SERULING GADING 1 2 3 4 5 6 7 8 9 6 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 JILID 1 Puncak Argadumilah menjulang tinggi diselimuti awan putih bergerombol seperti sekelompok domba berbulu putih bergerak perlahan, berarak ke arah selatan. Sinar matahari pagi mulai menerangi permukaan Gunung Lawu yang tanahnya subur dan hijau penuh pohon dan tumbuhan. Kinar matahari pagi yang lembut dan hangat itu masih belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang amat dingin bagi manusia itu. Di lereng-lereng dekat puncak tidak tampak pedusunan. Dusun terakhir yang paling tinggi letaknya berada di lereng bawah. Puncak Argadumilah dan puncak-puncak lain yang banyak terdapat di Gunung Lawu jarang dikunjungi manusia karena selain sunyi tidak ada dusun yang berdekatan, juga teramat dingin hawanya dan untuk mendaki sampai ke puncak amatlah sukarnya karena tidak ada jalan tertentu. Selain itu, puncak-puncak itu, terutama sekali puncak Argadumilah dan A...
Aji terkejut bukan main. Winarsih diculik dan Ki Sumali dilukai? "Bagaimana keadaan Paman Sumali sekarang? Dimana dia?"
"Itu, kami baringkan di atas tempat tidurnya dalam kamar."
"Biar aku memeriksanya, siapa tahu aku akan dapat menyembuhkannya!"
Kata Aji dan pemuda ini lalu diiringkan mereka menuju ke kamar Ki Sumali.
Melihat Ki Sumali rebah dengan muka pucat dan napas terengah-engah, Lindu Aji cepat mendekati. Dia duduk di tepi pembaringan dan cepat memeriksa dada Ki Sumali. Tahulah dia bahwa Ki Sumali terluka di sebelah dalam dadanya. Ada hawa panas yang melukai sebelah dalam tubuhnya.
"Saya harap andika sekalian suka keluar dari kamar dan menonton dari luar agar hawa kamar ini tidak menjadi pengap. Aku akan mengobati Ki Sumali."
Kata Lindu Aji.
Orang-orang itu lalu keluar dan kembali ke pendopo. Ada beberapa orang saja yang menonton dari luar pintu kamar, sekalian untuk menjaga karena tentu saja mereka belum percaya sepenuhnya kepada pemuda yang tidak mereka kenal itu.
Lindu Aji melepas sarung yang bergantung di leher Ki Sumali. Karena pendekar itu memang tidak memakai baju, maka mudah sekali bagi Lindu Aji untuk melakukan pemeriksaan. Setelah jelas apa yang diderita Ki Sumali, Aji lalu meletakkan kedua telapak tangannya di dada pendekar Loano itu dan mengerahkan tenaga saktinya untuk membantu Ki Sumali, mengusir hawa panas itu dan memulihkan tenaganya, memperlancar jalan darahnya.
Tak lama kemudian, mereka yang menonton dari luar pintu kamar dengan hati tegang, menghela napas lega dan wajah mereka tampak berseri ketika mereka melihat Ki Sumali bernapas normal, tidak terengah-engah lagi dan dia mulai bergerak, lalu membuka matanya.
Dia merasa ada hawa dingin sejuk meresap di dalam dadanya, membuat dadanya terasa nyaman dan enak bernapas. Ketika dia membuka matanya, ingatannya kembali membayangkan peristiwa tadi. Orang-orang jahat menculik isterinya dan menyerangnya! Maka begitu membuka mata dan melihat seorang laki-laki duduk ditepi pembaringan dan meletakkan kedua tangan di atas dadanya, Ki Sumali segera menggerakkan tangan kanan untuk memukul!
Lindu Aji sudah siap siaga. Melihat gerakan ini, cepat dia menangkap pergelangan tangan Ki Sumali dengan tangan kirinya, lalu berkata.
"Tenanglah, Paman Sumali. Ini aku, Lindu Aji!"
Ki Sumali menggosok mata dengan punggung tangan kirinya, lalu memandang penuh perhatian.
"Ah, Anak Mas Lindu Aji! Engkaukah ini...?"
Dia meraba dadanya sendiri.
"Ah, kini mengerti aku. Tentu andika yang telah menyembuhkan luka dalam dadaku!"
"Tenanglah, paman. Andika sudah sembuh, mari kita duduk dan membicarakan apa yang terjadi. Aku datang kesini mengunjungimu, melihat andika pingsan dirubung orang-orang itu, maka aku cepat membantumu mengusir hawa panas dalam tubuhmu."
Ki Sumali merangkul pemuda itu dan mengajaknya turun dari pembaringan. Melihat orang-orang di luar kamar, dia lalu berkata kepada mereka.
"Kawan-kawan, terima kasih atas bantuan andika semua. Sekarang aku sudah sembuh dan aku hendak berunding dengan anak mas Lindu Aji, maka harap andika sekalian keluar dan duduk di pendopo sana."
Beberapa orang di luar kamar itu mengangguk dan mereka lalu keluar dan berkumpul di pendopo, sekarang mereka membicarakan Lindu Aji yang telah berhasil menyembuhkan Ki Sumali yang tadi roboh pingsan.
"Nah, paman ceritakanlah apa yang terjadi."
Kata Lindu Aji setelah mereka duduk berhadapan dalam kamar itu.
Ki Sumali menghela napas panjang.
"Mereka datang, tiga orang yang tidak kukenal, ketika aku dan Winarsih hendak berangkat ke ladang bersama dua orang pekerja pembantu kami. Tiba-tiba saja orang bertubuh raksasa bermuka hitam itu memaki-maki aku dan ketika dua orang pembantuku menegurnya, dia membunuh mereka berdua! Ah, aku menyesal sekali tidak dapat menyelamatkan nyawa kedua orang pembantuku itu."
Kata Ki Sumali dengan muka sedih.
"Lalu bagaimana, paman?"
"Raksasa hitam itu lalu menyuruh dua orang kawannya untuk menculik Winarsih, aku tentu saja menghalangi, akan tetapi raksasa hitam itu sakti mandraguna. Setelah bertanding, aku roboh terluka dan Winarsih dilarikan dua orang temannya."
"Siapa raksasa itu, paman?"
"Sebelum dia pergi, aku bertanya dan dia mengaku bernama Ki Singobarong, bertempat tinggal di Nusakambangan. Winarsih tentu dilarikan kesana. Aku harus mengejar kesana, sekarang juga!"
Ki Sumali bangkit dan mengambil Keris Sarpo Langking dan sulingnya yang tadi oleh para tetangganya diambil dari luar dan diletakkan di atas meja dalam kamarnya itu.
"Memang harus dikejar sekarang, paman. Mari, aku ikut!"
"Terima kasih, anak mas. Kembali engkau menolong kami dalam keadaan gawat dan dalam waktu yang tepat sekali. Tanpa bantuanmu sedikit kemungkinan aku dapat membebaskan isteriku, bahkan mungkin aku akan mengantar nyawa disana!"
