangnya dari dalam.
Bagus Sajiwo merasakan ini.
"Dewi, tenanglah dan tetap usahakan untuk menyerap hawa panas itu."
Bisik Bagus Sajiwo yang menambah tenaganya sehingga dari tangan kanannya itu mengalir hawa yang semakin panas.
"Kalau ia masuk, jangan khawatir, aku yang akan melawannya."
Maya Dewi tenang kembali dan dapat menyerap hawa panas itu sehingga hawa dingin menghilang.
"Aku hanya kaget, tidak takut. Kalau ia menjebol pintu itu, batu-batu akan longsor ke bawah, menutup terowongan ini dan mungkin ia akan mati tertimbun batu."
Bisik Maya Dewi kembali.
Mendengar ini, Bagus Sajiwo agak kaget sehingga tangannya yang menempel punggung tergoyang.
Maya Dewi merasakan ini dan ia berbisik.
"Jangan khawatir, Bagus. Ada jalan rahasia untuk keluar dari tempat ini."
Bagus Sajiwo menjadi lega karena sesungguhnya itulah yang dia khawatirkan tadi mendengar kalau pintu besi itu dijebol dari luar, terowongan itu akan tertimbun batu yang longsor dari atas sehingga mereka berdua akan terperangkap di tempat itu dan tidak dapat keluar. Dia lalu mengerahkan tenaganya membantu Maya Dewi. Tak lama kemudian, kembali Maya Dewi kepanasan dan ia mulai menggeliat, mendesis dan mengeluh.
"Pertahankan, Maya. Hawa dingin beracun itu harus kita gempur sampai lenyap!"
Bagus Sajiwo berbisik.
Maya Dewi terengah-engah dan menggeliat kepanasan.
"Augh, panas.... panas ....!"
Kedua tangannya bergerak.
"Bret.... bret.... bret....!"
Kedua tangan itu merenggut seluruh pakaiannya sehingga ia bertelanjang bulat karena panasnya. Ia lakukan ini tanpa disadari lagi, saking panas dan gerahnya.
Bagus Sajiwo memejamkan mata, memusatkan perhatian pada telapak tangannya dan berbisik.
"Pertahankan.... pertahankan....!"
"Mayaaaa Dewiiii! Kuhancurkan pintu ini....!"
Terdengar teriakan Candra Dewi melengking. Namun kini Maya Dewi dan Bagus Sajiwo tidak memperdulikan lagi suara itu.
"Dunggg....! Dunggg....! Blarrrr....!"
Suara ini keras sekali, disusul suara gemuruh berkepanjangan. Agaknya batu-batu telah longsor dan berjatuhan memenuhi terowongan dan mungkin wanita berhati kejam itu telah bertimbun batu-batu.
Akan tetapi Maya Dewi sama sekali tidak memperhatikan suara gaduh itu karena ia masih sibuk sendiri dengan hawa panas yang menyerangnya. Ia mengeluh dan menggeliat-geliat, akan tetapi Bagus Sajiwo tetap menempelkan tangan kanannya di punggungnya.
Setelah melihat bahwa wanita itu seperti tidak dapat menahan lagi dan menjadi semakin lemah, dia lalu menggantikan tangan kanan dengan tangan kiri dan perlahan-lahan dia mengerahkan tenaga sakti berhawa dingin. Merasa betapa ada hawa dingin memasuki tubuhnya dengan lembut, Maya Dewi merasa tidak begitu menderita lagi dan iapun berhenti mengeluh, berhenti menggeliat dapat duduk bersila lagi, masih dalam keadaan bugil.
Dengan tangan kiri masih menempel dipunggung Maya Dewi yang rambutnya terurai karena sanggulnya lepas sehingga tubuhnya seperti diselimuti tirai sutera hitam itu, Bagus Sajiwo menggunakan jari tangan kanannya untuk memeriksa denyut nadi pergelangan tangan kanan Maya Dewi. Dengan girang dia mendapat kenyataan bahwa keadaan dalam tubuh Maya Dewi mengalami banyak kebaikan.
HAWA beracun dingin dalam tubuh wanita itu sudah tidak begitu kuat lagi. Akan tetapi Maya Dewi merasa lemas bukan main karena tadi harus mengerahkan seluruh tenaga untuk menahan hawa panas yang hebat itu.
