SERULING GADING 1 2 3 4 5 6 7 8 9 6 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 JILID 1 Puncak Argadumilah menjulang tinggi diselimuti awan putih bergerombol seperti sekelompok domba berbulu putih bergerak perlahan, berarak ke arah selatan. Sinar matahari pagi mulai menerangi permukaan Gunung Lawu yang tanahnya subur dan hijau penuh pohon dan tumbuhan. Kinar matahari pagi yang lembut dan hangat itu masih belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang amat dingin bagi manusia itu. Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah. Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu. Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan A...
tetapi.... nama itu seperti tidak asing bagi telinganya. Ia pernah mendengar tentang nama itu! Akan tetapi siapa? Dimana ia mendengarnya? Ni Dewi mencoba untuk mengingat-ingat, namun sia-sia. Ia tidak mampu mengingat kembali dimana ia pernah mendengar tentang nama Bagus Sajiwo itu.
Sesungguhnya, memang pernah Ni Dewi Melati Puspa, ketika ia masih dikenal dengan nama Sulastri, mendengar nama Bagus Sajiwo ini. Ketika itu ia dan Jatmika bertemu dengan Sutejo atau Ki Tejomanik dan isterinya yang bernama Retno Susilo.
Mula-mula terjadi bentrokan antara ia dan Retno Susilo karena ia memegang pedang Naga Wilis yang tadinya menjadi milik Retno Susilo. Setelah kedua pihak saling berkenalan dan tahu bahwa mereka adalah orang-orang segolongan, bukan musuh, Ki Tejomanik dan Retno Susilo menceritakan tentang anak mereka yang hilang, diculik orang, dan anak itu bernama Bagus Sajiwo.
Retno Susilo lalu menolak ketika Sulastri hendak mengembalikan pedang Naga Wilis, bahkan dengan suka rela memberikan pedang itu kepada Sulastri. Nah, hanya sekali itulah Sulastri mendengar akan nama Bagus Sajiwo dan ketika itu dia malah berjanji hendak membantu mencari anak yang hilang itu. Akan tetapi sekarang ia sudah lupa sama sekali walau pun nama itu tidak asing terdengar oleh telinganya. Setelah merasa yakin bahwa disitu tidak ada apa-apa lagi untuk diselidiki, Ni Dewi lalu meninggalkan puncak Bukit Keluwung.
Ia teringat akan cerita Jayeng bahwa iblis betina baju putih bersenjata kebutan itu melakukan pengejaran menuju kearah selatan. Maka iapun lalu menuju kearah selatan.
Siapa tahu ia akan bertemu dengan iblis betina itu. Dan siapa tahu pula ia akan dapat menemukan Lindu Aji atau Jatmika. Ia memang hendak menyusul Lindu Aji di tempat asalnya, di rumah tempat tinggal ibu pemuda itu. Ia masih ingat. Lindu Aji pernah bercerita bahwa dia berasal dari dusun Gampingan, daerah Gunung Kidul, dekat pantai Laut Kidul. Ia akan menyusul kesana!
Lebih dua tahun yang lalu, ketika pasukan Mataram yang mengepung Batavia gagal dalam perang melawan Kumpeni Belanda karena terutama sekali pasukan Mataram kalah lengkap dalam persenjataan, ditambah adanya wabah pes dan malaria, juga karena kekurangan ransum, para satria yang membantu pasukan Mataram juga berpencar meninggalkan Batavia, kembali ketempat tingal masing-masing.
Seorang diantara mereka adalah Lindu Aji, seorang satria pendekar yang budiman dan sakti mandraguna. Dari Batavia Lindu Aji diajak oleh Sulastri mampir ke Dermayu bersama Jatmika, seorang satria lain yang masih terhitung saudara sealiran persilatan. Memang ada hubungan erat antara mereka bertiga, hubungan yang memberatkan hati Lindu Aji. Tak dapat dia sangkal lagi dalam hatinya bahwa dia saling jatuh cinta dengan Sulastri. Akan tetapi, ketika dia dan Sulastri bentrok dengan gerombolan penjahat, Sulastri tertimpa malapetaka, terjatuh ke dalam jurang. Dia sudah berusaha mencarinya, namun tidak dapat menemukan gadis yang dikasihinya itu.
Sulastri lenyap begitu saja. Kalau mati tidak terdapat mayatnya di dasar jurang. Kalau hidup, entah kemana?
Akhirnya dia bertemu juga dengan Sulastri, akan tetapi gadis itu kehilangan ingatannya masa lalu, bahkan lupa akan namanya sendiri sehingga memakai nama baru, yaitu Listyani dengan sebutan Eulis. Dan dia melihat betapa Jatmika amat mencintai Listyani dan agaknya Listyani atau Sulastri juga mencinta Jatmika.
KARENA itu, ketika dia diminta menemani Sulastri yang telah pulih ingatannya itu ke Dermayu, dia sudah mengambil keputusan untuk mengalah. Dia harus mundur dan berkorban, demi cintanya yang tulus. Dia tidak boleh mengganggu kebahagiaan Sulastri dan Jatmika. Biarlah mereka berdua menjadi suami isteri.
Dia melihat bahwa Jatmika adalah seorang satria yang hebat dan sudah pantas sekali menjadi suami Sulastri. Karena itu, di Dermayu dia membujuk Sulastri agar menikah dengan Jatmika. Dia terpaksa menolak pernyataan cinta kasih Neneng Salmah yang pernah ditolongnya dan kini gadis waranggana itu tinggal bersama Sulastri. Dia tahu betapa tulus dan mendalam perasaan cinta gadis Sunda itu kepadanya, akan tetapi karena cinta kasihnya hanya kepada Sulastri, maka dia hanya menerima Neneng Salmah sebagai adik angkatnya!
Kemudian dia meninggalkan Dermayu, meninggalkan semua orang yang menimbulkan lika-liku cinta yang mendatangkan guratan-guratan pedih dan membingungkan.
Setelah meninggalkan Dermayu dan berusaha sekuat tenaga untuk melupakan Sulastri, membayangkan bahwa Sulastri akan hidup berbahagia disamping Jatmika sehingga diapun ikut merasa senang melihat orang yang dikasihinya itu berbahagia, Lindu Aji langsung saja melakukan perjalanan pulang.
Pulang! Kata ini mendatangkan kerinduan dalam hatinya. Dia sudah rindu sekali kepada kampung halamannya. Gampingan, itulah tanah tumpah darahnya, tanah dimana darah ibunya tertumpah ketika melahirkan dia. Disana ada ibunya tercinta, ibunya yang nama kecilnya Warsiyem dan kini menjadi Nyi Hatun satu-satunya orang yang amat dikaguminya, dipuja dan dikasihaninya.
Ibunya, yang kini tentu sudah berusia hampir empat puluh tahun. Lalu ada pula Bibi Juminten, janda dengan dua orang anak yang ditampung, tinggal bersama ibunya, membantu ibunya berjualan warung makan.
Pryadi berusia delapan tahun dan Wulandari berusia sekitar enam tahun, dua orang anak Bibi Juminten. Dan disana ada pula Pakde Parto, tetangga yang amat baik kepada orang tuanya itu. Dan para tetangga lain yang kehidupan mereka secara gotong royong membuat mereka menjadi bukan sekedar tetangga, melainkan seperti keluarga sendiri! Dan bukit-bukit batu gamping itu, pantai itu, lalu Segoro Kidul yang angker dengan gelombang dan ombaknya yang menggunung! Dengan batu-batu karangnya yang kokoh! Ah, betapa rindunya dia akan semua itu.
Kedatangannya di Gampingan memang merupakan peristiwa yang menggembirakan, bukan hanya bagi ibunya yang menangis sambil merangkulnya, juga bagi Bibi Juminten, kedua orang anaknya, Pakde Parto, bahkan semua penduduk Gampingan ikut berbahagia. Namun, kesenangan itu lebih pendek usianya dari pada kesusahan. Kesenangan sebentar saja lewat dan berlalu tanpa meninggalkan bekas. Kesusahan juga akhirnya lewat dan berlalu walaupun lebih lambat dan terkadang meninggalkan bekas-bekas keharuan.
Aji berziarah ke kuburan mendiang Harun Hambali, ayah kandungnya, kuburan mendiang Ujang Karim sahabat ayahnya, dan kuburan Ki Tejobudi, gurunya. Sampai lama dia tepekur di depan kuburan mendiang Ki Tejobudi dan terkenanglah dia akan segala kebaikan gurunya itu. Diapun menceritakan semua isi hatinya kepada ayah kandungnya, seolah melaporkan segala macam perasaannya.
Setelah tinggal di dusun Gampingan selama beberapa bulan saja Lindu Aji sudah melampiaskan semua kerinduannya. Dia sudah pergi ke semua tempat dimana dahulu dia sering pergi, mengunjungi semua teman yang dikenalnya di daerah itu sehingga semua kerinduannya terobatilah sudah.
Pada suatu senja, Nyi Warsiyem, ibu kandungnya, mengajaknya bercakap-cakap diruangan depan. Nyi-juminten yang tahu diri tidak mau mengganggu dan mengajak kedua orang anaknya untuk membantunya sibuk di dapur, mempersiapkan makan malam untuk keluarga itu.