Mereka keluar dari kamar dan Ki Sumali berkata kepada mereka yang masih bergerombol di pendopo rumahnya.
"Harap andika sekalian suka pulang kerumah masing-masing dan terima kasih atas perhatian dan bantuan andika sekalian. Sekarang, aku dan anak mas Lindu Aji akan melakukan pengejaran untuk menolong dan membebaskan isteriku."
Setelah berkata demikian, Ki Sumali segera melompat dan menggunakan ilmunya berlari cepat, disusul oleh Aji.
Melihat dua orang itu berkelebat dan sebentar saja sudah lenyap dari hadapan mereka, semua orang kagum dan mengharap agar mereka berdua dapat mengalahkan para penjahat dan dapat membebaskan Winarsih yang terculik.
Dalam perjalanan yang dipenuhi kegelisahan hati Ki Sumali akan keadaan isterinya yang terculik itu, Lindu Aji menghiburnya dengan mengajaknya bercakap-cakap.
"Paman, bukankah dahulu yang menguasai Nusakambangan adalah mendiang Aki Somad?"
"Memang benar, anak mas. Dan Ki Singobarong yang baru berusia kurang lebih empat puluh tahun itu agaknya tidak kalah sakti dibandingkan Aki Somad. Bahkan dia menguasai semua ilmu yang pernah kupelajari dari Aki Somad."
Kata Ki Sumali penasaran.
"Hemm, mungkin dia itu murid mendiang Aki Somad."
Kata Lindu Aji, teringat akan kehebatan ilmu mendiang Aki Somad, terutama sekali ilmu sihirnya yang amat berbahaya.
Bahkan Ki Sumali sendiri, sebagian besar ilmunya yang paling hebat adalah ilmu yang dipelajarinya dari Aki Somad.
"Aku tidak mengira demikian, anak mas. Kalau dia murid mendiang Aki Somad, tentu aku sudah mengenalnya, atau setidaknya mendengar tentang namanya. Mungkin saja dia itu merupakan saudara seperguruan yang dulu tinggal jauh dan baru sekarang muncul dan menggantikan Aki Somad menguasai Nusakambangan. Akan tetapi usianya masih termasuk muda dibandingkan Aki Somad. Tidak tahulah, kita akan tahu nanti kalau sudah berhadapan dengan dia. Akan kutanya mengapa dia memusuhi aku! Dia memaki aku pengecut dan tidak mengenal budi. Hal ini sudah kupikirkan dalam-dalam dan satu-satunya kemungkinan dendamnya kepadaku itu tentu ada hubungannya dengan Aki Somad. Aku selalu menolak bujukan Aki Somad untuk membantu Kumpeni Belanda, bahkan berani menentangnya. Mungkin itu yang membuat dia mendendam kepadaku."
Biarpun mereka melakukan perjalanan cepat, namun karena perjalanan itu melalui bukit-bukit dan hutan-hutan, baru dua hari kemudian mereka berdiri di pantai selatan. Pulau Nusakambangan tampak melintang di depan. Mereka harus menyeberangi segara anakan (anak laut) yang cukup lebar. |
Ki Sumali dapat membeli sebuah perahu dari seorang nelayan karena nelayan itu sendiri tidak berani kalau perahunya disewa dan dia harus mengantar dua orang itu ke Nusakambangan.
Pada waktu itu, pulau itu merupakan semacam "pulau hantu"
Bagi para nelayan dan penduduk sekitar pantai laut selatan. Nusakambangan dianggap tempat tinggal para setan, iblis, siluman bekasakan. Para nelayan tidak berani mencari ikan terlalu dekat pulau itu. Terpaksa Ki Sumali membeli perahu nelayan itu dan bersama Lindu Aji dia lalu mendayung perahu itu menuju pulau yang menyeramkan itu.
Setelah perahu yang didayung dua orang itu mendekati pulau yang sudah tampak jelas pohon-pohonnya, tinggal belasan tombak lagi, tiba-tiba laut yang tadinya tenang itu berombak, makin lama semakin besar sehingga perahu yang didayung maju itu terlempar mundur kembali. Datang badai yang tidak disangka-sangka, pada hal tadi udara cerah dan tidak ada sedikitpun tanda bahwa akan datang badai.
Tiba-tiba saja langit tertutup mendung dan laut menjadi gelisah, lalu marah dan perahu kecil itu diombang-ambingkan, diangkat, dibanting dan terancam digulung ombak besar.
"Eh, kenapa tiba-tiba datang badai demikian dahsyat? Jangan-jangan Gusti Ratu Kidul penguasa Laut Kidul marah ..."
Kata Ki Sumali ketakutan.
Pada waktu itu, semua orang percaya bahwa Laut Selatan dikuasai oleh ratu jin atau ratu siluman atau ratu yang teramat cantik jelita, namun juga amat besar kuasanya, sakti mandraguna dan ditakuti semua orang. Bahkan semua orang yang tinggal di daerah pantai laut selatan, menyembah dan memuja ratu itu, menyediakan persembahan berupa kembang setaman, berbagai macam makanan dan membakar kemenyan untuk mohon berkah keselamatan dan agar jangan ada anggauta bala tentara sang ratu mengganggu mereka.
"Tidak, paman. Ini bukan alami, ini tentu buatan orang yang mengunakan ilmu sihir yang amat jahat. Lihat, aneh bahwa perahu kita tidak sampai terbalik! Ilmu sihir hanya dapat mencelakai orang, namun tidak mungkin sampai membunuh. Mari, paman, mari bantu aku untuk melawan pengaruh sihir ini, dengan mengheningkan cipta, mohon kekuatan dari Gusti Allah dengan jalan menyerah kepada Kekuasaan Gusti Allah yang akan menyirnakan segala macam kekuasaan yang bertentangan dengan kekuasaanNya dan tidak wajar. Mari kita mulai, paman."
Lindu Aji lalu berdiri, seluruh tubuhnya santai dan lemas penuh penyerahan kepada Gusti Allah, seluruh keadaan dirinya lahir batin berserah diri penuh kepasrahan bagaikan seorang bayi dalam kandungan, tidak ada gerakan usaha sedikit pun lahir batinnya, sepenuhnya menyerah dengan sepenuh iman, ikhlas, tawakal sehingga kalau ada suatu gerakan, maka kekuasaan Tuhan sajalah yang bekerja.
Ki Sumali juga sudah duduk bersila dalam perahu, kedua tangan menyembah di depan dada, matanya terpejam dan diapun sudah tenggelam ke dalam keheningan.
Kekuasaan Tuhan tak dapat diatasi oleh kekuasaan apapun juga. Apalagi hanya kekuasaan sihir buatan manusia yang berasal dari kekuatan iblis. Seketika udara menjadi terang kembali, badai dan angin lenyap dan air laut tenang kembali seperti tadi dan perahu mengambang dengan tenang pula.
Lindu Aji membuka kedua matanya, di dalam hatinya memuji asma Gusti Allah (nama Tuhan) dan menghaturkan terima kasih.