Setelah mendapat kenyataan betapa hawa dingin beraCun itu sudah banyak hilang menguap, Bagus Sajiwo berani melepaskan tangan kirinya, lalu dia menghampiri buntalan pakaian Maya Dewi, membuka buntalan dan mengambil pakaian untuk wanita itu. Sama sekali dia tidak berani memperhatikan tubuh bugil yang sebagian tertutup tirai rambut hitam itu ketika Bagus Sajiwo membantu Maya Dewi mengenakan pakaiannya.
Wanita itupun mengenakan pakaiannya dan memandang pemuda remaja itu dengan sinar mata penuh rasa sukur, haru dan terima kasih. Ia menyadari bahwa tadi, dalam siksaan hawa panas yang membakar tubuhnya, saking tidak tahannya, dalam keadaan tersiksa itu ia merobek-robek pakaiannya sehingga ia berbugil. Akan tetapi tidak sedikitpun pemuda itu memperdulikan ke-telanjangannya ini dan baru setelah keadaannya membaik, Bagus Sajiwo mengambilkan pakaian dan tak pernah satu kalipun pandang mata pemuda itu memperhatikan tubuhnya yang telanjang.
Ia merasakan terharu sekali dan ini merupakan pengalaman baru baginya, bertemu seorang laki-laki yang sama sekali tidak terusik gairah berahinya oleh kemulusan tubuhnya yang telanjang.
"Dewi, pintu agaknya telah jebol dan kudengar tadi batu-batu runtuh. Terowongan ini tentu sudah tertutup oleh tumpukan batu dan Candra Dewi tentu mati tertimpa dan tertimbun batu."
"Begitukah? Aku tadi tidak mendengarnya."
Kata Maya Dewi sambil mengusap keringat dari leher dan mukanya, lalu ia mulai menyanggul rambutnya.
Gerakan menyanggul rambut dengan kedua tangan ke atas dan ke belakang kepala ini merupakan gerakan indah khas wanita. Bagus Sajiwo terpesona. Dia dapat merasakan keindahan itu, akan tetapi bukan keindahan yang diselubungi gairah berahi karena dia sama sekali tidak berpikiran tentang itu. Dia melihat guratan-guratan merah pada kedua lengan yang berkulit putih mulus itu.
"Ah, kasihan engkau, Dewi. Kedua lenganmu penuh goresan, bekas serangan ujung kebutan Candra Dewi. Juga tadi aku melihat goresan-goresan berdarah pada tubuhmu. Mengapa engkau yang sedang terluka dalam itu nekat menandingi Candra Dewi yang kejam dan tangguh sekali itu?"
"Aku tidak tega melihat engkau diserang, aku tidak ingin melihat ia membunuhmu. Bagus, tubuhku terasa lemah sekali dan tenagaku habis. Bagaimana pendapatmu tentang keadaan luka dalam tubuhku sekarang?"
"Sudah jauh membaik, Dewi tadi aku sudah meneliti keadaanmu dan hawa beracun dari Aji Wisa Sarpa itu sudah banyak berkurang dan bahkan tidak membahayakan lagi."
"Akan tetapi ketika tadi melawan hawa dingin beracun itu, mengapa hawa panas itu demikian membakar? Berbeda jauh sekali dari kepanasan yang kurasakan di waktu berlatih dulu, padahal aku pun berlatih di tempat panas seperti ini."
"Hal itu tidak aneh, Dewi. Karena ketika engkau menyerap hawa panas bumi disini, hawa panas beracun dari Aji Tapak Rudira dalam tubuhmu bangkit sehingga hawa panas yang menjadi satu bertambah hebat. Akan tetapi semua itu bahkan menguntungkan karena dapat membuat hawa dingin beracun itu menguap dan tinggal sedikit. Dengan latihan menyerap hawa panas bumi, dalam beberapa hari saja kurasa engkau sudah terbebas dari bahaya ancaman hawa dingin beracun dari Aji Wisa Sarpa itu."
"Kalau begitu, aku akan kehilangan aji yang biasa kuandalkan itu?"
Tanya Maya Dewi dengan suara mengandung kekecewaan.
Bagus Sajiwo mengangguk.