"Aji, engkau sudah cukup dewasa dan sudah banyak pula engkau merantau dan membantu Mataram seperti dikehendaki mendiang gurumu. Ayahmu pun tentu senang sekali melihat semua perjuanganmu. Sekarang, tinggal satu hal yang harus kau lakukan untuk menyenangkan hati mendiang ayahmu dan aku."
"Hemm, apakah itu, ibu?"
Tanya Lindu Aji walaupun dia sudah dapat menduga ke arah mana ucapan ibunya itu menuju.
"Sudah sepatutnya engkau menikah, Aji. Aku ingin mempunyai mantu dan cucu untuk menemaniku dalam hidupku ini,"
Lalu disambungnya cepat-cepat.
"walaupun Juminten itu sudah seperti adikku sendiri dan kedua orang anaknya seperti anak-anakku sendiri. Akan tetapi, aku ingin mengemban cucuku sendiri. Nah, penuhilah permintaan ibumu ini, nak. Hanya satu kali ini aku mengajukan sebuah permintaan kepadamu, bukan?"
Suara yang merayu namun mengandung tuntutan itu amat dikenalnya dan Lindu Aji merasa terharu.
"Baiklah, ibu. Aku akan berusaha memenuhi kehendakmu. Akan tetapi, ibu tidak menghendaki aku menikah dengan sembarangan gadis, bukan? Tentu ibu menghendaki aku menikah dengan dasar sama-sama mencinta, bukan?"
Nyi Warsiyem teringat akan pengalamannya sendiri di waktu muda. Ia pun tidak mau menikah dengan pria yang tidak dicintanya, dan ia menikah dengan mendiang suaminya, dengan Harun Hambali, juga atas dasar sama-sama suka atau saling mencinta. Ia mengangguk dan tersenyum menatap wajah puteranya.
"Tentu saja, Aji. Apakah selama ini dalam perantauanmu engkau belum bertemu dengan seorang gadis yang menarik hatimu dan yang kau cinta?"
Ditanya demikian, Lindu Aji menundukkan mukanya dan terbayanglah wajah beberapa orang wanita, berganti-ganti muncul dalam ingatannya. Ada beberapa orang wanita yang agaknya mencintanya, dan terutama sekali wajah dua orang wanita yang kini terbayang olehnya. Wajah Sulastri dan wajah Neneng Salmah.
Akan tetapi dia sudah mengangkat Neneng Salmah sebagai adiknya sehingga yang tinggal dalam kenangannya hanya wajah Sulastri. Gadis inilah satu-satunya wanita yang telah mencuri hatinya, yang dicintanya dengan segenap hatinya. Akan tetapi dia telah merelakan Sulastri untuk menikah dengan orang lain. Mereka, Sulastri dan Jatmika, saling mencinta dan dia yakin bahwa mereka tentu hidup bahagia sebagai suami isteri.
"Aji, mengapa engkau diam saja? Aku tidak percaya bahwa tidak ada gadis yang jatuh cinta padamu. Engkau muda, tampan, gagah perkasa dan aku yakin engkau berbudi luhur! Jawablah, Aji."
"Terus terang, ibu. Memang ada beberapa orang wanita yang agaknya suka kepadaku, akan tetapi aku tidak dapat mencinta mereka karena sesungguhnya, aku telah mencinta seorang gadis...."
"Nah, gadis itulah yang harus menjadi mantuku! Ia juga mencintamu, bukan?"
"Semula memang begitu, ibu. Akan tetapi kemudian terjadi malapetaka kepada gadis itu sehingga ia kehilangan ingatan tentang masa lalunya. Ia lupa kepada orang tuanya sendiri, lupa akan namanya sendiri tentu saja juga lupa tentang diriku. Nah, dalam keadaan lupa ingatan itu, ia jatuh cinta kepada seorang pemuda lain yang juga mencintanya. Pemuda itu seorang satria yang budiman dan akupun rela mengalah, ibu. Aku relakan ia menikah dengan pemuda itu karena kalau ia berbahagia, akupun ikut berbahagia."
Nyi Warsiyem mendengarkan dengan alis berkerut. Hatinya kecewa bukan main.
"Engkau yakin bahwa gadis itu juga mencinta pemuda yang lain itu? Apakah ia mengaku terus terang padamu bahwa ia mencinta pemuda itu?"
Lindu Aji menggeleng kepalanya.
"Ia tidak pernah mengatakan itu, akan tetapi melihat adanya kemesraan dan ke-akraban diantara mereka, aku...."
"Dan kini mereka berdua telah menikah?"
"Entahlah, ibu. Akan tetapi ketika aku berpisah dari mereka, beberapa bulan yang lalu, mereka belum menikah."
"Siapa nama gadis itu dan dimana ia tinggal?"
"Namanya Sulastri, setelah kehilangan ingatan ia memakai nama Listyani, tinggal di Dermayu, dekat tempat asal mendiang ayah. Akan tetapi sekarang ia telah sembuh, ingatannya telah pulih kembali, ibu."
"Anak bodoh! Cepat kau temui ia, katakan terus terang bahwa engkau mencintanya dan tanyakan apakah ia bersedia menjadi isterimu. Engkau harus yakin bahwa ia benar-benar mencinta pemuda lain, jangan main duga dan kira saja, Aji!"
"Akan tetapi, ibu...."
Lindu Aji merasa sungkan dan malu kalau harus menemui Sulastri dan bertanya tentang itu.
"Tidak ada tapi! Besok pagi engkau harus berangkat mencari Sulastri dan minta kepastian darinya. Kalau hal ini belum kau lakukan tentu aku akan selalu gelisah."
Terpaksa Aji tidak berani membantah kehendak ibunya. Sore hari itu dia duduk melamun di tepi laut. Dia pergi kesana mengajak Priyadi dan Wulandari. Kedua orang anak itu bermain-main di tepi, mencari kerang. Akhirnya mereka bosan dan berlari-lari menghampiri Lindu Aji yang duduk melamun menghadapi laut, memandang ka arah ombak yang tiada hentinya bermain dengan batu-batu karang.
"Mas Aji, kenapa engkau termenung sejak tadi?"
Tanya Priyadi sambil menjatuhkan diri duduk di atas pasir dekat Lindu Aji, sedangkan Wulandari mulai membuat pasir bukit dibelakang mereka.
Lindu Aji menoleh, memandang Priyadi dan tersenyum.
"Aku terkenang ketika dulu aku sering berlatih silat seorang diri di pantai ini, Priyadi."
"Wah, ajari aku, mas! Aku juga ingin menjadi seorang pendekar sepertimu, seperti yang banyak diceritakan bude kepadaku."
"Untuk apa belajar silat, Yadi?"
Priyadi mengerutkan alisnya.
"Agar aku dapat menjadi pahlawan, seperti cerita bude, menegakkan kebenaran dan keadilan, membela tanah air dan bangsa!"
Lindu Aji tersenyum.
"Semua orang dapat menjadi pahlawan, Yadi. Bukan hanya yang memiliki kesaktian. Bahkan orang yang sakti mandraguna banyak yang menjadi pengkhianat, menjadi penjahat. Ilmu silat hanya merupakan sebuah ilmu, tidak ada bedanya dengan ilmu-ilmu yang lain. Baik buruknya tergantung dari manusianya yang mempergunakan ilmu itu. Kalau dipergunakan untuk kejahatan, dia seorang penjahat, kalau dipergunakan untuk menegakkan kebenaran, untuk menolong orang lain, untuk membantu negara, maka dia seorang pahlawan."
"Akan tetapi, kalau tidak pandai silat, tidak sakti, bagaimana bisa menjadi pahlawan? Apakah seorang petani bisa menjadi pahlawan?"
"Kenapa harus yang pandai silat dan sakti? Seorang petani atau pekerja apa-pun juga tentu saja dapat menjadi pahlawan! Kalau petani itu menggarap tanah dengan tekun dan baiknya, mencegah kerusakan tanah karena banjir dan longsor, memelihara dan menjaga tanaman. sehingga subur dan hasilnya berlimpah, dia memberi contoh kepada petani lain dan menjadi tauladan, berarti sepak terjangnya itu amat bermanfaat bagi bangsa dan negara dan dia berhak mendapat julukan pahlawan! Banyak cara untuk menjadi pahlawan, Yadi, seperti juga banyak cara untuk menjadi pengkhianat dan penjahat! Orang dapat menjadi alat Gusti Allah atau alat Setan, tergantung kepada si orang itu sendiri yang bebas untuk menyerahkan diri kepada Gusti Allah atau kepada setan! Mengertikah engkau, Yadi?"
Anak itu cuma mengangguk-angguk, setengah mengerti, setengah bingung. Akan tetapi dia mencatat dalam hati karena hal itu akan dia tanyakan kelak kepada budenya, yaitu Nyi Warsiyem, atau kepada ibunya sendiri.