"Mari, paman, kita dayung kembali perahu kita ke pulau."
Katanya kepada Ki Sumali.
Ki Sumali juga menghentikan samadhinya dan bersama Aji dia mendayung perahu menuju ke pantai. Mereka memilih bagian yang landai. Perahu menempel tepi pantai di pulau itu dan keduanya melompat ke darat, menyeret perahu sampai ke atas agar tidak sampai terseret air laut. Kemudian keduanya menyusup diantara pohon dan semak yang memenuhi bagian pulau itu, menuju ke tengah.
Nusakambangan merupakan pulau yang cukup luas dan pada waktu itu, tidak ada orang tinggal disana atau tidak ada penduduknya.
Sejak dahulu pulau ini terkenal gawat karena hanya ditempati sebagai sarang sementara oleh para penjahat yang membentuk gerombolan. Bahkan akhir-akhir ini penduduk disekitar pantai Laut Selatan mengabarkan bahwa pulau itu berhantu sehingga penduduk disekitar pantai semakin ketakutan dan mengeramatkan pulau itu.
Sebetulnya, bukan hantu bukan sebangsa iblis setan yang menjadi penghuni itu, melainkan segerombolan manusia berwatak iblis yang menggunakan pulau itu sebagai sarang mereka.
Setelah Aki Somad meninggalkan pulau itu dan kemudian terdengar berita bahwa dia tewas dalam perang ketika dia membantu Kumpeni Belanda melawan pasukan Mataram yang menyerbu Batavia, maka anak buahnya yang terdiri dari kurang lebih tiga puluh orang itu kehilangan pimpinan. Akan tetapi, beberapa bulan yang lalu, muncul seorang bertubuh raksasa yang mengaku sebagai adik seperguruan Aki Somad dan bernama Ki Singobarong. Dia memperlihatkan kesaktiannya sehingga semua anak buah itu tunduk dan Ki Singobarong inilah yang menggantikan kedudukan Aki Somad.
Di bawah pimpinan Ki Singobarong, gerombolan itu menjadi semakin liar dan jahat. Kalau di jamannya Aki Somad, kejahatan mereka masih dibatasi dan Aki Somad melarang mereka bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata, hanya diperbolehkan minta "sumbangan"
Secara paksa kepada orang-orang kaya, maka sekarang gerombolan itu benar-benar kejam dan tidak pandang bulu.
Semenjak gerombolan dipimpin Ki Singobarong, seringkali terjadi perampokan di dusun-dusun sepanjang pesisir kidul, dan bahkan seringkali gerombolan itu melakukan penculikan, melarikan gadis-gadis dan wanita-wanita muda, mereka bawa ke Nusakambangan.
Memang pernah terjadi rakyat yang penasaran, dipimpin seorang kepala dusun yang pemberani, berusaha mengumpulkan kekuatan sehingga ada seratus orang laki-laki menggunakan perahu-perahu mencoba untuk mendarat di pulau itu untuk menolong para isteri dan anak perempuan mereka yang diculik. Akan tetapi mereka tidak dapat mendarat karena perahu-perahu mereka diserang badai sehingga terpaksa mereka pulang. Besoknya, Ki Singobarong sendiri bersama anak buahnya mengamuk di dusun itu, membunuh banyak laki-laki muda, termasuk kepala dusunnya. Sejak itu, tidak ada lagi seorang pun berani mendekati Nusakambangan.
KETIKA Ki Sirigohorong mendengar dari anak buah disana, bekas anak buah Aki Somad yang merupakan kakak seperguruannya, tentang murid Aki Somad yang kini terkenal sebagai pendekar Loano bernama Ki Sumali, yang pernah menentang bahkan bermusuhan dengan Aki Somad, Ki Singobarong menjadi marah sekali. Maka pada hari itu dia mengajak dua orang pembantunya menyeberang ke daratan dan mengunjungi Loano.
Maka terjadilah pembuinuhan dua orang pembantu Ki Sumali, diculiknya isteri Ki Sumali dan dilukainya Ki Sumali oleh Ki Singobarong.
Biarpun pulau itu merupakan sarang dan tempat persembunyian yang aman, dan dia mengandalkan kesaktiannya sendiri sehingga layaknya tidak mungkin ada orang berani mengganggunya, namun Ki Singobarong adalah seorang yang cerdik. Setelah menyerang Ki Sumali dan melarikan Winarsih, dia memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjagaan dan mengintai siang malam agar segera melaporkan kalau ada perahu berani mendekati pulau.
Belasan orang wanita muda dan gadls yang diculik dikumpulkan di pulau itu, dimana dibangun pondok-pondok kayu yang cukup kokoh.
Belasan orang gadis yang oleh Ki Singobarong diberikan kepada anak buahnya, menjadi permainan kurang lebih tiga puluh orang anak buahnya bagaikan barang-barang mainan yang tidak berharga dan sewaktu-waktu dapat diganti yang baru.
Ki Singobarong sendiri adalah seorang laki-laki mata keranjang yang diperbudak oleh nafsunya sendiri dan dia telah memilih tiga orang wanita muda untuk dirinya sendiri.
Setelah Winarsih dibawa ke rumah Ki Singobarong, wanita ini didorong ke sebuah ruangan di pondok terbesar yang menjadi tempat tinggal Ki Singobarong. Winarsih jatuh terperosok di sudut ruangan besar itu dan ia menangis tersedu-sedu. Ia baru berani mengangkat muka memandang ketika terdengar suara tiga orang wanita menghiburnya.
"Sudahlah, mbakayu, Jangan menangis."
"Ya, menangis air mata darah sekali pun tidak akan menolongmu, mbakayu."
"Bahkan tidak mustahil kalau engkau menangis terus, engkau akan mengalami derita lebih berat, mungkin siksaan atau perlakuan kasar."
Mendengar tiga orang wanita itu menasihatinya seperti itu, ia mengusap air matanya dan menatap mereka. Winarsih tertegun. Mereka adalah tiga orang gadis yang masih muda, berusia antara tujuh belas sampai dua puluh tahun dan dari penampilan mereka dapat diketahui bahwa mereka adalah gadis-gadis dusun sederhana, namun wajah mereka cukup manis dan bentuk tubuh mereka menarik.
"Siapakah kalian?"
Tanya Winarsih.
"Kami senasib dengan engkau, mbakayu. Kami juga diculik dan sekarang kami menjadi... isteri Ki Singobarong. Namaku Karsih, mbakayu, dan aku yang pertama disini."
"Ki Singobarong... raksasa hitam itu...'"
Tanya Winarsih.
"Ssst... jangan begitu, mbakayu. Jangan sampai dia marah... dia baik sekali kalau penurut, akan tetapi kalau dia marah, oh, menakutkan sekali. Namaku Darni, mbakayu."
Kata orang kedua yang umurnya mungkin baru delapan belas tahun.
"Dan aku Tinah, mbakayu."
Kata yang termuda, mungkin baru tujuh belas tahun usianya.