"Untuk apa menyesali hilangnya aji pukulan yang sesat itu, Dewi? Engkau telah bertahun-tahun berlatih ilmu kanuragan. Sebagai pengganti Aji Wisa Sarpa, engkau dapat berlatih diri dengan ilmu lain yang mengandung hawa dingin, akan tetapi yang tidak sesat seperti Wisa Sarpa."
Maya Dewi menghela napas panjang dan pada saat itu kedua orang itu tiba-tiba tertawa. Maya Dewi tersenyum malu-malu dan rikuh karena ia mendengar suara perut berkeruyuk, dari dalam perutnya sendiri dan perut Bagus Sajiwo!
"Ha-ha, perut kita menuntut isi, Dewi! Akan tetapi di tempat seperti ini, bagaimana kita dapat memperoleh makanan untuk mengisi perut kita?"
Maya Dewi tersenyum geli. Setelah kini tubuhnya tidak tersiksa lagi dan terasa lebih nyaman, walaupun tubuhnya lemas sekali, kegembiraannya bangkit.
"Kenapa engkau begitu tolol?"
Bagus terkejut mendengar perubahan panggilan ini dan mengira wanita itu marah lagi kepadanya. Akan tetapi melihat bibir Maya Dewi terseyum manis dan mata yang agak redup membayangkan kelelahan itu memandang kepadanya dengan lembut, dia juga tersenyum.
"Memang namaku Si Tolol, tentu saja aku sangat tolol. Lupakah engkau, Dewi?"
"Memang engkau tolol! Tadi sudah kukatakan kepadamu bahwa aku telah membuat sebuah jalan keluar rahasia sehingga tentu saja engkau dapat keluar dari tempat ini. Nah, sekarang keluarlah, nanti kutunjukkan jalannya. Engkau keluar mencari makanan untuk kita, sekalian engkau lihat apakah benar Mbak-ayu Candra Dewi telah tewas tertimbun batu-batu yang longsor dan menutup pintu terowongan."
"Bagus! Nah, sekarang tunjukkan jalan keluarnya!"
Kata Bagus Sajiwo gembira.
Tanpa bangkit dari tempat duduknya, Maya Dewi menuding ke depan dan berkata. Di ujung sana itu terdapat sebuah batu besar yang bentuknya bulat. Nah, kau dorong batu besar itu ke arah kiri dan engkau akan menemukan sebuah lubang yang cukup besar untuk kau masuki dengan jalan merangkak. Setelah engkau merangkak sejauh kurang lebih sepuluh meter, engkau akan tiba di lubang simpang empat. Beloklah ke kiri dan merangkak terus. Sekitar dua puluh meter engkau akan keluar dari lorong bawah tanah itu dan tiba diluar. Masuknya engkau ambil jalan yang sama."
"Baik,"
Kata Bagus Sajiwo yang bangkit berdiri.
"Aku pergi sekarang juga, Dewi. Engkau beristirahatlah saja dan jangan berlatih untuk menyerap inti panas bumi. Kalau engkau berdiam diri saja, tentu engkau dapat menahan panasnya hawa disini."
"Aku mengerti, Bagus."
Maya Dewi mengangguk.
"Dan jangan terlalu lama pergi."
"Baik, Dewi."
Bagus Sajiwo lalu melangkah dan dari situ sudah tampak batu bulat itu.
Batu yang besar dan berat. Dalam keadaannya seperti sekarang ini, Maya Dewi tentu tidak akan mampu mendorong batu besar itu dan akan menderita kelaparan di tempat ini. Untung dia tidak terluka ketika bertanding melawan Candra Dewi. Wanita itu sungguh amat digdaya, dan agaknya Candra Dewi adalah seorang sakti mandraguna yang selama ini menyembunyikan dirinya sehingga mendiang gurunya, Ki Ageng Mahendra, ketika menceritakan padanya tentang tokoh-tokoh sakti, tidak pernah menyebut nama Candra Dewi.
Kini Bagus Sajiwo berdiri di depan batu besar itu. Dia mengerahkan tenaga saktinya, lalu mendorong batu itu ke arah kiri. Batu itu menggelinding perlahan dan Bagus Sajiwo menghentikan dorongannya setelah tampak sebuah lubang di dinding batu ruangan bawah tanah itu. Dia menoleh ke arah Maya Dewi yang melambaikan tangan kepadanya. Dia membalas dengan lambaian tangan lalu merangkak memasuki lubang itu seperti seekor tikus besar!