Pada keesokan harinya, berangkatlah Lindu Aji meninggalkan rumah, meninggalkan Gampingan, untuk memenuhi pesan ibunya. Ibunya memerintahkan agar dia mendapatkan kepastian dari Sulastri, atau dia harus mencari dan memilih seorang gadis untuk dijadikan isterinya. Kalau sudah dapat, nanti ibunya yang akan mengajukan lamaran.
Selama dalam perjalanannya menuju Dermayu, Lindu Aji melewati banyak tempat yang dulu pernah dia lewati ketika mengadakan perjalanan bersama Sulastri. Dia melihat betapa setelah Mataram tidak lagi melakukan perang terbuka melawan Kumpeni Belanda, tampaknya Kumpeni juga menjaga agar tidak ada lagi permusuhan dari pihak para penguasa di Nusa Jawa terhadap mereka.
Pihak Kumpeni mendekati para adipati, memberi hadiah secara royal, mengadakan perdagangan yang tampaknya menguntungkan kedua pihak. Padahal, dari hasil rempa-rempa yang mereka tarik dari penduduk, mereka jual diluar negeri dengan harga yang berlipat ganda lebih mahal sehingga mendatangkan keuntungan yang amat besar.
Lindu Aji melihat betapa banyak adipati yang bersikap longgar dan dapat dibujuk Belanda sehingga terjalin persahabatan dengan Kumpeni.
Perjalanan jauh itu dilakukan Lindu Aji tanpa banyak rintangan dalam perjalanan. Dia adalah seorang pendekar yang sakti mandraguna. Pernah diangkat sebagai seorang senopati muda yang melakukan tugas sebagai telik sandi Mataram ketika Mataram hendak menyerbu Batavia dan untuk itu dia menerima sebatang keris pusaka Kyai Nagawelang sebagai tanda bahwa dia adalah seorang yang dipercaya oleh Sultan Agung.
Setelah perang selesai, karena dia tidak ingin terikat menjadi seorang senopati muda, Lindu Aji menghaturkan keris pusaka itu kembali kepada Sultan Agung, kemudian dia kembali ke Gampingan.
Berbekal kesaktiannya, memiliki banyak ilmu kedigdayaan, diantaranya Tenaga Sakti Surya Candra (Matahari dan Bulan), Aji pukulan jarak jauh Guruh Bumi, ilmu silat Wanara Sakti (Kera Sakti), ilmu berlari cepat Bayu Sakti dan aji pamungkas yang' lembut namun amat ampuh yang disebut Aji Tirta Bantara (Air dan Tanah), maka dia tidak akan mudah diganggu penjahat. Apalagi dia berpenampilan sebagai seorang pemuda sederhana, jangkung tegap, berwajah tampan dan manis, rendah hati sehingga tidak ada sesuatu pada dirinya yang akan menarik perhatian para penjahat untuk mengganggunya. Apa yang akan dirampok dari seorang pemuda sederhana seperti itu?
Beberapa bulan kemudian tibalah dia di Dermayu dan pagi hari itu langsung saja dia menuju ke rumah Ki Subali yang saterawan, seniman, bahkan dalang.
Ki Subali yang berusia sekitar lima puluh dua tahun itu tinggal di Dermayu bersama isteri dan anak tunggalnya, yaitu Sulastri. Di rumahnya, tadinya tinggal pula Ki Salmun, seorang seniman gamelan dan duda, bersama anak tunggalnya, Neneng Salmah yang menjadi waranggana kondang.
Neneng Salmah dan ayahnya terpaksa melarikan diri dari tempat tinggalnya di Sumedang karena hendak dipaksa menjadi isteri seorang pangeran dari Banten, yaitu Raden Jaka Bintara.
Gadis dan ayahnya ini ditolong Lindu Aji dan ditipikan pada Ki Subali di Dermayu.
Akan tetapi ketika Lindu Aji mengunjungi rumah itu, dia hanya disambut oleh Ki Subali dan isterinya!
"Selamat datang, anak mas Lindu Aji! Mari, silakan masuk dan duduk. Kami merasa girang sekali mendapat kunjungan andika!"
Kata Ki Subali dengan wajah girang dan Nyi Subali juga menyambut pemuda itu dengan senyum gembira.
Setelah mereka duduk di ruangan depan, Lindu Aji merasakan kesunyian rumah itu. Tentu saja dia sungkan menanyakan Sulastri, maka dia berkata.
"Bagaimana kabarnya, paman dan bibi berdua? Saya harap dalam keadaan baik-baik saja, demikian dengan keadaan ni-mas Sulastri, Paman Salmun dan Neneng Salmah."
Nyi Subali berkata dengan suara sedih setelah mengeluh panjang.
"O Allah, nak mas! Mereka semua telah pergi, disini hanya tinggal kami berdua yang kesepian."
Ibu ini memang merasa terpukul sekali dengan keadaannya, ditinggal pergi orang-orang yang disayangnya.
"Pergi? Mereka siapakah yang pergi, bibi?"
"Begini, anak mas Lindu Aji. Setelah andika pergi dari sini dan anak mas Jatmika juga pergi, Sulastri tampak selalu berduka. Lebih lagi Neneng Salmah, gadis itu menjadi pucat dan kurus. Tadinya kami berdua sudah bertanya kepada mereka, akan tetapi mereka tidak mau bicara terus terang. Akan tetapi pada suatu malam, akhirnya bibimu ini dapat mengetahui sebab-sebabnya. Biarlah bibimu sendiri yang bercerita."
Kata Ki Subali.
Nyi Subali lalu bercerita. Sebulan setelah Lindu Aji dan Jatmika meninggalkan rumah keluarga Subali di Dermayu, pada suatu malam Nyi Subali menuju ke kamar Sulastri untuk membujuk lagi kepada anaknya agar mau menceritakan mengapa anaknya itu tampak lesu dan selalu termenung penuh duka. Akan tetapi ketika tiba di depan pintu, ia mendengar isak tangis Neneng Salmah dalam kamar Sulastri, Nyi Subali merasa heran lalu berhenti di luar pintu, mendengarkan. Terdengar suara Neneng Salmah diantara isak tangisnya.
"Lastri... aduh, Lastri... kenapa engkau tidak pernah mengaku padaku bahwa... bahwa... engkau saling mencinta dengan kakang mas Lindu Aji...? Kenapa, Lastri...? Engkau malah mendorong dia dan aku untuk saling berjodoh...!"
Sulastri menjawab dengan suara bernada menghibur.
"Sudahlah, Neneng, jangan menangis. Aku melakukan itu karena aku tidak ingin menghalangi cintamu terhadap Kakang mas Lindu Aji. Tidak kusangka bahwa dia menolak dan meninggalkanmu."
"Dan aku yang buta, Sulastri! Aku... aku mengira bahwa engkau mencinta Kakang mas Jatmika. Kalau aku tahu... ah, kalau aku tahu bahwa engkau dan kakang mas Lindu Aji saling mencinta, sampai matipun aku tidak akan berani menyatakan perasaanku kepadamu dan kepadanya."
Kata Neneng Salmah sambil menahan tangisnya.
"Sudahlah, anggap saja aku tidak berjodoh dengan mereka berdua."
"Tidak, Sulastri! Tidak! Engkau tentu akan berjodoh dengan kakang mas Lindu Aji. Ketahuilah bahwa dia telah mengangkat aku menjadi adiknya. Dia sekarang adalah kakakku! Dan dia amat mencintamu, Lastri. Ah, aku telah berdosa, telah membikin putus pertalian kasih antara kalian berdua."
"Bukan, bukan engkau, Neneng, melainkan nasib yang mengakibatkan semua masalah ini. Nasib yang menimpaku karena aku kehilangan ingatanku tentang masa lalu sehingga aku juga lupa sama sekali akan diri Kakang mas Lindu Aji. Aku bertemu Kakang mas Jatmika dan akrab dengan dia. Tentu Kakang mas Lindu Aji mengira bahwa aku mencinta Kakang mas Jatmika, seperti juga pengiraanmu. Seperti aku terhadapmu, dia pun mengalah terhadap Kakang mas Jatmika."
"Ohhh, semua ini salahku... salahku...! Sulastri, sudikah engkau memberi maaf kepadaku...? Ampunkanlah aku, Lastri...!"
"Neneng....!"
Dan dua orang gadis itu pun saling berangkulan dan bertangisan.
Nyi Subali menghentikan ceritanya tentang percakapan yang didengarnya dari luar kamar puterinya, percakapan antara Sulastri dan Neneng Salmah itu.
Ki Subali berkata setelah menghela napas panjang.
"Demikianlah, anak mas Lindu Aji. Beberapa hari kemudian, Sulastri berpamit kepada kami untuk pergi merantau. Kemauannya itu tak dapat kami cegah. Biarpun ibunya menangis dan menahannya, tetap saja ia pergi. Ia mengatakan bahwa hanya dengan merantau ia akan dapat menghibur hatinya. Maka terpaksa kami tak dapat menahannya lagi dan ia sudah pergi sebulan yang lalu."
Mendengar penuturan Nyi Subali tadi, Lindu Aji merasa terharu sekali. Kiranya Sulastri tidak mau berjodoh dengan Jatmika karena gadis itu hanya mencintanya, seperti juga dia tidak mau berjodoh dengan Neneng Salmah karena dia pun hanya mencinta Sulastri seorang!