"Aku baru dua minggu disini, memang lebih baik menerima nasib, mbakayu. Masih baik kalau diperistri Ki Singobarong. Kalau diberikan kepada anak buahnya... Iiiuhh... kita akan dipermainkan orang banyak... mengerikan sekali."
Winarsih memang seorang wanita yang tidak pernah belajar ilmu kunuragan. Akan tetapi ia Isteri seorang pendekar dan memiliki kenekatan besar. Ia bangkit berdiri, sepasang matanya bersinar penuh kemarahan.
"Tidak! Aku sudah menjadi isteri orang, tidak boleh laki-laki manapun menggangguku."
Ia mencubut sebatang patrem (belati kecil) yang tadinya diselipkan di pinggang dan tidak diketahui kedua orang penculiknya.
"Kalau ada yang berani mencoba-coba menyentuh badanku, dia hanya akan menyentuh sebuah mayat!"
Melihat Winarsih memegang patrem dan siap dihunjamkan kepada dadanya sendiri, tiga orang wanita muda itu mundur ketakutan.
Tekat besar Winarsih ini menolongnya. Bahkan Ki Singobarong sendiri tidak berdaya karena dia tahu bahwa kalau dia menggunakan kekerasan, Winarsih tentu membunuh diri.
Dia Juga tidak mau menggunakan ilmu sihirnya seperti yang banyak dia pergunakan untuk menundukkan para wanita yang diculiknya. Hal ini adalah karena dia melihat sesuatu yang amat menarik dalam diri Winarsih, yang berbeda dengan para gadis dusun itu. Dia benar-benar Jatuh hati dan tergila-gila kepada Winarsih, dan menghendaki agar Winarsih suka menyerahkan diri kepadanya secara suka rela.
Karena itu, dia tidak mau mempergunakan sihirnya untuk membuat Winarsih menurut dan memenuhi kehendaknya. Dia hanya menahan Winarsih dalam sebuah kamar yang terjaga dari luar, dan memesan para gadis yang menjadi isteri-isterinya itu untuk melayani Winarsih dan bersikap baik kepadanya. Ki Singobarong sekali ini menginginkan agar Winarsih menjadi isteri yang sah, bukan sekedar menjadi permainan nafsunya seperti wanita-wanita lain yang setiap saat akan mudah dibuang dan dicarikan penggantinya.
Ketika anak buah yang mengintai di tepi laut melihat munculnya sebuah perahu kecil yang ditumpangi dua orang laki-laki, mereka segera melapor kepada Ki Singobarong. Datuk sesat ini cepat pergi dan dia melihat bahwa dua orang dalam perahu itu adalah Ki Sumali dan seorang pemuda yang tidak dikenalnya.
Dia menyeringai melihat keberanian Ki Sumali, berani datang mengunjungi Nusa-kambangan! Hemm, dia mencari mampus, pikirnya. Tidak mungkin dia mau menyerahkan kembali Winarsih yang akan dijadikan isterinya.
Ki Singobarong lalu duduk bersila di atas batu dan mulai mengerahkan ilmu sihirnya. Maka datanglah angin dan badai yang melanda perahu yang ditumpangi Ki Sumali dan Lindu Aji itu.
Akan tetapi Ki Singobarong terkejut bukan main ketika serangannya melalui ilmu sihir hitam itu punah dan gagal sama sekali. Dia mencoba untuk mengerahkan segala kemampuannya, namun seperti ada angin semilir lembut membawa kehangatan sinar matahari membuyarkan kabut yang ditimbulkan sihirnya, semua usahanya gagal dan kekuatan sihirnya seperti lumpuh. Dengan penuh geram dia lalu meninggalkan pantai dan cepat mengumpulkan tiga puluh orang anak buahnya. Dia maklum bahwa serangan ilmu sihirnya tadi dapat ditangkis lawan, entah itu Ki Sumali sendiri yang menghalau kekuatan sihirnya ataukah pemuda yang menyertainya di atas perahu.
Dia membagi anak buahnya menjadi dua bagian. Bagian pertama, lima belas orang banyaknya, dia perintahkan untuk mengumpulkan semua tawanan wanita yang jumlahnya hampir dua puluh orang itu di rumahnya yang besar dan lima belas orang itu diperintahkan untuk menjaga agar jangan sampai ada orang yang membebaskan mereka. Adapun yang tujuh belas orang, semua anak buahnya setelah dihitung ada tiga puluh dua orang, diajaknya untuk menyambut kedatangan dua orang itu.
"Hati-hati jangan sembarangan bergerak,"
Pesannya kepada rombongan ke dua yang diajaknya menyambut musuh.
"Dua orang musuh yang datang bukan orang sembarangan. Lihat betapa aku akan menghajar dan membunuh mereka. Jangan bantu aku kalau tidak perlu karena itu hanya akan menggangguku saja."
Kata Ki Singobarong dengan sikap sombong, seolah dia sudah memastikan bahwa dia akan dapat membunuh dua orang musuh dengan mudah.
Ki Sumali dan Lindu Aji akhirnya tiba di dataran di tengah pulau dimana terdapat perkampungan gerombolan itu.
Perkampungan terdiri dari pondok-pondok kayu dan ditengah-tengah terdapat pondok terbesar, tempat tinggal Ki Songobarong.
Dengan hati-hati Ki Sumali dan Lindu Aji melangkah maju, menghampiri pintu gerbang perkampungan. Mereka dapat menduga bahwa Ki Singobarong tentu sudah tahu akan kedatangan mereka, buktinya tadi ada serangan badai yang timbul karena pengaruh sihir. Maka mereka berdua kini siap siaga.
Tiba-tiba, terdengar suara brengeng-eng (berdengung-dengung) yang datangnya dari perkampungan itu. Lindu Aji sudah dapat merasakan pengaruh hawa yang tidak sewajarnya, tanda bahwa ada kekuatan sihir yang kuat sedang dikerahkan orang untuk menyerang mereka.
"Paman, harap paman berlindung dibelakangku dan melindungi diri paman sendiri karena ada yang akan menyerang kita dengan ilmu sihir lagi."
Kata Lindu Aji.
Ki Sumali yang maklum bahwa Ki Singobarong adalah seorang ahli mempergunakan ilmu sihir seperti juga mendiang Aki Somad, gurunya, segera berdiri dibelakang Lindu Aji dalam jarak dua tombak.
Aki Somad memang pernah menjadi gurunya akan tetapi kakek itu tidak mengajarkan ilmu sihir yang merupakan aji pamungkasnya, yaitu Aji Gineng Soka Weda. Dia hanya diberi Aji Jerit Bairawa, pekik yang mengandung kekuatan sihir untuk melumpuhkan lawan.
Bunyi berdengung-dengung itu kian kuat dan tak lama kemudian, dari pintu gerbang itu muncullah semacam awan hitam melayang-layang ke arah dua orang pendatang itu.