Tepat seperti apa yang diterangkan Maya Dewi tadi, setelah merangkak kurang lebih sepuluh meter, dia tiba di simpang empat. Kalau tidak dipesan oleh Maya Dewi, tentu dia akan memilih lubang yang terus atau yang membelok kekanan, karena lubang yang membelok ke kiri itu paling kecil, dan paling kasar batu lantainya.
Seorang yang gemuk jangan harap dapat melalui lubang itu. Dia membelok ke kiri dan merangkak terus. Sekitar dua puluh meter dia merangkak dan tampaklah sinar terang. Ternyata dia keluar dari sebuah lubang yang berada di dinding lereng Bukit Keluwung!
Dia memandang ke arah lubang yang agak tertutup alang-alang itu. Seorang yang waras pikirannya tentu enggan memasuki lubang seperti itu, takut kalau-kalau lubang itu menjadi sarang ular besar atau binatang buas lainnya! Diam-diam dia kagum sekali kepada Maya Dewi.
Wanita itu sungguh cerdik bukan main, dapat membuat sebuah ruangan tempat berlatih sekaligus tempat bersembunyi seperti Ruangan Inti Panas Bumi itu! Tak seorangpun akan menyangka bahwa dibelakang taman rumah mungil itu terdapat tempat seperti itu berikut alat rahasianya sehingga musuh tak dapat masuk dan kalau menggempur pintunya akan mati tertimbun batu-batu yang longsor!
Teringat akan hal ini Bagus Sajiwo bergegas mengitari puncak untuk melihat apakah Candra Dewi benar-benar mati tertimbun batu. Dia harus bekerja cepat karena hari telah menjelang sore!
Maka dia berlari cepat menuju ke guha yang menembus keterowongan menuju Ruangan Inti Panas Bumi. Dia memasuki guha dan setibanya di tempat dimana pintu baja itu menutup lorong, dia dihadang timbunan batu yang memenuhi terowongan dan membayangkan apa yang terjadi, dia merasa ngeri!
Tentu tubuh wanita cantik baju putih itu kini telah hancur dan gepeng tertindih tumpukan batu yang berton-ton beratnya. Dia menghela napas panjang dan berlari keluar terowongan untuk menuju ke pondok mungil milik Maya Dewi dan mencari bahan makanan. Dia melewati kebun dan taman bunga dan.... dia berdiri bengong ketika melihat betapa pondok mungil itu kini telah menjadi puing arang dan abu. Habis dibakar orang!
Dia terkejut sekali. Siapa yang melakukan pembakaran? Candra Dewikah? Kalau begitu ia masih hidup!
Saking penasaran, dia lari lagi ke guha dan baru sekarang dia melihat tulisan di depan guha, tulisan pada batu seperti diukir.
KUBURAN MAYA DEWI DAN BAGUS SAJIWO
Demikian bunyi tulisan itu. Bagus Sajiwo mengangguk-angguk. Yang dapat membuat tulisan di atas batu seperti itu tentu orang sakti seperti Candra Dewi dan yang mengetahui bahwa Maya Dewi dan dia berada dalam guha itu hanya Candra Dewi.
Maka dia dapat menarik kesimpulan pasti bahwa yang menulis itu tentulah Candra Dewi yang mengira bahwa Maya Dewi dan dia tentu mati terkubur dalam terowongan! Kemudian agaknya Candra Dewi yang masih penasaran itu melampiaskan kemarahannya pada pondok tempat tinggal Maya Dewi dan membakarnya!
Betapa kejamnya perempuan cantik itu. Seperti iblis betina! Bagus Sajiwo lalu cepat mencari bahan makanan dikebun dekat taman. Ternyata kebun itu ditanami banyak macam buah-buahan oleh para pelayan atas perintah Maya Dewi. Agaknya para pelayan itu, pagi tadi ketika mendaki puncak Bukit Keluwung, melihat pondok mungil sudah menjadi puing dan Maya Dewi tidak tampak, mereka ketakutan dan cepat melarikan diri pulang ke dusun mereka di kaki bukit.