Terdengar Nyi Subali menyambung keterangan suaminya.
"Dan beberapa hari kemudian, setelah Sulastri pergi, Neneng Salmah juga mengajak ayahnya pergi, katanya hendak pulang ke Sumedang."
Lindu Aji merasa terpukul sekali. Dia merasa menjadi penyebab kesedihan dua orang gadis itu, Sulastri dan Neneng Salmah! Dia yang telah menghancurkan hati mereka, melenyapkan harapan dan kebahagiaan mereka.
Setelah bercakap-cakap sejenak, kesepian suami isteri itu menular kepada Lindu Aji. Dia merasa kesepian sekali di rumah yang telah ditinggalkan orang-orang yang dikasihinya itu. Rumah itu rasanya sepi sekali, hanya meninggalkan kenangan-kenangan pahit. Apalagi ketika dia mendengar dari Ki Subali bahwa Jatmika juga meninggalkan tempat itu tak lama setelah dia pergi, dan kepergian Jatmika lebih aneh lagi, tanpa pamit kepada semua orang.
Lindu Aji menghela napas panjang. Dia mengerti sebabnya. Tentu Sulastri telah menolak pernyataan kasih sayang Jatmika sehingga pemuda itu menjadi patah hati dan pergi tanpa pamit, tentu saja dengan perasaan hati yang hancur. Rumah ini menjadi saksi kehancuran empat buah hati, akibat lika-liku cinta yang rumit!
Lindu Aji lalu berpamit untuk pergi, tidak dapat ditahan oleh Ki Subali dan isterinya. Dia meninggalkan Dermayu dan kembali ke timur. Dia hanya tahu bahwa Neneng Salmah dan ayahnya telah kembali ke Sumedang, akan tetapi dia tidak ingin menyusul gadis yang sudah dia angkat sebagai adik itu. Kemunculannya hanya akan menoreh lagi luka yang sudah mulai sembuh dalam hati gadis itu.
Dia akan mencari Sulastri, akan tetapi kemana? Kemudian dia teringat akan Ki Sumali yang tinggal di Loano, di tepi kali Bogawanta itu.
Ki Sumali adalah kakak Ki Subali, paman tua Sulastri. Bukan tidak mungkin gadis itu mengunjungi paman tuanya yang merupakan satu-satunya keluarga ayahnya. Dengan dugaan ini, Lindu Aji lalu mengarahkan perjalanannya ke Loano.
Di dusun Loano, yang letaknya di tepi kali Bogawanta, tinggal Ki Sumali berdua dengan isterinya yang bernama Winarsih. Mereka tinggal di ujung dusun, agak menyendiri dan jauh dari tetangga karena rumah mereka memiliki kebun yang luas.
Ki Sumali adalah kakak dari Ki Subali yang tinggal di Dermayu. Dia seorang laki-laki yang gagah perkasa, berbeda sekali dari Ki Subali yang menjadi seorang sasterawan dan seniman. Ki Sumali ini sebaliknya menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa, memiliki aji kanuragan dan namanya amat disegani di daerah Loano dan sekitarnya sebagai seorang yang digdaya. Juga dikenal sebagai seorang pendekar yang selalu menentang perbuatan jahat, selalu melindungi mereka yang tertindas.
Laki-laki gagah ini berusia kurang lebih lima puluh lima tahun, tubuhnya sedang namun kokoh. Wajahnya tampan dengan kumis tipis. Dia mempelajari banyak macam ilmu silat dari berbagai aliran, akan tetapi yang terakhir dia pernah berguru kepada Aki Somad yang kini telah meninggal dunia.
Mendiang Aki Somad adalah seorang datuk terkenal yang tinggal di Nusa-kambangan dan dari datuk ini Ki Sumali menerima beberapa aji pukulan yang ampuh.
Isterinya, yang bernama Winarsih, adalah seorang wanita yang masih muda, jauh lebih muda dari pada usia Ki Sumali yang sudah lima puluh tahun, karena Winarsih baru berusia dua puluh dua tahun!
Ia menjadi isteri Ki Sumali ketika berusia sembilan belas tahun. Wajahnya ayu manis merak hati, terutama matanya yang lebar dan bening dan bibirnya yang selalu mengembangkan senyum manis sekali. jauh dari dugaan kebanyakan orang, Winarsih yang sepantasnya menjadi anak Ki Sumali itu, amat mencintai suaminya! Cinta yang tulus, cinta murni bukan sekedar tertarik oleh rupa, harta atau nama tenar, melainkan karena ada hubungan jiwa yang erat diantara mereka, cinta yang membuat mereka rela berkorban apa saja demi kebahagiaan orang yang dicintanya!
Tentu saja sudah terlalu sering Winarsih digoda pria-pria muda, dan godaan ini pasti terjadi secara diam-diam diluar pengetahuan Ki Sumali, karena siapa yang berani mati menggoda Winarsih di depan pendekar sakti itu? Namun, semua rayuan dan godaan itu disambut Winarsih dengan tenang. Ia selalu menasihatkan kepada si penggoda bahwa ia adalah isteri orang dan tidak sepantasnya kalau mereka menggoda dan merayunya karena itu berarti mereka hendak merusak pagar ayu dan rayuan itu kalau dilayani, akan menyeret mereka berdua ke dalam perjinaan yang merupakan dosa besar! Akhirnya, setelah semua pria muda yakin bahwa Winarsih adalah seorang isteri yang amat setia dan akan sia-sia saja dirayu, bahkan amat berbahaya bagi perayunya kalau ketahuan Ki Sumali, akhirnya tidak ada lagi laki-laki yang berani menggoda wanita yang ayu manis merak hati itu.
Ki Sumali bukanlah orang yang bodoh. Tentu saja dia tahu bahwa banyak pria muda yang tertarik, bahkan tergila-gila kepada isterinya dan banyak yang mencoba untuk merayunya. Akan tetapi dia percaya dengan penuh keyakinan akan kesetiaan isterinya, akan cinta kasih isterinya terhadap dirinya. Maka diapun pura-pura tidak tahu saja agar jangan menimbulkan keributan yang hanya akan membuat isterinya menjadi malu.
Biarpun Ki Sumali tidak ikut berjuang membantu pasukan Mataram ketika bala-tentara Mataram menyerang Batavia karena dia tidak tega meninggalkan isterinya, namun Ki Sumali setia kepada Mataram sehingga dahulu dia pernah dimusuhi gurunya sendiri, mendiang Aki Somad yang terbujuk Kumpeni Belanda dan menjadi antek Belanda. Akhirnya Aki Somad tewas dalam pertempuran antara pasukan Mataram melawan Kumpeni Belanda dimana dia berpihak kepada Belanda.
Namun, walaupun dia tidak aktip membantu Mataram berperang, tidaklah sia-sia dan menjadi seorang pendekar karena dimana terjadi kerusuhan yang dilakukan penjahat-penjahat mengacau kehidupan rakyat, Ki Sumali pasti tidak tinggal diam dan diberantasnya semua kejahatan itu. Perbuatan ini tentu saja merupakan bantuan besar kepada negara dan bangsa.
Biarpun telah dua kali Sultan Agung gagal menyerang Batavia, yaitu pada tahun 1628 dan 1629, namun kegagalannya itu di lain pihak membuat Kumpeni Belanda terkejut karena mereka juga kehilangan banyak serdadu.
Mereka maklum bahwa kalau saja semua penguasa daerah benar-benar bersatu dan setia kepada Mataram, maka persatuan itu akan merupakan kekuatan besar sekali yang mengancam kedudukan Kumpeni. Maka, beberapa kali Kumpeni Belanda mengutus para pejabat penting untuk menghubungi Sultan Agung dan menawarkan perdamaian dengan janji hadiah-hadiah besar kepada Sultan Agung.
Namun, Sultan Agung mengajukan syarat, yaitu Mataram bersedia berdamai dengan Kumpeni Belanda kalau Belanda mau mengakui Sultan Agung sebagai penguasa di seluruh Nusa Jawa termasuk Batavia.
Syarat ini ditolak Belanda sehingga kedua pihak tetap saja berada dalam keadaan "perang dingin". Dimana-mana terjadi pergolakan kecil-kecilan dan semua langkah Kumpeni Belanda pasti menemui rintangan-rintangan.
Semacam perang gerilya dilakukan rakyat yang setia kepada Mataram dan hal ini amat menyusahkan Belanda. Kembali mereka mencoba untuk membujuk rayu para penguasa dengan membagi-bagi hadiah, juga mereka menyebar para telik sandi yang memiliki dua buah tugas. Pertama, mengadu domba antara para penguasa daerah dan Mataram sehingga para penguasa daerah mau memusuhi Mataram, dan menarik penguasa itu menjadi sekutu Kumpeni.