Ki Sumali tidak tahu apa awan itu, namun dia sudah siap siaga, mengerahkan kekuatan batin dan tenaga saktinya untuk melawan serangan apapun juga yang datang menyerangnya. Dia melihat bahwa Lindu Aji masih berdiri tenang saja dengan pandang mata ditujukan kepada awan hitam yang melayang datang membawa suara berdengung-dengung itu.
Kini Ki Sumali terbelalak. Dia dapat melihat bahwa awan hitam itu ternyata adalah segerombolan lebah yang oleh penduduk dikenal sebagai tawon endhas (tawon berwarna hitam yang besar dan berani menyerang manusia dengan menyambar ke arah kepala.
Dia terkejut sekali. Lebah hitam besar ini amat berbahaya. Kabarnya, sekali saja kepala kena dibentur seekor lebah ini, maka bagian kepala itu akan menjadi botak dan tidak dapat ditumbuhi rambut iagi. Pada hal kini yang datang ada ratusan ekor banyaknya.
Saking ngerinya, Ki Sumali ingin mendahului. Dia melangkah maju ke dekat Lindu Aji dan mengerahkan tenaga saktinya lalu keluarlah lengkingan panjang dari kerongkongannya, lengkingan yang mengandung getaran kuat sekali yang ditujukan untuk menyerang segerombolan lebah hitam itu. Gelombang suara lengkingan ini menghantam ke arah gerombolan lebah yang terbang datang.
Gerombolan lebah itu seperti disambar tiupan angin kuat yang terkandung dalam Aji Jerit Bairawa yang dikerahkan Ki Sumali. Akan tetapi hanya sebentar saja gerombolan lebah itu terdorong ke belakang, lalu mereka naik ke atas dan terbang maju lagi dengan kuat dan cepat. Agaknya serangan Aji Jerit Bairawa itu hanya mengejutkan mereka, namun tidak mampu menahan mereka!
Ki Sumali menjadi penasaran. Ternyata ajinya tidak mempan. Dia cepat menggosok kedua telapak tangannya, lalu ditiupnya dan kedua telapak tangannya itu bernyala dan membara. Itulah Tapak Geni (Telapak Api) dan dengan kedua tangannya Ki Sumali mendorong ke arah gerombolan lebah itu.
Kembali gerombolan lebah itu terdorong kebelakang sekitar dua meter, namun mereka tidak runtuh dan dengan memperdengarkan suara mendengung nyaring mereka meluncur ke depan lagi, bahkan lebih kuat.
Lindu Aji sejak tadi memperhatikan dan maklumlah dia bahwa gerombolan itu bukanlah lebah biasa, melainkan lebah jadi-jadian, maka kedua aji Ki Sumali tadi tidak mempan, karena memang tingkat dan kepandaian Ki Sumali kalah tinggi dibandingkan kepandaian orang yang mengirim gerombolan lebah jadi-jadian itu. Maka, dia lalu membungkuk dan mengambil segenggam tanah berpasir, mengerahkan kekuatan batinnya lalu menyambitkan segenggam tanah berpasir itu ke arah segerombolan lebah yang sudah menyambar datang, sudah dekat, dalam jarak antara dua meter dari kepalanya.
"Kembali ke asalmu!"
Bentak Lindu Aji.
"Blarrrrr...!"
Tampak sinar berkilat seperti ada halilintar menyambar dan segerombolan lebah hitam itupun runtuh semua ke atas tanah dan berubah menjadi pasir hitam!
Akan tetapi terdengar suara gemuruh dan kini muncullah sebuah benda mencorong dan bernyala-nyala dari pintu gerbang perkampungan itu.
Mellhat benda yang terbang cepat ke arah mereka itu, Ki Sumali menjadi pucat. Itulah Aji Gineng Soka Weda yang dahsyat! Dia pernah menyaksikan gurunya, mendiang Aki Somad, mendemonstrasikan aji yang luar biasa itu. Maka, dia cepat mundur dan berlindung dibelakang Lindu Aji. Dia 'percaya pemuda itu akan mampu menghadapi aji yang amat menyeramkan itu.
Benda yang mencorong dan bernyala-nyaia itu terbang mendekat dan sekarang tampaklah benda itu. Bukan main! Mengerikan sekali karena benda itu berwujud sebuah kepala raksasa yang besar dan kedua matanya mencorong, mulutnya terbuka dan mengeluarkan api yang berkobar menyala-nyala, lidahnya panjang membara mengeluarkan asap, mulutnya terisi taring dan gigi-gigi runcing mengkilap, dari kedua lubang hidungnya menyemburkan asap yang panas.
Dalam jarak kurang lebih tiga meter, mahluk menyeramkan itu tiba-tiba menyemburkan api dari mulutnya, ke arah Lindu Aji. Pemuda ini sudah siap siaga. Dia pun mengenal mahluk jadi-jadian hasil aji Gineng Soka Weda itu. Dia pernah mengenal aji yang dahsyat itu. Dahulu, pernah mendiang Aki Somad menyerangnya dengan aji itu pula dan kini, penyerang yang mempergunakan aji itu agaknya tidak kalah kuatnya dibandingkan mendiang Aki Somad.
Lindu Aji sudah tenggelam ke dalam penyerahan diri lahir batin kepada kekuasaan Gusti Allah. Sikapnya seperti sikap Tirta Bantala (Air dan Tanah) yang semua gerakannya wajar dan tidak disengaja oleh hati akal pikirannya, melainkan dituntun oleh Kekuasaan Tuhan.
Penyerahan diri ini memunculkan kekuatan Aji Guruh Bumi yang mengandung tenaga sakti Surya Candra. Tubuhnya merendah ketika kedua kakinya ditekuk depan belakang, lalu kedua tangannya didorongkan ke arah mahluk yang menyemburkan api itu.
"Segala kekuatan datang dari Gusti Allah!"
Seru Lindu Aji dan begitu kedua tangannya didorongkan, ada hawa lembut keluar menyambul serangan mahluk kepala raksasa yang lebih pantas disebut iblis itu.
"Wuuuttt... blaarrr...!!"
Bagaikan disambar halilintar, mahluk itu terpental sampai terputar-putar, kemudian terdengar lolongan seperti lolongan seekor anjing di malam bulan purnama, dan mahluk jadi-jadian itu terbang kembali ke arah perkampungan!
Lindu Aji dan Ki Sumali masih berdiri menanti serangan berikutnya. Mereka maklum bahwa musuh tidak akan berhenti begitu saja. Mereka tidak menanti lama. Tampak kini seorang raksasa hitam melangkah lebar-lebar keluar dari pintu gerbang itu, diikuti oleh tujuh belas orang anak buahnya yang ke semuanya tampak menyeramkan dan bengis.
Ki Sumali segera mengenal orang itu dan dia berbisik kepada Lindu Aji.
"Raksasa itulah Ki Singobarong."
Dia lalu maju dan berdiri di sebelah kiri Lindu Aji dengan sikap tenang karena dia tahu bahwa pemuda yang membantunya ini boleh diandalkan.
Kini Ki Singobarong sudah berdiri di depan mereka, dalam jarak empat tombak. Anak buahnya membentuk pagar setengah lingkaran dibelakang raksasa hitam itu.