Bagus Sajiwo mengambil setundun pisang tua dan sebagian mulai menguning, beberapa buah pepaya, jagung, ketela ubi dan karena tidak menemukan tanaman obat untuk mengobati luka lecet-lecet pada kulit tubuh Maya Dewi, dia memutus beberapa batang pohon ketela pohon. Semua bahan makanan itu dia bawa ke dinding lereng bukit dimana terdapat lubang yang menuju ke Ruangan Inti Panas Bumi. Kemudian dia merangkak ke dalam lubang terowongan dan tiba kembali di ruangan itu, dimana Maya Dewi menunggu sambil duduk dengan tenang.
Biarpun diluar tempat itu gelap ketika malam tiba seperti tadi malam, namun di ruangan itu gelap benar, akan tetapi remang-remang karena kawah itu mengeluarkan cahaya api membara yang cukup terang.
Maya Dewi merasa girang melihat Bagus Sajiwo kembali membawa makanan, biarpun hanya buah-buahan, jagung dan ketela. Cukup untuk menahan lapar dan menguatkan tubuh.
Ketika Bagus Sajiwo menyerahkan batang ketela pohon (sing-kong) untuk mengobati luka lecet-lecet pada tubuhnya, Maya Dewi menurut. Ia mematah-matahkan tangkai daun singkong dan menggunakan getah yang putih dari pohon itu untuk dioleskan pada kulitnya yang lecet-lecet. Ia sendiri yang mengobati lecet-lecet pada dada dan perutnya, dan minta bantuan Bagus Sajiwo untuk mengobati bagian punggung dan pinggulnya.
Demikianlah, setiap hari Maya Dewi berlatih dibantu olah Bagus Sajiwo untuk mengobati atau mengusir hawa dingin beracun dari Aji Wisa Sarpa yang telah membalik dan melukai dirinya sendiri.
Biarpun kalau menyerap hawa panas dari ruangan itu ia masih merasa panas sekali, akan tetapi kini tidaklah sehebat pertama kalinya sehingga ia masih sanggup bertahan walaupun merasa tersiksa. Ia tidak sampai menelanjangi dirinya tanpa disadarinya seperti pada hari pertama. Setiap hari kedua orang itu hanya makan buah-buahan, jagung dan singkong yang mereka bakar di atas kawah, dimana hawanya paling panas.
Tiga hari kemudian, Bagus Sajiwo tidak perlu lagi membantunya dan Maya Dewi dapat berlatih sendiri untuk mengusir sama sekali sisa hawa dingin beracun itu. Akan tetapi dengan lenyapnya hawa dingin beracun itu, iapun kehilangan Aji Wisa Sarpa. Ia tidak lagi mampu mengerahkan tenaga dingin beracun Wisa Sarpa yang ampuh itu.
Sementara itu, Bagus Sajiwo mempergunakan waktu luang dan kesempatan tempat yang amat baik untuk berlatih itu dengan tekun memperkuat Aji Bromokendali yang telah dikuasainya. Dengan bantuan tenaga inti panas bumi, dia dapat meningkatkan kekuatan Aji Bromokendali.
Tempat itu memungkinkan dia untuk memperoleh kemajuan yang dalam tempat biasa dapat dicapainya dalam Waktu latihan dua tahun, hanya dengan melatih diri selama beberapa hari saja!
Setelah tinggal dalam Ruangan Inti Panas Bumi itu selama setengah bulan, pada suatu pagi Bagus Sajiwo memeriksa keadaan kesehatan Maya Dewi dengan merasakan denyut nadinya.
Dia mengangguk-angguk.
"Bagus sekali, Dewi. Sekarang, hawa dingin beracun dalam tubuhmu telah lenyap sama sekali. Engkau telah bebas dari ancaman maut hawa dingin beracun itu. Sebagai buktinya, cobalah engkau kerahkan Aji Wisa Sarpa yang pernah kau kuasai itu."