Ki Sumali mengetahui akan keadaan itu. Diapun siap siaga dan melakukan pengamatan kalau-kalau di daerahnya kemasukan telik sandi (mata-mata) Kumpeni yang hendak melakukan pengacauan. Dia harus selalu siap menghadapi para telik sandi Belanda dan membasmi mereka karena orang-orang yang menjadi pengkhianat penjual tanah air dan bangsa itu tindak tanduknya hanya mendatangkan kekacauan dan kerusuhan belaka. Mereka tidak segan-segan melakukan apa saja demi pengabdian mereka kepada Kumpeni Belanda, atau lebih tepatnya, tidak segan-segan melakukan apa saja demi uang karena mereka menjadi mata-mata Kumpeni Belanda itupun pada dasarnya karena tertarik hadiah-hadiah uang yang banyak dari Belanda.
Sejak jaman dahulu, manusia selalu dikuasai dan dipermainkan oleh harta benda yang dianggap merupakan sumber dari segala bentuk kesenangan yang dapat diperoleh dan dinikmati selagi hidup di dunia! Manusia berlomba mengejar harta, kalau perlu dengan saling berkelahi, bahkan meluas menjadi bangsa yang saling berperang, saling membunuh.
Tuhan Yang Maha Kuasa dilupakan, segala firman dan laranganNya diabaikan karena manusia sudah tergila-gila oleh harta benda, memujanya, mengejarnya, sehingga untuk mendapatkannya, menghalalkan segala cara. Apakah yang mendorong bangsa Belanda ingin menguasai Nusa Jawa? Bukan lain karena harta benda! Melihat Nusa Jawa yang loh jinawi (subur makmur), menghasilkan rempa-rempa yang amat berharga, menjanjikan keuntungan yang dapat membuat mereka kaya raya, bangsa Belanda mengilar dan melakukan segala daya upaya, bahkan yang berlawanan dengan tata susila dan pelajaran agama mereka, untuk menguasai Nusa Jawa.
Manusia dapat menikmati hidupnya di dunia, tak dapat dibantah lagi, sebagian karena adanya harta atau uang. Sukar membayangkan dapat hidup pantas sebagai manusia tanpa uang sama sekali!
Akan tetapi, harta atau uang memang dapat menenteramkan dan menyejahterakan hidup selama MANUSIA MENGUASAINYA, sehingga harta itu tetap menjadi abdinya, dan manusia dengan kemanusiaannya yang beriman kepada Gusti Allah dapat memanfaatkan harta atau uangnya itu demi kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya. Kalau sebaliknya terjadi HARTA YANG MENGUASAI MANUSIA, maka malapetakalah akibatnya. Manusia menjadi tamak, lupa diri, lupa Tuhan, hanya uang yang dipujanya, menjadi angkara murka, adigang-adigung-adi-guna, sapa sira sapa ingsun. Merasa berkuasa karena punya harta! Berbuat sesuka hatinya, mengejar kesenangan diri pribadi dan akibatnya timbul konflik-konflik yang dapat menjalar menjadi perang antar golongan, antar bangsa dan antar negara! Kalau ditelusuri secara jujur, hampir semua pertikaian atau peperangan itu sudah pasti berdasar kepada memperebutkan harta!
Andaikata Ki Sumali itu berjiwa kerdil sehingga jiwanya mudah dipengaruhi daya rendah harta benda, tentu dia sudah hidup kaya raya karena dulu, gurunya, Aki Somad yang sekarang telah meninggal, pernah mengajaknya untuk menjadi antek Kumpeni Belanda dengan imbalan harta yang amat banyak. Namun Ki Sumali berjiwa satria, tidak dapat dipengaruhi bisikan iblis yang selalu merayu manusia dengan iming-iming segala hal yang serba enak, indah, dan mendatangkan kenikmatan dan kepuasan nafsu. Dia menolak, bahkan rela dimusuhi. Dia tetap hidup sebagai seorang petani sederhana, namun dalam kesederhanaannya itu dia merasakan kebahagiaan bersama isterinya, Winarsih yang amat dicinta dan amat mencintanya.
Pagi hari itu udara amat dinginnya di Loano. Sinar matahari telah mengusir kabut dari muka bumi, namun sinarnya yang masih muda dan hangat itu belum mampu mengusir hawa dingin yang menyusup tulang.
Burung-burung telah lama berangkat menunaikan tugas mencari makan, kupu-kupu sudah mulai melayang-layang beterbangan di sekitar bunga-bunga yang mekar semerbak harum memikat para kupu-kupu agar menghisap madunya sehingga benih-benih dalam serbuknya dapat melekat terbawa kaki kupu-kupu dan dibawa hinggap ke kembang lain sehingga benih itu dapat menjadi penyalur berkembang-biaknya pohon kembang itu.
Udara amat segar dan sejuk dan cuaca amat cerah. Semua yang berada di permukaan bumi dimandikan cahaya matahari yang mengandung sari kehidupan.
Sumali dan isterinya sejak pagi tadi sudah bersiap-siap seperti kebiasaan mereka setiap hari, yaitu bekerja di ladang.
Pagi tadi Winarsih sudah menghidangkan jagung rebus dan air teh kental untuk sarapan mereka berdua dan kini mereka sudah keluar dari pintu depan rumah mereka. Winarsih hanya menutupkan daun pintu dari luar. Pada masa itu, orang-orang di Loano dan kebanyakan pedesaan lain tidak pernah mengunci pintu kalau mereka meninggalkan rumah mereka. Cukup daun pintunya saja ditutup, itu berarti bahwa pemilik rumah sedang keluar. Tidak ada barang yang terlalu amat berharga dalam rumah. Dan pula, siapa yang akan mengambil milik orang lain dalam rumah orang pula? Kecuali para maling yang tidak banyak jumlahnya, itupun biasanya para maling tidak mau mencuri hanya pakaian dan barang tidak berharga.
Ki Sumali yang sudah berusia sekitar lima puluh lima tahun itu masih tampak gagah. Tubuhnya hanya mengenakan celana hitam sebatas betis, tanpa baju dan berkalung sarung. Kepalanya tertutup sebuah caping lebar. Tubuhnya! tegap namun tidak besar, sedang saja walaupun tampak kokoh kuat. Kumisnya tipis dan pendekar ini tak pernah terpisah dari dua senjatanya, yaitu sebatang keris yang terselip di pinggang, yaitu keris pusaka Sarpo Langking yang hitam warnanya, sesuai dengan namanya Sarpo Langking (Ular Hitam) bentuknya juga seperti seekor ular, dan sebatang suling bambu terselip di pinggang kanan. Selain untuk berjaga diri, dia tidak mau meninggalkan dua buah benda kesayangan itu di rumah, takut kalau-kalau hilang diambil orang.
Winarsih tampak segar dan ayu manis pagi itu. Ia mengenakan kain yang agak tinggi, sampai di lutut, mengenakan pakaian sederhana dan rambutnya digelung dan tertutup sebuah caping pula. Tangan kirinya memegang sebatang arit dan tangan kanannya menjinjing keranjang kosong, hanya terisi sebuah kendi air.
Dipekarangan rumah mereka telah menanti dua orang petani berusia sekitar tiga puluh tahun. Mereka adalah dua tenaga pembantu mereka bekerja diladang.
Melihat Ki Sumali dan Winarsih sudah keluar dari pintu, dua orang itupun bangkit berdiri, memanggul pacul masing-masing di pundak kanan.
"Apakah kalian ingin sarapan jagung rebus dan minum air teh dulu?"
Tegur Winarsih kepada dua orang pembantu itu dengan sikap ramah.
"Wah, terima kasih, mas ayu. Akan tetapi tadi sebelum berangkat kesini kami sudah sarapan singkong bakar, sudah kenyang."
Jawab seorang dari mereka.
Tiba-tiba mereka semua terkejut mendengar suara orang tertawa ngakak (terbahak). Ketika mereka memandang, dari pintu pekarangan muncul tiga orang dan mereka memasuki pekarangan tanpa kulanuwun (permisi).
Ki Sumali mengerutkan alisnya, mengamati tiga orang yang kini menghampiri. Yang di depan adalah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan kulitnya hitam, mukanya brewok seperti seorang raksasa. Sepasang matanya yang lebar itu terbelalak seperti hendak meloncat keluar dari kelopaknya, hidungnya mbengol (besar bulat), mulutnya lebar dengan bibir tebal menghitam. Benar-benar seorang yang menyeramkan dan dari penampilannya tampak jelas bahwa orang itu tentu memiliki tenaga yang kuat sekali. Tampak kokoh kuat seperti batu karang. Kedua lengannya besar panjang dengan otot melingkar-lingkar dan di kedua pergelangan tangannya dihias gelang akar bahar hitam berbentuk ular. Di pinggangnya yang gendut itu tergantung sebatang ruyung berwarna coklat kehitaman mengkilap. Pakaiannya serba kuning dan sehelai sarung dikalungkan di pundak.
Adapun dua orang yang berjalan dibelakangnya adalah dua orang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, keduanya bertubuh kekar dan kuat walaupun tidak sekokoh orang"
Pertama. Pakaian mereka juga serba kuning, dan keduanya bertampang galak. Sebatang klewang (golok) tergantung di pinggang masing-masing.
Dari pintu pekarangan saja, laki-laki seperti raksasa itu sudah mengeluarkan kata-kata yang kasar dan lantang, menyambung tawanya yang terbahak-bahak.