"Babo-babo Ki Sumali! Berani engkau datang kesini? Mau apa engkau datang?"
Tegur Ki Singobarong, agak berkurang keangkuhannya setelah tiga kali ajian sihirnya, badai, gerombolan lebah, dan kepala Banaspati tadi dapat ditolak dan dikalahkan.
Diam-diam walaupun dia bicara kepada Ki Sumali, dia melirik ke arah Lindu Aji dan merasa heran. Pemuda inikah yang telah mampu melawan dan melumpuhkan sihirnya?
"Hemm, Ki Singobarong..."
"Heh, Ki Sumali! Engkau tidak tahu sopan santun pula. Aku ini paman gurumu, tahu?"
"Aku tidak menganggap engkau paman guruku, Ki Singobarong, karena engkau tidak bersikap sebagai paman guru. Aku datang kesini untuk minta kembali isteriku yang kau culik dan untuk membalas kematian dua orang pembantuku yang tidak berdosa!"
"Bojleng-bojleng iblis laknat!"
Ki Singobarong memaki dengan marah.
"Ki Sumali! Di Loano sana aku masih memberi ampun dan tidak membunuhmu, mengingat bahwa engkau telah menyerahkan isterimu untuk menjadi biniku! Apakah sekarang engkau datang untuk mengantarkan nyawamu?"
"Ki Singobarong! Winarsih adalah isteriku dan tidak pernah kuserahkan kepada siapapun juga, apa lagi kepadamu! Ia adalah isteriku, isteriku yang setia. Karena itu aku harus merampasnya dari tanganmu yang kotor!"
"Hua-ha-ha, isterimu? Ha-ha-ha, bagaimana ia masih menjadi isterimu kalau dia sudah berada dalam pelukanku, tidur dikamarku selama dua malam?"
"Jahanam busuk...!"
Ki Sumali hendak menyerang, akan tetapi dia ditahan oleh Lindu Aji. Pemuda ini lalu melangkah maju dan menentang pandang mata Ki Singobarong.
"Ki Singobarong, kulihat engkau seorang yang sakti. Tidak sayangkah semua kesaktian yang kau pelajari dengan susah payah itu sekarang kau pergunakan untuk melakukan kejahatan. Andika telah menyerahkan jiwamu kepada iblis dan ingatlah, semua kekuasaan iblis akan sirna dihadapan Kekuasaan Gusti Allah. Karena itu, sebelum terlambat, bertaubatlah, kembalikan isteri Paman Sumali dan hentikan semua perbuatanmu yang jahat dan angkara murka."
"Bocah lancang kemaki (sombong!) Agaknya engkau yang membuat Ki Sumali berani datang ke Nusakambangan! Heh, bocah kementhus, jangan mati tanpa nama. Katakan siapa kamu dan mengapa kamu mencampuri urusanku dengan Ki Sumali yang masih terhitung murid keponakanku sendiri!"
"O, kiranya andika ini adik seperguruan mendiang Aki Somad? Ternyata engkau malah lebih jauh tersesat dibandingkan Aki Somad yang hanya terpikat bujukan Kumpeni Belanda dan menjadi antek mereka. Ketahuilah, Ki Singobarong, aku bernama Lindu Aji dan sudah lama menjadi sahabat Paman Sumali dan isterinya. Aku tidak mencampuri urusan pribadi orang, akan tetapi dimana ada perbuatan jahat dan sewenang-wenang terjadi, disitu aku harus turun tangan dan tugasku memang menentang perbuatan jahat. Dan engkau telah membunuh dua orang pembantu Paman Sumali yang tidak bersalah apa-apa kepadamu, melukai Paman Sumali dan bahkan menculik isteri Paman Sumali. Perbuatanmu itu jahat sekali, Ki Singobarong, maka aku harus menentangmu!"
"Babo-babo, sumbarmu seperti geledek, seolah engkau dapat memindahkan gunung, Lindu Aji!"
"Kalau gunung itu mengancam keselamatan orang-orang, aku akan berusaha sedapat mungkin untuk memindahkannya, Ki Singobarong!"
"Bojleng-bojleng iblis laknat!"
Ki Singobarong sudah mengambil ruyung galih asem yang bergantung di pinggangnya.
"Engkau sudah bosan hidup! Pecah kepalamu!!"
Dia segera menerjang ke depan, mengayun ruyungnya yang besar dan berat itu, menyambarkan senjata itu ke arah kepala Lindu Aji.
Pemuda ini dengan sigapnya mengelak dengan merendahkan tubuh sehingga ruyung itu mengiuk lewat di atas kepalanya.
Ki Singobarong menjadi penasaran sekali melihat betapa serangan kilatnya tadi dengan mudah dielakkan lawan, maka kakinya yang panjang besar mencuat ke arah selakangan Lindu Aji.
Tendangan itu merupakan tendagan maut yang berbahaya sekali. Namun, dengan memainkan ilmu silat Wanara Sakti, tubuh Lindu Aji bergerak cekatan sekali sehingga dengan mudah dia dapat mengelak dari tendangan itu.
Ki Singobarong mengamuk dan melakukan serangan bertubi-tubi. Akan tetapi Lindu Aji melayaninya dengan mudah, bahkan dia kini mulai membalas dengan tamparan tangan yang mengandung tenaga sakti Surya Candra yang ampuh.
Beberapa kali Ki Singobarong nyaris terkena sambaran tamparan tangannya sehingga raksasa hitam itu mulai berkeringat. Diam-diam dia lalu memberi isarat kepada tujuh belas orang anak buahnya. Mereka itu dengan klewang di tangan lalu menyerbu.
Akan tetapi Ki Sumali yang sudah siap siaga, menyambut mereka dengan amukannya, menggunakan keris Sarpo Langking dan sulingnya. Hebat sekali amukan pendekar Loano ini. Sebentar saja tiga orang anak buah Nusakambangan sudah terkapar, terkena tusukan keris dan hantaman suling. Akan tetapi sisanya, empat belas orang mengepung dan mengeroyok Ki Sumali sehingga pendekar ini menjadi agak kewalahan juga. Akan tetapi karena sepak terjangnya memang tangkas dan berbahaya, setiap tangkisannya membuat penyerangnya terhuyung, maka para pengeroyoknya juga berhati-hati dan agak gentar membuat pengepungan itu tidak berapa ketat.
Sementara itu, Lindu Aji maklum bahwa yang terpenting adalah segera menolong dan membebaskan Winarsih yang tentu berada diperkampungan itu dan untuk dapat segera menolongnya, terlebih dulu dia harus dapat mengalahkan Ki Singobarong. Diapun harus membantu Ki Sumali yang dikeroyok banyak orang itu.
Lindu Aji lalu mengerahkan tenaga saktinya dan mempergunakan Aji Bayu Sakti. Tubuhnya berkelebatan amat cepatnya seolah berubah menjadi bayang-bayang.