Maya Dewi mehurut. Ia mengerahkan tenaga aji itu, akan tetapi ketika ia mendorongkan kedua tangannya ke arah dinding batu karang itu, tidak terjadi apa-apa. Padahal sebelumnya, kalau ia menggunakan Aji Wisa Sarpa, dari kedua telapak tangannya akan keluar tenaga sakti yang amat dahsyat, yang dapat menggempur batu sampai pecah. Maya Dewi tidak merasa kaget karena ia sudah menduga sebelumnya bahwa ia kehilangan aji itu, akan tetapi bagaimana pun juga, tetap saja ia merasa kecewa, menghela napas panjang lalu duduk menundukkan muka.
Akan tetapi Bagus Sajiwo merasa girang.
"Nah, engkau benar-benar telah bebas dari hawa dingin beracun yang berbahaya itu, Dewi. Dari pada memiliki sesuatu yang tidak ada gunanya, yang hanya membikin rugi diri sendiri dan orang lain, lebih baik tidak memiliki apa-apa. Tinggal melenyapkan hawa panas beracun dari Aji Tapak Rudira yang masih mengancam keselamatanmu. Kalau itu sudah dapat dilenyapkan, engkau benar-benar telah sembuh dan terbebas dari aji-aji yang sesat. Jauh lebih baik tidak memiliki aji apapun."
Maya Dewi mengerutkan sepasang alisnya.
"Tolol, siapa bilang aku tidak memiliki apa-apa? Coba kau buka peti hartaku itu!"
Suara wanita itu kini terdengar ketus seperti orang marah sehingga sebutan Tolol itu sekali ini mengejutkan hati Bagus Sajiwo.
Pernah Maya Dewi menyebutnya Tolol, akan tetapi sambil tersenyum manis, dan sekarang menyebut dia Tolol dengan alis berkerut dan mulut cemberut. Agaknya, sebutan ini dipakai Maya Dewi bukan hanya sebagai canda selagi hatinya gembira, akan tetapi juga sebagai makian selagi hatinya jengkel!
Akan tetapi Bagus Sajiwo tidak menjawab dan dia hanya memenuhi permintaannya dan membuka tutup peti yang dibawanya ketika mereka berdua meninggalkan rumah. Tampak perhiasan emas permatayang serba indah dan mahal sekali dalam peti itu.
"Lihat, aku masih memiliki harta benda yang amat banyak dan juga rumahku di puncak itu!"
Katanya membanggakan kekayaannya.
Bagus Sajiwo menghela napas dan berkata.
"Maafkan aku, Dewi. Rumahmu di puncak telah dibakar habis oleh Candra Dewi, bahkan ia mengukir di atas batu depan guha bahwa engkau dan aku mati terkubur di dalamnya."
Maya Dewi bangkit berdiri, matanya terbuka lebar dan dia menghardik.
"Tolol! Kenapa tidak kau ceritakan ketika engkau pulang mengambil makanan itu?"
"Aku khawatir engkau berduka karena pondokmu dibakarnya, Dewi."
"Siapa perduli tentang rumah? Aku masih mampu membuat seratus rumah seperti itu dengan hartaku! Yang kumaksudkan tentang Mbakayu Candra Dewi yang belum mati!"
"Maafkan aku, Dewi. Aku mengira hal itu tidak penting sekali bagimu."
"Dasar tolol! Tidak penting? Hemm, Mbakayu Candra Dewi adalah seorang yang sekali ada kemauan, takkan berhenti sebelum kemauannya terpenuhi! Ia ingin membunuhku, pasti ia akan mencariku kalau kemudian ia ketahui bahwa aku masih hidup. Dan aku.... dalam keadaan seperti ini.... kehilangan dua macam aji pamungkasku, bagaimana aku akan mampu menandinginya? Ah, agaknya memang sudah nasibku, harus mati di tangan kakak tiriku itu...."
Maya Dewi tampak berduka sekali.
Bagus Sajiwo merasa iba.
"Jangan bersedih, Dewi. Kalau hawa panas beracun sudah hilang dari tubuhmu, berarti tubuhmu sudah bersih dari pengaruh racun. Engkau dapat mempelajari ilmu-ilmu baru dan siap siaga untuk menghadapi ancaman Candra Dewi."
Tiba-tiba wajah Maya Dewi menjadi berseri kembali.
"Benar sekali kata-kata-mu, Bagus! Aku tidak perlu takut, tidak perlu khawatir. Aku mempunyai harta benda yang amat banyak. Dengan harta
Komentar
Posting Komentar