"Ha-hah-ha, ini yang namanya Ki Sumali, pengecut besar yang tidak mengenal budi itu! Orang macam kamu ini tidak patut hidup!"
Dua orang petani pembantu Ki Sumali menjadi marah melihat sikap kasar dan kata-kata yang menghina itu. Sebagai penduduk Loano yang rata-rata memiliki keberanian besar, merekapun tidak takut kepada raksasa yang kasar itu. Apa lagi mereka tidak mengenal siapa tiga orang itu. Jelas bukan orang Loano, karena kalau mereka penduduk Loano, tentu dua orang petani itu mengenal mereka. Maka mereka lalu menghadang dan seorang diantara mereka menegur.
"Ki sanak, siapakah andika bertiga dan ada keperluan apakah datang berkunjung kesini? Tidak sepantasnya andika datang-datang mengucapkan kata-kata menghina terhadap Ki Sumali yang terhormat di Loano ini."
Raksasa hitam itu membelalakkan matanya yang sudah lebar kepada dua orang petani itu, kemudian tiba-tiba dia mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah mereka dari jarak antara tiga meter.
"Wuuuuttt... bressss ...!"
Tubuh dua orang petani itu terjengkang dan mereka tewas seketika dengan muka berubah hitam seperti hangus.
Ki Sumali melihat betapa kedua telapak tangan raksasa itu mengeluarkan asap dan tampak membara, lalu padam lagi.
"Aji Tapak Geni...!"
Dia berseru kaget.
Tentu saja dia mengenal aji kesaktian itu karena dia sendiri juga menguasai aji itu!
"Siapakah andika dan mengapa anda datang-datang membunuh orang?"
Kini Ki Sumali bertanya dengan muka berubah merah saking marahnya melihat perbuatan kejam raksasa hitam itu.
Winarsih membuka capingnya, melepaskan arit dan keranjang, lalu berlari menghampiri dua orang pembantu yang menggeletak tak bergerak. Melihat ini, Ki Sumali berseru.
"Winarsih, jangan dekati, jangan sentuh mereka!"
Mendengar bentakan ini, Winarsih berhenti berlari dan ia berdiri bingung dan ketakutan memandang raksasa hitam yang kini memandang kepadanya sambil menyeringai, memperlihatkan giginya yang besar-besar di balik sepasang bibir yang tebal menghitam itu.
"Heh-heh-ha-ha-ha, ini isterimu? Heh, masih muda dan amat manis, lebih pantas menjadi biniku."
Dia menoleh kepada dua orang di belakangnya dan berkata.
"Hayo, tangkap perempuan itu dan bawa pulang. Awas, jangan sakiti ia!"
Dua orang itu tanpa banyak cakap lalu berlompatan ke depan untuk menangkap Winarsih. Melihat ini, Ki Sumali tentu saja marah dan dia sudah menggerakkan kaki untuk menghampiri dan melindungi isterinya dari gangguan orang itu. Akan tetapi tiba-tiba raksasa itu telah melangkah lebar menghadangnya.
"Ho-ho, Ki Sumali. Perempuan itu kini milikku dan engkau harus mati!"
Kata raksasa bermuka hitam itu.
"Jahanam keparat!"
Ki Sumali berseru marah melihat betapa kedua lengan isterinya sudah ditangkap oleh dua orang itu dan ditarik keluar dari pekarangan.
Winarsih menjerit-jerit dan meronta-ronta.
Ki Sumali yang dihadang oleh raksasa itu lalu mengeluarkan pekik melengking yang memekakkan telinga. Inilah Aji Jerit Bairawa, teriakan yang mengandung kekuatan sihir dan dapat melumpuhkan lawan yang terserang oleh suara itu secara langsung.
"Ha-ha-ha-ha, apa artinya Jerit Bairawa itu bagiku? Permainan anak kecil!"
Kata raksasa itu sambil tertawa.
Ki Sumali terkejut. Ternyata raksasa itu mengenal pula ajiannya dan sama sekali tidak terpengaruh. Maka dia lalu, mencabut keris Sarpo Langking dari ikat pinggangnya dengan tangan kanan dan mencabut sulingnya dengan tangan kiri lalu menerjang dengan gerakan dahsyat kepada lawannya. Raksasa itu ternyata dapat bergerak cepat sekali.
Dengan mudah dia sudah dapat mengelak dari serangan yang dilakukan Ki Sumali dengan kedua senjatanya, bahkan lengan kirinya yang panjang itu sudah bergerak dan tangannya yang membentuk cakar menyambar ke arah kepala Ki Sumali!
Hebat sekali serangan ini dan Ki Sumali maklum betapa kuatnya tangan itu, sudah terasa anginnya yang panas menyambar dan kalau mengenai sasaran, aji kekebalannya tentu tidak kuat melindungi kepalanya. Maka dia melompat ke belakang lalu mengayun kembali keris dan sulingnya secara bergantian, menyerang ke bagian tubuh yang berbahaya dari raksasa itu.
"Eh, bagus juga ilmu kepandaianmu!"
Raksasa itu melompat kebelakang menghindarkan diri, kemudian tahu-tahu dia sudah mengambil ruyungnya yang terbuat dari galih asem (bagian tengah batang pohon asam) yang amat keras dan kuat.
Sementara itu, jeritan Winarsih menarik perhatian dan sebentar saja banyak penduduk Loano berdatangan ke tempat itu.
Melihat ini, dua orang yang menangkap Winarsih lalu berlompatan ke atas punggung kuda mereka yang berada di luar pekarangan. Sambil memondong Winarsih yang meronta-ronta, seorang diantara mereka membalapkan kudanya pergi dari situ. Temannya melindungi dari belakang dan ketika ada beberapa orang laki-laki penduduk Loano hendak menghalangi atau mengejar penculik Winarsih itu, dia menggerakkan cambuk kudanya. Terdengar bunyi ledakan-ledakan dan beberapa orang laki-laki terpelanting dan menderita lecet-lecet berdarah oleh cambukan. Orang ke dua itu lalu membalapkan kudanya menyusul temannya.
"Plak! Trang...!!"
Suling dan keris itu terlepas dari tangan Ki Sumali ketika bertemu dengan ruyung. Raksasa itu tertawa bergelak. Ki Sumali sudah menggosok kedua telapak tangannya yang mengepulkan asap. Dia mengerahkan Aji Tapak Geni untuk menyerang. Akan tetapi lawannya juga sudah menggantungkan ruyung dan sudah siap.
Ketika Ki Sumali mendorongkan tangannya sambil mengerahkan seluruh tenaga Aji Tapak Geni, Raksasa itu menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula.
"Wuuuttt... dess...!!"
Tubuh Ki Sumali terlempar sampai tiga meter jauhnya dan terbanting jatuh ke atas tanah.
Dia merasa dadanya nyeri, tanda bahwa dia kalah kuat sehingga tenaganya sendiri membalik. Sementara, raksasa itu tertawa bergelak. Akan tetapi pada saat itu, banyak penduduk datang berlarian ke tempat itu.
Melihat ini, raksasa itu melangkah lebar menuju keluar pekarangan. Agaknya jerih juga hatinya menghadapi demikian banyak orang. Siapa tahu, diantara mereka terdapat orang-orang yang sakti.
Melihat raksasa itu hendak pergi, Ki Sumali menguatkan diri dan berteriak lantang.
"Jahanam, tinggalkan namamu kalau andika bukan pengecut!"
Raksasa itu sudah melompat naik ke atas punggung kuda. Akan tetapi sebelum dia membedal kudanya, dia menengok ke arah Ki Sumali dan berseru.
"Ki Singobarong namaku, Nusakambangan tempat tinggalku!"
Setelah berkata demikian, raksasa itu membalapkan kudanya.
Para penduduk Loano tidak ada yang berani menghadangnya, mengingat betapa saktinya raksasa itu yang sudah mampu mengalahkan Ki Sumali.
Melihat ini, Ki Sumali demikian khawatir akan isterinya dan demikian marah, ditambah luka dalam dadanya dan diapun terkulai pingsan!
Para penduduk segera mengangkat Ki Sumali yang pingsan ke dalam rumah dan mengangkut jenazah dua orang petani itu kembali ke rumah masing-masing. Semua orang ramai membicarakan peristiwa hebat itu.
Mendengar betapa Ki Sumali roboh pingsan, kalah bertanding melawan seorang raksasa hitam, semua orang menjadi terkejut dan gelisah. Kalau Ki Sumali saja tidak mampu melawan, siapa yang akan melindungi mereka kalau ada penjahat sakti itu mengganggu ketenteraman Loano?
Mereka hanya membaringkan tubuh Ki Sumali di atas pembaringan dan dua orang menjaganya di kamar itu, yang lain duduk berkerumun di pendopo rumah sambil tiada hentinya membicarakan peristiwa diculiknya Winarsih tadi.