Ki Singobarong terkejut bukan main. Dia mengamuk dan mengobat-abitkan ruyung galih asemnya untuk menyerang, namun bayangan Lindu Aji sukar sekali dijadikan sasaran karena berkelebatan cepat.
"Lepaskan!"
Tiba-tiba Aji membentak dan tangan kirinya yang dimiringkan, membacok pergelangan tangan kanan Ki Singobarong yang memegang ruyung itu.
"Wuuuttt... desss...!"
Tak dapat dipertahankannya lagi, ruyung itu terlepas dari pegangan tangan Ki Singobarong yang merasa betapa lengan kanannya seolah-olah menjadi lumpuh.
Dia cepat melompat kebelakang dan setelah lengan kanannya pulih, dia cepat menggosok kedua telapak tangannya sehingga bernyala dan membara, lalu didorongkannya kedua tangannya ke arab Lindu Aji.
"Aji Tapak Geni....!"
Bentaknya dan mengerahkan tenaga sepenuhya karena kini dia yakin akan kedigdayaan lawannya yang masih muda itu.
Aji menyambut dengan kedua tangan didorongkan sambil berseru penuh wibawa.
"Aji Guruh Bumi...!"
Kekuatan aji ini memang hebat sekali, seolah bumi tergetar oleh gelombang getaran aji pukulan ini ketika menyambut aji pukulan Tapak Geni.
"Wuuuttt... blaarrrr...!"
Tubuh Ki Singobarong terlempar lebih dari lima meter ke belakang seperti diterjang halilintar dan tubuh tinggi besar itu jatuh berdebuk di atas tanah, dimana dia rebah telentang tak mampu bergerak lagi.
Tenaga Tapak Geni yang membalik telah menghantam dirinya sendiri sehingga dia menderita luka dalam yang cukup hebat.
Lindu Aji melompat, mendekatinya dan melihat raksasa itu ternyata jatuh pingsan dan menderita luka dalam. Dia tidak memperdulikan lagi, lalu melompat dan membantu Ki Sumali yang masih repot menghadapi pengeroyokan empat belas orang anak buah Nusakambangan itu.
Masuknya Aji mengubah keadaan. Para anak buah ketakutan melihat pemimpin mereka roboh dan tidak mampu bangkit kembali. Dan Ki Sumali yang mendapatkan semangat baru dengan masuknya Lindu Aji, mengamuk dan merobohkan dua orang lagi.
Lindu Aji dengan tamparan dan tendangan kakinya, juga merobohkan empat orang. Sisa anak buah Nusakambangan menjadi ketakutan dan mereka lari cerai berai meninggalkan tempat itu, bahkan secepatnya mereka meninggalkan pulau Nusakambangan mencari keselamatan dirinya!
"Mari kita cari Mbakayu Winarsih!"
Kata Lindu Aji kepada Ki Sumali dan keduanya cepat lari memasuki perkampungan itu.
Suasana dalam perkampungan sepi, tak tampak seorang pun. Mereka memasuki pondok-pondok terdekat, namun semua pondok itu kosong.
"Pondok besar itu tentu tempat kediaman Ki Singobarong. Mari kita kesana!"
Kata Ki Sumali dan mereka berlari menuju gedung terbesar yang berada di tengah perkampungan.
Baru saja mereka berdua masuk ke pendopo rumah, dari dalam rumah itu keluar belasan orang dan segera lima belas orang anak buah yang ditugaskan menjaga rumah itu mengeroyok mereka. Akan tetapi Aji dan Ki Sumali mengamuk dan sebentar saja delapan orang telah mereka robohkan. Sisanya lari kocar-kacir meninggalkan kampung, menyusul teman-teman yang sudah lari terlebih dulu, menggunakan perahu-perahu menyingkir dari Nusakambangan.
Sementara itu, ketika para anak buah gerombolan berlarian keluar dan menyerang dua orang itu, para wanita yang menjadi tawanan dan merasa diri mereka tidak dijaga dan diawasi lagi, berserabutan keluar dari kamar dimana mereka dikeram menjadi satu.
Akan tetapi ia terdesak dan ikut dengan para wanita yang jumlahnya semua ada enam belas orang itu, berlari kepelataran dan melihat beberapa orang anak buah gerombolan yang terluka dan merintih-rintih tidak berdaya itu, mereka seperti kesetanan. Mereka berebutan mengambil kelewang-kelewang para penjahat yang berserakan, lalu bagaikan harimau-harimau betina yang ganas mereka membacoki para anak buah gerombolan yang terluka tak berdaya itu.
Winarsih melihat sosok tubuh raksasa hitam menggeletak tak jauh dari situ. Cepat dihampirinya dan ketika melihat Ki Singobarong seperti tertidur, bangkit dendam kemarahan di hati Winarsih. Dicabutnya patrem yang selama ini dipergunakan untuk mengancam bunuh diri sehingga selama dua malam ini ia sama sekali tidak berani tertidur, Lalu dihampiri tubuh Ki Singobarong dan tanpa ragu-ragu lagi ia membungkuk dan menancapkan patremnya ke lambung raksasa itu, tepat di ulu hatinya.
"Clesss....!"
Patrem yang runcing tajam itu masuk dengan mudahnya menembus kulit dan jantung Ki Singobarong yang masih pingsan!
Darah mengalir dan Winarsih menjadi ngeri lalu bangkit dan mundur-mundur dengan muka pucat.
Patremnya masih menancap sampai kegagangnya di dada Ki Singobarong. Sementara itu, belasan orang wanita muda yang tadinya menjadi permainan para penjahat itu membantai para anak buah gerombolan yang sembilan orang banyaknya itu.
Mereka yang dibantai hanya dapat berteriak-teriak mengaduh dan ketakutan, akan tetapi para wanita itu tidak mengenal ampun. Sakit hati mereka terlalu besar dan mereka baru merasa puas setelah sembilan orang itu roboh mandi darah dengan tubuh terkoyak-koyak dan tewas semua!
Para wanita itu ada yang saling rangkul dan menangis tersedu-sedu, teringat akan nasib mereka ketika masih berada dalam cengkeraman gerombolan penjahat yang memperlakukan mereka sekejam iblis itu.
Lima belas orang yang mengeroyok Lindu Aji dan Ki Sumali itupun dihajar habis-habisan sehingga delapan orang sudah roboh dan yang tujuh orang lagi melarikan diri tunggang langgang dan menyusul kawan-kawan mereka yang sudah lebih dulu melarikan diri meninggalkan Nusakambangan.
Lindu Aji dan Ki Sumali tidak melakukan pengejaran dan melihat ada lagi delapan orang musuh menggeletak tidak berdaya karena terluka, para wanita itu sudah mengambil klewang yang berlumuran darah, dengan niat untuk mencacah-cacah lagi tubuh delapan orang itu.
Akan tetapi Lindu Aji yang sudah menengok dan ngeri melihat betapa para gerombolan yang terluka tadi kini telah tewas secara mengerikan, cepat menghadang mereka dan berkata dengan suara membentak.
"Berhenti! Kalian tidak boleh membunuhi mereka yang sudah terluka!"