Belum lama peristiwa itu terjadi, maka belasan orang di pendopo itu serentak bangkit ketika mereka melihat seorang pemuda memasuki pekarangan rumah Ki Sumali. Pemuda itu pasti bukan orang Loano karena mereka tidak mengenalnya, maka tentu saja mereka merasa curiga. Bahkan diantara mereka sudah ada yang mengambil arit atau linggis untuk siap siaga kalau-kalau yang datang itu orang jahat sebangsa tiga orang yang tadi datang menyerang Ki Sumali dan menculik Winarsih.
Akan tetapi pemuda itu tampak sederhana. Usianya sekitar dua puluh tahun tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan manis, sinar matanya lembut dan langkahnya tenang seperti langkah harimau dan ketika dia melihat belasan orang berdiri di pendopo rumah Ki Sumali, pemuda itu mengerutkan alisnya dan pandang matanya mengandung keheranan.
"Permisi...!"
Pemuda itu memberi salam, lalu disambungnya dengan pertanyaan.
"Bolehkah saya mengetahui apakah Paman Sumali berada di rumah?"
Orang-orang itu saling pandang, kemudian seorang diantara mereka, yang tertua, berbalik dengan pertanyaan yang terdengar penuh curiga kepada pemuda itu.
"Katakan dulu, siapa andika dan ada keperluan apa dengan Ki Sumali?"
Pemuda itu mengerutkan alisnya dan sinar matanya menyapu semua orang itu, Tampaknya mereka ini orang baik-baik dan orang-orang biasa, pikirnya, akan tetapi mengapa berkumpul di pendopo ini?
"Nama saya Lindu Aji, dan saya adalah sahabat baik dari Paman Sumali, maka saya datang mengunjunginya."
Agaknya orang tua itu percaya akan keterangan Lindu Aji, apalagi memang sikap pemuda itu bukan seperti orang jahat yang berniat buruk. Maka dia lalu berkata.
"Maafkan sikap kami yang penuh curiga, anak mas. Sebetulnya baru saja disini kedatangan tiga orang penjahat. Mereka menculik mas ayu Winarsih dan melukai Ki Sumali."
Pagi hari itu udara amat dinginnya di Loano. Sinar matahari telah mengusir kabut dari muka bumi, namun sinarnya yang masih muda dan hangat itu belum mampu mengusir hawa dingin yang menyusup tulang.
Burung-burung telah lama berangkat menunaikan tugas mencari makan, kupu-kupu sudah mulai melayang-layang beterbangan di sekitar bunga-bunga yang mekar semerbak harum memikat para kupu-kupu agar menghisap madunya sehingga benih-benih dalam serbuknya dapat melekat terbawa kaki kupu-kupu dan dibawa hinggap ke kembang lain sehingga benih itu dapat menjadi penyalur berkembang-biaknya pohon kembang itu.
Udara amat segar dan sejuk dan cuaca amat cerah. Semua yang berada di permukaan bumi dimandikan cahaya matahari yang mengandung sari kehidupan.
Sumali dan isterinya sejak pagi tadi sudah bersiap-siap seperti kebiasaan mereka setiap hari, yaitu bekerja di ladang.
Pagi tadi Winarsih sudah menghidangkan jagung rebus dan air teh kental untuk sarapan mereka berdua dan kini mereka sudah keluar dari pintu depan rumah mereka. Winarsih hanya menutupkan daun pintu dari luar. Pada masa itu, orang-orang di Loano dan kebanyakan pedesaan lain tidak pernah mengunci pintu kalau mereka meninggalkan rumah mereka. Cukup daun pintunya saja ditutup, itu berarti bahwa pemilik rumah sedang keluar. Tidak ada barang yang terlalu amat berharga dalam rumah. Dan pula, siapa yang akan mengambil milik orang lain dalam rumah orang pula? Kecuali para maling yang tidak banyak jumlahnya, itupun biasanya para maling tidak mau mencuri hanya pakaian dan barang tidak berharga.
Ki Sumali yang sudah berusia sekitar lima puluh lima tahun itu masih tampak gagah. Tubuhnya hanya mengenakan celana hitam sebatas betis, tanpa baju dan berkalung sarung. Kepalanya tertutup sebuah caping lebar. Tubuhnya! tegap namun tidak besar, sedang saja walaupun tampak kokoh kuat. Kumisnya tipis dan pendekar ini tak pernah terpisah dari dua senjatanya, yaitu sebatang keris yang terselip di pinggang, yaitu keris pusaka Sarpo Langking yang hitam warnanya, sesuai dengan namanya Sarpo Langking (Ular Hitam) bentuknya juga seperti seekor ular, dan sebatang suling bambu terselip di pinggang kanan. Selain untuk berjaga diri, dia tidak mau meninggalkan dua buah benda kesayangan itu di rumah, takut kalau-kalau hilang diambil orang.
Winarsih tampak segar dan ayu manis pagi itu. Ia mengenakan kain yang agak tinggi, sampai di lutut, mengenakan pakaian sederhana dan rambutnya digelung dan tertutup sebuah caping pula. Tangan kirinya memegang sebatang arit dan tangan kanannya menjinjing keranjang kosong, hanya terisi sebuah kendi air.
Dipekarangan rumah mereka telah menanti dua orang petani berusia sekitar tiga puluh tahun. Mereka adalah dua tenaga pembantu mereka bekerja diladang.
Melihat Ki Sumali dan Winarsih sudah keluar dari pintu, dua orang itupun bangkit berdiri, memanggul pacul masing-masing di pundak kanan.
"Apakah kalian ingin sarapan jagung rebus dan minum air teh dulu?"
Tegur Winarsih kepada dua orang pembantu itu dengan sikap ramah.
"Wah, terima kasih, mas ayu. Akan tetapi tadi sebelum berangkat kesini kami sudah sarapan singkong bakar, sudah kenyang."
Jawab seorang dari mereka.
Tiba-tiba mereka semua terkejut mendengar suara orang tertawa ngakak (terbahak). Ketika mereka memandang, dari pintu pekarangan muncul tiga orang dan mereka memasuki pekarangan tanpa kulanuwun (permisi).
Ki Sumali mengerutkan alisnya, mengamati tiga orang yang kini menghampiri. Yang di depan adalah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan kulitnya hitam, mukanya brewok seperti seorang raksasa. Sepasang matanya yang lebar itu terbelalak seperti hendak meloncat keluar dari kelopaknya, hidungnya mbengol (besar bulat), mulutnya lebar dengan bibir tebal menghitam. Benar-benar seorang yang menyeramkan dan dari penampilannya tampak jelas bahwa orang itu tentu memiliki tenaga yang kuat sekali. Tampak kokoh kuat seperti batu karang. Kedua lengannya besar panjang dengan otot melingkar-lingkar dan di kedua pergelangan tangannya dihias gelang akar bahar hitam berbentuk ular. Di pinggangnya yang gendut itu tergantung sebatang ruyung berwarna coklat kehitaman mengkilap. Pakaiannya serba kuning dan sehelai sarung dikalungkan di pundak.
Adapun dua orang yang berjalan dibelakangnya adalah dua orang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, keduanya bertubuh kekar dan kuat walaupun tidak sekokoh orang"
Pertama. Pakaian mereka juga serba kuning, dan keduanya bertampang galak. Sebatang klewang (golok) tergantung di pinggang masing-masing.
Dari pintu pekarangan saja, laki-laki seperti raksasa itu sudah mengeluarkan kata-kata yang kasar dan lantang, menyambung tawanya yang terbahak-bahak.
"Ha-hah-ha, ini yang namanya Ki Sumali, pengecut besar yang tidak mengenal budi itu! Orang macam kamu ini tidak patut hidup!"
Dua orang petani pembantu Ki Sumali menjadi marah melihat sikap kasar dan kata-kata yang menghina itu. Sebagai penduduk Loano yang rata-rata memiliki keberanian besar, merekapun tidak takut kepada raksasa yang kasar itu. Apa lagi mereka tidak mengenal siapa tiga orang itu. Jelas bukan orang Loano, karena kalau mereka penduduk Loano, tentu dua orang petani itu mengenal mereka. Maka mereka lalu menghadang dan seorang diantara mereka menegur.
"Ki sanak, siapakah andika bertiga dan ada keperluan apakah datang berkunjung kesini? Tidak sepantasnya andika datang-datang mengucapkan kata-kata menghina terhadap Ki Sumali yang terhormat di Loano ini."
Raksasa hitam itu membelalakkan matanya yang sudah lebar kepada dua orang petani itu, kemudian tiba-tiba dia mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah mereka dari jarak antara tiga meter.
"Wuuuuttt... bressss ...!"
Tubuh dua orang petani itu terjengkang dan mereka tewas seketika dengan muka berubah hitam seperti hangus.
Ki Sumali melihat betapa kedua telapak tangan raksasa itu mengeluarkan asap dan tampak membara, lalu padam lagi.
"Aji Tapak Geni...!"
Dia berseru kaget.
Tentu saja dia mengenal aji kesaktian itu karena dia sendiri juga menguasai aji itu!
"Siapakah andika dan mengapa anda datang-datang membunuh orang?"
Kini Ki Sumali bertanya dengan muka berubah merah saking marahnya melihat perbuatan kejam raksasa hitam itu.