Seorang di antara para wanita itu, yang lebih berani dan usianya sudah sekitar dua puluh tiga tahun, wajahnya hitam manis, lalu berkata kepada Lindu Aji dan Ki Sumali yang berdiri di samping pemuda itu.
"Denmas berdua, kami berterima kasih sekali atas pertolongan andika berdua sehingga kami dapat terbebas dari tangan iblis-iblis berwujud manusia itu. Akan tetapi jangan halangi kami membunuh mereka!"
"Hentikan, mbakayu, tidak boleh membunuh orang begitu saja, apa lagi mereka sudah terluka dan tidak dapat melawan."
Kata Lindu Aji.
"Denmas, kalau andika tahu apa yang mereka lakukan terhadap kami selama ini, mereka itu dibunuh seratus kali juga belum impas!"
Lindu Aji mengangguk.
"Kami mengerti, mereka ini memang orang-orang yang jahat dan kejam! Mereka telah menerima hukuman dan terluka. Kalau andika sekalian hendak membunuhnya secara kejam pula, lalu apa bedanya antara mereka dan andika sekalian? Cukuplah andika sekalian membunuhi mereka yang disana itu, jangan ditambah lagi. Mereka ini kita butuhkan untuk mengurus dan menguburkan mayat-mayat itu."
Sementara itu, Ki Sumali melangkah pergi kepekarangan depan dimana dia melihat Winarsih masih berdiri pucat memandang ke arah tubuh Ki Singobarong yang telah dibunuhnya.
Ki Sumali juga memandang ke arah tubuh itu dan melihat bahwa Ki Singobarong telah tewas dengan dada tertancap sebatang patrem. Dia segera mengenal senjata itu. Itu adalah patrem milik isterinya.
Dia sendiri yang dulu memberikan patrem itu kepada isterinya untuk dipakai menjaga diri dan sejak itu, Winarsih selalu membawa patrem itu kemana pun ia pergi. Dan kini, patrem itu telah tertanam di dada Ki Singobarong, berarti isterinya tadi yang membunuh Ki Singobarong yang sedang rebah pingsan. Dia menoleh kepada isterinya yang masih berdiri disitu dan kini Winarsih menutupi kedua matanya dengan tangan. Ada air mata menetes keluar dari celah-celah jari tangannya.
"Hemm, kalau ditangisi, mengapa tadi dibunuh?"
Ki Sumali berkata lirih, suaranya dingin sekali.
Mendengar suara ini, Winarsih seperti tersentak kaget, kedua tangannya diturunkan dari depan mukanya dan ketika ia melihat Ki Sumali, ia menjerit dan lari menubruk suaminya sambil menangis tersedu-sedu.
Akan tetapi, Ki Sumali menahan dengan kedua tangan memegang pundak Winarsih dan mendorongnya agar jangan mendekat sambil berkata dengan ketus.
"jangan sentuh aku dengan tanganmu yang kotor!"
Winarsih terkejut dan juga heran. Dia mengusap air matanya agar dapat memandang wajah suaminya lebih jelas. Ia melihat wajah suaminya itu demikian keruh, muram dan sepasang matanya itu mencorong penuh kemarahan dan kebencian memandang kepadanya!
"Kakangmas..., ada... apakah...? Kenapa sikapmu seperti itu... kenapa engkau memandangku seperti itu...?"
Ia tergagap, jantungnya seolah berhenti berdetak saking kaget dan khawatirnya.
"Huh, engkau masih bertanya kenapa? Lihat itu! Patremmu masih menancap di dadanya. Engkau membunuhnya kemudian menangisinya, karena engkau menyesal telah membunuhnya! Diam-diam engkau mencintainya, bukan?"
Sepasang mata yang merah oleh tangis itu terbelalak, wajah itu pucat.
"Kakangmas Sumali! Apa yang kau katakan ini? Aku memang telah menancapkan patremku di dadanya, terbawa oleh teman-teman yang mengamuk, dan juga karena benciku terhadap jahanam itu! Dan setelah membunuhnya, aku merasa ngeri atas perbuatanku membunuh orang ... sama sekaii bukan karena aku mencintainya, kakangmas! Bagaimana mungkin engkau menuduh aku mencintanya, mencinta orang yang menyerang kita, yang menculik aku dan melarikan aku ke tempat ini?"
Biarpun hatinya terpukul hebat, wanita itu bicara dengan penuh semangat karena merasa penasaran atas tuduhan suaminya bahwa ia mencinta Ki Singobarong!
Akan tetapi bantahan Winarsih itu tidak melunakkan hati Ki Sumali yang sudah bernyala dibakar api cemburu.
"Hemm, engkau telah dikeramnya selama dua malam, tidur di kamarnya, menjadi bininya! Tentu engkau mencintainya. Aku tidak menuduh sembarangan. Engkau sudah tidur dengan dia, menyerahkan dirimu kepadanya, bukan? Engkau telah ternoda, telah kotor, tidak pantas lagi mendekatiku, apa lagi menyentuhku!"
"Kakangmas! Dia belum pernah menjamahku! Kalau itu sudah dia lakukan, sekarang tentu aku sudah mati. Aku tidak membiarkan diriku ternoda, tidak membiarkan diriku dicemarkan siapapun!"
Ki Sumali tersenyum mengejek.
"Huh, siapa percaya omonganmu? Para wanita itu tadi mengaku bahwa mereka telah diperhina dan dipermainkan. Dan engkau... huh, engkau paling cantik diantara mereka dan Ki Singobarong tergila-gila padamu. Mana mungkin seorang wanita yang telah berada ditangannya selama dua malam menyatakan dirinya masih bersih dan belum ternoda? Ki Singobarong sendiri tadi mengatakan bahwa engkau sudah tidur dikamarnya selama dua malam dan telah menjadi bininya. Sudahlah, penyangkalanmu itu malah semakin memuakkan hatiku!"
"Kakangmas...! Kakangmas Sumali...!"
Winarsih tak dapat lagi menahan tangisnya.
Ia menangis terisak-isak, akan tetapi laki-laki yang amat dicintanya itu, malah memutar tubuh, membalikkan tubuh membelakanginya.
"Kakangmas Sumali..."
Winarsih tampak kebingungan, memandang ke kanan kiri seperti hendak minta bantuan siapa saja, kemudian ia melihat ke arah mayat Ki Singobarong, lalu ia berlari menghampiri mayat itu, dengan keberanian yang muncul dengan tiba-tiba ia mencabut patrem itu dari dada raksasa hitam itu. Ia memegang patrem yang masih berlumur darah itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi, dengan ujung mengarah dadanya.
"Kakangmas Sumali..., engkau... engkau tidak lagi percaya padaku... engkau menuduhku... telah ternoda... untuk apa aku hidup tanpa kepercayaan suami lagi ..., selamat tinggal, kakangmas, semoga engkau hidup bahagia... tanpa... aku...!"
Sekuat tenaga Winarsih menggerakkan tangannya dan
Komentar
Posting Komentar