Winarsih membuka capingnya, melepaskan arit dan keranjang, lalu berlari menghampiri dua orang pembantu yang menggeletak tak bergerak. Melihat ini, Ki Sumali berseru.
"Winarsih, jangan dekati, jangan sentuh mereka!"
Mendengar bentakan ini, Winarsih berhenti berlari dan ia berdiri bingung dan ketakutan memandang raksasa hitam yang kini memandang kepadanya sambil menyeringai, memperlihatkan giginya yang besar-besar di balik sepasang bibir yang tebal menghitam itu.
"Heh-heh-ha-ha-ha, ini isterimu? Heh, masih muda dan amat manis, lebih pantas menjadi biniku."
Dia menoleh kepada dua orang di belakangnya dan berkata.
"Hayo, tangkap perempuan itu dan bawa pulang. Awas, jangan sakiti ia!"
Dua orang itu tanpa banyak cakap lalu berlompatan ke depan untuk menangkap Winarsih. Melihat ini, Ki Sumali tentu saja marah dan dia sudah menggerakkan kaki untuk menghampiri dan melindungi isterinya dari gangguan orang itu. Akan tetapi tiba-tiba raksasa itu telah melangkah lebar menghadangnya.
"Ho-ho, Ki Sumali. Perempuan itu kini milikku dan engkau harus mati!"
Kata raksasa bermuka hitam itu.
"Jahanam keparat!"
Ki Sumali berseru marah melihat betapa kedua lengan isterinya sudah ditangkap oleh dua orang itu dan ditarik keluar dari pekarangan.
Winarsih menjerit-jerit dan meronta-ronta.
Ki Sumali yang dihadang oleh raksasa itu lalu mengeluarkan pekik melengking yang memekakkan telinga. Inilah Aji Jerit Bairawa, teriakan yang mengandung kekuatan sihir dan dapat melumpuhkan lawan yang terserang oleh suara itu secara langsung.
"Ha-ha-ha-ha, apa artinya Jerit Bairawa itu bagiku? Permainan anak kecil!"
Kata raksasa itu sambil tertawa.
Ki Sumali terkejut. Ternyata raksasa itu mengenal pula ajiannya dan sama sekali tidak terpengaruh. Maka dia lalu, mencabut keris Sarpo Langking dari ikat pinggangnya dengan tangan kanan dan mencabut sulingnya dengan tangan kiri lalu menerjang dengan gerakan dahsyat kepada lawannya. Raksasa itu ternyata dapat bergerak cepat sekali.
Dengan mudah dia sudah dapat mengelak dari serangan yang dilakukan Ki Sumali dengan kedua senjatanya, bahkan lengan kirinya yang panjang itu sudah bergerak dan tangannya yang membentuk cakar menyambar ke arah kepala Ki Sumali!
Hebat sekali serangan ini dan Ki Sumali maklum betapa kuatnya tangan itu, sudah terasa anginnya yang panas menyambar dan kalau mengenai sasaran, aji kekebalannya tentu tidak kuat melindungi kepalanya. Maka dia melompat ke belakang lalu mengayun kembali keris dan sulingnya secara bergantian, menyerang ke bagian tubuh yang berbahaya dari raksasa itu.
"Eh, bagus juga ilmu kepandaianmu!"
Raksasa itu melompat kebelakang menghindarkan diri, kemudian tahu-tahu dia sudah mengambil ruyungnya yang terbuat dari galih asem (bagian tengah batang pohon asam) yang amat keras dan kuat.
Sementara itu, jeritan Winarsih menarik perhatian dan sebentar saja banyak penduduk Loano berdatangan ke tempat itu.
Melihat ini, dua orang yang menangkap Winarsih lalu berlompatan ke atas punggung kuda mereka yang berada di luar pekarangan. Sambil memondong Winarsih yang meronta-ronta, seorang diantara mereka membalapkan kudanya pergi dari situ. Temannya melindungi dari belakang dan ketika ada beberapa orang laki-laki penduduk Loano hendak menghalangi atau mengejar penculik Winarsih itu, dia menggerakkan cambuk kudanya. Terdengar bunyi ledakan-ledakan dan beberapa orang laki-laki terpelanting dan menderita lecet-lecet berdarah oleh cambukan. Orang ke dua itu lalu membalapkan kudanya menyusul temannya.
"Plak! Trang...!!"
Suling dan keris itu terlepas dari tangan Ki Sumali ketika bertemu dengan ruyung. Raksasa itu tertawa bergelak. Ki Sumali sudah menggosok kedua telapak tangannya yang mengepulkan asap. Dia mengerahkan Aji Tapak Geni untuk menyerang. Akan tetapi lawannya juga sudah menggantungkan ruyung dan sudah siap.
Ketika Ki Sumali mendorongkan tangannya sambil mengerahkan seluruh tenaga Aji Tapak Geni, Raksasa itu menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula.
"Wuuuttt... dess...!!"
Tubuh Ki Sumali terlempar sampai tiga meter jauhnya dan terbanting jatuh ke atas tanah.
Dia merasa dadanya nyeri, tanda bahwa dia kalah kuat sehingga tenaganya sendiri membalik. Sementara, raksasa itu tertawa bergelak. Akan tetapi pada saat itu, banyak penduduk datang berlarian ke tempat itu.
Melihat ini, raksasa itu melangkah lebar menuju keluar pekarangan. Agaknya jerih juga hatinya menghadapi demikian banyak orang. Siapa tahu, diantara mereka terdapat orang-orang yang sakti.
Melihat raksasa itu hendak pergi, Ki Sumali menguatkan diri dan berteriak lantang.
"Jahanam, tinggalkan namamu kalau andika bukan pengecut!"
Raksasa itu sudah melompat naik ke atas punggung kuda. Akan tetapi sebelum dia membedal kudanya, dia menengok ke arah Ki Sumali dan berseru.
"Ki Singobarong namaku, Nusakambangan tempat tinggalku!"
Setelah berkata demikian, raksasa itu membalapkan kudanya.
Para penduduk Loano tidak ada yang berani menghadangnya, mengingat betapa saktinya raksasa itu yang sudah mampu mengalahkan Ki Sumali.
Melihat ini, Ki Sumali demikian khawatir akan isterinya dan demikian marah, ditambah luka dalam dadanya dan diapun terkulai pingsan!
Para penduduk segera mengangkat Ki Sumali yang pingsan ke dalam rumah dan mengangkut jenazah dua orang petani itu kembali ke rumah masing-masing. Semua orang ramai membicarakan peristiwa hebat itu.
Mendengar betapa Ki Sumali roboh pingsan, kalah bertanding melawan seorang raksasa hitam, semua orang menjadi terkejut dan gelisah. Kalau Ki Sumali saja tidak mampu melawan, siapa yang akan melindungi mereka kalau ada penjahat sakti itu mengganggu ketenteraman Loano?
Mereka hanya membaringkan tubuh Ki Sumali di atas pembaringan dan dua orang menjaganya di kamar itu, yang lain duduk berkerumun di pendopo rumah sambil tiada hentinya membicarakan peristiwa diculiknya Winarsih tadi.
Belum lama peristiwa itu terjadi, maka belasan orang di pendopo itu serentak bangkit ketika mereka melihat seorang pemuda memasuki pekarangan rumah Ki Sumali. Pemuda itu pasti bukan orang Loano karena mereka tidak mengenalnya, maka tentu saja mereka merasa curiga. Bahkan diantara mereka sudah ada yang mengambil arit atau linggis untuk siap siaga kalau-kalau yang datang itu orang jahat sebangsa tiga orang yang tadi datang menyerang Ki Sumali dan menculik Winarsih.
Akan tetapi pemuda itu tampak sederhana. Usianya sekitar dua puluh tahun tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan manis, sinar matanya lembut dan langkahnya tenang seperti langkah harimau dan ketika dia melihat belasan orang berdiri di pendopo rumah Ki Sumali, pemuda itu mengerutkan alisnya dan pandang matanya mengandung keheranan.
"Permisi...!"
Pemuda itu memberi salam, lalu disambungnya dengan pertanyaan.
"Bolehkah saya mengetahui apakah Paman Sumali berada di rumah?"
Orang-orang itu saling pandang, kemudian seorang diantara mereka, yang tertua, berbalik dengan pertanyaan yang terdengar penuh curiga kepada pemuda itu.
"Katakan dulu, siapa andika dan ada keperluan apa dengan Ki Sumali?"
Pemuda itu mengerutkan alisnya dan sinar matanya menyapu semua orang itu, Tampaknya mereka ini orang baik-baik dan orang-orang biasa, pikirnya, akan tetapi mengapa berkumpul di pendopo ini?
"Nama saya Lindu Aji, dan saya adalah sahabat baik dari Paman Sumali, maka saya datang mengunjunginya."
Agaknya orang tua itu percaya akan keterangan Lindu Aji, apalagi memang sikap pemuda itu bukan seperti orang jahat yang berniat buruk. Maka dia lalu berkata.
"Maafkan sikap kami yang penuh curiga, anak mas. Sebetulnya baru saja disini kedatangan tiga orang penjahat. Mereka menculik mas ayu Winarsih dan melukai Ki Sumali."
Komentar
Posting Komentar